Anda di halaman 1dari 117

SEBUAH

PENGANTAR

RETORIKA

SUSANDI

SUSANDI,
M.Pd.
KATA PENGANTAR

Dalam kehidupan sehari-hari, peranan berbicara sangat penting.


melalui kegiatan berbicara, seseorang akan mampu mempengaruhi orang
lain, mengubah suasana, meyakinkan, menghibur, dan sebagainya. Dengan
menyadari hal tersebut, perlu kecermatan berbicara untuk mencapai
maksud pembicara. Kegiatan ini dapat berwujud ceramah, diskusi, pidato
dan lain-lain.
Buku ini berisi pembahasan tentang retorika (berpidato). Buku
ini dimaksudkan untuk membantu para siswa, mahasiswa, dan guru
dalam meningkatkan kemampuan dalam berbicara, khususnya berpidato.
Walaupun buku ini dirujuk dari berbagai sumber, tetapi buku ini
juga masih butuh penyempurnaan. Untuk itu, penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran yang positif dari berbagai pihak.
Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca. Atas bantuan rekan-
rekan hingga penyelesaian buku ini, saya ucapkan terima kasih.

Malang, Desember 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I SEJARAH RETORIKA .................................................................. 1

BAB II DASAR-DASAR RETORIKA ..................................................... 21


1. Pengertian Retorika............................................................. 21
2. Penyimpangan Pemakaian Retorika ............................ 31
3. Ciri Penanda Retorika sebagai Ilmu ............................. 35
4. Bidang Cakupan Retorika ................................................. 35
5. Beberapa Dimensi Ideologi Retorika ............................ 44
6. Latar Belakang yang Berbeda .......................................... 45
7. Pentingnya Retorika.............................................................. 47

BAB III BERBAHASA DAN BERPIDATO ............................................ 48


1. Keterampilan Berbahasa dan Berpidato .................... 48
2. Pengertian Pidato ................................................................. 50
3. Tujuan Pidato ......................................................................... 51
4. Metode Pidato ........................................................................ 54

BAB IV PERSIAPAN PIDATO .................................................................. 58


1. Menentukan Topik dan Tujuan ...................................... 58
2. Menganalisis Situasi dan Pendengar............................ 63
3. Memilih dan Menyempitkan topik ................................ 65
4. Mengumpulkan Bahan........................................................ 65

ii
5. Membuat Kerangka Uraian............................................... 65
6. Menguraikan Secara Mendetail ...................................... 66
7. Melatih Suara Nyaring ........................................................ 67

BAB V PELAKSANAAN PIDATO........................................................... 72


1. Struktur Pidato ...................................................................... 72
2. Tatakrama Pidato ................................................................. 76
3. Posisi Berpidato .................................................................... 77
4. Faktor Penunjang Keefektifan Berpidato................... 77

BAB VI UNSUR TEKNIK PIDATO .......................................................... 79


1. Berani Tampil di depan Umum ....................................... 79
2. Bisa Berkonsentrasi ............................................................. 79
3. Pandai Mengolah Intonasi................................................ 80
4. Bisa Merangkai Kata yang Menarik............................... 80
5. Pandai Menghidupkan Suasana ...................................... 81
6. Mengenal Penampilan/Busana ....................................... 82
7. Catatan/Konsep ..................................................................... 83
8. Pidato dengan atau tanpa Teks ....................................... 83
9. Pidato sebagai Informasi ................................................... 84
10. Pidato sebagai Penerangan............................................... 84
11. Pidato sebagai Komando.................................................... 85
12. Pidato sebagai Ungkapan Perasaan .............................. 86
13. Latihan Nafas agar Tidak Gugup..................................... 86
14. Kontak Pandang ..................................................................... 87

iii
BAB VII DAYA TARIK PIDATO ................................................................ 89
1. Menyulap Pidato ................................................................... 89
2. Suara dalam Pidot .............................................................. 93
3. Humor dalam Pidato ........................................................... 96
4. Kinesik dalam Pidato .......................................................... 97
5. Hal Lain yang Perlu Diperhatikan ................................. 101

BAB VIII TATAKRAMA BERPIDATO ..................................................... 104

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 110

BIOGRAFI PENULIS ......................................................................................... 112

iv
1 SEJARAH RETORIKA

1.1 Pengantar
Retorika sebagai disiplin ilmu telah berkembang kurang lebih dua
ribu tahun. Di dalam waktu yang demikian itu, retorika berkembang. Pada
saat tertentu, retorika berkembang pesat dengan munculnya tokoh-tokoh
retorika yang berpikiran cemerlang dan menghasilkan karya-karya besar
di bidang retorika. Pada saat lain, retorika dipandang sebagai ilmu yang
tidak bermanfaat bahkan diragukan kebenarannya. Oleh karena itu,
retorika mengalami kesuraman yaitu tidak ada perkembangan yang
berarti. Pada saat lain lagi, retorika dibangkitkan lagi dengan adanya
pemikiran-pemikiran baru. Hal ini sebenarnya merupakan hal biasa di
dalam setiap disiplin ilmu.
Jika kita ingin memahami dengan baik tentang retorika, maka kita
harus mengetahui, memahami dan menguasai secara baik sejarah dan
perkembangan retorika. Sebelum hal ini diuarikan secara rinci, pembagian
sejarah retorika dibahas berdasarkan ketentuan para ahli retorika.
Di dalam retorika: Teori dan Praktik. Lathief Rousdy membagi
sejarah retorika itu menjadi 4 tahap, yaitu: (1) zaman Yunani; (2) zaman
Romawi; (3) abad Pertengahan; dan (4) sesudah Perang Dunia I (1978: 8 -
20).

[1]
Di dalam Diksi dan Gaya Bahasa, Gorys Keraf membagi sejarah
retorika menjadi 5, yaitu: (1) zaman Yunani; (2) zaman Romawi; (3) abad
Pertengahan; (4) zaman Pertengahan; dan (5) retorika Modern (1981: 2 -
17).
Di dalam Retorika dalam Menulis, M. Syafi’i membagi sejarah
retorika menjadi 5, yaitu: (1) retorika klasik; (2) retorika menjelang Abad
Pertengahan; (3) retorika Abad Pertengahan; (4) retorika Masa Transisi;
dan (5) retorika Modern (1988: 7 - 26).
Di dalam Retorik: Kiat Berhitung, Oka dan Basuki membagi
sejarah retorika 2 secara garis besar, yaitu retorika klasik dan retorika
baru. Sejarah retorika klasik dibagi oleh mereka atas 3, yaitu (1) retorika
zaman Yunani; (2) retorika zaman Romawi; (3) retorika sampai abad XIX.
Sejarah retorika baru dibagi mereka atas 4, yaitu (1) retorika I. A. Richards;
(2) retorika Kennertt Burke; (3) retorika General Semantik; dan (4)
retorika Tagmemik (1990: 72 - 150).
Di dalam Retorika Terampil Berpidato, Berdiskusi,
berargumentasi, dan bernegosiasi, Dori Wuwur Hendrikus membagi
sejarah retorika itu atas 5, yaitu: (1) retorika zaman Yunani Kuno; (2)
retorika zaman Romawi Kuno; (3) retorika abad Pertengahan; (4) retorika
Renesans dan Humanisme; dan (5) retorika zaman Modern (1994: 1 - 15).
Jika kita perhatikan secara seksama pembagian sejarah retorika
berdasarkan keenam sumber di bagian terdahulu, maka tampak
kesamaan. Oleh karena itu, sejarah retorika secara garis besar dibagi atas
dua bagian, yaitu: (1) Sejarah retorika Klasik; dan (2) sejarah retorika
Modern. Sejarah retorika klasik dibagi 4, yaitu (1) retorika bangsa Yunani
Kuno; (2) retorika Romawi kuno; (3) retorika Abad Pertengahan; (4)

[2]
retorika zaman Renesans dan Humanisme. Sejarah retorika modern dibagi
empat, yaitu: (1) retorika I. A. Ricards; (2) retorika Kenneth Burke; (3)
retorika General Semantik; dan (4) Retorika Tagmemik.

