Anda di halaman 1dari 126

Al-Islam Studi Al-Qur’an

(Kajian Tafsir Tarbawi)


UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Fungsi dan Sifat hak Cipta Pasal 2


1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang
timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Hak Terkait Pasal 49


1. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang
pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau
menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

ii
Arief Hidayat Afendi, M.Ag.

Al-Islam Studi Al-Qur’an


(Kajian Tafsir Tarbawi)

iii
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: deepublish@ymail.com

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

EFENDI, Arief Hidayat


Al-Islam Studi Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tarbawi)/oleh Arief
Hidayat Afendi.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Deepublish, Oktober 2016.
viii, 101 hlm.; Uk:17.5x25 cm

ISBN 978-Nomor ISBN

1. Al-Quran I. Judul
297.122

Hak Cipta 2016, Pada Penulis

Desain cover : Herlambang Rahmadhani


Penata letak : Nurul Fatma Subekti

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Copyright © 2016 by Deepublish Publisher
All Right Reserved
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan
nikmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan buku Al-
Islam Studi Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tarbawi). Sholawat dan salam
semoga tetap tercurahkan kepada nabi akhir zaman, Muhammad saw..
Buku ini disusun dalam rangka pencerahan bagi semangat para
pencari ilmu agar dapat menggerakan keimanan dan amal sholeh dalam
kehidupan sehari-hari baik di lingkungan pendidikan maupun di rumah.
Buku ini berisi tentang pandangan Al-Qur’an dalam beberapa tema
pendidikan yang dipadukan dengan teori-teori terbaru dari para ahli dalam
rangka memperkuat pandangan tentang hakikat wahyu memandu ilmu.
Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam buku
ini, sehingga saran dan kritik dari berbagai pihak sangat saya harapkan.
Semoga buku ini mendatangkan manfaat yang baik. Amin.
Nashrun Min Allah Wa Fathun Qariib.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Penulis

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................... vi
BAB I ILMU DALAM PRESPEKTIF AL-QUR’AN ........................ 1
I. Ayat .............................................................................. 1
II. Kandungan Ayat ........................................................... 1
A. Arti Ilmu ............................................................. 1
B. Etos Ilmu dan Peradaban .................................... 3
C. Tinjauan Al-Qur’an Tentang Ilmu...................... 5
D. Ilmu dan Agama ................................................. 9
E. Pengetahuan dan Ilmu ...................................... 12
F. Ciri-ciri Ilmiah.................................................. 17
BAB II GURU .................................................................................... 19
I. Ayat ............................................................................ 19
A. Pengertian Guru................................................ 19
B. Hakikat dan Tugas Guru .................................. 19
C. Sifat Guru ......................................................... 23
D. Sikap dan Perilaku Guru .................................. 25
E. Syarat Guru ...................................................... 26
F. Kompetensi yang Harus Dimiliki
Seorang Guru Profesional ................................ 29
BAB III BELAJAR .............................................................................. 34
I. Ayat ............................................................................ 34
II. Kandungan Ayat ......................................................... 34
A. Konsep Belajar dalam Islam ............................ 34
B. Prinsip-prinsip Belajar Menurut Islam ............. 40
BAB IV MENGAJAR.......................................................................... 50
I. Ayat ............................................................................ 50
II. Kandungan Ayat ......................................................... 50
A. Konsep Mengajar dalam Islam ......................... 50
vi
B. Prinsip-Prinsip Mengajar dalam Islam..............54
BAB V PESERTA DIDIK.................................................................. 62
I. Ayat .............................................................................62
II. Kandungan Ayat ..........................................................62
A. Pengertian Peserta Didik dalam Islam ..............62
B. Kewajiban Peserta Didik.................................... 64
C. Kebutuhan-Kebutuhan Peserta Didik................ 66
D. Tingkat Intelegensi Peserta Didik .....................71
BAB VI TUJUAN PENDIDIKAN ...................................................... 75
I. Ayat .............................................................................75
II. Kandungan Ayat ..........................................................75
A. Tujuan Pendidikan Islam...................................75
BAB VII KURIKULUM PENDIDIKAN ............................................. 83
I. Ayat .............................................................................83
II. Kandungan Ayat ..........................................................83
BAB VIII EVALUASI PENDIDIKAN.................................................. 87
I. Ayat .............................................................................87
II. Kandungan Ayat ..........................................................87
A. Pengertian Evaluasi Pendidikan ........................87
B. Kedudukan Evaluasi Pendidikan.......................88
C. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan ...........90
D. Prinsip-prinsip Evaluasi Pendidikan
dalam Al-Qur’an ...............................................93
E. Prosedur atau Teknik Evaluasi
Pendidikan.........................................................95
BAB IX RASULULLAH GURU TELADAN .................................... 96
I. Ayat .............................................................................96
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 100

vii
viii
BAB I
ILMU DALAM PRESPEKTIF AL-QUR’AN

I. Ayat
َ
َ
‫َ اذ إَو‬ َ‫ت لاف‬ َ ‫ََ ذ ا اهَ يََ أ ا َي‬َ‫ل‬
‫آ ني‬
‫سَ َلاج س‬
َ‫ي اوحس َفاَف اح‬ َ َ َ
‫م‬ ‫للَ يق اذَ اوَنمَ م حسف‬
‫ل ك‬ َ َ‫او م‬ ‫ك‬
‫ف‬
ََ‫لل‬
َ َ ‫ذ‬ َ ََ‫َ َ َ َ َ َ َ ذ الل‬
َ‫ََ ام‬ َ
‫او تو أن تاج‬ ‫نم‬ ‫آن‬ ‫نال يق‬ ‫ش‬
َ
‫نا ف او‬
‫َلعَ َلا ر‬ َ‫َنم‬ َ
َ‫لل‬ ََ َ‫كل‬ ََ َ
‫ل‬‫ََ ي‬‫اعَ فرَ َي او‬
‫ش‬
‫او‬ ‫َ د‬ َ‫م‬ ‫او‬
‫م‬ ‫او ي‬
َ
‫يبَ خ نو لمَعَ ت‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu


“berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu dan apabila dikatakan kepadamu
“berdirilah kamu”, maka berdirilah. Allah mengangkat derajat orang-
orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-
Maidah [58]:56)

II. Kandungan Ayat


A. Arti Ilmu
Ilmu sudah menjadi kata Indonesia sehari-hari, Dalam bahasa Jawa
juga dikenal dengan istilah ngelmu. Keduannya berasal dari kata yang
sama, ilm kata yang berasal dari bahasa Arab. Dalam pengertian sehari-
hari, yang pertama berkaitan dengan pengetahuan umum, sedangkan yang
kedua dengan soal-soal kebatinan.
Tapi, apakah “ilmu” yang padanannya dalam bahasa Inggris adalah
science, dalam bahasa Jerman wissenschaft dan dalam bahasa Belanda
wetenschaf itu? Jawabannya ternyata tidak satu.
Pada umumnya, ilmu didefinisikan sebagai jenis pengetahuan, tapi
bukan sebarang pengetahuan, melainkan pengetahuan yang diperoleh
dengan cara-cara tententu berdasarkan kesepakatan di antara para ilmuan.
Ilmu ini pada umumnya dibagi menjadi tiga bidang: ilmu-ilmu pasti dan
alam, ilmu-ilmu sosial, dan humaniora. Di antara ketiganya, yang benar-
benar diakui paling “ilmiah” atau benar-benar science adalah yang
pertama, walaupun dalam tradisi Jerman umpamanya, yang disebut

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 1


wissenschaft termasuk juga sastra dan sejarah. Pandangan di atas tampak
juga di Indonesia. Sebagian orang, terutama dari kalangan ilmu-ilmu
eksakta dari ITB dan IPB, karena tidak puas dengan terjemahan yang ada,
menerjemahkan science dengan “sains” dan bukannya “ilmu pengetahuan”
seperti yang lazim berlaku.
Para pengarang sebuah buku fisika standar, college physic, Robert
I.Weber, Kenneth V.Manning, dan Marsh H.White, dalam dalam
pengantar buku mereka itu merasa perlu menjelaskan bahwa istilah science
bukan bahasa Inggris asli. Mereka tidak mejelaskan dari mana asal
katanya, The New Colombia Encyclopedia menjelaskan bahwa kata itu
berasal dari scientia yang artinya knowledge atau pengetahuan.
Science, katanya sebenarnya adalah sebuah kata Perancis yang berasal
dari kata kerja sciens yang artinya to know atau tahu. Tapi lebih jauh ia
berasal dari kata Latin.1
Sciire, sebuah kata kerja yang artinya tahu, mengetahui, mengerti,
mengenal, dan sebagainya. dan bendanya adalah scientia yang pernah
dipakai sebagai nama sebuah majalah bisnis di Bandung.2
Dari sudut pandang Indonesia, kata “ilmu” seperti halnya kata science
dalam bahasa Inggris, juga berasal dari bahasa asing, dari bahasa Arab.
Ilmu berasal dari ilm, kata jadian dari alima, ya’lamu, menjadi ‘ilmun,
ma’lumun, alimun, dan seterusnya. Tiga kata yang terakhir itu menjadi
kata Indonesia: ilmu, maklum, alim-ulama. Dalam bahasa arab Arab alima,
sebagai kata kerja, berarti tahu atau mengetahui. Ilmu, sebagaimana halnya
scince atau scientia berarti juga pengetahuan.
Namun sangat menarik keterangan orientalis, Franz Rosental, bahwa
asal kata a-l-m, dalam bahasa Arab tidak mempunyai persamaan dengan
asal kata bahasa-bahasa Semit lainnya yang mempunyai arti kata sama,
walaupun bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit. Sebaliknya, kata y-
d-‘a, yang merupakan akar kata bersama dari bahasa-bahasa Semit lainnya
yang artinya “mengetahui” tidak dipakai dalam bahasa Arab. Sementara
itu, dalam persamaan akar kata a-l-m di antara bahasa-bahasa Semit,
termasuk Arab, akar itu mempunyai arti lain, yaitu “tanda” (sign, mark)
atau “keabadian” (eternity). Untuk pengertian itu, bahasa Arabnya adalah
ayah dari kata a-y-w. Ini menimbukan kesan bahwa terdapat kaitan erat
antara pengertian “tahu” dan “tanda” dalam bahasa Arab.

1 Webster’s 20th Century Dictionary


2 Kamus Latin-Indonesia, Karangan Drs. Prent. et.al

2 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


B. Etos Ilmu dan Peradaban
Ilmu yang sudah menjadi bahasa Indonesia, bukan hanya sekadar
bahasa Arab, tetapi tercantum juga dalam Al-Qur’an. Dalam bahasa Arab
sehari-hari sebelum turunnya Al-Qur’an, ilmu hanya bermakna
pengetahuan biasa. Tapi melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang turun tahap
demi tahap, kata ini berproses dan membentuk makna dan pengertiannya
tersendiri yang terstruktur. Memang, kata ilmu itu bisa sekadar dapat
diartikan sebagai “pengetahuan” biasa, tetapi lebih dari itu tergantung dari
pemahaman orang terhadap makna kata tersebut, jika pemahaman itu
dilakukan dengan mempelajari dan mendalami implikasi maknawi yang
terkandung dalam berbagai penggunaan kata itu dalam Al-Qur’an. Tapi
yang jelas, kata-kata itu berkembang menjadi suatu etos. Hal itu
kemungkinan besar berkembang karena pernyataan “i” yang mengandung
anjuran bahkan perintah, seperti yang kita kenal: “Mencari itu wajib
hukumnya bagi setiap muslim”; “Carilah ilmu walaupun sampai ke Negeri
Cina”; “Carilah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat”; “Barang
siapa mati ketika sedang mengembangkan ilmu untuk menghidupkan
Islam, maka di surga ia sederajat dengan para Nabi”; “Para ilmuan adalah
pewaris (tugas) para Nabi”; “Ilmu pengetahuan adalah milik orang
mukmin yang hilang di mana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih
berhak memilikinya dari yang lain”, pernyataan-pernyataan Nabi ini
diperkuat oleh firman Allah dalam surat al-Mujadalah ayat 11 yang
berbunyi berikut.
Allah akan meninggikan martabat orang yang beriman dan berilmu
beberapa derajat.3
Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib, maka kaum Muslimin pun
menjalankannya sebagai ibadah. Ada pula sebuah hadits yang mengatakan
bahwa “barang siapa menempuh jalan untuk menutut ilmu, maka Allah
memudahkannya jalan ke surga”. Dan di dalam Al-Qur’an sendiri ilmu
terdapat dalam sebuah doa: “Ya Tuhanku, tambahkan padaku ilmu
pengetahuan” (Q.S. Toha:114). Tapi lebih dari itu timbul pertanyaan,
mengapa mencari ilmu itu diwajibkan? Maka orang pun mencari
keutamaan ilmu itu. Di samping itu, timbul pula proses belajar-mengajar
sebagai konsekuensi menjalankan perintah Rasulullah itu. Dalam
kenyataan sejarah perkembangan sejarah Islam, proses belajar-mengajar
itu menimbulkan perkembangan ilmu yang lama maupun baru dalam

3 QS. AL-Mujadalah [58]:11

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 3


berbagai cabangnya. Ilmu telah menjadi tenaga pendorong perubahan dan
perkembangan masyarakat. Hal itu terjadi karena ilmu telah menjadi suatu
kebudayaan. Dan sebagai unsur kebudayaan, ilmu mempunyai kedudukan
yang sangat penting dalam masyarakat kaum Muslimin di masa lampau.
Istilah ilmu menjadi penting, karena ia tersebut dalam Al-Qur’an.
Dengan mempelajari Al-Qur’an, maka orang akan bisa menarik
kesimpulan bahwa ilmu bukanlah sekadar ilmu pengertahuan, tetapi
pengetahuan dengan kualitas tertentu. Sebagai kenyataan kebudayaan,
Franz Rosenthal yang sudah dikutip di atas, melihat bahwa pada abad
zaman pertengahan, ilmu telah berkembang menjadi konsep yang sangat
sentral dalam masyarakat kaum muslimin. Demikianlah antara lain dalam
bukunya setebal 341 halaman yang berjudul Knowledge Triumphant: The
Concept of Knowledge in medieval Islam (Leiden: E.J. Brill, 1970). Dalam
bahasa Arab biasa, ilm dapat digantikan pengertiannya dengan
“pengetahuan” (knowledge). Sungguh pun begitu, “pengetahuan”
mengandung kekurangan kemampuan dalam mengekspresikan semua
kenyataan dan perasaan yang tekandung dalam kata ilm . karena ilm adalah
salah satu dari sekian konsep yang mendominasi dunia dan telah
membentuk dan memberi ciri khusus dalam segala kompleksitasnya
terhadap peradan Islam.
Jadi, menurut Rosenthal, ilm tidak bisa diartikan begitu saja dengan
“pengetahuan”. Dalam keterangan pendahuluan terhadap bukunya itu, ia
hanya mengemukakan fakta yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam.
Ini menimbulkan keingintahuan bagaimana sebenarnya ilm itu
diinterpretasikan oleh para sarjana Muslim yang kemudian membawanya
dalam studi filologi dan epistemologi. Dari studinya itu, ia mengambil
kesimpulan bahwa istilah ilm beroleh tempat yang sangat istimewa dalam
peradaban Islam, tidak kalah dengan istilah-istilah lainnya dilihat dari segi
dampaknya terhadap peradab Islam ia menulis:
“Sebenarnya tak ada satu konsep pun yang operatif berperan
menentukan dalam pembentukan peradab islam di segala aspeknya
yang sama dampaknya dengan konsep ilm. Hal ini tetap benar,
sekalipun di antara istilah-istilah yang paling berpengaruh dalam
kehidupan keagamaan kaum Muslimin, seperti “tauhid”
(pengakuan atas keesaan Tuhan), “al-din” (agama yang sebenar-
benarnya) dan banyak lagi kata-kata yang terus menerus dan
bergairah disebut-sebut. Tak satu pun di antara satu istilah-istilah
itu yang memiliki kedalaman dalam makna dan keluasan dalam
penggunaannya yang sama dengan kata ilm itu. Tak ada satu

4 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


cabang pun dalam intelektual kehidupan kaum Muslimin yang tak
tersentuh oleh sikap yang begitu merasuk dalam “pengetahuan”
sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi dalam menjadi
seorang muslim.
Keterangan Rosenthal itu kiranya tidak berlebihan, jika diingat bahwa
wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah adalah perintah membaca:
“Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang mencipta” (Al-Alaq:1). Setelah
diingatkan bahwa manusia itu diciptakan dari segumpal darah yang
memberikan kesadaran ontologis dan bahwa Tuhan itu, selain Pencipta
juga Pemurah yang memberi kesadaran etis, diberitakan juga lewat
Rasulullah bahwa Tuhan memberikan ilmu kepada manusia lewat
perantaraan pena sebagai media komunikasi (ayat 4-5). Maka sebenarnya
yang dibawa sejak semula oleh Al-Qur’an dua semangat kembar: tauhid
dan keilmuan.

C. Tinjauan Al-Qur’an Tentang Ilmu


Dalam kumpulan wahyu Allah, yaitu Al-Qur’an, kata ilm ternyata
banyak disebut, yaitu sebanyak 105 kali, lebih banyak sedikit dari
penyebutan kata al-din yang sebanyak 103 kali. Tapi dengan kata
jadiannya, ia tersebut tak kurang dari 744 kali. Untuk menyebutkannya
secara rinci, kata-kata jadiannya itu disebut dalam bentuk dan frekuensi
sebagai berikut: alima (35), ya lamu (215), i’lam (31), yu’ lamu (1), ilm
(105), alim (18), ma’lum (13), alamin (73), alam (3), a’lam (49), alim atau
ulama (163), allam (4), a’llama (12), yu’llimu (16), ulima (3), mu’allam
(1), atau ta’allama (2). Dari kata jadian itu timbul berbagai pengertian
seperti: mengetahui, pengetahuan, orang yang berpengetahuan, yang tahu,
terpelajar, paling mengetahui, memahami, mengetahui segala sesuatu,
lebih tahu, sangat mengetahui, cerdik, mengajar, belajar (studi), orang
yang menerima pelajaran atau diajari, mempelajari; tetapi juga pengertian-
pengertian seperti tanda (‘alam), alamat tanda batas, tanda peringatan,
segala kejadian, alam (dunia), segala yang ada, segaala yang dapat
diketahui.
Ternyata untuk mengetahui dan menemukan pengertian tentang
ilmu itu dalam Al-Qur’an, tidak cukup kalau hanya dicari pengertiannya
dari kata-kata yang berasal dari akar kata a-l-m. Sebab kata “tahu” itu tidak
hanya diwakali oleh kata tersebut. Paling tidak ada beberapa kata yang
mengandung pengertian “tahu”, seperti: arafa, dara, khabara, sya’ara,
ya’isa, ankara, bashirah, dan hakim. Kata-kata jadian dalam Al-Qur’an

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 5


yang berasal dari kata arafah sendiri umpamanya disebut sebanyak 34 kali.
Karena itu, menurut Rosenthal, kata ilm adalah sinonim dengan kata
ma’rifah.
Salah satu kata jadiannya juga telah menjadi bahasa Indonesia yang
kita kenal akrab, yaitu ”arif”. Kata ini memang diartikan sebagai orang
memilki pengetahuan tertinggi, jika orang telah sampai kepada tahap
“ma’rifat”, walaupun hal ini lebih dikenal di dunia tasawuf. Dalam Al-
Qur’an terdaapat sebuah ayat yang melukiskan hal ini, umpamanya dalam
firman Allah.
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada
Rasul (wahyu), kamu lihat mereka mencucurkan air mata,
disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui (arafu).”4
Pengertian ilmu pengetahuan terdapat pula dalam kata hikmah yang
sudah menjadi kata Indonesia. Biasanya kata hikmah dipakai langsung
tanpa terjemahan dan pengertiannya adalah “pelajaran”. Orang yang
“memetik hikmah” adalah orang yang bisa “mengambil pelajaran” dari
pengalaman. Tapi hikmah biasa diterjemahkan juga dengan “kebijaksaan”
atau pengetahuan tertinggi. Dalam Al-Qur’an sendiri kata hikmah memang
berkaitan dengan hasil pemikiran seseorang dan sebagai hasil pemikiran,
hikmah merupakan sesuatu yang sangat berharga, seperti tercermin dalam
ayat berikut.
“Allah memberi hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barang siapa yang mendapat hikmah, sungguh ia telah diberi
kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil
pelajaran (dzikir). Kecuali orang yang berakal (ul al- albab).”5
Dari ayat di atas kita memperoleh pula definisi ul al-albab, yaitu
orang yang melakukan pemikiran dan pemikiran, serta berulang-ulang dan
terus-menerus, sehingga akhirnya dapat meraih pengetahuan tertinggi atau
hikmah. Pengertian di sekitar ilmu agaknya memang harus dicari
keterangannya dari berbagai kata kunci. Beberapa kata kunci itu kerap kali
bertemu dengan satu ayat. Sebagai contoh, kalau kita berbicara mengenai
“tanda” atau “alamat” yang merupakan sasaran dari pengetahuan, maka
kita akan teringat kepada kata “ayah”. Kata ini disebut sebanyak 392 kali
dalam Al-qur’an. Kata ini sering ditafsirkan dua macam, yaitu ayat-ayat
yang merupakan wahyu Allah yang tersurat dalam Al-Qur’an, tetapi juga

4 QS. AL-Maidah [5]:83


5 QS. Al-Baqarah [2]:269

6 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


yang diartikan sebagai tanda-tanda atau simbol-simbol yang terdapat
dalam alam semesta dan diri manusia (sebagai makhluk biologis yang
merupakan bagian dari alam semesta) yang disebut sebagai ayat-ayat
“kauniyah”.
Kata “ayah” ternyata sering bertemu dalam suatu ayat (sebagai
bagian dari surat dalam al-Qur’an) atau serangkain ayat-ayat yang
berkaitan dengan aktivitas mental yang disebut “fikir” dan “dzikir.” Orang
yang memiliki aktivitas mental ini dan menggunakannya untuk menatap
ayat-ayat Tuhan ini disebut ul al-albab. Gejala ini dapat dijumpai dalam
surat Ali-Imran.
“Sesungguhnya dalam terciptanya langit dan bumi dan silih
bergantinya malam dan siang adalah pertanda (ayah) bagi orang
yan memliki akal (al ul-albab), (yaitu) orang-orang yang melakukan
refleksi tentang Allah (dzikir), ketika mereka itu sedang berdiri,
sedang duduk, atau sedang berbaring di atas lambung mereka, dan
mereka (tafakkur) tentang kejadian langit dan bumi. (Dan mereka
pun berkata): Tuhan kami, engkau tak menciptakannya tanpa
tujuan. Maha Suci Engkau. Selamatkan kami dari siksa neraka.”6
Dalam tafsirnya dalam ayat ini, Maulana Muhammad Ali mengatakan
bahwa konsekuensi berpikirdan berdzikir adalah menuntut ilmu.
Pengertian yang berhubungan dengan aktivitas pikir dalam Al-Qur’an
disebut sebanyak 18 kali. Tapi yang berkaitan dengan dzikir yang di antara
lain dapat juga diartikan sebagai “mengambil pelajaran” disebut 285 kali.
Sedankan al ul-albab disebut 16 kali dalam konteks yang berbeda-beda.
Keterangan tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an ini sangat
menarik. Dalam Tafsir Al-Qur’an ul-Hakim, karya H.M. Kasim Bakry,
Imam M. Nur Idris dan A.Dt. Madjoindo, dijelaskan bahwa Aisyah pernah
pada suatu waktu dini hari menjelang subuh melihat Rasulullah menangis:
“Aku lihat air matanya menetes ke tikar sembahyang”. Bilal, yang
meminta izin untuk bang (adzan) subuh, ketika melihat Nabi menangis
bertanya: “Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis, padahal Allah telah
mengampuni segala dosa engkau yang telah lalu maupun yang akan
datang?” maka Rasulullah pun menjawab: “wahai Bilal, sesungguhnya
aku adalah hamba Allah yang bersyukur”. Maka Beliau pun membacakan
dua ayat di atas dan berkata: “Sungguh celaka orang yang membaca ayat
itu, tapi tak memikirkan maknanya”.

6 QS. Ali Imran [3]: 189-190

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 7


Hadits di atas memerlukan keterangan. Salah satu keterangannya
adalah teori kebudayaan yang dikembangkan oleh filsuf Belanda, Van
Puersen, dalam bukunya Strategi Kebudayaan. Menurut teorinya,
pejalanan budaya manusia dapat dibagi menjadi tiga tahap perkembangan:
tahap mitis, tahap ontologi, dan tahap fungsional. Dalam tahap mitis,
manusia merasa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya
yang dilihatnya sebagai kekuasaan dewa-dewa alam raya. Dalam tahap
ontologis, manusia sudah terbebas dari kekuatan mitis dan mulai
mengambil jarak dengan segala sesuatu yang ditatapnya. Ia mulai
berpikirdan meneliti. Pada tahap ini manusia telah melahirkan ilmu dan
ilmu itulah yang membebaskan sikap dan alam pikirannya. Ketika manusia
mulai masuk ke tahap fungsional, ia tidak lagi terpesona oleh
lingkungannya, tetapi juga tidak mengambil jarak, melainkan berusaha
mencari relasi-relasi baru dan kebertautan segala sesuatu dalam alam
sekitarnya.
Dalam alam pikiran ontologis, manusia dijumpai distansi, jarak,
karena manusia beruasaha mencari pengertian. Tapi dalam pikiran
fungsional, manusia mulai melihat dunia yang saling menunjukkan relasi
dan kebertautan antara yang satu dengan yang lain. Pada tahap ini telah
mampu mencapai dan menciptakan teknologi dan etika. Cara pemikiran
yang bersifat funsional ini dapat kita temui misalnya pada ayat 164, surat
Al-Baqarah.
“Sesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi dan perbedaan
siang dan malam, serta kapal-kapal yang berlayar di lautan
membawa harta benda yang mengandung manfaat bagi manusia
dan hujan yang turun dari langit, lalu dihidupkan-Nya dengan itu
bumi yanng telah mati, serta ditebarkan-Nya aneka binatang di
muka bumi, dan mega yang berlebar antara langit dan bumi,
sesungguhnya kesemuanya itu menjadi tanda-tanda (ayah) Allah
bagi mereka yang mempergunakan akal-pikiran.
Dalam alam pikiran seperti itu, orang tidak sekadar ingin tahu, tapi
juga memikirkan manfaat-manfaatnya bagi kehidupan manusia. Pemikiran
seperti itu timbul apabila orang melihat bahwa segala yang ada itu
diciptakan dengan kebenaran-kebenaran yang pasti (Al-Zumar:5) dan tidak
sia-sia karena mengadung tujuan-tujuan tertentu yang bersifat fungsional
bagi manusia (Al-Baqarah:190). Pengertian di atas dapat ditangkap lebih
jelas dari surat Al-Mulk ayat 15 yang mengatakan:

8 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


Dialah yang membuat bumi berfungsi melayani kebutuhanmu. Maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian rizki-Nya.
Untuk sampai ke taraf itu, manusaia memang diberi kemampuan
untuk mejelaskan segala gejala yang terdapat di alam semesta. Ilmu al-
bayan yang disebut dalam surat Al-Rahman:4 berkaitan erat dengan gejala-
gejala alam yang mengandung perhitungan-perhitungan (ayat 5) dan
ukuran-ukuran yang pasti atau mizan (ayat 9). Perhitungan dan pengukuran
adalah cara yang paling dan fundamental dalam mencapai pengetahuan
yang ilmiah. Sungguh pun demikian, dasar dari ilmu pengetahuan itu,
menurut Al-Qur’an adalah dalam proses berpikir, mempergunakan
penalaran dan perenungan yang mendalam (dzikir) sebagaimana tersebut
dalam surat an-Nahl ayat 11,12, dan 13 yang kesemuanya tercakup dalam
pengertian al-bayan, yaitu proses penjelasan (explanation atau discourse)
yang merupakan kemampuan istimewa yang dianugerahkan oleh Allah
kepada makhluk manusia.
Sebenarnya di dalam Al-Qur’an terdapat nuansa-nuansa pengertian
yang berkaitan dengan metodologi ilmu pengetahuan, sebagaimana yang
dapat ditangkap dari arti dan pengertian dari istilah-istilah, seperti:
fahhama, aqala, bashir, faqiha, halam, khabara, albab, atau nuha di
samping istilah-istilah yang telah dibahas di muka. Dari segi metodologi,
pengertian keilmuan terkandung dalam istilah-istilah, seperti: ikala, kala,
qadara, qaddara, wazana, taffafa, istawfa, mikyal, dan miqdar. Namun
intinya adalah bahwa pengetahuan itu dapat diperoleh melalui observasi
(bashir) terhadap segala sesuatu yang merupakan dasar dari pemikiran,
penalaran, perhitungan, pengukuran, dan perenungan. Dengan perkataan
lain, ilmu adalah suatu pengetahuan yang dapat dijelaskan dan ada
penjelasannya menurut aturaan-aturan tertentu yang perlu disepakati dalam
suatu masyarat ilmu.

