Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah tafsir ijtimai yang diampu oleh
Di susun oleh :
Bima Sapta Yudha 11200340000130
Hanna Nabilah 11200340000148
Alhafidz Fajri Tabarok 11200340000085
Mandha Amalia Putri Dewata 11200340000139
Makalah dengan judul “prinsip ekonomi qur‟aniy” ini ditulis dengan tujuan untuk
memenuhi salah satu rangkaian tugas mata kuliah tafsir ijtimai Fakultas Ushuluddin Universitas
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan makalah yang selanjutnya.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan menjadi referensi untuk
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi kami
khususnya. Jazakumullah Khairan Katsiran.
Daftar pustaka
BAB I ............................................................................................................................................................ 5
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 5
A. Latar belakang ................................................................................................................................... 5
B. Rumusan masalah ............................................................................................................................. 5
C. Tujuan masalah ................................................................................................................................. 5
BAB II........................................................................................................................................................... 6
Pembahasan................................................................................................................................................... 6
A. PENGAKUAN TERHADAP HAK KEPEMILIKAN PRIBADI ............................................... 6
Pandangan Islam Terhadap Kepemilikan.............................................................................................. 7
B. KARAKTERISTIK KEPEMILIKAN PRIBADI ........................................................................ 9
1. Al-Maidah: 120............................................................................................................................ 9
2. Al-Nur: 33 ........................................................................................................................................ 9
3. Al-Hasyr: 7 ................................................................................................................................ 12
4. Al-Taubah: 34-35 ...................................................................................................................... 13
C. CARA MENDAPATKAN KEPEMILIKAN PRIBADI ............................................................ 16
5. QS. Al-jasiyah Ayat 13.............................................................................................................. 16
6. QS. Al-A’raf 10.......................................................................................................................... 17
7. QS. Fussilat Ayat 10 .................................................................................................................. 19
8. QS. Al-baqoroh Ayat 172 ......................................................................................................... 20
9. QS. At-taubah Ayat 105............................................................................................................ 22
10. QS. Al-Mulk Ayat 15 ............................................................................................................ 24
11. QS. Al-jumuah Ayat 10 ........................................................................................................ 27
12. QS. An-Najm Ayat 39 ........................................................................................................... 28
13. QS. Al-muzammil Ayat 20.................................................................................................... 31
D. MACAM PEKERJAAN ............................................................................................................... 33
14. Al baqarah 173 ...................................................................................................................... 33
15. Qs. Al baqarah 275................................................................................................................ 34
16. Qs. Al maidah ayat 9 ............................................................................................................. 36
BAB III....................................................................................................................................................... 38
PENUTUP.................................................................................................................................................. 38
A. Kesimpulan ..................................................................................................................................... 38
Daftar pustaka ......................................................................................................................................... 39
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Alquran menjelaskan permasalahan ekonomi karena pentingnya hal tersebut bagi
kehidupan manusia. Pengembangan tingkat ekonomi bagi kebutuhan manusia sangat jelas
dalam Alquran. Tulisan ini mengkaji nilai-nilai ekonomi dalam sudut pandang tafsir
Alquran dan problematika serta paradigm ekonomi yang berada di lingkungan
masyarakat. Berangkat dari problematika ekonomi secara hukum sampai kepada prinsip
ekonomi, tulisan ini fokus pada sebuah tema, maka kajian ini menggunakan metode yang
dikenal dengan tafsir mawdhû‟î. Ekonomi berbasis Alquran merupakan kajian ilmu yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi dengan meningkatkan nilai-nilai Islam di
dalamnya. Eksistensi Alquran terhadap perkembangan ekonomi menjadi bagian yang
tidak terpisahkan bagi umat Islam yang tujuannya agar segenap manusia sejahtera di
dunia dan akhirat, serta tercapainya pemuasan jasmani dan rohani secara seimbang baik
individu maupun kelompok.
B. Rumusan masalah
1. Seperti apa pengakuan terhadap kepemilikan pribadi
2. Seperti apa karakteristik kepemilikan pribadi
3. Seperti apa cara mendapatkan kepemilikan pribadi
4. Seperti apa macam bidang pekerjaan
C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui pengakuan terhadap kepemilikan pribadi
2. Untuk mengetahui karakteristik kepemilikan pribadi
3. Untuk mengetahui cara mendapatkan kepemilikan pribadi
4. Untuk mengetahui macam bidang pekerjaan
BAB II
Pembahasan
Kata “kepemilikan” dalam bahasa Indonesia terambil dari kata “milik”. Ia merupakan kata
serapan dari kata “al-milk” dalam bahasa Arab. Secara etimologi kata “al-milk” terambil dari
akar kata “ “ yang artinya memiliki.3 Dalam bahasa Arab kata “
“ berarti memelihara dan menguasai sesuatu secara bebas.4 Maksudnya kepenguasaan
seseorang terhadap sesuatu harta (barang atau jasa) yang membolehkannya untuk mengambil
manfaat dengan segala cara yang dibolehkan oleh syara‟, sehingga orang lain tidak
diperkenankan mengambil manfaat dengan barang tersebut kecuali dengan izinnya, dan sesuai
dengan bentuk-bentuk muamalah yang diperbolehkan. Misalnya, Ahmad memiliki sepeda
motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas
untuk memanfaatkan dan orang lain tidak boleh menghalangi dan merintanginya dalam
menikmati sepeda motor yang dimilikinya tersebut, kecuali setelah mendapat izin dari
pemiliknya.
Sedangkan pengertian “kepemilikan” menurut istilah berbagai ungkapan yang
dikemukakan oleh para ahli, namun secara esensial seluruh definisi itu pada prinsipnya sama.
Misalnya Muhammad Mushthafa al- Salaby mendefinisikan al-Milk sebagai berikut:
“Pengkhususan (keistimewaan) atas sesuatu benda yang menghalangi orang lain bertindak
atasnya dan memungkinkan pemiliknya melakukan tindakan secara langsung terhadap benda
itu, selama tidak ada halangan syara‟”
Musthafa Ahmad Zarqa‟ mendefinisikan al-Milkiyyah sebagai berikut:
“Kepemilikan adalah kekhususan (keistimewaan) yang bersifat menghalangi (orang lain) yang syara‟
memberikan kewenangan kepada pemiliknya melakukan tindakan kecuali terdapat halangan”.
Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa kepemilikan
merupakan kepenguasaan seseorang terhadap sesuatu berupa barang atau harta baik secara
riil maupun secara hukum, yang memungkinkan pemilik melakukan tindakan hukum,
seperti jual beli, hibah, wakaf, dan sebagainya, sehingga dengan kekuasaan ini orang lain
baik secara individual maupun kelembagaan terhalang untuk memanfaatkan atau
mempergunakan barang tersebut. Pada prinsipnya atas dasar kepemilikan itu, seseorang
mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam berbuat sesuatu atau tidak berbuat se
Adapun maksud halangan syara‟ di sini adalah sesuatu yang membatasi kebebasan
pemiliknya untuk mempergunakan atau memanfaatkannya, karena disebabkan dua macam,
yaitu:
1. Disebabkan karena pemiliknya dipandang tidak cakap secara hukum, seperti anak
kecil, safih (cacat mental) atau karena taflis (pailit).
2. Dimaksudkan karena untuk melindungi hak orang lain, seperti yang belaku pada harta
bersama, dan halangan yang dimaksudkan karena untuk melindungi kepentingan orang
lain atau kepentingan masyarakat umum.
yang telah dianugerahkan-Nya di alam semesta ini, merupakan pemberian dari Allah
kepada manusia untuk dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya guna kesejahteraan
seluruh umat manusia secara ekonomi, sesuai dengan kehendak Allah Swt. Dia-lah
Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini. Pernyataan ini
disebutkan dalam firman- Nya surat al-Ma‟idah ayat 120:
“Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya.
Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS. al-Ma‟idah : 120).
Selain itu, Allah òSwt. memberikan wewenang pula kepada manusia untuk menguasai
(istikhlaf) hak milik tersebut, dan memberikan izin kepemilikan pada orang tertentu yang
Manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah Swt. untuk memiliki dan
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul- Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya…”(QS. al-Hadiid : 7).
Seseorang yang memperoleh harta, pada hakekatnya hanya menerima titipan sebagai
amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik-Nya, baik
dalam pengembangan harta maupun penggunaannya. Bahkan tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa “pada mulanya” manusialah yang berwenang menggunakan harta
tersebut secara proporsional menjadi milik individu, milik kolektif dan milik negara,
sesuai dengan tingkat kepentingan dan urgensinya masing- masing melalui cara-cara
yang dibenarkan. Sebab sejak semula Allah Swt. telah menetapkan bahwa harta yang
dianugerahkan-Nya adalah diperuntukkan buat manusia di muka bumi, guna memenuhi
kepentingannya. Firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 29:
“Dialah yang telah menciptakan untukmu segala apa yang ada di bumi…”.
Di samping itu, Islam telah mengatur dengan jelas bagaimana suatu hak milik dapat
diperoleh secara sah dan pantas. Sebaliknya, Islam melarang perampasan atau
perampokan atas suatu hak milik, sehingga menimbulkan ketidakadilan (kezhaliman)
atau penindasan atas suatu pihak dengan pihak lainnya.
ِ ث َٔ ْاْل َ ْس
َ ِٓ هٍ ۚ َْٔ َُٕ َعهَ ٰٗ ُك ِّمٛض َٔ َيا ِف
شِٚءٍ قَذْٙ ش ِ هّلِلِ ُي ْهكُ ان ه
ِ غ ًَ َأا
Artinya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya;
dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di
dalamnya. Dialah satu-satunya yang patut disembah. Dia memiliki kekuasaan yang
sempurna untuk mewujudkan segala kehendak-Nya.
Oleh karena itu, tidak ada yang melemahkan-Nya, bahkan semuanya tunduk
kepada kehendak-Nya. Termasuk di antara kekuasaan-Nya adalah memberikan balasan
kepada orang yang benar dan menyiksa orang yang berdusta.
2. Al-Nur: 33
ِٓ ْىٛ ًَاَُ ُك ْى فَكَاحِبُٕ ُْ ْى ِِ ٌْ َع ِه ًْخ ُ ْى ِفْٚ َ َ َج َ َ َ ْبخَغٌَُٕ ْان ِكخٚ ٍَِٚع ِه ِّ ۗ َٔانهز
ْ اَ ِي هًا َي َهك َ ُٓ ُى هُِٛ ُ ْغٚ ٰٗ َ ِجذ ٌَُٔ َِكَا ًحا َحخ هٚ ٍَ ََلِٚف انهز
ْ ََّللاُ ِي ٍْ ف ِ َ ْغخ َ ْع ِفَٛٔ ْن
ٍُ ْك ِش ْْ ُٓ هٚ ٍْ َا ۚ َٔ َيَْٛ َُّاةِ انذٛض ْان َح َ صًُا ِنخ َ ْبخَغُٕا َع َش ِ َاحِ ُك ْى َعهَٗ ْان ِبغََّٛللاِ انهزِ٘ آح َا ُك ْى ۚ َٔ ََل ح ُ ْك ِشُْٕا فَخ
ُّ َاء ِِ ٌْ ََ َسدٌَْ ح َ َح ًْشا ۖ َٔآحُٕ ُْ ْى ِي ٍْ َيا ِل هَٛخ
ىَّٛللاَ ِي ٍْ َب ْع ِذ ِِ ْك َشا ِْ ِٓ هٍ َغفُٕس َس ِح
فَإ ِ هٌ ه
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak
yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian
dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah
kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi.
Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”
Ini adalah perintah dari Allah Swt.,ditujukan kepada lelaki yang tidak mampu
kawin; hendaknyalah mereka memelihara dirinya dari hal yang diharamkan, seperti yang
disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw:
Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan
untuk kawin, kawinlah kalian; karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan
pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu,
hendaklah ia mengerjakan puasa; karena sesungguhnya puasa merupakan peredam
baginya.
Ayat ini mengandung makna yang mutlak, sedangkan ayat yang terdapat di dalam
surat An-Nisa lebih khusus maknanya, yaitu firman Allah Swt.:
Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25)
ْ َََٔ َ ٌْ ح
ْش نَ ُك ْىٛص ِب ُشٔا َخ
Artinya, kesabaran kalian untuk tidak mengawini budak perempuan lebih baik bagi
kalian, karena anaknya kelak akan menjadi budak pula.
Ayat ini berkenaan dengan orang yang tidak mampu menikah, Allah
memerintahkannya untuk menjaga kesucian dirinya dan mengerjakan sebab-sebab yang
dapat menyucikan dirinya, seperti mengalihkan pikirannya dengan menyibukkan dirinya
dan melakukan saran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu berpuasa. Baik karena
miskinnya mereka (tidak sanggup menyiapkan mahar atau memberikan nafkah), atau
miskinnya.wali atau sayyid mereka atau karena keengganan mereka (wali atau sayyid)
menikahkan mereka, aehingga mereka dapat menikah.
Salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan adalah
mukatabah, yaitu seorang hamba sahaya boleh meminta kepada tuannya untuk
dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang
ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima perjanjian itu kalau budak itu menurut
pandangannya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal.
