Dosen pembimbing :
Ust Muhammad Hasyim MA
Disusun Oleh:
Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa,yang telah melimpahkan segala rahmatnya kepada
kita semua,sehingga kita dapat menjalankan segala aktivitas yang ada dengan baik.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang
menjadi Rasul sekaligus Nabi dan manusia pilihan-Nya sebagai pembawa Al-Qur’an yang
menjadi penerang bagi seluruh umat dan merupakan penyempurnaan kitab-kitab samawi
sebelumnya.
Alhamdulillah atas izin Allah SWT. Makalah yang membahas tentang “ MAKNA
SUNAH DAN BID’AH DALAM KONTEKS FIQH” ini telah kami selesaikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi kami selaku
penyusun. kritik dan saran sangat diperlukan dari pembaca untuk memperbaiki penyusunan
makalah ini dan akan kami terima dengan senang hati. Semoga makalah ini menjadi amal shaleh
dan motivator bagi penyusun untuk menyusun makalah yang lebih baik dan bermanfaat. Amin.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
COVER................................................................................................................................. 1
A. KESIMPULAN ....................................................................................................... 19
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap Muslim berusaha melaksanakan semua tuntunan agamanya agar mampu
mencapai derajat saleh dan bertemu dengan Allah bersama para Nabi, Rasul, Awliyâ’, dan
Siddiqûn. Karena itu, terlebih dahulu harus mampu memahami dan menjalankan syariat Islam
yang termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Dalam memahami sebuah ayat maupun
hadis terdapat beragam metode ataupun hasil pemahamannya.
Perbedaan hasil pemahaman terhadap suatu ayat maupun hadis sebetulnya telah terjadi
pada masa Rasulullah masih hidup, namun hal itu segera terselesaikan dengan rapi di hadapan
Rasulullah. Pada masa generasi kedua, perbedaan pemahaman bisa diselesaikan melalui
forum diskusi di kalangan para sahabat Nabi dan hal tersebut terus berlanjut pada masa-masa
sesudahnya. Hal yang mengherankan adalah pada masa kini menyalahkan satu sama lainnya
antara sesama Muslim adalah menjadi hal lumrah bahkan saling mengkafirkan, sehingga tidak
jarang terjadi pertumpahan darah di antara sesama umat Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
A. Apa Pengertian Sunnah dan Bid’ah?
B. Apa saja Macam-Macam Sunnah dan Bid’ah?
C. Apa saja Contoh-Contoh Bid’ah ?
D. Apa saja Fungsi Sunnah serta Bagaimana Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum
Islam?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
A. Untuk mengetahui dan memahami Pengertian Sunnah dan Bid’ah
B. Untuk mengetahui dan memahami Macam-Macam Sunnah dan Bid’ah
C. Untuk mengetahui dan memahami Contoh-Contoh Bid’ah
4
D. Untuk Mengetahui Dan Memahami Fungsi Sunnah Serta Bagaimana Kedudukan Sunnah
Sebagai Sumber Hukum Islam.
5
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Sunnah
Makna Sunnah secara etimologis adalah perilaku atau cara berperilaku yang
dilakukan, baik cara yang terpuji maupun yang tercela. Sunnah ada yang baik dan
ada sunnah yang buruk, seperti yang diungkapkan oleh hadits sahih yang
diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya: "Barangsiapa membiasakan (memulai atau
menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan mendapatkan
pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari perbuatan orang yang mengikuti
kebiasaan baik itu setelahnya dengan pahala yang sama sekali tidak lebih kecil dari
pahala orang-orang yang mengikuti melakukan perbuatan baik itu. Sementara,
barangsiapa yang membiasakan suatu perbuatan buruk dalam Islam, ia akan
mendapatkan dosa atas perbuatannya itu dan dosa dari perbuatan orang yang
6
melakukan keburukan yang sama setelah nya dengan dosa yang sama sekali tidak
lebih kecil dari dosa-dosa yang ditimpakan bagi orang-orang yang mengikuti
perbuatannya itu."
