Anda di halaman 1dari 42

TUGAS MATA KULIAH AGAMA V

PRINSIP-PRINSIP ASWAJA

Ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Agama V


dengan dosen pengampu Dr. Muhammad Arifin M.Pd

Disusun Oleh :
Fadilatul Saidah (22001082022)
Mei Atiqah Farah Inas (22001082027)
Wulan Dwi Agusetiawati (22001082034)
Vivi Rendria Sari (22001082041)

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FALKUTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
SEPTEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur selalu kita


panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala curahan rahmat, hidayah dan inayah-
Nya. Yang telah memberikan kami semua pemikiran yang luar biasa berguna
sehingga kami menjadi insan yang senantiasa berusaha memberi manfaat pada
makhluk lain-Nya. Tak lupa pula, dosen pengampu mata kuliah Agama V,Dr.
Muhammad Arifin M.Pd. Yang selama ini telah membimbing kami semua hingga
kami sedikit demi sedikit menjadi pandai berkat ilmunya.

Shalawat dan salam tak lupa kita haturkan keharibaan junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat-sahabat dan para pengikut
beliau sampai akhir zaman. Makalah ini selain sebagai bentuk penugasan kami
dalam mata kuliah ini, dapat dijadikan sebagai media pembelajaran kami untuk
lebih memahami terkait konsep-konsep yang ada dalam Agama V serta ilmu
penunjangnya. Dengan begitu, kami dapat menerapkan displin ilmu ini dalam
kehidupan kami sehingga masyarakat agar lebih baik kian hari

Kami juga tak lepas dari segala salah dan khilaf, untuk itu masukan dan
kritik yang membangun akan kami butuhkan sebagai pembelajaran kami setelah
ini. Kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh

Malang, 23 September 2021

ii
DAFTAR ISI

JUDUL............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3

2.1 Prinsip – Prinsip Aswaja................................................................... 3

2.2 Nilai Tawasuth dalam Al – Qur’an dan Al – Hadits......................... 13

2.3 Nilai Keadilan dalam Al – Qur’an dan Al – Hadits.......................... 16

2.4 Nilai Keseimbangan dalam Al – Qur’an dan Al – Hadits................. 20

2.5 Nilai Toleransi dalam Al – Qur’an dan Al – Hadits ........................ 22

2.6 Implementasi Prinsip–Prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari–hari 32

BAB III PENUTUP......................................................................................... 38

3.1 Kesimpulan..................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 39

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Aswaja versi bahasa terdiri dari tiga kata, Ahlu, Al-Sunnah, danAl- Jama’ah.
Kata Ahlu diartikan sebagaikeluarga, komunitas, atau pengikut.KataAl-
Sunnahdiartikan sebagai jalan atau karakter.SedangkankataAl-Jamaah diartikan
sebagai perkumpulan.Arti Sunnah secara istilah adalah segala sesuatu yang
diajarkan Rasulullah SAW baik berupa ucapan, tindakan, maupun
ketetapan.SedangkanAl-Jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati
komunitas sahabat Nabi pada masa Rasulullah SAW.
Pada era pemerintahan Khulafah Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan
Ali). Dengan demikian Ahlusssunnah Wal Jamaah adalah komunitas orang- orang
yang selalu berpedoman kepada sunah Nabi Muhammad SAW. Dan jalan para
sahabat beliau, baik dilihat dari aspek akidah, agama, amal-amal lahiriyah, atau
akhlak hati. Jama’ah mengandung beberapa pengertian, yaitu: kaum ulama atau
kelompok intelektual; golongan yang terkumpul dalam suatu pemerintahan yang
dipimpin oleh seorang amir; golongan yang di dalamnya terkumpul orang- orang
yang memiliki integritas moral atau akhlak, ketaatan dan keimanan yang kuat;
golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat Nabi Muhammad
SAW.
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) sebagai bagian dari
kajian keislamanmerupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara
proporsional, dengan prinsip-prinsip yang digunakan sesuai yang ada pada Al-
Qur’an dan Al-Hadist. Seperti nilai tawasuth yang akan dibahas berkaitan dengan
Al-Qur’an dan Al-Hadist dimana nilai keadilan dan keseimbanga perlu
diperhatikan begitu pula dengan toleransi yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-
Hadist. Dengan demikian implementasi prinsip-prinsip aswaja dalam kehidupan
sehari-hari bisa diterapkan sesuai prinsip tersebut.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH

berdasarkan latar belakang permasalahan diatas yang dijadikan acuan,


maka dapat di ajukan yaitu:
1. Bagaimana konsep prinsip-prinsip ajaran aswaja?
2. Bagaimana konsep nilai tawasuth dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist?
3. Bagaimana konsep nilai keadilan dalam Al-Qur’an dan AL-Hadist?
4. Bagaimana konsep nilai keseimbangan dalam Al-Qur’an dan Al-
Hadist?
5. Bagaimana konsep nilai toleransi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist?
6. Bagaimana implementasi prinsip-prinsip aswaja dalam kehidupan
sehari-hari?

1.3 TUJUAN

Tujuannya antara lain:


1. Untuk mengetahui lebih kritis prinsip-prinsip ajaran aswaja
2. Untuk mengetahui lebih mendalam konsep nilai tawasut dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadist
3. Untuk mengetahui lebih mendalam konsep nilai keadilan dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadist
4. Untuk mengetahui lebih mendalam konsep nilai keseimbangan dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadist
5. Untuk mengetahui lebih mendalam konsep nilai toleransi dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadist
6. Untuk mengetahui dan menerapkan bagaimana implementasi prinsip-
prinsip aswaja dalam kehidupan sehari-hari

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PRINSIP – PRINSIP ASWAJA

Ajaran Ahulussunnah wal Jama'ah adalah ajaran islam yang dijelaskan


oleh Nabi dan para sahabatnya, yaitu apa yang ada dalam Al-Qur'an dan Hadis
Nabi dan Ijma' para sahabat. Paham ini terus berkelanjutan hingga saat ini dan
diikuti oleh sebagaian besar kaum muslim di dunia. Imam Ibn Hazm dalam
kitabnya: "Al-Fashl Bainal Milal wan Nihal" mengatakan:

“Ahlussunah yang akan kami jelaskan adalah kelompok yang berpijak


kepada kebenaran, selain mereka adalah kelompok pelaku Bid'ah. Ahlussunnah
adalah para sahabat Nabi dan orang yang mengikuti jejak mereka dari kalangan.
tabi'in, termasuk didalamnya adalah ahli Hadis, ahli fikih dan seterusnya dari
masa ke masa, dari generasi ke generasi penerus sampai saat ini. Begitu juga
orang kebanyakan yang mengikuti jejak mereka baik di belahan bumi sebelah
timur maupun belahan bumi sebelah barat”

Apa yang dikatakan oleh Ibn Hazm barulah pada sebatas kelompok yang
masuk dalam katagori Ahlussunnah. Akan halnya ajaran pokok Ahlussunnah wal
Jama'ah dan rinciannya akan berbeda antara satu dengan lainnya. Ibnu Taymiyah
misalnya mengatakan bahwa pokok pokok ajaran Ahlussunnah adalah Mengimani
terhadap sifat Allah apa adanya, Al-Qur'an adalah. Kalamullah. bukan Makhluk,
kaum mukmin bisa melihat Allah di sorga, percaya kepada hari akhir dengan
segala kejadiannya, percaya kepada Qadla dan Qadar, Iman adalah perkataan dan
perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang, mencintai sahabat Nabi, percaya
kepada Karamah para wali, dan seterusnya. (Lih. Al-Mishri: Ibid. ").

3
Sementaral "Al-Harbi, Ahmad bin Awadullah" dalam kitabnya "al
Maturidiyah" menjelaskan bahwa pokok ajaran Ahlussunnah dalam hal akidah
adalah sebagai berikut: 1. Agama Islam telah sempurna.tidak kurang tidak lebih.
2.Apa yang ada dalam Al-Qur'an dan Hadis sahih adalah sesuai dan tidak
bertentangan dengan Akal. 3.Mempercayai dengan yakin apa yang berasal dari
Nabi melalui hadis hadisnya baik yang mutawatir maupun yang Ahad.baik dalam
masalah akidah maupun syari'ah. 4. Tunduk kepada perintah Allah dan RasulNya.
5.Teks yang terkait dengan sifat sifat Allah adalah sudah jelas, bukan mutasyabih
lagi yang tidak diketahui maknanya. 6.menggunakan makna hakiki bukan majazi
khususnya dalam mengartikan sifat sifat Allah. 7.Al-Qur'an menggunakan juga
dalil dalil akli (nalar). (al-Maturidiyah: h.59)

Apa yang dikemukakan oleh beberapa ulama tentang ajaran Ahlussunnah


wal jama’ah secara rinci asalah lebih dlam rangka membedakan antara mereka
dengan kelompok lainnya

Barangkali yang lebih penting lagi dari sekedar merinci ajaran


Ahlussunnah. adalah karakteristik ajarannya. Karakteristik ajaran Ahlussunnah
adalah : 1.Satu sumber yaitu Al-Qur'an, Hadis dan Ijma' para sahabat. 2.sesuai
dengan dalil dalil yang sahih baik secara rasio maupun secara naql. 3.jelas dan
gambalng. Bisa. dimengerti oleh orang awam sekalipun. 4.tetap tidak tergoyahkan
bersama dengan bergulirnya waktu. Karena ajaran ini sesuai dengan fitrah
manusia.(Islam.Web).

Ada juga yang menjelaskan bahwa ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah


bersifat "Tawassuth" atau moderat. Tidak ekstrim kanan maupun ekstrim kiri.
Pengertian moderat disini adalah dari semua segi, baik dari segi akidah, syari'ah
maupun akhlak. Sikap moderat yang demikian inilah yang menjadikan masyarakat
mencintai ajaran ini. Dalam sejarah masuknya islam dipelbagai negeri islam,
seperti negeri negeri arab, penduduk yang tadinya memeluk agama lain, serta
merta mengganti keyakinan mereka, adat istiadat. mereka, bahasa mereka dengan
keyakinan, bahasa, adat istiadat bangsa. yang menaklukkan merekayaitu kaum.
muslimin.