Yakni memperoleh upah dari pelacuran itu, karena di zaman Jahiliyyah terkadang
wanita budak dipaksa melakukan pelacuran agar majikannya memperoleh upah.
selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengajak orang yang telah memaksa tersebut
untuk bertobat. Oleh karena itu, hendaknya dia bertobat kepada Allah dan menghentikan
perbuatannya itu. Apabila dia telah bertobat dan berhenti dari melakukan hal itu, maka
Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan merahmatinya.
3. Al-Hasyr: 7
Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk
Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat
keras hukumannya.”
Ayat ini dijelaskan didalam tafsir al-Misbah, Harta penduduk kampung yang
Allah serahkan kepada Rasul-Nya tanpa mencepatkan kuda atau unta adalah milik Allah,
Rasul-Nya, kerabat Nabi, anak yatim, orang miskin, dan ibn sabîl (musafir di jalan
Allah). Hal itu dimaksudkan agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya di
antara kalian saja. Hukum- hukum yang dibawa oleh Rasulullah itu harus kalian pegang,
dan larangan yang ia sampaikan harus kalian tinggalkan. Hindarkanlah diri kalian dari
murka Allah. Sesungguhnya Allah benar-benar kejam siksa-Nya.
Ayat ini mencakup ushul (dasar-dasar) agama maupun furu (cabang) nya, dan
bahwa apa yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam harud diambil oleh
manusia dan tidak boleh menyelisihinya dan bahwa keputusan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam terhadap sesuatu sama seperti keputusan Allah Subhaanahu wa Ta'aala,
dimana tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkannya, demikian pula tidak
boleh mengedepankan ucapan seorang pun di atas ucapan Beliau.
4. Al-Taubah: 34-35
َبَ َْ ْكُِ ُضٌَٔ انزهٚ ٍََِّٚللاِ ۗ َٔانهز ِم هٛع ِبَ ٍْ صذٌَُّٔ َع ِ َاط ِب ْانب
ُ ََٚٔ اغ ِم ِ َُأ ْ ُكهٌَُٕ َ َ ْي َٕا َل ان هٛاٌ َن
ِ َانش ْْب
ُّ َٔ اس ِ َشا ِيٍَ ْاْلَحْ بٛ ً ٍَِ آ َيُُٕا ِِ هٌ َكثُِّٚ َٓا انهزََٚ َاٚ
ۖ ٕس ُْ ْى
ُ ُٓ ظ ِ َ ِٙ َٓا فْٛ َُحْ ًَ ٰٗ َعهٚ َ ْٕ َوٚ ۞ ىٍٛ َ َ َ ِن
ُ َٔ َاس َج َُٓه َى فَخ ُ ْك َٕ ٰٖ ِب َٓا ِجبَا ُْ ُٓ ْى َٔ ُجُُٕبُ ُٓ ْى ٍ ش ِْش ُْ ْى ِب َعزَا
ّ ََّللا فَب
ِ ِم هٛع ِب َٔ ْان ِف ه
َ ُِٙ ُْ ِفقََُٕ َٓا فٚ عتَ َٔ ََل
ٌَٰٔ َْزَا َيا َكُ َْضح ُ ْى ِْل َ َْفُ ِغ ُك ْى فَزُٔقُٕا َيا ُك ُْخ ُ ْى ح َ ْك ُِ ُض
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-
orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan
jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-
orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih
۞pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada
mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka
rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu".
Pada ayat 34 dalam tafsirnya, Quraish Shihab mengatakan, “Wahai orang-orang
Mukmin, ketahuilah bahwa banyak di antara orang alim dari kalangan Yahudi dan rahib-
rahib Nasrani yang menghalalkan harta orang secara tidak benar, menyalahgunakan
kepercayaan dan ketundukan orang lain kepada mereka dalam setiap perkataan mereka,
dan menghalang-halangi orang untuk masuk Islam. Wahai Nabi, orang-orang yang
mengusai dan menyimpan harta benda berupa emas maupun perak, dan tidak menunaikan
zakatnya, ingatkanlah mereka akan siksa yang sangat pedih.”
Ayat 35 juga dijelaskan “pada hari kiamat, semua harta benda itu akan dijadikan
bahan bakar di neraka jahanam yang menghanguskan hati, lambung dan punggung
pemiliknya. Lalu dikatakan kepada mereka, sebagai suatu penghinaan, "Inilah apa yang
kalian simpan untuk diri kalian, sementara kalian tidak memenuhi hak Allah. Rasakanlah
sekarang siksa yang amat pedih." Seperti menerima risywah (sogokan) dalam masalah
hukum atau berfatwa dan memutuskan tidak sesuai dengan apa yang Allah turunkan
karena diberi sogokan, yakni dari agama-Nya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahb, ia berkata, “Saya melewati
Rabdzah, dan ternyata bertemu dengan Abu Dzar radhiyallahu 'anhu.” aku pun berkata
kepadanya, “Apa yang menjadikan kamu menempati tempat ini?” Ia menjawab, “Aku
berada di Syam, lalu aku berselisih dengan Muawiyah tentang ayat, Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah.”
Muawiyah berkata “Ayat ini turun berkenaan Ahli Kitab”, sedangkan aku berkata “Ayat
ini turun berkenaan dengan kita dan mereka. Itulah masalah yang terjadi antara aku
dengannya.” Ia pun menuliskan surat kepada Utsman radhiyallahu 'anhu mengeluhkan
tentang aku, maka Utsman mengirim surat kepadaku yang isinya, Datanglah ke
Madinahâ, maka aku pun datang, lalu banyak orang yang mengerumuniku seakan-akan
mereka belum pernah melihatku sebelumnya, kemudian aku terangkan hal itu kepada
Utsman, lalu ia berkata kepadaku, Jika engkau mau, engkau menjauh, namun engkau
dekat. Itulah yang menjadikan aku menempati tempat ini, dan jika sekiranya mereka
memerintahkan aku sebagai penduduk Habasyah, maka aku akan mendengar dan
taat.€ •Maksudnya tidak mengeluarkan zakatnya atau nafkah yang wajib seperti kepada
keluarga atau nafkah di jalan Allah ketika menjadi wajib karena dibutuhkan sekali.
Dalam berbagai kitab, baik fiqih maupun tafsir, yang kontemporer maupun klasik,
rata-rata memandang ayat di atas--larangan menimbun harta--sebagai salah satu dalil
kewajiban zakat. Itu artinya, ada kaitan erat antara menimbun harta dengan berzakat.