D. Ilmu dan Agama


Dalam buku kecilnya, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan
(1954), Dr. Mohammad Hatta merasa perlu secara khusus membahas soal
hubungan ilmu dengan agama. Sebab menurut kesannya tentang hubungan
itu telah terjadi banyak kesalahpahaman. Sumbernya terletak dari sejarah
ilmu dan agama itu sendiri. Menurut dan pendapatnya, pada waktu yang
lalu, khususnya antara agama Kristen dan ilmu pengetahuan, tapi kiranya
berlaku pula pada agama yag lain, terdapat keterangan hubungan
antarkeduannya, antara lain dimasyhurkan dengan peristiwa inkuisisi

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 9


gereja terhadap Nicolas Copernicus dan Galileo Galilei. Keadaannya kini
sudah berubah berkat kemajuan pemikiran juga dan tentunya pengalaman.
Pada dasarnya Hatta berpendapat bahwa medan garapan ilmu dan agama
itu berbeda. Pengetahuan yang dapat ditinjau dengan keterangan akal, ada
batasnya, yaitu terbatas pada yang dapat dialami dan dalam kategori ruang-
waktu dan hukum kaulitas. Di luar itu, tidak ada pengetahuan yang shahih
didapat dari pikiran. Itulah medan kepercayaan, katanya. Maka
sehubungan dengan itu ia berpendapat bahwa:
Kemajuan pengetahuan tentang agama dan tentang ilmu mengajar
kedua belah pihak mengetahui batas masing-masing. Agama
mengakui bahwa di luar daerahnya sendiri ada daerah yang dspst
diserahkan kepada ilmu diselidiki dan dikupas masalah-
masalahnya. Kemudian ternyata pula bahwa pengetahuan yang
dihasilkan ilmu itu dapat menjadi bahan bagi agama untuk
memperkuat keyankinannya.
Atas dasar itu maka Hatta berkesimpulan bahwa “ada perlainan
keinsyafan antara ilmu dan agama, tetapi bukan pertentangan”. Bagi Hatta,
ilmu bersangkutan dengan soal pengetahuan dan agama adalah masalah
kepercayaan.
Sekalipun Hatta berpendapat bahwa hubungan antara ilmu dan agama
bukanlah pertentangan, melainkan perbedaan bidang garapan, namun di
situ terselip pengertian, seolah-olah ada keterpisahan antara ilmu dan
agama. Beberapa pernyataan Hatta memang mengandung kebenaran,
misalnya tentang keterbatasan akal dan adanya hal-hal yang manusia tidak
bakal tahu, seperti tentang kapan datangnya kiamat. Di dalam Al-Qur’an
sendiri, umpamanya dalam surat Al-A’raf dikatakan:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: ‘bilakah
tejadinya?’ katakanlah: ‘sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat
itu ada pada Tuhanku; tidak seorang pun dapat menjelaskan waktu
kedatangannya selain Dia.”7
Di dalam Al-Qur’an terdapat pula pernyataan bahwa ada hal-hal
tertentu yang hanya sedikit saja diketahui oleh manusia, misalnya tentang
roh.

7 QS. Al-A’raaf [7]: 187

10 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah ‘roh’
itu termasuk urusan Tuhanku dan tiadalah kamu diberi
pengetahuan, melainkan sedikit.”8
Jadi memang benar menurut Al-Qur’an adanya bidang-bidang, di
mana jangkauan pengetahuan manusia memang terbatas. Tapi dalam hal
roh umpamanya, objek ini sebenarnya masih berada dalam jangkauan ilmu
pengetahuan, walaupun kemampuan ilmu akan terbatas. Dalam hal hari
kiamat, manusia memang tidak tahu kapan datangnya, tapi kemungkinan
kejadian seperti itu masih berada jangkauan ilmu untuk menjelaskannya,
misalnya jika terjadi perang nuklir. Hal ini dijelaskan dalam surat Al-
Takatsur ayat 5, bahkan manusia bisa mendapatkan keyakinan ilmiah
(teoretis) atau ilm al-yaqqin untuk bisa memahami akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatan menumpuk-numpuk harta benda. Sesungguh
pun demikian, kesadaran akan keterbatasan ilmu sangat penting bagi
manusia sendiri. Sebab, ketidaksadaran tentang hal itu bisa mengakibatkan
bencana bagi umat manusia.
Sekalipun keterangan Hatta mengandung kebenaran, ada beberapa hal
yang perlu dijelaskan. Pertama, menurut Al-Qur’an objek agama bukanlah
hal-hal yang hanya tergantung pada kepercayaan. Al-Qur’an mengajarkan
untuk berpikir dan menggunakan penalaran terhadap ajaran-ajaran agama
itu sendiri, sekalipun tentang beberapa hal, misalnya mengenai hal-hal
yang gaib, manusia hanya bisa percaya atau tidak. Kedua, Islam itu sendiri
sebagai agama, mengajarkan doktrin-doktrin yang mengembangkan
budaya ilmu. Doktrin keilmuan, termasuk juga ke dalam bidang agama
atau ad-din. Kalau kita membagi kedua ilmu menjadi dua, seperti
dikemukakan oleh Jhon Neville Keynes, yaitu ilmu normatif dan positif,
maka Al-Qur’an mengakui kedua-duanya. Menurut Dr. Anas Zarqa, Al-
Qur’an banyak mengandung apa yang disebut positive statement atau
pernyataan-pernyataan tentang yang ada, di samping pernyataan-
pernyataan tentang yang seharusnya (normative statement). Karena itu
maka pengertian “agama” dalam kalimat yang disebut Hatta, perlu diganti
dengan “kepercayaan” atau “aqidah”. Sedangkan agama, menurut Al-
Qur’an, mencakup ilmu pengetahuan.
Agama atau al-din, dalam pengertian Al-Qur’an tidak hanya
menyangkut soal-soal akhirat. Justru agama adalah pedoman untuk
kehidupan nyata di dunia ini, termasuk mengajarkan dokterin untuk

8 QS. Al-Israa [17]: 85

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 11


mengajarkan ilmu pengetahuan. Ada sebuah hadits yang mengatakan:
“Sesungguhnya, Allah ditaati dan disembah dengan ilmu, sebagaimana
kejahatan di dunia dan di akhirat karena kebodohan,” sebuah hadits Nabi
yang lain mengatakan: “Barang siapa menginginkan kebaikan di dunia ini,
hendaklah mencari ilmu; barang siapa menginginkan kebaikan akhirat,
hendaklah mencari ilmu dan barang siapa menginginkan kedua-duanya,
hendaklah mencari ilmu.” Al-Qur’an tidk mengenal dikotomi antara agama
dan ilmu pengetahuan.

E. Pengetahuan dan Ilmu


Ilmu dengan berbagai cabangnya terus berkembang. Tapi sejalan
dengan perkembangan itu, ilmu sebagai gejala yang makin nyata dalam
kehidupan manusia terus dan makin dipersoalkan dan dipelajari. Ini
menunjukkan bahwa orang tidak puas dengan jawaban yang ada. Tapi,
sementara orang masih belum puas juga dengan keterangan yang diberikan
mengenai ilmu, persoalan baru pun timbul pula. Pada mulanya, ilmu
hampir identik dengan apa yang disebut pengetahuan. Lama kelamaan,
ilmu makin membedakan dirinya dengan pengetahuan biasa. Ketika orang
menyadari bahwa ilmu itu berbeda dengan pengetahuan biasa dan makin
rumit tanda-tanda gejalanya, maka orang pun mulai mempertanyakan
hakikat ilmu itu. Maka berkembanglah filsafat ilmu.
Secara sederhana, ilmu memang mengandung arti "pengetahuan."
Dan demikianlah kata "ilmu" itu biasa diterjemahkan dalam berbagai ayat.
Di sini "ilmu" sinonim dengan "pengetahuan." Misalnya saja kata '"ilm"
dalam rangkaian kata "jaaka min al-ilm" pada surat Al-Baqarah ayat 120
diterjemahkan dengan "pengetahuan", tapi dalam ayat 145 dengan "ilmu”,
padahal pengertiannya persis sama, yaitu tentang "datangnya ilmu atau
pengetahuan" kepada seseorang atau suatu kaum. Karena itu, maka untuk
mengetahui makna yang lebih mendalam tentang "ilmu", kita perlu
menyelidiki apa yang disebut "tahu" itu. Suatu yang kiranya konsisten
dalam Al-Qur’an adalah bahwa "tahu" itu bersangkutan dengan apa yang
bisa diketahui (oleh manusia). Sedangkan yang tidak bisa diketahui atau
berada di luar jangkauan "tahu" bukanlah pengetahuan, setidak-tidaknya di
luar ilmu atau pengetahuan. Contohnya dapat diberikan dari ayat 28 surat
Al-Najm.
“Dan yang terdapat pada mereka bukanlah ilmu (pengetahuan),
mengenai hal itu (kehidupan akhirat). Tiada lain, mereka hanya

12 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


mengikuti dugaan-dugaan, sedangkan sesungguhnya dugaan-
dugaan itu tidak sedikit pun mencerminkan kebenaran.”
Dalam surat Al-Ahqaf: 23, terdapat kasus ayat yang mengatakan:
“Ia berkata: pengetahuan (tentang hal itu) hanya pada Allah dan
aku (hanya sekadar) menyampaikan kepada kamu apa yang dengan
itu aku diutus, tapi aku melihat kalian seperti orang-orang yang
bodoh.”
Selanjutnya dalam ayat 26 terdapat pula kalimat:
“Kami telah memberikan mereka pendengaran, penglihatan, dan
kalbu, tapi pendengaran, penglihatan, dan kalbu mereka tak mereka
pergunakan sedikit pun tatkala mereka menolak ayat-ayat Allah,
bahkan mereka terjebak dalam olok-olok mereka sendiri.”
Jika kita kaitkan dua ayat itu, maka agaknya pendengaran,
penglihatan, dan kalbu adalah alat untuk memperoleh pengetahuan (ilmu)
dan dengan itu orang bisa memahami kebenaran ayat-ayat yang diturunkan
oleh Allah. Di sini tersimpul pula bahwa di samping melalui lorong
empiris, ilmu pengetahuan dapat dicapai pula melalui jalur intuisi (gaib).
Fisikawan, Albert Einstein, pernah mengatakan seperti ini pula.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa ada berbagai hal yang manusia tidak
bisa menjangkaunya dengan pengetahuan. Beberapa hal itu, misalnya
tentang kehidupan di akhirat atau tentang hari kiamat (al-Ahzab: 63)
adalah sesuatu yang berada di luar pengetahuan atau ilmu. Kalaupun kita
merasa seolah-olah tahu, maka "tahu" kita itu hanyalah cerminan dari apa
yang kita memang sudah tahu sekarang. Sungguh pun demikian, ada pula
hal-hal yang bisa diketahui dan karena itu berada dalam jangkauan ilmu,
walaupun kemampuan manusia terbatas untuk menjangkaunya, misalnya
tentang roh, seperti tersebut dalam surat Bani Israil ayat 85. Pengetahuan
mengenai hal itu terdapat pada Allah. Dikatakan dalam surat Al-A'raf: 86,
bahwa ilmu Allah itu mencakup segala sesuatu. Dalam surat Ar-Ra'd: 9,
dikatakan bahwa Allah adalah "Yang mengetahui segala yang gaib dan
yang nampak". Sifat dari ilmu Allah itu antara lain dilukiskan dalam surat
Luqman:27.
“Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi
tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah keringnya,

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 13


niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu) Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Agung lagi Maha Bijaksana.”9
Sementara itu jangkauan ilmu manusia itu, di samping terbatas, juga
tak sempurna (Yunus:39).
Namun jelas bahwa manusia itu diberi kemampuan ilmu atau
menjangkau pengetahuan. Keterangan mengenai hal ini dalam berbagai
tafsir Al-Qur’an dirujukkan pada ayat 31 surat Al-Baqarah.
“Dan Ia mengajarkan kepada Adam keseluruhan nama-nama
segala sesuatu.”10
Ketika kemampuan mengeja nama-nama benda itu diujikan kepada
para malaikat, mereka menjawab:
“Maha Suci Engkau. Kami tidak mempunyai ilmu selain yang
Engkau ajarkan. Engkau Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana
(ayat 32).”
Ketika hal yang sama diujikan kepada Adam, maka Adam ternyata
mampu mengeja nama-nama segala sesuatu (ayat 33). Dengan kemampuan
itulah, maka manusia memiliki ilmu. Dari keterangan itu dapat ditarik
kesimpulan bahwa ilmu itu bersumber dari kemampuan manusia yang tak
terdapat pada makhluk lain untuk mengidentifikasikan segala sesuatu yang
merupakan objek pengetahuan dengan indra dan intuisinya. Dengan
kemampuan itu pula manusia bisa melakukan komunikasi dan transfer
pengetahuan kepada orang lain, tidak saja di antara yang hidup dalam satu
generasi, melainkan juga ke generasi berikutnya. Filsuf Ernst Cassirer,
dalam bukunya Philosophy Symbolic Form (1929) yang kemudian
disempurnakannya dalam bukunya yang lebih terkenal, An Essay On Man
(1944) menyebut hakikat manusia sebagai "makhluk simbolis" (homo
simbolicum), karena kemampuannya mengeja nama-nama segala sesuatu
itu.
Tapi sekali lagi bahwa jangkauan pengetahuan dan kemampuan ilmu
manusia itu terbatas adanya (Al-Baqarah:255). Keterangan mengenai ini
sebenarnya sekaligus menjelaskan bahwa objek ilmu itu terbatas. Tapi
memang adalah merupakan kecenderungan manusia untuk
memperbincangkan dan membahas sesuatu yang sebenarnya ia tak ketahui.
Dalam surat Ali Imran dikatakan:

9 Lukman [31]:27
10 Al-Baqarah [2]:31

14 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


“Beginilah kamu. Kamu (memang sewajarnya) bantah-membantah
tentang hal yang kamu memiliki ilmu. Tapi mengapa kamu bantah-
membantah tentang apa yang kamu tidak mempunyai ilmu? Allah
mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”11
Dalam surat itu, pokok yang menjadi perbincangan adalah apakah
Ibrahim itu termasuk golongan Yahudi atau Nasrani. Al-Qur’an
menjelaskan bahwa tidak mungkin Ibrahim itu tergolong satu di antara dua
agama itu. Sebab Ibrahim itu sudah ada sebelum lahirnya kedua agama itu
atau sebelum turunnya Taurat dan Injil. Ibrahim adalah seorang yang
"hanif” (cenderung kepada kebenaran) dan yang "Muslim" (menyerahkan
diri kepada Allah) dan tidak bisa dimasukkan sebagai Yahudi atau Nasrani.
Keterangan selanjutnya mengenai Ibrahim dan kaitannya dengan dua
agama itu pada ayat-ayat selanjutnya mengajarkan suatu sistem analisis
sejarah. Itulah antara lain ciri ilmu, yaitu adanya cara penalaran tertentu.
Dalam al-Qur'an, ternyata ilmu bukanlah sekadar pengetahuan biasa,
tetapi suatu pengetahuan yang di dalamnya terkandung penalaran tertentu.
Hal ini tampak umpamanya dalam surat al-An'am:143 yang berbunyi:
“Terangkan kepadaku dengan keterangan yang berdasarkan ilmu,
jika kamu memang bisa membuktikan suatu kebenaran.”12
Konteks ayat itu adalah mengenai berbagai hukum yang berdasarkan
kepercayaan yang tidak masuk akal, seperti yang terdapat pada hukum
yang berlaku pada kalangan kaum Yahudi. Dalam hukum itu terdapat
larangan untuk mempergunakan, mengambil manfaat, atau memakan
berbagai jenis binatang dan tanaman, tapi tidak ada dasar penalarannya.
Maka dalam ayat berikutnya dikatakan:
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang
membuat dusta (kebohongan) terhadap Allah, untuk menyesatkan
Allah, tanpa pengetahuan?”13
Pada ayat sebelumnya dikatakan:
“Sesungguhnya, rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka,
karena kebodohan dan karena ketiadaan ilmu.”14
Ayat ini mencela tradisi yang terdapat di kalangan bangsa Arab pada
waktu itu yang melakukan "kurban" untuk Allah dengan membunuh atau

11 Ali Imran [3]:66


12 QS. Al-An’am [6]:143
13 QS. Al-An’am [6]:144
14 QS. Al-An’am [6]:140

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 15


mengurbankan salah seorang anak laki-laki yang paling mereka cintai.
Tradisi ini oleh Al-Qur’an disebut sebagai kebodohan dan tak ada dasar
ilmunya. Tradisi tersebut dan berbagai tradisi lainnya dalam surat Al-
An'am, sejak ayat 136 hingga ayat 151, dikemukakan sebagai kasus
ontologis untuk dibahas dan diberi penilaian. Dari pembahasan itu,
masyarakat bisa menyusun pedoman hidup dan sistem hukum yang
rasional.
Salah satu pendekatan untuk memahami makna ilmu dalam Al-
Qur’an adalah dengan mengambil kasus surat Al-An’am (hewan ternak)
yang terdiri dari 165 ayat itu. Kata “ilm” sebenarnya tersebut dalam 41 di
antara 114 surat dalam Al-Qur'an atau sekitar 36%, di antaranya 11 (27%)
berasal surat-surat Madaniyah dan sisanya 30 (73%) berasal dari surat-
surat Makkiyah. Kalau dilihat dari frekuensi penyebutannya, 25 kali (24%)
berasal dari surat-surat Madaniyah dan sisanya 80 kali (76%) berasal dari
surat-surat Makkiyah. Dengan perkataan lain, sebagian besar kata "ilm"
terdapat di surat-surat Makkiyah. Dalam surat Al-An'am sendiri kata'"ilm"
tersebut 8 kali. Ini adalah surat yang terbanyak menyebut kata itu. Tapi
kalau diperhitungkan frekuensi seluruh kata yang mempunyai akar kata
yang sama, maka kata ini tersebut 43 kali, 15 di antaranya kata "alima"
("ya'lamu").
Surat Al-An'am yang tergolong ke dalam surat Makkiyah itu dengan
mengambil kasus ladang, tanaman, dan hewan ternak, dan di lain pihak
gejala-gejala ritus kaum musyrikin yang mempunyai adat menyisihkan
hasil ladang dan ternak untuk sesajian (ayat 137) melakukan pembahasan
dalam rangka menegakkan tatanan masyarakat baru. Hal ini juga dikaitkan
dengan kebiasaan membunuh satu di antara anak-anak lelaki dalam suatu
keluarga sebagai kurban kepada berhala (ayat 136 dan 138). Dilihat dari
sudut filsafat ilmu, surat itu menyajikan dasar ontologis terhadap persoalan
teoretis tentang kaitan antara kepercayaan dan sistem sosial atau sistem
hukum suatu masyarakat. Dalam ayat 142 dikemukakan kasus kebun dan
hasil-hasilnya. Selanjutnya pada ayat 143 dan 148, surat ini menawarkan
dasar epistemologis. Pada ayat 148 tersebut dikatakan: "Katakanlah,
apakah kamu mempunyai (suatu dasar) ilmu, sehingga kamu bisa
mengatakan demikian itu?" Kemudian pada ayat 149 Allah berfirman:
"Allah mempunyai argumen (hujjah) yang kuat." Ini merupakan
konfirmasi dari ayat 57 yang berbunyi: "Katakanlah: sesungguhnya aku
(berada) di atas hujjah (argumentasi) yang nyata dari Tuhanku." Dari sini
dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar epistemologis yang dipakai untuk

16 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


menjelaskan gejala yang diambil sebagai kasus dalam surat tersebut adalah
argumentasi yang rasional.
Salah satu kesimpulan yang dapat diambil adalah pernyataan dalam
ayat 142: “Dan di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk
pengangkutan dan ada pula yang untuk disembelih. Makanlah dari rizki
yang telah diberikan Allah kepadamu”. Di sini Al-Qur’an
memperkenalkan cara berpikir fungsional terhadap alam sekitar. Hal yang
sama juga telah dikemukakan pada ayat sebelumnya. Dalam cara berpikir
fungsional tersebut tersurat pula sikap etis seperti yang tercermin dalam
ayat sebelumnya: “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang
berjunjung dan tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang
bermacam-macam buah-buahnya, yaitu zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya), tapi tidak sama (rasanya). Makanlah dari
buahnya bila panen tiba dan tunaikan hak (untuk fakir miskin) dari hasil
panen itu dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang boros”. Hasil pemikiran di atas bertentangan
dengan pola kepercayaan kaum musyrikin yang berpikir untuk
memberikan sesaji dalam pesta besar-besaran untuk berhala atau yang
dianggap sebagai Tuhan. Al-Qur’an merubah adat itu dengan sistem zakat
untuk fakir miskin dan bukannya persembahan untuk Tuhan. Adat
menyembelih anak juga diganti dengan menyembelih kambing untuk fakir
miskin dalam tradisi kurban yang dipelopori oleh nabi Ibrahim a.s.
Demikian pula keluar pedoman kepercayaan, sikap etis, dan hukum yang
dapat ditarik dari ayat yang berbunyi: “Janganlah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada ibu-bapak, dan janganlah
kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin, oleh sebab Kamilah
yang akun memberi rizki kepadamu dan kepada mereka” (ayat 151).

F. Ciri-ciri Ilmiah
Dilihat dari kacamata filsafat ilmu, surat Al-An'am ini memberikan
dasar-dasar moral dan etik atau dasar-dasar aksiologis terhadap ilmu.
Dalam keseluruhan ayat-ayat dalam surat itu dikemukakan berbagai
ciri "ilmiah" atau dasar-dasar pengertian ilmu seperti umpamanya: bukti
tertulis (ayat 7 dan 92), adanya tanda bukti, kesaksian indrawi, dapat
diketahui, dilakukan dengan jalan justifikasi atau pembenaran (tashdiq),
adanya olah pikir (ayat 50), pertimbangan (ayat 153), melihat kegunaannya
(ayat 143), dan argumentasi (hujjah), memakai takaran dan timbangan
(ayat 153), melakukan perhitungan (ayat 97), dan mengandung penjelasan

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 17


(ayat 99 dan 155). Sebaliknya hal-hal yang bukan atau dapat
dipertentangkan dengan ilmu dikaitkan dengan hal-hal seperti
mengacaukan (fitnah), melakukan dugaan-dugaan (spekulasi) yang tak
berdasar, kabur, menyesatkan, mendustakan kebenaran, kebodohan,
kebohongan, mengikuti hawa nafsu, membingungkan, tindakan yang
membabi buta, dan bertentangan dengan kemanusiaan.
Pada bagian-bagian akhir surat ini terdapat suatu ayat yang
mengandung satu kata kunci yang maksudnya sejalan dengan keseluruhan
argumentasi yang dapat dikaitkan dengan fungsi ilmu, yaitu kata "ishlah"
yang artinya "perbaikan" atau "pembaharuan" (re-form). Fungsi ilmu
sejajar dengan istilah ini.
“Barang siapa yang beriman dan mengadakan perbaikan (ishlah),
maka tiada kehawatiran dan tiada pula kesedihan.”
Dari ayat itu kita bisa menarik kesejajaran antara ilmu dengan
motivasi yang berdiri di balik usaha-usaha untuk melakukan perbaikan dan
mencapai kemajuan yang tak lain adalah kreativitas.

18 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


BAB II
GURU

I. Ayat

َ ‫ر‬
‫َ بو ع ي‬ ‫هَي‬ ‫مَو وَ ق ُأ ذم ة‬
َ َ َ َ َُ
َ‫و لد‬ ‫ن مَ مو َس ا نود‬
َ‫ق ه‬
‫ن‬
َ‫ل‬
Artinya: “Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang
memberi petunjuk dengan hak dan dengan hak itulah mereka menjalankan
keadilan.” (QS. Al-A’Raaf [7]:159)
َ َ َ
‫هَرَ َت لاو تيسَ ن امَ نََ ذخاؤَ َت لال ا ق‬
َ َ
‫ََ ع يرَمَ أ نمنََق‬ ‫س‬‫ا‬

Artinya: Musa Berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena


kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan
dalam urusanku.” (QS. Al-Kahfi [18]:73)

A. Pengertian Guru
Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling
bertanggung jawab adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Pada
awalnya tugas pendidik adalah murni tugas kedua orang tua, namun pada
perkembangan zaman yang telah maju seperti sekarang ini banyak tugas
orang tua sebagai pendidik yang diserahkan ke sekolah, karena lebih
efisien dan lebih efektif. Menurut UU RI No 14 Tahun 2005, guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah.

B. Hakikat dan Tugas Guru


Fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat yang memandang
bahwa tugas guru hanya seorang pengajar (pentransfer ilmu) di lingkungan
pendidikan perlu untuk diubah. Karena sejatinya seorang guru bukan
hanya sebagai pengajar untuk mencerdaskan pola pemikiran anak didik
yang dari tidak menjadi tahu. Akan tetapi penting untuk dijelaskan tugas
seorang guru yang sebenarnya dari aspek Al-Qur’an dan hadits. Pada ayat
Al-Islam Studi Al-Qur’an | 19
ini Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang menyatakan bahwa Dia
telah mengajarkan Al-Qur’an kepada Muhammad saw. yang selanjutnya
diajarkan kepada umatnya. Ayat ini turun sebagai bantahan bagi penduduk
Makkah yang mengatakan:

‫َ َ َ َ ََ َ َ ذ‬
‫لع ي ام ن‬ ‫به م‬ ‫ش‬

Artinya: “Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia


kepadanya (Muhammad)” (An-Nahl:103).
Tugas seorang guru yang pertama dan terpenting adalah pengajar
(murabbiy, mu’allim). Firman Allah dalam surat Ar-Rahman ayat 2-4.

‫َ َذ‬ َ ‫ذ‬ َََ َ


‫اقَ ل‬
)4( ‫) ه م علن‬3( ‫خن‬ ‫لامَ لع‬ ‫ن َ آر ق‬
َ َ َ )2(
‫ا‬ ََ‫ل‬
‫ن‬
ََ‫اَيل‬ َ‫اس‬

Artinya: “Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia.