A. Sejarah Retorika Klasik (Retorika Zaman Yunani Kuno)


Bangsa Yunani adalah bangsa tertua yang memperhatikan
retorika. Kata dan istilah retorika berasal dari bahasa Yunani, yaitu
rhetorike yang bermakna seni berpidato. Mengacu kepada pendapat
Edward Sapir bahwa suatu kata mewadahi konsep budaya dari bangsa
yang dimilikinya, maka kata retorika yang bermakna seni berpidato dan
hal yang berkaitan dengannnya terdapat di dalam sistem kebudayaan
Yunani. Dengan demikian, bangsa Yunani telah memiliki konsep tentang
retorika beserta dengan nilai-nilainya di dalam sistem kebudayaannya
(Oka dan Basuki, 1990: 73).
Retorika mula-mula tumbuh dan berkembang di Yunani pada
abad V dan VI sebelum Masehi. Bukti-bukti retorika itu berkembang di
Yunani dapat dilihat di dalam buku Illiad dan Oessey karya pujangga besar
bangsa Yunani yaitu Homerous (900 – 800 SM). Ia menceritakan bahwa
dua orang yang bernama Nestor dan Achilles dengan kepiawaiannya
berpidato telah berhasil baik membakar semangat prajurit untuk maju ke
medan perang, membela kasus di depan umum dan membeberkan
kebesaran bangsa Yunani. Homerus mengungkapkan bahwa keberhasilan
adalah bukti dari suatu tindakan. Keberhasilan ditentukan oleh berbagai
faktor antara lain bakat, pengetahuan, latihan, kondisi pembicara, situasi
politik yang sedang berlangsung, dan motif. Khususnya di dalam berpidato
Nestor dan Achilles, berhasil berkat proses belajar dan latihan.

[3]
Bukti lainnya bahwa bangsa Yunani memberikan perhatian dan
penilaian yang tinggi terhadap kebudayaan retorika khususnya berpidato
dapat dilihat dari catatan Thucydides seorang sejarahwan Yunani. Ia
menceritakan bahwa bangsa Yunani telah mempunyai dua orang orator
kebanggaan, yaitu Demosthenes dan Pericles.
Berdasarkan keterangan di atas, maka pakar retorika Yunani
Klasik berkesimpulan bahwa pidato dan keahlian berpidato merupakan
bagian kehidupan yang sangat dihargai oleh bangsa Yunani. Hal ini secara
jelas dikemukakan oleh Evverett Lee Hunt guru besar “Publik Speaking”
bahwa seni berpidato atau retorika pada abad V sebelum Masehi di Yunani
dianggap sebagai sarana untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi
dan membuka jalan hidup lebih baik. Oleh karena itu, salah satu penyebab
menjamurnya sekolah-sekolah retorika dan guru retorika di Yunani.

1. Retorika Attic
Retorika sebagai ilmu pertama-tama dibina di Syracusa, ibukota
Sycilia sekitar 567 sebelum masehi (Oka dan Basuki, 1990:75). Latar
belakang pembinaan ini sejalan dengan gerakan rakyat Sycilia yang
menentang pemerintahannya yang tiranis dan menuntut suatu sistem
pemerintahan yang demokratis. Oleh karena itu, pemimpin menempuh
jalan lain agar tidak terjadi pertumpahan darah, yaitu (1) mempopulerkan
gagasan sistem pemerintahan yang demokratis di tengah masyarakat
untuk memperoleh dukungan; (2) mengirim utusan kepada penguasa
untuk menyampaikan tuntutatn hati nurani rakyat. Di dalam kedua
kegiatan itu, kecakapan berpidato dan menampilkan gagasan dibutuhkan,

[4]
maka perkembangan suatu ilmu yang membuat orang mampu berpidato
yang dinamakan retorika.
Corax, tokoh yang sangat menonjol ketika itu. Ia selain retor atau
orator, juga retorisi atau pakar retorika. Ia menerbitkan buku “Tehne”
sebagai buku teori retorika pertama.
Tokoh lainnya yang sangat menonjol adalah Tissias murid Corax.
Ia mengembangkan gagasan Corax. Ia memusatkan perhatian kepada dua
aspek retorika, yaitu argumen dan kemungkinannya.
Retorika yang versi Corax dan Tissias populer di kota Atena.
Mereka berdua memberikan pelajaran retorika kepada orang-orang yang
berkeinginan mendapat posisi tertentu di pemerintahan. Murid mereka
antara lain Gorgias, Lysias dan Isocrates. Mereka bertiga mengembangkan
corak retorika yang dikenal sebagai retorika sofis.
Secara umum dapat dikatakan bahwa terangkatnya retorika
menjadi suatu objek yang perlu dipelajari untuk mendapatkan
kemmapuan menyuguhkan suatu gagasan adalah berkat kedua retor dan
retorisi Corax dan Tissias. Retorika mereka disebut sebagai retorika Attic.

2. Retorika Sofis
Akhir abad V sebelum Masehi, muncul kelompok filosof yang
dikenal sebagai kaum Sofis. Tokoh pionernya adalah Gorgias. Ia
mengemukakan bahwa pidato dan kecakapan berpidato merupakan faktor
yang menentukan di panggung politik.
Gorgias juga mengungkapkan bahwa ada dua aspek retorika yaitu:
(1) aspek bahasa dan (2) aspek yang menyangkut penataan pidato dan
penampilannya. Berkait dengan aspek ini, ia menganjurkan agar seorang