Dalam hadis ini kata "sunnah" yang dipergunakan adalah kata sunnah dengan
pengertian etimologis. Maksudnya, siapa yang membuat perilaku tertentu dalam
kebaikan atau kejahatan. Atau, siapa yang membuat kebiasaan yang baik dan yang
membuat kebiasaan yang buruk. Orang yang membuat kebiasaan yang baik akan
mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan dari perbuatan orang yang mengikuti
perbuatannya, dan orang yang membuat kebiasaan yang buruk maka ia akan
mendapatkan dosa dari perbuatannya itu dan dari perbuatan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat.
7
tentang hukum sesuatu: masalah ini telah ditetapkan hukumnya oleh Al-Qur'an dan
sunnah.
Menurut para ahli Ilmu Fiqhi sunnah adalah suatu perbuatan yang akan
mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa bila tidak dikerjakan,
dimasukkan dalam hukum taklifi.
Sementara, para ahli hadits menambah definisi lain tentang sunnah. Mereka
mengatakan bahwa sunnah adalah apa yang dinisbatkan kepada Nabi saw, berupa
ucapan, perbuatan, persetujuan, atau deskripsi--baik fisik maupun akhlak--atau juga
sirah (biografi Rasul saw.). Perbedaan para ahli ulama dalam memberikan pengertian
sunnah sebagaimana yang telah disebutkan adalah karena mereka berbeda dalam segi
peninjauannya.
2. Pengertian Bid’ah
Menurut bahasa bid’ah berasal dari kata bada’a yang artinya sesuatu perkara
yang baru dan pertama kali ditemukan atau diciptakan atau sesuatu yang diada-
adakan yang tidak ada contoh sebelumnya ,baik persoalan yang berhubungan
dengan urusan dunia yang berhubungan dengan agama; aqidah, ibadah dan
muamalah, maupun yang berhubungan dengan urusan dunia dan kehidupan yang
tidak berhubungan dengan agama. Bid’ah menurut istilah adalah segala sesuatu yang
dibuat baru oleh manusia, baik berupa perkataan atau perbuatan dalam agama dan
syi’ar-syi’arnya yang tidak ada contohnya dari Nabi atau dari para sahabat. Bid’ah
diamalkan seakan-akan bagian dari ibadah menyerupai syari’at tanpa ada tuntutan
dari Rasulullah saw.
Bid’ah dalam syariat adalah sesuatu yang baru yang tidak terdapat
penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalaham hadits,
atau hal-hal baru yang diciptakan bertentangan dengan kaidah-kaidah agama
Islam dan bertentangan dengan teks-teksnya (nushus). Hal-hal baru tersebut
berhubungan dengan urusan agama dan tidak berhubungan dengan kehidupan
yang sangat ditentukan oleh maslahat manusia dan keberlangsungan hidupnya,
seperti sistem pendidikan, sistem kerja, bangunan dan lain sebagainya. Oleh
8
karenanya, setiap hal baru dengan makna syariat seperti ini, bertentangan dengan
kaidah Islam dan nushus, adalah bid’ah yang sesat (dhalal). Perbedaan definisi bid’ah
menurut bahasa dan istilah. Bid’ah menurut bahasa memiliki arti lebih umum dari
bid’ah menurutistilah, karena bid’ah menurut bahasa hanya memiliki makna sesuatu
yang diadakan tanpa contoh sebelumnya. Adapun bid’ah menurut istilah
berarti, mengadakan perkara baru dalam agama tanpa dukungan dalil dan kaidah
dasar syariat.
Bid’ah didefinisikan secara rinci oleh Syekh Aly Mahfudh dalam kitabnya Al
ibda’fi Madharil Ibtida’. Menurut bahasa bid’ah adalah segala sesuatu yang
diciptakan dengan tidak diketahui contoh-contohnya. Sedangkan menurut istilah
yaitu suatu ibarat (gerak dan tingkah laku lahir batin) yang berkisar pada masalah-
masalah agama (syari’at Islamiyah), dilakukan menyerupai syari’at dengan cara
berlebihan dalam pengabdian kepada Allah Swt.
