Anda di halaman 1dari 32

SUMBER AJARAN ISLAM (AL-QUR’AN)

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Salah Satu UAS Mata Kuliah Pengantar Studi Islam Pada
Program Sudi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam Semster 1 Kelompok 5

Oleh:
Kelompok 2
Henra
NIM: 602022022117

Sakriani
NIM: 602022022125

A. Wiqra Wiratama
NIM: 602022022126

Tita Amanda
NIM: 602022022130

Asniar
NIM: 602022022132

Tiara Putri Rahayu


NIM: 602022022138

Dosen Pemandu
Baharuddin, S.Pd.,M.Pd.

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dn syukur kami panjatkan kehairat Tuhan Yang Maha Esa, Karena limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semogah tercurahkan Kepada Nabi Muhammad SAW yang senantiasa
membawa kita Kepada jalan yan baik bagi Allah SWT.

Atas Rahmat Allah SWT kami dapat menyelesaikan dengan judul “ Sumber Ajaran Islam
(Al-Qur’an )” sebagai bentuk pemenuhan tugas UAS dari mata kuliah Pengantar Studi Islam.

Terimakasih kepada berbagai pihak atas bantuan, dorongan serta arahan sehingga kami
dapat menyelesikan makalah ini ssuai dengan tenggat waktu pengumpulan. Kami sadar akan
kekurangan dari pembuatan makalah ini sehingga kritik dan saran terbuka bagi kami dan besar
harapan kami, makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.

Watampone, 13 januari 2023

Penyusun

(Kelompok 2)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................II

DAFTAR ISI...........................................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................2
C. Tujuan Penulis............................................................................................................. 2
......................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................3

A. Pengertian Makiyah dan Madaniyah........................................................................... 3


B. Dasar-dasar penetapan makiyah dan madaniyah........................................................4
C. Ciri-ciri makiyah dan madaniyah................................................................................5
D. Qahi dan Zhannih.........................................................................................................6
E. Contoh Ayat Qathi dan Zanni ................................................................................... 8
......................................................................................................................................
F. Pandangan Para Ulama Tentang Konsep Qath’I Dan Zhannih..................................8
G. Contoh Ayat Qat’hi Dan Zhanih.................................................................................12
H. Tafsir Dan Terjemah Al-Qur’an..................................................................................14
I. Makna Tafsir dalam Pandangan Mufasir.....................................................................15

BAB III PENUTUP................................................................................................................17

A. Kesimpulan..................................................................................................................17
B. Saran.............................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

SUMBER - SUMBER
AJARAN ISLAM
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber Hukum Islam adalah
wahyu dari Allah SWT. Yang
dituangkan dalam Al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW. Al qur’an adalah sebuah
pijakan bagi
manusi secara keseluruhan, baik
dari segi ibadah muamalah,
maupun hukum-
1
hukum yang lainnya.
Mengenai pengertian al quran
cukup banyak dan berbeda-beda
dalam
pengungkapan dari Al-Qur’an
ada yang berpendapat, dengan
membaca al qur’an
adalah sebuah ibadah ada yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah wahyu
yang diturunkan kepada nabi
secara mutawatir, ada pula yang
mengatakan

2
bahwa al- quran adalah sebuah
mu’jizat, dari semua pendapat
diatas pada
prinsipnya adalah sama, yakni
kalamullah yang diturunkan
kepada nabi
Muhammad.1
Dalam kehidupan orang islam
berpegang teguh kepada dua
sumber hukum islam
baik dari secara teks atau kontes
sosial, yakni pada Al-Qur’an
dan hadis hadis

3
disini adalah penyempurna atau
penjelas Al-Qur’an. Tapi sesuai
dengan
perkembangan zaman, banyak
sekali perputaran-perputaran
konteks sosial yang
harus di pertanyakan kepada Al-
Qur’an dan Hadis dari situlah
muncul beberapa
ijtihad ulama untuk
menyelesaikan permasalahan-
permasalahan baru.
Ijtihad dari para ulama begitu
banyak persyaratan yang harus
diketahui oleh
4
seorang mujtahid, sehingga
dapat diklasifikasikan sebuah
ijtihad yang memang
layak dan cocok untuk dijadikan
pijakan dalam segala hal.
Namun selain itu
semua ijtihad yang telah
ditentukan oleh ulama’ haruslah
bersumber dari Al-
Qur’an dan hadis, dengan cara
memlakukan peng-qiyasan dari
beberapa
penjelasan didalam Al Qur’an.
Dari latar belakang diatas dapat
dipastikan
5
beberapa masalah yang akan
menjadi pembahasan dala
Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan Allah SWT untuk menerima wahyu
berupa kitab suci Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.
Kita tentu tahu bahwa kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
terdiri dari 30 juz yang di dalamnya terdiri dari surat Makkiyah dan Madaniyyah.
Surah makkiyah dan madaniyyah pastilah ada perbedaan-perbedaan antara ke duanya.
Untuk itu kita perlu mempelajari lebih dalam perbedaan antara makiyyah dan madaniyyah
agar kita menjadi paham dan mengerti mana yang tergolong kedalam ayat makiyyah atau
tergolong kedalam surat madaniyyah.
Sehingga kita akan menjadi lebih khusyuk dalam membaca dan mengamalkan isi kitab
suci Al-Qur’an, serta semoga kita menjadi hamba Allah SWT yang senantiasa berada dalam
lindungan, inayah, dan syafa’at nya.
Dalam bab Ilmu Makkiyh dan Madaniyah ini, kami akan menjelaskan pengertian
Makki dan Madani, perbedaan Makkiyah dan Madaniyah, tanda-tanda keduanya dan macam-
macam surah-surah Makiyyah dan Madaniyah serta signifikasi mengetahui Makkiyah dan
Madaniyah.
Al-qur’an adalah kitab samawi yang terakhir di turunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW untuk mengeluarkan manusia dari gelapan sampai saat ini yang begitu
terang benderang, melalui perantara Jibri, berisi pedoman dan petumjuk kepada umat
manusia, agar manusia dapat memperoleh kehidupan yang Bahagia di dunia maupun di
akhirat.
Sebagai kitab samawi yang merupakan kalam Allah, tidak terdapat perbedaan di
kalangan umat islam menyangkut kebenaran sumbernya. Dalam kajian terhadap al-qur’an, ada
dua hal penting uamg mutlak diperhatikan, yaitu al tsubt (kebnaran sumber) dan al dalalah
(kandungan makna). Dan sisi al subut al-qur’an tidak ada perbedaan pandangan dikalangan
umat islam tentang kebenaran sumbernya (qath’I tsubut) berasal dari Allah karena sampai
kepada umat islam secara mutawatir sehingga memfaedahkan yain.