[5]
pembicara memilih bentuk-bentuk kata yang mempunyai kesamaan bunyi.
Bentuk-bentuk kata yang demikian setelah diurutkan letaknya di dalam
kalimat akan merangsang perhatian pendengarnya. Ia juga
mengemukakan bahwa seorang pembicara agar memanipulasi emosi
pendengarnya dengan memanfaatkan gaya bahasa repetisi, paralelisme
dan anteisme.
Berkaitan dengan aspek kedua, yaitu penataan dan penampilan
retorika, Gorgias berpendapat bahwa pembicara dianjurkan untuk
memilih kemungkinan yang sebanyaknya. Kemungkinan-kemungkinan ini
dapat digunakan untuk menopang gagasan. Pembicara juga diharapkan
memanfaatkan materi bahasa yang cocok dan menampilkannya secara
persuasif.
Jika diperhatikan pandangan Gorgias itu, maka tampak perbedaan
pandangan dengan retorika terdahulu. Retorika Attic lebih
memperhatikan masalah persuasi kebenaran yang sudah diyakini dengan
pemakaian bahasa dan penampilan yang sederhana serta membatasi
kemungkinan-kemungkinan. Pandangan retorika Gorgias justru
kemungkinan-kemungkinan dan peranan bahasa dan teknik penampilan
merupakan hal yang mendasar.
Tokoh lainnya yang termasuk kaum retorika adalah Lysias. Ia
mendapat pendidikan retorika dari Tissias ketika bermukim di Italia
Selatan. Latar Belakang Lysias mempelajari retorika lebih sungguh-
sungguh adalah tragedi meninggal saudaranya oleh lawan politiknya.
Lyssias juga sangat memperhatikan aspek gaya bahasa. Ia
dipengaruhi oleh Gorgias, khususnya memanfaatkan kemungkinan-
kemungkinan dan memanipulasi emosi pendengar. Salah satu sumbangan

[6]
pemikirnya adalah ajarannya tentang cara menata antenseden dari
persoalan yang akan diampilkannya. Secara teknis yang dikembangkan
Lysias adalah aspek narasi atau narratio.
Tokoh lainnya adalah Protagoras. Ia penegak retorika Sofis.
Keahliannya di dalam mengajar dan melatih berpidato membuat ia cukup
dikenal. Teknik yang ditempuhnya adalah teknik debat. Oleh karena itu ia
selalu menganjurkan kepada murid-muridnya agar memiliki kecerdikan
karena hal itu merupakan alat utama untuk memenangkan suatu kasus.
Kebenaran sering dikaburkan oleh kecerdikan berdebat. Ia sering disebut
pendidik debat.
Tokoh lainnya ada Isocrates. Ia mendapat pendidikan retorika
dari retorisi seperti Protagoras, Prodicus dan Gorgias. Di dalam bidang
retorika, ia lebih banyak berkecimpung di dalam bidang pengajaran. Ia
telah mendirikan sebuh sekolah retorika. Rumahnya dijadikan tempat
mendidik murid-muridnya.
Ia seorang Iogografer, yaitu orang yang berkeahlian menulis
paskah pidato banyak memberikan latihan mengarang pidato. Ia
berkeyakinan bahwa dengan pengarahan berupa latihan mengarang
terpimpin seorang murid yang berbakat akan cepat menjadi seorang ahli
pidato yang baik.
Walaupun Isocrates termasuk kaum Sofis, ia berbeda pandangan
dengan pendahulunya. Gorgias, Protagoras, dan Lysias melihat retorika
sebagai alat politik dan mendudukkan kemenangan sebagai tujuan akhir.
Sebaliknya, Isocrates justru memandang kebenaranlah yang
harus dimenangkan. Persyaratannya adalah pembicara harus bekecapan

[7]
membeberkan secara sistematis dan dengan bahasa yang menarik. Oleh
karena itu ia diberi gelar sebagai tokoh moralitas kaum Sofis.

3. Retorika Plato
Plato belajar filsafat dan ilmu pengetahuan lebih kurang sepuluh
tahun dari Sokrates tokoh yang lebih dikenal sebagai Bapak Filsafat
Yunani. Ia sangat banyak dipengaruhi oleh gurunya untuk
mengembangkan filsafatnya. Ia dilahirkan pada 428 Sebelum Masehi di
Atena. Di samping filsafat, ia juga mengembangkan retorika yang
dipengaruhi oelh Socrates.
Pada 338 Sebelum Masehi, Plato mendirikan sebuah perguruan
tinggi yang diberi nama Akademi. Perguruan tinggi yang pertama di dunia
ini dipakai Plato untuk mengembangkan gagasan-gagasan ilmu
pengetahuan dan filsafat serta menulis buku-buku.
Ditinjau dari segi pendidikan retorika, Akademi Plato sangat besar
pengaruhnya di dalam mengimbangi sekolah-sekolah retorika. Akademi
Plato ini dianggap sebagai saingan berat dari sekolah retorika yang
didirikan oleh Isocrates.
Plato dipengaruhi Socrates di dalam bidang retorika. Pokok-
pokok pikiran retorika Socrates dimuatnya di dalam bukunya “Dialog”. Di
dalam buku itu antara lain Socrates mengemukakan bahwa retorika
kurang baik untuk masyarakat umum. Alasannya adalah retorika tidak
berlandaskan prinsip-prinsip kebenaran yang universal, melainkan hanya
bertolak dari prinsip-prinsip situasional dan temporal. Sokrates
mengungkapkan bahwa yang lebih penting adalah meneruskan kebenaran
sebagaimana adanya dan menghindari kesalahan-kesalahan yang sama

[8]
yang pernah terjadi sebelumnya. Socrates sebenarnya tidak sedemikian
simpatik terhadap retorika. Penyebabnya adalah kondisi dan retorisi
ketika itu sebgagian besar menyalahgunakan retorika. Dengan demikian,
Plato sesungguhnya mengembangkan studi retorika Socrates, yaitu
menjunjung kebenaran sebagai inti masalah retorika. Perbedaan yang ada
antara retorika Sofis dan retorika Plato Socrates dapat dilihat secara nyata.
Retorika Sofis lebih kecerdikan bersilat lidah demi mendapat kemenangan
sedangkan retorika Plato Socrates lebih memperhatikan usaha
menampilkan kebenaran secara rasional dan ilmiah filosofis.

4. Retorika Aristoteles
Pembicaraan tentang retorika klasik Yunani dan studi retorika
pada umumnya, kita memang tidak bisa melupakan peranan Aristoteles. Ia
adalah sarjana pertama yang menampilkan uraian sistematika dan ilmiah
tentang retorika. Oleh karena itu, retorika menjdi sebuah disiplin ilmu
yang sejajar kedudukannya Logika dan Gramatika.
Aristoteles lahir pada 384 Sebelum Masehi di Stagira Yunani. Ia
mengikuti pendidikan tinggi Akademik milik Plato. Ia murid sekaligus
kolega Plato kurang lebih dua puluh tahun lamanya. Walaupun pengaruh
Plato demikian besar terhadapnya, bukan berarti seluruh pandangan
gurunya itu diterima secara utuh. Tidak sedikit pandangannya
bertentangan dengan Plato atau menolaknya.
Aristoteles tidak menyepakati teori idealisme Plato. Ia
menggantikannya dengan pendekatan matematis. Plato menganggap alam
raya itu statis, sedangkan Aristoteles menggantikannya dengan teori
kedinamisan. Walaupun demikian jejak-jejak pandangan Plato mesih

