Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH TAFSIR IBADAH MUAMALAH TENTANG ZAKAT

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Tafsir Ibadah Muamalah”

Dosen Pengampu:
Akhmad Ali Said, M.Ud

Oleh:
Siti Roifah

PROGAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR (IQT)

SEMESTER III

FAKULTAS USHULUDIN DAN STUDI AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM PANGERAN DIPONEGORO

(IAI PD) NGANJUK

TAHUN 2022
MAKALAH TAFSIR IBADAH MUAMALAH TENTANG ZAKAT

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Tafsir Ibadah Muamalah”

Dosen Pengampu:
Akhmad Ali Said, M.Ud

Oleh:
Siti Roifah

PROGAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR (IQT)

SEMESTER III

FAKULTAS USHULUDIN DAN STUDI AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM PANGERAN DIPONEGORO

(IAI PD) NGANJUK

TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Shalawat dan
salam semoga senantiasa Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang telah
membimbing umat manusia menuju kebenaran dan kejujuran supaya eksitensi kemanusianya
senantiasaterpelihara.
Pada dasarnya makalah yang penulis sajikan ini akan mengupas tentang “ Tafsir Ibadah
Muamalah tentang Zakat”. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman
atas masukan, dorongan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Terutama kepada bapak AKHMAD ALI SAID, M.Ud Sebagai
Dosen Pengampu Mata Kuliah “Tafsir Ibadah Muamalah”, serta rekan-rekan dan semua
pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini penulis
menyadari adanya kekurangan. Oleh karena itu, Kritik dan saran dari pembaca sangat
diperlukan untuk memperbaiki makalah ini dan menutupi kekurangannya. Semoga makalah
ini dapat membantu proses pembelajaran khususya dalam Mata Kuliah Ilmu Kalam serta
dapat memberiakan manfaat terhadap pembacanya.

Nganjuk, 30 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ……………………………………………………………………... I

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………...…. II

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………..… III

BAB I: PENDAHULUAN ................................................................................................... IV

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………………………. 1


B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………….. 2
C. Tujuan ………………………………………………………………………………. 2

BAB II: PEMBAHASAN ..................................................................................................... V


A. Penafsiran Surat At-Taubah Ayat ke 103 .................................................................. 3
B. 8 Golongan yang Berhak Mendapatkan Zakat ........................................................... 4
C. Jenis Jenis Yang Di Zakatkan .................................................................................... 5
D. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i tentang zakat .................................. 6
E. Pendapat dan persamaan Imam Abu Hanifah dengan Imam Syafi’i ......................... 7
F. Fikih Zakat dari Ibadah menuju Muamalah ........................................................... 8
G. Urgensi Fikih Zakat dalam Ibadah menuju Muamalah …………............................. 9

BAB III: PENUTUPAN


A. Kesimpulan …………………………………………………………………………
B. Kritik dan Saran …………………………………………………………………....

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………..

iii
IV

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an sebagai pedoman pokok umat islam, yang didalamnya mencakup berbagai
hukum. Memiliki berbagai versi penafsiran, bukan hanya penafsiran tentang ayat-ayat hukum
melainkan juga ayat-ayat yang memiliki arti yang samar. Sebagai salah seorang umat Nabi
SAW, kita sebenarnya wajib untuk mengetahui tafsiran-tafsiran yang terkandung didalam Al-
Qur’an tersebut.

Di dalam Al-Qur’an yang menyimpan materi-materi pokok umat islam, yang diantaranya
adalah zakat. Dimana zakat merupakan salah satu dari rukun islam. Mengingat hal itu, disini
saya mencoba menyajikan, penafsiran salah satu ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan
zakat.

Zakat adalah salah satu rukun yang bercorak sosial ekonomi dari lima rukun Islam, sebab
zakat mempunyai kedudukan yang penting, karena ia mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai
ibadah mahdhah fardiyah (individual) kepada Allah untuk mengharmoniskan hubungan
vertikal kepada Allah, dan sebagai ibadah mu'amalah ijtima'iyyah (sosial) dalam menjaga
hubungan horizontal sesama manusia. Oleh karena zakat merupakan ibadah yang
mengandung dua dimensi, yaitu dimensi habl min Allah dan habl min al-Nas, maka
pensyari'atan zakat dalam Islam menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan masalah -
masalah kemasyarakatan terutama nasib mereka yang lemah. Tak dapat di ragukan lagi,
bahwa zakat itu suatu rukun dari rukun - rukun agama; suatu fardu dari fardu-fardu agama
yang ditugaskan menyebarkannya.

1
Di dalam al-Qur'an banyak ayat yang menyuruh, memerintah dan menganjurkan kita
memberikan zakat itu, sebagaimana Firman Allah SWT.:
‫َو َم ٓا ُاِم ُر ْٓو ا ِااَّل ِلَيْعُبُدوا َهّٰللا ُم ْخ ِلِص ْيَن َلُه الِّدْيَن ۙە ُح َنَفۤا َء َو ُيِقْيُم وا الَّص ٰل وَة َو ُيْؤ ُتوا الَّز ٰك وَة َو ٰذ ِلَك ِد ْيُن اْلَقِّيَم ِۗة‬
Artinya: Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya
semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan
zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).

dan hadits Nabi Muhammad saw:


. ‫اإلسال م أن تعبد هللا وال تشرك بھ شیئا و تقیم الصال ة ا لمكتو بة و تؤدى الزكاة‬......‫المفرو ضة‬
Artinya: Islam ialah engkau menyembah Allah dan janganlah engkau menserikatkannya
dengan sesuatu, mengerjakan sholat lima waktu, menunaikan zakat yang fardukan.

Baik dalam al-Qur'an maupun Sunnah Rasul, Shalat dan zakat ditempatkan seiring
sejalan, Shalat dijadikan sebagai pilar tegaknya agama dan begitu pula kedudukan zakat
sebagai media membersihkan harta dan jiwa mereka dan ini menunjukkan betapa eratnya
hubungan antara keduanya.

Sesungguhnya keislaman seseorang tidak sempurna tanpa keduanya, karena Shalat


sebagai tiang agama Islam dan zakat sebagai jembatan Islam. Imam al-Nawawi berpendapat
bahwa dengan mengeluarkan zakat merupakan bukti bahwa orang tersebut benar-benar
beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh
'Abdullah ibn Mas'ud: “Kamu sekalian telah diperintahkan mendirikan Shalat dan
menunaikan zakat. Karena itu, barang siapa tidak menunaikan zakat, maka ia tidak berguna
Shalatnya”.
Sebagaimana firman Allah SWT.:
‫َفِاْن َتاُبْو ا َو َاَقاُم وا الَّص ٰل وَة َو ٰا َتُو ا الَّز ٰك وَة َفِاْخ َو اُنُك ْم ِفى الِّدْيِن ۗ َو ُنَفِّص ُل اٰاْل ٰي ِت ِلَقْو ٍم َّيْع َلُم ْو َن‬
Artinya : Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka
itu) adalah saudara saudaramu seagama. (At-taubah :11).

1
Ditinjau dari ayat maupun hadis di atas, sudahlah jelas bahwa dalil-dalil tersebut sudah
memberikan ketentuan hukum yang sangat eksplisit akan wajibnya mengeluarkan zakat pada
harta mereka dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan.
Ditinjau dari segi etimologis (lughat), kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari
zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik.Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan
berkembang, dan seorang itu zaka, berarti orang itu baik.

Sedangkan zakat dari segi terminologis (istilah) fiqh berarti sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak, di samping berarti
mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.

Adapun mengenai persyaratan terhadap orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat


kekayaan (harta) mereka itu, khususnya pada zakat kekayaan anak-anak serta orang gila para
ulama berbeda pendapat, karena tidak adanya dalil dari al-Qur'an maupun hadis-hadis Nabi
yang memberikan keterangan (dalil) yang jelas.
Namun para ulama hanya memberikan penafsiran dan fatwa (istinbath) mereka terhadap
dalil-dalil yang sudah ada, yang diantaranya zakat mempunyai beberapa syarat.
Diantaranya merdeka, muslim, baligh, berakal, kepemilikan harta yang penuh, mencapai
nishab dan haulnya, dan ditambahkan dengan niat yang menyertai pelaksanaan zakat.