Pendapat Syekh Aly Mahfudh tersebut bersumber pada firman Allah yang
menyatakan bahwa Rasulullah Saw adalah bukan rasul yang berbuat sewenang-
wenang tanpa ada contoh dari rasul-rasul sebelumnya. Tugas Rasulullah saw.
merupakan kelanjutan dari tugas-tugas nabi terdahulu, bahkan Allah menjadikan
beliau sebagai nabi akhir zaman, maka beliau tidak akan berbuat sesuatu apapun
kecuali apa yang telah diriwayatkan Allah melalui malaikat Jibril. Karena itu secara
tegas Nabi bersabda “Barang siapa yang mengada-adakan dalam ajaran Islam ini
yang tidak ada sumbernya dari Islam, maka urusan itu ditolak (fasid).
Definisi bid’ah oleh Imam asy Syathibi', adalah "cara beragama yang dibuat-
buat, yang meniru syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu sebagai cara
berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT". Ini merupakan definisi bid'ah yang
paling tepat, mendetail, dan mencakup serta meliputi seluruh aspek bid'ah.
Demikian dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu hal yang tidak
terdapat pada konteks ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, baik dalam masalah
aqidah maupun syariah yang aturan-aturannya sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah secara tafshil (rinci).
9
B. MACAM-MACAM SUNNAH DAN BID’AH
2. Macam- Macam Sunnah
a. Sunnah Qauliyyah
Adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang didengar oleh
sahabat beliau dan disampaikannya kepada orang lain.
Contoh sunnah qauliyyah :
ََليُؤْ ِم ُن أ َ َحدُ ُك ْم َحتهى: صلَّى هلّلا عليه وسلهم قَا َل َ ِي عن النَّ ِب ه
َ ع ْن أن ٍَس َ
يُ ِحبَّ ِِل َ ِخ ْي ِه َما يُ ِحبُّ ِلنَ ْف ِس ِه
Artinya: Dari Annas ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda:”Belum beriman salah
seorang dari kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya”.
b. Sunnah Fi’liyah
Adalah semua perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang
dilihat atau diketahui atau diperhatikan oleh sahabat, kemudian disampaikan
kepada orang lain dengan ucapannya.
Sunnah fi’liyyah pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Gerak gerik, perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah SAW yang
berkaitan dengan hukum. Misalnya; tata cara shalat, puasa, haji,
transaksi dagang,tata cara makan dll. Perbuatan ini dapat diketahui
dengan adanya petunjuk dari beliau sendiri, atau karena adanya
petunjuk (qarinah) lain, baik dari AlQur’an maupun dari sifat perbuatan
Rasulullah SAW.
2. Perbuatan yang khusus berlaku bagi Rasulullah SAW. Misalnya; beristri
lebih dari 4 orang, wajib melaksanakan shalat tahajjud, berkurban,
shalat witir, dll. Semua perbuatan itu bagi umatnya tidak wajib.
3. Perbuatan dan tingkah laku Nabi berhubungan dengan penjelasan
hukum, seperti: shalat, puasa, jual beli, utang piutang, dll.
c. Sunnah Taqririyah
10
Adalah perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di
hadapan atau sepengetahuan Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak ditanggapi atau
dicegah oleh Nabi, namun Nabi diam, maka hal ini merupakan pengakuan dari
Nabi.
Keadaan diamnya Nabi itu dapat dibedakan pada 2 bentuk:
1. Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh
Nabi. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa si pelaku
berketerusan melakukan perbuatan yang pernah dibenci dan dilarang itu.
Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Diamnyan Nabi dalam bentuk
ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
2. Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak
diketahui pula haramnya. Diamya Nabi dalam hal ini menunjukkan
hukumnya adalah ibahah atau meniadakan keberatan untuk diperbuat.
Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya
padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesalahan;
sedangkan Nabi bersifat ma’shum (terhindar dari kesalahan). Contoh
sunnah taririyyah: Artinya: Dari Khalid bin Walid ra katanya: “Kepada
Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang
dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada
beliau: “Itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka
Khalid berkata: “Apakah haram memakannya?” Beliau menjawab:
“Tidak,tetapi binatang jenis itu tidak biasa ditemukan didaerah saya,
maka saya tidak suka dan menghindarinya”. Maka Khalid memakannya,
sedang Rasulullah memandanginya.
2. Macam-Macam Bid’ah
Macam-macam Bid’ah Para ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu Bid’ah
Hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah Madzmumah (bid’ah yang tercela). Al-Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’I – mujtahid besar dan pendiri madzhab
Syafi’I yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di dunia Islam
11
berkata : “Bid’ah ada dua macam : pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi
alQuran atau sunnah atau Ijma’ dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,
sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi alQuran, Sunnah dan Ijma’
dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela.” (AlBaihaqi, Manaqib al-Syafi’I, 1/469).
Al-Imam Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika
membicarakan masalah bid’ah, dalam kitabnya Tahdzib al- Asma’ wa alLaughat
(3/22), beliau mengatakan: “Bid’ah terbagi menjadi dua yaitu bid’ah hasanah (baik)
dan bid’ah qabihah (buruk).” (Al-Imam al-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ al- Lughat
3/22).
Lebih dari itu, pembagian bid’ah menjadi dua, juga dilegitimasi dan
dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah, rujukan paling otoritatif dari kalangan yang menolak
pembagian Bid’ah, seperti Salafi, Muhamadiyah, dan lain lain. Beliau berkata,
“Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum
Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak menyalahinya, terkadang tidak
dinamakan bid’ah.
Imam Syafi’i berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi
al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sebagian sahabat Rasulullah saw. Ini disebut
bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang
disebut bid’ah hasanah berdasarkan perkataan Umar ra, “Inilah sebaikbaik bid’ah”.
(Syekh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 20/163).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa para ulama seiring berjalannya
waktu mulai dari al-Imam al-Syafi’I, al-Imam al-Nawawi, alHafizh Ibn Hajar dan
Syaikh Ibn Taimiyah telah sepakat membagi bid’ah mejadi dua, yaitu bid’ah hasanah
dan bid’ah madzmumah. Bahkan, bid’ah hasanah sudah ada semenjak masa
Rasulullah saw, masa sahabat dan terus berlanjut sampai pada generasi selanjutnya.
12
C. CONTOH-CONTOH BID’AH HASANAH DAN BID’AH MADZMUMAH
1. Contoh - Contoh Bid’ah Hasanah (Bid’ah Yang Baik)
a. Pembukuan al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, bagaimana
sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar,
Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin
‘Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran ayat atau surat, harakat tanda
baca, dan lain lain.
b. Sholat tarawih berjama’ah. Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan
kaum muslimin dalam shalat tarawih bermakmum pada seorang imam yang
sebelumnya dilakukan rasulullah SAW tidak berjama’ah. Pada perjalanan
berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari
masa ke masa.
c. Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan
sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at menjadi
2 adzan.
d. Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits shohih, hasan, dlo’if atau
ahad. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke hadits lainnya.
Bahkan Rasulullah saw. pernah melarang menuliskan hadits2 beliau karena takut
bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru sejak era Umar ibn Abdul
Aziz, sekitar abad ke 10 H.
e. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab,
Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dan lain lain.
f. Merayakan Maulid Nabi. Yang merintis pertama kali seorang ulama’ sufi yang
shaleh Raja muzhaffar abu said al -kukburi bin zainuddin bin buktikin.
Meskipun Rasulullah SAW tidak merayakan maulidnya, hal tersebut bukan
menjadi alasan untuk tidak merayakannya. Memperingati maulid nabi tidak lain
hanyalah sebagai rasa syukur, gembira dan cinta akan kelahiran Nabi pembawa
rahmat bagi seluruh alam.
g. Melafalkan niat sholat. Hal ini untuk memantabkan atau menghadirkan niat
dalam hati ketika bertakbir.