[9]
tampak di dalam pandangan Aristoteles. Fenomena ini disebut Meyer
Reinbol “Aristotle’s philosophy is Platonusm modified by common sence”
(Oka dan Basuki, 1990:84).
Ia juga dikenal sebagai orang yang berotak cemerlang sebab
berbagai ilmu dikuasainya secara baik meliputi biologi, psikologi, logika
formal. Metode ilmiah, istilah-istilah ilmu pengetahuan dan filsafat sampai
hari ini kita mewarisi darinya.
Pada 335 Sebelum Masehi, ia mendirikan perguruan tinggi yang
kedua setelh Akademi Plato, yaitu Lyceum. Perguruan tinggi ini
merupakan tempat mahasiswa mengembangkan gagasan, ilmu dan filsafat
sekaligus sebagai tempat mempublikasikan karya-karyanya.
Khusus di dalam bidang retorika, tidak sedikit pujian orang yang
disampaikan padanya. Donald C. Bryant mengatakan bahwa Aristoteles
adalah orang yang pertama menampilkan gagasan retorika secara orisinal.
Dudle beiley menganggap bahwa Aristoteleslah yang menggariskan secara
jelas tujuan, ruang lingkup dan metode retorika (Oka dan Basuki, 1990: 85)
Berbagai pandangan Aristoteles dapat dibaca di dalam bukunya
“Rhetoric” yang telah diterjemahkan Lane Cooper ke dalam bahasa Inggris
pada tahun 1960. di dalam buku ini, Aristoteles menyatakan bahwa secara
sadar atau tidak sadar seseorang sebenarnya telah menggunakan retorika
dan dialektika, yaitu ketika dia mengungkapkan buah pikiran,
mempertahankan pendirian dan menolak pendapat orang lain.

[10]
B. Retorika Zaman Romawi Kuno
Setelah Yunani runtuh simbol kejayaan digantikan oleh kerajaan
Romawi Kuno. Retorika termasuk hal yang diboyong oleh Romawi atas
kemenangan ekspansi militer mereka ke Yunani. Oleh karena itu, retorika
berbumi di Romawi. Retorika berkembang subur. Salah satu sebab adalah
sistem pemerintahan Romawi yang berbentuk republik memiliki senat,
yaitu badan yang mewakili wewenang untuk memutuskan kebijakan-
kebijakan penting. Kondisi ini menyadarkan para senator
memperlengkapi diri dengan kecakapan berpidato atau retorika. Hal itulah
yang menyebabkan sekolah-sekolah retorika, buku retorika dan pamor
guru retorika menjadi semakin terhormat di tengah-tengah masyarakat
Romawi. Di Romawi lahir dua retorika legendaris, yaitu Cicero dan
Quintilianus. Kedua retorika ini dianggap mewakili perkembangan
retorika di Romawi.

C. Retorika Abad Pertengahan


Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu
berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam
kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk
it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai
habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika
demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar
memegang pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak".
Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang
mendengar orang yang pandai berbicara.

[11]
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat
retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai
kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari
retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para
penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis
ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St.
Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun
386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para
pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng-
gerakkan - yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk
mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus
mempelajari teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di Timur
muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan,
"Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan
pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad
saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam
kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat
yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa
ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan
berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga
mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-
orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan
mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me-
namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat

[12]
yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam
berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every antagonist in the
combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor".
Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali.
Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya
dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia
dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai
pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di
Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah.
Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah
pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih
tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan
Islam tradisional.

D. Retorika Modern
Retorika modern diartikan sebagai seni berbicara atau
kemampuan untuk berbicara dan berkhotbah (Hendrikus, 1991); sehingga
efektivitas penyampaian pesan dalam retorika sangat dipengaruhi oleh
teknik atau keterampilan berbicara komunikator.
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di
Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan.
Pertemuan orang Eropa dengan Islam - yang menyimpan dan
mengembangkan khazanah Yunani - dalam Perang Salib menimbulkan
Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali
minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada

[13]
dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika.
Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio
saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang
membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika
modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan
metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang
proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban
retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan
kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas--
fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses
psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas
"teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas
pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji
retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni,
yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of
Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan
pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi
fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada
empat fakultas - atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori,
imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell,
haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman,
menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi
kemauan".

[14]
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell.
Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja
ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus
mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan meng-
organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell me-
nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu,
retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang
budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres
(Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng-
utamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang
dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis
Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan
antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa
(taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan
dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda
senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah,
melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah.
Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi
dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber
kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama
memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato - pada penyusunan
pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut gerakan elokusionis
- justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya
memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak

[15]
boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada
pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan
seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan
mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman
orang dan mencengkeram perhatian mereka". James Burgh, misal yang
lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena per-
hatian - dan kesetiaan - yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti
kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara
spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum
elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum
merumuskan "resep-resep" penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi
ilmu berdasarkan semata-mata "otak-atik otak" atau hasil perenungan
rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil
penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem-
bangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti
psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech,
speech communication, atau oral communication, atau public speaking. Di
bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:

1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya.
Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori
psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James
bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, mendefinisikan

[16]
persuasi sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan
tidak terbagi terhadap proposisi-proposisi". Ia menerangkan pentingnya
membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan
pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang
bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato
merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri
Speech Communication Association of America (1950).

2. Charles Henry Woolbert


Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of
America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah
behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert
memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku. Baginya,
proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh organisme. Pidato
merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah dasar utama persuasi.
Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus
diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan
situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi
tersebut, (4) pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya
yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.

3. William Noorwood Brigance


Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance
menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi.
"Keyakinan", ujar Brigance, "jarang merupakan hasil pemikiran. Kita

[17]
cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita,
ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut
perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai
kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada
keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap
pendengar.

4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan
dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta
stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang
terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus
disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated
sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut
antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell
(Persuasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Per-
suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious" Hitler, dengan
bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir
(Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918)
adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication,
atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di
lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan
diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles
Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap

[18]
prestasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu
cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech
group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir,
lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya
dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst
menyimpulkan:
Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah
speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang
memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir
lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik
terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian.

Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi


dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan
gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek
retorika di masa depan.

[19]
2
DASAR-DASAR RETORIKA

1. Pengertian Retorika
Retorika adalah kecakapan berpidato di depan umum (study
retorika di Sirikkusa ibu kota Sislia Yunani abab ke 5 SM). Retorika (dari
bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik
pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan
melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya
Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric
dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum
ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat
transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi
pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang
dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan
pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai
konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis,
bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika
naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara
retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek
kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis dan
visual.