Mengenai syarat-syarat zakat tersebut memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat


(ikhtilaf) para fuqaha, hal ini disebabkan karena perbedaan logika dan metode istinbath
mereka dalam memahami suatu dalil, yang berimplikasi pada perbedaan ketetapan hukum
terhadap suatu masalah. Perbedaan - perbedaan pemahaman hukum seperti itu banyak kita
jumpai dalam konteks hukum klasik (salaf) dan konteks hukum dewasa ini.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah bunyi salah satu ayat yang berkaitan dengan zakat ?


2. Siapa sajakah yang berhak mendapatkan zakat ?
3. Berapakah ukuran batasan zakat?
4. Bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah tentang zakat harta bagi anak anak dan
orang gila serta dalil - dalilnya?
5. Bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang zakat harta bagi anak-anak dan orang gila serta
dalil - dalilnya ?
6. Jelaskan Fikih Zakat dari Ibadah menuju Muamalah!
7. Jelaskan dan terangkan Urgensi dari Fikih Zakat menuju Ibadah Muamalah!

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui bunyi salah satu ayat yang berkaitan dengan zakat.
2. Mengetahui siapakah yg berhak mendapatkan zakat.
3. Mengetahui ukuran sesuatu hal yang wajib untuk dizakati.
4. Untuk mengetahui bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam al- Syafi'I
tentang zakat harta anak-anak dan orang gila.
5. Untuk mengetahui apa dalil yang digunakan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I tentang
zakat harta anak-anak dan orang gila.
6. Mengetahui Fikih Zakat dari Ibadah menuju Muamalah
7. Mengetahui Urgensi dari Fikih Zakat menuju Ibadah Muamalah

2
V
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penafsiran Surat At-Taubah Ayat ke 103


Surat At Taubah merupakan surat ke-9 dalam Al Quran. Surat ini terdiri dari 129 ayat dan
tergolong surat Madaniyyah. Perintah tentang zakat juga dijelaskan dalam surat ini tepatnya
pada ayat 103.

Allah SWT berfirman dalam Q.S At-Taubah ayat 103 sebagai berikut:
‫ُخ ْذ ِمْن َأْم َٰو ِلِه ْم َص َد َق ًة ُتَط ِّهُرُه ْم َو ُتَز ِّك يِه م ِبَه ا َو َص ِّل َع َلْي ِه ْم ۖ ِإَّن َص َلٰو َت َك َس َك ٌن َّلُهْم ۗ َو ٱُهَّلل َس ِم يٌع َع ِليٌم‬
Artinya:"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa
kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui."
Arti Permufrodat :
1. ‫ ُخ ۡذ‬: ambillah

2. ‫ ِم ۡن َأۡم َٰو ِلِهۡم‬: dari harta – harta mereka

3. ‫ َص َد َقٗة‬: zakat / shodaqoh

4. ‫ ُتَطِّهُر ُهۡم‬: mensucikan mereka

5. ‫ َو ُتَز ِّك يِهم‬: membersihkan mereka

6. ‫ ِبَها‬: dengan zakat

7. ‫ َو َص ِّل‬: dan berdo’alah

8. ‫ َع َلۡي ِهۖۡم‬: atas mereka

9. ‫ ِإَّن َص َلٰو َتَك‬: sesungguhnya do’amu

10. ‫ن‬ٞ‫ َس َك‬: ketetentraman

11. ‫ َّلُهۗۡم‬: bagi mereka

12. ‫ َسِم يٌع‬: Dzat yang maha mendengar

13. ‫ َع ِليٌم‬: Dzat yang maha mengetahui

Penafsiran:
1. Ada perbedaan dalam menafsirkan kata “ ‫”َص َد َقٗة‬. Dikatakan, itu adalah shodaqoh fardu
(zakat). Pendapat ‘ikrimah. Dikatakan juga ayat tersebut, dikhususkan bagi orang yang ada,
saat ayat tersebut turun. Nabi SAW mengambil 1/3 dari harta mereka. Dan ini tidak termasuk
zakat yang diwajibkan. Ada yang berpendapat bahwa itu adalah, ucapan (perintah) bagi Nabi
SAW, yaitu tidak diperbolehkan mengambil hadiah dan sejenisnya.

2. ‫ِم ۡن َأۡم َٰو ِلِهۡم‬, orang-orang arab mengartikan harta sebagai : pakaian, kesenangan, dan
penawaran. Hal ini seperti yang diriwayatkan oleh Malik dari Tsaur bin zaidili, dari abi al-
Ghoist majikan Ibnu Muthi’, dari Abu Huroiroh, dia berkata : ketika Dia keluar bersama
Rosululloh SAW, saat perang Khaibar, maka tidak menemukan Domba, Emas, dan juga
dedaunan, kecuali hanya beberapa harta : pakaian, kesenangan, ucapan. Dikatakan yang lain
juga ada harta yang diam terdiri dari emas dan daun. Dikatakan lagi, hanya unta, yang lain
berkata semua kendaraan.

3. ۡ‫ُخ ۡذ ِم ۡن َأۡم َٰو ِلِهم‬: tidak dijelaskan ukuran apa yang diambil dan siapa yang mengambil. Dan
apabila di jelaskan di sunah dan ijma’, ukuran yang kita ambil, maka zakat akan diambil dari
semua harta. Sungguh Nabi SAW telah mewajibkan zakat pada ternak, sereal, al-‘ain. Para
ulama sepakat ukuran uang adalah 40 dirham. Ketika seorang muslim merdeka memiliki 200
dirham dari perak dan kelipatannya setahun genap, maka wajib shodaqoh yaitu 2,5% dirham
(5 dirham). Dan apabila disyaratkan setahun, seperti sabda Rosululloh SAW :
‫ليس في مال زكاة حتى يحول عليه الحول‬
Artinya : “tidak ada zakat, hingga mencapai setahun”, (dikeluarkan oleh at tirmidzi).
Tidak ada tambahan untuk 200 dirham, setiap 200, 2,5% bisa lebih sedikit atau lebih banyak.
Ini pendapat imam malik, Al-Laits, Asy Syafi’i, dan kebanyakan sahabat, Abu Hanifah, Ibnu
Abi Laila, Ats Tsauri, Auza’i, Ahmad Bin Hanbal, Abi Tsaur, Ishak, Abi ‘Ubaid,
diriwayatkan dari ‘Ali dan Ibnu Umar. Thoif berkata : “tidak ada tambahan untuk 200
dirham, sampai tambah 40 dirham, maka jika mencapainya maka ditambah 1 dirham.
Pendapat Sa’id Bin Musayyab, Hasan, ‘Atho, Thowus, Sya’abi, Zuhri, Makhul, ‘Umar Bin
Diyar, Abi Hanifah.
4. Adapun zakat emas, maka jumhur ulama sepakat, ketika ada 20 dinar ukurannya 200
dirham, dan tidak ada tambahan, dan zakat emas itu wajib.

5. Ummat telah sepakat, ketika barang kurang dari 5 unta, maka tidak ada zakat. Dan jika
mencapai 5, maka wajib zakat 1 ekor domba.
6. Imam bukhori dan muslim tidak menyebutkan dalam kitab shohih mereka, tentang
perincian sapi.

7. ‫َص َد َقٗة‬: berasal dari kata ٌ‫ِص ْد ق‬, yang artinya jujur atau benar. Itu menjadi dalil sehat
imannya, kebenaran batinnya serta dhohirnya. Sesungguhnya bukan termasuk orang
munafiq, orang yang mau memberi makan orang mukmin dalam shodaqoh. ‫ُتَطِّهُر ُهۡم‬
2 : ‫ َو ُتَز ِّك يِهم‬keadaan orang yang berbicara. Perkiraan maksudnya yaitu: mengambil untuk
mensucikan mereka dan membesihkan mereka dengannya (zakat). Dan itu bisa dijadikan 2
sifat untuk orang yang benar. Diceritakan An-Nuhas, dan Makiyyi, ‫ُتَطِّهُر ُهۡم‬: adalah sifat dari
orang beriman. ‫َو ُتَز ِّك يِهم ِبَها‬: keadaan dari dhomir dalam kata ۡ‫ ُخ ذ‬yaitu Nabi SAW. Maksudnya
adalah lafadz ‫ ُتَز ِّك يِهم‬mengandung makna yang menunjukkan keadaan dari orang, yang
diberikan perintah untuk ۡ‫ ُخ ذ‬, yaitu Nabi SAW, yang memiliki sifat beriman.