6
Adapun tafsir merupakan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Ia
merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasannya dan tujuannya, serta sangat
dibutuhkan bagi umat islam dalam mengetahui makna dari al-qur’an sepanjang zaman. Tanpa
tafsir seorang muslim tidak dapat menangkaap Mutiara-mutiara berharga dari ajaran ilahi
yang terkandung dalam al-qur’an.

SUMBER - SUMBER
AJARAN ISLAM
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber Hukum Islam adalah
wahyu dari Allah SWT. Yang
dituangkan dalam Al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW. Al qur’an adalah sebuah
pijakan bagi

7
manusi secara keseluruhan,
baik dari segi ibadah
muamalah, maupun hukum-
hukum yang lainnya.
Mengenai pengertian al quran
cukup banyak dan berbeda-
beda dalam
pengungkapan dari Al-Qur’an
ada yang berpendapat, dengan
membaca al qur’an
adalah sebuah ibadah ada yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah wahyu

8
yang diturunkan kepada nabi
secara mutawatir, ada pula
yang mengatakan
bahwa al- quran adalah sebuah
mu’jizat, dari semua pendapat
diatas pada
prinsipnya adalah sama, yakni
kalamullah yang diturunkan
kepada nabi
Muhammad.1
Dalam kehidupan orang islam
berpegang teguh kepada dua
sumber hukum islam

9
baik dari secara teks atau
kontes sosial, yakni pada Al-
Qur’an dan hadis hadis
disini adalah penyempurna
atau penjelas Al-Qur’an. Tapi
sesuai dengan
perkembangan zaman, banyak
sekali perputaran-perputaran
konteks sosial yang
harus di pertanyakan kepada
Al-Qur’an dan Hadis dari
situlah muncul beberapa
ijtihad ulama untuk
menyelesaikan permasalahan-
permasalahan baru.
10
Ijtihad dari para ulama begitu
banyak persyaratan yang harus
diketahui oleh
seorang mujtahid, sehingga
dapat diklasifikasikan sebuah
ijtihad yang memang
layak dan cocok untuk
dijadikan pijakan dalam segala
hal. Namun selain itu
semua ijtihad yang telah
ditentukan oleh ulama’
haruslah bersumber dari Al-
Qur’an dan hadis, dengan cara
memlakukan peng-qiyasan dari
beberapa
11
penjelasan didalam Al Qur’an.
Dari latar belakang diatas
dapat dipastikan
beberapa masalah yang akan
menjadi pembahasan dala
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana mengetahui apa itu makiyah dan madaniyah ?


2. Bagaimana mengetahui qat’hi dan dzanni ?
3. Bagaimana mengetahui pebedaan tafsir dan terjemahan ?

B.TujuanPenulisan
1.Untukmenjelaskantentangpengertian Al-Qur’an.
2.Untukmemaparkantentang Al-Qur’an sebagaisumberhukum Islam
3.Untukmenerangkantentangpendapat yang dikemukakan oleh Imam
Madzhab
B.TujuanPenulisan
1.Untukmenjelaskantentangpengertian Al-Qur’an.
2.Untukmemaparkantentang Al-Qur’an sebagaisumberhukum Islam
3.Untukmenerangkantentangpendapat yang dikemukakan oleh Imam
Madzhab
B.TujuanPenulisan
1.Untukmenjelaskantentangpengertian Al-Qur’an.
2.Untukmemaparkantentang Al-Qur’an sebagaisumberhukum Islam
3.Untukmenerangkantentangpendapat yang dikemukakan oleh Imam
Madzhab
B.TujuanPenulisan
1.Untukmenjelaskantentangpengertian Al-Qur’an.
2.Untukmemaparkantentang Al-Qur’an sebagaisumberhukum Islam
3.Untukmenerangkantentangpendapat yang dikemukakan oleh Imam
Madzhab
B.TujuanPenulisan
1.Untukmenjelaskantentangpengertian Al-Qur’an.
2.Untukmemaparkantentang Al-Qur’an sebagaisumberhukum Islam
3.Untukmenerangkantentangpendapat yang dikemukakan oleh Imam
Madzhab

12
B.TujuanPenulisan
1.Untukmenjelaskantentangpengertian Al-Qur’an.
2.Untukmemaparkantentang Al-Qur’an sebagaisumberhukum Islam
3.Untukmenerangkantentangpendapat yang dikemukakan oleh Imam
Madzhab
B.TujuanPenulisan
1.Untukmenjelaskantentangpengertian Al-Qur’an.
2.Untukmemaparkantentang Al-Qur’an sebagaisumberhukum Islam
3.Untukmenerangkantentangpendapat yang dikemukakan oleh Imam
Madzhab
B.TujuanPenulisan
1.Untukmenjelaskantentangpengertian Al-Qur’an.
2.Untukmemaparkantentang Al-Qur’an sebagaisumberhukum Islam
3.Untukmenerangkantentangpendapat yang dikemukakan oleh Imam
Madzhab
B.TujuanPenulisan
1.Untukmenjelaskantentangpengertian Al-Qur’an.
2.Untukmemaparkantentang Al-Qur’an sebagaisumberhukum Islam
3.Untukmenerangkantentangpendapat yang dikemukakan oleh Imam
Madzhab
B.TujuanPenulisan
1.Untukmenjelaskantentangpengertian Al-Qur’an.
2.Untukmemaparkantentang Al-Qur’an sebagaisumberhukum Islam
3.Untukmenerangkantentangpendapat yang dikemukakan oleh Imam
Madzhab
B.TujuanPenulisan
1.Untukmenjelaskantentangpengertian Al-Qur’an.
2.Untukmemaparkantentang Al-Qur’an sebagaisumberhukum Islam
3.Untukmenerangkantentangpendapat yang dikemukakan oleh Imam
MadzhaBAB II
C. Tujuan Penulis

1. Untuk memahami makiyah dan madaniyah


2. Untuk memahami qat’hi dan dzanni
3. Untuk mengetahui pebedaan tafsir dan terjemahan

C.