[20]
Retorika adalah memberikan suatu kasus lewat bertutur
(menurut kaum sofis yang terdiri dari Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras
dan Socrates akhir abad ke 5 SM). Retorika adalah ilmu yang mengajarkan
orang tentang keterampilan, tentang menemukan sarana persuasif yang
objectif dari suatu kasus (Aristoteles) Study yang mempelajari
kesalahpahaman serta penemuan saran dan pengobatannya (Richard awal
abad ke 20-an) Retorika adalah yang mengajarkan tindak dan usaha yang
efektif dalam persiapan, penetaan dan penampilan tutur untuk membina
saling pengertian dan kerjasama serta kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat.
Tujuan retorika adalah persuasi, yang di maksudkan dalam
persuasi dalam hubungan ini adalah yakinnya penanggap penutur
(pendengar) akan kebenaran gagasan topic tutur (hal yang di bicarakan)
si penutur (pembicara). Artinya bahwa tujuan retorika adalah membina
saling pengertian yang mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan
kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat lewat kegiatan bertutur.
Berbagai pengertian retorika telah dibuat oleh ahli retorika.
Kondisi ini dilatarbelakangi oleh berbagai pengaruh ilmu pengetahuan
yang dianut, pendekatan yang dipilih, metode dan teknik analisis yang
digunakan.
Masalah keragaman pengertian retorika itu bukanlah luar biasa.
Hal yang sama juga berlaku di dalam ilmu pengetahuan lain. Berbagai
pengertian retorika itu perlu dipelajari perkembangannya. Di bawah ini,
berbagai pengertian retorika itu dipaparkan.
Ketika istilah retorika diperkenalkan di Yunani pada abad V
Sebelum Masehi, retorika dipahami sebagai kecakapan berpidato. Saat

[21]
yang sama Corax dan Tissias berpengertian yang sama. Pengertian
retorika berkembang di kota Atena atau semenanjung Atika (Attic) yang
kemudian dikenal sebagai retorika Attic. Mereka berpengertian bahwa
retorika adalah kecakapan bertutur atau berpidato untuk memenangkan
suatu kasus.
Pengertian retorika kaum Sofis itu dikecam oleh Plato. Ia
mengatakan bahwa retorika Sofis itu bisa membuat orang meninggalkan
kebenaran, mungkin akan menginjak-injak kebenaran karena demi
mementingkan dan memenangkan suatu kasus. Ia menganjurkan bahwa
jika orang menginginkan kebenaran terwujud di dalam kehidupannya,
maka ia harus meninggalkan ajaran kaum Sofis.
Plato berpengertian bahwa retorika adalah seni bertutur
membeberkan kebenaran. Mengacu kepada pengertian retorika Plato itu,
seorang ahli retorika tidak perlu bersilat lidah menggunakan kata-kata
yang berbunga atau bertingkah laku yang berlebihan dalam bertutur. Ia
menyarankan agar penutur atau pembicara meneliti secermat-cermatnya
kebenaran gagasan yang dituturkan dan menampilkan secara sederhana.
Setelah Plato meninggal dunia, Aristoteles murid Plato
mengembangkan pengertian retorika. Ia berpengertian bahwa retorika
adalah ilmu dan seni yang mengajar orang untuk terampil menyusun tutur
secara efektif (Oka dan Basuki, 1990: 27). Kata efektif di dalam rumusan
pengertian retorika itu sangat luas dan dalam. Pertama adalah sebuah
tutur dikatakan efektif kalau ia menampilkan kebenaran. Keyakinan ini
sejalan dengan pandangan Plato, yaitu bahwa manusia memiliki intuisi etis
yang membuat mereka bisa membedakan antara yang benar dan tidak
benar. Memang bisa saja orang menampilkan ketidakbenaran di dalam

[22]
tuturnya—dan ini menunjukkan sifat-sifat efektifnya—tetapi karena
kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi dengan ketidakbenaran, tutur itu
cepat atau lambat akan ternyata keefektifannya. Kedua ada sebuah tuturan
akan efektif jika disiapkan dan ditata secara ilmiah. Sebelum sebuah tutur
ditampilkan, topik tuturnya perlu diolah. Dengan demikian, seorang
penutur harus mengetahui secara memadai hal-hal yang berhubungan
dengan unsur-unsur topik tutur, kaitan antar bagian yang satu dengan
bagian yang lain, serta nilai fungsi budaya yang menyertainya. Bagian-
bagian itu perlu ditata secara sistematis, ditopang dengan ulasan-ulasan
yang meyakinkan, ditampilkan dengan bahasa yang sesuai dengan daya
tanggap pendengarnya.
Pada tahun 1954, W. Rhys Robert mengutip pengertian retorika
Aristoteles. Ia menerjamahkannya ke dalam bahasa Inggris. Pengertian
retorika adalah kemampuan atau kecakapan mengobservasi suatu kasus
yang dapat dijadikan alat persuasi (rhetoric may be defined as the faculty
of observing in any given case the available means persuation) (Oka dan
Basuki, 1990: 28).
Pengertian retorika Aristoteles itu kemudian dikembangkan dan
dijadikan pegangan umum oleh ahli retorika berikutnya. Dua retorikus
dari zaman Romawi, yaitu Cicero dan Quantilianus mengembangkan
pengertian retorika Aristoteles. Demikian juga ahli retorika Sesudah
Masehi bahkan sampai permulaan abad XX. Jika terdapat perbedaan, maka
hal itu hanyalah susunan redaksi atau penekanannya. Landasan
filosofisnya masih tetap berdasarkan ajaran Aristoteles (D. Fogarty, 1959,
di dalam Oka dan Basuki, 1990: 28). Berbagai pengertian retorika yang

[23]
sama dengan pengertian retorika Aristoteles ini dibeberkan di bahagian
selanjutnya.
Pada tahun 1966, di dalam College Compasition and
Communication, D. Beckett berpengertian bahwa retorika adalah seni
mengafeksi pihak lain dengan tutur, yaitu dengan cara memanipulasi
unsur-unsur tutur dan respon pendengar (66). Pada tahun 1967, di dalam
Rhetoric: Its Fungtion and Its Scope, Donald C. Bryant berpengertian
bahwa retorika sebagai suatu tutur yang mempersuasi dan memberikan
informasi rasional kepada pihak lain (di dalam Glorfelf, dkk., 1967:181).
Pada tahun 1967, di dalam New Rhetories, Martin Steinmann, Jr
berpengertian bahwa retorika sebagai upaya pemilihan yang efektif
terhadap cara-cara pengungkapan yang sinonim. Rumusan ini didasarkan
pandangan bahwa bahasa menyediakan materi dan kemungkinan susunan
yang sering bersinonim satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, retorika
adalah tentang bagaimana orang harus memilih salah satu kemungkinan
materi yang ada sebagai bentuk cara mengungkapkan yang persuasif.
(1967: 22).
Pada tahun 1965, di dalam artikel: The Fungstion of Rhetoric as
Affective Axpression, Albert P. Dunhamel berpengertian bahwa retorika
adalah suatu ide untuk mempersuasi (di dalam Natanson and Johnstone,
Jr., 1965: 80). Pada tahun 1969, Bishob Whatley berpengertian bahwa
retorika adalah seni yang mengajarkan kaidah dasar pemakaian bahasa
yang efektif (di dalam Daniel Fogarty, 1969).
Selain pengertian yang berakar pada ajaran Aristoteles,
pengertian lain juga berkembang pada awal abad XX. Pengertian retorika
yang berkembang oleh kaum retorika baru atau retorika modern ini