8. ‫ َو َص ِّل َع َلۡي ِهۖۡم‬: pokok bagi para imam yang mengambil shodaqoh untuk medo’akan orang
yang memberi shodaqoh dengan barokah. Sekumpulan kaum berkomentar tentang hal ini,
yang lain berpendapat, sesungguhnya ini telah dihapus, dengan firman Alloh SWT :
٨٤ ‫َو اَل ُتَص ِّل َع َلٰٓى َأَح ٖد ِّم ۡن ُهم َّم اَت َأَبٗد ا َو اَل َتُقۡم َع َلٰى َقۡب ِرۖٓۦِه ِإَّنُهۡم َكَفُروْا ِبٱِهَّلل َو َر ُسوِلِهۦ َو َم اُتوْا َو ُهۡم َٰف ِس ُقوَن‬
Artinya : “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang
mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya
mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”

3
Maka orang-orang berkata, “tidak boleh mendo’akan seseorang, kecuali hanya kepada
Nabi SAW semata.” Dan mereka menyimpulkan dengan firman Allah SWT:
‫اَّل َتۡج َع ُلوْا ُدَعٓاَء ٱلَّرُسوِل َبۡي َنُك ۡم َك ُدَعٓاِء َبۡع ِض ُك م َبۡع ٗض ۚا‬
Artinya : “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan
sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).” ‘Abdulloh bin ‘Abbas berkata : “tidak
mendo’akan kepada seseorang, kecuali hanya kepada Nabi SAW.”

Dan yang lebih shohih adalah yang pertama. Pendapat-pendapat diatas adalah pendapat
yang mengartikan lafadz ‫ َص ِّل‬dengan arti memintakan rahmat. Oleh karena itu, kita dilarang,
untuk memintakan rahmat untuk selain Nabi SAW. akan tetapi yang dimaksud dengan lafadz

‫َص ِّل‬, pada ayat ini adalah untuk mendo’akan orang yang telah memberi shodaqoh.
Karena Nabi SAW patuh dengan firman Alloh SWT :
‫ن َّلُهۗۡم‬ٞ‫َو َص ِّل َع َلۡي ِهۖۡم ِإَّن َص َلٰو َتَك َس َك‬
Maksudnya, ketika kamu mendo’akan mereka saat mereka bershodaqoh, hati mereka akan
tenang dan senang. An-Nuhas berkata, diceritakan seluruh ahli bahasa, seperti yang kami

ketahui, bahwa kata “‫ ”الصالة‬dalam ucapan arab berarti do’a, salah satunya adalah do’a atas
jenazah.

B. 8 Golongan yang Berhak Mendapatkan Zakat


Dalam agama Islam, ada delapan golongan orang yang berhak menerima zakat atau yang
disebut dengan sebutan mustahik. Hal ini dijelaskan dalam Al Quran Surat At Taubah Ayat
60:
۞ ‫ِإَّنَم ا ٱلَّص َد َٰق ُت ِلْلُفَقَر ٓاِء َو ٱْلَم َٰس ِكيِن َو ٱْلَٰع ِمِليَن َع َلْيَها َو ٱْلُم َؤ َّلَفِة ُقُلوُبُهْم َو ِفى ٱلِّر َقاِب َو ٱْلَٰغ ِر ِم يَن َوِفى َس ِبيِل ٱِهَّلل‬
‫َو ٱْبِن ٱلَّس ِبيِل ۖ َفِر يَض ًة ِّم َن ٱِهَّللۗ َو ٱُهَّلل َع ِليٌم َح ِكيٌم‬
Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil
zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk
(membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
Diantaranya ialah:

1. Fakir
Golongan ini adalah orang-orang yang memiliki harta yang sangat sedikit. Selain itu, mereka
juga tidak memiliki penghasilan yang mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.

2. Miskin
Orang miskin mungkin lebih baik dari golongan fakir. Mereka memiliki harta yang sedikit
dan penghasilan mereka hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

3. Amil
Amil adalah panitia atau kalangan yang mengurus zakat mulai dari mengumpulkan hingga
menyalurkan ke pihak yang membutuhkan.

4. Mualaf
Mualaf selaku orang yang baru masuk Islam berhak atas zakat karena agar memantapkan
hati bahwa Islam adalah agama yang mengasihi semua kalangan.

5. Riqab/Memerdekakan Budak
Riqab saat ini sudah sulit ditemukan. Pada zaman dulu, Riqab adalah orang yang membayar
atau membebaskan budak untuk dimerdekakan.
4
6. Gharim (Orang yang Memiliki Hutang)
Gharim atau orang yang berhutang berhak atas zakat. Namun, jika gharim berhutang atas
kemaksiatan maka mereka tidak berhak menerima zakat.

7. Sabilillah
Sabilillah adalah orang yang berjuang di jalan Allah. Namun, dalam hal ini tidak hanya
berjuang dalam perang namun juga memperjuangkan agama Allah baik secara dakwah atau
hal lain.

8. Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah sebutan untuk musafir atau orang yang melakukan perjalanan jauh demi
kebaikan seperti pekerja yang merantau atau pelajar.

C. Harta yang dizakatkan


Berikut adalah harta-harta yang yang wajib dizakatkan dalam zakat mal:

a. Emas dan Perak adalah logam mulia. Islam menggangap logam mulia seperti emas dan perak
sebagai harta yang dapat berkembang. Cek, deposito, saham atau surat berharga lainnya
termasuk dalam kategori emas dan perak yang bisa dizakatkan. Rumah, tanah, kendaraan, juga
termasuk kategori emas dan perak yang bisa dizakatkan.

b. Binatang Ternak yang wajib untuk dizakatkan adalah hewan-hewan ternak yang besar seperti
sapi, kambing, kerbau, unta, ayam.

c. Hasil Pertanian yang wajib dizakatkan adalah hasil tumbuh-tumbuhan yang memiliki nilai
ekonomis. Hasil pertanian yang bisa dizakatkan adalah adalah umbi-umbian, sayuran, buah-
buahan, tanaman hias dan lain-lain.

d. Harta Perniagaan adalah semua yang digunakan dalam jual-beli. Contoh dari harta perniagaan
adalah alat-alat, perhiasan, pakaian. Perniagaan atau perdagangan yang dilakukan bisa melalui
perorangan atau perusahaan besar.

4
e. kekayaan Laut dan hasil pertambangan adalah benda-benda yang berasal dari dalam perut bumi
dan bisa juga dizakatkan karena memiliki nilai ekonomis. Hasil-hasil dari perut bumi itu
meliputi minyak bumi, tembaga, timah, batubara. Kekayaan laut yang bisa dizakatkan yaitu
mutiara, dan ambar.

f. Rikaz adalah harta yang sudah terpendam lama sejak zaman dahulu. Salah satu contoh rikaz atau
harta terpendam adalah harta karun. Harta rikaz yang ditemukan tentunya tidak boleh ada
pemiliknya maka baru boleh dizakatkan.