13
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Makiyah dan Madaniyah


Kata makiyah dan madaniyah merupakan penisbatan terhadap kedua nama kota besar di
Saudi arabiyah, yaitu “Makkah dan Madinah”. Secara harfiyah, makiyah berarti yang bersifat
Makkah atau yang berasal dari Makkah, sedangkan madaniyah berarti yang bersifat Madinah
atau yang berasal dari Madinah. Maka surat atau ayat yang turun di Makkah disebut dengan
makiyah dan yang diturunkan di Madinah disebut dengan madaniyah1.
Kata ‫ المكي‬berasal dari ‫ مكة‬dan ‫دني‬NN‫ الم‬berasal dari kata N‫ مدينة‬.Kedua kata tersebut telah
dimasuki “‫“ ي‬nisbah sehingga menjadi “‫دن ية‬NN‫المكي “ ال م‬. atau ‫دني‬NN‫ الم‬dan ‫ المكية‬atau Secara
harfiah, ‫ كي م ال‬atau ‫ ية ك م ال‬berarti “yang bersifat Makkah” atau “yang berasal dari Makkah”,
sedangkan ‫دن ال‬NN‫ ي م‬atau ‫دن ال‬NN‫ة م‬NN‫ ي‬berarti “yang bersifat Madinah” atau “yang berasal dari
Madinah”
Dalam perjalanan sejarah kenabian Nabi Muhammad Saw, beliau tinggal di Mekkah
selama 12 Tahun, 5 Bulan dan 13 hari. Sedangkan di Madinah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari.
Ini terhitung mulai di angkatnya Nabi Muhammad menjadi Rasul. Sehingga beliau
mengemban tugas kerasulan kalua dihitung sejak sebelum hijrah ke Madinah menjadi ±22
tahun 2 bulan 22 hari. Seperti yang pernah dikatakan oleh Syekh Muhammad Hudhary Bey

“Adapun lamanya waktu antara permulaan turun wahyu dengan yang terakhir turun adalah
22 tahun 2 bulan 22 hari. Dalam periode tersebut Rasulullah menerima wahyu melalu
iMalaikat Jibril.”2

Baik selama berada di Mekkah maupun di Madinah dan sekitarnya. Dalam Ilmu Al-
Qur’an, tempat turunya wahyu ini dikenal dengan penggolongan surah Makkiyah dan
Madaniyah Kata Makkiyah dan Madaniyah secara etimologi adalah berasal dari kata ‫مكة‬dan
‫ مدينه‬yang artinya adalah Kota Mekkah dan Madinah. Hanya saja

1 Abdul Hamid, LC.,M.A.,Pengantar studi Al-Qur’an, Cetakan kedua, Kencana, Jakarta,2017, Hal 119
2 Hamzah Muchotob, Study Al Qur’an Komprehensif, Wonosobo, Gama Media, 72

14
Hamzah Muchotob, Study Al Qur’an Komprehensif, Wonosobo,Gama Media , 726
mendapatkan tambahanya sebelum huruf ta sehingga menjadi ‫ مكية‬dan N‫مدنية‬. Perubahan
bentuk ini dalam ilmu shorof dikenal dengan mashdarshina’y. sehingga juga mengalami
perubahan arti menjadi“ bersifat kemekkahan atau bersifat kemadinahan.
Dalam mendefinisikan Makki (Makkiyah) dan Madani (Madaniyah) ada beberapa
teori yang berbeda–beda. Sedikitnya ada 4 teori dalam menentukan kreteria untuk
memisahkan nama bagi ayat makiyah dan madaniyah, yaitu:
1. Teori Geografi (Mulahadhotu Makan Annuzul) Makiyah ialah ayat–ayat yang turun di
mekah dan sekitarnya, baik sebelum atau sesudah hijrah. Sedangkan madaniyah ialah
ayat–ayat yang turun di madinah dan sekitarnya.
2. Teori Subjektif (Mulahadhotu Mukhothobin) Makiyah adalah ayat–ayat yang berisi
khitab atau panggilan kepada penduduk makkah dengan menggunakan kata-kata “yaa
ayyuhan nassu” dan lain–lain. Sedangkan madaiyah adalah ayat-ayat yang berisi
panggilan kepada orang–orang madinah dengan menggunakan kata-kata “yaa
ayyuhalladzi naamanu”.
3. Teori Historis (Mulahadhotu Zaman Annuzul) Makiyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an
yang diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke madinah, meskipun
turunnya ayat diluar kota makkah. Sedangkan madaniyah adalah ayat–ayat Al-Qur’an
yang turun setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah Meskipun turunya di
makkah dan sekirarnya.
4. Teori Content Analysis (Mulahadhotu Maa Tadhomananna) Makkiyah adalah ayat-ayat
yang berisi cerita–cerita umat dan para nabi atau rasul dahulu. Sedangkan madaniyah
adalah ayat-ayat yang berisi hukum hudud, faraid, dan sebagainya 3

B. Dasar-dasar penetapan makiyah dan madaniyah


Para ulama melakukan riset terhadap al-qur’an diantaranya menilite al-qur’an
berdasarkan golongannya. Dalam menentukan apakah surah ini termasuk golongan surah
makiyah atau madaniyah, maka perlu merujuk pada dua hal4
1) Meode sima’y

3 Abdul Jalal, Ulmul Qur’an (Surabaya:Dunia Ilmu,2000), hal 78


4 Ibrahim Muhammad Safi’i, Bashair Al Jinaan Fii Ulum Al Qur’an, (Kuliah Dirasah Islamiyah Universitas Al Azhar),
230.

15
Metode ini di ambil berdasarkan pada riwatayat sahabat dan tabi’in. karena sahabat dan
tabi’in lah yang menjadi saksi turunnya wahyu dan mengetahui secara rinci sejearah
turunnya ayat maupun surah dalam al-qur’an.
2) Metode Qiyas Ijtihady
Adalah sebuah metode yang apabila cara pertama dirasa tdak cukup, maka peneliti al-
qur’an menggunakan metode ini. Sehingga dicapailah penggolongan surah menjadi
makiyyah dan madaniya. Begitu pula dengan surah-surah yang diperdebatkan apakah ia
termasuk makiyyah atau madaniyah.