Mengajarnya pandai berbicara.”
Hadits Rasulullah saw. juga membahas tentang pendidik, yakni hadits
‫َ َ َ َ ََ ذ‬ َُ َُ َُ َ
yang diriwayatkan oleh Imam Ad- Darami.
َ ََ‫َ َ َ َ ذ‬
َ ُ
‫ا دبع انبَخ دَ بع نع معنأنَ بدَ ايز نبنَ حَرل ا دبع ا نث دح ديزَ ي نب‬
‫للََعَفَ ارنََ بنَ حَرلا‬
‫ذ‬ َ َ‫ ور مَع لوس‬: َََ‫ادَ َبع نع بلل‬
َ
ََ‫َ لل‬-‫ملسو هيلع للها لىص‬- ‫جم رذ م‬ َ
َ‫س‬ ‫ََ َ ل‬ ‫فَي‬
‫نأ ر ا‬
َ َ‫ن‬
‫ذ‬ َ َ َ ََ َ
‫صا َ َ يف للنعو‬ ‫هَ بَ ح‬، ‫هَ دَ جسم لاق ه كل علَ خ ه د حأو لض‬
َ‫امذ أ ؤ ء َ ه‬ ‫نم‬ َ‫َفأ ام‬ َ َ‫« ام‬: ‫ف‬
‫لا‬
‫د‬ ‫ه‬ َ‫ي‬
َ َ‫َذ‬ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ
‫لاو‬ ‫نوم لع‬ َ ‫ م ه ع من‬، ‫نو بغرَ يو نإَ فهَلَ نإَ و م ه‬
َ َ ََ ‫ء‬
َ‫امذ أو ؤ لا ه ق فَ لا لع‬ ‫اطَعءَ اش‬ ‫أ ءَ اش‬
َ‫تيف م‬ ‫ه‬

َ َ ‫م ذ‬ ‫ذ‬ َ َ ََ ‫ََلعَ َيو ل‬


َ‫م ه‬-. ‫لج ميرالدا‬ ‫ل َب امَ ن َ ََ م‬، ‫ه ف‬
‫يف‬ ‫ام لعَ ث س‬ َ ‫ا نومَ َل مَ ض‬
َ ‫ع‬
‫ث‬ ‫ت‬ ‫و‬
َ َ َ ‫ا ه‬
» ‫ل ا ق‬: َ‫إ‬ ‫ف أ‬
َ

Artinya: “Menceritakan kepada kami ‘abdullah bin yazid, menceritakan


kepada kami ‘abdur Rahman bin Ziyad bin An’um bin Abdur Rahman bin
Rafi’ dari Abdullah bin ‘amr: Sesungguhnya Rasulullah saw. melewati
dua majelis di masjidnya, lalu Rasulullah berkata: keduanya itu baik dan
sala ssatu keduanya itu lebih utama dari sahabatnya. Adapun mereka
berdo’a kepada Allah dan menyenangkan kepada-Nya. Maka jika Allah
berkehendak mereka akan diberi. Dan jika Allah berkendak mereka akan
dicegah. Adapun mereka ada yang belajar ilmu fiqh dan mereka
mengajarkan kepada orang yang bodoh. Maka mereka itulah yang lebih
utama. Dan sesungguhnya aku di utus sebagai pengajar (pendidik).
Abdullah bin ‘amr berkata: kemudian Rasulullah duduk bersama mereka.”
(HR. Ad-Dailami)

20 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


Hadits di atas menjadi penjelas bagi seluruh umat manusia, bahwa
setelah Rasulullah diajarkan kepadanya Al-Qur’an, lalu Rasulullah
mengatakan dalam haditsnya yang mengisyaratkan bahwa Beliau diutus
adalah sebagai pendidik.
Seorang pendidik akan senantiasa menyampaikan ilmu pengetahuan
yang dimilikinya untuk bisa diserap oleh muridnya, sehingga nantinya
ilmu pengetahuan tersebut akan semakin dikembangkan oleh peserta didik.
Hadits Rasulullah saw. menyatakan:
َ َ َ
‫اوغ لب َ –ة َيآوَ لو‬
‫يذمترلا‬ َ
َ
‫ن‬
‫ع‬

Artinya:“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.”


Tugas guru yang kedua adalah sebagai pembimbing atau penyuluh.
Hal ini digambarkan dalam firman Allah surat An-nahl ayat 43:
ََ
َ‫لع‬ َ
‫َت نكن‬ ‫َك‬َ‫او ل أس‬
َ َ َ
َ‫ل‬ ‫ون لا‬
‫ذ‬
‫بقنم لا إك‬ َ‫رَ َأ امَو‬
َ‫لامَ تنوم‬ َ ‫اجر حََ مَ ه َ َ َ ل‬ َ‫ل‬ َ‫اَن َلس‬
‫أ‬ ‫ه‬ ‫ل‬ َ
‫ر‬
‫ا‬ َ
‫ا ف‬ )43(

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang


lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Simpulan dari ayat ini mengenai tugas seorang guru adalah guru
sebagai penyuluh yang selalu memberikan peringatan dan pembimbing
bagi semuanya demi mendakwahkan amar ma’ruf nahi munkar.
Tugas ketiga seorang guru adalah sebagai penjaga. Firman Allah
SWT dalam surat At-Tahrim ayat 6.
َ َ َ ََ َ َ ََ َ
‫ي لع‬ ‫ج‬
َ
‫د و قو ارَ ا ن َ ا‬ ‫ه أو‬ ‫او ق اوَنمَ َ آ‬ ‫أ ا َي‬ ‫اه ي‬
َ َ‫ذ َ لَ ر‬ َََ ‫ذ‬
‫سا لنا اه‬ َ‫كلي‬ ‫أن‬ ‫مَ كسف‬ ‫ََ ا‬ َ‫ل‬
‫ني‬
َ‫اه‬ َ‫او ة‬
َ‫م‬

َََ ‫َ ر‬ ‫ر‬
‫َيو‬ ‫ص َ رَمَ أم ام نو لع ف‬ ‫غة ك َئلَ م د ادَش ي ا نو‬
َ ‫لا‬
َََ َ‫َ مَه‬ َ ‫ر‬
‫َي‬ ‫نور م ؤ‬ َ‫لل‬ ‫ع‬ َ‫ظ ل‬

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan


keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Ayat ini memberikan tuntunan kepada kaum beriman bahwa: “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah diri kamu antara lain dengan

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 21


meneladani Nabi dan pelihara juga keluarga kamu, yakni: istri, anak-
anak, dan seluruh yang berada di bawah tanggung jawab kamu dengan
membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari batu-
batu antara lain yang dijadikan berhala-berhala.”
Ayat ini dimaksudkan bagi pendidik atau seorang guru haruslah bisa
menata diri sebagai bentuk dari contoh kepribadiannya yang baik dan
nantinya akan ditularkan kepada keluarga dan masyarakat luas. Oleh
karena itu, seorang guru harus bisa melindungi dan mengarahkan dirinya,
keluarga, serta orang lain agar nanti bisa selamat dunia akhirat dan bebas
dari siksa neraka.
Tugas keempat adalah guru sebagai pendidik dan penanggung jawab
moral anak didiknya.

‫ قيشملدا دلَولا نب سابعلا انثدح‬. ‫ شايع نب علي انثدح‬. ‫ ةرامع نب ديعس انثدح‬.
‫ نامعلنا نب ثرالَا نيبَخأ‬. ‫للها لىص للها لوسر نع ثديح كلام نب سنأ تعمس‬
‫ ملس و هيلع‬: ‫ مهبدأ اونسحأو مكدلاوأ اومركأ ( لاق‬-) ‫هجام نبا‬

Artinya:“Menceritakan kepada Al-‘abbas bin Al-Walid Al-Damasyqiy.


Menceritakan kepada kami ‘ali bin ‘iyasy. Menceritakan kepada kami
Sa’id bin ‘umarah. Menceritakan kepadaku Al-harits bin An-nu’man. Aku
mendengar Anas bin Malik berkata dari Rasulullah saw. berkata:
Muliakanlah anak-anakmu dan baguskanlah budi pekerti mereka.”15
Dalam hadits di atas mengingatkan kepada seorang pendidik agar
senantiasa untuk memuliakan anaknya. Mulia di sini bisa diperluas
maknanya dengan bersifat baik, adil, jujur, dan bijaksana kepada anak
didiknya. Dan tugas kedua yang dicerminkan dalam hadits ini adalah untuk
mengajarkan akhlak yang baik. Pendidik diharuskan untuk memiliki
kepribadian yang baik, agar anak didiknya akan mencontoh sifatnya dan
tugas ini juga sangat sesuai dengan hadits Rasulullah yang artinya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (tingkah
laku).”
Tingkah laku juga menjadi cerminan atau tolok ukur bagi manusia.
Karena manusia yang sempurna adalah manusia yang taat kepada Allah
dalam beribadah (hablu minallah) dan juga bisa berbuat baik kepada

15 HR. Ibnu Majah

22 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


sesama makhluk ciptaan Allah yang ada di sekitarnya. Sehingga
pembentukan akhlak yang baik harus diprioritaskan, untuk membangun
dan menjadikan manusia yang sempurna. 16

C. Sifat Guru
Sifat guru yang tergambar dalam hadits Rasulullah saw. yang
diriwayatkan oleh Imam Ad-Daramiy adalah menerangkan untuk takut
kepada Allah, tidak sombong, dzikir, serta memohon ampun kepada Allah.

‫ََ م ن‬
‫ع‬ ‫س‬
َ
‫ع ا ققَ و‬ ََ ‫َ خ َأ َ َ َ ذ‬
‫سم ن‬ ‫لأ‬
‫ع‬ ‫ع د حللََ ةد َئاز‬ ‫ب‬ َ
‫دح‬
َ َ َ‫َ َ َ نَب ادَ اَنثَ ان ع شمَ مَل‬
‫ل‬: ‫فَ ك‬ َ َ‫ب‬
‫أا ن‬
َ َ َ َ َ َََ‫لل‬، ‫و‬ َ ََ
‫ََ مل‬ ‫بجع ي ن ألَه ج و‬
‫س‬ ‫لا‬ ‫لا ام لع َ ا‬ ‫م‬
‫َ ر‬ َ َ َ َ ََ َ ‫َي‬ َ
‫ق‬: ‫ا وق‬ ‫هَمَ لع‬. ‫ل ا ق‬ ‫م‬ ‫ش فَ ك‬ ‫ءَر‬
َ‫ر‬ َ
‫ن أ‬
َ‫ء‬
‫لََ اهَ يف يف ك‬ َ
َ-َ‫لل‬ ‫بهَ َبو َنذ‬ ‫ك‬ َ‫مَ لا ت نأ قريق‬
‫ح نو‬
‫ميرالدا‬ ََ ََ ََ َ َ َ‫ءَر‬
‫تس في‬ ‫لا مَ وليَ ذ ر فَغ‬
َ‫ار‬ َ‫س‬

Artinya: “Menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘abdullah, menceritakan


kepada kami Zaidah dari Al-A’masy dari Muslim dari Masruq berkata:
Cukup bagi seseorang yang berilmu untuk takut kepada Allah. Dan cukup
bagi seorang yang bodoh untuk membanggakan ilmunya. Muslim Berkata,
dan Masruq berkata: seseorang yang benar adalah apabila dia dalam
majelis yang kosong di dalamnya, maka ia akan mengingat dosanya dan
memohon ampun kepada Allah.”17
Hadits di atas memberikan gambaran bahwa seorang guru harus
mempunyai sifat takut yang bisa diperluas dengan menggunakan kata
taqwa. Taqwa di sini dimaksudkan agar guru senantiasa merasa takut
untuk berbuat yang dilarang, agar anak didiknya tidak meniru apa yang
dilakukan oleh gurunya. Hal semacam ini yang penting untuk diterapkan
oleh guru. Karena tugas seorang guru bukan hanya mengajar atau
mentransfer ilmu. Akan tetapi sangat jauh dari pada itu, seorang guru
adalah pendidik dari semua aspek yang ada pada manusia baik dari sisi
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Selain takut kepada Allah, hadits di atas juga melarang untuk
menyombongkan diri dengan ilmu dan senantiasa mengingat dosa atau
kesalahannya, lalu meminta ampun kepada Allah SWT. Muatan hadits di
atas hendaknya dilaksanakan dengan baik dalam menjalankan tugasnya
sebagai pendidik.

16 Manusia dengan akhlak yang baik sering digambarkan dengan Insan Kamil
17 HR. D-Darimi

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 23


Dalam hadits yang diriwayatkan at-Turmudzi, Rasulullah saw.
memerintahkan untuk menyampaikan segala apa yang dimiliki walaupun
sedikit. Dan secara tersurat, hadits itu juga menyatakan ancaman bagi
seseorang yang berbuat dusta.

َ ‫َحن َبدَمذ‬ َ
َ
‫ََ رذ لاد‬
‫نَح‬ َ ‫ن َبان ع‬
َ َ ‫اَنث دذح مذ حيََ ي‬
َ َ
‫عب تبَ ا ث نَب‬ ‫اَنثَدذ سَ و َينَ ناَبوَ َث و‬ َ
‫د‬
‫ه‬ َ َ‫م‬
‫َ مَف‬
َ َ َ َ َ
‫للَََ ا ق ورَم ع‬ ‫أ نعة ذيطعنَ َب ناسح نعن لَََ َ و لس‬ ‫ثنَ َب‬
َ َ َ َ َ َ َ‫اَبو‬
‫نَ ب ل ا قل‬ ‫لاة ش بك بََ ادَ بع نع‬
َ ََ َ َ
ََ‫س‬
‫يئَ ا‬ ‫َب ن‬
‫ع‬ ‫و‬
‫ح‬ ‫للََ وَ لو‬-‫ملسو هيلع للها لىص‬- « ‫َب‬ ‫ا ل وس ر ل‬
َ ََ‫َ َ ثد‬ َ َ
‫لاول‬ ََ‫ن‬ ‫يآ‬ ‫ع اوغ‬ َ‫ن‬
َ َ
‫او‬ ‫ة‬
َ َ َ
‫ح‬ ‫َيع ذه‬ ‫ن‬.» ‫ذوأُ قَ لا نم ل ا ق‬ ‫عَ َتم‬ ‫جرَح مَ بذك‬
‫ذ‬
َ‫يد‬ ‫س ا‬ َ َ‫ع‬ ََ‫عل م‬ ‫ون‬
‫ث‬ ‫و َب أ‬ ُ‫لُيُتُب‬
َ‫هَد‬ َ‫اد‬
‫م‬
‫حر يحص‬- ‫ح يذمترلا‬‫نس‬

Artinya: “Menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya,


menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf dari Ibnu Tsauban. Dia
Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban dari Hassan bin ‘athiyyah dari Abi
Kabsyata As-Saluliy dari ‘Abdillah bin ‘amr berkata: Rasulullah saw.
bersabda: Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat dan ceritakanlah
kepada Bani Isra’il dan janganlah berbuat kesalahan. Dan barang siapa
yang berdusta atas namaku (Muhammad) dengan sengaja, maka
disediakan tempat baginya di neraka.”18
Dari muatan hadits di atas, dapat dipahami beberapa pokok bahasan
yang harus diimplementasikan oleh seorang guru (pendidik), di antaranya
sebagai berikut.
a. Seseorang guru adalah seorang yang menyampaikan ilmu
(pengetahuan) kepada orang lain, walaupun hanya sedikit.
b. Seorang guru harusnya mencegah dirinya dari berbuat kesalahan,
karena guru dipahami sebagai uswatun hasanah (teladan) bagi
semua elemen masyarakat, khususnya peserta didiknya.
c. Seorang guru tidak boleh berbuat dusta atas nama Nabi
Muhammad. Dalam kaitannya ini berdusta atas nama Nabi
Muhammad bisa diperluas maknanya (dilalatu an nash) dengan
berdusta atas nama Allah. Oleh karena itu konsekuensi logisnya
(dilalatu al-isyara>t) seseorang harus berbuat jujur dalam setiap
kondisi apapun.

18 HR. At-Turmudzi

24 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


D. Sikap dan Perilaku Guru
Thursthoen dalam Walgito (1990:108) menjelaskan bahwa sikap
adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik
dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Berkowitz
dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek
adalah perasaan atau emosi dan faktor kedua adalah reaksi (respon) atau
kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu
berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang
(dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi (menghindari)
sesuatu.
Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluatif. Respon hanya akan
timbul, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang dikehendaki
adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi
yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul didasari oleh proses evaluasi
dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam
bentuk nilai baik buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak
menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi
terhadap objek sikap (Azwar, 2000:15).
Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang
sebagai akibat dari adanya aksi respons dan reaksi. Menurut Mann dalam
Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak
menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan
nyata sering kali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak
hanya ditentukan oleh sikap semata, namun juga ditentukan faktor
eksternal lainnya.
Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat
mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap
dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam
belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara
lain:
1. Kasih sayang,
2. Penghargaan,
3. Pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
4. Kepercayaan,
5. Kerja sama
6. Saling berbagi,
7. Saling memotivasi,
8. Saling mendengarkan,

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 25


9. Saling berinteraksi secara positif.
Jika para pendidik menyadari dan memiliki menerapkan 16 pilar
pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang
luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.
Dalam Undang-Undang Guru ada beberapa kompetensi yang harus
dimiliki seorang guru di antaranya adalah:
1. kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik,
2. kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang
mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa, serta menjadi
teladan peserta didik,
3. kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi
pelajaran luas mendalam,
4. kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi
dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik,
sesama guru, orang tua (wali) peserta didik, dan masyarakat
sekitar.

E. Syarat Guru
Untuk dapat melakukan peranan dan melaksanakan tugas serta
tanggung jawabnya, guru memerlukan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat
inilah yang akan membedakan antara guru dengan manusia-manusia lain
pada umumnya. Adapun syarat-syarat menjadi guru itu dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok.
1. Persyaratan administratif
Syarat-syarat administratif ini antara lain meliputi: soal
kewarganegaraan (warga negara Indonesia), umur (sekurang-
kurangnya 18 tahun), berkelakuan baik, mengajukan
permohonan. Di samping itu masih ada syarat-syarat lain yang
telah ditentukan sesuai dengan kebajikan yang ada.
2. Persyaratan teknis
Dalam persyaratan teknis ini ada yang bersifat formal, yakni
harus berijazah pendidikan guru. Hal ini mempunyai konotasi
bahwa seseorang yang memiliki ijazah pendidikan guru itu
dinilai sudah mampu mengajar. Kemudian syarat-syarat yang
lain adalah menguasai cara dan teknik mengajar, terampil
mendesain program pengajaran, serta memiliki motivasi dan cita-
cita memajukan pendidikan (pengajaran).

26 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


3. Persyaratan psikis
Yang berkaitan dengan kelompok persyaratan psikis, antara lain:
sehat rohani, dewasa dalam berpikir dan bertindak, maupun
mengendalikan emosi, sabar, ramah dan sopan, memiliki jiwa
kepemimpinan, konsekuen dan berani bertanggung jawab, berani
berkorban dan memiliki jiwa pengabdian. Di samping itu, guru
juga dituntut untuk bersifat pragmatis dan realistis, tatapi juga
memiliki pandangan yang mendasar dan filosofis. Guru harus
juga mematuhi norma dan nilai yang berlaku serta memilki
semangat membangun. Inilah pentingnya bahwa guru itu harus
memiliki panggilan hati nurani untuk mengabdi untuk anak
didik.
4. Persyaratan fisik
Persyaratan fisik ini antara lain meliputi: berbadan sehat, tidak
memiliki cacat tubuh yang mungkin mengganggu pekerjaannya,
tidak memiliki gejala-gejala penyakit yang menular. Dalam
persyaratan fisik ini juga menyangkut kerapian dan kebersihan,
termasuk bagaimana cara berpakaian. Sebab, bagaimanapun juga
guru akan selalu dilihat (diamati) dan bahkan dinilai oleh para
siswa atau anak didiknya.
5. Persyaratan mental
Persyaratan mental antara lain meliputi: memiliki sikap mental
yang baik terhadap profesi keguruan, mencintai dan mengabdi
pada tugas jabatan, bermental Pancasila dan bersikap hidup
demokratis.
6. Persyaratan moral
Guru harus mempunyai sifat sosial dan budi pekerti yang luhur,
sanggup berbuat kebajikan, serta bertingkah laku yang bisa
dijadikan suri tauladan bagi orang-orang dan masyarakat di
sekelilingnya.
Dari syarat-syarat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
mengingat tugas sebagai guru adalah tugas yang berat tetapi mulia, maka
dituntut syarat-syarat jasmani, rohani, dan sifat-sifat lain yang diharapkan
dapat menunjang untuk memikul tugas itu dengan sebaik-baiknya.
Secara tegas jabatan profesional memiliki syarat-syarat serta kode etik
yang harus dipenuhi oleh pelakunya, hal ini menjamin kepantasan
berkarya dan sekaligus merupakan tanggung jawab sosial pekerja
profesional yang bersangkutan..

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 27


Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia untuk dapat
diangkat sebagai tenaga pendidik, calon tenaga pendidik yang
bersangkutan selain memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar harus
pula memenuhi persyaratan berikut.
1. Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan tanda bukti
dari yang berwenang, yang meliputi:19
a. Tidak menderita penyakit menahun (kronis) dan atau yang
menular;
b. Tidak memiliki cacat tubuh yang dapat menghambat
pelaksanaan tugas sebagai tenaga pendidik;
c. Tidak menderita kelainan mental.
2. Berkepribadian yang meliputi:
a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Berkepribadian Pancasila.
Kode etik guru menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Kepegawaian pasal 28 disebutkan bahwa Pegawai
Negeri Sipil (PNS) mempunyai kode etik sebagai pedoman sikap, tingkah
laku, dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan.
Adapun tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah
untuk kepentingan anggota dan organisasi profesi itu sendiri. Menurut
Hermawan dalam Soetjipto dan Kosasi adalah:20
1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi;
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi;
4. Untuk meningkatkan mutu profesi;
5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.

Berikut ini rumusan Kode Etik Guru Indonesia yang dikutip dari
lembaran Kode Etik Guru Indonesia yang disempurnakan pada Kongres
XVI di Jakarta (terbitan PGRI tahun 1989) sebagai berikut.
1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk
manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik
sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.

19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No38 Tahun 1992 Tentang Tenaga


Kependidikan pasal 9 ayat (1) dan (2)
20 Hermawan dalam Soetjipto dan Kosasi 1999 hlm. 31-32

28 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang
menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan
masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa
tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan
meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
7. Guru memelihara hubungan profesi, semangat kekeluargaan, dan
kesetiakawanan sosial.
8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu
organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
9. Guru melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
pendidikan.

F. Kompetensi yang Harus Dimiliki Seorang Guru Profesional


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki,
dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan.
Menurut Finch & Crunkilton:
“Competencies are those taks, skills, attitudes, values, and
appreciation that are deemed critical to successful employment”.21
Pernyataan ini mengandung makna bahwa kompetensi, meliputi:
tugas, keterampilan, sikap, nilai, apresiasi diberikan dalam rangka
keberhasilan hidup atau penghasilan hidup. Hal tersebut dapat diartikan
bahwa kompetensi merupakan perpaduan antara pengetahuan,
kemampuan, dan penerapan dalam melaksanakan tugas di lapangan kerja.
Kompetensi guru terkait dengan kewenangan melaksanakan tugasnya,
dalam hal ini dalam menggunakan bidang studi sebagai bahan
pembelajaran yang berperan sebagai alat pendidikan dan kompetensi
pedagogis yang berkaitan dengan fungsi guru dalam memperhatikan
perilaku peserta didik belajar.22
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru
adalah hasil dari penggabungan dari kemampuan-kemampuan yang banyak

21 Finch & Crunkilton, 1992 hlm. 220


22 Djohar, 2006 hlm. 130

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 29


jenisnya, dapat berupa seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam
menjalankan tugas keprofesionalannya.
Standar kompetensi guru dipilah ke dalam tiga komponen yang saling
berkaitan, yaitu pengelolaan pembelajaran, pengembangan profesi, dan
penguasaan akademik.23
Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru, adapun macam-
macam kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga guru antara lain:
kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial yang diperoleh
melalui pendidikan profesi. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi
dalam kinerja guru.24
1. Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman guru terhadap
peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Secara
rinci setiap subkompetensi dijabarkan menjadi indikator esensial
sebagai berikut.
a. Memahami peserta didik secara mendalam memiliki
indikator esensial: memahami peserta didik dengan
memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif;
memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-
prinsip kepribadian; dan mengidentifikasi bekal ajar awal
peserta didik.
b. Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan
pendidikan untuk kepentingan pembelajaran memiliki
indikator esensial: memahami landasan kependidikan;
menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan
strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta
didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar; serta
menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi
yang dipilih.
c. Melaksanakan pembelajaran memiliki indikator esensial:
menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan
pembelajaran yang kondusif.

23 Suparlan 2008 hlm. 93


24 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007
Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru

30 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


d. Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran
memiliki indikator esensial: merancang dan melaksanakan
evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara
berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis
hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan
tingkat ketuntasan belajar (mastery learning); dan
memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan
kualitas program pembelajaran secara umum.
e. Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensinya, memiliki indikator esensial:
memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai
potensi akademik dan memfasilitasi peserta didik untuk
mengembangkan berbagai potensi nonakademik.
2. Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal
yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa,
arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan
berakhlak mulia. Secara rinci subkompetensi tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut.
a. Kepribadian yang mantap dan stabil memiliki indikator
esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum; bertindak
sesuai dengan norma sosial; bangga sebagai guru; dan
memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma.
b. Kepribadian yang dewasa memiliki indikator esensial:
menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai
pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru.
c. Kepribadian yang arif memiliki indikator esensial:
menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan
peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan
keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
d. Kepribadian yang berwibawa memiliki indikator esensial:
memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta
didik dan memiliki perilaku yang disegani.
e. Akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indikator
esensial: bertindak sesuai dengan norma religius (iman dan
takwa, jujur, ikhlas, suka menolong) dan memiliki perilaku
yang diteladani peserta didik.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 31


3. Kompetensi sosial
Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua (wali) peserta
didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini memiliki
subkompetensi dengan indikator esensial sebagai berikut.
a. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
peserta didik memiliki indikator esensial: berkomunikasi
secara efektif dengan peserta didik.
b. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
sesama pendidik dan tenaga kependidikan.
c. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
orang tua (wali) peserta didik dan masyarakat sekitar.
4. Kompetensi profesional
Kompetensi profesional merupakan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang mencakup
penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan
substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan
terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya. Setiap
subkompetensi tersebut memiliki indikator esensial sebagai
berikut.
a. Menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang
studi memiliki indikator esensial: memahami materi ajar
yang ada dalam kurikulum sekolah; memahami struktur,
konsep, dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren
dengan materi ajar; memahami hubungan konsep antarmata
pelajaran terkait; dan menerapkan konsep-konsep keilmuan
dalam kehidupan sehari-hari.
b. Menguasai struktur dan metode keilmuan memiliki indikator
esensial: menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian
kritis untuk memperdalam pengetahuan (materi) bidang
studi.
Keempat kompetensi tersebut di atas bersifat holistik dan integratif
dalam kinerja guru. Oleh karena itu, secara utuh sosok kompetensi guru
meliputi: (a) pengenalan peserta didik secara mendalam; (b) penguasaan
bidang studi baik disiplin ilmu (disciplinary content) maupun bahan ajar
dalam kurikulum sekolah; (c) penyelenggaraan pembelajaran yang

32 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


mendidik yang meliputi: perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi proses dan hasil belajar, serta tindak lanjut untuk perbaikan dan
pengayaan; dan (d) pengembangan kepribadian dan profesionalitas secara
berkelanjutan. Guru yang memiliki kompetensi akan dapat melaksanakan
tugasnya secara profesional.25 (Ngainun Naim, 2009)

25 Ngainun Naim, 2009 hal. 60

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 33


BAB III
BELAJAR

I. Ayat

‫َ يط م ص‬ َ َ ‫ذ‬
‫ن ل ا ق لك تن‬
َ َ َ
‫تسَ ع‬
ََ‫ب‬ َ
‫َ ع ا‬

Artinya:“Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar


bersamaku.” (QS. Al-Kahfi [6]:7)
َ َ َ ‫ذ‬ َ َ ََ
‫نعنََ ل أسَ ت لَ فنََ َتعَ بَت انَ إَ فل ا ق‬
َ َ َ
ََ‫ش‬َ‫ارَ كذهَ نم ك ل ثدَ ح أتََذ حء‬
Artinya: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan
sesuatu kepadaku sampai aku sendiri menjelaskannya kepadamu.” (QS.
Al-Kahfi [18]:70)

II. Kandungan Ayat


A. Konsep Belajar dalam Islam
Rasulullah saw. bersabda: “Mencari ilmu (belajar) wajib hukumnya
bagi setiap orang Islam”. Dan pada kesempatan lain, Beliau pun pernah
menganjurkan agar manusia mencari ilmu meski berada di negeri orang
(Cina) sekalipun meski dari manapun datangnya. Hadis tentang belajar dan
yang terkait dengan pencarian ilmu banyak disebut dalam Al-Hadis,
demikian juga dalam Al-Qur’an Al-Karim. Hal ini merupakan indikasi
bahwa betapa belajar dan mencari ilmu itu sangat penting artinya bagi
umat manusia. Dengan belajar manusia dapat mengerti akan dirinya,
lingkungannya, dan juga Tuhan-nya. Dengan belajar pula manusia mampu
menciptakan kreasi unik dan spektakuler yang berupa teknologi.
Belajar dalam pandangan Islam memiliki arti yang sangat penting,
sehingga hampir setiap saat manusia tak pernah lepas dari aktivitas belajar.
Keunggulan suatu umat manusia atau bangsa juga akan sangat tergantung
kepada seberapa banyak mereka menggunakan rasio, anugerah Tuhan
untuk belajar dan memahami ayat-ayat Allah SWT. Hingga dalam Al-
Qur’an dinyatakan Tuhan akan mengangkat derajat orang yang berilmu ke
derajat yang luhur.26 (lihat: Qs. Al- Mujadilah:11).

