Anda di halaman 1dari 13

SUMBER HUKUM ISLAM

MAKALAH

Ditulis untuk memenuhi sebagian tugas Mata Kuliah

Pengantar Studi Hukum Islam

Oleh

KELOMPOK 3

SILVI OKTARI (2316010179)

MUTMAINAH AZMI (2316010191)

AFLAH AVANDI (2316010078)

Kelas Eksya F

Dosen Pengampu

Dr. Anton Akbar, M.Ag

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN IMAM BONJOL PADANG
2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang ‘Sumber
Hukum Islam’ ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga
berterima kasih kepada Bapak Dr. Anton Akbar, M.Ag selaku Dosen mata kuliah Pengantar Studi
Hukum Islam yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita tentang sumber hukum islam. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Padang, 23 Februari 2024

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH................................................................................ 1


B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................... 2
C. TUJUAN PENULIS....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 3

A. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam................................................................. 3


1. AL-QUR’AN............................................................................................................ 3
2. AS-SUNNAH........................................................................................................... 4
3. Ijma’.......................................................................................................................... 4
4. Qiyas......................................................................................................................... 5
B. Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam........................................................................ 5
1. Pengertian Hadits...................................................................................................... 5
2. Kududukan Hadits Sebagai Hukum Islam................................................................ 6
3. Fungsi Hadits Terhadap Ai-qur’an............................................................................ 6
C. Ijtihad Sebagai Upaya Memahami Al-qur’an Dan Hadits ...................................... 7
1. Pengertian Ijtihad...................................................................................................... 7
2. Syarat-Syarat Berijtihad............................................................................................ 7
3. Kedudukan Ijtihad.................................................................................................... 7
4. Bentuk-Bentuk Ijtihad Ijtihad................................................................................... 8
5. Qiyas......................................................................................................................... 8
6. Maslahah mursaliah.................................................................................................. 8

BAB III PENUTUP................................................................................................................... 9

A. KESIMPULAN......................................................................................................... 9
B. SARAN..................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Sumber hukum dalam agama Islam yang paling utama dan pokok dalam
menetapkan hukum dan memecah masalah dalam mencari suatu jawaban adalah al-
Qur’an dan al-Hadis. Sebagai sumber paling utama dalam Islam, alQur`an merupakan
sumber pokok dalam berbagai hukum Islam. Al-Qur’an sebagai sumber hukum isinya
merupakan susunan hukum yang sudah lengkap. Selain itu juga al-Qur`an memberikan
tuntunan bagi manusia mengenai apa-apa yang seharusnya ia perbuat dan ia tinggalkan
dalam kehidupan kesehariannya.4 Sedangkan al-Hadis merupakan sumber hukum yang
kedua setelah al-Qur’an. Disamping sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung
terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah Saw, juga karena fungsinya sebagai
penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al-Qur’an mujmal, mutlak, amm dan
sebagainya.
Al-Qur’an merupakan hidayah Allah yang melengkapi segala aspek kehidupan
manusia. Sumber paling utama dalam Islam adalah al-Qur’an, yang merupakan sumber
pokok bagi aqidah, ibadah, etika, dan hukum. al-Qur’an merupakan sumber primer
karena tidak lepas dari apa yang dikandung oleh alQur’an itu sendiri. Di dalam al-Qur’an
sendiri di jelaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan segala kebutuhan manusia demi
kelangsungan hidupnya. Meskipun al-Qur’an itu bukanlah ilmu pengetahuan dan bukan
pula ilmu filsafat.8 Tetapi didalamnya terkandung pembicaraan-pembicaraan yang penuh
isyarat untuk ilmu pengetahuan dan ilmu kefilsafatan. Sejak pertama kali di turunkan, al-
Qur’an telah merubah arah dan paradigma bangsa Arab dan manusia pada umumnya.
Berbagai sisi kehidupan manusia mengalami pergeseran arah yang lebih baik dengan
hadirnya al-Qur’an. Hal ini merupakan salah satu pengaruh ajaran dan ilmu pengetahuan
yang terkandung dalam alQur’an. Sementara itu, ada yang mengatakan bahwa semua
ilmu dan pengetahuan yang ada di dunia dan akhirat sudah terangkum semua di dalam al-
Qur’an.
Dalam al-Qur’an Allah Swt. berfirman, “… barangsiapa tidak memutuskan
dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Q.S. al-
Ma’idah/5:44). Ayat tersebut mendorong manusia, terutama orang-orang yang beriman
agar menjadikan al-Qur’an sebagai sumber hukum dalam memutuskan suatu perkara,
sehingga siapa pun yang tidak menjadikannya sebagai sumber hukum untuk memutuskan
perkara, maka manusia dianggap tidak beriman. Hukum-hukum Allah Swt. yang
tercantum di dalam al-Qur’an sesungguhnya dimaksudkan untuk kemaslahatan dan
kepentingan hidup manusia itu sendiri. Allah Swt. sebagai Pencipta manusia dan alam
semesta Maha Mengetahui terhadap apa yang diperlukan agar manusia hidup damai,
aman, dan sentosa.