C. Cara mengetahui perbedaan makiyah dan madaniyah


Para Ulama’ tidak semena-mena dalam berijtihad.Mereka memiliki pijakan yang kuat
untuk dijadikan landasan dalam berijtihad. Khususnya dalam menentukan makkiyah dan
Madaniyah ini, para Ulama’ bersandar kepada dua metode utama:
Cara pertama, didasarkan pada riwayat shahih para Shahabat. Karena mereka hidup di
sekeliling nabi, sehingga mengetahui saat turunnya wahyu. Sebagian besar penetuan
Makkiyah dan Madaniyah melalui metode pertama ini. Qadhi Abu bakar Ibn Thayyib
dalam AlIntishar menegaskan, “pengetahuan tentang surah Makki dan Madani mengacu
pada hafalan para Shahabat dan Tabi’in. Tidak satu keterangan pun yang datang dari nabi
mengenai hal itu, sebab Ia tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu
pengetahuan mengenai sejarah naskh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi
pengetahuan tersebut.
Cara kedua, dengan menggunakan cara analogi atau qiyas.Apabila dalam surah
Makkiyah terdapat satu ayat yang mengandung sifat Madaniyah atau suatu peristiwa
Madaniyah, maka dikatakan bahwa ayat itu Madani. Begitu juga sebaliknya, Jika dalam
surah Madaniyah terdapat suatu kandungan sifat Makkiyah atau berkenaan dengan
peristiwa Makkiyah, Maka dikatakan sebagai surah Makkiyah. Inilah yang disebut qiyas
ijtihad.
Berkaitan dengan qiyas ijtihadi, para Ulama’ mengatakan ‘Setiap surah yang
didalamnya mengandung kisah-kisah nabi danUmat terdahulu, maka surah itu adalah surah
makkiyah. Adapun surah yang didalamnya terdapat kewajiban dan ketentuan, maka surah
itu merupakan surah Madaniyah. Karena itu Ja’bari mengatakan, untuk mengetahui surah

16
itu Makkiyah atau Madaniyah, ada dua cara :Sima’i dan qiyasi. Jadi dapat dipastikan, para
Ulama’ selalu memiliki pola dasar yang dijadikan pijakan untuk menentukan semua ilmu
termasuk Makkiyah dan Madaniyah. Tampaknya baru dua dasar yang dipakai dalam
penentuan Makkiyah dan Madaniyah. Yaitu Sima’i yang bersandar pada pendengaran
riwayatriwayat para Shahabat dan Tabiin, dan Qiyasi yang bersandar pada pola penalaran
yang lurus berdasarkan logika yang sehat.5

D. Ciri-Ciri dan perbedaan Makkiyah dan Madaniyah


Untukmengetahui kekhususan dari surah-surah Makkiyah dan Madaniyah, keduanya
memilikiciri-ciri sebagai berikut :
a. Ciri-ciri Makkiyah berdasarkan Uslubnya
 Setiap surah yang di dalamnya mengandung“ Sajdah” kecuali Surah Al Hajj
 Setiap surah yang mengandung lafadz“ ‫ ” كال‬Di dalam Al Qur’an di sebut kan
sebanyak 33 x dalam 15 Surah.
 Setiap surah yang mengandung lafadz “‫ ” ياايهاالناس‬kecuali Surah Al hajj
 Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu
 Setiap surah yang mengandung kisah Nabi Adam dan Iblis kecuali QS. Al Baqoroh
 Setiap surah yang diawali dengan huruf – huruf muqotho’ah (‫ ٓا ٓلم‬,ٓ ۚ ‫)ق‬
b. Adapun dari segi tema adalah bahwasanya surah surah Makkiyah memiliki kandungan
tema sebagai berikut :
 Ajaka kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah Swt.
 dasar-dasar umum bagi perundang undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar
terbentuknya suatu masyarakat.
 Menyebutkan kisah Nabi dan umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga
mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka
 Suku katanya pendek –pendek serta disertai kata kata yang mengesankan sekali,
pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat
 keras, menggetarkan hati dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat oleh
lafallafal sumpah anNaml, al-Qashas, al-‘Ankabut, ar-Rum, Luqman, as-Sajdah,

5 Prof. Dr.H.Amproeni Drajat,M.Ag,Ulmul Qur’anPengantarIlmu-Ilmu Al Qur’an,Cetakan pertama, Kencana,


Depok,2017, hal 72-73

17
Yasin, Shad, al-Mu’min, Fush-shilat/Hamim as- Dalam al-Qur’an terdapat 29 surat
yang diawali dengan al-ahrufalmuqatha’ah yaitu: al-Baqarah, Ali Imran, al-An’am,
Yunus, Hud, Yusuf, ar-Ra’d, Ibrahim, al-Hijr, Maryam, Thaha, as-Syu’ara, Sajdah,
as-Syura, az Zukhruf, ad-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, Qaf, dan al-Qalam.
Mayoritas para Ulama’ berpendapat tentang bilangan surah Makkiyah, yaitu berjumlah
82 surah :
(1)Al-An’aam. (2) Al-A’raaf. (3) Yunus. (4) Huud. (5) Yusuf. (6) Ibrahim. (7) Al-Hijr. (8) An-
Nahl. (9) Al-Isroo’. (10) Al-Kahfi. (11) Maryam. (12) Thaha. (13) Al-Anbiya’. (14) Al-
Mu’minuun. (15) AlFurqaan. (16) Asy-Syu’aro’. (17) An-Naml. (18) Al-Qashash. (19) Al -
Ankabuut. (20) Ar-Ruum. (21) Luqman. (22) As-Sajdah. (23) Sabaa’. (24) Al-Faathir. (25)
Yaasiin. (26) Ash-Shaffaat. (27) Shaad. (28) AzZumar. (29) Ghaafir. (30) Fushshilat. (31) Asy-
Syuuroo. (32) AzZukhruf. (33) Ad-Dukhoon. (34) Al-Jaatsiyah. (35) Al-Ahqaaf. (36) Qaaf. (37)
Adz-Dzaariyaat. (38) Ath-Thuur. (39) An-Najm. (40) AlQamar (41) Al-Waaqi’ah. (42) Al-Mulk.
(43) Al-Qalam. (44) AlHaaqqah6. (45) Al-Ma’aarij. (46) Nuuh. (47) Al-Jin. (48) AlMuzzammil.
(49) Al-Muddatstsir. (50) Al-Qiyaamah. (51) AlMuraasalaat. (52) An-Naba’. (53) An-Naazi’aat.
(54) Abasa. (55) AtTakwiir. (56) Al-Infithaar,(57) Al-Muthaffifiin,(58) Al-Insyiqaaq, (59) Al-
Buruuj,(60) Ath-Thaariq,(61) Al-A’laa, (62) AlGhaasyiyah,(63) Al-Fajr, (64) Al-Balad,(65) Asy-
Syams,(66) AlLail,(67) Adh-Dhuhaa,(68) Al-’Ashr,(69) At-Tiin, (70) Al-’Alaq,(71) Al-Qadr,
(72) Al-’Aadiyaat,(73) Al-Qaari’ah,(74) At-Takatsur,(75) Al -Ashr (76) ,Al-Humazah,(77) Al-
Fiyl,(78) Quraisy,(79) AlMaa’uun,(80) Al-Kautsar,(81) Al-Kaafiruun,(82) Al Lahab
c. Ciri-ciri Madaniyah surah Madaniyah berdasarkan ushlubnya adalah sebagai berikut :
1) Setiap surah berisi kewajiban atau had (Sanksi)
2) Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik, kecuali (QS. Al
Ankabut)
3) Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.
d. Ciri-ciri surah Madaniyah berdasarkan tema adalah sebagai berikut :
1) Menjelaskan tentang ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad,
hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun perang.
2) Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada
mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan penyimpangan
terhadap kitab-kitab Allah Swt.

