Dosen Pengampu :
Masturi Istamar Suhudi
DISUSUN OLEH :
Kelompok 2
Aviv Maghridlo (41220040)
Dian Prayoga (41220062)
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT ata rahmat dan hidayahnya, karena dengan
rahmat dan hidayah Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami dapat
mengerjakan tugas makalah ini dengan lancar dan tanpa gangguan.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah menjalankan misi agama
islam dalam menambah ilmu tentang islam sebagai petunjuk bagi manusia dan
tentang sumber utama ajaran islam, juga merupakan bentuk pelaksanaan misi
Bapak Masturi Istamar Suhadi dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah yang kami buat masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan, bahasa, isi, dan lainnya.
Oleh karena itu, kami memohon pembinaan dari seluruh pembaca agar kami
sebagai penulis dapat lebih baik kedepannya. Juga kami mohon kepada seluruh
pembaca untuk membaca juga dari referensi lain agar ilmu yang dicari lebih
banyak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada zaman ini, umat islam telah berkembang sedemikian rupa sehingga
jumlah umat islam saat ini sangatlah banyak. Akan tetapi, kualitas umat islam yang
sangat banyak tersebut tidak mencerminkan layaknya kuantitas tersebut. Banyak
umat islam saat ini yang mengalami penyakit hati, diantaranya adalah lemahnya
iman, iri dan dengki, pamer atau riya, ghibah dan buruk sangka, dan penyakit
lainnya. Penyakit-penyakit tersebut menimbulkan banyak umat islam untuk tidak
mempercayai agamanya sebagai pedoman dalam kehidupannya, bahkan banyak
yang menjadi ateis, islam ktp, dan senang melakukan tindakan tercela. Banyak umat
islam juga telah dimanjakan oleh teknologi-teknologi modern seperti media sosial,
smartphone, hiburan modern, dan lainnya, yang menyebabkan mereka lupa pada
agama mereka itu sendiri. Padahal di dalam islam, telah dijelaskan secara jelas
bahwa kebutuhan manusia di dunia dan di akhirat sesuai dengan porsinya sehingga
seimbang.
Di sini agama islam memiliki peran yang sangat besar yaitu membantu dan
mengembalikan umat muslim ke jalan sesuai dengan ajaran agama islam. Sehingga
umat islam dapat hidup dalam keadaan yang tentram dan damai. Ini dikarenakan
sumber ajaran agama islam bersumber dari Al-Qur’an. Al-Qur’an itu sendiri
merupakan wahyu dan firman dari Allah SWT. Sehingga sudah dapat dipastikan
kebenaran dan kebaikannya.
1
2
Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim.
Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh
pada ajaran-Nya.
3
4
Di satu sisi watak Islam yang satu ini tidak mengenal perubahan apapun karena
berkaitan dengan persoalanpersoalan ritus agama yang transenden, nash yang
berkaitan dengan watak (konstan-non adaptabel) ini dalam Al-Quran maupun hadits
sekitar 10%, yang berupa ajaran agama yang bersifat kulli dan qoth’i yang konstan
dan immutable.
Kajian tentang Islam tidak hanya terkait dengan persoalan ketuhanan atau
keimanan saja, akan tetapi juga mencakup tentang sejarah kebudayaan Islam,
masyarakat sosial Muslim dan kajian-kajian kebudayaan bercorak Islam lainnya.
Kajian ilmiah tentang Islam dapat dibedakan antara Islam yang merupakan sebagai
sumber dan Islam sebagai pemikiran serta Islam dalam pengalaman
penganutnya.(Chuzaimah Batubara dkk, Handbook Metodologi Studi Islam
(Jakarta: Prenadamedia Grup), hlm. 35)
2.3.1 Akidah
“Aqaid (bentuk jamak dari ‘aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib
diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi
keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”.
Akidah Islamiyah berisikan tentang apa apa saja yang harus dipercayai,
diyakini dan diimani oleh setiap muslim. Akidah Islamiyah terdiri dari enam dasar
keimanan yaitu :
2.3.2 Syariah
(peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”(Q.S.Al-Jaatsiyah, 45 : 18).
Dari ayat tersebut tampak bahwa setiap orang menjalankan agama selalu
mengikuti aturan yang jelas yakni syari’at. Ini menunjukkan bahwa syari’at itu
menjadi arah dalam menjalankan tugas beragama. Dapat dipahami disini bahwa
seseorang yang tidak mengikuti syari’at (peraturan) di dalam menjalankan agama,
maka orang tersebut tidak mengetahui apa-apa dalam beragama. Secara kasarnya
orang tersebut diberi cap bahwa agamanya tidak sesuai dengan syariat.