Artinya, “Lalu (Ummu Salamah) bertanya kepada Nabi SAW, „Apakah ini termasuk
menyimpan harta?‟ Rasulullah menjawab, „Bila engkau tunaikan zakatnya, maka
bukanlah termasuk menimbun harta‟.” (HR. Al-Hakim)
Juga hadist riwayat Abdullah bin Umar yang diriwayatkan secara marfu‟
(terangkat) sampai pada baginda nabi, dan mauquf (terhenti) pada Ibnu Umar, dalam
kitab Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari (juz 3, hal. 313), karya Ibnu Hajar al-
„Atsqallani (773-852 H), dan dalam kitab at-Tafsir al-Kabir atau karib dikenal Mafatih al-
Ghaib (juz 16, hal. 38), karya imam Fakhruddin ar-Rozi (544-604 H), disebutkan:
Artinya, “Setiap harta yang ditunaikan zakatnya, walaupun (disimpan) di bumi lapis
ketujuh, bukanlah disebut menimbun harta. Dan yang tak ditunaikan zakatnya, jelas
disebut menimbun. Walaupun tampak di permukaan.” (HR. Al-Baihaqi)
Hal ini, sejalan juga dengan kalam sayidina Jabir yang ditulis Imam Fakhruddi ar-Razi
dalam kitab dan pembahasan yang sama, yang berbunyi:
Jadi, aktivitas menimbun harta yang diharamkan Al-Qur‟an surah At-Taubah ayat
34-35 di atas, adalah ketika harta benda yang disimpan telah memenuhi syarat dan tidak
ditunaikan zakatnya. Oleh karena itu, bila seseorang menabung uang dan belum
mencapai satu nisab, atau telah mencapai satu nisab, namun taat berzakat, maka bukanlah
termasuk pelaku penimbunan harta yang diharamkan.
”Dia telah menundukkan (pula) untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Tafsir Jalalain
(Dan Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit) berupa matahari
bulan bintang-bintang, air hujan dan lain-lainnya (dan apa yang ada di bumi) berupa
binatang-binatang, pohon-pohonan, tumbuh-tumbuhan, sungai-sungai dan lain-lainnya.
Maksudnya, Dia menciptakan kesemuanya itu untuk dimanfaatkan oleh kalian
(semuanya) lafal Jamii'an ini berkedudukan menjadi Taukid, atau mengukuhkan makna
lafal sebelumnya (dari-Nya) lafal Minhu ini menjadi Hal atau kata keterangan keadaan,
maksudnya semuanya itu ditundukkan oleh-Nya. (Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah bagi kaum yang berpikir)
mengenainya, karena itu lalu mereka beriman.
Tafsir kemenag
١٥
Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi. (al-Mulk/67: 15)
6. QS. Al-A’raf 10
ࣖ
“Sungguh, Kami benar-benar telah menempatkan kamu sekalian di bumi dan Kami
sediakan di sana (bumi) penghidupan untukmu. (Akan tetapi,) sedikit sekali kamu
bersyukur.”
Tafsir Al-Misbah
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kalian di muka bumi. Lalu Kami berikan
kalian kekuatan untuk dapat mengeksploitasi dan mendaya-gunakannya. Kami juga
menyediakan sarana-sarana kehidupan. Akan tetapi sangat sedikit yang bersyukur di
antara kalian, dan kalian akan mendapatkan balasan dari itu.
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami
adakan bagi kalian di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kalian
bersyukur. Allah SWT berfirman, mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya perihal
karunia yang telah Dia berikan kepada mereka, yaitu Dia telah menjadikan bumi sebagai
tempat tinggal mereka, dan Dia telah menjadikan padanya pasak-pasak (gunung-gunung)
dan sungai-sungai, serta menjadikan padanya tempat-tempat tinggal dan rumah-rumah
buat mereka. Dia memperbolehkan mereka untuk memanfaatkannya, dan menundukkan
awan buat mereka untuk mengeluarkan rezeki mereka dari bumi.
Dia telah menjadikan bagi mereka di bumi itu penghidupan mereka, yakni mata
pencaharian serta berbagai sarananya sehingga mereka dapat berniaga padanya dan dapat
membuat berbagai macam sarana untuk penghidupan mereka. Tetapi kebanyakan mereka
amat sedikit yang mensyukurinya. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan di
dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah
dapat kalian menghinggakannya.
Tafsir kemenag
Setelah itu, pada ayat ini Allah menjelaskan tentang anugerah-Nya kepada
manusia. Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi menjadi pemilik dan
pengelolanya, dan di sana Kami sediakan sumber penghidupan untukmu seperti tempat
untuk kamu menetap, sumber-sumber makanan dan minuman, dan sarana kehidupan
lainnya. Akan tetapi, sedikit sekali kamu bersyukur atas semua kenikmatan itu dengan
mengerahkan semua energi yang didapat dari semua nikmat itu untuk beribadah kepada
Allah. Bahkan, kamu banyak mengingkarinya dengan menyembah selain Allah, serta
berbuat kemaksiatan dan kerusakan di bumi. Dan sungguh, kami telah m enciptakan
kamu dari ketiadaan, yaitu nabi adam dari tanah liat yang menjadi asal kejadian manusia
di dunia, dengan mengukur dan memperkirakan semua bagian dengan tepat.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa, bersyukur kepada Allah tidak cukup
dengan hanya mengucapkan hamdallah tetapi harus diiringi dengan amal perbuatan yaitu
dengan cara mendayagunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang diridai dan disukai
Allah, bermanfaat bagi sesama manusia serta menaati segala perintah-Nya dan menjauhi
semua larangan-Nya.
“Dia ciptakan pada (bumi) itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, lalu Dia
memberkahi dan menentukan makanan-makanan (bagi penghuni)-nya dalam empat masa
yang cukup untuk (kebutuhan) mereka yang memerlukannya.”
Tafsir Al-Misbah
Dia juga menciptakan gunung-gunung yang kokoh di atas bumi agar bumi tidak
oleng, menurunkan banyak karunia di atasnya dan menentukan rezeki penduduknya
sesuai dengan kebijaksanaan-Nya. Semua itu dilakukan-Nya dalam waktu empat hari.
Kendati demikian, kalian tetap menyekutukan-Nya. Dia menentukan segala sesuatu
secara tepat: tidak kurang dan tidak lebih. Rincian tentang penciptaan bumi dan isinya itu
adalah keterangan untuk orang-orang yang bertanya.