6 SYAHADAH: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Keislaman 8 (1), 33-54, 2020

18
3) Menjelaskan tentang perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaan dan
membuka kedok mereka dan menjelaskan bahwasanya ia berbahaya bagi agama.
4) Suku kata dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang
memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
Diantara surah-surah yang tergolong surah madaniyah adalah sebagai berikut :
(1)Al-Baqarah,(2) Ali Imran, (3) An-Nisaa’,(4) Al-Maa`idah, (5) AlAnfaal, (6)
At-Taubah, (7) An-Nuur, (8) Al-Ahzaab,(9) Muhammad,(10) Al-Fat-h ,(11) Al-
Hujuroot, (12) Al-Hadiid,(13) Al-Mujaadalah,(14) AlHasyr,(15) Al-Mumtahanah,
(16) Al-Jumu’ah,(17) AlMunaafiquun,(18) Ath-Thalaaq,(19) At-Tahriim,(20) An-
Nasht
E. Qath’iy Dan Zanni
Secara Bahasa yang dimaksud dengan qath’ia dalah putus, pasti, atau diam. Qath’I dan
Zhanni merupakan salah satu bahasan yang cukup rumit di kalangan Ushuliyun atau ulama
ahli ushul fiqih Ketika mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjahsuatudalil)
atau sumber suatu dalil. Menurut Muhammad Hasim Kamali ,Qath’I secara etimologi
bermakna yang definitive (pasti). Sedangkan Zhanni bermakna yang spekulatif (sangkaan).
Menurut Abdul Wahab Khallaf ,qath’Ia dalah sesuatu yang menunjukan kepada makna
tertentu dari suatu teks (ayat atau hadits). Qath’I tidak mengandung kemungkin anta’wil serta
tidak dapat memaknai selain makna dari teks tersebut.
Sepertifirman Allah SWT:

Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari sharta yang ditinggalkan oleh istri-istri
kamu jika mereka tidak mempunyai anak”.
Penunjukkan makna (al-dalalah) ayat tersebut adalah qath’i, yaitu jelas
dan pasti, sehingga tidak boleh dita’wil dan dipahami selain yang ditunjukkan oleh
ayat tersebut.7
F. Pandangan Para Ulama Tentang Konsep Qath’I Dan Zhanni
Dalam konsep qath’i dan zhanni ini, pandangan ulama dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu kelompok ushuliyyūn klasik dan pemikir kentemporer. Konsep qath’i dan zhanni

7 Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16

19
dalam fikih dan Ushul fikih berlaku dalam kaitannya dengan kemungkinan adanya
perubahan ijtihad dalam suatu kasus hukum tertentu 8. Qath’i dan zhanni dalam Ushul fikih
digunakan untuk menjelaskan teks sumber hukum Islam, baik itu Qur‟an maupun al Hadits
dalam dua hal, yaitu al tsubūt (eksistensi) atau al-wurūd (kedatangan kebenaran sumber),
dan al dalalah (interpretasi). Menurut Safi Hasan Abu Talib yang dimaksud dengan qath’i al-
wurūd atau al-tsubūt adalah nash-nash yang sampai kepada kita secara pasti, tidak diragukan
lagi karena diterima secara mutawatir.
Dalam ha ini, Alquran dari segi keberadaannya adalah qath’i al-wurūd atau altsubūt
karena Alquran itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan
keberadaannya. Sedangkan zhanni al-wurūd atau al-ṣubūt adalah nashnash yang akan
dijadikan sebagai dalil, kepastiannya tidak sampai ketingkat qath’i. Safi Hasan Abu Talib
mengatakan zhanni al-wurūd atau al-ṣubūt adalah nash-nash yang masih diperdebatkan
tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawātir.9
Qath`i al-Dalalah
Al-Qur’an dari sisi al-tsubut-nya adalah qath’i. Pengingkaran qathi’ altsubut-nya al-
Qur’an akan membawa sejumlah konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi al-
dalalah, ayat al-Qu’an ada yang qath’i dan ada pula yang zhanni. Berkenaan dengan hal ini,
Abdul Wahhab Khallaf berpendapat bahwa nash al-Qur’an dan Hadis yang bersifat qath’i al-
dalalah adalah nash yang menunjuk pada makna tertentu yang tidak mengandung
kemungkinan untuk dita’wil (dipalingkan dari makna asalnya) dan tidak ada celah atau
peluang untuk memahaminya selain makna tersebut.
Dari sisi al-dalālah (interpretasi), jika suatu ayat Qur‟an atau teks al Hadits hanya
mengandung satu makna yang jelas dan tidak membuka kemungkinan interpretasi lain, ia
disebut sebagai teks yang qath’i al-dalālah. Abu Zahrah dalam bukunya Ushūl al-fiqh
mengatakan qath’i al-dalālah adalah lafaz nash yang menunjukkan kepada pengertian yang
jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut. 10 Wahbah al Zuhaily mengatakan
dalālah qath’i adalah lafaz yang terdapat dalam Qur‟an yang dapat dipahami dengan jelas
dan mengandung makna tunggal.11
8 Safi Hasan Abū Thālib, Tatbi al-Syarī’ah al Islāmiyah fi al-Bilād al-‘Arabiya, ( Kairo:
Dar al Nahdhah al Arabiyah, 1990) h. 62
9 Ibid
10 Muhammad Abū Zahrah, Ushūl al-fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th) h. 35
11 Wahbah al Zuhaili, Ushul fikih al-Islmai, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001) h. 441