iv
B. Rumusan masalasah
1. Bagaimana kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam
2. Bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber hukum islam
3. Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai upaya dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits
C. Tujuan penulis
Tujuan kami menulis makalah ini untuk sebagai sarana pembelajaran
untuk lebihmemahami sumber-sumber hukum islam.Melalui makalah ini
diharapkan dapat menjadi penambah wawasan agar lebih mengetahui apa saja sumber
hukum islam itu. Selain itu penulisan makalah ini ditujukan pula untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pegantar Studi Hukum Islam.

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam


Definisi sumber menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah asal sesuatu. Sumber
hukum Islam adalah asal tempat pengambilan hukum Islam. Dalam kepustakaan hukum Islam,
sumber hukum Islam sering diartikan dengan dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau
dasar hukum Islam.

Kata “sumber” dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk AlQur’an dan sunah, karena
memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’ tetapi tidak mungkin
kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena keduanya bukanlah wadah yang dapat ditimba
norma hukum. Ijma’ dan qiyas itu, keduanya adalah cara dalam menemukan hukum. Kata “dalil‟
dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, juga dapat digunakan untuk ijma dan qiyas, karena
memang semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah.

1. Al-qur’an

Kata Al-Quran dalam kamus bahasa Arab berasal dari kata Qara’a artinya membaca. Bentuk
mashdarnya artinya bacaan dan apa yang tertulis padanya. Secara istilah Al-Qur’an adalah
Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab,
yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, bila membacanya mengandung nilai ibadah,
dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Al-Qur’an adalah
(Kalamullah) yang diturunkan kepada Rasulullah tertulis dalam mushhaf, ditukil dari Rasulullah
secara mutawatir dengan tidak diragukan. Adapun hukum-hukum yang terkandung dalam Al-
Qur’an, meliputi:

a. Hukum-hukum I’tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan


kepada Allah swt, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul Allah dan kepada
hari akhirat.
b. Hukum-hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan manusia wajib
berakhlak yang baik dan menjauhi prilaku yang buruk.
c. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan
manusia. Hukum amaliyah ini ada dua; mengenai Ibadah dan mengenai muamalah
dalam arti yang luas. Hukum dalam Alqur’an yang berkaitan dengan bidang ibadah
dan bidang. al-Ahwal al-Syakhsyiyah/ihwal perorangan atau keluarga, disebut lebih
terperinci dibanding dengan bidangbidang hukum yang lainnya.

Abdoerraoef menyebutkan bahwa Al-Quran sebagai sumber hukum datang tidak untuk
menghapuskan semua hukum yang telah ada dalam kitab sebelumnya. Selama aturan tersebut
sesuai dan tidak bertentangan dengan norma-norma dalam al-Quran. Bahkan terdapat beberapa

vi
hukum umat terdahulu yang juga diakui oleh al-Quran sebagai hukum yang juga harus dijadikan
pedoman oleh umat manusia saat ini.

2. As-Sunnah

Menurut bahasa kata as-sunnah berarti alan atau tuntunan, baik yang terpuji atau tercela,
Sunnah lebih umum disebut hadits yang mempunyai beberapa arti: dekat, baru, berita. Secara
terminologi, para ahli hadits mengartikan sunah/hadits sebagai segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi Muhammad saw. dalam bentuk qaul (ucapan), fi'il (perbuatan), taqrir, sifat (perangai),
dan sopan santun ataupun sepak terjang perjuangannya, baik sebelum maupun setelah
diangkatnya jadi Rasul.

Para fukaha memberikan definisi Sunah sebagai “Sesuatu yang dituntut oleh pembuat syara'
untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak pasti.”. Dengan kata lain, sunah adalah suatu
perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Sunah
sebagai dasar hukum (dalil) menduduki urutan kedua setelah al-Quran. Sunah juga bisa menjadi
hujjah, sumber hukum dan menjadi tempat mengistinbatkan hukum syara’ karena didasarkan
pada beberapa dalil. Adapun hubungan Al-Sunnah dengan Al-Qur’an dilihat dari sisi materi
hukum yang terkandung di dalamnya sebagai berikut :