4
Ciri khas lainnya dari kelompok Ahlissunnah wal jama’ah adalah
semangat persatan (jama’ah) dan tidak senang dengan perpecahan

Di Indonesia penyebaran aswaja dikembangkan oleh NU dan memiliki


lima prinsip dasar yang menjadi paradigm keagamaan warga NU, antara lain :

Yang pertama Prinsip al-tawassuth, Yaitu jalan tengah, tidak ekstrem kanan
atau kiri. Dalam paham Ahlussunnah Wal Jamaah, baik bidang hukum (syariah)
bidang akidah, maupun bidang akhlak, selalu dikedepankan prinsip tengah-
tengah. Juga di bidang kemasyarakatan selalu menempatkan diri pada prinsip
hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil, lurus di tengah-tengah kehidupan
bersama, sehingga ia menjadi panutan dan menghindari segala bentuk pendekatan
ekstrem.

Sikap moderasi Ahlussunnah Wal Jamaah tercermin pada metode


pengambilan hukum (istinbath) yang tidak semata-mata menggunakan nash,
namun juga memperhatikan posisi akal. Begitu pula dalam wacana berfikir selalu
menjembatani antara wahyu dengan rasio (al-ra’y). Metode (manhaj) seperti
inilah yang diimplementasikan oleh imam mazhab empat serta generasi lapis
berikutnya dalam menelorkan hukum-hukum pranata sosial/fikih. Moderasi
adalah suatu ciri yang menegahi antara dua pikiran yang ekstrem; antara
Qadariyah (reewillisme) dan Jabariyah (fatalisme), ortodoks Salaf dan
rasionalisme Mu'tazilah, dan antara sufisme falsafi dan sufisme salafi.

Penerapan sikap dasar tawassuth dalam usaha pemahaman al-Qur’an dan al-
Hadits sebagai sumber ajaran Islam, dilakukan dalam rangka: (1) Memahami
ajaran Islam melalui teks mushhaf al-Qur’an dan kitab al-Hadits sebagai dokumen
tertulis; (2) Memahami ajaran Islam melalui interpretasi para ahli yang harus
sepantasnya diperhitungkan, mulai dari sahabat, tabi’in sampai para imam dan
ulama mu’tabar; (3) Mempersilahkan mereka yang memiliki persyaratan cukup
untuk mengambil kesimpulan pendapat sendiri langsung dari al-Qur’an dan al-
Hadits.

5
Yang kedua Prinsip tawazun, Yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan,
sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akherat,
kepentingan pribadi dan masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa datang.
Pola ini dibangun lebih banyak untuk persoalan-persoalan yang berdimensi sosial
politik. Dalam bahasa lain, melalui pola ini Aswaja ingin menciptakan integritas
dan solidaritas sosial umat.

Sikap netral (tawazun) Ahlussunnah Wal Jamaah berkaitan dengan sikap


mereka dalam politik. Ahlussunnah Wal Jamaah tidak selalu membenarkan
kelompok garis keras (ekstrem). Akan tetapi, jika berhadapan dengan penguasa
yang lalim, mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi.
Dengan kata lain, suatu saat mereka bisa akomodatif, suatu saat bisa lebih dari itu
meskipun masih dalam batas tawazun.

Yang ketiga Prinsip al-tasamuh, Yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan


pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah, sehingga tidak terjadi
perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta
persaudaraan yang islami (ukhuwah islamiyah). Berbagai pemikiran yang tumbuh
dalam masyarakat Muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Keterbukan
yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan Aswaja
meimiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat. Corak ini
sanagt tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam. Sebuah wacana pemikiran
keislaman yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek relasi sosial.

Dalam diskursus sosial-budaya, Aswaja banyak melakukan toleransi terhadap


tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam
substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam
aspek-aspek kebudayaan dalam Aswaja tidaklah memiliki signifikansi yang kuat.
Karena itu, tidak mengherankan dalam tradisi kaum Sunni terkesan wajah kultur
Syi'ah atau bahkan Hinduisme.

6
Sikap toleran Aswaja yang demikian telah memberikan makna khusus dalam
hubungannya dengan dimensi kemanusiaan secara lebih luas. Hal ini pula yang
membuatnya menarik banyak kaum muslimin di berbagai wilayah dunia.
Pluralistiknya pikiran dan sikap hidup masyarakat adalah keniscayaan dan ini
akan mengantarkannya kepada visi kehidupan dunia yang rahmat di bawah prinsip
ketuhanan.

Yang keempat Prinsip ta’adul (keadilan), Ahlussunnah Wal Jamaah


terefleksikan pada kiprah mereka dalam kehidupan sosial, cara mereka bergaul
serta kondisi sosial pergaulan dengan sesama muslim yang tidak mengkafirkan
ahlul qiblat serta senantiasa bertasamauh terhadap sesama muslim maupun umat
manusia pada umumnya.

Yang kelima Prinsip amar ma’ruf nahi munkar yaitu, (menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dengan prinsip ini, akan timbul kepekaan
dan mendorong perbauatan yang baik/saleh dalam kehidupan bersama serta
kepekaan menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan
kehidupan ke lembah kemungkaran. Jika empat prinsip ini diperhatikan secara
seksama, maka dapat dilihat bahwa ciri dan inti ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah
adalah pembawa rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamain).

Ada enam prinsip utama yang membedakan antara Ahlus Sunnah al


Jamaah dan golongan lain antara:

1. Ikhlas dalam Beribadah

Ikhlas menurut arti bahasa: membersihkan atau memurnikan sesuatu dari


kotoran. Sedangkan menurut istilah syar’i, ikhlas adalah membersihkan dan
memurnikan ibadah dari segala jenis kotoran syirik. Setelah diketahui
pengertian ikhlas menurut pengertian syar’i, dapat diambil kesimpulan bahwa
orang dikatakan ikhlas dalam beribadah apabila ia bertauhid dan meninggalkan
segala jenis syirik. Perlu diketahui, bahwa seseorang itu dikatakan bertauhid
apabila meyakini dengan mantap tiga jenis tauhid dan meninggalkan dua jenis
syirik. Lalu apa saja tiga jenis tauhid yang harus diyakini?

7
 Tauhid Rububiyyah , maksudnya kita harus yakin bahwa yang mencipta,
yang memberi rezeki dan yang mengatur alam semesta hanya Allah
Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.
 Tauhid Uluhiyyah, maksudnya yakin bahwa yang berhak disembah dan
diberikan segala bentuk peribadatan hanyalah Allah Ta’ala tidak ada
sekutu bagi-Nya.
 Tauhid Asma’ wa Sifat,maksudnya kita harus yakin bahwa Allah Ta’ala
memiliki Nama dan Sifat yang Mulia dan tidak sama dengan makhluk-
Nya.

2. Bersatu di atas Alquran dan Assunnah dengan pemahaman


salaful ummah Ahlus.
Sunnah wal Jamaah memiliki prinsip persatuan yang mantap dan akan terus
diperjuangkan. Apa itu?Yaitu bersatu di atas Al Quran dan Assunnah dengan
pemahaman salaful ummah. Mengapa harus bersatu diatas Alquran dan
Assunnah? Karena ini memang perintah dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman dalam surat Ali Imran ayat 103: “Dan
berpegang teguhlah dengan tali Allah seluruhnya dan jangan kalianberpecah
belah …”

Ibnu Mas’ud radliyallahu ’anhu berkata: “Tali Allah artinya Kitabullah”.


(Tafsir Ibnu Jarir dan lainnya). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Aku tinggalkan sesuatu untuk kalian. Bila kalian berpegang teguh
dengannya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan
Sunnahku.” (HR. Imam Malik, Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani dalam
Al-Misykah no: 186).

8
3. Larangan Memberontak dan Kewajiban Mentaati Penguasa
Muslim yang Sah dalam hal yang ma’ruf (benar).
Menggulingkan kekuasaan pemerintah pada saat ini seolah-olah menjadi
tujuan kebanyakan orang. Mereka ingin tokoh idolanya menjadi pemegang
tampuk kekuasaan, lebih-lebih bila sang penguasa memiliki banyak kelemahan
walaupun masih sah dan beragama Islam, mereka berusaha mati-matian untuk
menggulingkan dengan mengatasnamakan rakyat dan keadilan. Lalu bagaimana
prinsip Al Quran dan Assunnah menurut pemahaman salaful ummah dalam
menyikapi sang penguasa ? Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang
artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul dan
Ulil Amri (pemimpin/penguasa muslim)…” Syaikh As-Sa’di rahimahullah
dalam tafsirnya menjelaskan maksud ayat ini sebagai berikut: “Allah
memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri, mereka adalah pemimpin negara,
hakim atau mufti (ahli fatwa). Dalam hadits shahih disebutkan, dari Ubadah bin
Shomit, Radiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah mengambil janji setia kepada kami, agar kami mendengar dan taat
(kepada penguasa) baik dalam keadaan bersemangat atau lesu, dalam keadaan
sulit atau mapan meskipun kami dizalimi, dan agar kami tidak menggulingkan
kekuasaan lalu beliau bersabda: “Kecuali kalian melihat ada kekufuran yang
nyata (pada penguasa) dan kalian memiliki dalil dari Allah dalam masalah
tersebut.” (HR. Muslim/1709, Nasa’i dan lainnya).