20
Asy-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat menyatakan bahwa dalil qath`I adalah
suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada makna (al-dalalah)
atau kekuatan argumentative maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) bersifat pasti dan
meyakinkan. Lebih lanjut Asy-Syathibi menyatakan dalam kitabnya al-muwafaqat,
sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, tidak ada atau jarang sekali ditemukan sesuatu
yang bersifat qath`I dalam dalil-dalil syara`, jika pandangan hanya ditujukan kepada teks
secara berdiri sendiri. Ini karena untuk menarik kesimpulan yang pasti dibutuhkan premis-
premis (muqaddimat) yang tentunya harus bersifat pasti pula, sedangkan hal yang demikian
tidak mudah ditemukan. Kenyataan menunjukkan bahwa muqaddimat itu kesemuanya atau
Sebagian besar darinya, tidak bersifat pasti, sedangkan sesuatu yang bersandar pada yang
tidak bersifat pasti, tentulah tidak pasti pula.
Zhanni al-Dalalah
Berbeda dengan qath`i al-dalalah, sesuatu yang pasti dan meyakinkan sehingga tidak
ada lagi kemungkinan lain, zhanni al-dalalah adalah yang masih mengandung dua atau lebih
kemungkinan.Asy-Syathibi mendefinisakn zhanni al-dalalah adalah suatu dalil yang asal
usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (al-dalalah), atau kekuatan
argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan
hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan
kekeliruan.
Dalam Qur‟an maupun Hadis yang dikategorikan kepada qath’i al-dalālah adalah
lafaz dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah, bilangan tertentu, sifat atau
nama dan jenis. Misalnya, tentang pembagian warisan, hudūd, kaffārat, dan lain-
lainSelanjutnya asy-Syathibi membagi zhanni al-dalalah menjadi tiga, yaitu; pertama, zhanni
al-dalalah yang dinaungi oleh suatu prinsip universal yang qath' i(ashl qath'i). Dalil ini
tidak diragukan lagi keabsahannya. Kedua, zhanni aldalalah yang bertentangan dengan suatu
prinsip yang qath’i. Dalil ini secara umum ditolak, karena segala yang bertentangan dengan
dasar-dasar syari’ah adalah tidak sah dan tidak dapat dipegangi Dan ketiga, zhanni al-
dalalah yang Sebagai contoh hadis; ‫ ض>>رار وال ض>>رر ال‬Hadits ini adalah dzanni karena
keshahihan asalusul historisnya (al-wurud) tidak mencapai derajat mutawatir, akan tetapi
hadits ini dinaungi oleh prinsip universal (syari’ah), yaitu segala yang merugikan (madharat)
dihindari Prinsip ini.

21
Sementara zhanni al dalālah, baik Qur‟an maupun Hadis adalah teks atau lafal yang
membuka kemungkinan lebih dari satu makna. Abdul Wahab al Khalaf mengatakan zhanni
al-dalālah adalah lafaz yang menunjukkan suatu makna, tetapi makna itu mengandung
kemungkinan sehingga dapat ditakwil dan dipalingkan dari makna itu kepada makna lain. 12
Menurut Safi Hasan, nash-nash yang dikategorikan zhanni al-dalālah adalah lafaz-lafaz yang
diungkapkan dalam bentuk umum atau ‘amm, musytarak dan muṭlaq. Ketiga bentuk lafaz ini
menurut kaidah ushūliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak
tegas.13
Didukung dalil sejumlah dalil juz’I atau kasus-kasus detail, seperti larangan
bertindak merugikan dan berbuat madharat terhadap istri (Q.,s. at-Thalaq, (65): 6), terhadap
mantan istri yang dirujuk (Q.,s. al-Baqarah (20: 233), larangan bertindak merugikan dalam
penulisan dan pemberian saksi hutang-piutang (Q.,s. al-Baqarah (2): 282), dan larangan agar
ibu dan ayah jangan sampai menderita karena anaknya (Q.,s. al-Baqarah (20: 233). Dalili-
dalil tersebut memperkuat dan menaungi hadis dzanni tersebut..
Sebagai contoh adalah pertimbangan mashlahah oleh beberapa ulama untuk memberi
fatwa seorang raja yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadlan, bahwa
hukumnya adalah membayar kifarat berupa puasa 2 (dua) bulan berturut-turut. Sebenarnya
menurut hadis Rasulullah, hukuman tersebut, yaitu orang yang menggauli istrinya di siang
hari di bulan Ramadhan harus membayar kifarat berupa; membebaskan budak, jika tidak
ada budak, maka berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka memberi
makan 60 (enam puluh) orang miskin. Para ulama mempertimbangkan kemashlahatan, yaitu
tujuan hukuman yang dimaksud adalah untuk mencegah seseorang agar jangan
mengulangi perbuatannya.
Menurut para ulama tersebut, apa bila seorang raja dihukum dengan kifarat
membebaskan budak, hal itu tidak memenuhi tujuan hukuman, yaitu mencegah
pengulangan perbuatan, sebab raja itu kaya dan berapapun harga budak dapat dibelinya,
untuk kemudian dibebaskannya. Oleh karena itu, demi kemashlahatan raja tersebut diberi
hukuman kifarat puasa 2 (dua) bulan berturut-turut agar dia merasa jera dan tidak
mengulangi perbuatannya karena puasa 2 (dua) bulan berturut-turut adalah berat.