26 (lihat : Qs. Al- Mujadilah : 11).


2
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Al-Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr.tt.
34 | Al-Islam Studi Al-Qur’an
Apalagi dalam konsep Islam terdapat keyakinan yang menegaskan
bahwa belajar merupakan kewajiban dan berdosa bagi yang
meninggalkannya. Keyakinan demikan ini begitu membentuk dalam diri
umat yang beriman, sehingga mereka memiliki etos belajar yang tinggi
dan penuh semangat, serta mengharapkan “janji luhur” Tuhan
sebagaimana yang difirmankan dalam ayat-Nya.
Bagaimanakah belajar menurut tuntutan Islam? Bagaimana konsep
dan landasannya? Bagaimana aspek nilainya. Tulisan ini bermaksud
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Kemudian untuk memulai
pembahasannya, ditampilkan beberapa konsep dan teori-teori belajar
menurut konsep barat.
1. Pengertian belajar
Dalam konteks pendidikan, hampir semua aktivitas yang
dilakukan adalah aktivitas belajar. Para pakar psikologi saling
berbeda dalam menjelaskan mengenai cara atau aktivitas belajar
itu berlangsung. Akan tetapi dari beberapa penyelidikan dapat
ditandai bahwa belajar yang sukses selalu diikuti oleh kemajuan
tertentu yang terbentuk dari pola pikir dan berbuat. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas belajar ialah untuk
memperoleh kesuksesan dalam pengembangan potensi-potensi
seseorang. Beberapa aspek psikologis aktivitas belajar itu
misalnya: motivasi, penguasaan keterampilan dan ilmu
pengetahuan, pengembangan kejiwaan, dan seterusnya.
Bahwa setiap saat dalam kehidupan mesti terjadi suatu
proses belajar, baik disengaja atau tidak, disadari maupun tidak.
Dari proses ini diperoleh suatu hasil yang pada umumnya disebut
sebagai hasil belajar. Tapi untuk memperoleh hasil yang optimal,
maka proses belajar harus dilakukan dengan sadar dan sengaja
dan terorganisasi dengan baik dan rapi. Atas dasar ini, maka
proses belajar mengandung makna: proses internalisasi sesuatu
ke dalam diri subjek didik, dilakukan dengan sadar dan aktif,
dengan segenap panca indera ikut berperan.
Sumadi Suryabrata (1983:5) menjelaskan pengertian belajar
dengan mengidentifikasikan ciri-ciri yang disebut belajar,
yaitu: “Belajar adalah aktivitas yang dihasilkan perubahan pada
diri individu yang belajar (dalam arti behavioral changes) baik

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 35


aktual maupun potensial;27 perubahan itu pada pokoknya adalah
diperolehnya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang
relatif lama; perubahan itu terjadi karena usaha”.
Menurut Begge (1982:1-2) belajar adalah suatu perubahan
yang berlangsung dalam kehidupan individu sebagai upaya
perubahan dalam pandangan,28 sikap, pemahaman atau motivasi,
dan bahkan kombinasi dari semuanya. Belajar selalu
menunjukkan perubahan sistematis dalam tingkah laku yang
terjadi sebagai konsekuensi pengaalaman dalam situasi khusus.
Bertolak dari pemahaman di atas dapatlah ditegaskan bahwa
belajar senantiasa merupakan perbuatan tingkah laku dan
penampilan dengan serangkaian aktivitas misalnya: membaca,
mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya. Dengan
demikian, belajar juga bisa dilihat secara makro dan mikro, luas
dan khusus. Dalam arti makro, luas, belajar dapat diartikan
sebagai aktivitas rohani-jasmani menuju perkembangan pribadi
yang utuh.
Seperti yang dijelaskan oleh Bloom (1979) bahwa belajar itu
mencakup tiga ruang lingkup, yaitu: cognitive domain yang
berkaitan dengan pengetahuan hafalan dan pengembangan
intelektual; affective domain yang berkaitan dengan minat, sikap,
dan nilai, serta pengembangan apresiasi dan penyesuaian;
psychomotor domain yang berkaitan dengan perilaku yang
menuntut koordinasi syaraf.
2. Teori-teori belajar
Banyak para pakar membuat teori atau paradigma mengenai
belajar ataupun pendidikan, kemudian mereka saling berbeda di
dalam merumuskan teori atau konsep-konsep itu. Diversifikasi
pemahaman itu dapat kita pahami jika kita lihat dari perspektif
filosofisnya. Dan memang patut diketahui bahwa filsafat
merupakan teori umum dan landasan bagi pendidikan itu sendiri,
oleh sebab itu hubungan antara keduanya merupakan suatu
keharusan (condisio sin quanon).

27 Sumadi Suryabrata, Proses Belajar-Mengajar di Perguruan Tinggi, Yogyakarta,


Andi Ofset, 1983. (1983:5)
28 Menurut Begge, Learning Theories for Teacher, New York Harper & Row, 1982
(1982:1-2)

36 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


Sebagaimana aliran esensialisme (yang dibentuk dari
idealisme dan realisme) adalah memperhatikan pendidikan dari
sisi nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Nilai-nilai
tersebut diderivasi dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif
selama empat abad belakangan ini dengan perhitungan zaman
renaisance, sebagai pangkal timbulnya (Barnadib, 1988:38).
Menurut idealisme, bila seorang belajar pada tahap awal
adalah berarti ia memahami “aku”–nya sendiri, lantas bergerak
keluar untuk memahami dunia objektif, dari mikro kosmos
menuju makro-kosmos. Ini seperti juga yang dijelaskan oleh
Kant (1942-1804) bahwa segala pengetahuan yang dicapai
manusia lewat indra memerlukan unsur apriori yang tidak
diketahui oleh pengalaman terlebih dahulu.
Pandangan realisme mengenai belajar tercermin dalam
pandangan atau aliran psikologi behaviorisme, asosiasionisme,
atau koneksionisme. A.L. Thorndike, pendukung koneksionisme
misalnya menyatakan bahwa belajar adalah berbagai kombinasi.
Suatu bagian mental adalah menerima atau merasa, sedangkan
bagian fisik adalah suatu stimulus atau respon. Secara khusus
Thorndike melihat bahwa belajar adalah suatu proses hubungan
mental dan fisik dan mental dengan mental atau fisik dengan
fisik. Teori Thorndike ini juga dikenal dengan teori S-R
bond (lihat Bigge, 1982:52-53).
Seorang filsuf dan sosiolog, L. Finney menjelaskan bahwa
mental adalah kondisi rohani yang pasif, yang berarti bahwa
manusia pada umumnya menerima apa saja yang ditentukan oleh
peraturan alam (determinsm). Ini berarti bahwa pendidikan
adalah proses reproduksi dari apa yang terdapat dalam kehidupan
sosial. Dengan demikian, belajar adalah menerima dengan
sesungguhnya nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul
untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan oleh angkatan
berikutnya. Pandangan realisme ini mencerminkan adanya dua
jenis determinisme, yaitu determinisme mutlak dan determinisme
terbatas. Yang mutlak menunjukkan bahwa belajar adalah
mengenai hal-hal yang tak dapat dihalang-halangi adanya, jadi

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 37


harus ada. Sedangkan dengan determinisme terbatas adalah
memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar.29
Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut perenialisme
adalah latihan dan disiplin mental. Maka teori dan praktik
pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut. Sebagai
makhluk, manusia memiliki kelebihan ketimbang yang lainnya
karena anugerah “rasionya”. Rasionalitas ini merupakan sifat
umum manusia dan merupakan evidensi diri. Konsep dasar
tentang kebebasan manusia juga lahir dari sifat rasional manusia.
Dengan demikian manusia dapat menghilangkan belenggu
penindasan terhadap dirinya dan mampu menjadi merdeka.
Kemerdekaan menjadi tujuan dan dilaksanakan di dalam
pendidikan dan belajar itu. Oleh sebab itu, belajar hakikatnya
adalah belajar berpikir dan menggunakan rasio tersebut.
Menurut perenialisme, belajar adalah bertujuan agar anak
didik mengalami perkembangan kepribadian yang utuh, integral,
dan seimbang sesuai dengan pandangannya bahwa manusia
adalah bersifat psiko-somatik (Barnadib, 1988:77).
Menurut perenialisme, belajar itu dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu belajar karena pengajaran dan belajar karena
penemuan. Belajar karena30 pengajaran adalah dengan cara guru
(pendidik) memberikan pengetahuan dan pencerahan kepada
subjek didik dengan menunjukkan dan menafsirkan implikasi
dari ilmu pengetahuan yang diberikan. Sedangkan belajar karena
penemuan adalah subjek didik diharapkan dapat belajar atas
kemampuannya sendiri (belajar mandiri).
Pandangan di atas memang bersifat humanistik yang
memusatkan perhatian pada interes dan nilai-nilai kepada
manusia. Teori humanisme klasik beranggapan bahwa pikiran
manusia adalah perantara aktif di dalam hubungan antara
manusia dan lingkungannya, dan secara moral pikiran manusia
mempunyai sifat dasar netral sejak lahir (Bigge, 1982:26). Sifat
netral tersebut maksudnya bahwa pada dasarnya manusia itu
bersifat tidak jelek dan juga tidak baik, tetapi ia potensial untuk

29 (lihat: Bigge, Learning Theories For Teacher, New York Harper & Row, 1982:52-
53).
30 (Barnadib, Filsafat Pendidkan: Sistem dan Metode, Yogyakarta, Andi ofset, 1988:38-
77).

38 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


menjadi buruk atau baik (tidak ada hubunganya dengan
pembawaan lahirnya) (Bigge, 1982:16). Pandangan di atas
didasari oleh konsep moral manusia, yaitu bahwa substansi (pikir
manusia adalah netral-aktif yang harus dikembangkan lewat
latihan dan disiplin mental. Dalam hal ini sebagai aspek yang
mendasar adalah reason yang menjadi manusia mampu mencapai
pengertian tentang kebutuhan-kebutuhan dan mampu
menyelaraskan antara tindakan, pengertian, serta mampu
mengkomunikasikan pengertian-pengertian tersebut kepada
setiap anggota di dalam kelompoknya. Oleh sebab itu pula, maka
pikiran manusia dengan sifat dasarnya yang demikian itu (netral-
active) jika dilatih secara tepat, maka pontensi pembawa lahir
akan mencuat keluar.31
Oleh humanisme klasik, belajar dipandang sebagai proses
disiplin diri yang tegas, terdiri dari perkembangan yang harmonis
antara semua kekuatan di dalam diri manusia hingga tidak satu
bagian pun yang berkembang melebihi yang lain. Dengan
demikian, fungsi seorang guru adalah untuk membantu para
siswa mengenali kembali apa yang telah ada dalam pikir mereka.
Metode ini juga sekadar hanya menarik informasi dari para siswa
dengan mengarahkan pertanyaan-pertanyaan dengan
keterampilan penuh. Metode ini didasarkan pada prinsip bahwa
ilmu pengetahuan adalah pembawaan yang tak akan muncul
tanpa bantuan tenaga ahli (Bigge, 1982:28).
Learning through unfoldment atau disebut juga naturalisme-
romantic mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik
dan aktif (good-active). Melalui alam, anak akan berkembang
secara wajar. Biarkan anak berkembang sendiri sesuai dengan
kodrat alam. Anak harus dijauhkan dari paksaan. Belajar sendiri
sesuai dengan minatnya, ia bebas menentukan perbuatannya dan
sekaligus bertanggung jawab atas tindakannya. Teori ini
dikembangkan oleh J.J. Rousseu, kemudian disusul oleh
pembaharu pendidikan dari Swiss, Pestlozzi dan Froebel seorang
filosof dari Jerman (Bigge, 1982:33-34).32
Rousseu berpendapat bahwa secara heriditi manusia adalah
baik dan mempunyai kemampuan yang perlu dikembangkan

31 (Bigge, Learning Theories For Teacher, New York Harper & Row, 1982:16).
32 (Bigge, Learning Theories For Teacher, New York Harper & Row, 1982:33-34:36).

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 39


secara alamiah. Dia beranggapan bahwa lingkungan yang jelek
mampu membuat orang menjadi jelek pula, sebab lingkungan
sosial bukanlah alamiah. Rousseu memberi saran, agar guru
memberikan kebebasan pada siswa untuk mandiri, sehingga
memungkinkan mereka berkembang secara wajar dan alamiah,
baik perasaan naluri maupun kesadaran mereka.33
Di samping naturalisme-romantic, terdapat pula pandangan
apersepsi yang merupakan asosianisme mental dinamis yang
didasarkan pada pemikiran bahwa tidak ada ide-ide pembawaan
lain. Segala sesuatu yang diketahui orang datangnya dari luar
dirinya. Asosionisme merupakan teori psikologi umum yang di
klasifikasikan menjadi dua bagian: pertama, asosiasionisme
mentalistik awal, yaitu apersepsi yang berfokus pada ide-ide
dalam pikiran; kedua, asosiasinosme stimulus-respon fisikalistik
yang lebih modern (Bigge, 1982:36).
Perkembangana apersepsi didasari oleh pemikiran
Aristoteles pada abad keempat S.S. Kemudian pada abad ke-17
ditentang oleh John Locke dengan mengatakan bahwa pikiran
tidak hanya dipegang oleh seseorang pasti pertama-tama
diperoleh dari indra-indranya. Teori John Locke ini sangat
populer dengan teori Tabolarasa. Konsep moral
appersionisme adalah bahwa sifat asli manusia adalah tidak baik
dan tidak pula jelek dipandang dari sisi moral dan tidak pula aktif
dipandang dari sisi aksi. Di baliknya sifat asli manusia dipandang
sebagai netral dari aspek moral dan pasif dari aspek aksi. Dengan
demikian, pikiran merupakan produk dari pengalama
34
pengalaman kehidupan (Bigge, 1982:37).

B. Prinsip-prinsip Belajar Menurut Islam


1. Al qur’an tentang posisi manusia
Kita ketahui bersama bahwa Al-Qur’an adalah kalam suci
Tuhan yang berfungsi sebagai: tanda, petunjuk, rahmat, dan
shafaat bagi manusia, berdasarkan penegasan Al Qur’an (QS.
Al–Isra’:29; Ar-Rum:72). Syafi’i Ma’arif seperti dikutip dari
Ismail R. Faruqi menjelaskan bahwa manusia adalah karya

33 Rousseu berpendapat bahwa secara heriditi manusia adalah baik dan mempunyai
kemampuan yang perlu dikembangkan secara alamiah.
34 (QS. Al-Isra’:28-30; Shad:71-73; QS. At-Tin:4; Ar-Rum:72)

40 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


Tuhan yang terbesar dan terindah dengan struktur mental yang
sophisticated dan spektakuler (QS. At-Tin:4). Oleh sebab itu,
tidak heran pula kalau ada yang berpendapat bahwa manusia
adalah pencipta kedua setelah Tuhan. Ini bisa kita saksikan
betapa manusia dianugerahi rasio oleh Tuhan itu bisa
menciptakan kreasi yang canggih berupa sains dan teknologi itu.
Sementara malaikat diperintah sujud kepadanya karena tak
mampu melakukan kompetisi intelektual dengan makhluk
manusia yang diciptakan dengan tanah liat kering itu (QS. Al-
Isra’:28-30; Shad:71-73) di dalam memahami dunia ciptaan-Nya
secara konseptual (lihat: Syafi’i Ma’arif, 193587:92).
Kelebihan intelektual inilah yang membuat manusia lebih
unggul dari makhluk lainnya. Tetapi ia pun juga bisa menjadi
dekaden, bahkan lebih hina dari binatang, jika ia berbuat
destruktif melepaskan imannya (lihat: Qs. At-Tin:5-6 dan QS.
Al-A’raf:179). Oleh sebab itu, sebagai makhluk lainnya, maka ia
dituntut agar dengan sadar bersedia memikul tanggung jawab
moral bagi tegaknya suatu tatanan sosial politik yang adil dan
beradab. Tuntutan itu tercermin dalam beberapa ayat Al-Qur’an
surat An-Nahl:90; Ali-Imron:104,114; Al-Hajj:41; Al-Ahzab:72.
Tatanan kehidupan yang bermoral ini hanyalah mungkin
apabila iman sebagai prasyarat mutlaknya diterima dengan kritis
dan sadar. Dalam sistem kepercayaan Islam, iman memberikan
fondasi moral yang kokoh dan di atas fondasi inilah manusia bisa
menciptakan hidup secara imbang (Ma’arif, 1997:93).
Dalam Islam, strategi pengembangan ilmu juga harus
didasarkan pada perbaikan dan kelangsungan hidup manusia
untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fil-ard) dengan tetap
memegang amanah besar dari Allah SWT. Oleh sebab itu, ilmu
harus selalu berada dalam kontrol iman. Ilmu dan iman menjadi
bagian integral dalam diri seseorang, sehingga dengan demikian
yang terjadi adalah ilmu amaliah yang berada dalam jiwa yang
imaniah. Dengan begitu, teknologi yang lahir dari ilmu akan
menjadi barang yang bermanfaat bagi umat manusia di sepanjang
masa. Dan inilah yang mesti menjadi tanggung jawab umat
Islam.

35 (lihat: Syafi’i Ma’arif, 193587: 92).

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 41


Banyak sekali Al-Qur’an menjelaskan mengenai hubungan
ilmu, amal, dan iman ini (lihat misalnya QS. Al-Baqarah:82,227;
Ali-Imran:57; An-Nisa’:57,122; dan seterusnya). Dari banyak
ayat Al-Qur’an ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa antara
ilmu, amal, dan iman menjadi sangat penting bagi umat manusia
yang hendak menjadi khalifah di bumi ini. Dan amal baru bisa
dinilai baik saleh jika dipancarkan dari iman. Iman memberi
dasar moral, amal saleh diwujudkan dalam bentuk konkret. Jadi
terdapat hubungan yang organik antara iman dan amal salih.
2. Dasar belajar dalam islam
Sebagaimana pandangan hidup yang dipegangteguhi oleh
umat Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, maka sebagai
dasar maupun filosofi bagi belajar adalah juga diderivasi dari dua
sumber tersebut yang merupakan dasar dan sumber bagi landasan
berpijak yang amat fundamental.
Tentang dua sumber ajaran yang fundamental ini, Allah
SWT telah memberikan jaminan-Nya, yaitu jika benar-benar
dipegang teguh, maka dijamin tidak akan pernah sesat dan
kesasar, sebagaimana Nabi pernah bersabda:
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untukmu dua perkara,
jika kamu berpegang teguh dengannya, maka kamu tak akan
sesat selamanya, yaitu: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-
Nya.”
Hadis tersebut juga dikukuhkan oleh banyak Al-Qur’an,
antara lain surat Al-Ahzab: 71. Allah SWT berfirman:
“Barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya,
sungguh ia akan mencapai kebahagiaan yang tinggi”.
Ayat tersebut dengan tegas menandaskan bahwa apabila
manusia menata seluruh aktivitas kehidupannya dengan
berpegang teguh kepada prinsip Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka
jaminan Allah adalah jalan yang lurus dan tidak akan kesasar,
tetapi sebaliknya, jika manusia tidak menata seluruh
kehidupannya dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasul-
Nya, maka kesempitan akan meliputi dirinya, sebagaimana
firman-Nya:
“Barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka
baginya kehidupan yang sempit” (Qs. Thaha:124).

42 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


Al-Qur’an dan Al-Hadis penuh dengan konsep dan tuntutan
hidup manusia, begitu juga mengenai petunjuk ilmu
pengetahuan. Jika manusia mau menggali kandungan isi Al-
Qur’an, maka banyak diketemukan mengenai beberapa persoalan
yang berkaitan dengan ilmu (baik ilmu pengetahuan sosial
maupun ilmu pengetahuan alam). Misalnya perhatikan surat Ali
Imran:190-191. Di sini dipaparkan tentang kreasi penciptaan
alam oleh Allah SWT. Yang harus36 direnungkan, demikian pula
tentang kisah dan sejarah umat-umat di masa lampau.
Sebagaimana dikatakan oleh Munawar Anis (1991) bahwa
kata ilmu disebutkan dalam Al-Qur’an mencapai 800 kali yang
berarti hanya berada di bawah konsep tauhid tingkatan
urgensinya. Belum lagi yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau
Sunnah Rasul.
3. Tujuan belajar dalam Islam
Untuk membahas mengenai aspek-aspek moral dalam
belajar, maka kita harus memulai dari pertanyaan: apa tujuan
belajar itu? Untuk apa belajar itu? Karena pertanyaan tersebut
adalah pertanyaan filosofis yang menyangkut segi nilai atau
aksiologis.
Dalam Islam bahwa belajar itu memiliki dimensi tauhid,
yaitu dimensi dialektika horizontal dan ketundukan vertikal.
Dalam dimensi dialektika horizontal, belajar dalam Islam tak
berbeda dengan belajar pada umumnya, yang tak terpisahkan
dengan pengembangan sains dan teknologi (menggali,
memahami dan mengembangkan ayat-ayat Allah).
Pengembangan dan pendekatan-Nya secara lebih dalam dan
dekat, sebagai rab al-alamin. Dalam kaitan inilah, lalu
pendidikan hati (qalb) sangat dituntut agar membawa manfaat
yang besar bagi umat manusia dan juga lingkungannya, bukan
kerusakan dan kezaliman, dan ini merupakan perwujudan dari
ketundukan vertikal tadi.
Jadi, belajar di dalam perspektif Islam juga mencakup
lingkup kognitif (domain cognitive), lingkup efektif (domain
affective) dan lingkup psikomotor (domain motor-skill). Tiga

36 Munawar Anis (1991) bahwa kata ilmu disebutkan dalam Al-Qur’an mencapai 800
kali yang berarti hanya berada di bawah konsep tauhid tingkatan urgensinya. Belum
lagi yang disebutkan dalam Al- Qur’an atau Sunnah Rasul

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 43


ranah atau lingkup tersebut sering diungkapkan dengan istilah :
Ilmu amaliah, amal ilmiah dalam jiwa imaniah. Dengan
demikian, untuk apa belajar Belajar adalah untuk memperoleh
ilmu. Untuk apa ilmu? Untuk dikembangkan dan diamalkan.
Untuk apa? Demi kesejahteraan umat manusia dan lingkungan
yang aman sejahtera. Berdasarkan apa? Pertanggungjawaban
moral.
4. Mengembangkan ilmu
Kenyataan memang tidak dapat dipungkiri, bahwa ilmu
selalu berkembang hingga sekarang. Dari tahapan pemikiran
yang paling mitis hingga yang serupa rasional. Atau kalau
meminjam terminologi Peursen, dari yang Mitis, ontologis,
hingga fimgsional, sedang menurut Comte, dari yang mitis,
metafisik hingga positif.
Perkembangan industri di abad ke-18 yang telah
menimbulkan berbagai implikasi sosial dan politik telah
melahirkan cabang Ilmu yang disebut sosiologi. Penggunaan
senjata nuklir sebagaimana pada abad 20, telah melahirkan ilmu
baru yang disebut dengan polemogi, dan seterusnya entah apa
lagi nanti namanya. Sofestikasi dari sains dan teknologi di era
modern ini sesungguhnya juga merupakan elaborasi dari ilmu itu
sendiri. Itulah sebabnya menurut Koento Wibisono, (1988: 8)
begitu sulitnya mendifikasikan ilmu sekarang ini. Para penganut
metodologi akan menyatakan, bahwa ilmu adalah sistem
peryataan-peryataan yang dapat diuji kebenaran dan
kesalahannya, sementara penganut heuristik akan menyatakan,
bahwa ilmu adalah perkembangan lebih lanjut bakat manusia
untuk menentukan orientasi terhadap lingkungannya dan
menentukan sikap terhadapnya.
Dalam pada itu, ilmu juga sering dipahami dari dimensi
fenomenal dan strukturalnya. Dari dimensi fenomenalnya ia
merupakan masyarakat atau proses dan juga produk. Ilmu
sebagai masyarakat menggambarkan adanya suatu kelompok elit
yang di dalam kehidupannya sangat mematuhi kaidah-kaidah:
universalisme, komunilisme, desintestedness dan skepsisme yang
teratur. Ilmu sebagai proses, menggambarkan aktivitas
masyarakat ilmiah sebagai produk adalah merupakan hasil yang
dicapai oleh kegiatan tadi yang berupa : dalil, teori, ajaran,

44 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


karya-karya ilmiah beserta penerapanya yang berupa teknologi
(Koento Wibisono, 1988: 9) Dari dimensi strukturalnya, apa
yang disebut sebagai ilmu adalah sesuatu yang menunjukkan
adanya komponen-komponen: objek sasaran yang ingin diketahui
yang terus menerus diteliti dan dipertanyakan tanpa mengenal
henti.
Kini kita harus berpikirterus dan berupaya untuk
mengembangkan dan menyebarkan ilmu, lebih-lebih ilmu
sebagai proses. Bagaimana formulasi-formulasi yang telah
ditunjukan oleh para para pendahulu kita itu diaktualisasikan
untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut.
Dalam konteks Islam, ketertinggalan kita di bidang sains
dan teknologi adalah persoalan yang sudah terbuka mata.
Padahal, seperti yang dikatakan oleh Ahmad Anees (19-91),
bahwa salah satu gagasan yang paling canggih, komperehensif
dan mendalam yang dapat ditemukan dalam Al- Qur’an adalah
konsep’ilm, yang tingkat urgensinya hanya di bawah konsep
tauhid. Pentingnya konsep ilmu tersebut terungkap didalam
kenyataan, bahwa Al-Qur’an menyebut kata akar dan kata
keturunannya sekitar 800 kali. Konsep ilmu ini juga
membedakan pandangan-dunia (world-view) Islam dari pandang
ideologi lainnya: tidak ada pandangan dunia lain yang membuat
pencarian ilmu sebagai kewajiban individual dan sosial serta
memberikan arti moral dan religius serta ibadah. Karena itu ilmu
berfungsi sebagai tonggak kebudayaan dan peradaban muslim
yang ampuh. Tidak ada peradaban lain dalam sejarah yang
memiliki konsep “pengetahuan” dengan etos (ruh) yang paling
tinggi sebagaimana Islam. Ilmu memang mengandung unsur dari
apa yang selama ini kita pahami sekarang sebagai pengetahuan,
tetapi ia juga mengandung komponen-komponen dari apa yang
secara tradisional dideskripsikan sebagai hikmah. Disamping itu,
ilmu dalam Islam juga memiliki aspek ibadah, yaitu bahwa
menuntut ilmu merupakan bentuk ibadah. Dari sisi lain, ia juga
memiliki tujuan untuk menjadi kholifah fil-ard, manusia yang
diserahi amanah Tuhan untuk mengelola dan memelihara alam,
oleh sebab itu ia pun memiliki tanggung jawab di hadapan Allah
SWT.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 45


Konsep Al-Qur’an tentang akhirat membatasi ilmu agar
selalu menjamin relevansi, kegayutan moral sosialnya. Dimensi-
dimensi ilmu tersebut dari sekian banyak dimensi lainnya
melukiskan sifat kecanggihan dan komplesitas dari Islam tentang
ilmu itu sendiri (lihat, A37nwar Anees, 1991:93).
Dengan demikian, strategi pengembangan ilmu harus
mengintensifkan dan mengekstensifkan belajar atau pendidikan
itu sendiri, dengan berbagai sarana dan presaranannya. Sebab
dalam Islam, pendidikan dan belajar merupakan kewajiban bagi
setiap muslim (baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun
muda dan dilakukan sepanjang masa). Sebagai sabda Nabi :
“Mencari ilmu itu waji bagi setiap muslim”.
Sebagaimana disinggung di depan, bahwa belajar dalam
Islam adalah untuk memperoleh ilmu, mengembangkan dan
mengamalkan demi kepentingan kesejahteraan umat manusia.
Atau kalau dirumuskan secara simpel, tujuan belajar adalah :
Untuk mengabdikan kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-
Nya :
“Dan tidak aku jadikan manusia kecuali hanya untuk
menyembah kepada-Ku”. (QS. Az-Zariyat : 56).
Oleh sebab itu segala aktivitas yang berkaitan dengan ilmu
dan pengembangannya harus dipertanggungjawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.
5. Aspek moral dalam belajar
Karena pendidikan dan belajar dalam Islam bertujuan untuk
mengembangkan ilmu dan mengabdi kepada Allah SWT, maka
sistem moralnya juga harus diderivasi dari norma-norma Islam
tersebut, atau wahyu.38
Seperti yang dijelaskan oleh Sayid Abul A’la Al-Maududi
(lihat: M. Arifin, 1991:142) bahwa sistem moral Islam ini
memiliki ciri-ciri yang komprehensif yang berbeda dengan
sistem moral lainnya. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut.
a. Keridaan Allah merupakan tujuan hidup Muslim. Dan
keridaan Allah itu menjadi jalan bagi evolusi moral
kemanusiaan. Sikap mencari rida Allah memberikan sanksi

37 (lihat: Anwar Anees, 1991:93).