4. Menggapai Kemuliaan dengan Ilmu Syar’i

Kita semua sepakat bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk
beribadah kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam
Al – Quran surat Adz -Dzariyat ayat 56. Oleh sebab itu, merupakan keharusan
bagi kita untuk mengerti, apa yang dimaksud ibadah itu.Apakah ibadah hanya
sebatas shalat, puasa, haji atau yang lainnya? Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya
Al-’Ubudiyyah halaman 38 menjelaskan bahwa ibadah itu mencakup segala
perkara yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala baik berupa ucapan merupakan
perbuatanbaik yang nampak maupun yang tersembunyi.

9
Perlu diketahui, bahwa Al Quran dan Assunnah itulah yang disebut Ilmu
Syar’i sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma dan
lainnya. Lihat “Al-Ilmu Asy-Syar’i” halaman 8-10 karya Abdurrahman Abul
Hasan Al-’Aizuri. Siapa saja yang mempelajari ilmu syar’i dan
mengamalkannya berarti ia telah menjalankan tugas ibadah dengan baik dan
benar, barang siapa yang telah menunaikan tugas ibadah dengan baik, ia layak
mendapat kemuliaan dan kehormatan dari Allah Ta’ala. Di dalam surat Al-
Mujadalah ayat 11 disebutkan: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang
yang beriman dan berilmu diantara kalian.” As- Sa’di rahimahullah dalam
tafsirnya halaman 846 berkata: “Di dalam ayat ini terdapat keutamaan ilmu
syar’i, dan buah dari ilmu itu adalah beradab dan beramal atas dasar ilmu
tersebut.”

5. Meyakini bahwa Wali Allah Adalah Orang yang Beriman dan


Bertakwa.

Bila kita amati sejenak keadaan umat, kita akan dapati satu masalah
yang sangat memasyarakat di tengah mereka. Adegan-adegan luar biasa yang
membuat sebagian orang merasa kagum, ada yang tidak mempan ditusuk senjata
tajam, ada yang bisa makan beling seperti makan kerupuk, ada yang tidak
penyet digilas mobil, ada yang kepalanya dipenggal lalu bisa langsung sambung
dan yang sejenisnya. Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya : “Ingatlah,
sesungguhnya Wali Allah itu tidak akan takut dan bersedih hati, mereka adalah
orang-orang yang beriman dan bertaqwa.” (QS. Yunus: 62) Ibnu Katsir
rahimahullah dalam tafsirnya (2/422) menjelaskan: “Allah Ta’ala menyatakan
bahwa wali-Nya adalah orang beriman dan bertaqwa, maka siapa saja yang
benar-benar bertaqwa maka ia layak disebut wali Allah Ta’ala”. Di dalam Al
Quran banyak disebutkan ciri-ciri Wali Allah, ciri-ciri yang dimaksud diantar
nya:

10
 Beriman dan bertaqwa ( QS. Yunus : 62 )
 Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ( QS. Ali Imran : 31 )
 Mencintai dan dicintai Allah Ta’ala karena mereka sayang kepada kaum
muslimin dan tegas dihadapan orang kafir, mereka berjihad fii sabilillah dan
tidak takut celaan apapun. ( QS. Al-Maidah : 54 )

Di dalam As-Sunnah As-Shohihah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam


kitab Ar-Riqoq Bab At-Tawadlu’ (7/190) dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu
disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan ciri wali Allah,
yaitu mereka rajin mengamalkan amalan-amalan sunnah setelah menunaikan amalan
wajib. Beberapa hal-hal yang terjadi pada diri seseorang itu terdapat beberapa jenis,
yaitu :
 Mu’jizat, terjadi pada nabi dan rasul.
 Irhash, terjadi pada calon nabi dan rasul.
 Karamah, terjadi pada wali Allah selain nabi dan rasul.
 Istidroj atau sihir, terjadi pada wali syaithon.

6. Mensukseskan Gerakan Tashfiyah (permunian) & Tarbiyah (Pendidikan)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi dalam kitabnya Fadhlullah As-


Shomad (1/17) menyatakan, ada tiga penyebab perpecahan dan kelemahan kaum
muslimin saat ini. Pertama : tidak bisa membedakan antara ajaran Islam yang murni
dengan ajaran yang disusupkan ke dalam Islam. Kedua : kurang yakin dengan kebenaran
Islam. Ketiga : tidak mengamalkan Islam secara utuh. Dari Abu Najih Al-’Irbadl bin
Sariyah radliyallahu ‘anhu ia bercerita : “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberi nasehat kepada kita, nasehat itu membuat hati bergeta : “Wahai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepertinya nasehat ini adalah nasehat perpisahan,
untuk itu berilah kami wasiat!” Maka beliaupun bersabda : “Aku wasiatkan kepada kalian
agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tetap mendengar dan taat ( dalam hal
yang baik ) walaupun kalian diperintah oleh penguasa dari budak Habsyi. Sesungguhnya,
siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku nanti, pasti melihat banyak
perselisihan, maka wajib atas kalian untuk tetap berpegang teguh dengan sunnahku dan

11
sunnah Khulafaurrosyidin yang mendapat petunjuk, peganglah sunnah itu dan gigitlah
dengan gigi geraham ( jangan sampai lepas ) dan jauhilah perkara-perkara baru yang
disusupkan ke dalam agama karena sesungguhnya setiap perkara baru yang disusupkan ke
dalam agama itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. ( HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ nomor : 2546

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jelas menyatakan
bahwa penyebab perpecahan umat dan kelemahannya adalah tidak bisa membedakan
antara sunnah beliau dan bid’ah yang disusupkan ke dalam ajaran agama. Disamping itu
beliau juga memberikan solusinya dengan cara berpegang teguh dan mengamalkan
sunnah beliau, yakni ajaran Islam yang murni. Berangkat dari sinilah, Ahlus Sunnah wal
Jamaah berusaha sekuat tenaga untuk mensukseskan gerakan Tashfiyah dan Tarbiyah.
Lalu apa yang dimaksud dengan Tashfiyah dan Tarbiyah itu? Tashfiyah adalah gerakan
pemurnian ajaran Islam dengan cara menyingkirkan segala keyakinan, ucapan maupun
amalan yang bukan berasal dari Islam. Sedangkan Tarbiyah adalah usaha mendidik
generasi muslim dengan ajaran Islam yang murni, yang berdasarkan Al Quran dan
Assunnah dengan pemahaman para Shahabat Radliyallahu ‘anhum ajma’in.

Dalam rangka mensukseskan gerakan ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah terus
menerus memperingatkan umat dari segala bentuk penyimpangan baik berupa
kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan maupun kemaksiatan, di samping itu juga meluruskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik yang ada di kitab- kitab yang tersebar di
kalangan umat maupun pernyataan-pernyataan sesat dari para penyesat. Dan yang
termasuk program ini adalah memisahkan antara hadits shahih dengan hadits dha’if, ini
semua dinilai sebagai amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban kita semua.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Menyuruh umat untuk mengikuti sunnah dan
melarang mereka dari kebid’ahan termasuk amar ma’ruf nahi munkar dan termasuk
amal shaleh yang paling utama”. (Minhajus Sunnah: 5/253).

12
2.2 NILAI TAWASUTH DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS

A. Pengertian At- Tawasuth

Tawasuth, adalah sikap tengah – tengah atau sedang di antara dua sikap, tidak terlalu
keras (fundamentalis) dan terlalu bebas (liberalisme). Dengan sikap inilah Islam bisa di
terima di segala lapisan masyarakat.1Seperti yang dipaparkan oleh Muhammad Az-
Zuhaili, dalam bukunya.

Moderat dalam Islam : Sesungguhnya Allah telah mengutus para Rasul serta
menurunkan kitab-kitab dan syariat-syariat sebagai pelita bagi umat manusia dalam
kehidupan mereka, sebagai penerang dalam amal- amal perbuatan mereka, sebagai jalan
yang lurus dan mu’amalah (pergaulan) mereka dan sebagai keimanan yang benar dan
murni dalam akidah mereka. Sehingga, mereka dapat keluar dari kondisi-kondisi
kegelapan menuju kondisi yang penuh dengan cahaya dan mendapatkan petunjuk
kepada cara yang lebih lurus. Juga mengajak mereka kepada sesuatu yang dapat
membuat mereka tetap hidup di dunia dan akhirat dengan sesuatu yang sesuai dengan
fitrah yang sehat jiwa insaniah.

Sikap Tawasuth yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi
keharusan adil dan lurus di tengah – tengah kehidupan bersama bertindak lurus dan
selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersikap
tathorruf (ekstrim). Hal yang perlu di perhatikan dalam penerapan tawasuth ialah:

a. tidak bersikap ekstrim dalam menyebarluaskan ajaran


Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b. tidak mudah mengkafirkan sesama muslim karena perbedaan pemahaman
agama.

c. memposisikan diri dalam kehidupan bermasyarakat dengan senantiasa


memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi, hidup
berdampingan baik dengan sesama warga NU, sesama umat Islam maupun
warga Negara yang memeluk agama lain.

13
 At – Tawasuth Bidang Aqidah

Dalam hal akidah, Ahlussunnah Wal Jama’ah mempertimbangkan dan menetapkan


beberapa hal di bawah ini:

a. Keseimbangan dalam telaah dan penggunaan dalil akal (‘aqli) dan dalil syara’
(naqli), agar tidak mengalahkan salah satunya.
b. Memurnikan akidah dengan cara membersihkan dan meluruskan dari pengaruh
akidah yang sesat, baik dari dalam maupun luar Islam.
c. Menjaga keseimbangan berfikir, supaya tidak mudah menilai salah, menjatuhkan
vonis musyrik, bud’ah pada orang lain, bahkan mengkafirkannya.

Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan konsep al- kasb (upaya).
Menurut Asy’ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki
peranan dalam perbuatannya. Dalam konteks kehidupan sekarang, aqidah Asy’ariyah,
paling memungkinkan dijadikan landasan memajukan bangsa. Dari persoalan ekonomi,
budaya, kebangsaan sampai memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan kekinian,
seperti HAM, kesehatan, gender, otonomi daerah dan sebagainya.
Dengan sikap tawasuth maka manusia tidak boleh semenamena dalam melakukan
sesuatu di dunia ini, ada pertanggung jawaban kepada Tuhan. Manusia diberi kebebasan
untuk tetap mengembangkan potensi pada dirinya, boleh berusaha mencapai sesuatu
dalam hidupnya dengan berbagai cara, asalkan tetap berada dalam aturan- aturan Islam.
Disisi lain manusia harus mempunyai sikap tawakkal (berserah diri) terhadap putusan
Allah SWT.
Sikap Tawasuth yang ditunjukkan oleh Maturidiyah adalah upaya pendamaian
antara al-naqli dan al-‘aqli (nash dan akal). Maturidiyah berpendapat bahwa suatu
kesalahan apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql), sama juga
salah apabila kita larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio (‘aql). Menggunakan
‘aql sama pentingnya dengan menggunakan naql. Sebab akal yang dimiliki oleh
manusia juga berasal dari Allah, karena itu dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan umat
Islam untuk menggunakan akal dalam memahami tanda-tanda (al-ayat) kekuasaan Allah
yang terdapat di alam raya.

14
 At –Tawasuth Bidang Ibadah

Menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah dasar yang menjadi sumber hukum Islam
(Syariah Islam) itu ada empat, yaitu : Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’ dan
Qiyas. Dalam hal syari’ah . Ahlussunnah Wal Jama’ah mempertimbangkan dan
menetapkan beberapa hal di bawah ini:

a. Berpegang pada Al-Qur’an dan al-Hadist dengan cara-cara yang benar


menurut ahlinya, yakni ulama salaf yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.
b. Akal dapat digunakan ketika terjadi masalah dan tidak ditemukan dalil nash
(Al-Qur’an dan Al-Hadist) yang jelas dan mengikat (sharih dan qath’iyyud
dilalah).
c. Menerima setiap perbedaan pendapat dalam menilai suatu masalah, ketika dalil
nash masih mungkin ditafsirkan yang lain (dzanniyyud dilalah).
d. Selalu mempertimbangkan aspek kemaslahatan dalam mengamalkan syariat di
tengah-tengah lapisan masyarakat yang majmu’ (campuran)

 At- tawasuth Bidang Akhlak

Dalam bidang Tashawwuf (Akhlak), Ahlussunnah Wal Jama’ah selalu berpegang


teguh dan berhati – hati dalam beberapa hal penting, yaitu:

a. Mendorong dan mengajarkan faham Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam bidang


Tashawwuf dengan menggunakan cara – cara yang tidak bertentangan dengan
syariat Islam dan peraturan perundang – undangan (hukum positif).
b. Bersikap sopan santun, rendah hati (Tawadlu’), dan menjaga hati (Khusyu’)
dengan siapapun dan dimanapun berada
c. Selalu berusaha mewujudkan rasa aman, tentram pada diri sendiri khususnya,
dan lapisan masyarakat pada umumnya.
d. Tidak mudah tergoyah- goyah dan termakan isu-isu yang menyesatkan dan
tidak bertanggung jawab, serta tidak terlalu berlebihan dalam menilai sesuatu.

15
2.3 NILAI KEADILAN DALAM AL – QUR’AN DAN AL HADISTS

Keadilan (Adl) merupakan salah satu al-asmaul husna, yang menunjukkan kepada
Allah sebagai pelaku, jadi seorang yang ‘adil adalah berjalan dan sikapnya selalu
menggunakan ukuran yang sama, bukan berganda. Sehingga Islam menyuruh adil dalam
memutuskan hukum, Allah berfirman: (Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu mentapkan dengan adil.) (Qs. An
Nisaa’:58)

 Ayat – ayat Al – Qur’an yang menjelaskan tentang keadilan

‫اِ َّن هّٰللا َ يَْأ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َوااْل ِ حْ َسا ِن َواِ ْيت َۤاِئ ِذى ْالقُرْ ٰبى َويَ ْن ٰهى َع ِن ْالفَحْ َش ۤا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغ ِي‬
٩٠ - َ‫يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ ن‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi
kepada kamu kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(Q.S An-Nahl : 90)”

Ayat Pendukung :

‫شنَ ٰانُ قَ ْو ٍم ع َٰلٓى اَاَّل‬


َ ‫س ِۖط َواَل يَ ْج ِر َمنَّ ُك ْم‬
ْ ِ‫ش َهد َۤا َء بِا ْلق‬ُ ِ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ُك ْونُ ْوا قَ َّوا ِميْنَ هّٰلِل‬
٨ – َ‫ب لِلتَّ ْق ٰو ۖى َواتَّقُوا هّٰللا َ ۗاِنَّ هّٰللا َ َخبِ ْي ۢ ٌر بِ َما تَ ْع َملُ ْون‬ُ ‫تَ ْع ِدلُ ْوا ۗاِ ْع ِدلُ ْو ۗا ه َُو اَ ْق َر‬
”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.Dan janganlah sekali-
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil.Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S Al-
Maidah:8)

16
 Hadist yang berkaitan dengan keadilan

Dari Nu’man bin Basyir ra, berkata: Berlaku adillah kalian kepada anak-anak kalian.
(HR. Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad)

Artinya:
“Dari Abdullah ibni amr ibnil ash ‫ عنهما الله رضي‬, telah bersabda Rosulullah ‫صلى‬
‫ سلم و عليه الله‬: “Sesungguhnya orang yang adil berada dekat dengan ALLAH diatas
mimbar dari cahaya, disebelah kanan ALLAH , dantangan keduaNYA adalah kanan, yaitu
mereka yang adil didalam hukum mereka dan kepada keluarga mereka dan segala yang
diamanahkan kepada mereka.” (HR. Muslim)

Artinya:

“Apabila kalian memutuskan hukum maka bersikaplah adil!” (Dinyatakan hasan oleh
al-Albani dalam ash-Shahiha

‫وأجمع آية في كتاب هللا للخير والشر الية التي فى النحل إن هللا يأمر بالعدل ولحسان‬

Artinya:

Dan ayat yang paling luas lingkupnya dalam Alquran tentang kebaikan dan kejahatan
ialah ayat dalam surah An Nahl (yang artinya): "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adildan berbuat kebaikan" (H.R Bukhari dan Ibnu Jahir dan Ibnu Jarir dari Ibnu
Mas'ud)

17
 Kesimpulan dari ayat al-qur’an tentang keadilan

Keadilan adalah kata jadian dari kata “adil” yang terambil dari bahasa Arab
“‘adl”.Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti
“sama”.Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan:

1. Tidak berat sebelah/tidak memihak

2. berpihak kepada kebenaran

3. Sepatutnya/tidak sewenang-wenang.
“Persamaan” yang merupakan makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan
pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada
yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh
haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” tidak sewenang-wenang”.

Keadilan diungkapkan oleh al-Quran antara lain dengan kata-kata al-’adl, al- qisth,
al-mîzân, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu
menjadi antonim kezaliman. ‘Adl, yang berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak
atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”.

Dalam Q.S An-Nahl ayat 90; Allah SWT memerintahkan berbuat adil dalam
melaksanakan isi Alquran yang menjelaskan segala aspek kehidupan manusia, serta
berbuat ihsan (keutamaan).Adil berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan di
antara hak dan kewajiban mereka.Hak asasi mereka tidaklah boleh dikurangi disebabkan
adanya kewajiban atas mereka.

Ayat ini dinilai oleh pakar sebagai ayat yang paling sempurna dalam penjelasan
segala aspek kebaikan dan keburukan. Allah swt berfirman sambil mengukuhkan dan
menunjuk lansung dirinya dengan nama yang teragung guna menekan pentingnya pesan-
pesan-Nya untuk berlaku adil dalam sikap, ucapan dan tindakan, walau terhadap diri
sendiri dan menganjurkan berbuat ihsan, yakni yang lebih utama dari keadilan, dan juga
pemberian apapun yang dibutuhkan dan sepanjang kemampuan bagi dengan tulus kepada
kaum kerabat, dan dia yakni Allah melarang segala macam dosa, lebih-lebih perbuatan
keji yang amat tercela oleh agama dan akal sehat seperti zina dan homoseksual.

18
Firman Allah SWT:

‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكوْ نُوْ ا قَ َّوا ِم ْينَ هّٰلِل ِ ُشهَد َۤا َء بِ ْالقِ ْس ِۖط َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشن َٰا ُن قَوْ ٍم ع َٰلٓى اَاَّل‬
َ‫تَ ْع ِدلُوْ ا ۗاِ ْع ِدلُوْ ۗا هُ َو اَ ْق َربُ لِلتَّ ْق ٰو ۖى َواتَّقُوا هّٰللا َ ۗاِ َّن هّٰللا َ َخبِ ْي ۢ ٌر بِ َما تَ ْع َملُوْ ن‬
Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan"(Q.S Al Ma'idah:
8)

Allah SWT menetapkan keadilan sebagai dasar umum bagi kehidupan masyarakat
untuk setiap bangsa dan masa, untuk setiap umat pada segala zaman.Keadilan merupakan
tujuan dan pengutusan Rasul-rasul ke dunia dan tujuan dari syariat dan hukum yang
diturunkan bersama mereka.

Keadilan pertama yang dituntut adalah dari diri dan terhadap diri sendiri dengan
jalan meletakkan syahwat dan amarah sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah
akal dan agama bukan menjadikan tuan yang mengarahkan akal dan tuntutan agamanya.
Karena jika ia demikian ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan sesuatu pada
tempatnya yang wajar.
Contoh:

 Orang tua memberikan kasih sayang kepada anak-anak mereka tanpa membeda-
bedakannya.
 Anak-anak berbakti kepada kedua orang tuanya tanpa membeda-bedakan pula
 Semua murid memperoleh perlakuan yang sama dari sang guru, tanpa
membeda-bedakan apakah ia pandai atau tidak.
 Berat ringannya vonis hakim sesuai dengan berat ringannya kesalahan yang
dilakukannya.