Cara Menghitung Zakat:


1. Syarat untuk hewan ternak : mencapai nishob, digembalakan, dan
setahun kepemilikan.
2. Syarat buah dan tumbuhan makanan pokok adalah hanya mencapai
nishob.
3. Syarat emas, perak, dan harta dagang adalah mencapai nishob, dan
kepemilikan setahun.
4. Nishob sapi dan kerbau : ketika mencapai 30 ekor zakatnya 1 ekor
anak sapi berumur 1 tahun. Dan ketika mencapai 40 ekor, zakatnya
sapi umur 2 tahun. Untuk seterusnya disamakan.
5. Nishob kambing : ketika mencapai 40 ekor, zakatnya 1 domba yang
sudah tanggal giginya (poel) yang berumur 1 tahun. Atau kambing
berumur 2 tahun. Ketika mencapai 121, zakatnya 2 ekor kambing.
Ketika mencapai 201, zakatnya 3 ekor kambing. Ketika mencapai 400,
zakatnya 4 ekor kambing. Dan ketika >400, maka zakatnya 1 ekor
kambing setiap bertambah 100 ekor.
6. Nishob unta : 5 ekor, zakatnya 1 ekor kambing. Ketika 10, zakatnya 2
ekor kambing. Ketika 15, zakatnya 3 ekor kambing. Ketika 20,
zakatnya 4 ekor kambing. Ketika 25, zakatnya 1ekor unta umur 1
tahun. Ketika 36, zakatnya 1 ekor unta umur 2 tahun. Ketika 46,
zakatnya 1 ekor unta berumur 3 tahun. Ketika 61, zakatnya 1 ekor unta
umur 4 tahun. Ketika 76, zakatnya 2 ekor unta umur 2 tahun. Ketika
90, zakatnya 2 ekor unta umur 3 tahun. Dan ketika lebih dari 90 ekor
unta, maka zakatnya 1 ekor unta berumur 2 tahun untuk setiap
bertambah 40 ekor, dan 1 ekor unta berumur 3 tahun setiap bertambah
50 ekor.
7. Nishob tumbuhan makanan pokok, 5% ketika disiram sendiri, dan 10%
ketika tidak disiram sendiri dalam artian menggunakan air hujan.
8. Nishob harta dagangan : adalah diakhirkan dalam 1 tahun, dan
dihitung barang apa saja yang sudah laku.
Dengan demikian, Untuk membayar zakat fitrah ini dapat dilakukan dengan membayar beras. Jika
dalam hitungan liter, maka beras yang harus dibayarkan untuk zakat 3,5 liter. Sedangkan bila beras
yang dizakatkan menggunakan kilogram, maka beras yang dizakatkan adalah 2,5 kilogram.

Zakat fitrah bisa juga dibayarkan menggunakan uang. Jika seseorang ingin membayar zakat fitrah
dengan uang, maka harus disesuaikan dengan harga beras yang ada di daerah sekitarnya.

Nisab zakat adalah batasan kekayaan untuk seseorang harus membayar zakat mal atau tidak. Adapun
nisab zakat, seperti nisab zakat perak sebesar 200 dirham atau sekitar 595 gram, nisab zakat emas
sebesar 20 dinar atau sebesar 85 gram, nisab zakat perdagangan sebesar 20 dinar atau setara 85 gram
emas, nisab zakat pertanian atay seperti 653 kilogram beras, dan lain-lain.

D. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mengenai zakat bagi anak-
anak dan orang gila.
Perbedaan pandangan hukum terhadap wajib tidaknya zakat terhadap kekayaan anak -
anak dan orang gila ini, disebabkan karena para ulama berbeda pendapat tentang ketentuan
baligh dan berakal sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mengeluarkan zakat, menurut
Imam Abu Hanifah kedua syarat tersebut harus terpenuhi.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa :


‫قال أبو حنیفة فى ما ل الصبي والمجنون ال ز كاة فى ما لھ إال عشر المعشرات و استدل لھ بقولھ تعالى‬
(‫والصبي والمجنون لیسمن أھل تطھیر إذ ال ذنب لھماز )خذ من أمولھم صد قة تطھر ھم و تز كیھم بھا‬
Artinya: Abu Hanifah berkata tentang harta anak kecil dan orang gila bahwa tiada zakat
pada hartanya keculai seper sepuluh tanaman dan buah-buahan, dan dalilnya firman Allah
swt “ambillah dari harta-harta mereka sebagai shodaqah untuk membersihkan dan
mensucikan baginya) anak kecil dan orang gila tidak termasuk orang yang layak dibersihkan
karena tiada dosa atas keduanya.

‫وقال أبو حنیفة ال تجب ا لزكاة فى أمولھما ویجب العشر فى زروعھما وثمر تھما وتجب صدقة الفطرعلیھما‬
‫ رفع القلم عن ثالثة عن النا ئم حتى یستیقظ وعن الصبي حتى‬: ‫وا حتج فى نفي الزكاة بقو لھ علیھ السال م‬
‫یبلغ وعن المجنون حتى یفیق وبآنھا عبادة مخضة فال تجب علیھما كالصالة والحج‬
Artinya : Dan abu Hanifah Berkata tidaklah wajib zakat atas anak kecil dan orang gila,
dan wajib (zakat) seper sepuluh dari tanaman-tanaman dan buah-buahan dari keduanya, serta
wajib zakat fitrah atas keduanya. Ia beralasan dengan sabda Nabi : Di angkat pena dari tiga
perkara, anak kecil hingga dewasa, orang gila hingga sadar. Dan karenanya (zakat)
merupakan ibadah mahdloh maka tidak wajib atas keduanya sebagaimana sholat dan haji.

Dengan demikian zakat dianggap tidak wajib diambil dari anak kecil dan orang gila sebab
keduanya tidak termasuk dalam ketentuan orang yang wajib mengerjakan ibadah, seperti
Shalat dan puasa. Sedang menurut jumhur ulama dan Imam Syafi'i, keduanya bukan
merupakan syarat diwajibkannya.

‫قال الشا فعى و تجب الصد قة على كل ما لك تام الملك من األحرار و!ن كان صغیرا أو معتوھا أو إمرآة ال‬
‫فرق بینھم فى ذ لك كما تجب فى مال كل واحد منھم ما لزم ما لھبوجھ من الو جوه جنا یة او میراث او نفقة‬
‫على والد أو ولد زمن محتا ج وسواء ذ لك فى الما شیة والز روع وزكاة الفطر‬
Artinya : Imam Syafi’i berkata zakat diwajibkan atas orang yang merdeka, yang memiliki
harta dengan kepemilikan sempurna, termasuk anak kecil, orang gila maupun perempuan.
Semuanya memiliki kewajiban yang sama dalam mengeluarkan zakat. Hal ini sebagaimana
wajibnya mereka mendapatkan harta yang sudah lazim.Yakni jinayah, warisan atau nafkah
atas orang tua ataupun anak yang sakit, baik harta itu berupa binatang ternak, tanaman
maupun zakat fitrah.

Oleh karena itu zakat wajib dikeluarkan dari orang gila dan anak kecil, dan zakat tersebut
dikeluarkan oleh walinya, pendapat ini berdasarkan hadis" Nabi SAW.:
‫على من ولي یتیما لھ ما ل فلیتجر فیھ وال یتر كھ حتى تأ كلھ الصدقة‬
Artinya : “Ketahuilah. Barangsiapa menjadi wali anak yatim yang mempunyai harta,
hendaklah ia perniagakan harta itu dan jangan membiarkannya habis dipergunakan membayar
zakat”.

Jika dipandang dari fungsi sosial, zakat dikeluarkan sebagai pahala untuk yang
mengeluarkan dan bukti solidaritas terhadap orang fakir. Anak kecil dan orang gila termasuk
juga orang yang berhak mendapat pahala dan membuktikan rasa solidaritas mereka. Atas
dasar ini, mereka wajib memberikan nafkah kepada kerabat-kerabat mereka. Dari dimensi
sosial seperti itulah, menurut sebagian ulama, pendapat ini lebih ditekankan dan diperhatikan,
sebab di dalamnya terkandung upaya untuk merealisasikan kemaslahatan. Memenuhi
kebutuhan mereka, menjaga harta dari rongrongan orang yang mengincarnya, mensucikan
jiwa dan melihat sifat suka menolong dan dermawan. mereka, menjaga harta dari rongrongan
orang yang mengincarnya, mensucikan jiwa dan melihat sifat suka menolong dan dermawan.