13
h. Menyebut Sayyidina dalam sholat. Tidak ada salahnya memuliakan nabi dalam
sholat karena nabi ialah manusia pilihan Allah, sehingga bisa dijadikan tawassul
memohon kepada Allah melalui perantara Nabi.
i. Tradisi Tahlilan. Sebuah tradisi para ulama’ kita dahulu yaitu berkumpulnya
masyarakat yang membaca kalimat tahlil dan ayat Al-Quran, dimana shodaqoh
makanan dan pahala bacaan di hadiahkan kepada ahli kubur yang meninggal
dunia. Tentu ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dikarenakan
hanya Tradisi umat islam yang ada di Nusantara.
Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-
ayat hukum dalam al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah
belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari sunnah. Dengan demikian fungsi
Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an.
Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat
14
dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, Sunnah kadang-kadang
memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa
yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
َ ُ مونِ ْي أ
ص ِلهي ْ ُ صلهوا َك َما َرأ َ ْيت
Artinya:“Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat saya shalat.”
15
b. Sunnah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Qur’an yang masih
umum (Bayan Al-Takhshish).
Selain bersifat umum mujmal (global), al-Qur‟an juga memiliki ayat-ayat
yang bersifat umum, dari sini fungsi sunnah adalah mengkususkan.
Perbedaannya dengan bayan tafshil ialah kalau bayan tafshil, sunnah berfungsi
sebagai penjelas yang kelihatan tidak ada pertentangan, sedangkan pada bagian
takhsish ini di samping sunnah sebagai bayan, juga antaraal-Qur‟an dan sunnah
secara lahiriah nampak ada pertentangan.
c. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an (Bayan
Taqyid).
Kata mutlaq berarti kata yang menunjuk pada hakekat kata itu sendiri apa
adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Mentaqyid
yang mutlaq artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan,
atau syarat syarat tertentu.
Sebagai contoh dalam masalah ini adalah hadis tentang zakat fitrah sebagai
berikut: “Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada
16
bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik
merdeka atau hamba sahaya, laki-laki atau perempuan”
Selain hadis hadis tersebut, masih ada beberapa hadis lagi yang termasuk
ke dalam kelompok hadis yang menyandang fungsi sebagai bayan tasyri’,
misalnya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita
bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum syif’ah, hukum merajam pezina
wanita yang masih perawan, hukum membasuh bagian sepatu dalam berwudhu,
dan hukum tentang ukuran zakat fitrah.
17
bagi Rasul untuk melakukan suatu perbuatan syar‟i yang tidak berdasarkan pada al-
Qur‟an.
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti
oleh orang lain, baik perbuatan yang terpuji maupun yang tercela. Sunnah dibagi menjadi
3 bagian:
1. Sunnah Qauliyah
2. Sunnah Fi’liyyah
3. Sunnah Taqririyyah
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) disampaikan
dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang mengalaminya
dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada orang
yang mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya sekitar abad ketiga Hijriah.
Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimannya dari nabi sampai kepada orang
yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas oran yang membawa khabar itu
untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi kuat dan setia
ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.
Fungsi sunnah adalah Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut
dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Memberikan penjelasan terhadap
apa yang diSmaksud dalam al-Qur’an.
Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat Al-Qur’an,
sebagai penjelas Al-Qur’an, dan sebagai musyar’i.
19
DAFTAR PUSTAKA
Relit Nur Edi, 2014, AS-SUNNAH (HADITS) (Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah), hal. 136-
140
Tangkoe Lisnawaty, Mukhlis Kalunsenge dll, 2016, As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Ushul
Fiqh 1, Gorontalo, hal. 5
Ramli, Idrus, Membedah Bid’ah dan Tradisi. Khalista, Surabaya 2012
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 2010, Jakarta:
Amzah. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 2008, Jakarta: Kencana.
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, 2008, Bandung: Pustaka Setia.
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, 2010, Bandung: Pustaka Setia.
Saeful Hadi, Ushul Fiqih,2009, Yogyakarta: Sabda Media
20