19
Adil hukumnya wajib, Adil yang diperintahkan Allah ini mencakup adil terhadap
hak-Nya dan adil terhadap hak hamba-Nya.Caranya adalah dengan menunaikan
kewajibannya secara sempurna. Kepada Allah SWT, misalnya dengan mentauhidkan-Nya
dan tidak berbuat syirik, menaati-Nya dan tidak mendurhakai, mengingat-Nya dan tidak
melupakan, serta bersyukur kepada-Nya dan tidak kufur. Kepada manusia, misalnya
dengan memenuhi haknya. Jika sebagai pemimpin, maka ia memenuhi kewajibannya
terhadap orang yang berada di bawah kepemimpinannya, baik ia sebagai pemimpin dalam
ruang lingkup yang besar (imamah kubra), menjabat sebagai qadhi (hakim), wakil
khalifah atau wakil qadhi.

2.4 NILAI KESEIMBANGAN DALAM AL – QUR’AN DAN HADITS

 Ayat-ayat Al Quran yang membahas tentang keseimbangan.

Allah SWT menciptakan sesuatu dengan berpsang-pasangan , ada siang ada malam,
ada bumi ada langit, ada matahari ada bulan , ada laki-laki adfa perempuan dan lain
sebagainya. Selain menciptakan kehidupan dunia, Allah juga menciptakan kehidupan
akhirat. Kehidupan akhirat tersebut hanya akan di tempati kelak ketika kehidupan didunia
sudah berahir.Dunia adalah sarana yang akan mengantarkan ke akhirat. Manusia hidup
didunia memerlukan harta benda untuk memenuhi hajatnya, seperti makan, minum,
pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya yang semuanya itu perlu diusahakan. Harat yang
diperoleh dalam kehidupan dunia juga bisa digunakan untuk bekal beribadah kepada
Allah, karena dalam pelaksanaan ibadah itu sendiri tidaj lepas dari harta. Dengan kata lain
orang yang dapat menyeimbangkan kepentingan dunia dan akhirat akan lebih tenang
dalam menjalani hidup.

1. Q.S.Al-Qashash ayat 77:

َ‫سنَ هّٰللا ُ اِلَ ْيك‬ ِ ‫ص ْيبَ َك ِمنَ ال ُّد ْنيَا َواَ ْح‬
َ ‫سنْ َك َمٓا اَ ْح‬ ِ َ‫س ن‬
‫هّٰللا‬
َ ‫َوا ْبت َِغ فِ ْي َمٓا ٰا ٰتى َك ُ الدَّا َر ااْل ٰ ِخ َرةَ َواَل تَ ْن‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫ض ۗاِنَّ َ اَل يُ ِح ُّب ا ْل ُم ْف‬
َ‫س ِديْن‬ َ َ‫َواَل تَ ْب ِغ ا ْلف‬
ِ ‫سا َد فِى ااْل َ ْر‬
Artinya; “ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah

20
berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

2. Q.S Al – Baqarah ayat 201:

َ ‫َو ِم ْنهُ ْم َّم ْن يَّقُوْ ُل َربَّنَٓا ٰاتِنَا فِى ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َّوفِى ااْل ٰ ِخ َر ِة َح َسنَةً َّوقِنَا َع َذ‬
‫اب النَّار‬

Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"

 Hadist tentang keseimbangan hidup didunia dan akhirat

1. Hadits riwayat ibnu asakir dan anas

‫صيْبُ ِم ْنهُ َما َج ِم ْيعًا‬


ِ ُ‫ْس بِخَ ي ِْر ُك ْم َم ْن ت ََركَ ُد ْنيَاهُ اِل ِخ َرتِ ِه َوالَ ا ِخ َرتَهُ لِ ُد ْنيَاهُ َحتّى ي‬ َ ‫لَي‬
) ‫اس ( رواه ابن عسا كرعن انس‬ ِ َّ‫الخ َر ِة َواَل تَ ُكوْ نُوْ ا َك ًّل َعلَى الن‬ ِ ‫غ اِلَى ْا‬ ٌ ‫فَا ِ َّن ال َّد ْنيَا بَاَل‬
Artinya: “bukankah orang yang paling baik diantara kamu orang yang meninggalkan
kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk mengejar
dunia sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia
mengantarkan kamu menuju kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban orang
lain”

2. Hadits riwayat Hurairoh

Lafal dan terjemah hadits

‫ْف َوفِي ُك ٍّل َخ ْي ٌر ِإحْ ِرصْ َعلَى َما‬ َّ ‫ْل ُمْؤ ِم ُن ْالقَ ِويُّ خَ ْي ٌر َوَأ َحبَّ ِإلَى هّٰللا ِ ِمنَ ْال ُمْؤ ِمن ال‬
ِ ‫ض ِعي‬
‫يَ ْنفَعُكَ َوا ْستَ ِع ْن بِاهّٰلل ِ َواَل تَ ْع َج ْز (رواه مسلم عن أبى هريرة‬
Artinya: “mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh allah dari pada mukmin
yang lemah, sedangkan pada masing masing ada kebaikannya. Bersemangatlah kamu
untuk mencapai sesuatu yang bermanfaat bagimu. Mohonlah pertolongan kepada allah
dan janganlah kamu merasa tidak berdaya.

21
Dari hadis-hadis dan ayat-ayat diatas bisa diketahui bahwa kehidupan dunia
adalah suatu sarana untuk menuju kehidupan yang sejati yaitu kehdupan akhirat.
Adapaun dua dimensi kehidupan ini, harus sama-sama dipentingkan sebagai mana telah
di uraiakan di atas. Selain membahas menganai dua alam kehidupan yaitu dunia dan
akhirat, kita di printahkan untuk berbuat baik terhadap sesama dan menghindari
perbuatan merusak.
Seorang muslim dalam hidupnya harus bisa menyeimbangakan antara ilmu dan
amal. Tidak boleh hanya menekankan ilmu saja tanpa diimbangi dengan amal perbuatan
nyata. Mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan , artinya seseorang hanya berkutat
pada teori belaka dan berjalan di atas konsep yang kosong yang hanya menjadikan
ajaran Islam sebagai sumber diskusi dan diseminarkan tanpa ada praktik dalam
kehidupan sehari-hari.
Disisi lain umat Islam juga tidak boleh hanya menekankan amal ibadah saja
tanpa diimbangi ilmu yang cukup. Sebelum beramal harus diketahui dulu teori dan
ilmunya, sehingga diharapkan amal yang di lakuakan tersebut benar tidak menyeleweng,
dan berjalan pada jalan yang lurus dan benar yang akan mengantarkan kepada tujuan.
Beramal tanpa disertai ilmu yang cukup akan menyebabkan seseorang tersesat ditengah
jalan yang menyebabkan tidak recapainya tujuan.
Keterkaitan kandungan hadis dengan perilaku keseimbangan dalam fenomena
kehidupan:
1. Orang Islam yang baik adalah orang yang hidupnya seimbang antara urusan
dunia dan akhirat.
2. Islam tidak melarang kesenangan orang terhadap harta benda, selama harta itu
dimanfaatkan untuk mencari ridho Allah.
3. Orang Islam harus menjaga diri agar tidak menjadi beban orang lain.
4. Setiap orang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

2.5 Nilai Toleransi dalam al-Qur’an dan al-Hadist

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa artikata toleransi berarti
sifat atau sikap toleran. Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai “bersifat atau bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,

22
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri.

Toleransi merupakan kata yang diserap dari bahasa Inggris ‘tolerance’ yang
berarti sabar dan kelapangan dada, adapun kata kerja transitifnya adalah ‘tolerate’
yang berarti sabar menghadapi atau melihat dan tahan terhadap sesuatu, sementara kata
sifatnya adalah ‘tolerant’ yang berarti bersikap toleran, sabar terhadap sesuatu.
Dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan kata
toleransi adalah samâhah atau tasâmuh. Kata ini pada dasarnya berarti al- jûd
(kemuliaan), atau sa’at al-sadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan).
Makna ini berkembang menjadi sikap lapang dada atau terbuka (welcome) dalam
menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia. Dengan demikian,
berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan, maka kata
tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber pada
kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.
Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala
batasan-batasannya secara jelas dan gambling. Oleh karena itu, ayat-ayat yang
menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi
toleransi dalam kehidupan.
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau
mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit,
bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta Agama.Ini semua merupakan fitrah dan
sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan.Landasan dasar pemikiran ini adalah
firman Allah dalam QS. Al-Hujuraat ayat 13:

َ ‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَ لَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّواُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُشعُوْ بًا َّوقَبَ ۤا ِٕى َل لِتَ َع‬
‫ارفُوْ ا ۚ اِ َّن اَ ْك َر َم ُك ْم‬
‫ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم خَ بِ ْي ٌر‬
Artinya:. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

23
Misalnya toleransi dalam beragamaSeluruh manusia tidak akan bisa menolak
sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti
petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu.Toleransi antar umat
beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam
system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman
manusia, baik dilihat dari sisi Agama, suku, warna kulit, adat - istiadat, dsb.
Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut
Agama tertentu dan esok hari kita menganut Agama yang lain atau dengan bebasnya
mengikuti ibadah dan ritualitas semua Agama tanpa adanya peraturan yang mengikat.
Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan
adanya Agama-Agama lain selain Agama kita dengan segala bentuk system, dan tata
cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan Agama
masing-masing.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak
berbelit-belit.Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat
Islamtidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah
tidak sama dengan keyakinan para penganut Agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka.
Demikian juga dengan tata cara ibadahnya.
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih
dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan
(pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita
sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau
keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan.
Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa
kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran.
Dalam konteks pendapat dan pengamalan Agama, al-Qur’an secara tegas
memerintahkan orang-orang mu’min untuk kembali kepada Allah (al- Qur’an) dan
(Sunnah).