Tafsir Kemenag
Dan setelah menciptakan bumi, Dia ciptakan pula padanya gunung-gunung yang
kokoh di atasnya yang menjadi pasak bagi bumi. Dan kemudian Dia berkahi bumi itu
sehingga layak menjadi tempat kehidupan bagi makhluk tumbuhan, hewan, dan manusia,
dan Dia pula yang tentukan makanan-makanan bagi para penghuni-nya. Semua itu
tercipta dalam empat masa. Penjelasan ini sangat memadai untuk memenuhi kebutuhan
orang-orang yang bertanya tentang penciptaan alam raya, serta mereka yang
memerlukannya.
"Wahai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang kami
berikan kepada kalian, dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada
Allah kalian menyembah." (Qs. Al Baqarah [2]:172)
Tafsir Al-Munir
Tafsir As-Sa’di
Menurut Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H 172
dalam Tafsir As-Sa'di ayat tersebut berisi perintah secara khusus untuk kaum muslim dan
manusia pada umumnya untuk senantiasa bersyukur. Adapun manfaat dari perintah-
perintah Allah yakni memakan rizki dari Allah, memanfaatkan nikmat-nikmat Allah
untuk menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah dan taqwa dengan nikmat nikmat
tersebut yang dapat menyampaikan kepada hakikat syukur.
Maka Allah memerintahkan kepada mereka apa yang diperintahkan kepada para
Nabi dalam Firman-Nya: "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan." (QS Al Mu‟minun: 51) Allah Ta‟ala menyeru hamba-hamba Nya yang
mu‟min,”Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan dan
sesembahannya, mengakui Islam sebagai agamanya, dan mengakui Muhammad adalah
nabinya, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Aku anugerahkan kepada
kalian.”
Dan bersyukurlah kepada Allah tuhan kalian yang telah memberikan nikmat
berupa daging-daging yang halal. Janganlah kalian mengharamkannya sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang musyrik. Pelajaran dari Surat Al Baqarah Ayat 172
dianjurkan untuk makan makanan yang baik dan halal, yang berasal dari rezeki Allah
tanpa berlebih-lebihan.
Ketika kita mengakui datangnya nikmat dari Allah, kita juga memujinya an tidak
menggunakan nikmat itu untuk kemaksiatan, sesungguhnya itu merupakan kewajiban
bersyukur kepada Allah.
Tafsir Kemenag
Wahai orang-orang yang beriman! makanlah dari rezeki yang baik yang sehat,
aman dan tidak berlebihan, dari yang kami berikan kepada kamu melalui usaha yang
kamu lakukan dengan cara yang halal. Dan bersyukurlah kepada Allah dengan mengakui
bahwa semua rezeki berasal dari Allah dan kamu harus memanfaatkannya sesuai
ketentuan Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya. Sesungguhnya dia hanya
mengharamkan atasmu beberapa hal. Pertama, bangkai, yaitu binatang yang mati tidak
dengan disembelih secara sah menurut ketentuan agama; kedua, darah yang aslinya
mengalir, bukan limpa dan hati yang aslinya memang beku; ketiga, daging babi dan
bagian tubuh babi lainnya seperti tulang, lemak, dan lainnya serta produk turunannya;
dan, keempat, daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, yaitu
hewan persembahan untuk patung dan roh halus yang dianggap oleh orang musyrik dapat
memberikan perlindungan dan keselamatan.
Tafsir Al-Misbah
Allah SWT dan Rasulullah serta orang-orang Mukmin akan melihat seluruh
perbuatan yang dilakukan atas orang-orang semasa menjalani hidup di dunia. Mereka
akan menimbangnya dengan timbangan keimanan dan bersaksi atas segala perbuatan itu.
Setelah mati, semua akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui lahir dan
batin. Semua akan diberikan ganjaran atas perbuatan. Allah SWT memberi tahu segala
hal yang kecil dan besar dari seluruh perbuatan selama di dunia.
Ayat ini berisikan perintah untuk beramal shaleh. Walaupun taubat telah
diperoleh tetapi waktu yang telah diisi dengan kedurhakaan tidak mungkin kembali lagi.
Manusia telah mengalami kerugian atas waktu yang telah berlalu tanpa diisi oleh
kebajikan. Itu itu perlu giat melakukan kebajikan agar kerugian tidak terlalu besar.
Hal inilah yang kemudian mendorong manusia untuk mawas diri dan mengawasi
amal-amal mereka. Serta senantiasa untuk mengingat bahwa setiap amal yang baik dan
buruk tidak dapat disembunyikan.
Tafsir Al-Azhar
Pada ayat 104 menyatakan bahwa Allah sudi menerima tobat dan sudi menerima
sedekah atau zakat, hendaklah disena-paskan dengan ayat 105 selanjutnya yang
menyuruh beramal.
Di dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa Allah memerhatikan amal kita. Kita
tidak lepas dari mata Allah. Dan di waktu Rasul SAW hidup, beliau pun melihat. Dan
kaum yang beriman pun melihat. Sebab itu orang yang beriman, walaupun bekerja diam-
diam di tempat sunyi, namun akhirnya pekerjaan yang baik itu akan diketahui orang juga.
Memang kadang-kadang sesama manusia ada yang dengki, iri hati dan tidak mau
mengakui jasa baik seorang yang bekerja. Janganlah hal itu dipedulikan, sebab
penghargaan dari Allah dan Rasul SAW dan orang yang beriman, adala h yang lebih
tinggi nilainya dari hanya hasrat dengki manusia. Kita bekerja yang baik, beramal yang
saleh dalam dunia ini, tidak lain, karena memang yang baik itulah yang wajib kita
kerjakan.
Di balik yang baik adalah buruk, jalan tengah di antara baik dan buruk tidaklah
ada. Dan kita harus berusaha supaya jangan bekerja campur aduk baik dan buruk..Pada
ayat 94 dijelaskan, peringatan ini pun telah diberikan kepada orang munafik yang datang
menyatakan uzur karena tidak turut pergi ke Peperangan Tabuk. Di ayat itu dinyatakan
bahwa Rasul SAW dan orang yang beriman tidak percaya lagi kepada mereka, sebab
Allah telah mengabarkan kecurangan mereka. Sungguh, Allah dan Rasul dan orang-orang
yang beriman akan melihat dan memerhatikan amal mereka juga. Akan tetapi di dalam
ayat ini diberi ketegasan kepada orang-orang yang tobat. Kalau mereka telah tobat benar-
benar, iringilah dengan sedekah. Kemudian, hendaklah beramal. Jadi bukan lagi semata-
mata terserah kepada mereka, sebagai ayat 94, tetapi menjadi anjuran yang tegas, sebab
mereka telah bersungguh-sungguh.
Tafsir Jalalain
(Dan katakanlah) kepada mereka atau kepada manusia secara umum ("Bekerjalah
kalian) sesuka hati kalian (maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaan kalian itu dan kalian akan dikembalikan) melalui dibangkitkan dari
kubur (kepada Yang Mengetahui alam gaib dan alam nyata) yakni Allah (lalu diberikan-
Nya kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.") lalu Dia akan membalasnya kepada
kalian.