12 Abdul Wahab al Khallaf, Ilmu…, h. 43


13 Safi Hasan Abu Thalib, Tatbi al-Syarī’ah…., h.63

22
Cara berargumentasi (istidlal) demikian, menurut al-Ghazali, adalah bathal, karena
tidak bertentangan dengan suatu prinsip yang qath’i, tetapi tidak pula dinaungi oleh suatu
prinsip yang qath’i. Menurut ay-Syatibi, dalil ini dapat diterima atas dasar bahwa pada
dasarnya segala yang berada pada tingkat zhanni dalamsyari’ah dapat diterima.
G. CONTOH AYAT-AYAT QATH`I DAN ZHANNI
1. Contoh Ayat-ayat Qath`i
a. Ayat tentang perintah mendirikan shalat;

Artinya : “ Laksanakanlah shalat”

Ayat ini belum pasti menunjuk kewajiban shalat dan belum pasti juga yang dimaksud
dengan shalat adalah kegiatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam,
karena shalat menurut Bahasa adalah do’a. Namun demikian, menurut M. Quraish
Shihab, melalui beberapa argumentasilain, dapat dipastikan bahwa yang dimaksud
dengan perintah shalat di sini adalah wajib dan bahwa ia adalah shalat lima kali sehari.
Argumentasi itu antara lain, dikuatkan oleh sikap Rasulullah dan sahabat-sahabat
beliau yang tidak pernah meninggalkannya, walaupun dalam keadaan kritis atau
perang.Beliau juga menegaskanbahwa ‘perbedaan antara muslim dan kafir aalah
shalat’, dan masih banyak agidalil-dalillainnya. Setelah adanya berbagai argumentasi
yang menguatkan itu, barulah dinyatakan bahwa maknaaya tersebut adalah qathi.
b. Q.s. An-Nisa (4): 12;

Artinya; “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak”.

Penunjukkan makna (al-dalalah) ayat tersebut adalah qath’i, yaitu jelas dan pasti,
sehingga tidak boleh dita’wil dan dipahami selain yang ditunjukkan oleh ayat tersebut.
Dengan demikian, bagian seo14rang suami dalam mewarisi harta peninggalan istrinya
yang meninggal dengan tanpa ada anak adalah setengah dari harta peninggalannya.

c. Q.s. An-Nur (24): 2;

14 Tamkin:Jurnal pengembangan masyarakat islam vol. 3 No.3 (2018) 01-16

23
Artinya; “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, makaderalahtiap-tiap
orang dari keduannya seratus kali dera”

Kata “seratus kali” tidak mengandung kemungkinan ta’wil atau pemahaman lain.
Dengan demikian ayat ini bersifat qath’i al-dalalah maksudnya bahwa had zina itu
seratus kali dera, tidak lebih, dan tidak kurang.

2. Contoh Ayat-ayat Zhanni


a. Q.s. Al-Baqarah (2): 228

‫َّصنَ بَِأنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلَثَةَ قُر ُٓو ٖۚء‬ ُ َ‫َو ۡٱل ُمطَلَّ ٰق‬
ۡ ‫ت يَتَ َرب‬

Artinya; “Wanita-wanita yang ditalak, hendaknya menunggu (tidak boleh menikah)


dengan menahan diri mereka, tiga kali quru”.

Ayat tersebut tidak bersifat qath’i, tetapi zhanni, karena kata quru` pada ayat tersebu
tdapat berarti suci dan dapat juga berartihaid. Tidak dapat dipastikan yang mana yang
dimaksud, karena tidak terhimpun argumentasi yang cukup yang mendukung salah
satu ulama.
b. Qs. Al-Maidah (5): 3;
.... ‫ُح ِّر َم ۡت َعلَ ۡي ُك ُم ۡٱل َم ۡيتَةُ َوٱل َّد ُم‬
Artinya; “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah…”

Lafadz al-maitah pada ayat tersebut bersifat ‘Am, yang mempunyai kemungkinan
mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan selain bangkai
binatang laut/air. Karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am seperti itu
maka disebut zhanni dalalahnya. Hal ini disebabkan karena lafadz tersebut
mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.
c. Q.s al-Maidah (5): 38;

ٰ ۡ
ِ ‫َّارقَةُ فَٱقطَع ُٓو ْا َأ ۡي ِديَهُ َما َج َزٓا ۢ َء بِ َما َك َسبَا نَ َكاٗل ِّمنَ ٱهَّلل ۗ ِ َوٱهَّلل ُ ع‬
‫يم‬ٞ ‫َزي ٌز َح ِك‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوٱلس‬ ِ ‫َوٱلس‬
Artinya; “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”.

24
Kata tangan dalamaya ini mengandung beberapa kemungkinan yang dimaksudkanya
itu tangan kanan atau kiri, disamping juga mengandung kemungkinan tangan itu
hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku. Kekuatan hukum kata-kata yang
seperti ini menurut para ulama usul fiqh bersifat zhanni, oleh sebab itu para mujtahid
boleh memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta didukung oleh
dalillain.

H. Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an


1. Terjemahan Al-Qur’an
Terjemah menurut Bahasa adalah penyelesaian dari suatu Bahasa kebahasa lain atau
mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu Bahasa kebahasa lain. Sedangkan
yang dimaksud dengan terjemah al-qur'an adalah seperti yang dikemukakan oleh ash-
shabuni; memindahkan al-qur'an kebahasa lain yang bukan Bahasa arab dan mencetak
terjemah dalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti Bahasa arab,
sehingga ia dapat memahami kitab Allah.
Penerjemahan al-Qur’an dalam sejarahnya mengalami proses yang cukup panjang,
misalnya dari persoalan kewenangan atau legitimasi penerjemah, hukum menerjemahkan,
ditambah lagi dengan kehadiran terjemahan yang dibuat oleh para Orientalis membuat
banyak perbedaan di antara para ulama dalam menyikapi penerjemahan al-Qur’an di
berbagai wilayah. Penolakan terhadap penerjemahan al-Qur’an juga sempat ada di
Indonesia. Tapi, meskipun sempat ditolak, pada akhirnya penerjemahan al-Qur’an di
Indonesia tetap berlangsung hingga sekarang. Proses penerjemahan itu sendiri memiliki
berbagai dimensi mulai dari keterlibatan sastra dan penggunaan bahasa daerah dalam
menerjemahkan al-Qur’an.15
Kata terjemahdapatdipergunakan pada dua arti
a) Terjemah Makna wiyyah atau Tafsiriyyah, yaitu menjelaskan makna atau kalimat
pembicara dengan bahasa lain tanpa terikat dengan kata-kata bahasa yang menarik
asal atau memperhatikan susunan kalimatnya, melainkan oleh makna dan tujuan
aslinya.