24
Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10:

َ‫اِنَّ َما ْال ُمْؤ ِمنُوْ نَ اِ ْخ َوةٌ فَاَصْ لِحُوْ ا بَ ْينَ اَخ ََو ْي ُك ْم َواتَّقُوا هّٰللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬
Artinya: Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min bersaudara,
dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya
terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an
memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap
muslim melakukannya.
 Toleransi dalam Perspektif Hadis Nabi saw.
Dalam hadis Rasulullah saw. ternyata cukup banyak ditemukan hadis-hadis yang
memberikan perhatian secara verbal tentang toleransi sebagai karakter ajaran inti Islam.
Hal ini tentu menjadi pendorong yang kuat untuk menelusuri ajaran toleransi dalam
Alquran, sebab apa yang disampaikan dalam hadis merupakan manifestasi dari apa yang
disampaikan dalam Alquran.
Di dalam salah satu hadis Rasulullah saw., beliau bersabda :

َ ‫ق ع َْن دَا ُو َد ب ِْن ْالح‬


‫ُصي ِْن ع َْن‬ َ َ‫َح َّدثَنِا عبد هللا حدثنى أبى حدثنى يَ ِزي ُد ق‬
َ ‫ال أنا ُم َح َّم ُد ب ُْن ِإ ْس َحا‬
ِ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأيُّ اَْأل ْدي‬
‫ان أحب الى هللا‬ َ ِ ‫يل لِ َرسُو ِل هَّللا‬ ٍ ‫ِع ْك ِر َمةَ ع َِن ا ْب ِن َعبَّا‬
َ َ‫س ق‬
َ ِ‫ال ق‬
‫قال الحنيفيَّةُ السمحة‬

[Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah
menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad
bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata;
Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?"
maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)]

25
Ibn Hajar al-Asqalany ketika menjelaskan hadis ini, beliau berkata: “Hadis ini di
riwayatkan oleh Al-Bukhari pada kitab Iman, Bab Agama itu Mudah” di dalam sahihnya
secara mu'allaq dengan tidak menyebutkan sanadnya karena tidak termasuk dalam
kategori syarat-syarat hadis sahih menurut Imam al-Bukhari, akan tetapi beliau
menyebutkan sanadnya secara lengkap dalam al-Adâb alMufrad yang diriwayatkan dari
sahabat Abdullah ibn ‘Abbas dengan sanad yang hasan.Sementara Syekh Nasiruddin al-
Albani mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis yang kedudukannya adalah hasan
lighairih.”

Berdasarkan hadis di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang toleran
dalam berbagai aspeknya, baik dari aspek akidah maupun syariah, akan tetapi toleransi
dalam Islam lebih dititikberatkan pada wilayah mua’malah. Rasulullah saw. bersabda :

[Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Ayyasy telah menceritakan kepada kami Abu
Ghassan Muhammad bin Mutarrif berkata, telah menceritakan kepada saya Muhammad
bin al-Munkadir dari Jabir bin 'Abdullah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Allah
merahmati orang yang memudahkan ketika menjual dan ketika membeli, dan ketika
memutuskan perkara"].

Imam al-Bukhari memberikan makna pada kata ‘as-samâhah’dalam hadis ini


dengan kata kemudahan, yaitu pada “Bab Kemudahan dan Toleransi dalam Jual-
Beli”.Sementara Ibn Hajar al-‘Asqalâni ketika mengomentari hadis ini beliau berkata:
"Hadis ini menunjukkan anjuran untuk toleransi dalam interaksi sosial dan menggunakan
akhlak mulia dan budi yang luhur dengan meninggalkan kekikiran terhadap diri sendiri,
selain itu juga menganjurkan untuk tidak mempersulit manusia dalam mengambil hak-hak
mereka serta menerima maaf dari mereka.

Islam sejak diturunkan berlandaskan pada asas kemudahan, sebagai-mana


Rasulullah saw. bersabda :

26
[Telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Muthahhar berkata, telah
menceritakan kepada kami Umar bin Ali dari Ma'an bin Muhammad Al Ghifari dari Sa'id
bin Abu Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama
kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, men-
dekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolong-lah dengan al-
ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah(berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu
dari adduljah (berangkat di waktu malam)"].

Ibn Hajar al-‘Asqalâni berkata bahwa makna hadis ini adalah larangan bersikap
tasyaddud (keras) dalam agama yaitu ketika seseorang memaksa-kan diri dalam
melakukan ibadah sementara ia tidak mampu melaksana-kannya itulah maksud dari kata :
"Dan sama sekali tidak seseorang berlaku keras dalam agama kecuali akan terkalahkan"
artinya bahwa agama tidak dilaksanakan dalam bentuk pemaksaan maka barang siapa
yang memaksakan atau berlaku keras dalam agama, maka agama akan mengalahkannya
dan menghentikan tindakannya.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. datang kepada
‘Aisyah ra., pada waktu itu terdapat seorang wanita bersama ‘Aisyah ra., wanita tersebut
memberitahukan kepada Rasulullah saw. perihal salatnya, kemudian Rasulullah saw.
bersabda :

["Hentikan, Kerjakan apa yang sanggup kalian kerjakan, dan demi Allah sesungguhnya
Allah tidak bosan hingga kalian bosan, dan Agama yang paling dicintai disisi-Nya adalah
yang dilaksanakan oleh pemeluknya secara konsisten"

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak memuji amalan-amalan yang
dilaksanakan oleh wanita tersebut, dimana wanita itu menberitahukan kepada Rasulullah
saw. tentang salat malamnya yang membuatnya tidak tidur pada malam hari hanya
bertujuan untuk mengerja-kannya, hal ini ditunjukkan ketika Rasulullah saw.

27
memerintahkan kepada ‘Aisyah ra. untuk menghentikan cerita sang wanita, sebab amalan
yang dilaksanakannya itu tidak pantas untuk dipuji secara syariat karena di dalamnya
mengandung unsur memaksakan diri dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam, sementara
Islam melarang akan hal tersebut sebagaimana yang ditunjukkan pada hadis sebelumnya.

Keterangan ini menunjukkan bahwa di dalam agama sekalipun terkandung nilai-


nilai toleransi, kemudahan, keramahan, dan kerahmatan yang sejalan dengan
keuniversalannya sehingga menjadi agama yang relevan pada setiap tempat dan zaman
bagi setiap kelompok masyarakat dan umat manusia.

Toleransi dalam Islam bukan berarti bersikap sinkretis. Pemahaman yang sinkretis
dalam toleransi beragama merupakan dan kesalahan dalam memahami arti tasâmuh yang
berarti menghargai, yang dapat mengakibat-kan pencampuran antar yang hak dan yang
batil (talbisu al-haq bi al-bâtil), karena sikap sinkretis adalah sikap yang menganggap
semua agama sama. Sementara sikap toleransi dalam Islam adalah sikap menghargai dan
menghormati keyakinan dan agama lain di luar Islam, bukan menyamakan atau
mensederajatkannya dengan keyakinan Islam itu sendiri.

Sikap toleransi dalam Islam yang berhubungan dengan akidah sangat jelas yaitu
ketika Allah swt. memerintahkan kepada Rasulullah saw. untuk mengajak para Ahl al-
Kitab untuk hanya menyembah dan tidak menye-kutukan Allah swt., sebagaimana firman-
Nya:

[Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak sembah kecuali Allah dan
kita tidak persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling, maka katakanlah
kepada mereka, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)"].

Berdasarkan riwayat di atas, maka benarlah bahwa Rasulullah saw. diutus menjadi
rahmat bagi seluruh alam. Beliau tidak tergesa-gesa mendoakan mereka (orang kafir)
dalam kehancuran, selama masih terdapat kemungkinan diantara mereka untuk menerima
dakwah Islam, sebab beliau masih mengharapkannya masuk Islam.

28
Adapun kepada mereka yang telah sampai dakwah selama beberapa tahun
lamanya, tetapi tidak terdapat tanda-tanda kenginan untuk menerima dakwah Islam dan
dikhawatirkan bahaya yang besar akan datang dari mereka seperti pembesar kaum
musyrik Quraisy (Abu Jahal dan Abu Lahab dkk), barulah Rasulullah mendoakan
kehancuran atas nama mereka.

Sikap Rasululullah saw yang mendoakan dan mengharapkan orang-orang musyrik


supaya menjadi bagian umat Islam, menguatkan bahwa Rasulullah saw. diutus membawa
misi toleransi, sebagaimana sabda beliau;

[Maka Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya aku tidak diutus untuk orang- orang
Yahudi dan Nasrani, akan tetapi aku diutus untuk orang-orang yang lurus terpuji.”]

Maka Ulasan terhadap hadis-hadis yang telah dikemukakan terdahulu,


menunjukkan bahwa toleransi dalam hadis mengarah kepada sikap terbuka dan mau
mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit,
bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama, atau yang lebih populer dengan sebutan
inklusivisme, pluralisme dan multikulturalisme. Hal ini sejalan firman Allah swt:

[Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi
Mahamengenal].

Seluruh manusia berada dalam lingkaran ‘sunnatullah’ ini. Ayat ini


mengindikasikan bahwa Allah swt menciptakan adanya perbedaan dan penting untuk
menghadapi dan menerima perbedaan-perbedaan itu, termasuk dalam konteks teologis.

29
Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu kajian penting
yang ada dalam sistem teologi Islam. Oleh karena Allah swt. telah mengingatkan akan
keragaman kebenaran teologis dan jalan keselamatan manusia, sebagaimana firman Allah
swt. :

[Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang- orang Yahudi
oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebab-kan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah
dan mereka menjadi saksi terhadapnya].

Dalam ayat lain disebutkan:

[Dan Kami telah mendatangkan Injil kepada Isa al-Masih, di dalamnya terdapat
petunjuk dan cahaya dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan
menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa].