“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka,
jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-
Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Yakni dikembalikan kelak di hari kiamat. Ibnu Abbas, Mujahid, As-Saddi, dan
Qatadah mengatakan bahwa manakibuha artinya daerah-daerah yang jauh, daerah-daerah
pedalamannya, dan seluruh kawasannya. Ibnu Abbas dan Qatadah mengatakan pula
bahwa manakibuha artinya gunung-gunungnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Hakkam Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah, dari Qatadah, dari Yunus ibnu Jubair, dari Basyir ibnu Ka'b, bahwa ia membaca
ayat ini, yaitu firman-Nya: maka berjalanlah di segala penjurunya. (Al-Mulk: 15) Lalu ia
berkata kepada budak perempuan yang telah melahirkan anak darinya, "Jika engkau
mengetahui makna manakibuha, berarti engkau merdeka." Lalu budak perempuannya itu
menjawab, "Manakibuha artinya pegunungannya." Lalu Basyir ibnu Ka'b bertanya
kepada Abu Darda mengenai maknanya, maka Abu Darda menjawab, "Manakibuha
artinya daerah pegunungannya."
Tafsir Al-Misbah
Tafsir kemenag
Setelah ditegaskan bahwa Allah adalah Maha Lembut dan Maha Luas
Pengetahuan-Nya, kini diuraikan kembali tentang Kuasa-Nya. Dialah Allah yang
menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi untuk melakukan aneka aktifitas
yang bermanfaat, maka jelajahilah di segala penjurunya, berkelanalah ke seluruh
pelosoknya, dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya yang disediakan untuk kamu, serta
bersyukurlah dengan segala karunia-Nya itu. Dan karena pada akhirnya, hanya kepada-
Nyalah kamu kembali setelah dibangkitkan.
Ayat ini menyatakan bahwa dengan sifat rahman-Nya kepada seluruh umat
manusia, maka Allah bukan saja telah menyediakan seluruh sarana dan prasarana bagi
manusia. Ia juga telah memudahkan manusia untuk hidup di permukaan bumi. Manusia
diperintahkan Allah untuk berjalan di permukaan bumi untuk mengenali baik tempatnya,
penghuninya, manusianya, hewan dan tumbuhannya.
Setelah Allah menerangkan bahwa alam ini diciptakan untuk manusia dan
memudahkannya untuk keperluan mereka, maka Dia memerintahkan agar mereka
berjalan di muka bumi, untuk memperhatikan keindahan alam, berusaha mengolah alam
yang mudah ini, berdagang, beternak, bercocok tanam dan mencari rezeki yang halal.
Sebab, semua yang disediakan Allah itu harus diolah dan diusahakan lebih dahulu
sebelum dimanfaatkan bagi keperluan hidup manusia.
1. Allah memerintahkan agar manusia berusaha dan mengolah alam untuk kepentingan
mereka guna memperoleh rezeki yang halal. Hal ini berarti bahwa tidak mau berusaha
dan bersifat pemalas bertentangan dengan perintah Allah.
2. Karena berusaha dan mencari rezeki itu termasuk melaksanakan perintah Allah, maka
orang yang berusaha dan mencari rezeki adalah orang yang menaati Allah, dan hal itu
termasuk ibadah. Dengan perkataan lain bahwa berusaha dan mencari rezeki itu
bukan mengurangi ibadah, tetapi memperkuat dan memperbanyak ibadah itu sendiri.
Dalam mencari rezeki ajaran Islam memberikan beberapa pedoman:
Pada akhir ayat, Allah memberi peringatan kepada manusia bahwa semua
makhluk akan kembali kepada-Nya pada hari Kiamat, dan pada waktu itu akan ditimbang
semua perbuatan manusia. Amal baik dibalas dengan pahala yang berlipat ganda,
sedangkan perbuatan buruk akan dibalas dengan azab neraka. Oleh karena itu, hendaklah
manusia selalu mawas diri, berusaha melaksanakan amal saleh sebanyak mungkin dan
menilai serta meneliti perbuatan-perbuatan yang akan dikerjakan, berusaha memohon
ampun kepada Allah atas kesalahan yang telanjur dilakukan atau yang tanpa disadari
bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan yang dilarang Allah. Maka setiap muslim
seyogyanya mencari rezeki yang halal saja, jangan sekali-kali memakan rezeki yang
diperoleh dengan cara yang haram atau bendanya sendiri adalah benda yang haram.
Ingatlah bahwa semua makhluk tanpa ada kecualinya akan kembali kepada-Nya. Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.
“Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia
Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”
Tafsir Al-Azhar
Penafsirannya bahwa apabila shalat Jum'at itu telah selesai dikerjakan, umat yang
tadinya diperintahkan segera ke tempat shalat dan menghentikan berjual beli itu, sudahlah
dibolehkan keluar kembali.
Dengan demikian nyatalah bahwa dalam agama Islam, hari Jum'at itu bukanlah
hari istirahat buat seluruhnya, melainkan hari buat melakukan ibadah bersama, yaitu
shalat Jum'at. Apabila waktu Jum'at telah datang hentikan segala kegiatan. Apabila
Jum'at telah selesai bolehlah bergiat kembali, bertebaranlah di muka bumi itu, “Dan
carilah karunia Allah." Karena karunia Allah itu ada di mana-mana, asal saja orang mau
berusaha dan bekerja. Karunia dari bertani dan berladang, usaha dari menggembala dan
beternak, usaha dari berniaga dan jual beli, usaha dari macam-macam rezeki yang halal.
Setengah dari ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang dapat berjual beli selepas
Jum'at, niscaya akan diberi berkah oleh Allah tujuh puluh kali."
Tafsir Al-Misbah
Yaitu sebagaimana tidak dibebankan kepadanya dosa orang lain, maka demikian
pula dia tidak memperoleh pahala kecuali dari apa yang diupayakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan ayat ini Imam Syafii dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan
Al-Qur'an yang dihadiahkan kepada mayat tidak dapat sampai karena bukan termasuk
amal perbuatannya dan tidak pula dari hasil upayanya. Karena itulah maka Rasulullah
Saw. tidak menganjurkan umatnya untuk melakukan hal ini, tidak memerintahkan mereka
untuk mengerjakannya, tidak pula memberi mereka petunjuk kepadanya, baik melalui nas
hadis maupun makna yang tersirat darinya. Hal ini tidak pernah pula dinukil dari
seseorang dari para sahabat yang melakukannya. Seandainya hal ini (bacaan Al-Qur‟an
untuk mayat) merupakan hal yang baik, tentulah kita pun menggalakkannya dan
berlomba melakukannya.