[24]
berbeda dengan pengertian terdahulu. Di bahagian selanjutnya dibahas
satu persatu.
Jika Aristoteles dan pengikutnya memandang retorika sebagai
keterampilan menyusun dan menampilkan tutur untuk mempersuasi
pihak lain, maka perintis retorika baru atau modern tidak menyepakati
persuasi sebagai akibat logis dari setiap tutur yang ditata secara baik.
Mereka juga beranggapan bahwa retorika bertujuan lebih dari
mempersuasi. Persuasi itu hanya penting bagi masyarakat yang masih
terbelakang tingkat kecerdasannya, khususnya pada lampau. Persuasi bagi
masyarakat modern yang tingkat kecerdasannya telah tinggi, persuasi itu
tidak bermanfaat banyak. Oleh karena itu hal yang lebih penting daripada
persuasi adalah membina kerjasama, saling pengertian, dan kedamaian di
bumi melalui kegiatan tutur. Dengan usaha pembinaan ini,
kesalahpahaman dan bentuk-bentuk kesalahpengertian yang diakibatkan
oleh tindak tutur harus dikurangi, kalau mungkin dihilangkan. Atas dasar
pemikiran di atas, I.A Richards di dalam bukunya Philosophy of Rhetoric
berpengertian bahwa retorika adalah suatu studi yang mempelajari
kesalahpahaman serta penemuan sarana pengobatannya ialah dengan
mempelajari bahasa sebaik-baiknya dan menggunakannya dengan tepat
(1965: 3).
Berbeda dengan pengertian I A. Richard di atas, Kernet Burke
berpengertian bahwa retorika adalah ilmu yang mengajar orang untuk
mengidentifikasi di dalam pengertian luas. Identifikasi itu memuat antara
lain identifikasi diri, masalah yang akan dituturkan, bahasa yang akan
dipakai, penutur dan hasil yang duharapkan. Dengan demikian setiap
tindak identifikasi adalah termasuk tindak retorika. Berhasil tidaknya

[25]
seseorang memproses identifikasi ini akan menentukan keberhasilan
membina kerjasama dan kesalingpengertian. Di dalam identifikasi ini,
kunci membedakan antara retorika model Aristoteles dan model retorika
baru atau modern.
Retorika pendukung ajaran General Sematik berbeda lagi dengan
retorika Kernet Burke. Kaum pendukung General Sematik pada dasarnya
menyepakati bahwa filsafat identika bersumber pada ajaran Aristoteles
yang merupakan cikal bakal kesalahpahaman yang merintangi kerjasama
dan kesalingpahaman. Di tengah masyarakat yang sudah tinggi
kecerdasannya seperti sekarang ini sudah tidak pada tempatnya lagi jika
orang berfikir secara identikisme. Misalnya adalah mengidentifikasi
sebuah tutur dengan masalah yang dituturkan. Hal yang demikian tidak
kena lagi karena sebuah tutur hanya sebuah peta dari masalah yang
dituturkan. Mengingat bahwa bahasa yang tersusun menjadi tutur itu
adalah peta komunikasi yang terbaik sampai sekarang ini, maka kewajiban
setiap penutur mempelajari bahasa dengan sebaik-baiknya. Dengan
ungkapan lain, pada zaman sekarang ini, orang harus menggunakan
bahasa secara ilmiah.
Sejalan dengan pemikiran di atas, aliran retorika General Sematik
berpengertian bahwa retorika adalah yang mengajar orang untuk
memetakan bagian dari suatu persoalan sebaik-baiknya. Dikatakan
demikian karena pada dasarnya setiap orang tidak pernah mengetahui
keseluruhan dari sesuatu itu.
Para pendukung teori Tagmemik memandang bahwa ada dua
kelemahan dasar pada retorika yang mendahuluinya. Kelemahan pertama
terletak pada tujuannya yaitu untuk mempersuasi pendengar. Tujuan ini

[26]
akan cepat sekali mendorong seseorang mengadakan penilaian
sebelumnya. Oleh karena itu, obyektifitas topik tutur mudah sekali akan
dikorbankan. Kelemahan kedua adalah kurang lengkapnya metode yang
dipakai untuk membahas topik tutur. Mereka berpendapat bahwa retorika
tradisional tidak sistematik sehingga gambaran topik tutur tidak
sempurna.
Richard E. Young dan Alton L. Beccker serta K. L. Pike
berpengertian bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan
penggarapan masalah tutur secara heuristik untuk ditampilkan secara
sistematis guna membina saling pengertian dan kerjasama. Pandangan
yang heuristik ini adalah suatu prosedur mengajarkan bahwa di dalam
memandang sesuatu yang dijadikan persoalan atau topik tutur melalui dua
perangkat sudut pandangan yang saling berpotongan.
Demikian sejumlah ragam pengertian retorika yang telah
berkembang selama ini. Meskipun demikian masih terdapat berbagai
pengertian bahwa retorika yang berkembang di dunia ini. Di bawah ini,
pengertian retorika yang lainnya masih dikemukakan agar dapat dipahami
perkembangan berikutnya. Di dalam Dictionary of Language and
Linguistics, Hartman dan Stork berpengertian bahwa retorika adalah
sistem atau telaah peranti stilistik bahasa atau tuturan resmi, misalnya
gaya bahasa, organisasi, tujuan dan pendengar (1976: 198).
Di dalam international reading assisiation, A dictionary of reading
and Resisted Terms, Olive S. Niles berpengertian bahwa retorika adalah:
(1) telaah teori dan prinsip-prinsip komunikasi efektif; (2) seni atau ilmu
penetahuan bahasa di dalam karangan atau syair; (3) penggunaan bahasa
secara efektif di dalam pidato untuk mempengaruhi atau meyakinkan

[27]
pendengar; (4) ketidakluasan hati di dalam berbahasa, bombastis; dan (5)
buku teks retorika (1990-1981: 281).
Di dalam A Handbook of English Language Teaching: Terms and
Practice. Brian dan Seaton berpengertian bahwa retorika adalah seni
mempergunakan kata secara keren atau berkesan di dalam tutur dan tulis:
artifisial pemakaian bahasa yang sering dikaitkan dengan maksud
ketidaktulusan hati (1982: 155). Di dalam kamus linguistik, Harmurti
Kridalaksana berpengertian bahwa retorika adalah sistem atau
penyelidikan mengenai alat-alat statistik ragam bahasa resmi.
Di dalam Longman Dictionary af Applied Linguistics, Richards,
John and Heidi berpengertian bahwa retorika adalah telaah bagaimana
menulis efektif sesuai dengan tujuan. Istilah retorika di dalam pengertian
umum di Akademi Amerika dan Universitas adalah retorika atau
keterampilan retorikal yang bertipe pemfikusan bagaimana
mengungkapkan secara korek diri sendiri dan secara efektif yang
berhubungan dengan topik tulisan dan tuturan, pendengar dan tujuan
komunikasi. Di dalam tata bahasa tradisional retorika adalah telaah gaya
secara gramatikal dan analisis logikal. Cicero pada zaman Romawi adalah
orator dan penulis yang menggambarkan “seni atau kepintaran” yang
berhubungan dengan wacana yang sesuai dengan tujuannya (1985: 254).
Di dalam The Principles of Pragmatics (diterjemahkan Prissip-
prinsip Pragmatik oleh Oka 1993), Geoffrey Leech menguraikan retorika
secara agak rinci. Ia mengemukakan bahwa penggunaan istilah retorik
secara tradisional mengacu pada kajian mengenai pemakaian bahasa
secara efektif di dalam komunikasi. Retorika memusatkan diri pada situasi
ujar yang berorientasi tujuan dan di dalam situasi itu termasuk pembicara