E. Pendapat dan persamaan Imam Abu Hanifah dengan Imam Syafi’i

Berdasarkan diatas dapat disimpulkan perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i adalah:

1. Abu Hanifah berpendapat syarat diwajibkannya untuk seseorang membayar zakat ialah harus
baligh dan berakal, jadi zakat itu tidak wajib bagi orang gila,anak di bawah umur karena mereka
belum baligh dan karena zakat merupakan ibadah mahdah dan keduanya tidak mendapatkan
kewajiban. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat syarat wajib mal ada dua yaitu baligh dan akal
akan tetapi, diwajibkan zakat kepada orang akil, baligh,orang sehat, idiot, dan anak di bawah umur
dikarenakan memiliki kewajiban yang sama dalam mengeluarkan zakat.

2. Abu Hanifah berpendapat bahwa balighmerupakan syarat wajib zakat sehingga anak di bawah
umur tidak wajib membayar zakat baik yang berpenghasilan maupun yang belum berpenghasilan,
karena anak di bawah umur dikecualikan dari pengaturan orangorang yang wajib ibadah. Sementara
itu, Imam Syafi'i berpendapat bahwa baligh merupakan syarat wajib zakat bagi anak di bawah umur,
karena mereka masih bergantung pada orang tuanya, sehingga wali wajib membayarkan zakatnya.
Persamaan dan perbedaan pendapat Abu Hanifah dan Imam Syafi'i tentang kewajiban zakat bagi
anak kecil yang berpenghasilan.

Persamaan
Abu Hanifah Imam Syafi'i
Menyebut bahwa syarat wajib zakat Menyebut bahwa syarat wajib zakat
yaitu: Islam, Merdeka, Baligh, Berakal yaitu: Islam, Merdeka, Baligh, Berakal
Surah At-Taubah ayat 103 sebagai Surah At-Taubah ayat 103 sebagai dalil
dalil kewajiban zakat bagi anak kecil kewajiban zakat bagi anak kecil yang
yang berpenghasilan berpenghasilan

Perbedaan
Abu Hanifah Imam Syafi'i
syarat muzakki harus baligh dan berakal syarat muzakki baligh dan berakal maka
jadi zakat tidak wajib bagi orang gila, anak anak kecil, orang sehat, idiot wajib
kecil Karena belum baligh dan merupakan mengeluarkan zakat di karenakan
Ibadah mahdah dan tidak mendapatkan memiliki kewajiban yang sama dalam
kewajiban. mengeluarkan zakat.
Baligh merupakan syarat wajib zakat maka Baligh bukan syarat wajib zakat maka
tidak wajib zakat baik berpenghasilan wajib zakat bagi anak kecil itu
maupun tidak
7

F. Fikih Zakat dari Ibadah menuju Muamalah

A. Ibadah

1. Pengertian Ibadah

Kata ibadah secara bahasa berasal dari akar kata ‘abida - ya‘bidu yang berarti pengabdian,
penghambaan, ketundukan, dan kepatuhan. Dari akar kata yang sama kita mengenal istilah ‘abd
(hamba sahaya atau budak) yang mencakup pada makna kekurangan, kehinaan, dan kerendahan.
Ibadah juga dapat diartikan dengan ketaatan, yakni kepatuhan atau ketundukan dengan setunduk-
tunduknya. Artinya, mengikuti semua perintah Allah swt. dan menjauhi segala larangan yang
dikehendaki oleh Allah swt. Sebab, pada dasarnya bahwa makna asli ibadah itu menghamba atau
dapat pula dimaknai sebagai sebentuk perbuatan menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah swt.
Sedangkan secara terminologi, ibadah terdefinisi sebagai berikut:

‫العِ بِ اد ِهي ِهةِ رِ إبِ التِ قِ عِ ل ِهِىاهللِ تِ الِ ِهوِ اِىبِ مِ تِ ثِ وِ امِ رِ وِ ن ن اجتِ ابِ أالِ وِ اهِ يِ هلِ ِم العِ ه‬
‫ِِم بِ ِاأِ ذ ِهنِ بِ هِ الشِ ر‬
“Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan cara melaksanakan perintah-perintah-
Nya dan menjauhi larangan-laranganNya, serta beramal sesuai izin dari pembuat syari

Definisi ibadah ini mengesankan bahwa ibadah merupakan pekerjaan seorang hamba.
Namun, Dr. Wahbah al-Zuhayli menerangkan bahwa ibadah adalah nama bagi segala sesuatu yang
diridai Allah swt. dan disenangi-Nya, baik yang berbentuk ucapan maupun tindakan. Lalu, masih
menurut al-Zuhayli, bahwa agama sebenarnya adalah ibadah. Sebagaimana ungkapan masyhur di
bawah ini:

‫هو اع ط و ت هِ دِ يِ هن هللا عب اد ض و ع الخ و ت ه له‬

“Agama Allah adalah menyembah dan menaati-Nya, serta bersikap khud}u‘ kepada-Nya.”

Karena itu, beragama berarti beribadah sehingga tidak dikatakan bahwa seorang itu
beragama jika di dalam kesehariannya tidak ada unsur ibadah.

Syekh Sa‘id Hawwa memiliki pandangan yang berbeda dengan pendapat di atas.
Menurutnya, pengertian ibadah dapat ditinjau dari dua sudut pandang, umum dan khusus. Pertama,
secara khusus ibadah dapat didefinisikan sebagai sekumpulan syiar dan apa pun yang telah
disyariatkan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt. Kedua, secara umum ibadah dapat
diartikan segala sesuatu yang dilakukan umat muslim dengan niat baik dan semata-mata karena
Allah swt. Oleh karena itu, segala perbuatan yang dilakukan seorang muslim berpotensi bernilai
ibadah, entah dari segi keyakinan (i‘tiqadiyyah), pemikiran (fikriyyah), penalaran (‘aqliyyah),
kejiwaan (nafsiyyah), fisik (badaniyyah), ataupun dari segi ekonomi (ma’liyyah).

Berangkat dari pengertiannya secara umum tersebut, maka salat, zakat, haji, jujur dalam
berbicara, melaksanakan amanah, berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung hubungan
kekeluargaan, memenuhi janji, amar ma’ruf nahiy munkar, berjihad di jalan Allah, dan berbuat baik
terhadap tetangga, anak yatim, orang miskin, pengembara (ibn al-sabil), dan terhadap binatang, serta
berdoa, berzikir, membaca Al-Qur’an, dan hal-hal lain yang mengandung kebaikan, itu semua
terbilang sebagai ibadah. Demikian pula beberapa perbuatan hati, seperti mencintai Allah swt. dan
rasul-Nya; takut dan bertobat kepada-Nya; tulus dan ikhlas di dalam beragama (beribadah); sabar
atas segala takdir Allah; mensyukuri segenap nikmat-Nya; rida terhadap keputusan-Nya, bertawakal
kepada- Nya, optimistis terhadap ampunan-Nya, dan selalu mewaspadai siksa-Nya, serta
perbuatan lain yang terkait ihwal hati, semuanya termasuk ibadah.

Ibadah juga dapat diartikan sebagai hubungan manusia dengan yang diyakini kebesaran
dan kekuasaannya. Dengan kata lain, jika yang diyakini kebesarannya adalah Allah swt., maka
ibadah berarti menghambakan diri kepada Allah.8 Menurut Hasan Ridwan, pengertian ini diperoleh
dari pemahaman terhadap ayat kelima surah al-Fatihah, iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in (hanya
kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan).

Syekh Muhammad bin Ibrahim al-Tawijari menegaskan bahwa terdapat perbedaan makna
antara ibadah dan ubudiah (‘ubudiyyah). Menurutnya, ibadah itu ibarat jasad yang punya awal dan
akhir dan ubudiah laksana ruh. Ubudiah merupakan intuisi yang tidak akan pernah lepas sampai
kapan pun bahwa setiap orang adalah hamba Allah. Hal ini sejalan dengan pemikiran yang
memaknai ibadah sebagai puncak segala sesuatu yang disukai Tuhan dan sebagai alasan penciptaan
makhluk.