Pembahasan mengenai amal taqarrub itu hanya terbatas pada apa-apa yang
digariskan oleh nas-nas syariat, dan tidak boleh menetapkannya dengan berbagai macam
hukum analogi dan pendapat mana pun. Akan tetapi, berkenaan dengan doa dan sedekah
(yang pahalanya dihadiahkan buat mayat), maka hal ini telah disepakati oleh para ulama,
bahwa pahalanya dapat sampai kepada mayat, dan juga ada nas dari syariat yang
menyatakannya.
Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab
sahihnya, dari Abu Hurairah r.a.. yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda: Apabila manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu
anak saleh yang mendoakannya, atau sedekah jariyah sesudah kepergiannya atau ilmu
yang bermanfaat.
Ketiga macam amal ini pada hakikatnya dari hasil jerih payah yang bersangkutan
dan merupakan buah dari kerjanya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis:
Sesungguhnya sesuatu yang paling baik yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil
upayanya dan sesungguhnya anaknya merupakan hasil dari upayanya.
Sedekah jariyah, seperti wakaf dan lain sebagainya yang sejenis, juga merupakan
hasil upaya amal dan wakafnya. Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya Kami
menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan
dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yasin: 12)
Ilmu yang dia sebarkan di kalangan manusia, lalu diikuti oleh mereka
sepeninggalnya, hal ini pun termasuk dari jerih payah dan amalnya. Di dalam kitab sahih
disebutkan: Barang siapa yang menyeru kepada jalan petunjuk, maka baginya pahala
yang semisal dengan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi-pahala
mereka barang sedikit pun.
Tafsir Al-Azhar
Ayat ini adalah pengakuan dari Allah sendiri, bahwasanya memang Ibrahim telah
diberi berbagai cobaan dari Allah dan cobaan itu telah disempurnakannya dengan baik.
Setelah Ibrahim memenuhi ujian itu dan memenuhi apa yang diperintahkan dengan baik,
dengan setia dan tidak ada yang kecewa, sampai mau dibakar, sampai disuruh
menyembelih anak, dan semuanya itu dipatuhinya, barulah datang titah Allah bahwa dia
akan diangkat Allah menjadi imam bagi manusia. Tegasnya barulah di waktu itu diakui
Allah bahwa dia berhak jadi Imam. Lalu Ibrahim memohonkan, kalau boleh anak-cucu
keturunan beliau pun dapat pula jadi imam itu. Tetapi Allah pun menjawab, bahwa janji
Allah buat jadi imam itu tidak akan dapat memasukkan ke dalamnya orang-orang zalim.
Maka makna tafsir ayat ini menguatkan lagi, yaitu, “Bahwa manusia tidaklah akan
memperoleh melainkan sekadar usahanya"
Tafsir Jalalain
Tafsir Al-Misbah
Tafsir Kemenag
Jalan lurus menuju Tuhan mungkin dirasakan berat bagi sementara orang, maka
ayat ini memberi petunjuk solusinya. Sesungguhnya Tuhanmu senantiasa mengetahui
bahwa engkau, wahai Nabi Muhammad, terkadang berdiri untuk mengerjakan salat
kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan demikian
pula segolongan dari orang-orang yang bersamamu yaitu para sahabat yang
mengikutimu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa
kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu secara pasti dan rinci dalam
melaksanakan salat, maka Dia memberi keringanan kepadamu menyangkut apa yang
telah ditetapkan-Nya sebelum ini, karena itu bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-
Qur‟an.
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit sehingga
akan sulit melaksanakan salat malam seperti yang diperintahkan, dan ada juga yang
berjalan di bumi yaitu bepergian jauh untuk mencari sebagian karunia Allah baik urusan
perniagaan atau menuntut ilmu. dan Allah mengetahui juga akan ada yang lain berperang
di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur‟an dan laksanakanlah
salat secara baik dan berkesinambungan, tunaikanlah zakat secara sempurna dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik yaitu segala pemberian di jalan
Allah di luar kewajiban zakat.
Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
balasan-nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar
pahalanya. Dan di samping amalan tersebut Ayat ini diakhiri dengan anjuran agar kita
memperbanyak istigfar (mohon ampun kepada Allah), karena dosa dan kesalahan yang
kita kerjakan terlalu banyak. Istighfar yang diterima Allah itulah yang akan menutup aib
seseorang tatkala diadakan perhitungan dan pertanggungjawaban amal manusia di
hadapan-Nya kelak. Dialah yang Maha Pengasih, yang seseorang tidak akan disiksa
bilamana tobatnya telah diterima.
D. MACAM PEKERJAAN
14. Al baqarah 173
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan
(daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang.”
Ibnu Katsir menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 173. Melalui firmannya Allah
SWT memerintahkan hamba-hambanya yang beriman agar memakan makanan yang
baik-baik dari rizki yang telah di anugerahkan Allah kepada mereka dan supaya mereka
senantiasa bersyukur kepada-Nya atas rizki tersebut, jika mereka benar-benar hambanya,
memakan makanan yang halal merupakan salah satu sebab terkabulnya do‟a dan diterima
ibadahnya. Sebagaimana memakan makanan yang haram menghalangi diterimanya do‟a
dan ibadah.
Setelah Allah memberikan rezekinya kepada mereka dan membimbing mereka
memakan makanan yang baik-baik, Allah juga memberitahukan bahwa dia tidak
mengharamkan makanan-makanan itu kecuali bangkai saja, yaitu binatang yang mati
dengan sendirinya tanpa di sembelih.73
Ahmad Mustafa Al-Maraghi: Menafsirkan surah Al-Baqarah 173 : ل
Artinya: darah yang mengalir. Sebab, darah itu kotor atau mengandung penyakit, di
samping sangat berbahaya sama dengan bangkai. ع إ ع
barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, maka
memakan hal-hal yang telah Allah SWT haramkan karena memang sudah tidak ada
pilihan lain, dan jika tidak memakan barang tersebut akan mendapatkan kesukaran,
bahkan kematian maka hal itu di bolehkan.
Tetapi dengan syarat tidak menginginkan dan tidak menginginkan dan tidak
melebihi kebutuhan selayaknya. Membiarkan dirinya mati karena lapar, lebih berdosa di
bandingkan memakan bangkai dan darah. Ketika itu bahaya makan bangkai tidaklah
tampak. Maksud ayat yang berbunyi ghairu bāghin walā „ādin, ialah agar jangan sampai
orang-orang menafsirkan pengertian darurat (idtirar) itu sekehendak hatinya, khususnya
jika di pertanyakan kepadanya tentang batas-batas darurat.