a. Muaqqid yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan AlQur’an
dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Al-Sunnah, misalnya tentang Shalat, zakat terdapat
dalam Al-Qur’an dan dikuatkan oleh Al-sunnah.
b. Bayan yaitu al-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas,
dalam hal ini ada empat hal :
1) Memberikan perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal,
misalnya perintah shalat dalam Al-Qur’an yang mujmal, diperjelas dengan
Sunnah demikian juga tentang zakat, haji dan shaum.
2) Membatasi kemutlakan (taqyid al-muthlaq) Misalnya: Al-Qur’an memerintahkan
untuk berwasiat, dengan tidak dibatasi berapa jumlahnya kemudian Al-Sunnah
membatasinya.
3) Mentakhshishkan keumuman, Misalnya: Al-Qur’an mengharamkan tentang
bangkai, darah dan daging babi, kemudian Al-Sunnah mengkhususkan dengan
memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa.
4) Menciptakan hukum baru. Rasulullah melarang untuk binatang buas dan yang
bertaring kuat, dan burung yang berkuku kuat, dimana hal ini tidak disebutkan
dalam Al-Qur'an.
3. Ijma’

Ijma menurut bahasa dan istilah dijelaskan dalam arti bahasa yang mempunyai dua arti, yang
pertama adalah berusaha dan bertekad terhadap sesuatu. Sedangkan yang kedua artinya
kesepakatan. Ijma’ itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah semua mujtahid

vii
muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah
masa Nabi”, karena selama Nabi masih hidup, Al-Qur'an-lah yang akan menjawab persoalan
hukum karena ayat Al-Qur’an kemungkinan masih turun dan Nabi sendiri sebagai tempat
bertanya tentang hukum syara’, sehingga tidak diperlukan adanya ijma. Ijma’ itu berlaku dalam
setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada masa itu, dan bukan berarti kesepakatan
mujtahid semua masa sampai hari kiamat.

Disebutkan secara jelas dalam definisi ini “hukum syara’” mengandung arti bahwa
kesepakatan itu hanya terbatas dalam masalah hukum amaliah dan tidak menjangkau kepada
masalah akidah. Dalam definisi ini juga ditentukan kepada hukum yang terjadi, namun tidak
tertutup kemungkinan kesepakatan itu berlaku terhadap hukum yang masalahnya belum terjadi,
baik dalam bentuk hukum isbat atau hukum nafi.

4. Qiyas

Secara etimologis, kata “qiyas” artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang
semisalnya. Tentang arti qiyas menurut terminologi (istilah hukum), terdapat beberapa definisi
berbeda yang saling berdekatan artinya. Sebagian besar ulama telah menetapkan qiyas sebagai
hujah bagi hukum syara’, kehujjahan qiyas telah dikuatkan oleh dalil Alquran dan hadis
Rasulullah. Imam al-Syaukani menyatakan bahwa qiyas yang dapat dipakai adalah:

a. Qiyas yang ada nash terhadap ‘illatnya.


b. Qiyas yang dengan pasti dinyatakan tidak adanya hal-hal yang berbeda.
c. Apa yang disebut dengan qiyas awlawiy atau qiyas musawiy, yang sebenarnya adalah
mafhum muwafaqah

B. Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam

1. Pengertian Hadits

Secara bahasa, hadis berarti perkataan atau ucapan. Sedangkan menurut istilah, hadis adalah
segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (takrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.
Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis dengan
sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala
apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam.

Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang
saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain sebagai berikut.

a. Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah saw.
sampai kepada kita sekarang ini.

b. Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw.

c. Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis.

viii
2. Kududukan Hadits Sebagai Hukum Islam

Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-Qur’an. Artinya, jika
sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-Qur’an, yang harus 5 dijadikan sandaran
berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: “… dan apa-apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apaapa yang dilarangnya, maka
tinggalkanlah.” (Q.S. al-Ḥasyr/59:7) Demikian pula firman Allah Swt. dalam ayat yang lain:
“Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah Swt. Dan
barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk
menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisa’/4:80)

3. Fungsi Hadits Terhadap Ai-qur’an

Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang
diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur’an kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi
untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.