Dalam agama Islam, untuk menjalankan agama yang benar muncullah ilmu
pengetahuan khusus menguraikan syari’at yang dalam hukum Islam disebut dengan
Ilmu fikih. Dengan demikian ilmu fikih inilah yang mempelajari dan membahas
6
syari’at itu. Orang yang faham ilmu fikih disebut fakih atau fukaha, artinya ahli
hukum Islam (fikih) yang dapat memberi penjelasan tentang seluk beluk
peraturanperaturan dalam beragama Islam.
Segala peraturan yang berkaitan dengan seluk beluk agama Islam dan menjadi
ruang lingkup syari’at Islam adalah masalah-masalah sebagai berikut :
2.4 Agama Islam Sebagai Petunjuk Dalam Mncapai Kebahagiaan dan Akhirat
Tingkat kebahagiaan setiap orang berbeda dan cara memperoleh pun juga berbeda-
beda setiap orangnya.
Sebagai seorang muslim, diwajibkan kepada kita untuk beribadah kepada Allah
SWT. Melalui ibadah tersebut kita bisa mendapatkan kebahagiaan serta ketenangan
hati. Selain itu kita juga dapat semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT,hal ini
berarti kita juga sekaliigus mengejar akhirat juga selagi kita mengejar kebahagiaan.
Makna kebahagiaan ini tentu saja salah. Seorang tajir yang sakit atau 'sakit'
atau 'memiliki' tidak perlu bahagia. Demikian pula yang proyeknya gagal, bisnis
macet, dan pasangan selingkuh. Alquran menyebut fenomena bahagia tersebut
sebagai kenikmatan dunia yang sedikit (mataa‘un qaliil) atau bahagia yang semu
(sementara), bukan kenikmatan hakiki yang abadi. Tentang kenikmatan duniawi,
Allah Swt. befirman,
(nafsu), yaitu wanita-wanita, anak-anak, dan harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).” (QS Ali Imran [3]: 14).
8
Secara bahasa diambil dari kata: ا قر- يقرا- قراة- وقراناyang berarti sesuatu yang
dibaca. Arti ini mempunyai makna anjuran kepada umat Islam untuk membaca
Alquran. Alquran juga bentuk mashdar dari القراةyang berarti menghimpun dan
mengumpulkan. Dikatakan demikian sebab seolah-olah Alquran menghimpun
beberapa huruf, kata, dan kalimat secara tertib sehingga tersusun rapi dan benar.
Artinya: “Alquran adalah kalam Allah yang mengandung mukjizat (sesuatu yang
luar biasa yang melemahkan lawan), diturunkan kepada penutup para Nabi dan
9
Rosul (yaitu Nabi Muhammad SAW), melalui Malaikat Jibril, tertulis pada mushaf,
diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, membacanya dinilai ibadah, dimulai
dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas”.
Dari definisi diatas, bisa ditarik setidaknya 5 faktor penting karakteristik AL-
Qur’an
“Dan Al-Qur’an ini benar-benar ditirunkan oleh Tuhan semesta alam; dia dibawa
turun oleh Al-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan; dengan
bahasa Arab yang jelas”.
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diwahyukan Allah Swt kepada nabi
Muhammad Saw,kitab ini merupakan lanjutan dari kitab-kitab suci sebelumnya.
Sebagai kitab suci terakhir, al-Qur’an memiliki fungsi yang lebih luas daripada
kitab-kitab sebelumnya. Sebagai kitab suci terakhir, al-Qur’an juga membawa
fungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia hingga akhir zaman, penyempurna
kitab-kitab suci sebelumnya, dan sumber pokok ajaran agama Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Saw. Selain itu, al-Qur‘an juga berperan sebagai sarana
ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui membacanya dan
menangkap pesan-pesan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, fungsi al-Qur‘an
bagi manusia dapat dirinci sebagai berikut:
petunjuk bagi kaum Muslimin, tapi juga bagi umat manusia seluruhnya. Hal
ini ditegaskan Allah SWT dalam Q.S Saba : 28 berikut bunyinya :
Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang
dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang
diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Dari segi bahasa ilmu hadis terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadis. Secara
sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledge,dan science. Sedangkan hadis
artinya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dari
perkataan, perbuatan, maupun persetujuan. Para ulama ahli hadis banyak yang
memberikan definisi ilmu hadis, di antaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani:
Atau
Ilmu yang mempelajari tentang keterangan suatu hal yang dengan hal itu kita dapat
mengetahui bahwa hadis itu diterima atau tidak.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW,
baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan
mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
c) Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah
diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau
perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya,
dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan
adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu perbuatan
atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi,
Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu
menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu
merupakan pengakuan dari Nabi.