Dengan demikian, mereka akan memutuskan hal-hal yang bukan darurat itu
dikatakan sebagai darurat. Kemudian, mereka memberi keputusan yang melebihi batas
darurat sekehendak hatinya. إSesungguhnya Allah itu
mengampuni kesalahan hamba-hamba-Nya selama dalam keadaan darurat. Dan masalah
ini, diserahkan sepenuhnya kepada hasil ijtihad mereka masing-masing.74 M.Quraish
shihab di dalam tafsir Al-Misbah Menafsirkan ل , yakni darah yang mengalir
bukan yang subtansi asalnya membeku seperti limpa dan hati.75
Orang-orang yang melakukan praktek riba, usaha, tindakan dan seluruh keadaan
mereka akan mengalami kegoncangan, jiwanya tidak tenteram. Perumpamaannya seperti
orang yang dirusak akalnya oleh setan sehingga terganggu akibat gila yang dideritanya.
Mereka melakukan itu, sebab mereka mengira jual beli sama dengan riba: sama-sama
mengandung unsur pertukaran dan usaha. Kedua-duanya halal. Allah membantah dugaan
mereka itu dengan menjelaskan bahwa masalah halal dan haram bukan urusan mereka.
Dan persamaan yang mereka kira tidaklah benar. Allah menghalalkan praktek jual beli
dan mengharamkan praktek riba. Barangsiapa telah sampai kepadanya larangan praktek
riba lalu meninggalkannya, maka baginya riba yang diambilnya sebelum turun larangan,
dengan tidak mengembalikannya.
Dan urusannya terserah kepada ampunan Allah. Dan orang yang mengulangi
melakukan riba setelah diharamkan, mereka itu adalah penghuni neraka dan akan kekal di
dalamnya(1). (1) Riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah riba jahiliah. Prakteknya
berupa pungutan tambahan dari utang yang diberikan sebagai imbalan menunda
pelunasan. Sedikit atau banyak hukumnya tetap haram. Imam Ahmad mengatakan,
"Tidak seorang Muslim pun berhak mengingkarinya." Kebalikannya adalah riba dalam
jual beli. Dalam sebuah sabda Rasulullah saw. ditegaskan, "Gandum ditukar dengan
gandum yang sejenis dengan kontan, begitu pula emas dengan emas, perak dengan perak,
kurma dengan kurma, yang sejenis dan dibayar kontan.
Para pakar kedokteran menyimpulkan banyaknya terjadi tekanan darah tinggi dan
serangan jantung adalah akibat banyaknya praktek riba yang dilakukan. Pengharaman
riba dalam al-Qur'ân dan agama-agama samawi lainnya adalah sebuah aturan dalam
perilaku ekonomi. Ini sesuai dengan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa uang
tidak bisa menghasilkan uang. Para ahli ekonomi menetapkan beberapa cara
menghasilkan uang.
Di antara cara yang produktif adalah dengan bekerja di beberapa bidang usaha
seperti industri, pertanian dan perdagangan. Dan yang tidak produktif adalah bunga atau
praktek riba, karena tidak berisiko. Pinjaman berbunga selamanya tidak akan merugi,
bahkan selalu menghasilkan. Bunga adalah hasil nilai pinjaman. Kalau sebab
penghasilannya pinjaman, maka berarti usahanya melalui perantaraan orang lain yang
tentunya tidak akan rugi. Banyaknya praktek riba juga menyebabkan dominasi modal di
suatu bidang usaha. Dengan begitu, akan mudah terjadi kekosongan dan pengangguran
yang menyebabkan kehancuran dan kemalasan.
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, (bahwa)
mereka akan mendapat ampunan dan pahala yang besar.”
Ayat ini memerintahkan kepada orang mukmin agar melaksanakan amal dan
pekerjaan mereka dengan cermat, jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan yang
bertalian dengan urusan agama maupun pekerjaan yang bertalian dengan urusan
kehidupan duniawi. Karena hanya dengan demikianlah mereka bisa sukses dan
memperoleh hasil atau balasan yang mereka harapkan. Dalam persaksian, mereka harus
adil menerangkan apa yang sebenarnya, tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun
akan menguntungkan lawan dan merugikan sahabat dan kerabat.
Ayat ini senafas dan seirama dengan Surah an-Nisa/4:135 yaitu sama-sama
menerangkan tentang seseorang yang berlaku adil dan jujur dalam persaksian.
Perbedaannya ialah dalam ayat tersebut diterangkan kewajiban berlaku adil dan jujur
dalam persaksian walaupun kesaksian itu akan merugikan diri sendiri, ibu, bapak dan
kerabat, sedang dalam ayat ini diterangkan bahwa kebencian terhadap sesuatu kaum tidak
boleh mendorong seseorang untuk memberikan persaksian yang tidak adil dan tidak jujur,
walaupun terhadap lawan.
Akhir ayat ini menyatakan janji Allah bahwa kepada orang yang beriman yang
banyak beramal saleh akan diberikan ampunan dan pahala yang besar. Janji Allah pasti
ditepati-Nya sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: "Sesungguhnya Allah tidak
menyalahi janji." (Ali 'Imran/3:9).dah ayat 9.
Amal saleh ialah setiap pekerjaan yang baik, bermanfaat dan patut dikerjakan,
baik pekerjaan ubudiyah seperti salat dan lain-lain, maupun pekerjaan seperti menolong
fakir miskin, menyantuni anak yatim, dan perbuatan sosial lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata “kepemilikan” dalam bahasa Indonesia terambil dari kata “milik”. Ia
merupakan kata serapan dari kata “al-milk” dalam bahasa Arab. Secara etimologi artinya
adalah memiliki.3 Dalam bahasa Arab kata “ “ berarti memelihara dan menguasai
sesuatu secara bebas. Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa
kepemilikan merupakan kepenguasaan seseorang terhadap sesuatu berupa barang atau
harta baik secara riil maupun secara hukum, yang memungkinkan pemilik melakukan
tindakan hukum, seperti jual beli, hibah, wakaf, dan sebagainya, sehingga dengan
kekuasaan ini orang lain baik secara individual maupun kelembagaan terhalang untuk
memanfaatkan atau mempergunakan barang tersebut.
Al-Jawi, Muhammad Nawawi. At-Tafsirul Munir li Ma‟alimit Tanzil, juz I, halaman 40,
1930.
Isma‟il, abu al-Fida Imaduddin. Tafsir al-Qur‟an al-Azhim/ Tafsir Ibnu Katsir. Diterbitkan
pertama kali dalam 10 Jilid, Kairo, 1342 H./ 1923 M.