Fungsi hadis terhadap al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai berikut.

a. Menjelaskan ayat-ayat al-qur’an yang masih bersifat umum Contohnya adalah ayat al-
Qur’an yang memerintahkan salat. Perintah salat dalam al-Qur’an masih bersifat umum sehingga
diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. tentang salat, baik tentang tata caranya maupun
jumlah bilangan rakaatnya. Untuk menjelaskan perintah salat tersebut, misalnya keluarlah sebuah
hadis yang berbunyi, “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat”. (H.R. Bukhari).

b. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-qur’an Seperti dalam al-qur’an erdapat ayat
yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!” Kemudian
ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi, “… berpuasalah karena melihat bulan
dan berbukalah karena melihatnya …” (H.R. Bukhari dan Muslim)

c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-qur’an Misal, dalam surat at-
Taubah ayat 34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak
membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!” Ayat
ini dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali supaya
menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)

d. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-qur’an Maksudnya adalah bahwa
jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’an, diambil dari hadis yang sesuai.
Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya.
Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw.: Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah
saw. bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang
perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan
dari ibunya.” (H.R. Bukhari)

ix
C. Ijtihad Sebagai Upaya Memahami Al-qur’an Dan Hadits

1. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad berasal bahasa Arab ijtahada – yajtahidu -ijtihadan yang berarti mengerahkan
segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara optimal.
Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh
dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid.

2. Syarat-Syarat Berijtihad

Karena ijtihad sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid,
dimungkinkan hasil ijtihad antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang
dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihad dan menghasilkan
hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan
ijtihad.

a. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.

b. Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh
(sejarah).

c. Memahami cara merumuskan hukum (istinbat).

d. Memiliki keluhuran akhlak mulia.

3. Kedudukan Ijtihad

Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an dan hadis.
Ijtihad dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam alQur’an dan hadis.
Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an
maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi
Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan
memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan
memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’an).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah
engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan
memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau
tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan
mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.”
Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan
Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami) Rasulullah saw. juga
mengatakan bahwa seseorang yang berijtihad sesuai dengan kemampuan dan ilmunya, kemudian
ijtihadnya itu benar, maka ia mendapatkan dua pahala, Jika kemudian ijtihadnya itu salah maka
ia mendapatkan satu pahala. Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis: “Dari Amr bin As,

x
sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan
suatu persoalan, ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia
berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan
Muslim).

4. Bentuk-Bentuk Ijtihad Ijtihad

Sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam
beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.

a.Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau hukum.
Contoh ijma’ di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang
berbentuk lembaran-lembaran terpisah menjadi sebuah mushaf al-Qur’an yang seperti kita
saksikan sekarang ini.

b.Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-
Qur’an atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’an dan hadis karena
kesamaan sifat atau karakternya. Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras
selain khamar seperti Brandy, Wisky, Topi Miring, Vodka, dan narkoba karena memiliki
kesamaan sifat dan karakter dengan khamar, yaitu memabukkan. Khamar dalam al-Qur’an
diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk)
berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah (perbuatan perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90)

c.Maslahah mursaliah
Maslahah mursaliah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemanfaatan suatu
perbuatan dan tujuan hakiki dan universal terhadap syariat Islam. Misalkan, seseorang wajib
mengganti atau membayar kerugian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di
luar kesepakatan yang telah ditetapkan

xi
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Qur’an adalah kalam Allah Swt. (wahyu) yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril dan diajarkan kepada umatnya, dan
membacanya merupakan ibadah. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama selain sebagai
kitab suci. Oleh karena itu, semua ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh
bertentangan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.
Hadis atau sunnah adalah segala ucapan atau perkataan, perbuatan, serta ketetapan
(takrir) Nabi Muhammad saw. yang terlepas dari hawa nafsu dan perkara-perkara
tercela. Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Dengan demikian,
hadis memiliki fungsi yang sangat penting dalam hukum Islam. Di antara fungsi hadis,
yaitu untuk menegaskan ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’an, menjelaskan ayat al-
Qur’an (bayan tafsir), dan menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum (bayan
takhsis).
Ijtihad artinya bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan.
Ijtihad, yaitu upaya sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan akal untuk
mendapatkan hukum-hukum syariat pada masalah-masalah yang tidak ada nashnya.
Ijtihad dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’
atau ketentuan hukum yang bersifat operasional dengan mengambil kesimpulan dari
prinsip dan aturan yang telah ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.

B. Saran
Merealisasikan dan menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan akan
membawa manfaat besar bagi manusia. Semua aturan atau hukum yang bersumber dari
Allah Swt. dan Rasul-Nya merupakan suatu aturan yang dapat membawa kemaslahatan
hidup di dunia dan akhirat.

xii
DAFTAR PUSTAKA

NUR, Saifudin. Ilmu Fiqih: Suatu Pengantar Komprehensif Kepada Hukum Islam. Tafakur,
2007.

ROHIDIN, S. H. BUKU AJAR PENGANTAR HUKUM ISLAM: Dari Semenanjung Arabia


hingga Indonesia. Lintang Rasi Aksara Books, 2017.

SYARIFUDIN, H. Amir. Ushul Fiqih Jilid I. Prenada Media, 2014.

xiii

Anda mungkin juga menyukai