Kedua ayat tersebut di atas dipahami bahwa dalam kitab tersebut juga terdapat
kebenaran, dan bersumber dari Allah Swt yang diwahyukannya melalui orang-orang
pilihan-Nya.Bahkan Allah swt.juga memberikan penghargaan yang setara terhadap umat
Yahudi dan Nasrani yang melaksanakan hukum-Nya sebagaimana disebutkan dalam
Alquran:

[Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang- orang


Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati].

Ayat ini menegaskan bahwa yang mendapatkan perlindungan dari Allah swt nanti
tidak semata-mata penganut agama tertentu saja, melainkan juga termasuk mereka yang
beriman dan melakukan amal saleh.
30
Asbab an-nuzul ayat ini menjelaskan, pada suatu hari Salman al-Farisi mendatangi
Rasulullah saw. dan menceritakan keadaan penduduk al-Dayr, yang mana mereka
melakukan shalat, puasa, beriman dan bersaksi tentang kenabian Muhammad saw. Lalu
Rasulullah saw. berkata kepada Salman, “Mereka adalah penduduk neraka”. Kemudian
Allah swt menegur Rasulullah saw. dan menurunkan ayat tersebut, bahwa sesungguhnya
orang-orang Muslim, Yahuni, Nasrani, Sabiin dan Majusi, terutama mereka yang
beriman kepada Allah, Hari Akhir dan melakukan amal saleh, mereka akan
mendapatkan surga-Nya.Allah swt yang Mahaagung dan Mahaadil akan bertindak
sebagai hakim dala memutuskan amal perbuatan setiap hamba-Nya.

Dengan demikian, Islam dalam konteks QS. Ali Imran/3: 85 (bahwa agama yang
diterima disisi Allah hanya Islam), harus dipahami sebagai agama yang dibawa Nabi
Muhammmad saw. sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dari agama yang dibawa
para nabi sebelumnya, yang bermula pada Nabi Ibrahim as. sampai kepada Nabi Musa
as. dan Isa as.
Toleransi dalam beragama bukan berarti boleh bebas menganut agama tertentu, atau
dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan
yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk
pengakuan akan adanya agama-agama lain dengan segala bentuk sistem dan tata cara
peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-
masing.

Sikap penerimaan dan pengakuan terhadap yang lain, sebagai ajaran


toleransi yang ditawarkan Islam, sebagaimana disebutkan dalamhadis- hadis maupun
ayat Alquran cukup rasional dan praktis. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan
(akidah) dan ibadah, tidak bisa disamakan dan dicampuradukkan, yang berarti bahwa
keyakinan Islam kepada Allah swt tidak sama dengan keyakinan para penganut agama
lain terhadap tuhan-tuhan mereka, dan juga tatacara ibadahnya. Walaupun demikian,
Islam tetap melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun.
Oleh karena itu, kata tasâmuh atau toleransi dalam Islam bukan sesuatu yang asing,
tetapi sudah melekat sebagai ajaran inti Islam untuk diimplementasiklan dalam
kehidupan sejak agama Islam itu lahir. Dalam konteks inilah hadis
yangdiriwayatkan oleh al-Bukhari tentang paling dicintai oleh Allah, adalah al-
hanifiyyah as-samhah (yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.

31
2.5 Implementasi Prinsip – Prinsip Aswaja dalam Kehidupan Sehari – Hari

Untuk memahami Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam kehidupan individu masyarakat


muslim, tentunya tidak dapat hanya didekati melalu dokrin saja. Sedikitnya ada tiga
macam pendekatan untuk memahami dan aktualkan Ahlussunnah Wal Jama’ah ini.
Pertama: Pendekatan Doktrinal, yakni memahami dan meangktualisasikan
Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan memahami doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran yang
dirumuskan dalam kita-kitab ilmu Kalam Suni, maupun melalui diskusi- diskusi dan
pengajian-peengajian formal maupun non formal. Mulai dari konsep keimanan kepada
Tuhan, sampai masalah kedudukan manusia terhadap karyanya, dan masalah-masalah
ghaibiyah.

Kedua: Pendekatan historis, yakni menelusuri perkembangan kesejarahan; mengapa


sikap-sikap Ahlussunnah Wal Jama’ah menjadi tegar dalam mensupremasikan dalil-dalil
naqli dari pada dalil-dalil aqli, mengapa Ahlussunnah Wal Jama’ah mempertahankan
sikap tawasuth dan tasamuh, dan mengapa Ahlussunnah Wal Jama’ah selalu berusaha
mencari konsensus dalam mewujudkan kemaslahatan umat selama tidak melanggar batas
syara’?. Sebagai contoh, Ahlussunnah Wal Jama’ah berusaha mempertemukan titik temu
antara perbedaan yang terjadi diantara para sahabat maupun ulama. Abdul Malik bin
Marwan, seorang Khalifah Umawiyah, setelah terjadi konflik dengan keluarga Sd. Ali bin
Abi Thalib r.a., masih berusaha melakukan konsiliasi dalam dibawah ikatan Islam.

Sikap mencari konsensus untuk persatuan dan kemaslahatan umat ini ditampilkan lagi
oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz; yang memerintahkan penghapusan kalimat yang
berbau kritikan terhadap keluarga Ali bin Abi Thalib r.a. dari semua khutbah, dan
menggantikannya dengan ayat al-Qur’an yang memberi arti sangat akomodatif dan
integratif, yaitu:

“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajika, memberi bantuan
kepada keluarga dekat kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”

32
Masih banyak lagi yang masih dapat kita ambil dari khazanah kesejarahan. Seperti
peran pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah melalui instrumen birokratis, yang
pernah dilakukan oleh Salahuddin Al-Ayyubi, oleh Nizhomul- muluk, dan lain
sebagainya; bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah mempunyai kaitan kesejarahan dengan
peran kaum birokratis, dan fenomena seperti itu dapat dilakukan kapan saja sehingga
memberikan inspirasi kepada kita.

Ketiga: Pendekatan kultural, yakni usaha mengembangkan nilai-nilai dan sikap


kemasyarakatan yang diberikan oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah. Seperti yang kita tahu
banyak perbedaan antara imam-imam madzhab, khususnya Imam Hanafi, Imam Maliki,
Imam Syafi’i dan Imam Hambali; tetapi perbedaan itu tidak menjadikan mereka saling
bermusuhan. Imam Syafi’i sendiri pernah tidak membaca qunut waktu sembahyang
Subuh, pada saat beliau berada di Madinah, demi menghormati kepada Imam Malik yang
diakui sebagai gurunya. Imam Ahmad bin Hambal dalam waktu yang cukup lama
mendoakan secara khusus kepada Imam Syafi’i, sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa
keilmuannya.

Dengan memahami Ahlussunnah Wal Jama’ah memalui beberapa pendekatan


tersebut, diharapkan dapat lebih operatif dalam pengembangan kualitas umat Islam, dan
bukan sekedar doktrin-doktrin yang normatif yang tidak jelas bagaimana cara
menerapkannya.

 Implementasi Ahlussunnah Wal Jama’ah dari segi Pendidikan

Sampai pada awal pemerintahan Bani Saljuk, yakni pada masa Tugril Beg dan
Perdana Menterinya yang bernama Abu Nasr bin Mansur Al-Kundari (416-456 H),
tekanan-tekanan terhadap golongan dan gerakan Ahlussunnah Wal Jama’ah masih sangat
kuat, bahkan ajaran dan tokoh-tokoh Ahlussunnah Wal Jama’ah mendapat cacian dan
kutukan di mimbar-mimbar Jum’at dan ceramah- ceramah di masjid-masjid. Bahkan Al-
Kundari pernah memerintahkan penangkapan terhadap tokoh-tokoh dan ulama-ulama
Asy’ariyah. Diantara yang pernah dipenjarakan adalah Abul Qosim Abdul Karim Al-
Qusyairi. Dengan demikian penyebaran dan pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah
secara umum dan Asy’ariyah secara khusus mengalami hambatan.

33
Tekanan dan intimidasi terhadap gerakan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan
pengembangan ajaran-ajarannya berakhir, setelah terjadi pergantian kekuasaan dari Tugril
Beq ke Alp Arsalan dengan perdana Menterinya yang masyhur, yakni Nizhomuk Mulk
(1063-1092 M) uang setia mendukung setia faham Ahlussunna

Wal Jama’ah, aliran ini mengalami kemajuan pesat melalui “Madrasah


Nizhomiyah” madrasah ini mempunyai cabang hampir seluruh kota penting dalam
wilayah kekuasaan Saljukiah. Semua sekolah-sekolah Nizhomiyah menerapkan kurikulum
yang sarat dengan ajaran-ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Imam Al- Ghozali pernah
memimpin lembaga Nizhomiyah ini, dan berkesempatan luas untun mewarnai
Nizhomiyah dengan fahan Asy’ariyah.

Di Mesir dan Suriah, teologi Asy’ariyah ini juga berkembang dengan dukungan
pemerintahan Salahuddin Al-Ayyubi, pendiri dinasti Ayyubiyah, setelah menghapuskan
ajaran Syi’ah dari pusat pendidikan Al-Azhar dan sekolah-sekolah di Mesir dan Suriah
lainnya warisan dinasti Fathimiyah yang berkuasa sebelumnya, dan selanjutnya sistem
dan kurikulum Al-Azhar sebagai pusat pengembangan keilmuan dan peradaban Islam
bercitra Sunni sampai sekarang.

Perkembangan aliran Asy’ariyah di belahan dunia Timur (India, Pakistan,


Afghanistan sampai ke Indonesia) berkat dukungan Mahmud Al-Ghazwani (971- 1030 M)
Sultan ketiga Dinasti Ghazwaniyah. Pada mulanya Mahmud Al- Ghazwani menganut
madzhab Hanafi, tetapi kemudian beralih ke madzhab Syafi’i. Jasa Mahmud Al-Ghazwani
dalam penyebaran dan pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah antara lain dengan:

Pertama, memprakarsai penulisan-penulisan kitab-kitab ke-Islaman yang bermuatan


ajaran Sunni. Kedua, membangun madrasah-madrasah besar sebagai pusat pengajaran.
Ketiga, membentuk majelis-majelis keilmuan dan keagamaan yang diikuti oleh para
ulama dan cendekiawan. Keempat, mengirim ulama dan mubaligh-mubaligh untuk
menyebarkan ajaran Sunni sekaligus menghadapi gerakan lain yang dipandang
menyimpang dari ajaran Islam.