Pada masa Nabi SAW masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadis tidak ada
persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah
mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya atau
menemui sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasinya. Setelah itu,
barulah mereka menerima dan mengamalkan hadis tersebut.
Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadis, tetapi para
peneliti hadis memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadis
Rasulullah S.A.W. Misalnya firman Allah S.W.T dalam Q.S. Al-Hujurat/49: 6
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.
menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali orang tersebut
mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang
disampaikannya. Dan masa Utsman tahap kedua, masa ini terkenal dengan masa
taqlîl ar-riwayâh (pembatasan periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan hadis
kecuali disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan benar-
benar dari Rasulullah SAW.
Para sahabat merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu riwayah hadis.
Yakni, karena hadis pada masa Rasulullah SAW merupakan suatu ilmu yang
didengar dan didapatkan langsung dari beliau, maka setelah beliau wafat hadis di
sampaikan oleh para sahabat kepada generasi berikutnya dengan penuh semangat
dan perhatian sesuai dengan daya hafal mereka masing-masing. Para sahabat juga
telah meletakkan pedoman periwayatan hadis untuk memastikan keabsahan suatu
hadis. Mereka juga berbicara tentang para rijal-nya, hal ini mereka tempuh supaya
dapat diketahui hadis makbul untuk diamalkan dan hadis yang mardud untuk
ditinggalkan.
Dan dari sini muncullah mushthalah al-hadits.Pada masa awal Islam belum
diperlukan sanad dalam periwayatan hadis karena orangnya masih jujur-jujur dan
saling mempercayai satu dengan yang lain. Akan tetapi, setelah terjadinya konflik
fisik (fitnah) antar elite politik, yaitu antara pendukung Ali dan Mu’awiyah dan
umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin.
Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadis (hadis mawdhû’) dari masingmasing
sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari masa yang lebih luas. Melihat
kondisi seperti hal di atas para ulama bangkit membendung hadis dari pemalsuan
dengan berbagai cara, di antaranya rihlah checking kebenaran hadis dan
mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadis harus disertai
dengan sanad,
Isnad/sanad bagian dari agama, jikalau tidak ada isnad sungguh sembarang orang
akan berkata apa yang dikehendaki
No Masa Karakteristik
1. Masa Nabi Telah ada dasar-dasar ilmu hadis.
Muhammad SAW
2. Masa Sahabat Timbul secara lisan, secara eksplisit
3. Masa Tabi’in Telah timbul secara tertulis, tetapi
belum terpisah dengan ilmu lain
4. Masa Tabi’ Tabi’in Ilmu hadis telah timbul secara terpisah
dari ilmu-ilmu lain, tetapi belum
menyatu.
5. Masa setelah Tabi’ Berdiri sendiri sebagai ilmu hadis.
Tabi’in (abad ke-4 H)
Imam Malik bin Anas menyebutkan lima fungsi hadits, yaitu bayan al-taqrir,
bayan al tafsir, bayan al tafsil, bayan al ba’ts, bayan al tasyri. Imam Syai’I
menyebutkan bayan al-tafsil, bayan at takhskhih, bayan al ta’yin, bayan al tasyri’,
bayan al nasakh. Dalam ar risalah ia menambahkan dengan bayan al isyarah. Imam
ahmad bin anbal menyebutkan empat fungsi hadits yaitu : bayan al ta’kid, bayan al
tafsir, bayan al tasyri’ dan bayan al takhshish.
a) Bayan at-taqrir Disebut juga dengan bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat.
yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa
yang telah diterangkan di dalam al Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini
hanya memperkokoh isi kandungan al Qur’an17.
d) Bayan al nasakh Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas
disepakati oleh para ulama, meskipn untuk bayan yang ketiga ada sedikit
perbedaan yang terutama menyangkut definisi (pengertian) nya saja. Untuk
bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada
18
yang mengakui dan menerima fungsi hadist hadist sebagai nasikh terhadap
sebagian hukum al Quran dan ada juga yang menolaknya. Kata an-nasakh
dari segi bahasa memiliki beberapa arti, yaitu al-ibdthal (membatalkan),al
ijalah (menghilangkan) at tahwil (memindahkan) atau at-taqyir (mengubah).