[28]
memakai bahasa dengan tujuan menghasilkan suatu efek tertentu pada
pikiran pendengar (1983 di dalam Oka, 1993: 22).
Di dalam The Cambridge Encyclopedia of Language, David Crystal
berpengertian bahwa retorika adalah kajian keefektifan berbicara dan
menulis (1989: 429).
Di dalam Retorik: Kiat Bertutur, Oka dan Basuki berpengertian
bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan tindak usaha yang efektif di
dalam persiapan, penataan dan penampilan tutur untuk membina saling
pengertian, kerjasama dan kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat
(1990: 30).
Jika ditelaah secara seksama berbagai pengertian retorika di atas
dan di bahagian terdahulu, maka diperoleh gambaran bahwa pengertian
retorika itu demikian berkembang dari mulai retorika zaman Yunani
sampai dengan zaman modern. Pada awalnya, retorika itu diartikan
sebagai seni dan kecakapan berpidato di depan umum. Kemudian,
pengertian retorika berkembang menjadi seni dan ilmu bertutur untuk
meyakinkan pendengar atau untuk memenagkan suatu kasus. Pada abad
modern pengertian retorika lebih berkembang lagi yaitu mencakup ilmu
tentang bagaimana menggunakan bahasa secara efektif di dalam lisan
maupun di dalam tulis.

2. Penyimpangan Pemaknaan Retorika


Di dalam sejarah perkembangan telaah retorika, berbagai
penyimpangan pengertian retorika muncul. Hal ini terjadi antara lain
disebabkan oleh: (1) penyamaan retorika dengan studi sastra; (2)
penyamaan dengan gaya bahasa dan pendiksian; (3) penyamaan retorika

[29]
dengan pedoman karang-mengarang; dan (4) penyamaan retorika dengan
kecakapan bersilat lidah (Oka dan Basuki, 1990: 33-37). Keempat
penyimpangan makna retorika ini dipaparkan di bawah ini dan di
bahagian selanjutnya.

2.1 Penyamaan Retorika dengan Studi Sastra


Pada zaman Pertengahan dan Renaisans, retorika lebih dikenal
sebagai studi sastra. Latar belakangnya adalah pandangan umum dari
zaman pertengahan yang mengatakan bahwa hanya karya sastra yang
memakai bahasa yang baik. Oleh karena itu, penutur disarankan jika ingin
bahasa yang baik, maka ia harus mempelajari sastra. Penutur juga
disarankan memakai bahasa yang digunakan oleh sastrawan di dalam
kegiatan bertuturnya. Dengan mempelajari retorika, keinginan mereka
dapat terpenuhi. Dengan anggapan yang demikian, garis pemisah antara
studi retorika dengan studi sastra tidak jelas. Dengan demikian, studi
retorika disamakan dengan studi sastra.
Penyamaan studi retorika dengan studi sastra itu dibina di
lembaga-lembaga pendidikan seperti di Amerika (Oka dan Basuki, 1990:
34). Jika fenomena ini dihubungkan dengan pengertian retorika menurut
Aristoteles, maka jelas terlihat bahwa pengertian itu merupakan
penyimpangan. Hal ini disebabkan oleh studi sastra khususnya kritik
sastra merupakan bahagian studi retorika, khususnya retorika terapan.

2.2 Penyamaan Retorika dengan Gaya Bahasa dan Pendiksian


Beberapa ahli beranggapan bahwa retorika itu tidak lain adalah
gaya bahasa atau pendiksian. Hal itu dilatarbelakangi oleh anggapan
bahwa retorika itu berkaitan dengan cara-cara menampilkan tutur yang

[30]
menarik, memberi petunjuk cara-cara memilih materi bahasa, baik kata,
ungkapan dan istilah yang kemudian ditata menjadi kalimat serta
menyusunnya menjadi tuturan yang menarik.
Pengertian seperti terurai di atas tampaknya cukup menarik.
Namun jika ditelaah secara seksama tampak bahwa perumusan itu sangat
sempit. Retorika diakui memang juga membahas masalah gaya bertutur
dan pendiksian. Namun bahagian itu hanya merupakan sebahagian kecil
dari keseluruhan pembahasan retorika sebagai ilmu. Bahagian ini hanya
perupakan aspek teknis retorika. Aristoteles menamakannya “lexsis”. Di
samping itu terdapat dua unsur inti yaitu “pisits” (hal-hal yang
berhubungan dengan persuasi) dan “taxis” (penataan tutur secara
sistematis) (F. Burwick, 1967 di dalam Oka dan Basuki, 1990: 34 - 35).
Jika studi retorika disamakaan dengan studi gaya bahasa dan
pendiksian, maka hal itu merupakan penyimpangan. Hal itu disebabkan
oleh masalah retorika lebih luas daripada hanya bahagian lexis.

2.3 Penyamaan Retorika dengan Pedoman Karang Mengarang


Di dalam pembelajaran bahasa Inggris di Amerika, retorika
dianggap sebagai pedoman karang mengarang. Hal itu terbukti dari buku
pegangan misalnya “Composition and Rhetoric” dan “Rhetoric and
Grammar”(Glorfeld, dkk., 1967 di dalam Oka dan Basuki, 1990: 35).
Memang dibenarkan bahwa orang harus menerapkan prinsip-prinsip
retorika di dalam karang-mengarang. Namun demikian, retorika bukan
disamakan dengan karang mengarang. Retorika sebenarnya tidak hanya
memberikan pedoman karang mengarang, melainkan juga kegiatan
bertutur lainnya. Setiap kegiatan bertutur pada dasarnya berkaitan erat
dengan retorika. Lebih tepat jika dikatakan bahwa pedoman karang

[31]
mengarang adalah penerapan atau aplikasi retorika di dalam menata tutur
bertulis.
Kecenderungan menyamakan retorika dengan pedoman karang
mengarang ini agaknya bersumber pada dorongan untuk memberi nilai
praktis kepada retorika. Walaupun demikian, penyamaan retorika dengan
pedoman karang mengarang tidak dapat dibenarkan. Hal yang demikian
terjadi disebabkan oleh minimalnya pengetahuan guru dan penulis buku
retorika. Dengan jelas diuangkapkan oleh James J. Murphy di dalam
bukunya “The Four Faces Rhetoric: A Progress Report (College
Composition and Communication, 1966)” bahwa banyak sekali guru di
Amerika yang belum memiliki pengetahuan yang baik tentang retorika,
walaupun mereka telah terlibat dengan retorika di dalam tugasnya sehari-
hari, khususnya di dalam pembelajaran bahasa. Gejala yang demikian juga
terlihat di Indonesia sebab belum lama membina pembelajaran bahasa
Indonesia.