34
Khusus di Indonesia pemikiran-pemikiran Asy’ariyah dikenal luas melalui kitab-
kitab karya Al-Ghozali dan As-Sanusi di Indonesia populer dengan konsep teologinya
tentang sifat Allah dan Rasul-Nya yaitu sifat wajib, mustahil dan jaiz, tentang sifat-sifat
wajib yang 20 (dua puluh), sifat mustahil 20 (dua puluh) dan sifat jaiz hanya 1 (satu), bagi
Allah; juga pengelompokan sifat-sifat Allah dalam tiga bagian, yakni sifat “Nafsiyah”
(kedirian Allah), sifat “Salbiyah” (sifat yang membedakan Dzat Allah dengan yang
lainnya) dan sifat “ma’ani” (sifat yang abstrak). Sementara itu, juga konsep sifat Rasul,
yakni sifat wajib 4 (empat), sifat mustahil 4 (empat) dan sifat jaiz 1 (satu). Konsep-konsep
Aqidah (teologis) tersebut begitu merasuk dalam kehidupan masyarakat luas, baik melalui
pengajian, karya-karya tulis, maupun kurikulum sekolah atau madrasah.

 Pembudayaan Ahlussunnah Wal Jama’ah melalui pendidikan sekolah

Pendidikan telah berperan banyak dalam penyebaran dan pengembangan


Ahlussunnah Wal Jama’ah selama ini, bukan hanya dalam pemahaman tetapi juga dalam
pengamalan. Kita banyak menyaksikan, banyak langgar-langgar atau surau- surau,
masjid-masjid membiasakan jamaahnya melakukan “pujian” dengan membaca: “wujud,
Qidam, Baqa, Mukhalafatul lil hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah, Qudrat,
Iradat, dan seterusnya”, suatu model pembudayaan melalui pendidikan klasik di negara
kita. Tetapi tradisi semacam itu, sekarang mulai terasa langkah.

Di lain sisi pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah secara ilmiah kurang


memadai, antara lain karena:

Pertama: Pemahaman tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah kurang proporsional,


ada kecenderungan penyempitan pemahaman dan wawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah,
seperti pernyataan: “ yang tidak qunut dalam Shalat Subuh, itu bukan Ahlussunnah ...”,
atau “yang tidak mau manaqiban itu bukan Ahlussunnah ...”. Cara semacam itu akan
mengkerdilkan pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah secara ilmiah, sebab didalam
semua buku atau kita-kitab yang mu’tabarpun tidak pernah masalah qunut itu menjadi
ukuran atau parameter ke Ahlussunnah Wal Jama’ah. Di kalangan madzahibul arba’ah
yang melakukan “qunut” saat melaksanakan Shalat Subuh hanya madzhab Syafi’i,
sedangkan Hanafi, Maliki dan Hambali tidak melakukannya. Apakah berarti mereka
bukan termasuk golongan Ahlussunnah?.

35
Kedua, Buku-buku pelajaran dan bacaan bebas tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah,
umunya disusun hanya dengan pendekatan “doktrinal” yang normatif, tanpa
pengembangan wawasan kesejarahan. Misalnya tentang konsep Al-Juwaini
yangmengharuskan “ta’wil” terhadap semua ayat yang memberikan gambaran tentang
Allah secara “jasmani”, seperti muka (wajah), tangan (yad), mata (‘ain), duduk (istawa)
dan lain-lain, padahal Al-Asy’ari sendiri tidak melakukannya. Semua itu menunjukkan
bahwa doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah ini cukup dinamis dan kedinamisan itu tidak
lepas dari pengaruh sosiohistoriknya.

Ketiga: kalau dulu zaman Al-Asy’ari dan Al-Maturidin juga pada zaman generasi
selanjutnya, masalah aqidah dan prinsip-prinsip teologi Ahlussunnah Wal Jama’ah
selalu dikembangkan melalui metode dialogis, memberi peluang untuk bertukar pikiran,
mengadu argumen dan bersifat terbuka. Sekarang ini sering sekali kita gunakan
pendekatan yang sebaliknya. Guru banyak bersikap otoriter, serba memaksakan, tidak
banyak memberikan peluang dialog tidak memberikan penjelasan yang memuaskan,
malah menumbuhkan rasa penasaran pada serta didiknya.

Hal demikian itu mungkin terjadi karena beberapa hal, seperti:


a. Keterbatasan pengajar dalam menguasai substansi materi yang diberikan.
b. Keterbatasan wawasan dalam masalah yang diajarkan, sehingga media
dialog sulit dikembangkan.
c. Kelemahan metodologi

Akhirnya, terasa sekali perlunya kajian-kajian Ahlussunnah Wal Jama’ah yang


lebih intensif, baik secara doktrinal, historis maupun kultural. Dan untuk itu semua
kami kira perlu upaya mengembangkan “Laboratorium Ahlussunnah Wal Jama’ah”,
yang bekerja untuk jangka panjang dengan intensitas kajian yang utuh.

36
 Implementasi Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam era Industrialisasi
Industrialisasi merupakan gerakan dan rekayasa yang menjadikan industri sebagai
kekuatan pengembangan ekonomi dalam skala besar. Sedangkan yang dimaksud dengan
industrialisasi disini pada dasarnya merupakan berbagai macam usaha untuk
menghasilkan sejumlah barang atau kebutuhan ekonomis yang sama dan dalam jumlah
yang besar. Skill (keahlian / ketrampilan), efisien (ketepat- gunaan) dan produktivitas
merupakan watak dan karakter budaya industri.
Masyarakat industrialis akan cenderung untuk sangat menekankan kepada
pemenuhan kebutuhan materi, sehingga mereka berorientasi materialis untuk
kepentingan pribadi dan lebih bersifat keduniaan, jauh dari ideal-ideal untuk jangka
panjang apalagi akhirat. Masyarakat bisa menjadi suatu kumpulan manusia-manusia
privat yang hubungannya satu sama lain menjadi lepas, dan memberikan prioritas-
prioritas kepada kesenangan-kesenangan pribadi, ego sentris, tidak peka akan usaha
kolektif. Rupa-rupanya sebab yang pada hakekatnya bersifat ekonomis, menimbulkan
gejala-gejala sekunder dalam aspek kejiwaan dan kerohanian.

Adapun selanjutnya industrialisasi mendatangkan masalah sosial dan lingkungan


sebagai efek sampingannya , seperti limbah industri, pencemaran udara, konsentrasi
kekayaan, ketimpangan sosial, penggusuran tanah, sampai masalah pelanggaran hak-hak
asasi manusia dalam masalah perburuhan, penipisan komitmen moral dan agama,
sebetulnya semua itu bukan tujuan industrialisasi. Memang kemaslahatan yang murni
tanpa mengandung kemafsadahan adalah sesuatu yang langka, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Imam Izzuddin Abdussalam:

“Kemaslahatan maupun kemafsadahan yang murni adalah sedikit, yang lebih banyak
adalah hal-hal yang mengandung kemaslahatan dan kemafsadahan. Watak manusia
umumnya memilih sesuatu yang kemaslahatannya lebih unggul dibandingkan
kemafsadahannya”.

37
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
3.1 Dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah terdapat beberapa prinsip yang menjadi
pedoman atau patokan antara lain al-Tawassuth, Tawazun, al-Tasamuh,
Ta’adul dan Amar ma’ruf nahi munkar.
3.2 Nilai Tawasuth dalam al-Qur’an dan al-Hadist sikap moderat, yaitu jalan
tengah, sedang-sedang sehingga jauh dari sikap ekstrim ke kiri atau ekstrim
kanan. Baik dalam sikap beragam maupun kemasyarakatan, keilmuwan dan
lain sebagainya, selama tidak menyimpang dari prinsip-prinsip agama atau
peraturan yang sah dan diyakini benar.
3.3 konsep nilai keadilan dalam al-Qur’an dan al-Hadist, Terdapat pada Qs. An
Nisaa’:58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menteapkan dengan adil”
3.4 nilai keseimbangan dalam al-Qur’an dan al-Hadist, Terdapat pada Q.S.Al-
Qashash ayat 77”: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.”
3.5 Nilai Toleransi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, Toleransi dalam al-Qur’an
sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10: Artinya: Orang-
orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
3.6 Implementasi Prinsip-prinsip Aswaja dalam Kehidupan Sehari-hari, dapat
dilihat dari berbagai macam pendekatan Pendekatan Doktrinal, Pendekatan
historis dan pendekatan kultural. Dimana pendekatan ini menjadi dasar dalam
Ahlussunnah Wal Jama’ah.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Pemikiran KH. M. Tholhah Hasan dalam seminar publikasi PBNU tanggal 30 Desember
2003
2. Harun nasution, teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 65, cet. I,
Ed. II, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 2002)
3. ‘Abd al-Qahiribn Thahir ibn Muhammad al-Bagdadi,al-Farq Bayn al-Firaq, h. 12 – 20
(Libanon: Dar al-Fikr)
4. Tholhah Hasan Muhammad,(2006),Wawasan Umum Ahlussunnah Wal
Jama’ah,Lantabora Press,Jakarta.
5. Tholchah Hasan Muhammad dkk,(2012),Aswaja Proresif,Aswaja Centre Universitas
Islam Malang,Malang.
6. http://salafy.or.id/blog/2003/07/27/6-prinsip-ahlus-sunnah-wal-jamaah/

39

Anda mungkin juga menyukai