38 (lihat: M. Arifin, 1991:142).

46 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


moral untuk mencintai dan takut kepada-Nya yang pada
gilirannya mendorong manusia untuk mentaati hukum moral
tanpa paksaan dari luar. Dengan dilandasi dengan iman
kepada Allah dan hari kiamat, manusia terdorong untuk
mengikuti bimbingan moral secara sungguh-sungguh dan
jujur, seraya berserah diri secara iklas kepada Allah SWT.
b. Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa ditegakkan di
atas moral Islami, sehingga moral Islam tersebut berkuasa
penuh atas semua urusan kehidupan manusia, sedang hawa
nafsu dan kepentingan pribadi tidak diberi kesempatan
menguasai kehidupan manusia. Moral Islam mementingkan
keseimbangan dalam semua aspek kehidupan manusia:
indivudual maupun sosial.
Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem
kehidupan yang berdasarkan norma-norma kebajikan dan jauh
dari kejahatan. Islam memerintahkan perbuatan yang ma’ruf dan
menjauhi perbuatan munkar, bahkan memberantas kejahatan
dalam segala bentuknya. Beberapa hal di atas di dasarkan atas
dalil Al-Qur’an antara lain surat Ali-Imran:110, yakni:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar dan beriman kepada Allah….” dan juga (QS.
Al-Hajj:41).
Dengan demikian, sistem moral dalam Islam berpusat
kepada sikap mencari rida Allah, mengendalikan nafsu negatif
dan kemampuan berbuat kebajikan, serta menjauhi perbuatan keji
dan jahat dan pribadi yang berkhlaq mulia.
Dalam pandangan Islam, kecenderungan teosentris adalah merupakan
sesuatu yang harus ada, yaitu bahwa Allah adalah Zat Yang Wujud, Yang
Maha Mengetahui dan Segala Sumber dari ilmu pengetahuan. Ini sangat
berbeda dengan konsep barat yang sekuler. Karena sumber pengetahuan39
dalam Islam adalah kesadaran Yang Kudus pula (Seyyed Hossein Nasr,
1970:22 dan lihat pula C.A Qadir, 1989:5).40

39 (QS. Az-Zariyat:56).
40 (Seyyed Hossein Nasr, 1970:22 dan lihat pula: C.A Qadir, 1989:5).

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 47


Seperti yang dijelaskan di depan, bahwa menurut teori kependidikan
yang berdasarkan pandangan psikologi mekanistik, sejak John Lock pada
abad 17 sampai aliran Bahaviorisme dari J.B. Waston abad 20 terdapat
pandangan bahwa manusia dalam batas-batas kemampuan fisiknya dapat
dibentuk melalui cara-cara yang terbatas. John lock berpendapat bahwa
jiwa itu bagaikan meja lilin (tabularasa) yang bersih dari goresan.
Pengalamanlah yang membentuk kepribadiannnya. Behavviorsme juga
berbuat sama dengan konsep S-R Bond-nya.
Dalam sistem nilai dari paham naturalisme juga diorientasikan pada
alam (naturo-centris): jasmaniah, panca indra, kekuatan, kenyataan,
survival, organisme, dst. Oleh sebab itu, naturalisme menolak hal-hal yang
bersifat moral dan spiritual, sebab paham ini bahwa kenyataan (realistas)
yang hakiki adalah alam semesta yang bersifat fisik dan indrawi.
Naturalisme dekat dengan materalisme yang menafikan nilai-nilai
manusia.
Kebalikan dari paham di atas adalah idealisme yang memandang
realitas yang hakiki ada pada ide yang terdapat dalam jiwa atau spirit
manusia. Idialisme berorientasi pada ide-ide ketuhanan dan nilai-nilai
sosial.
Tetapi perlu diketahui bahwa meskipun idealisme berorientasi kepada
ideal-spiritual, ia bukanlah agama, idealisme hanyalah merupakan salah
satu basis dari agama. Menurut Horne, idealisme sebagai filsafat adalah
sistem berpikir manusia (man-thinking), sementara agama adalah sistem
peribadatan manusia (man-worshipping). Filsafat dan agama mempunyai
hubungan erat, tetapi tidak identik (lihat: M. Arifin, 1991:149).
Nilai-nilai pendidikan menurut kaum idealisme adalah pencetusan
dari sususan atau sistem yang kekal abadi yang memiliki nilai dalam
dirinya sendiri. Kewajiban manusia dan pendidikan adalah berusaha
mengaktualisasikan nilai tersebut. Filsafat pendidikan Islam dalam
beberapa aspek pendekatan memang memiliki prinsip-prinsip yang
simbiotik dengan idealisme, terutama idealisme spiritualistik. Idealisme
juga mengakui41 adanya zat yang Maha Tinggi yang menciptakan realitas
alam serta menggerakkan hukum-hukumnya termasuk sanksi-sanksinya.
Tetapi ada titik perbedaan yang cukup tajam yang terletak pada sanksi
moral sebagai konsekuensi. Bagi kaum idealisme, sanksi moral terletak
pada siksa Tuhan dan balasan perbuatan yang bermoral baik adalah pahala

41 (M. Arifin, 1991:150-151)

48 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


dari-Nya kelak di hari kiamat. Kualifikasi moral dalam Islam adalah
sumber dari Tuhan dan bagi setiap orang sanksi hukuman tergantung
kepada sejauh mana porsi perbuatan yang dilanggarnya (M. Arifin, 1991:
150-151) dan bukankah Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak-
karimah?
Jadi, dalam kosepsi Islam, belajar itu diajarkan mengenai masalah
pahala, dosa; surga dan neraka. Oleh sebab itu setiap perbuatan haruslah
dapat dipertanggungjawabkan di sisi Tuhan, sebagaimana firman-Nya:
“…. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan
mendapat siksa (dari kejahatan) yang diperbuatnya pula ...........”
(QS. Al- Baqarah:286).
Daya pancar dari sistem nilai yang menerangi moralitas manusia
menurut pandangan Islam adalah bersumber dari Allah yang digambarkan
dalam surat Al-Maidah:115-116, yakni:
“….Sesungguhnya telah datang kepadamu dari Allah kitab yang
menerangi. Dengan kitab itulah Allah menjuluki orang-orang yang
mengikuti keridaan-Nya kejalan keselamatan dan (dengan kitab-
kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dengan seizin-
Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.
“Dan barang siapa beriman kepada Allah, Allah akan menunjuki
hatinya” (QS. At-Taghabun:11).
Beberapa keterangan di atas semakin menunjukkan kejelasan kepada
kita bahwa konsep kependidikan dan belajar dalam Islam sangat berbeda
dengan konsep pendidikan dan belajar menurut teori-teori Barat yang
sekuler lebih bersifat profan dan antroposentrik. Sementara konsep Islam
sangat integral, di samping profan juga transendental dan teosentrik yang
menempatkan posisi manusia pada porsi yang balance, Rabbana atina
fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina azabannar.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 49


BAB IV
MENGAJAR

I. Ayat

َ‫ك م‬ َ‫عَجو م‬ َ َ‫أن وطَ ب نم م‬ ‫لَََ او‬


‫جرَ خأ ل‬
‫َبلأاو‬ ‫مَ لع يش‬ َ
‫ص‬ َ‫لا ع‬ َ َ‫َ ئ‬ َ‫كت اهَ مه‬
‫لل‬ ‫ك لا ت نوم‬ َ
‫س‬ َ‫ا‬

َ‫َل َةدَ ئ َفلأاو نورَ كشَ َ تم‬


‫ك‬ َ
َ‫هَلع‬

Artinya:“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan


tidak mengetahui sesuatu pun dan dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur” (Q.S. An-Nahl [16]:78.

II. Kandungan Ayat


A. Konsep Mengajar dalam Islam
Konsep mengajar dalam islam terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Tarbiyah
Istilah tarbiyah berasal dari kata Robba yang serumpun
dengaan akar kata Rabb (Tuhan). Ia juga merujuk kepada Allah
selaku Murabby (pendidik) sekalian alam. Kata Rabb (Tuhan)
dan Murabby (pendidik) berasal dari akar kata seperti termuat
dalam ayat Al-Qur’an.

Artinya: "Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan


penuh kasih sayang dan ucapkanlah.'Wahai Tuhanku!
Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku di waktu kecil."
Istilah tarbiyah mengandung pengertian mendidik,
memelihara, menjaga, dan membina semua ciptaan-Nya
42
termasuk manusia, binatang, dan tumbuhan. Sementara Samsul

42 Jalaluddin dalam Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendididkan Berbasis Moral,


(Yogyakarta: PT Ar- Ruzz Media, 2012), hlm. 134.
50 | Al-Islam Studi Al-Qur’an
Nizar menjelaskan kata tarbiyah mengandung arti mengasuh,
bertanggung jawab, memberi makan, mengembangkan,
memelihara, membesarkan, menumbuhkan, dan memproduksi
baik yang mencakup kepada aspek jasmaniah maupun
43
ruhaniah. Abdurrahman Shaleh Abdullah menjelaskan secara
implisit bahwa istilah tarbiyah berarti mendidik dan memelihara
yang tercakup kata Rabb (Tuhan) sebagai Rabb al-alamin.
Sebagai pendidik dan pemelihara alam semesta, Allah Maha
Mengetahui segala kebutuhan makhluk yang dididik dan
dipelihara-Nya karena Ia Penciptanya.44
Konsep tarbiyah sangat tepat digunakan dalam memaknai
pendidikan Islam yang lebih menekankan upaya pembentukan
manusia agar menjadi generasi yang berkualitas dan
berkepribadian luhur.
Sejalan dengan makna yang terkandung di dalamnya, maka
konsep tarbiyah dengan kasih sayang dititikberatkan pada
pelaksanaan nilai-nilai Ilahiah yang melambangkan Allah
sebagai Rabb al-a’lamin. Dengan demikian, tarbiyah lebih
diarahkan pada penerapan bimbingan, perlindungan,
pemiliharaan, dan curahan kasih sayang pendidik kepada anak
didiknya. Bimbingan diarahkan pada pemberian tuntutan bagi
pembentukan sikap dan perilaku yang baik hingga anak didik
dapat menemukan jalan hidupnya sesuai dengan nilai-nilai ajaran
agama.45 Selanjutnya, pengayoman difokuskan pada upaya
melindungi anak didik secara fisik maupun kejiwaan. Dengan
pengayoman ini, diharapkan harkat dan martabat anak didik tidak
ternodai dan terhindar dari tindakan kasar.
Bentuk bimbingan dan pengayoman di sini dapat melalui
proses kependidikan yang dijalankan, yaitu dengan tetap
berupaya mengembangkan potensi fitrah anak didik sesuai
dengan minat dan bakat yang terpendam di dalamnya, sehingga
ia menjadi generasi yang mampu memberikan pencerahan bagi
kemajuan bangsa di masa depan. Oleh karena itu, pendidikan

43 Samsul Nizar dalam Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendididkan Berbasis


Moral, (Yogyakarta: PT Ar- Ruzz Media, 2012), hlm. 134.
44 Abdurahman Shaleh Abdullah dalam Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi
Pendididkan Berbasis Moral, (Yogyakarta: PT Ar- Ruzz Media, 2012), hlm. 135.
45 Jalaluddin dalam Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendididkan Berbasis Moral,
(Yogyakarta: PT Ar- Ruzz Media, 2012), hlm. 136.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 51


dalam konsep tarbiyah lebih menekankan pada pembentukan
nilai-nilai kasih sayang yang mencerminkan kasih sayang orang
tua kepada anakanya. Berangkat dari konsep ini, tergambar
sangat jelas bahwa pendidikan islam sama sekali tidak
mempertontonkan tindakan kekerasan, baik berupa hukuman
fisik, pelecehan, maupun kata-kata kasar terhadap anak didik.46
Dalam hubungan antarmanusia nilai-nilai ajaran kasih
sayang dibebankan kepada orang tua, sedangkan para pendidik
tak lebih hanyalah sebagai tenaga profesional yang mengemban
tugas berdasarkan keprcayaan pada orang tua. Menurut
Abdurrahman An-Nahlawi menjabarkan konsep tarbiyah
menjadi empat unsur.
a. Memelihara pertumbuhan fitrah manusia.
b. Mengarhkan perkembangan fitrah manusia agar mencapai
kesempurnaan.
c. Mengembangkan potensi insani (sumber daya manusia)
untuk mencapai kualitas terbaik.
d. Melaksanakan usaha-usaha secara bertahap sesuai dengan
perkembangan anak.
2. Ta’dib
Pendidikan dalam konsep ta’dib, sebenarnya merujuk pada
sabda Rasulullah saw. yang berbunyi: “Aku dididik oleh
Tuhanku, maka Ia memberikan kepadaku sebaik-baik
pendidikan” (Al Hadist). Pertanyaan ini menegaskan bahwa
Allah merupakan pendidik yang Agung yang memberikan
pendidikan terbaik kepada Rasulullah. Melalui peran Rasulullah,
kita mendapat pendidikan yang diamanatkan kepada orang tua
sebagai lembaga pendidikan utama bagi anak didik untuk
mendapatkan bimbingan, pengayoman, dan arahan yang baik
tentang kehidupan ini.
Sebagai pendidik agung, Allah dan Rasulullah merupakan
cerminan utama dari pencapaian pendidikan yang berlandaskan
pada etika dan akhlak, sehingga menjadi pedoman bagi
kehidupan umat manusia. Konsep ta’dib diambil dari makna
addaba dan derivasinya yang berarti mendidik bila maknanya

46 Ibid dalam Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendididkan Berbasis Moral,


(Yogyakarta: PT Ar- Ruzz Media, 2012), hlm. 136.

52 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


dikaitkan satu sama lain akan menunjukkan pengertian
pendidikan yang integratif.47 Berkenaan dengan hal itu, seorang
guru yang mengajarkan etika dan kepribadian tersebut disebut
juga mu’addib.48 Ada tiga derivasi addaba, yaitu: adiib, ta’dib,
muaddib, keempat makna itu saling terikat dan berkaitan. Dalam
konsep ta’dib cara mendidik perlu dengan menggunakan cara-
cara yang benar sesuai kaidah, menarik, dan indah. Konsep
ta’dib menitikberatkan pada perubahan tingkah laku anak didik,
yang dikenal islam dengan “akhlak”.
3. Ta’lim
Konsep ta’lim dalam Al-Qur’an menggunakan bentuk fi’il
(kata kerja) dan ism (kata benda). Konsep ta’lim secara etimologi
yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan
ini ta’lim sering dipahami sebagai proses bimbingan yang
mengedapankan aspek peningkatan intelektualitas anak didik.
Kecenderungan makna ta’lim ini, pada batas-batas tertentu
ternyata menimbulkan keberatan pakar pendidikan Islam untuk
memasukkan kata ta’lim ke dalam konsep pendidikan secara
umum. Mereka beranggapan bahwa ta’lim merupakan salah satu
sisi pendidikan. Konsep ta’lim yang lebih menekankan pada
transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, bagaimanpun
harus dikaitkan dengan nilai-nilai Ilahiah. Maka, tidak heran bila
dalam konsep ta’lim pengetahuan tidak bebas nilai. Ini karena, ia
harus selalu terikat dengan nilai-nilai Ilahiah yang bermanfaat
bagi anak didik secara keseluruhan.
Menurut Abdul Fattah Jalal, konsep ta’lim merupakan
proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian,
tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau
bersih dari segala kotoran, sehingga siap menerima hikmah dan
mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya
(keterampilan).49 Mengacu pada definisi ini ta’lim berarti adalah
usaha terus-menerus manusia sejak lahir hingga mati untuk

47 Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi


Pendididkan Berbasis Moral, (Yogyakarta: PT Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 141.
48 Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam dalam Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi
Pendididkan Berbasis Moral, (Yogyakarta: PT Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 142.
49 Abdul Fattah Jalal dalam Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendididkan Berbasis
Moral, (Yogyakarta: PT Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 163.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 53


menuju dari posisi “tidak tahu” ke posisi “tahu” seperti yang
digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78 yang berbunyi:
َ ‫ه‬
َ
‫ك عَم س‬ َ‫عَجو م‬ ‫يش‬
َ
‫لع‬ ‫م َ أنَ وطَ بنم‬ ‫خ‬ ‫او‬ َََ‫أ لل‬
َ َ َ‫كجر‬
‫لا‬ ‫لل‬ ‫كَ اهَ ت نومَ ئ‬
‫لامَ ت‬
َ‫ا‬ َ‫م‬

َ َ َ
‫رَ اص َبلأاو د ئَ فلأاو تمك نورَك‬
َ َ َ
‫لة‬
َ
‫هَ َ ش‬
‫لع‬
Artinya:“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.
Tujuan dan ideal konsep ta’lim bukan sekadar untuk
menigkatkan potensi dan skill mereka, melainkan pula sebagai
bentuk kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Tidak heran bila
konsep ta’lim mengacu pada pengembangan kemampuan potensi
fitrah manuisia berupa potensi akal (intelektual), sikap
(emosional), dan akhlak (spiritual) yang terintegrasi secara
holistik.
Sebagai mana diketahui bahwa sistem pendidikan islam
merupakan usaha untuk mentransformasikan ilmu-ilmu
kewahyuan dan keduniaan kepada generasi muslim, agar mereka
memilki kesiapan dalam menghadapi tantangan kehidupan yang
semakin kompleks. Maka dibutuhkan pendidik yang memiliki
kriteria ideal seperti ia harus mempunyai pengetahuan yang bulat
tentang apa yang akan diajarkan, ia harus mempercayai dasar-
dasar pengetahuan yang luas tentang tujuan pengajaran yang
hendak dicapai, memiliki dasar pengetahuan untuk membimbing
anak didik menyangkut: minat, bakat, kebutuhan dan aspirasi,
dan menguasai metode mengajar. Kriteria yang dimiliki pendidik
tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian dan
pengetahuan anak didik menurut ajaran islam.

B. Prinsip-Prinsip Mengajar dalam Islam


1. Prinsip mengajar menurut Prof. Dr. Nasution50
a. Prinsip apersepsi
Pada prosesnya adalah sebelum guru memulai bahan
baru, guru berusaha menghubungkan bahan yang sudah
50
Prof. Dr. Nasution dalam Drs. Kosim Rosyidin , Metodelogi Pendidikan Agama
Islam, (Cirebon: Fakultas Taribiah IAIN Syekh Sunan Gunung Djati, 1997), hlm. 17.

54 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


dikuasai murid terlebih dahulu, baru menyampaikan bahan
baru. Dengan kata lain apersepsi adalah usaha
menumbuhkan tangggapan-tanggapan lama agar bahan baru
merupakan satu kesatuan pengetahuan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Van Light Hart yang mengemukakan
bahwa “dua akan tiba kalau satu dikuasai”. Adapun fungsi
apersepsi, yaitu sebagai berikut.
1) Untuk mempersiapkan kondisi siswa, baik mental
maupun penguasaan material.
2) Menentukan corak bahan baru, agar dapat diterima
siswa.
3) Mengasimilasikan pengetahuan, sehingga terintegrasi.
b. Prinsip korelasi
Korelasi artinya ialah hubungan. Korelasi pengajaran
ialah menghubungkan bidang studi yang akan diajarkan
dengan bidang studi lain yang erat hubungannya. Tujuannya
untuk memperluas wawasan pengetahuan dan untuk
membina kesatuan ilmu.
Berikut jenis-jenis korelasi.
1) Korelasi okasional, ialah korelasi yang sifatnya
insidental, yang tidak direncanakan sebelumnya.
2) Korelasi formal, ialah bentuk hubungan bidang studi
yang dirancang sebelumnya, termasuk contoh-contoh
penjelasan.
3) Korelasi sistematis, korelasi ini lebih cermat karena
dipersiapkan sebelumnya, yang direncanakan oleh
beberapa guru dari berbagai bidang studi dalam
menyusun program pengajaran.
4) Korelasi etis, ialah menghubungkan bidang studi yang
diajarkan dengan moral agama atau moral pendidikan.
Korelasi tersebut di atas banyak dipergunakan dalam
bidang pengajaran masa lama yang disebut: Subject Matter,
ialah mata pelajaran yang terpisah-pisah. Sekarang ada pula
yang disebut korelasi “Broodfield”, contohnya sebagai
berikut.
1) Language Arts, ialah gabungan pelajaran bahasa,
seperti: membaca, menulis, mengarang, tata bahasa, dll.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 55


2) Social Studies, ialah gabungan ilmu-ilmu sosial,
seperti: sejarah, geografi, ekonomi, koperasi, dll.
3) Sciences, ialah gabungan dari ilmu-ilmu alam, seperti:
biologi, ilmu kimia, kesehatan, dll.
4) Matematic, ialah gabungan pelajaran berhitung, seperti:
aljabar, ilmu ukur, dll.
5) Esthetic, ialah gabungan dari seni lukis, seni suara, seni
tari, dll.
6) Etica, moral education, seperti: agama, budi pekerti,
dll.
c. Prinsip motivasi
Motivasi digolongkan menjadi 2 macam.
1) Motivasi intrinsik, yaitu dorongan yang tumbuh dari
diri sendiri, guru tinggal membantu mengarahkan.
2) Motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan diusahakan oleh
orang lain, oleh guru atau orang tua siswa. Dorongan
ini bisa ditempuh dengan dua cara: motivasi positif dan
motivasi negatif. Motivasi negatf ialah dorongan yang
sementara membuat ketegangan, bisa berupa soal yang
harus dipecahkan, teguran, hukuman, persaingan,
ulangan, dll. Sedangkan motivasi positif ialah dorongan
yang sifatnya menyenangkan, seperti: pujian,
pemberian angka, dan pemberian hadiah.
d. Prinsip keperagaan
Peranan alat peraga dalam interaksi belajar mengajar
memegang peranan penting sejak zaman dahulu para ahli
menganjurkan agar setiap kali mengajar harus disertai alat
peraga, karena mengajar tanpa alat peraga bisa
mengakibatkan pervalisme. Selain itu pelajaran tanpa alat
peraga akan sulit dipahami murid.
2. Prinsip mengajar menurut James L Mursell dalam bukunya
“Successful Teaching”.51
a. Prinsip konteks
Konteks ialah hubungan kalimat. Konteks pelajaran ialah
susunan bahan-bahan ketika disajikan untuk dipelajari. Agar
pengajaran efektif, maka pelajaran yang lazimnya singkat

51 James L Mursell dalam Drs. Kosim Rosyidin, Metodelogi Pendidikan Agama Islam,
(Cirebon: Fakultas Taribiah IAIN Syekh Sunan Gunung Djati, 1997), hlm. 17.

56 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


dan padat, perlu dihubungkan situasi konkret atau bacaan-
bacaan dari majalah, surat kabar, buku perpustakaan, atau
karyawisata yang berkaitan dengan serta menunjang
pemahaman pada bahan pelajaran yang sedang diajarkan.
b. Prinsip fokus
Fokus dalam pengajaran ialah adanya pemusatan pengajaran
atau penekanan, penonjolan sedemikian rupa, sehingga
menumbuhkan kehendak untuk belajar.
c. Prinsip sosialisasi
Prinsip sosialisasi analisis ialah tercapainya kerja sama
antarsiswa yang dipimpin guru agar belajar itu efektif.
d. Prinsip individualisasi
Prinsip individualisasi ialah prinsip pengajaran dengan
menyesuaikan terhadap bakat, kesanggupan, dan tujuan
siswa itu sendiri.
e. Prinsip sequence (urutan)
Yang dimaksud dengan urutan adalah perlunya urutan
penyajian yang berkaitan efektifnya pengajaran.
f. Prinsip penilaian (evaluasi)
Prinsip evaluasi ialah segala langkah dan usaha penilaian
dalam pengajaran dengan memperhatikan syarat-syarat dan
prinsip-prinsip evaluasi yang baik akan menjadikan kegiatan
belajar mengajar itu efektif.
Pandangan Islam yang bersifat filosofi terhadap alam jagat,
manusia, masyarakat, pengetahuan, dan akhlak, secara jelas
tercermin dalam prinsip-prinsip pendidikan Islam. Dalam
pembelajaran, pendidik merupakan fasilitator. Ia harus mampu
memberdayagunakan beraneka ragam sumber belajar. Dalam
memimpin proses pembelajaran, pendidik perlu memperhatikan
prinsip-prinsip dalam pendidikan Islam dan senantiasa
mempedomaninya, bahkan sejauh mungkin merealisasikannya
bersama-sama dengan peserta didik. Adapun yang menjadi
prinsip-prinsip pendidikan Islam adalah sebagai berikut.
1. Prinsip integral dan seimbang
a. Prinsip integral
Pendidikan Islam tidak mengenal adanya
pemisahan antara sains dan agama. Keduanya harus
terintegrasi secara harmonis. Dalam ajaran Islam, Allah

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 57


adalah pencipta alam semesta termasuk manusia. Allah
pula yang menurunkan hukum-hukum untuk mengelola
dan melestarikannya. Hukum-hukum mengenai alam
fisik disebut sunatullah, sedangkan pedoman hidup dan
hukum-hukum untuk kehidupan manusia telah
ditentukan pula dalam ajaran agama yang disebut
dinullah yang mencakup akidah dan syariah.
Dalam ayat Al-Qur’an yang pertama kali
diturunkan, Allah memerintahkan agar mansuia untuk
membaca yaitu dalam QS Al-‘Alaq ayat 1-5. Dan
ditempat lain ditemukan ayat yang menafsirkan
perintah membaca tersebut, seperti dalam Firman Allah
QS Al-Ankabut:
Artinya:Bacalah apa yang telah diwahyukan
kepadamu, yaitu Al kitab (Al Quran) (QS. Al-
Ankabut:45).
Di sini, Allah memberikan penjelasan bahwa Al-
Qur’an yang harus dibaca. Ia merupakan ayat yang
diturunkan Allah (ayat tanziliyah, qur’aniyah) Selain
itu, Allah memerintahkan agar manusia membaca ayat
Allah yang berwujud fenomena-fenomena alam (ayat
kauniyah, sunatullah), antara lain: “Katakanlah,
perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi”
(QS. Yunus:101).
Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah
memerintahkan agar manusia membaca Al-Qur’an
(ayat-ayat quraniyah) dan fenomena alam (ayat
kauniyah) tanpa memberikan tekanan terhadap salah
satu jenis ayat yang dimaksud. Hal itu berarti bahwa
pendidikan Islam harus dilaksanakan secara terpadu
(integral).
b. Prinsip seimbang
Pendidikan Islam selalu memperhatikan
keseimbangan di antara berbagai aspek yang meliputi:
keseimbangan antara dunia dan akhirat; antara ilmu dan
amal; urusan hubungan dengan Allah dan sesama
manusia; hak dan kewajiban.