2. Karakteristik Ibadah

Beberapa karakteristik berikut ini yang akan membedakan ibadah dengan muamalah,
yakni: a. Prinsip Dasarnya Diharamkan

Pada dasarnya muamalah dibangun di atas kebolehan (ibahah), sehingga syarat-syarat


yang dibuat manusia saat bertransaksi hukumnya adalah boleh sampai dijumpai nas syariat yang
secara tegas melarang persyaratan tersebut. Berbeda dengan ibadah yang pada dasarnya adalah
diharamkan (al-tahrim), sehingga siapa pun tidak diperkenankan untuk berkreasi mengenai tata cara
dan semacamnya dalam ihwal ibadah. Hal ini secara tegas menggariskan bahwa pensyariatan ibadah
itu merupakan hak Shari‘ semata. Jika dalam muamalah terdapat syarat atau hal lain yang tidak
ditegaskan oleh Shari’ tidak boleh diharamkan selama belum ditemukan dalil yang secara tegas
melarangnya. Sebaliknya, bilamana ada tata cara beribadah yang belum diketahui adanya nas syariat
yang mendasarinya, belum dapat dilegalkan sampai diketemukan dalil yang secara tegas
membolehkannya.
Di samping itu, seandainya ada dua orang yang berbeda pendapat mengenai suatu
transaksi muamalah mengenai boleh dan tidaknya, maka yang dimintai untuk menunjukkan dalilnya
adalah orang yang menyatakan tidak boleh. Sementara yang mengatakan boleh tidak perlu dituntut
untuk mengajukan dalil karena prinsip dasar muamalah itu memang diperbolehkan. Hal ini
berbanding terbalik jika menyangkut ibadah yang mana pihak yang mesti diminta berdalil adalah
orang yang menyatakan kebolehannya.

b.Bertujuan Semata Mendekatkan Diri kepada Allah

Karakteristik ibadah selanjutnya adalah tujuan asalnya. Jika tujuan awal dalam
bermuamalah adalah demi merealisasikan maslahat dan mengatur hubungan antar dua orang atau
lebih, bahkan hubungan seorang individu dengan negara ataupun relasi antar negara, maka tujuan
asal dalam ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah swt. serta dalam rangka bersyukur dan
mencari keridaan-Nya di dunia dan akhirat.

c.Bercorak Super Rasional (Taken for Granted)

Nas-nas syariat yang menjelaskan perihal ibadah tidak perlu digali alasan hukumnya.
Walaupun di dalam sebagian nas tersebut kemudian ditemukan beberapa alasan hukumnya, maka hal
ini tidak akan berpengaruh kepada hukum ibadah tersebut, dan juga tidak berimplikasi terhadap
analogisasi ibadah itu dengan perbuatan lainnya. Tuntutan dari nas-nas ibadah itu adalah pelaksanaan
atas perihal yang terdapat dalam perintah dan larangan tersebut.

d. Terdapat Pedoman Pelaksanaannya

Untuk mengamalkan sebuah ibadah perlu diyakini bahwa pekerjaan tersebut


diperintahkan langsung oleh Allah swt. Hal ini sangat dibutuhkan mengingat ibadah itu bertujuan
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. yang mustahil terlaksana manakala belum diyakini bahwa
itu benar-benar dari Tuhan. Lagi pula niat mendekatkan diri itu baru akan muncul setelah keyakinan
tersebut mewujud. Ini berbeda dengan muamalah yang mana sekalipun dikerjakan tanpa niat tetap
akan diganjar pahala.

e. Dalil Hukumnya Bersifat Tafsili

Kekhasan ibadah yang terakhir di sini berupa dalil-dalil yang menjelaskannya berbentuk
tafsili (rinci dan lugas). Hal ini disebabkan sifat kehati-hatian dalam beribadah yang pada dasarnya
adalah al- tahrim. Sebab itu, kekhasannya yang demikian ini yang kemudian menuntut adanya
penjelasan-penjelasan yang lugas sehingga tidak menimbulkan multi-tafsir.

3. Posisi Ibadah

Secara global, pembahasan fikih dibagi menjadi empat, yaitu: ibadah, muamalah,
munakahat, dan jinayah (‘uqubat jarah). Aspek ibadah lebih diprioritaskan pertama kali karena aspek
ini berkaitan dengan keberuntungan hidup di akhirat. Kemudian, aspek muamalah diposisikan
setelah ibadah karena bertujuan untuk mendapatkan keberuntungan hidup di dunia dan sebagai
penunjang menggapai keselamatan di akhirat kelak.

Aspek yang ketiga adalah fikih nikah setelah muamalah karena keberhasilan dalam
muamalah sebagai sarana dalam memperoleh keberhasilan hidup dalam berkeluarga yang diawali
oleh adanya kebutuhan biologis. Aspek fikih yang keempat adalah fikih kriminal, yang biasanya
terjadi akibat pergesekan hidup di masyarakat yang mana embrionya diawali dari sebuah bangunan
kehidupan rumah tangga. Selain itu, secara garis besar ibadah terdiri atas beberapa pokok bahasan,
yaitu fikih taharah, fikih salat, fikih zakat, fikih puasa, dan fikih haji.

Peneliti mencermati bahwa penempatan fikih zakat pada domain ibadah sebenarnya tidak
lebih dari sebagai formalitas, karena secara ubstansi fikih zakat itu sebenarnya termasuk aspek
muamalah.

1. Pengertian Muamalah
Kata mu‘amalah ( ‫ ) م ع ة امل‬adalah bentuk kata sifat dari kata kerja ‫ ي ل ام ع‬- ‫ ل ام ع‬yang
bermakna menawarkan pekerjaan. Secara terminologi, muamalah adalah hukum-hukum syariat yang
mengatur interaksi manusia, baik itu yang berkaitan dengan harta maupun hubungan antara laki-laki
dan perempuan. Menurut ‘AliFikri, muamalah adalah ilmu yang mengatur sirkulasi keuangan dan
kemanfaatan di antara anggota masyarakat melalui beberapa akad dan kewajiban-kewajiban. Ada
pula sebagian ulama yang mengkhususkan muamalah terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan
harta sebagaimana mereka membagi hukum Islam menjadi ibadah, muamalah, munakahah, dan
jinayah. Sedangkan menurut Amin Syarifuddin, kata mu‘amalah yang berakar pada kata ‫ ع ام ل‬secara
leksikal mengandung arti saling berbuat atau berbuat secara timbal balik. Lebih sederhana lagi
berarti hubungan antara orang per orang. Bila kata ini dihubungkan dengan fikih akan mengandung
arti aturan yang mengatur hubungan antara satu orang dengan orang yang lain dalam pergaulan hidup
di dunia. Ini merupakan imbangan dari ibadah yang mengatur hubungan lahir antara manusia dengan
penciptanya, yakni Allah swt.

8
A. Prinsip-prinsip Muamalah

Di atas telah dikemukakan bahwa muamalah adalah merupakan bagian dari hukum Islam
yang mengatur hubungan antara dua pihak atau lebih dalam suatu transaksi. Dari pengertian tersebut
ada dua hal yang menjadi ruang lingkup dari muamalah:

a. Bagaimana transaksi itu dilakukan. Hal ini menyangkut etika (adabiyyah) suatu transaksi, seperti
ijab kabul, saling meridai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, adanya hak dan kewajiban
masing-masing, kejujuran; atau terkait kemungkinan adanya penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan
segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam
kehidupan masyarakat.

b. Apa bentuk transaksi itu. Ini menyangkut materi (maddiyyah) transaksi yang dilakukan, seperti
jual beli, gadai, jaminan dan tanggungan, pemindahan utang, perseroan harta dan jasa, sewa-
menyewa, dan lain sebagainya.