15 Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta: 1989,h.938

25
b) Terjemah Harfiyyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu Bahasa kedalam
lafadz-lafadz yang seru pada bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tata
Bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tatanan Bahasa pertama.
2. Tafsir
Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau
deskripsi. Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir secara etimologi adalah Al-kasfwal
Al-izhhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Pada dasarnya,
pengertian tafsir berdasarkan Bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna Al-idhah
(menjelaskan), Al-bayan (menerangkan), Al-kasf (mengungkapkan), Al-izhar
(menampakkan), dan Al-ibanah (menjelaskan). Kata tafsir dalam al-qur'an dibuat pada
satu surat dan hanya dan hanya terdapat dalam satu ayat, diamana kata tersebut dalam
ayat itu artinya al-'idlah atau al- bayan (penjelasan). ayat yang dimaksud adalah yang
artinya:
ِ “Tidaklah (orang-orang kafir itu ) datang kepadamu ( membawa ) sesuatu yang ganjil,
melainkan kami datangkan kepada mu sesuatu yang benar dan yang paling baik
penjelasanya.” (QS: Al Furqon: 33)

I. Makna Tafsir dalam Pandangan Mufasir

Dalam kamus Bahasa Indonesia, tafsir berarti penjelasan terhadap satu kalimat
(eksplanasi dan klarifikasi) yang juga mengandung pengertian penyingkapan, penunjukan dan
keterangan dari maksud dari satu ucapan 16 atau kalimat.'Para pakar 'Ulumul Qur'an seperti
Imam as-Suydthi dalam al-Itqan mengatakan kata tafsir terbentuk dari pola "¢afil" dari kata
al-fasr yang berarti penjelasan (al-baydn) dan pengungkapan (al-kasyf) atau at-tafsirah yang
berarti urine sebagai indikator diagnosa penyakit’. Sementara itu, az-Zarkasyi dalam al-
Burhdn menjelaskan tafsir menurut bahasa adalah memperlihatkan dan yang dijadikan sampel
diagnosa dokter.17 Ibnu Abbas berpendapat, bahwa makna dari kata ‫ تفس>ير‬pada ayat tersebut
adalah “perinci”. Secara Terminologi Menurut al-Kilabi dalam At-Tashil, tafsir adalah
menjelaskan Al-Qur'an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki
dengan nashnya, atau dengan isyaratnya atau dengan tujuannya.
16 Buku Pusat Studi Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet.ke-3,h. 1119

17 Jalaluddin as-suyuthi (selanjutnya disebut as-suyuthi), al-Itqan fi ulum al-Qur’an ( Kairo: maktabah Dar at-Turats,
1983), jilid IV, h. 167

26
Menurut Syeh Al-Jazairi dalam shohib At-Taujih, tafsir pada hakikatnya adalah
dijelaaskan lapadz yang sukar difahami oleh pendengar, dengan mengemukakan lapadz
sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu
dilalah lafadz tersebut.
Menurut Az-Zarkasyi dalam Mabahis Fi Ulumil Qur'an, tafsir adalah ilmu yang
digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan
kepada nabi-Nya, Muhammad saw serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan
hikmahnya Dalam buku Ilmu-Ilmu Al-Qur'an yang dikarang oleh M.HasbieAs-Syidieqie.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Mempelajari agama islam merrupakan fardhu’ain, yakni kewajiban masing masing


setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran islam terutama yang dikembangkan
oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat. Sumber
ajaran agama islam terdiri dari sumber ajaran islam primer dan sekunder. Sumber ajarn agama
islam primer terdiri dari al-qur’an dan as-sunnah (hadist), sedangkan sumber ajaran agama

27
islam sekunder adalah ijtihad. Kemudian, mengenai sumber sumber hukum islam dapat kita
simpulkan bahwa segala sesuatu yang berkenan dengan ibadah, muamalah, dan lain
sebagainya itu berlandaskan al-qur’an yang merupakan firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad secara mutawir dan diturunkan melalui malaikat jibril dan membacanya di
nilai sebagai ibadah, dan al-sunnah sebagai sumber hukum yang kedua yang mempunyai
fungsi untuk mempeerjelas isi kandungan al-qur’an dan lain sebagainya.

B. Saran

Penulis menyadari akan kekurangan dari makalah yang dibuat sehingga saran dan kritik
dubutuhkan untuk perbaikan karya ilmiah berikutnya. Semogah makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, Abdul Wahhab, Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait:Dar al-Fikr,
Cet. XII, t.t.
as-Syathibi, Abu Ishaq Ibrahim, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Beirut:Dar alFikr,
1341 H
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, Tangerang : Lentera jurnal.fdk.uinsgd.ac.id index.php: tamkin
ejournal.uin-suska.ac.id(index.php ushuludi article/view:2339)

28
anshary, hafiz. 1996. Al-Qur’an dan hadits. Jakarta: Nata Abuddin
Hasbi assh-Shiddieqy, T.M. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Tafsir,Bulan Bintang, Jakarta, cet.II, 1972.
Al Qattân, Mannâ Khalîl. Mabâhits fî ‘Ulum al Qur’an. Riyadh: Mansyûrât al ‘Asr al Hadîts.
19732 Rosihon Anwar. Ulum Al-Qur’an (Bandung; Pustaka Setia, 2013) hal 106-10
Ulumul Qur’an (Surabaya:Dunia Ilmu,2000),hal 78
4 udzhar, M. Atho’. (2002). Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hasbi ash-Shiddieqy, T.M. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, cet.II, 1972.
Isfahany, al, al-Raghib, Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, Dar al-Ma’arif, Beirut,tt.
Iraqy, al, Abd, al-Rahim bin al-Husain, al-Taqyid wa al-Idhah, Dar al-Fikr, 1981.
Jamal, al, M.Mu’in, Al-Tafsir al- Farid Li al-Qur-an al-Majid,
Idarah al-Buhuts wa al-Nasyr, Kairo, 1970.
Abu thalisafi hasan, Tatbi al-Syari’ah al—Islamiyah fi al-Arabiyah,Kairo: Dar al-Nahdhah al-
Arabiyah, 1990
Muhammad bin Sulaiman al-Kafiji, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Beirut: Dar al-Qalam,1990)
Muhammad Husain adz-dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Matbha’ah Musthafa al-
Halabi, 1976

29

Anda mungkin juga menyukai