58 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


Keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat
dalam ajaran Islam harus menjadi perhatian. Rasul
diutus Allah untuk mengajar dan mendidik manusia
agar mereka dapat meraih kebahagiaan kedua alam itu.
implikasinya pendidikan harus senantiasa diarahkan
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini
senada dengan Firman Allah SWT.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi” (Al-Qashas:77).
Dalam dunia pendidikan, khususunya dalam
pembelajaran, pendidik harus memperhatikan
keseimbangan dengan menggunakan pendekatan yang
relevan. Selain mentrasfer ilmu pengetahuan, pendidik
perlu mengkondisikan secara bijak dan profesional agar
peserta didik dapat mengaplikasikan ilmu yang telah
didapat di dalam maupun di luar kelas.
2. Prinsip bagian dari proses rubbubiyah
Al-Qur’an menggambarkan bahwa Allah adalah Al-
Khaliq dan Rabb Al-Amin (pemelihara semesta alam).
Dalam proses penciptaan alam semesta termasuk manusia.
Allah menampakkan proses yang memperlihatkan
konsistensi dan keteraturan. Hal demikian kemudian dikenal
sebagai aturan-aturan yang diterpakan Allah atau disebut
Sunnatullah.
Sebagaimana Al-Kailani yang dikutip oleh Bukhari
Umar dalam bukunya menjelaskan bahwa peranan manusia
dalam pendidikan secara teologis dimungkinkan karena
posisinya sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling
sempurna dan dijadikan sebagai khalifatullah fi al-ardh.
Sebagai khalifah, manusia juga mengemban fungsi
rubbubiyah Allah terhadap alam semesta termasuk diri
manusia sendiri. Dengan perimbangan tersebut dapat
dikatakan bahwa karakter hakiki pendidikan Isam pada
intinya terletak pada fungsi rubbubiyah Allah secara praktis
dikuasakan atau diwakilkan kepada manusia. Dengan kata
lain, pendidikan Islam tidak lain adalah keseluruhan proses

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 59


dan fungsi rubbubiyah Allah terhadap manusia, sejak dari
proses penciptaan sampai dewasa dan sempurna.
3. Prinsip membentuk manusia yang seutuhnya
Manusia yang menjadi objek pendidikan Islam ialah
manusia yang telah tergambar dan terangkum dalam Al-
Qur’an dan hadis. Potret manusia dalam pendidikan sekuler
diserhakan pada orang-orang tertentu dalam msyarakat atau
pada seorang individu karena kekuasaanya, yang berarti
diserahkan kepada angan-angan seseorang atau sekelompok
orang semata.
Pendidikan Islam dalam hal ini merupakan usaha untuk
mengubah kesempurnaan potensi yang dimiliki oleh peserta
didik menjadi kesempurnaan aktual melalui setiap tahapan
hidupnya. Dengan demikian fungsi pendidikan Islam adalah
menjaga keutuhan unsur-unsur individual peserta didik dan
mengoptimalkan potensinya dalam garis keridaan Allah.
Prinsip ini harus direalisasikan oleh pendidik dalam
proses pembelajaran. Pendidik harus mengembangkan baik
kecerdasan intelektual, emosional, maupun spiritual secara
simultan.
4. Prinsip selalu berkaitan dengan agama
Pendidikan Islam sejak awal merupakan salah satu
usaha untuk menumbuhkan dan memantapkan
kecenderungan tauhid yang telah menjadi fitrah manusia.
Agama menjadi petunjuk dan penuntun ke arah itu. Oleh
karena itu, pendidikan Islam selalu menyelenggrakan
pendidikan agama. Namun, agama di sini lebih kepada
fungsinya sebagai sumber moral nilai.
Sesuai dengan ajaran Islam pula, pendidikan Islam
bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu sebagai materi atau
keterampilan sebagai kegiatan jasmani semata, melainkan
selalu mengaitkan semuanya itu dengan kerangka praktik
(‘amaliyyah) yang bermuatan nilai dan moral. Jadi,
pengajaran agama dalam Islam tidak selalu dalam
pengertian (ilmu agama) formal, tetapi dalam pengertian
esensinya yang bisa saja berada dalam ilmu-ilmu lain yang
sering dikategorikan secara tidak proporsional sebagai ilmu
sekuler.

60 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


5. Prinsip terbuka
Dalam Islam diakui adanya perbedaan manusia. Akan
tetapi, perbedaan hakiki ditentukan oleh amal perbuatan
manusia (QS. Al-Mulk:2) atau ketakwaan (QS. Al-
Hujrat:13). Oleh karena itu, pendidikan Islam pada dasarnya
bersifat terbuka, demokratis, dan universal. menurut
Jalaludin yang dikutip oleh Bukhari Umar menjelaskan
bahwa keterbukaan pendidikan Islam ditandai dengan
kelenturan untuk mengadopsi unsur-unsur positif dar luar
sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya
dengan tetap menjaga dasar-dasarnya yang original (shalih)
yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadis.
6. Menjaga perbedaan individual
Perbedaan individual antara seorang manusia dengan
orang lain dikemukakan oleh Al-Qur’an dan hadis. Sebagai
contoh:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada
yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang mengetahui” (QS. Ar-Rum:22).
Perbedaan-perbedaan yang dimiliki manusia
melahirkan perbedaan tingkah laku karena setiap orang akan
berbuat sesuai dengan keadaanya masing-masing. Menurut
Asy-Syaibani yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Ramayulis
menjelaskan bahwa pendidikan Islam sepanjang sejarahnya
telah memlihara perbedaan individual yang dimiliki oleh
peserta didik.
7. Prinsip pendidikan Islam adalah dinamis
Pendidikan Islam menganut prinsip dinamis yang tidak
beku dalam tujuan-tujuan, kurikulum, dan metode-
metodenya, tetapi berupaya untuk selalu memperbaharuhi
diri dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Pendidikan Islam seyogyanya mampu memberikan respons
terhadap kebutuhan-kebutuhan zaman dan tempat dan
tuntutan perkembangan dan perubahan sosial. Hal ini sesuai
dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yang memotivasi
untuk hidup dinamis.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 61


BAB V
PESERTA DIDIK

I. Ayat

‫نَتمَ ك عَ َلات لَ ي‬
‫ك‬ ‫لا‬ ‫او َلاَق بس ناح لاك لع لن‬
َ
َ‫م‬ َ ‫أ‬ َ ‫ذ‬ ‫ام‬ َ َ َ
َ‫ام لي‬ ‫ن ا‬
َ ‫ذ‬ ‫مَ ا‬
‫ن‬
‫لع‬
Artinya:“Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui kecuali apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Baqarah [2]:32).

II. Kandungan Ayat


A. Pengertian Peserta Didik dalam Islam
Dalam bahasa Arab, setidaknya ada tiga istilah yang menunjukkan
makna peserta didik, yaitu: murid, al-tilmīdz, dan al-thālib. Murid berasal
dari kata ‘arada, yuridu, iradatan, muridan yang berarti orang yang
menginginkan (the willer).52 Sedangkan al-tilmīdz tidak memiliki akar kata
dan berarti pelajar. Sementara al-thālib berasal dari thalaba, yathlubu,
thalaban, thālibun yang berarti orang yang mencari sesuatu.53
Kemudian dalam penggunaan ketiga istilah tersebut biasanya
dibedakan berdasarkan tingkatan peserta didik. Murid untuk sekolah dasar,
al-tilmīdz untuk sekolah menengah, dan al-thālib untuk perguruan tinggi.
Namun, menurut Abuddin Nata, istilah yang lebih umum untuk menyebut
peserta didik adalah al-muta’allim. Istilah yang terakhir ini mencakup
makna semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai dari
tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Terlepas dari perbedaan istilah di atas, yang jelasnya peserta didik
dalam perspektif pendidikan Islam sebagai objek sekaligus subjek dalam
proses pendidikan. Ia adalah orang yang belajar untuk menemukan ilmu.

52 Pengertian ini menunjukkan bahwa seorang peserta didik adalah orang yang
menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan
kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat
dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh.
[2] Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di madrasah.
53 Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik adalah orang yang mencari ilmu
pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk
bekal masa depannya agar bahagia dunia dan akhirat.

62 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


Karena dalam Islam diyakini ilmu hanya berasal dari Allah, maka seorang
peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah
dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya.
Namun untuk memperoleh ilmu yang berasal dari Allah tersebut,
seorang peserta didik mesti belajar pada orang yang telah diberi ilmu, yaitu
guru atau pendidik. Karena peserta didik memiliki hubungan dengan ilmu
dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka seorang peserta didik
mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya tetap mengacu
kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan hadis.
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat
pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau
individu yang mengalami perubahan perkembangan, sehingga masih
memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian, serta
sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta
didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan
atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran.
Sebagai individu yang tengah mengalami fase perkembangan, tentu
peserta didik tersebut masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan, dan
arahan untuk menuju kesempurnaan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa peserta didik merupakan barang mentah (raw material) yang harus
diolah dan bentuk, sehingga menjadi suatu produk pendidikan.54
Dalam konteks ini seorang pendidik harus mengetahuai ciri-ciri dari
peserta didik tersebut.
a. Ciri-ciri peserta didik:
1) Kelemahan dan ketak berdayaannya;
2) Berkemauan keras untuk berkembang;
3) Ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan).
b. Kriteria peserta didik:
Syamsul Nizar mendeskripsikan enam kriteria peserta didik,
yaitu sebagai berikut.
1) Peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa, tetapi
memiliki dunianya sendiri.
2) Peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan
pertumbuhan.

54 Dengan diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam konteks kehadiran dan
keindividuannya, maka tugas dari seorang pendidik adalah memberikan bantuan,
arahan, dan bimbingan kepada peserta didik menuju kesempurnaan atau
kedewasaannya sesuai dengan kedewasaannya.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 63


3) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki
perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan
maupun lingkungan di mana ia berada.
4) Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan
rohani: unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani
memiliki daya akal hati nurani dan nafsu.
5) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau
fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara
dinamis.
Di dalam proses pendidikan seorang peserta didik yang berpotensi
adalah objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara
langsung berperan sebagai subjek atau individu yang perlu mendapat
pengakuan dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu
sendiri.55[5]
Agar seorang pendidik mampu membentuk peserta didik yang
berkepribadian dan dapat mempertanggungjawabkan sikapnya, maka
seorang pendidik harus mampu memahami peserta didik beserta segala
karakteristiknya.
Allah SWT berfirman:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”
(Q.S. Al – Qashas 28:26).
B. Kewajiban Peserta Didik
Agar proses pendidikan yang dilalui oleh peserta didik berjalan
dengan baik dan mampu mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang
diinginkan, maka peserta didik hendaknya mengetahui tugas dan
kewajibannya. Al-Abrasyi menyebutkan ada beberapa kewajiban, yaitu:
a. Sebelum belajar, peserta didik mesti membersihkan hatinya
karena menuntut ilmu adalah ibada;
b. Belajar diniatkan untuk mengisi jiwanya dengan fadhilah dan
mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sombong;

55 Dengan pengakuan tersebut seorang peserta didik akan mengenal lingkungan dan
mampu berkembang dan membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang
dipilihnya dan mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya pada lingkungan
tersebut.

64 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


c. Bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air, serta pergi ke
tempat jauh sekalipun demi untuk mendatangi guru;
d. Jangan sering menukar guru, kecuali atas pertimbangan yang
panjang atau matang;
e. Menghormati guru karena Allah dan senantiasa menyenangkan
hatinya;
f. Jangan melakukan aktivitas yang dapat menyusahkan guru
kecuali ada izinnya;
g. Jangan membuka aib guru dan senantiasa memaafkannya jika ia
salah.
h. Bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan mendahulukan ilmu
yang lebih penting;
i. Sesama peserta didik mesti menjalin ukhuwah yang penuh kasih
sayang;
j. Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya, seperti terdahulu
memberi salam;
k. Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajarannya
pada waktu-waktu yang penuh berkat;
l. Bertekad untuk belajar sepanjang hayat dan menghargai setiap
ilmu.
Sementara Imam al-Ghazali, yang juga dikembangkan oleh Said
Hawa, berpendapat bahwa seorang peserta didik memiliki beberapa tugas
zhahir (nyata) yang harus ia lakukan, yaitu sebagai berikut.
1) Mendahulukan penyucian jiwa dari pada akhlak yang hina dan
sifat-sifat tercela karena ilmu merupakan ibadah hati, shalatnya
jiwa, dan pendekatan batin kepada Allah.
2) Mengurangi keterkaitannya dengan kesibukan duniawi karena
hal itu dapat menyibukkan dan memalingkan.
3) Tidak sombong dan sewenang-wenang terhadap guru.
4) Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri
dari mendengarkan perselisihan di antara banyak orang. Artinya,
hendaknya di tahap awal ia mempelajari satu jalan ilmu, setelah
ia menguasainya barulah ia mendengarkan beragam mazhab atau
pendapat.
5) Seorang penuntut ilmu tidak meninggalkan satu cabang pun dari
ilmu-ilmu terpuji.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 65


6) Tidak sekaligus menekuni bermacam-macam cabang ilmu,
melainkan memperhatikan urutan-urutan dan memulai dari yang
paling penting.
7) Hendaknya ia memasuki sebuah cabang ilmu kecuali jika telah
menguasai cabang ilmu yang sebelumnya, karena ilmu itu
tersusun rapi secara berurut.
8) Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui faktor penyebab
yang dengan pengetahuan itu ia dapat mengetahui ilmu yang
lebih mulia.
9) Hendaknya tujuan seorang peserta didik dalam menuntut ilmu di
dunia untuk menghiasi diri dan mempercantik batin dengan
keutamaan, sedangkan di akhirat nanti untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan meningkatkan diri agar dapat berdekatan
dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-
orang yang didekatkan kepada Allah.
Tugas dan kewajiban di atas idealnya dimiliki oleh setiap peserta
didik, sehingga ilmu yang ia tuntut dapat dikuasai dan keberkahan ilmu
pun ia peroleh.56

C. Kebutuhan-Kebutuhan Peserta Didik


Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus
didapatkan oleh peserta didik untuk mendapat kedewasaan ilmu.
Kebutuhan peserta didik tersebut wajib dipenuhi atau diberikan oleh
pendidik kepada peserta didiknya. Menurut buku yang ditulis oleh
Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi,
yaitu sebagai berikut.
1. Kebutuhan Fisik
Fisik seorang didik selalu mengalami pertumbuhan yang
cukup pesat. Proses pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga
tahapan.57
a. Peserta didik pada usia 0-7 tahun, pada masa ini peserta
didik masih mengalami masa kanak-kanak.

56 Selain tugas dan kewajiban tersebut, peserta didik juga diharapkan mempersiapkan
dirinya baik secara fisik maupun mental, sehingga tujuan pendidikan yang ia cita-
citakan dapat tercapai secara optimal, efektif, dan efisien.
57 Pada masa perkembangan inilah seorang pendidik perlu memperhatikan perubahan
dan perkembangan seorang didik. Karena pada usia ini seorang peserta didik
mengalami masa yang penuh dengan pengalaman (terutama pada masa pubertas)
yang secara tidak langsung akan membentuk kepribadian peserta didik itu sendiri.

66 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


b. Peserta didik pada usia 7-14 tahun, pada usia ini biasanya
peserta didik tengah mengalami masa sekolah yang
didukung dengan peraihan pendidikan formal.
c. Peserta didik pada 14-21 tahun, pada masa ini peserta didik
mulai mengalami masa pubertas yang akan membawa
kepada kedewasaan.
Di samping memberikan memperhatikan hal tersebut,
seorang pendidik harus selalu memberikan bimbingan, arahan,
serta dapat menuntun peserta didik kepada arah kedewasaan yang
pada akhirnya mampu menciptakan peserta didik yang dapat
mempertanggungjawabkan tentang ketentuan yang telah ia
tentukan dalam perjalanan hidupnya dalam lingkungan
masyarakat.
2. Kebutuhan Sosial
Secara etimologi sosial adalah suatu lingkungan kehidupan.
Pada hakikatnya kata sosial selalu dikaitkan dengan lingkungan
yang akan dilampaui oleh seorang peserta didik dalam proses
pendidikan.
Dengan demikian kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang
berhubungan langsung dengan masyarakat agar peserta didik
dapat berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, seperti
yang diterima teman-temannya secara wajar. Begitu juga supaya
dapat diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang
tuanya, guru-gurunya, dan pemimpinnya.58
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kebutuhan sosial
adalah digunakan untuk memberi pengakuan pada seorang
peserta didik yang pada hakikatnya adalah seorang individu yang
ingin diterima eksistensi atau keberadaannya dalam lingkungan
masyarakat sesuai dengan keberadaan dirinya itu sendiri.
Firman Allah SWT:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal” (Q.S. Al-Hujarat, 49:13).

58 Kebutuhan ini perlu dipenuhi agar peserta didik dapat memperoleh posisi dan
berprestasi dalam pendidikan.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 67


3. Kebutuhan untuk Mendapatkan Status
Kebutuhan mendapatkan status adalah suatu yang
dibutuhkan oleh peserta didik untuk mendapatkan tempat dalam
suatu lingkungan. Hal ini sangat dibutuhkan oleh peserta didik
terutama pada masa pubertas dengan tujuan untuk menumbuhkan
sikap kemandirian, identitas, serta menumbuhkan rasa
kebanggaan diri dalam lingkungan masyarakat.
Dalam proses memperoleh kebutuhan ini biasanya seorang
peserta didik ingin menjadi orang yang dapat dibanggakan atau
dapat menjadi seorang yang benar-benar berguna dan dapat
berbaur secara sempurna di dalam sebuah lingkungan
masyarakat.
4. Kebutuhan Mandiri
Ketika seorang peserta didik telah melewati masa anak dan
memasuki masa keremajaan, maka seorang peserta perlu
mendapat sikap pendidik yang memberikan kebebasan kepada
peserta didik untuk membentuk kepribadian berdasarkan
pengalaman.59
Karena pembentukan kepribadian yang berdasarkan
pengalaman itulah yang menyebabkan para peserta didik harus
dapat bersikap mandiri, mulai dari cara pandang mereka akan
masa depan hingga bagaimana ia dapat mencapai ambisi mereka
tersebut. Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan
utama yaitu untuk menghindarkan sifat pemberontak pada diri
peserta didik, serta menghilangkan rasa tidak puas akan
kepercayaan dari orang tua atau pendidik, karena ketika seorang
peserta didik terlalu mendapat kekangan akan sangat
menghambat daya kreativitas dan kepercayaan diri untuk
berkembang.
5. Kebutuhan untuk Berprestasi
Untuk mendapatkan kebutuhan ini maka peserta didik harus
mampu mendapatkan kebutuhan status dan kebutuhan mandiri
terlebih dahulu. Karena kedua hal tersebut sangat erat kaitannya
dengan kebutuhan berprestasi.

59 Hal ini disebabkan karena ketika peserta telah menjadi seorang remaja, dia akan
memiliki ambisi atau cita-cita yang mulai ditampakkan dan terpikir oleh peserta
didik, inilah yang akan menuntun peserta didik untuk dapat memilih langkah yang
dipilihnya.

68 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


Ketika peserta didik telah mendapatkan kedua kebutuhan
tersebut, maka secara langsung peserta didik akan mampu
mendapatkan rasa kepercayaan diri dan kemandirian, kedua hal
inilah yang akan menuntun langkah peserta didik untuk
mendapatkan prestasi.
6. Kebutuhan Ingin Disayangi dan Dicintai
Kebutuhan ini tergolong sangat penting bagi peserta didik,
karena kebutuhan ini sangatlah berpengaruh akan pembentukan
mental dan prestasi dari seorang peserta didik.60
Di dalam agama Islam, umat islam meyakini bahwa kasih
sayang paling indah adalah kasih sayang dari Allah. Oleh karena
itu umat Muslim selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan
kasih sayang dan kenikmatan dari Allah. Sehingga manusia
tersebut mendapat jaminan hidup yang baik. Hal ini yang
diharapkan para pakar pendidikan akan pentingnya kasih sayang
bagi peserta didik.
7. Kebutuhan untuk Curhat
Ketika seorang peserta didik menghadapi masa pubertas,
maka seorang peserta didik tersebut tengah mulai mendapatkan
problema-problema keremajaan. Kebutuhan untuk curhat
biasanya ditujukan untuk mengurangi beban masalah yang dia
hadapi. Pada hakikatnya ketika seorang yang tengah mengalami
masa pubertas membutuhkan seorang yang dapat diajak berbagi
atau curhat.
Tindakan ini akan membuat seorang peserta didik merasa
bahwa apa yang dia rasakan dapat dirasakan oleh orang lain.
Namun ketika dia tidak memiliki kesempatan untuk berbagi atau
curhat masalahnya dengan orang lain, ini akan membentuk sikap
tidak percaya diri, merasa dilecehkan, beban masalah yang makin
menumpuk yang kesemuanya itu akan memacu emosi seorang
peserta didik untuk melakukan hal-hal yang berjalan ke arah
keburukan atau negatif.

60 Dalam sebuah penelitian membuktikan bahwa sikap kasih sayang dari orang tua akan
sangat memberikan mitivasi kepada peserta didik untuk mendapatkan prestasi,
dibandingkan dengan sikap yang kaku dan pasif malah akan menghambat proses
pertumbuhan dan perkembangan sikap mental peserta didik.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 69


8. Kebutuhan untuk Memiliki Filsafat Hidup
Pada hakikatnya seetiap manusia telah memiliki filsafat,
walaupun terkadang ia tidak menyadarinya. Begitu juga dengan
peserta didik ia memiliki ide, keindahan, pemikiran, kehidupan,
tuhan, rasa benar, salah, berani, takut. Perasaan itulah yang
dimaksud dengan filsafat hidup yang dimiliki manusia.
Karena terkadang seorang peseta didik tidak menyadari
akan adanya ikatan filsafat pada dirinya, maka terkadang seorang
peserta didik tidak menyadari bagaimana dia bisa
mendapatkannya dan bagaimana caranya. Filsafat hidup sangat
erat kaitannya dengan agama, karena agamalah yang akan
membimbing manusia untuk mendapatkan dan mengetahui apa
sebenarnya tujuan dari filsafat hidup. Sehingga tidak seorang pun
yang tidak membutuhkan agama.
Agama adalah fitrah yang diberikan Allah SWT dalam
kehidupan manusia, sehingga tatkala seorang peserta didik
mengalami masa kanak-kanak, ia telah memiliki rasa iman.
Namun rasa iman ini akan berubah seiring dengan perkembangan
usia peserta didik.61
Pendidikan agama di samping memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan biologis dan psikologis ataupun kebutuhan primer
maupun skunder, maka penekanannya adalah pemenuhan
kebutuhan anak didik terhadap agama karena ajaran agama yang
sudah dihayati, diyakini, dan diamalkan oleh anak didik akan
dapat mewarnai seluruh aspek kehidupannya.
Allah berfiman: “Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli
Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan menunjuki
(manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi
Maha Terpuji” (Q.S. Saba 34:6).

61 Ketika seorang peserta didik keluar dari masa kanak-kanak, maka iman tersebut akan
berkembang, ia mulai berpikir siapa yang menciptakan saya, siapa yang dapat
melindungi saya, siapa yang dapat memberikan perlindungan kepada saya. Namun
iman ini dapat menurun tergantung bagaiman ia beribadah.

70 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


D. Tingkat Intelegensi Peserta Didik
Secara bahasa integensi dapat diartikan dengan kecerdasan,
pemahaman, kecepatan, kesempurnaan sesuatu atau kemampuan.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indoneseia (KBBI) intelegensi
adalah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan
mempergunakan alat-alat berpikir menurut tujuan dan kecerdasannya.
Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa intelegensi peserta
didik adalah kecerdasan yang dimiliki peserta didik yang digunakan untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru ataupun memahami sesuatu
yang baru berdasarkan tingkat kecerdasan dan tujuan. Sehingga intelegensi
atau kecerdasan dalam pendidikan islam dikelompokkan menjadi empat
golongan.
1. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan
dengan pengembangan tingkat kemampuan dan kecerdasan otak,
logika atau IQ. Ramayulis dalam bukunya menyatakan
kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut
pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia
untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain.
Kecerdasan intelektual pada diri manusia sangat erat
kaitannya dengan proses berpikir atau kecerdasan pikiran yang
disebut dengan aspek kognitif. Dalam aspek ini manusia dipaksa
untuk dapat mempertimbangkan sesuatu, memecahkan atau
memutuskan sesuatu masalah dengan menggunakan pikiran yang
logis (logika).
2. Kecerdasan Emosional
Menurut Daniel Gomelen kecerdasan emosional adalah
kemampuan untuk memotovasi diri sendiri, bertahan menghadapi
frustasi, mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga akan beban stres
tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati, dan
berdo’a.
Secara umum kecerdasan emosional dan kecerdasan
intelektual saling berkaitan satu sama lain. Jika kecerdasan
intelektual yang dihasilkan otak kiri digunakan untuk berpikir
atau memecahkan suatu masalah, maka kecerdasan emosional
yang dihasilkan oleh otak kanan digunakan untuk memberikan
motivasi, mendorong kemauan, dan mengendalikan dorongan

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 71


hati.62 Di dalam Islam hal tersebut disebut dengan akhlaq al
karimah.63
Ari Ginanjar mengemukakan aspek-aspek yang
berhubungan dengan kecerdasan emosional sebagai berikut.
a. Konsistensi (istiqamah).
b. Kerendahan hati (tawadhu’).
c. Berusaha dan berserah diri (tawakkal).
d. Ketulusan (ikhlas), totalitas (kaffah).
e. Keseimbangan (tawazun).
f. Integritas dan penyempurnaan (ihsan).
Solovery menerangkan tentang ciri-ciri kecerdasan
emosional sebagai berikut.
a. Respon yang cepat, namun ceroboh.
b. Mendahulukan perasaan daripada pikiran.
c. Realitas simbolik yang seperti anak-anak.
d. Masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang.
e. Realitas yang ditentukan oleh keadaan.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosional yang bekerja secara acak tanpa pemikiran
yang logis. Apabila tidak didampingi oleh pemikiran yang
bersifat logis (kecerdasan intelektual) dikhawatirkan malah akan
mendorong peserta didik untuk melakukan hal-hal yang negatif
atau melakukan sesuatu yang monoton (tidak berkembang).
Jalaludin Rahmat dalam bukunya yang berjudul
“Kecerdasan Emosional Prespektif” mengemukakan bahwa
untuk mendapatkan kecerdasan emosional yang tinggi harus
melakukan hal-hal sebagai berikut.
a. Musyarathah, berjanji pada diri sendiri untuk membiasakan
perbuatan baik dan membuang perbuatan buruk.
b. Muraqobah, memonitor reaksi dan perilaku sehari-hari..
c. Muhasabah, melakukan perhitungan baik dan buruk yang
pernah dilakukan.

62 Kecerdasan dalam diri peserta didik, peserta didik akan mampu memotivasi dirinya
sendiri untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat positif, bahkan diharapkan dengan
adanya kecerdasan ini seorang peserta didik mampu untuk menghilangkan rasa malas
yang timbul pada dirinya.
63 Akhlaq Al Karimah ini mampu mengendalikan seseorang dari keinginan-keinginan

yang bersifat negatif dan sebaliknya, mengarahkan seseorang untuk melakukan hal-
hal yang posistif.