Berdasarkan ruang lingkup di atas, maka prinsip-prinsip muamalah berada pada wilayah
etika (adabiyyah), yaitu bagaimana transasksi itu dilakukan. Prinsip-prinsip itu pada intinya
menghendaki agar setiap proses transaksi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak, atau
hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Prinsip-prinsip yang dimaksud antara lain:

a. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat pihak-pihak yang melakukan transaksi itu sendiri,
kecuali transaksi itu ternyata melanggar syariat. Prinsip ini sesuai dengan maksud ayat pertama surah
al-Maidah [5] dan ayat ke-34 surah al-Isra’ [17], yang memerintahkan orang-orang mukmin supaya
memenuhi akad atau janjinya jika mereka melakukan perjanjian dalam suatu transaksi.

b. Butir-butir pererjanjian dalam transaksi itu dirancang dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak
secara bebas tetapi penuh tanggung jawab, selama tidak bertentangan dengan peraturan syariat dan
sopan santun (adabiyyah).

c. Setiap transaksi dilakukan secara suka rela, tanpa ada paksaan atau intimidasi dari pihak mana
pun.

d. Pembuat hukum (Shari‘) mewajibkan agar setiap perencanaan transaksi dan pelaksanaannya
didasarkan atas niat baik, sehingga segala bentuk penipuan, kecurangan, dan penyelewengan dap
dihindari bagi pihak yang tertipu atau yang dicurigai telah diberikan hak khiyar (kebebasan memilih
untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi tersebut).

e. Penentuan hak yang muncul dari suatu transaksi diberikan oleh shara‘_kepada ‘urf (adat
kebiasaan) untuk menentukan kriteria dan batasannya. Artinya, peranan ‘urf dalam bidang transaksi
sangat menentukan selama shara‘ tidak menentukan lain. Oleh sebab itu, ada juga yang
mendefinisikan muamalah sebagai hukum shara‘ yang berkaitan dengan masalah keduniaan, seperti
jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa.

Inti dari kelima prinsip di atas adalah bahwa dalam suatu transaksi yang melahirkan akad
perjanjian bersifat mengikat pihakpihak yang melakukannya; dilakukan secara bebas bertanggung
jawab dalam menentukan bentuk perjanjian ataupun dalam hal yang berkenaan dengan hak dan
kewajiban masing-masing; atas kemauan kedua belah pihak tanpa ada paksaan; didasari atas niat
baik dan kejujuran; dan memenuhi syarat-syarat yang sudah biasa dilakukan, seperti syarat-syarat
administrasi, saksi-saksi, agunan dalam pinjam-meminjam, dan sebagainya.

B. Karakteristik Muamalah

Sebagaimana ibadah, muamalah juga memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:


1). Bina’uhu ’ala asas al-mabadi‘ al-‘ammah atau al-nusus fi al-mu‘amalah
ijmaliyyah kulliyyah

Artinya bahwa muamalah dibangun di atas prinsip-prinsip universal (al-mabadi’


al-‘ammah), seperti: nilai-nilai keadilan (al-‘adalah), kesetaraan (al-musawah), musyawarah (al-
shura), saling membantu (al-ta‘awun), dan toleransi (al-tasamuh). Dengan basis prinsip-prinsip
tersebut, tercipta hubungan-hubungan sosial yang berkeadilan dan anti ketimpangan. Hal ini
jelas berbeda dengan ibadah yang sifatnya detail dan tegas. Tujuan mengapa muamalah dibangun
di atas dasar-dasar yang umum dan kaidah-kaidah umum, adalah agar para fuqaha’ dapat
menjangkau perkembangan peradaban manusia dengan dasar-dasar tersebut. Teks-teks yang
mengatur persoalan muamalah bersifat global-universal dan berupa prinsip-prinsip dasar. Kondisi
seperti ini bukannya tanpa disengaja oleh Shai‘ (Allah dan rasul-Nya). Shari‘ sengaja memberi
aturan demikian agar ajaran muamalah dapat bergerak dinamis di dalam merespons aneka
persoalan hukum yang terus berkembang di tengah masyarakat.

Dalam permasalahan zakat, dalil-dalil Al-Qur’an yang menerangkan tentang zakat


seluruhnya bersifat umum. Semisal, di dalam surah al-Baqarah [2] ayat 43 yang menjelaskan tentang
hukum kewajiban zakat.

‫هو ار كِ وآت وِاالز كاة ق يم وِاالصَ لة ع وِام عِ الر اك ع ين وأ‬

“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.”

2). Al-Asl fi al-mu‘amalat al-iltifat ila al-ma‘ani

Maksudnya bahwa prinsip muamalah adalah mengutamakan substansi daripada format.


Dalam transaksi jual beli, misalnya, sangat diperhatikan prinsip taradin (suka sama suka) sebagai
substansi. Sedangkan ijab kabul (peryataan verbal) tidak lain adalah format yang memanifestasikan
taradin. Dalam muamalah, dimensi luar bisa berubah sesuai dengan perkembangan peradaban umat
manusia.

3) al-Asl fi al-mu‘amalat al-ibahah

Pada dasarnya muamalah adalah diperbolehkan (al-ibahah). Dalam artian bahwa untuk
membolehkan suatu praktik muamalah tidak diperlukan dalil yang membolehkannya, baik nas Al-
Qur’an maupun nas Hadis, dan secara langsung ataupun tidak yang diperlukan adalah pengetahuan
tentang ketiadaan dalil yang melarangnya.

Senada dengan hal ini adalah kaidah:

‫الم ن ع المع ام ل ق حت ِىي ردَ ل ت ط‬

"Persoalan-persoalan muamalah itu longgar sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya.”

Kaidah ini didasarkan pada beberapa ayat di dalam Al-Qur’an, di antaranya:

‫ص ِلل ك مِ م ِاح رم و ق دِ ف ي كم عل‬

“Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu...” (QS. al-An‘am [6]:
119).

Mafhum ayat ini adalah bahwa segala hal yang tidak dijelaskan secara rinci
keharamannya berarti halal. Akan tetapi, selayaknya bahwa paling tidak praktik muamalah yang
dilakukan memiliki sandaran secara langsung ataupun tidak langsung kepada nas-nas syariat yang
bercorak khusus ataupun umum. Setidaknya seorang juris Islam ketika ia akan menghukumi sebuah
transaksi mengetahui secara detail gambaran dan esensi akad tersebut. Ibn Taimiyyah (w. 1328 M)
mengingatkan bahwa sesungguhnya seluruh transaksi yang dilarang, baik yang termaktub di dalam
Al-Qur’an maupun As-Sunnah—kembali kepada dua hal, yakni: untuk menegakkan keadilan dan
untuk melarang terjadinya kezaliman sekecil apa pun.

Zakat dalam pandangan para ulama merupakan sebuah keniscayaan yang mesti ada pada
setiap kehidupan manusia. Bahkan, bilamana ada ketimpangan sosial antara yang kaya dan yang
miskin, sedangkan syariat belum menurunkan sebuah aturan tentangnya. Apakah yang kaya boleh
membiarkan hal tersebut tanpa memedulikan yang miskin? Jelas kepekaan sosial lebih diprioritaskan
daripada terlebih dahulu menanti datangnya aturan.

4) Bina’uhu ’alamura’at ‘ilal wa al-masalih

Muamalah dibangun atas dasar memperhatikan ‘illat dan maslahah. Jika ibadah bersifat
ta‘abbudi, ghayr ma‘qul al-ma‘na, dan ghayr mu‘allaqah bi al-‘illat, maka muamalah sebaliknya,
yakni bersifat ta‘aqquli (reasonable) atau mu‘allaqah bi al-‘illat. Artinya, muamalah didasarkan pada
‘illat, hikmah, dan maslahah yang dapat dipahami oleh akal sehat manusia.
Al-Shatibi (w. 1388 M) menyebut muamalah dalam kitab al-Muwafaqat-nya dengan tema
al-‘adah dalam ungkapan beliau karena mencakup seluruh lini kehidupan. ‘Illat untuk menunjukkan
apakah transaksi itu diperbolehkan atau tidak adalah dengan metode istiqra’i. Metode ini ditegaskan
oleh al-Shatibi (w. 1388 M) dengan pernyataan bahwa sesunguhnya yang diinginkan oleh Shari‘
adalah merealisasikan maslahah bagi manusia, peradaban juga haruslah berdasarkan kepada adanya
maslahah itu. Jika suatu waktu dijumpai ada transaksi yang dilarang karena tidak mengantarkan
kepada terwujudnya maslahah, namun di waktu yang berbeda ia dapat mengahantarkan kepada
maslahah, maka transaksi tersebut diperbolehkan.