Menurut Abu Hanifah bayan ini adalah mengganti sesuatu hukum atau me-
nasakh-kanya. Sedangkan Imam Syafii memberi definisi ini ialah
menentukan mana yang di na-nasakh-kan dan mana yang kelihatan yang di-
mansukh dari ayat-ayat al-Qur’an yang keliatan berlawanan.
ijtihad secara bahasa berasal dari kata Jahada. Kata ini berarti kesanggupan
(alWus‟u), kekuatan (al-Taqah), dan berat (alMasyaqqah).14 Ijtihad dapat juga
disebut sebagai sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Quran maupun hadis secara jelas.
Panulis mengutip beberapa pengertian ijtihad secara terminologi yang disebutkan
oleh pakar ushul fikih di antaranya:
Dari definisi yang dikemukakan para ulama di atas dapat dikatakan bahwa,
ijtihad adalah suatu usaha dengan segenap kemampuan oleh seorang mujtahid
untuk menggali hukum syara‟ dari sumber yang terperinci, yaitu Al-Qur’an dan
19
hadist. Ijtihad juga dapat disebut sebagai proses penggalian hukum syariat dari
dalil-dalil yang rinci yakni, Al-Qur’an, hadis, Ijma‟, Qiyas dan dalil lainnya.
Landasan diperbolehkan ijtihad adalah dalil dari Al-Qur’an dan hadis, baik melalui
pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, berikut firman Allah swt. dalam
surat an-Nisa‟ ayat 105 yang berbunyi :
1. Mengetahui makna ayat hukum, baik secara bahasa maupun secara istilah.
Menurut al-Ghazali, al-Razi Ibnu Arabi jumlah ayat hukum yang perlu
dikuasai yaitu sekitar lima ratus ayat.
3. Mengetahui Al-Qur‟an dan hadis yang telah dinasakh dan mengetahui ayat
dan hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak mengambil
kesimpulan dari nas yang sudah tidak berlaku lagi.
6. Menguasai bahasa Arab tentang nahwu, saraf, ma‟ani, bayan, dan uslub-
nya, karena Al-Qur‟an dan hadis berbahasa Arab. Oleh karena itu tidak
mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari keduanya tanpa
mengetahui bahasa keduanya. Di antaranya mengetahui lafad umum dan
khusus, hakikat dan majaz, mutlaq dan muqayyad, dan sebagainya. Semua
ini tidak disyaratkan untuk dihafal, tetapi cukup memiliki kemampuan
untuk memahami secara benar ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab dan
kebiasaan orang Arab menggunakannya.
7. Mengetahui ilmu ushul fikih, karena ushul fikih adalah tiang ijtihad, berupa
dalil-dalil secara terperinci yang menunjukan hukum melalui cara tertentu
dan semuanya ada dalam ilmu ushul fikih. Dan al-Razi dalam al-mahsul
mengatakan bahwa, “Ilmu yang paling penting untuk dikuasai oleh mujtahid
adalah ilmu ushul fiqh.”
3.1 Kesimpulan
Sebagai seorang muslim sudah selayaknya kita beriman kepada Allah dengan
percaya bahwa segala sesuatu di dunia telah diatur dan diciptakan sebaik-baiknya
oleh Allah SWT. Allah menciptakan Al-Qur’an sebagai petunjuk umat manusia
dalam keadaan sebaik-baiknya. Tidak hanya untuk umat muslim, namun kandungan
Al-Qur’an bersifat universal. Kandungan Al-Qur’an dapat ditujukan untuk seluruh
manusia yang ada di dunia.
Dari beberapa uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa manusia ternyata
sangat memerlukan agama untuk mengejar kebahagiaan di dunia. Perlu
keseimbangan antara dunia dan akhirat maka dari itu diperlukan agama sebagai
petunjuk manusia untuk bertingkah laku supaya tidak hanya ber-orientasikan pada
duniawi saja
21
DAFTAR PUSTAKA
2. Rohayati widi, putri ria angelia, amaliya zulva (2018) Peran Agama Sebagai
4. Al-Abyasi, Ibrahim. 1996 Sejarah Alquran (Ta 'Rikh Ai-Quran). Jakarta, Pusat
Kebudayaan.
1970), p. 10
Padang
22
23