72 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


d. Mu’atabah dan mu’aqabah, mengecam keburukan yang
dikerjakan dan menghukum diri sendiri.
3. Kecerdasan Spiritual
Secara etimologi spritual berarti yang berkehidupan atau
sifat hidup. Kecerdasan spiritual pada diri manusia berorientasi
pada dua hal, yakni berorientasi kepada hal yang bersifat duniawi
dan agama.
Di sisi keagamaan, Ari Ginanjar menyatakan bahwa inti dari
kecerdasan spiritual adalah pemahaman tentang kehadiran
manusia itu sendiri yang muaranya menjadi ma’rifat kepada
Allah SWT. Ketika manusia mendapatkan ma’rifat tersebut,
maka manusia secara langsung akan dapat mengenali dirinya
sendiri sekaligus mengenal Tuhannya. Dalam perspektif Islam,
hal ini merupakan tingkat kecerdasan yang paling tinggi.
Kecerdasan spiritual memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Bersikap asertif, memiliki keyakinan yang tinggi dan
pemahaman yang sempurna tentang ke-Esaan Tuhan,
sehingga seorang tersebut tidak akan takut akan makhluk.
b. Berusaha mengadakan inovasi, selalu berusaha mencari hal
baru untuk kemajuan hidup dan menghasilkan sesuatu yang
lebih baik dari sesuatu yang telah ada.
c. Berpikir lateral, berpikiran adanya sesuatu yang lebih tinggi
dari semua keunggulan manusia. Hal ini ditandai dengan
adanya perenungan dan pemikiran akan adanya sifat maha
yang dimiliki oleh Sang Pencipta alam, sehingga membuat
manusia tersentuh perasaan dan mampu menanamkan sikap
tunduk dan patuh yang membuat hati bergetar ketika dapat
merasakan sifat kemahaan tersebut.
Dalam Islam kecerdasan spiritual dapat dikembangkan
dengan peningkatan iman yang merupakan sumber ketenangan
batin dan keselamatan, serta melakukan ibadah yang dapat
membersihkan jiwa seseorang.
4. Kecerdasan Qalbiyah
Secara etimologi qalbiah berasal dari kata qalbu yang
berarti hati. Dalam pengertian istilah kecerdasan qalbiyah berarti
kemampuan manusia untuk memahami kalbu dengan sempurna
dan mengungkapkan isi hati dengan sempurna, sehingga dapat

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 73


menjalin hubungan moralitas yang sempurna antara manusia dan
ubudiyah.
Kecerdasan kalbu pada diri manusia yang sempurna akan
menghadirkan kecerdasan agama dalam dirinya. Kecerdasan
agama adalah tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari
kecerdasan qalbiyah. Ketika seseorang telah mencapai
kecerdasan agama, maka secara langsung seorang tersebut akan
memiliki kecerdasan yang melampaui kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Ramayulis dalam bukunya menyatakah bahwa ciri utama
kecerdasan qalbiyah adalah:
a. respon yang intuitif ilabiab;
b. lebih mendahulukan nilai-nilai ketuhanan dari pada nilai-
nilai kemanusiaan;
c. realitas subjektif diposisikan sama kuat posisinya atau lebih
tinggi dengan realitas objektif;
d. didapat dengan pendekatan penerapan spiritual keagamaan
dan pensucian diri.

74 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


BAB VI
TUJUAN PENDIDIKAN

I. Ayat
َ‫نودبعل‬. ‫لَاو ن‬ ‫لا تقلخ امو‬
‫ا سن‬

Artinya:“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya


mereka menyembah-Ku” (Q.S. Adz-Dzariyat:56).

II. Kandungan Ayat


A. Tujuan Pendidikan Islam
Secara etimologi, tujuan adalah arah, maksud, atau haluan. Dalam
bahasa Arab “tujuan” diistilahkan dengan ‘ghayat, ahdaf, atau maqashid.
Sementara dalam bahasa Inggris di istilahkan dengan “goal, purpose,
objectives, atau aim”.64
Secara termonologi, menurut Zakiah Daradjat tujuan ialah suatu yang
diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai.65 Tujuan
pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia
merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang berkenaan
dengan seluruh aspek kehidupannya, yaitu kepribadian seseorang yang
membuatnya menjadi "insan kamil" dengan pola taqwa. Insan kamil
artinya manusia utuh rohani dan jasmani dapat hidup berkembang secara
wajar dan normal karena taqwa-nya kepada Allah SWT.
Menurut H.M.Arifin tujuan pendidikan Islam adalah idealitas (cita-
cita) yang mengandung nilai-nilai Islam yang hendak dicapai dalam proses
kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam secara bertahap.66
Tujuan pendidikan Islam adalah "suatu istilah untuk mencari fadilah,
kurikulum pendidikan Islam berintikan akhlak yang mulia dan mendidik
jiwa manusia berkelakuan dalam hidupnya sesuai dengan sifat-sifat
kemanusiaan yakni kedudukan yang mulia yang diberikan Allah melebihi
makhluk-makhluk lain dan dia diangkat sebagai khalifah.

64 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:


Balai Pustaka, 1995), Edisi ke-2, Cet. ke-4, hal. 1077.
65 Ibid.
66 .M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1991) Cet.1.hal. 224.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 75


1. Tujuan akhir pendidikan Islam
Dalam proses kependidikan tujuan akhir merupakan tujuan
yang tertinggi yang akan dicapai pendidikan Islam, tujuan
terakhirnya merupakan kristalisasi nilai-nilai idealitas Islam yang
diwujudkan dalam pribadi anak didik. Maka tujuan akhir itu
harus meliputi semua aspek pola kepribadian yang ideal.
Dalam konsep Islam pendidikan itu berlangsung sepanjang
kehidupan manusia, dengan demikian tujuan akhir pendidikan
Islam pada dasarnya sejajar dengan tujuan hidup manusia dan
peranannya sabagai makhluk ciptaan Allah dan sebagi khalifah di
bumi.
Sebagaimana diungkapkan Hasan Langgulung bahwa
“segala usaha untuk menjadikan manusia menjadi ‘abid inilah
tujuan tertinggi pendidikan dalam Islam”.67[4].
Sebagaimana firman Allah SWT:

‫ه‬
‫نودبعلَ لاا سن لَاون‬. ‫لا تقلخ امو‬

Artinya:“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan


supaya mereka menyembah-Ku” (Q.S. Adz-Dzariyat:56)68[5].
Menjadi ‘abid merupakan perwujudan dari kepribadian
muslim, sehingga apabila manusia telah bersikap menghambakan
diri sepenuhnya kepada Allah berarti ia telah berada di dalam
dimensi kehidupan yang mensejahterakan hidup di dunia dan
membahagiakan di akhirat, inilah tujuan pendidikan Islam yang
tertinggi.
2. Tujuan umum pendidikan Islam
Al-Abrasyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah
menyimpulkan lima tujuan umum bagi pendidikan Islam, yaitu
sebagai berikut.
a. Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia.
b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.

67 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1986, hal.
57
68 Al-Qur’an, Surat Adz-Dzariyat Ayat 56, Yayasan Penyelenggara Penerjemah
Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1989,
hal. 862

76 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


c. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi
manfaat.
d. Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan
memuaskan keingintahuan (curiosity) dan memungkinkan ia
menggali ilmu demi ilmu itu sendiri.
e. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknikal, dan
pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu dan
keterampilan pekerjaan tertentu agar ia dapat mencari rezeki
dalam hidup di samping memelihara segi kerokhanian dan
keagamaan.69[6]
Nahlawi menujukkan empat tujuan umum pendidikan Islam.
a. Pendidikan akal dan persiapan pikiran.
b. Menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakat asal pada
anak-anak.
c. Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi
muda dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik laki-laki
maupun perempuan.
d. Berusaha untuk menyeimbangkan segala potensi dan bakat-
bakat manusia.
Al-Jamali menyebutkan tujuan-tujuan pendidikan yang
diambilnya dari Al-Qur’an sebagai berikut.
a. Mengenalkan menusia akan perananya di antara
sesama manusia dan tanggung jawab pribadinya di dalam
hidup ini.
b. Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung
jawabnya dalam tata kehidupan.
c. Mengenalkan manusia akan alam ini mengajak mereka
memahami hikmah diciptakannya, serta memberikan
kemungkinan kepada mereka untuk dapat mengambil
manfaat dari alam tersebut.
d. Mengenalkan manusia akan terciptanya alam ini (Allah) dan
memerintahkan beribadah kepada-Nya.70

69 Ibid, hal. 61
70 Ibid, hal. 62

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 77


Dan pada dasarnya dari uraian para tokoh tersebut dapat
diambil suatu gambaran umum tentang tujuan ini yaitu sebagai
berikut.
a. Pembentukan akhlak yang mulia.
b. Untuk persiapan kehidupan dunia dan akhirat.
c. Untuk menumbuhkan dan menyiapkan potensi-potensi
insani.
d. Untuk mempersiapkan peserta didik dalam bidang
profesional dan keterampilan.
e. Memperkenalkan manusia akan posisinya dan hubungan
sosialnya, serta dengan alamnya.
f. Mengenalkan manusia akan keberadaan Allah.
3. Tujuan khusus pendidikan Islam
Tujuan khusus pendidikan Islam menurut Hasan
Langgulung adalah “perubahan-perubahan yang diingini dan
merupakan bagian yang termasuk di bawah tiap tujuan umum
pendidikan Islam”.71
Menurut beliau tujuan khusus pendidikan Islam ini
tergantung pada institusi pendidikan tertentu, pada tahap
pendidikan tertentu, pada jenis pendidikan tertentu, serta
tergantung pada masa dan umur tertentu. Bila tujuan akhir
pendidikan Islam adalah bersifat mutlak dan tidak bisa berubah,
maka dalam tujuan khusus pendidikan Islam masih dapat
berubah.
Meskipun tujuan pendidikan ini tidak bersifat mutlak dan
masih dapat berubah, akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap
berpegang pada tujuan akhir dan tujuan umum pendidikan Islam.
Dengan kata lain gabungan dari pengetahuan, keterampilan, pola-
pola tingkah laku, sikap, nilai-nilai, dan kebiasaan yang
terkandung dalam tujuan akhir dan tujuan umum pendidikan
Islam, tanpa terlaksananya tujuan khusus ini, maka tujuan akhir
dan tujuan umum juga tidak akan terlaksana dengan sempurna.
Menurut M. Djunaidi Dhany sebagaimana dikutip oleh
Zainudin, dkk adalah sebagai berikut.

71 ] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Op. Cit., hal. 63

78 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


a. Pembinaan anak didik yang sempurna.
1) Pendidikan harus mampu membentuk kekuatan dan
kesehatan badan, serta pikiran anak didik.
2) Sebagai anak individu, maka anak harus dapat
mengembangkan kemampuanya semaksimal mungkin.
3) Anggota maysarakat, anak harus dapat memiliki
tanggung jawab sebagai warga negara.
4) Sebagai pekerja, anak harus bersifat efektif dan
produktif, serta cinta akan kerja.
b. Peningkatan moral tingkah laku yang baik dan menanamkan
rasa kepercayaan anak terhadap agama dan kepada Tuhan.
c. Mengembangkan intelegensi anak secara efektif agar
mereka siap untuk mewujudkan kebahagiaanya di masa
mendatang.72
Menurut Omar Mohamad Al-Toumy Al-Syaibany tujuan
pendidikan mempunyai tahapan-tahapan sebagai berikut.
a. Tujuan individual
Tujuan ini berkaitan dengan masing-masing individu dalam
mewujudkan perubahan yang diinginkan pada tingkah laku
dan aktivitasnya, di samping untuk mempersiapkan mereka
dapat hidup bahagia baik di dunia maupun di akhirat.
b. Tujuan sosial
Tujuan ini berkaitasn dengan kehidupan masyarakat sebagai
keseluruhan dan tingkah laku mereka secara umum, di
samping juga berkaitan dengan perubahan dan pertumbuhan
kehidupan yang diinginkan, serta memperkaya pengalaman
dan kemajuan.
c. Tujuan profesional
Tujuan ini berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran
sebagai sebuah ilmu, sebagai seni, dan sebagai profesi, serta
sebagai satu aktivitas di antara aktivitas masyarakat.73

72 Zainudin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al- Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), Cet.1, hal. 49
73 Omar Mohammad Al-Toumy AL-Syaibany, (Terj.)Hasan Langulung, Falsafah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hal. 399)

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 79


4. Ciri-ciri tujuan pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di
muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan
tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai
dengan kehendak Tuhan.
b. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas
kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka
beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa
ringan dilaksanakan.
c. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga tidak
menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
d. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan
jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan
keterampilan yang semua ini dapat digunakan guna
mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
e. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat.
f. Tujuan pendidikan Islam adalah membina dan memupuk
akhlakul karimah sebagaimana sabda Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

‫ لاق هنع للها ضير ةري ره بيا نع‬: ‫ملسو هيلع للها لىص للها لوسر لاق‬
‫ذ‬ َ َ
: ‫ركَممَ مَ َتلا ت ثعَ َب امَ ن ا‬
ََ َ
‫ام‬ ‫ق لَخلا‬
Artinya: ”Dari Abu Hurairah Radliyallahu 'Anhu (semoga
Allah meridlainya) ia berkata bahwa Rasulallah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam telah bersabda: "Sesungguhnya aku
diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak
(manusia)”.
5. Prinsip-prinsip dalam formulasi tujuan pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam mempunyai prinsip-prinsip tertentu
guna menghantar tercapainya tujuan pendidikan. Prinsip itu
adalah sebagai berikut.74

74 mar Mohammad Al-Toumy AL-Syaibany, (Terj) Hasan Langulung, Falsafah


Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang) hal. 120

80 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


a. Prinsip universal (syumuliyah). Prinsip yang memandang
keseluruh aspek agama (aqidah, ibadah dan ahklak, serta
muamalah), manusia (jasmani, rohani, dan nafsani),
masyarakat dan tatanan kehidupannya, serta adanya wujud
jagat raya dan hidup.
b. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun
qaiatishadiyah). Prinsip ini adalah keseimbangan antara
berbagai aspek kehidupan pada pribadi, berbagai kebutuhan
individu, serta tuntunan pemeliharaan kebudayaan, sosial,
ekonomi, dan politik untuk menyelesaikan semua masalah
dalam menghadapi tuntutan masa depan.
c. Prinsip kejelasan (tabayun) prinsip yang di dalamnya
terdapat ajaran dan hukum yang memberi kejelasan terhadap
kejiwaan manusia.
d. Prinsip tak bertentangan. Prinsip yang di dalamnya terdapat
ketiadaan pertentangan berbagai unsur dan cara
pelaksanaannya, sehingga antara satu komponen dengan
komponen yang lain saling mendukung.
e. Prinsip realisme dan dapat dilaksanakan.
f. Prinsip perubahan yang diingini.
g. Prinsip menjaga perbedaan-perbedaan individu.
h. Prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan
perkembangan yang terjadi pelaku pendidikan, serta
lingkungan di mana pendidikan itu dilaksanakan.
6. Formulasi tujuan pendidikan Islam
Abd Al-Rahman Shaleh Abdallah dalam bukunya
“Educational Theory Al Quran Outlook75 menyatakan tujuan
pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat dimensi,
yaitu sebagai berikut.
a Tujuan pendidikan jasmani
Mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas
khalifah di bumi, melalui keterampilan-keterampilan fisik.

75 Abd Al-Rahman Shaleh Abd Allah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Quran,


Terj. Arifin HM, Judul Asli: Educational Theory: Al Qur’ani Outlook. (Jakarta:
Rineka Cipta, 1991), hal. 138-153

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 81


b Tujuan pendidikan rohani
Meningkatkan jiwa dari kesetiaan yang hanya kepada Allah
SWT semata dan melaksanakan moralitas yang diteladani
oleh Nabi saw..
c Tujuan pendidikan akal
Pengarahan inteligensi untuk menemukan kebenaran sebab-
sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan
menemukan pesan-pesan ayat-Nya yang berimplikasi
kepada peningkatan iman kepada Sang Pencipta.
d Tujuan pendidikan sosial.
Tujuan pendidikan sosial adalah pembentukan kepribadian
yang utuh yang menjadi bagian komonitas sosial.

82 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


BAB VII
KURIKULUM PENDIDIKAN

I. Ayat

َ‫ذ‬ َ َ‫قر‬ ََ َ ‫َذ‬ َ ََ َ


‫ق ف ا نَ يلد‬ ‫َئاط‬ ‫نم‬ َ ‫لفة فكَ ر ف‬ َ‫لا نكَ ام و فَنل‬ ‫ؤ م‬
َ َ‫اوه‬ َ َ‫ةَ ه‬ َ ‫لاوَ ن نم‬ َ‫اور‬ َ
‫ف‬ َ‫نو نم‬
‫ف‬ ‫ك‬
‫ر‬ َ‫م‬
َ‫َتَل‬ ‫ة‬
َ َ
‫لم هَ نورَ ذ يح‬ َ‫َذا اوع‬
ُ َُ َُ َُ َُ
‫و م ه م‬
َ‫ُن َُذ َُروا جر مَهَ ذلع‬
ُ ‫وََُل‬
َ
َ‫ل‬
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mu’min itu pergi ke medan perang
semuanya, mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara meraka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya, apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS. At-
Taubah [9]:122).

II. Kandungan Ayat


Kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan kata-kata
“Manhaj” yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik
bersama anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap mereka. Selain itu, kurikulum juga dipandang sebagai suatu
program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai
tujuan pendidikan.
Kurikulum pendidikan Islam adalah bahan-bahan pendidikan Islam
berupa kegiatan, pengetahuan, dan pengalaman yang dengan sengaja dan
sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan Islam. Atau dengan kata lain kurikulum pendidikan Islam
adalah semua aktivititas, pengetahuan, dan pengalaman yang dengan
sengaja dan secara sistematis diberikan oleh pendidik kepada anak didik
dalam rangka tujuan pendidikan Islam.
Berdasarkan keterangan di atas, maka kurikulum pendidikan Islam itu
merupakan satu komponen pendidikan agama berupa alat untuk mencapai
tujuan. Ini bermakna untuk mencapai tujuan pendidikan agama
(pendidikan Islam) diperlukan adanya kurikulum yang sesuai dengan
tujuan pendidikan Islam dan bersesuaian pula dengan tingkat usia, tingkat
perkembangan kejiwaan anak, dan kemampuan pelajar.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 83


Ada beberapa pendapat ulama tentang materi yang harus diberikan
terhadap anak didik.
1. Menurut Abu Thawam berpendapat setelah anak hafal Al-Quran
hendaknya anak tersebut diajarkan menulis, berhitung, dan berenang.
2. Al-Ghajali mengemukakan bahwa anak-anak diajarkan Al-Quran,
sejarah kehidupan orang-orang besar, hukum-hukum agama dan
sajak-sajak yang tidak menyebut soal cinta, serta pelaku-pelakunya.
3. Al-Jahiz dalam bukunya “Risalat Al-Mu’allimin” mengatakan bahwa
sebaiknya anak-anak kecil tidak disibukkan dengan ilmu nahwu
semata. Cukup sampai mereka dapat membaca, menulis, dan bicara
dengan benar. Anak-anak seharusnya diberi pelajaran berhitung,
karang mengarang, serta keterampilan membaca buah pikiran dari
bacaanya.
Pendapat para ulama di atas dapat dipahami bahwa materi pendidikan
Islam yang paling utama adalah Al-Quran, baik keterampilan membaca,
manghafal, menganalisa, dan sekaligus manghafalkan ajaran-ajaran dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini dimaksudkan agar ajaran yang terkandung
di dalam Al-Quran tertanam dalam jiwa anak didik sejak dini.
1. Prinsip pengembangan kurikulum pendidikan islam
Dalam dunia pendidikan yang selalu menghadapi langsung
peserta didik yang tentunya membutuhkan pembaharuan dan
pengembangan dalam melaksanakan pendidikan karena terbentur oleh
perubahan zaman dan perkembangan peserta didik yang semakin
membutuhkan pendidikan dan pengajaran yang lebih relevan terhadap
masanya, misalkan saja kurikulum yang dipakai pada tahun 1994
tidak akan cocok jika masih digunakan dalam melaksanakan proses
pendidikan di zaman sekarang. Maka dari itu diperlukannya inovasi
dan pengembangan dalam kurikulum.
Dalam usaha pengembangan kurikulum, ada beberapa prinsip
dasar yang harus diperhatikan.
a. Prinsip relevansi
Secara umum, relevansi pendidikan dapat diartikan sebagai
kesesuaian atau keserasian. Masalah relevansi pendidikan dengan
kehidupan dapat ditinjau dari 3 segi, yaitu: relevansi pendidikan
dalam lingkungan hidup murid, relevansi dengan perkembangan
kehidupan masa sekarang, dan masa akan datang.

84 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


b. Prinsip efektivitas
Efektivitas dalam suatu kegiatan berkenaan dengan sejauh mana
sesuatu yang direncanakan atau diinginkan dapat terlaksana atau
tercapai. Di dalam bidang pendidikan, efektivitas dapat kita
tinjau dari dua segi, yaitu: efektivitas mengajar guru, terutama
menyangkut sejauh mana jenis-jenis belajar mengajar yang
direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik. Efektivitas belajar
murid, terutama menyangkut serjauh mana tujuan-tujuan
pelajaran yang diinginkan telah dapat dicapai melalui kegiatan
belajar mengajar yang ditempuh.
c. Prinsip efisiensi
Efisiensi suatu usaha pada dasarnya merupakan perbandingan
antara hasil yang dicapai (input) dengan usaha yang telah
dikeluarkan (output). Dalam pengembangan kurikulum dan
pendidikan pada umumnya, prinsip efisiensi ini perlu sekali
diperhatikan, baik efisiensi dalam segi waktu, tenaga, maupun
peralatan yang tentunya akan menghasilkan efisiensi dalam segi
biaya.
d. Prinsip kesinambungan
Yang dimaksud dengan kesinambungan adalah adanya saling
hubungan atau jalin-menjalin antara berbagai tingkat dan jenis
program pendidikan.
e. Prisip fleksibelitas
Fleksibelitas yang dimaksud di sini ialah tidak kaku, ada
semacam ruang gerak yang memberikan ruang gerak yang
memberikan sedikit kebebasan di dalam bertindak.
M. Arifin mengemukakan bahwa prinsip yang harus diperhatikan
pada waktu penyusunan kurikulum mencakup 4 macam, yaitu sebagai
berikut.
a. Kurikulum pendidikan yang sejalan dengan idealitas Islami ialah
kurikulum yang mengandunng materi (ilmu-ilmu) pengetahuan
yang mampu berfungsi untuk hidup secara Islami.
b. Untuk berfungsi sebagai alat yang efektif mencapai tujuan
tersebut, kurikulum harus mengandung tata nilai Islami yang
instrinsik dan ekstrinsik mampu merealisasikan tujuan
pendidikan Islam.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 85


c. Kurikulum yang bercirikan Islami diproses melalui metode yang
sesuai dengan nilai yang terkandung di dalam tujuan pendidikan
Islam.
d. Antara kurikulum, metode, dan tujuan pendidikan Islam harus
berkaitan dan saling menjiwai dalam proses mencapai produk
yang dicita-citakan menurut ajaran Islam.
2. Kategori pengembangan kurikulum pendidikan Islam
Kategori jika diartikan secara bahasa adalah sebuah kelompok
atau sebuah kumpulan dari beberapa bagian yang saling melengkapi.
Jadi kategori dalam kurikulum adalah sebuah kumpulan dari beberapa
ilmu yang digunakan untuk membantu dalam pengembangan
kurikulum.
Menurut Imam Al-Ghazali bahwasanya beliau menyatakan ilmu-
ilmu pengetahuan yang harus dijadikan bahan kurikulum lembaga
pendidikan yaitu sebagai berikut.
a. Ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain yang wajib dipelajari oleh semua
orang Islam meliputi ilmu-ilmu agama, yakni ilmu yang
bersumber dari dalam kitab suci Al-Qur’an.
b. Ilmu-ilmu yang merupakan fardhu kifayah terdiri dari ilmu-ilmu
yang dapat dimanfaatkan untuk memudahkan urusan hidup
duniawi, seperti: ilmu hitung (matematika), ilmu kedokteran,
ilmu teknik, ilmu penilaian, ilmu perindustrian, dan sebagainya.
Dari kedua kategori ilmu tersebut, Al-Ghazali memerinci lagi
menjadi:
a. Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu agama seperti fiqih, hadis, dan
tafsir;
b. Ilmu bahasa, seperti: nahwu sharaf, makhraj, dan lafadz-
lafadznya yang membantu ilmu agama;
c. Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah terdiri dari berbagai ilmu yang
memudahkan urusan kehidupan duniawi, seperti: ilmu
kedokteran, matematika, teknologi (yang beraneka ragam
jenisnya), ilmu politik, dan lain-lain;
d. Ilmu kebudayaan, seperti: syair, sejarah, dan beberapa cabang
filsafat.

86 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


BAB VIII
EVALUASI PENDIDIKAN

I. Ayat
ََ َ َ َ َ َ َ
‫َيغ‬ ‫ق أ َ َ عل‬ ‫ل ا ق‬ ‫س أ‬ ‫امهَ ل‬ ‫س أ‬ ‫دَ آ ا َي ن أ‬
َ ‫ه‬ ََ َ‫ئآم‬ َ َ َ َ‫م‬
‫ب‬ َ‫ل م ن‬ ‫ل أ‬ َ ‫أَبن أ‬ َ‫ئآم‬
َ َ‫ئب‬
َ‫ه َ ك َ م‬ َ‫م‬ َ َ َ َ َ‫مه‬
‫أ‬ ‫ل‬ َ‫م ه‬ ‫م ه‬ َ‫م ه‬
َ‫ض ر‬
‫امَو نومَ َت‬
‫ك‬ ‫بتام‬ َ ‫امَ سلا اوت‬
َ َ ‫نودَ م‬ َ‫او‬
‫ت نك‬ ‫لأمَ لعأو‬
‫َت‬

Artinya:“Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda


ini. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu,
Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui
apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (Al-
Baqarah:33).

II. Kandungan Ayat


A. Pengertian Evaluasi Pendidikan
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris ‘evaluation’ yang berarti
tindakan atau proses untuk menemukan nilai sesuatu atau dapat diartikan
sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu yang
ada hubungannya dengan. Dalam bahasa Arab evaluasi dikenal dengan
istilah “imtihan” yang berarti ujian. Dan dikenal dengan
istilah khataman sebagai cara menilai hasil akhir dari proses pendidikan.76
Menurut Soegarda Poerbawakatja dalam “Ensiklopedi Pendidikan”
menguraikan pengertian pendidikan yang lebih luas, sebagai “semua
perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan,
pengalaman, kecakapan, serta keterampilannya (orang menamakan ini juga
“mengalihkan” kebudayaan) kepada generasi muda sebagai usaha
menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah
maupun rohaniah”. Dapat pula dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha
secara sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan pengaruh
76
Drs. H. Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997, hlm. 131

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 87


kedewasaan si anak yang selalu diartikan mampu memikul tanggung jawab
moril dari segala perbuatan.77

B. Kedudukan Evaluasi Pendidikan


Ajaran Islam menaruh perhatian yang besar terhadap evaluasi
pendidikan. Oleh karena itu, jika evaluasi dihubungkan dengan kegiatan
pendidikan memiliki kedudukan yang amat strategis, maka hasilnya dapat
digunakan sebagai input untuk melakukan perbaikan kegiatan dalam
bidang pendidikan.
Dalam berbagai firman Allah SWT memberitahukan kepada kita
bahwa pekerjaan evaluasi terhadap manusia didik adalah merupakan suatu
tugas penting dalam rangkaian proses pendidikan yang telah dilaksanakan
oleh pendidikan. Hal ini, misalnya dapat dipahami dari ayat yang berbunyi
sebagai berikut.