5) al-Jam‘ bayn al-thabat wa al-murunah

Pemahamannya bahwa muamalah memadukan antara ketegasan dan kelenturan. Dalam


muamalah ada bagian yang tidak bisa berubah dan bagian yang bisa berubah. Ada dua bagian
muamalah yang tidak dapat berubah. Pertama, prinsip-prinsip dasar muamalah, seperti al-taradin,
kejujuran, bebas dari praktik monopoli, dan riba. Kedua, yang menyangkut maqasid al-shari‘ah
(tujuan pensyariatan muamalah). Sedangkan yang dapat berubah sejalan dengan perubahan situasi
(al-ahwal) dan kondisi (al-zuruf) adalah yang berkaitan dengan format dan teknik operasional dalam
menjalankan muamalah.

Di sini berlaku kaidah berikut:

‫ر و الثب ات ف ف ِيالف و الم ر ون ة اص د المق ص و ل و ِيال الو سائ ل ع و‬

“Konstan dalam hal prinsip dan tujuan. Lentur dalam persoalan cabang dan media (sarana) mencapai
tujuan.”

Bagi seorang ekonom muslim haruslah mengetahui mana yang thabat mana yang
murunah, agar ia tidak terjebak ke dalam akad-akad yang menjadi keniscayan namun bertentangan
dengan syariat. Semisal, uang yang ditarik setiap bulan oleh bank konvensional sebagai iuran
bulanan, transaksi semisal ini merupakan riba dan tidak boleh dihalalkan, karena riba tetap riba di
mana pun, kapan pun dan dengan term apa pun.

6) al-‘Ibrah fi al-mu‘amalah ma fi nafs al-amr

Dalam permasalahan ibadah yang menjadi pertimbangan adalah praduga orang yang
bersangkutan dan berdasarkan kenyataan yang sedang terjadi. Namun, dalam muamalah yang
dipertimbangkan hanyalah apa yang ada pada kenyataan. Ini merupakan implikasi dari prinsip
muamalah yang lainnya, yakni:
‫ىِ المع ان ي” ت ف اتِ إل تِ اإلل ص لِ ف ىِ المع اَم ل ال‬

“yang menyebabkan ketidakbolehan berpraduga dalam bermuamalah dan hanya didasarkan pada
kenyataannya.

Pengaplikasian kaidah ini mencakup seluruh dimensi muamalah, baik yang mu‘a>wad}ah
maupun tabarru‘at. Karena itu, jika ada yang menjual sesuatu dan menduga dirinya punya hak
atasnya, lalu ia sadar bahwa ternyata itu bukan miliknya, maka akadnya menjadi tidak sah. Begitu
pula sebaliknya, jika ia menjual sesuatu dan menduga bahwa itu bukan miliknya, kemudian jelas itu
ternyata miliknya, maka akad jual belinya sah.

d. Pembagian Transaksi (‘Uqud)

Akad dalam bahasa Arab berarti ikatan (pengencangan dan penguatan) antara beberapa
pihak dalam hal tertentu, baik ikatan itu bersifat konkret maupun abstrak, dan dari satu sisi maupun
dari dua sisi. Dalam kitab Misbah al-Munir dan kitab-kitab bahasa lainnya disebutkan: ‘aqada al-‘ahd
(mengikat perjanjian); fa‘aqada (lalu ia terikat). Dalam sebuah kalimat, misalnya: ‘aqada al-niyyah
wa al-‘azm ‘ala shay’ (berniat dan bertekad untuk melakukan sesuatu); wa ‘aqada al-yamin (dan
mengikat sumpah); maksudnya adalah mengikat antara kehendak dan realisasi atas apa yang telah
dikomitmenkan.

Pengertian secara bahasa di atas tercakup ke dalam pengertian secara istilah untuk kata-
kata akad. Menurut fuqaha’, akad memiliki dua pengertian (pengertian umum dan pengertian
khusus). Pengertian umum lebih dekat dengan pengertian secara bahasa dan pengertian ini yang
tersebar di kalangan fuqaha’ Malikiyyah, Shafi‘iyyah, dan Hanabilah. Yakni, setiap sesuatu yang
ditekadkan oleh seseorang untuk melakukannya, baik yang muncul atas kehendak sendiri (seperti:
wakaf, ibra’ atau pengguguran hak, talak, dan sumpah) maupun yang muncul atas dasar saling
membutuhkan (seperti: jual beli dan sewamenyewa). Adapun pengertian khusus yang dimaksudkan
di sini ketika membicarakan tentang teori akad adalah hubungan antara ijab kabul terhadap objek
(tarattubu athar al-‘uqud).

Adapun al-‘aqad menurut bahasa berarti ikatan, lawan katanya al-hall yang artinya
pelepasan atau pembubaran. Mayoritas fuqaha’ mengartikannya sebagai gabungan ijab dan kabul,
dan koneksi antara keduanya yang sedemikan rupa sehingga terciptalah makna atau tujuan yang
diinginkan dengan akibat-akibat nyatanya. Dengan demikian, akad adalah suatu perbuatan untuk
menciptakan apa yang diinginkan oleh kedua belah pihak yang melakukan ijab dan kabul.

Mustafa al-Zarqa (w. 1999 M), tokoh fikih Yordania asal Suriah, menyatakan bahwa
tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk, yaitu tindakan berupa perbuatan
dan tindakan berbentuk perkataan. Tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua, bersifat akad
dan yang tidak. Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi bilamana dua atau beberapa
pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Adapun tindakan berupa perkataan yang
tidak bersifat akad terbagi lagi ke dalam dua macam.

1) Yang mengandung kehendak pemilih untuk menetapkan atau melimpahkan hak, dan membatalkan
atau menggugurkannya, seperti: wakaf, hibah, dan talak.

2) Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau menggugurkan suatu hak, tetapi
perkataannya itu memunculkan suatu tindakan hukum, seperti: gugatan yang diajukan kepada hakim
dan pengakuan seseorang di depan hakim. 51

Berdasarkan pembagian tindakan hukum manusia menurut Mustafa al-Zarqa (w. 1999 M)
suatu tindakan hukum lebih umum daripada akad. Setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum
dari dua pihak atau lebih, tetapi tidak setiap tindakan hukum dapat disebut sebagai akad. 52 Menurut
al-Zarqa (w. 1999 M) dalam pandangan shara‘, suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang
dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri.
Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri tersebut sifatnya tersembunyi di dalam
hati. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu
pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut dengan ijab dan kabul. Ijab adalah
pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang mengandung keinginan secara
pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan kabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang
menunjukkan persetujuan untuk mengikatkan diri.53 Sementara itu, ikatan dan perjanjian dalam
konteks muamalah dapat disebut dengan akad. Kata akad berasal dari bahasa Arab, yakni: al-‘aqd
yang bentuk pluralnya adalah al-‘uqud yang mempunyai arti:

1) Mengikat (al-rabit), yaitu mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang
lain sehingga bersambung, lalu keduanya menjadi sepotong benda.
2) Sambungan (al-‘aqd), yaitu sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.
3) Janji (al-‘ahd), sebagaimana firman Allah swt. dalam surah Ali Imran [3] ayat 76; “(Bukan
demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)-Nya dan bertakwa. Maka
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” 54 Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa pengertian akad mencakup perjanjian (al-‘ahd), persetujuan dua perjanjian atau
lebih, dan perserikatan (al-‘aqd).55 Dalam akad pada dasarnya yang dititikberatkan adalah
kesepakatan antara kedua belah pihak yang ditandai dengan ijab kabul. Dengan demikian, ijab kabul
adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak
berdasarkan shara‘. Karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat
dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada kerelaan dan
ketentuan syariat Islam.56 1) Rukun-rukun Akad Terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha>’
berkenaan dengan rukun akad. Jika menurut jumhur fuqaha>’ bahwa rukun akad itu terdiri atas: a)
‘Ad ‘alayh (barang atau jasa yang diakadkan) c) Maud}u>‘ al-‘aqd (tujuan pokok dalam melakukan
akad) d) S}i>ghah al-‘aqd (ijab dan kabul). 57 Hal ini didasarkan kepada definisi rukun yang
menurut jumhur merupakan sesuatu yang keberadaan sesuatu yang lain bergantung kepadanya,
meskipun ia bukan bagian dari hakikatnya.

Anda mungkin juga menyukai