َ‫ءلاؤَ ـه ءام‬ َ َ َ ََ َ‫َ َ َ ه‬‫ه‬ َ‫دَ آمَ هَلعَ و س‬


‫ل اق ف‬ ‫لا لع‬ ‫م‬ ‫ك‬
َ َ َ‫َ ه ر م‬ َ‫َ ءام‬
‫سأ ن‬ ‫ةَ ك َئ و ئبَ ن أ‬ ‫ه‬ ‫ام‬
‫ا م عض‬ ‫لأ‬
َ‫ني‬ ‫ث‬
َ َ ‫َ ن‬ ‫لع لن ام‬ ‫ح‬
‫نا‬ َ
‫لا تن أك لَمَ ي‬
‫ك‬ ‫تم‬ ‫ك‬
‫لا‬ ‫بس‬ ‫قَدَ اصمَ َتنك لا قي‬
َ
َ َ ‫ه‬ َ َ َ
َ‫امَ يلَع‬ ‫َ لا‬
‫ن ه‬ ‫مَ ا‬ ‫او‬
َ‫ا‬ َ
َ‫ه‬
‫ل‬
‫ع‬
Artinya:“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu, jika kamu
memang benar orang-orang yang benar!”Mereka menjawab: “Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui, selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana” (Al-Baqarah:31-32).
Dia, yakni Allah mengajarkan Adam nama-nama seluruhnya, yakni
memberinya benda-benda dan mengajarkan fungsi benda-benda.
Setelah pengajaran Allah dicerna oleh Adam as sebagaimana
dipahami dari kata, kemudian Allah memaparkan benda-benda itu kepada
malaikat lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu,
jika kamu orang-orang yang benar dalam dugaan kau bahwa kalian lebih
wajar menjadi khalifah”.
Para malaikat yang ditanya itu secara tutur menjawab sambil
mensucikan Allah, tidak ada pengetahuan bagi kami selain apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha
77 Sugarda Poerbawakatja, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976, hlm.
214, Sebagaimana dikutip oleh Drs. Zuhairini, dkk., Op. Cit., hlm. 120

88 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Maksudnya bukan karena Engkau tidak
tahu, tetapi karena ada hikmah di antara itu.78
َ َ َ َ َ َ
‫يغ‬
َ ‫ع‬
‫َ َ ل‬ ‫مَ هَ َئآمَ س أ ا قمَ هَ َئآمَ س أ‬ ‫مَ د آ ا َي ل ا ق‬
َ ‫ه‬ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ
‫ب‬ َ‫م ن‬ ‫ل أل‬ ‫أَبن أ امهَ ل ل ق أم‬ ‫مهَ ئبَ ن أ‬
َ‫ك َ م‬ َ‫ه‬ َ َ
‫أ‬ ‫ل‬ ‫م ه‬
َ َ ‫ل‬
‫ع‬
‫رَلأاو تاوَ امَ سلا أو َ و نود بتام نومَ َتك تمَ َتنك‬
َ‫ام‬ َ‫ض‬
َ‫م‬

Artinya:”Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka


nama-nama benda ini. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka
nama-nama benda itu”, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan
kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi
dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan?” (Al-Baqarah:33).
Untuk membuktikan kemampuan khalifah kepada malaikat, Allah
berfirman: ”Hai Adam! beritahukanlah kepada mereka nama-namanya
yakni benda itu”. Perhatikanlah! Adam diperintahkan untuk
“memberitahukan” yakni menyampaikan kepada malaikat, bukan
“mengajar” mereka, pengajaran mengharuskan agar bahan pengajarannya
dimengerti oleh yang diajarnya, sehingga perlu mengulang-ulangi
pelajaran hingga benar-benar dimengerti, berbeda dengan penyampaian
atau berita yang tidak mengharuskan pengulangan dan berita harus
dimengerti.79
Dari ayat tersebut ada empat hal yang dapat diketahui. Pertama, Allah
SWT dalam ayat tersebut bertindak sebagai guru memberikan pengajaran
kepada Nabi Adam as. Kedua, para malaikat tidak memperoleh pengajaran
sebagaimana yang telah diterima Nabi Adam. Ketiga, Allah SWT
memerintah kepada Nabi Adam agar mendemonstrasikan ajaran yang
diterima di hadapan para malaikat. Keempat, materi evaluasi atau yang
diujikan haruslah yang pernah diajarkan.80
Selain Allah bertindak memberikan pengajaran kepada makhluk-Nya
atau hamba-Nya dan dapat pula memberikan pengawasan dengan melalui
perantara malaikat sebagai pencatat amal perbuatan manusia sebagaimana
yang terdapat pada ayat berikut ini.
‫ِتع‬ ِِ‫ل وِ قنم يل‬ ِ ِ
‫ر‬ ِ ‫ظ فِ لي ام‬
ِ ِ‫ِ ِ بيق‬
‫د ي‬
‫َّلإ‬
ِ‫ه‬
78
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an), Vol.3, Jakarta: Lentera Hati, 2000, hlm. 143-144
79 Ibid., hlm. 148
80 Drs. H. Abudin Nata, Op. Cit., hlm. 134-135

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 89


Artinya: “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada
di dekatnya malaikat pengawas Raqib dan ‘Atid” (QS.
Qaaf:18).

Tiada keluar satu kata pun dari mulut manusia kecuali padanya ada
seorang malaikat yang menyaksikan, meneliti perbuatan, mencatat apa saja
yang memuat pahala atau hukuman bagi manusia. Hikmah dari hal ini
ialah bahwa Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia untuk diazab,
melainkan untuk dididik dan dibimbing. Maka, setiap penderitaan yang
dialami oleh manusia adalah untuk meningkatkan jiwanya.81

C. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan


Tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan dibagi menjadi 2 macam,
yaitu sebagai berikut.
1. Tujuan umum
a. Untuk menghimpun bahan-bahan keterangan yang akan
dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau
kemajuan yang dialami oleh para peserta didik, setelah
mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu
tertentu.
b. Untuk mengetahui tingkat efektivitas dari metode-metode
pengajaran yang telah dipergunakan proses pembelajaran
dalam jangka waktu tertentu.
2. Tujuan khusus
a. Untuk merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh
program pendidikan.
b. Untuk mencari dan menemukan faktor-faktor penyebab
keberhasilan dan ketidakberhasilan dalam mengikuti
program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan
jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.82
Sebagaimana yang terdapat pada ajaran Islam, tujuan evaluasi dapat
dipahami berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an antara lain disebutkan sebagai
berikut.

81 Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi (26), Semarang: CV.


Toha Putra, 1989, hlm. 266-271
82 Prof. Drs. Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Grafindo Perkasa,
1996, hlm. 16-17

90 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


1. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap
berbagai macam problem kehidupan yang dialaminya.
Sebagaimana terdapat pada QS. Al-Baqarah:155.

َ َ َ‫و‬ ‫و‬
‫مَ سَ ف نلأاو‬ ‫ا نم‬ ‫ن‬ َ َ
‫لَاو‬ ‫ل‬ ‫َ َ َء من ا‬ َ
َ‫او‬ َ ‫ش فَ ع َ و‬َُ
َ ُ‫ب‬ ‫َ م‬ ‫ل َب لن‬
‫و صق‬ ‫هَ َ ك‬
‫نو‬
َ‫لأل‬
َ
‫بو نيرَ بَ اص‬ ‫مَ هلاو‬
‫تارَ ه‬
َ
َ‫ش‬ ‫لا‬

Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu


dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa,
dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-
orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah:155).
Maksudnya: iman tidak menjamin untuk mendapatkan rezeki
yang banyak, kekuasaan, dan tidak ada rasa takut, tetapi berjalan
sesuai ketentuan sunatullah yang berlaku untuk makhluknya.
Seseorang yang mempunyai kesempurnaan iman dan dirinya
mempunyai pengalaman digembleng dalam penderitaan, maka
adanya musibah justru akan membersihkan jiwanya.83
2. Untuk mengetahui sampai di mana atau sejauh mana hasil
pendidikan wahyu yang telah ditetapkan Rasulullah saw.
terhadap umatnya.

ََ َ َ َ َ
‫ك بََ بَ شَ َب م‬
‫ك‬ ‫نم م‬ ‫ت آس‬ ‫ومل ا ذ هَلَه‬
َ‫باه‬ َ َ‫اه‬ َ‫َ َ َ ه َ يت‬
‫آوَ أ‬ ‫نآنَ را ن‬ ‫َسَ س‬
َ
َ‫يت‬ ‫ا‬ ‫لأ‬
َ َ‫ه‬
‫لسَ َقب نولطَص‬
َ‫َتمَ كهَلع‬

Artinya:“(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada keluarganya:


“Sesungguhnya aku melihat api. Aku kelak akan membawa
kepadamu khabar daripadanya atau aku membawa kepadamu
suluh api supaya kamu dapat berdiang”” (QS. An-Naml:7).
Maksudnya: seseorang akan merasa gembira dengan melihat api
dari kejauhan ketika tersesat di malam gelap gulita, karena
berharap dengan api itu dia tidak akan kebingungan, merasa
aman di jalan, dan dapat memanfaatkannya untuk berdiang,

83 Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi (2), Semarang: CV.


Toha Putra, 1989, hlm. 38-39

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 91


karena itulah Musa kembali dari tempat api yang membawa
berita penting dan cahaya yang mulia.84
3. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-tingkat hidup
keislaman atau keimanan manusia, sehingga diketahui manusia
yang paling mulia di sisi Allah.

َ َ َ‫ام‬
‫ص ر هَ ل ا‬
‫ت ن ك َلذك‬ ‫د ا نو يهارَ َب‬ ‫ج‬ ‫أ امهَ لف‬
َ َ َ َ‫ه‬
‫ا يؤ‬ ‫د‬ َ‫َ َ َ دَقم‬ َ‫هَل َتو ب‬
‫ها ني‬ َ‫ي‬
‫ه‬ َ َ َ َ َ
‫ق‬ ‫ا ين أ‬ ‫ل َله‬
‫ا‬ َ
‫سل‬
َ َ
‫لاءَل‬ َ َ ‫َ لا يز‬
‫َ بذَ مَ يظع‬
‫فوي‬ ‫ح هَ ل اذهن‬
‫س‬ َ‫ن‬ َ
َ َ ََ
‫م‬ َ
َ‫لََ او‬ َ ‫ن‬
َ ‫ي‬ َ‫م‬
‫د‬
َ‫ح‬ َ ‫ب‬
ََ َ
‫ه ا ني‬
Artinya:“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim
membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran
keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,
sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang
nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang
besar”” (QS. Ash-Shaffat:103-107).
Maksudnya: kerelaan Nabi Ibrahim dengan menyembelih
anaknya demi keputusan Allah dengan tunduk dan patuh yang
nyata keikhlasannya, maka Allah pasti akan memberi balasan
bagi setiap orang yang berbuat baik sesuai yang patut dia terima
dan setimpal dengan yang dia peroleh.85
Allah menguji perbuatan manusia dengan
kata imtahana, seperti dapat dipahami pada ayat berikut (60:10).

َ
‫ا فت مَ لعأ لله‬ ‫ك‬َ‫ؤَمَ َ لام‬ ‫اوَنمَ آن‬
َ‫ه‬
‫ا اهَ ي أ ا َي‬
َ‫وَنحَتم‬ َ َ َ‫ه‬
َ‫جاه م تا نم‬ ‫ءاج اذ‬ َََ
‫ل‬
‫ي‬
َ‫ا نه‬ َ‫ار‬
‫هر‬ َ
َ‫ل ح نهلار‬ ‫نهَ ومَ َتمَ لَع وعَجَ رَ َتل‬
َ ‫ف نهَ نَ امَ يَإ‬
َ‫ه‬
‫اف كمَ هَ ل‬
َ‫ه‬ َ‫َف تاَنمَؤَ م َلالََ نه‬
َ‫ن‬ ‫إ‬
َ‫ن َ م‬ َ ََ
‫لاو اوق ف ن أ ام وحكن َت أ‬
َ َ‫ه‬
‫و لحيَ مَ هلاو‬
‫ك‬ ‫لن وَتآو‬
َ ََ َ
َ
‫اذ َإ نه‬
َ
‫ي لع حا نج‬ ‫نهَ مه‬
‫ََ َ‬ ‫َ‬ ‫َََ َ‬
‫َتق ف ن أ ام‬ ‫اوَ ك لامَ صعَ‬ ‫لاو او‬
‫ك‬ ‫وم ت يآت رَ و‬
‫ج‬
‫ََ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ومَ‬
‫او ل أساورَ فَ‬ ‫سم‬ ‫أ نهَ نه‬
‫ََ َ َ‬
‫او ل أس لي‬

‫ك مر ي ك‬
‫ح‬ ‫مَ كَن َبيَ مَ‬ ‫ك يح‬‫مَ‬ ‫ل ذ اوقَفَ ن َأ ام مَ‬
‫َ‬
‫مر يلَ عللهاو‬ ‫للها‬ ‫كح‬

‫‪84‬‬ ‫‪Ibid., (7), hlm. 208-209‬‬


‫‪85‬‬ ‫‪Ibid., (23), hlm. 117-118‬‬

‫‪92 | Al-Islam Studi Al-Qur’an‬‬


Maksud dari ayat di atas adalah:
Dalam ayat-ayat ini Allah menerangkan golongan orang kafir
yang ketiga, yaitu menyerahkan diri sesudah pada mulanya
menolak keras, itulah yang dimaksud oleh ayat tersebut. Orang
kafir ada tiga: 1) yang tetap kafir; 2) yang dapat diharapkan akan
insaf; 3) yang benar-benar insaf. Tuhan menjelaskan lafal baiat
yang diberikan oleh perempuan-perempuan yang beriman dan
mengulangi kembali larangan tentang orang yang murkai Allah
sebagai teman setia.86
Adapun fungsi evaluasi dalam pendidikan di antaranya
sebagai berikut.
a. Penilaian berfungsi selektif
Dengan cara mengadakan penilaian guru mempunyai cara
untuk mengadakan seleksi atau penilaian terhadap siswanya.
b. Penilaian berfungsi diagnostik
Dengan mengadakan penilaian, sebenarnya guru
mengadakan diagnostik kepada siswa tentang kebaikan dan
kelemahannya dengan diketahui sebab-sebab kelemahan ini
akan mudah dicari cara untuk mengatasinya.
4. Penilaian berfungsi sebagai penempatan.87

D. Prinsip-prinsip Evaluasi Pendidikan dalam Al-Qur’an


Evaluasi dapat terlaksana dengan baik, apabila pelaksanaannya
senantiasa berpegang pada tiga prinsip berikut ini.
1. Prinsip keseluruhan (al kamal: ‫ الكمال‬/ al tamam: ‫)اتلمم‬
Penilaian harus mengumpulkan data mengenai seluruh aspek
kepribadian. Meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
a. Aspek kognitif. Cara berpikir seseorang dalam setiap
perbuatan.
َ َ َ َ‫ه‬ َ‫َ َ َ ه‬
‫اذ إَو مَ هَ َي لع‬ ‫و للها رَ كذ بو ل‬ ‫ان‬ ‫لا ام ن‬ ‫م‬
‫َت‬ َ َ‫تَلج ه‬ َ َ
‫و نمَؤ‬
َ ََ
َ
‫ل‬‫ني‬
َ‫تَلي‬ َ‫م‬
‫اذ‬
َ‫ه‬ ‫ي و‬
‫وَ تي‬ ‫َهرب نوك‬ ‫ازهَ َتا َيآ‬
َ
َ ‫انام‬
َ
َ‫مَ هَ تدَ َ َ ه‬
َ‫لع م‬

86 T. M. Hasbi Assiddieqi, Tafsir An-Nur, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000,
hlm. 4194
87 Drs. H. Abudin Nata, M.A., Op. Cit., hlm. 138-139

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 93


Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah
mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka
dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman
mereka (karenanya) dan hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal.”88
b. Aspek afektif. Cara bersikap seseorang dalam perbuatan.

َ‫ه‬
َ َ َ
‫َلَاص وت ا اوَ َُ وت اوَصبََ ص‬ ‫آن عَو‬ ‫ََ الا‬َ
‫ل‬
‫ي‬
‫تا اوَ ص ه اوَ لا َب‬ َ َ‫َنم‬
‫ق‬ َ‫او لم‬
‫او‬
‫لا‬
ُ‫َل‬
Artinya:“Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasihat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya
menetapi kesabaran” (QS. Al-‘Ashr:3).89
c. Aspek psikomotorik
َ ‫ت‬ ‫نع‬ ‫َََ م‬
‫فت‬ ‫نأ‬ ‫بَ ك‬
َ َ َ‫اتقَ اد‬
َ‫لا نولع‬ ‫لله او لوق‬
‫ام‬ َ

Artinya: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu


mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”90
2. Prinsip kesinambungan (istimrar: ‫)استمرار‬
Penilaian diusahakan secara kesinambungan (kontinuitas) atau
terus menerus.

ََ‫ك ل‬ َ َ‫لرمَ و‬ ََ َ
‫ق وَ لم علَ نكَم‬
ََ َ
‫لع تنم نو‬ ‫ه‬ ‫ا يل‬
َ‫تنوم‬ َ َ ‫َ م‬
‫عَ ف ف‬ ‫ن‬ ‫ا مَ ع او‬
‫س‬ ‫تَ ك‬
َ ‫ه‬ َ َ
‫ا ة بقَعَ رَ ن نومَ َلاظ َ لاحَ لَف يلا‬
‫دَ ه‬
َ ‫ال‬
‫ه‬
Artinya: “Katakanlah: “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh
kemampuanmu, sesungguhnya Aku pun berbuat (pula). Kelak
kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan
memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-
orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan.””
(QS. Al-An’am:135).91
88 Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Jakarta: Gema Insani Press,
1999, hlm. 485
89 Imam Jalaluddin Al-Mahally As-Syuyuti, Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru, 1990,
hlm. 278
90 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Op. Cit., hlm. 131
91 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Op. Cit., hlm. 291

94 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


3. Prinsip objektivitas (maudluiyyah: ‫)موضوعية‬
Penilaian diusahakan subjektivitas atau jujur mengatakan sesuatu
sesuai dengan apa adanya.
َ َُ َُ َ
َُ َ‫ه‬
‫ََا اهيأ اي‬
‫ل‬
‫دَ اصلا عم اونوكو للها اوقتا اونمآ ني‬
ََ ‫ي ق‬

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada


Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
(QS. At-Taubah:119).92

E. Prosedur atau Teknik Evaluasi Pendidikan


Teknik evaluasi dalam pendidikan dapat dibagi beberapa langkah di
antaranya sebagai berikut.
1. Perencanaan
Dapat dilakukan dengan merumuskan tujuan evaluasi dalam
suatu program belajar mengajar didasarkan atas tujuan yang
hendak dicapai.
2. Pengumpulan data
Dengan cara menetapkan aspek-aspek yang harus dinilai, artinya
untuk memperoleh bahan informasi yang cukup tentang anak
didik dengan diadakan evaluasi yang dapat ditempuh dengan
langkah yaitu: pelaksanaan evaluasi, pemeriksaan hasil-hasil
evaluasi, dan pemberian kode atau skor.
3. Verifikasi data
Dengan menentukan metode evaluasi yang akan digunakan aspek
yang akan dinilai. Misalnya untuk menilai sikap dipergunakan
checklist.
4. Analisis data
Dengan cara memilih atau menyusun alat-alat evaluasi yang akan
dipergunakan berupa tes maupun bukan tes (non tes).
5. Penafsiran data
Dengan menentukan kriteria yang dipergunakan untuk
menentukan frekuensi evaluasi dengan menyusun bahan
pelajaran.

92 Drs. H. Abudin Nata, MA., Op. Cit., hlm. 141

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 95


BAB IX
RASULULLAH GURU TELADAN

I. Ayat

Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan untuk


(menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Q.S. Al-Anbiya’ [21]:107).

II. Kandungan Ayat


A. Kepribadian Nabi Muhammad saw.
Nabi Muhammad saw. dalam melaksanakan tugasnya selaku utusan
Allah dan sebagai pimpinan bangsa, beliau tidak hanya berada di depan
untuk memberikan contoh, namun juga di tengah untuk memberikan
semangat dan dari belakang untuk memberikan dorongan.
Di antara akhlak Nabi adalah berani, pemurah, adil, iffah, benar,
amanah, sabar, lapang hati, pemaaf, kasih sayang, mengutamakan
perdamaian, zuhud, malu, rendah hati, musyawarah, lemah lembut, jujur,
tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun, tidak
mudah mabuk pujian, kebaikan pergaulan, dan cinta bekerja. Dan Beliau
selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan
tidak pernah berputus asa dalam berusaha. Salah satu karakter Rasulullah
yang paling menonjol adalah kemenangan atau keberhasilan tidak
menjadikan Beliau bangga. Tentu, semua akhlak Rasulullah tersebut
menjadi tauladan bagi kehidupan kita.

B. Metode Pendidikan dan Pengajaran Nabi Muhammad saw.


dalam Proses Belajar Mengajar
Dalam pindidikan dan pengajaran Nabi Muhammad saw. metode-
metode yang diterapkan beliau pada proses belajar-mengajar. Berikut
adalah beberapa metode yang merupakan rangkuman dari berbagai macam
metode pendidikan dan pembelajaran yang diterapkan oleh Nabi
Muhammad saw. dalam proses belajar-mengajar.

96 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


1. Metode keteladanan
Kualitas para pendidik Islam setidaknya memiliki empat
kriteria sebagai seorang pendidik, di antaranya (menurut Harun,
salah satu tokoh pendidikan Islam Indonesia) sebagai berikut.
a. Sanggup memberi contoh keteladanan yang baik.
b. Menguasai ilmu-ilmu pengetahuan.
c. Menguasai pengetahuan tentang agama.
d. Menguasai pengetahuan umum.
Melirik pada kata-kata berikut, “Nabi Muhammad saw.
sebagai seorang pribadi adalah contoh terbaik bagaimana Al-
Qur’an berjalan, bagaimana Al-Qur’an hidup dan dihidupkan
dalam kehidupan keseharian” diharapkan seorang pendidik dan
pengajar mencontoh dari pribadi agung, Nabi Muhammad saw.
yang merupakan cerminan akhlak dari Al-Qur’an yang mulia.
Sehingga setiap peserta didik memiliki sosok teladan yang baik
dan pantas untuk ditiru, yaitu gurunya sendiri yang akan lebih
terkesan (menyentuh jiwa) pada jiwa peserta didik.
Perlu untuk ditekankan bahwa belajar dan mengajar dalam
kaca mata Rasulullah adalah mengubah perilaku dan mendidik
jiwa dan kepribadian manusia. Sehingga peserta didik memilki
tingkat kecerdasan emosi yang tinggi. Bahwasanya Nabi
Muhammad saw. mengecam pada seseorang yang memberikan
atau memberitakan sesuatau yang tidak benar, yang tidak secara
pasti ia ketahui tentang kebenarannya. Oleh karena pentingnya
faktor ini, maka diharapkan bahkan diharuskan setiap guru untuk
mempelajari (belajar) ilmu-ilmu pengetahuan yang kelak akan
ditransfer (diajarkan) kepada peserta didik. Sehingga terciptalah
generasi yang berilmu yang akan tetap mewariskan dan terus
mengembangkan ilmu pengetahuan pada setiap generasi.
Sehingga terbentuk generasi yang memiliki tingkat kecerdasan
rasio yang tinggi.
Pada zaman sekarang dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi sangat cepat dalam pencarian dan penyebaran
informasi, sehingga sebuah informasi itu dapat diakses oleh
siapaun dengan cepat dan mudah. Oleh sebab itu, maka seorang
guru harus senantiasa menambah wawasannya dengan senantiasa
menguasai dan menambah wawasan tentang ilmu pengetahuan
dan teknologi.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 97


Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode
pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya. Segala yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam kehidupannya
merupakan cerminan kandungan Al-Quran secara utuh,
sebagaimana firman Allah swt. Berikut.
2. Metode pentahapan dan pengulangan
Dalam menyampaikan ilmu-ilmu pengetahuan kepada
peserta didik, Nabi Muhammad saw. tidak serta-merta langsung
memberikan semua bahan materi yang ada. Namun, beliau
memberikan (menstransfer) ilmu tersebut melalui sistem
pentahapan. Sehingga peserta didik tidak mengalami kesulitan
dalam memahami ilmu yang diberikan. Melalui metode
pentahapan ini, peserta didik lebih dapat memahami materi yang
disampaikan secara maksimal daripada langsung tanpa sebuah
pentahapan. Beliau menyampaikan secara bertahap (sedikit demi
sedikit) hingga semua materi yang beliau ajarkan dapat diterima
dan dipahami dengan mudah dan lebih kuat dalam ingatan
peserta didik.
Rasulullah sangat memperhatikan urut-urutan pentahapan
dalam penyampaian bahan materi. Pada materi dasar, beliau
ajarkan pada penyampaian pada tahap awal. Setelah
tersampaikan, beliau menyampaikan materi yang berikutnya
yang sesuai dengan urutan-urutan materi yang akan diberikan
oleh beliau. Bila peserta didik belum paham akan sebuah materi,
maka Rasulullah tidak melanjutkan ke materi berikutnya sebelum
materi itu sudah peserta kuasai.
Agar materi-materi yang telah diberikan tidak cepat hilang
dari ingatan para peserta didik, Nabi Muhammad saw. sering kali
mengulang-ulang materi-materi yang sudah beliau sampaikan.
Hal tersebut sangat berguna untuk membantu agar tetap dapat
mengingat dan mengulang kembali apa-apa yang telah diberikan.
Karena pentingnya materi-materi yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad saw. tersebut, maka beliau sering mengulang-ulang
materi yang telah disampaikan agar peserta didik beliau tidak
lupa dan senantiasa dapat memahami materi-materi yang
diberikan oleh beliau.
Proses pengulangan juga dipengaruhi oleh taraf
perkembangan seseorang. Kemampuan melukiskan tingkah laku

98 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


dan kecakapan membuat model menjadi kode verbal atau kode
visual mempermudah pengulangan. Metode pengulangan
dilakukan Rasulullah saw., ketika menjelaskan sesuatu yang
penting untuk diingat para sahabat.
Beberapa metode pendidikan yang dikemukakan dalam
makalah ini (masih banyak yang belum), terdiri dari metode
keteladanan, metode lemah lembut atau kasih sayang, metode
deduktif, metode perumpamaan, metode kiasan, metode memberi
kemudahan, metode perbandingan, metode tanya jawab, metode
pengulangan, metode demonstrasi, metode eksperimen, metode
pemecahan masalah, metode diskusi, metode pujian atau
memberi kegembiraan, metode pemberian hukuman dapat
dilaksanakan pendidik dalam penanaman nilai-nilai pada ranah
afektif dan pengembangan pola pikir pada ranah kognitif, serta
latihan berperilaku terpuji pada ranah psikomotorik.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 99


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid Al-Bilaly. 1405. Al-Mukhtashar Al-Mashun min Kitab Al-


Tafsir wa Al-Mufashirun. Kuwait: Daar al-Dakwah.
Adz-Dzahabi. At-Tafsir wa Al-Mufassirun 1/13, Manna’ Al-
Qattan, Mabaahits fi Ulumi Al-Qur’an, hal:323.
Al-Attas. SMA. 1994. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan.
Al-Bughury, A.N.A.. 2009. Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Quran,
(online). Http://alauddinalbughury.wordpress.com/2009/11/25/3/,
diakses pada tanggal 30 Maret 2014, pukul 15.00.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Al-Shahih Al-Bukhari. Beirut: Dar Al-
Fikr. Tt.
Bigge, Morris L. 1982. Learning Theories for Teacher, New York: Harper
& Row.
Blom, Benjamin S, et. al. 1974. Taxonomy of Education Obyektive The
Classification of Education Goal. New York: David McKey.
Cirebon: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati.
Departemen Agama. 1990. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Depag RI.
Dery Jamaluddin. 2010. Peserta Didik dalam Pendidikan Agama Islam.
(Online).
Ilahi, MT. 2012. Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Imam Barnadib. 1988. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode.
Yogyakarta.
M. Arifin. 1991. Filsafat Pendiddikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Muhifud. 2011. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam. (Online).
Munawar Ahmad Anees. 1991. “Menghidupkan Kembali Ilmu” dalam
AL-HIKMAH. Jurnal Studi-Studi Islam. (online). Http://jurnal
studi-studi Islam.com, diakses 4 April 2014 pukul 20.00.

100 | Al-Islam Studi Al-Qur’an


Pujowijatno. 1963. Pembimbing ke Arah Filsafat. Jakarta: PT.
Pembangunan.
Ramayulis. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Rasyidin, K. 1997. Profesional Keguruan Metodologi Pendidikan Agama
Islam.
Salim Bahreisy. 1978. Terjemah Riyadh al-Shalihin. Bandung: Al-Maarif.
Sumadi Suryabrata. 1983. Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Andi Ofset.
Http://prolink2all.blogspot.com/2011/07/peserta-didik-dalam-pendidikan-
islam.html [14-03-24].
Http://Deryjamaluddin-Peserta-didik-dalam-Pendidikan-Agama-
Islam.htm[14-03-29].
Http://makalahmajannaii.blogsot.com/2013/03/prinsip-prinsip-pendidikan-
islam.html.

Al-Islam Studi Al-Qur’an | 101

Anda mungkin juga menyukai