2.4 Penyamaan Retorika dengan Kecakapan Bersilat Lidah


Di dalam sejarah perkembangan retorika, berbagai pihak
menganggap bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan kecakapan
bersilat lidah, dan/atau ilmu yang mengajarkan kecakapan
mempermainkan bahasa untuk mempengaruhi pendengar. Pengertian
yang demikian itu jelas seklai keliru serta menyimpang dari pengertian
retorika yang sebenarnya.
Dua penyebab atau yang melatarbelakangi pengertian yang
demikian. Penyebab pertama adalah akibat pemanfaatan retorika ala Sofis
yang berpengertian bahwa retorika adalah alat memenangkan suatu
kasus. Di dalam mencapai kemenangan itu, penutur harus memiliki

[32]
keterampilan yang baik mempermainkan bahasa, menggunakan ulasan
dan bergaya tutur yang mencekam emosi. Keteramplan yang demikian di
Indonesia disebut kecakapan bersilat lidah, berpokrol bambu atau
berdebat kusir. Kecakapan itu termasuk kecakapan berdebat tanpa logika,
tanpa kegunaan yang jelas dan hanya mempercundangi pendengar untuk
memenangkan suatu kasus.
Penyebab kedua adalah adanya anggapan dan penilaian yang
kurang wajar terhadap retorika. Anggapan dan penilaian terhadap
retorika itu tidak didasarkan penelitian, tetapi juga diprasangkai dan
dirasakan tidak senang terhadapnya. Dengan ungkapan lain, retorika
dipandang secara negatif. Misalnya adalah filsof John Locke juga tidak
senang terhadap retorika.

Jika diamati tentang penyimpangan dalam retorika di atas dan


sebelumnya, maka penyimpangan yang keempat yang perlu dihilangkan
sama sekali. Pengertian yang demikian itu jelas merugikan sebab retorika
bukanlah ilmu bersilat lidah, melainkan ilmu yang membimbing secara
efektif agar seseorang berhasil memberikan kebenaran kepada orang lain.
Retorika itu juga diperlukan sebagai pembimbing di dalam memahami
masalah bertutur secara ilmiah.

3. Ciri Penanda Retorika sebagai Ilmu


Keberadaan suatu ilmu ditandai oleh seperangkat ciri. Cri-ciri ini
difungsikan sebagai penanda di samping sebagai pembeda dengan ilmu-
ilmu lainnya. Retorika sebagai ilmu juga memiliki ciri. Di bawah ini, ciri-
ciri retorika sebagai ilmu dibeberkan.

[33]
4. Bidang Cakupan Retorika
Bidang cakupan retorika itu sangat luas meliputi manusia dan
kegiatan bertuturnya. Oleh karcna itu, pokok masalah bidang cakupan
retorika itu antara lain: (1) manusia sebagai persona tutur; (2) kegiatan
bcrtutur; (3) topik tutur dan (4) tutur (Oka dan Basuki, 1990:40).

(1) Manusia sebagai Persona Tutur


Manusia sebagai persona tutur memiliki bcrbagai daya antara
lain: (a) instink bertutur; (b) makhluk pemakai simbol; (c) instink etis; dan
(4) kemampuan kejiwaan (Oka dan Basuki, 1990:41 - 45). Di bawah ini
keempat daya ini ditampilkan menurut pandangan retorika.
(a) Manusia memiliki instink bertutur
Instink bertutur atau naluri bertutur dimaksudkan daya jiwa yang
memungkinkan manusia meagausai bahasa untuk bertutur dengan cara
mempelajarinya. Daya ini merupakan warisan biologis yang dibawanya
bersama dengan kelahirannya. Hal ini dibuktikan oleh Prof. Kellong
bersama istrinya. Mereka mengadakan percobaan yaitu mengajar bayinya
bersama seekor kera. Percobaan dipusatkan kepada pcnguasaan bahasa.
Terbukti bahwa hanya anak yang mampu bertutur kemudian sedangkan
kera hanya mampu menghafal beberapa kata. Mereka berkesimpulan
bahwa hanya manusia yang memiliki daya jiwa untuk menguasai bahasa.
Naluri bertutur atau daya jiwa itu memungkinkan manusia untuk
mempelajari dan menguasai bahasa. Hal ini perlu dibina agar tercapai
kemapuan kecakapan bertutur. Oleh karena itu, kecakapan bcrtutur bukan
hanya milik keluarga lainnya, suku-suku lainnya atau kumpulan
masyarakat lainnya. Dengan demikian, retorika berperan dan berfungsi

[34]
sebagai ilmu yang paling berwenang untuk membina kecakapan bertutur
melalui pengajaran retorika.
(b) Manusia sebagai makhluk pemakai simbol
Manusia adalah makhluk rasional yaitu makhluk yang berdaya
pikir. Dengan menggunakan daya pikir itu, manusia mampu mencegah
pcrsoalan yang dihadapinya. Kernett Burke melengkapi anggapan manusia
sebagai makhluk berpikir juga makhluk pemakai simbol. Kemampuan
memakai simbol membedakan manusia dengan binatang. Simbol utama
yang dipakai manusia adalah bahasa. Manusia menggunakan bahasa untuk
menggeneralisasi, mengklasifikasi, menspesialisasi dan mengabstraksi.
I. A. Richards sepemahaman dengan Kernett Burke. Ia
menyatakan bahwa manusia dan segi retorika adalah makhluk pemakai
simbol. Simbol yang dipakai manusia itu adalah simbol verbal atau simbol
linguistik dan simbol nonverbal. Simbol verbal atau simbol linguistik yang
menjadi pusat perhatian retorika. Ia dipergunakan untuk mengungkapkan
diri dan merespons. Pemanfaatan kedua aspek itu dapat dipergunakan
secara simultan misalnya di dalam diskusi dan secara sepihak misalnya di
dalam berkothah, berceramah atau kuliah.
(c) Manusia sebagai makhluk yang memiliki naluri etis
Setiap manusia bersama kelahirannya pasti membawa naluri etis
(instink etis). Naluri ini yang memandu mereka untuk membedakan yang
benar dengan yang salah. Buah pikiran ini bermula dari Plato, kemudian
diambil alih oleh Aristoteles. Aristoteles berulang mengingatkan bahwa di
dalam membeberkan sesuatu, penutur janganlah mengorbankan nilai-
nilai kebenaran. Pengetahuan kebenaran dengan cara ajaran Sofis
merugikan diri penutur.

[35]
(d) Manusia memiliki kemampuan kejiwaan.
Pada umumnya orang mengatakan bahwa manusia memiliki
kemampuan berfikir, merasa, mengimajinasi, mengidentifikasi.
Seperangkat kemampuan ini digunakan oleh manusia untuk menganalisis
persoalan yang kemudian manusia menuturkannya kepada orang lain
melalui bahasa. Di dalam retorika, kemudian kejiwaan itu berbeda antara
indivisu yang satu dengan individu yang lain.

(2) Kegiatan Bertutur di dalam Pandangan Retorika


Kegiatan bertutur pada dasarnya berpola sama dengan berbagai
tingkah laku manusia. Kernett Burke melihat bahwa kehidupan manusia
itu pada dasarnya sejajar dengan kejadian di atas pentas. Hal yang
demikian dapat dimaklumi sebab ia juga berprofesi sebagai sastrawan dan
kritikus sastra kritikus sastra dan kritikus drama. Oleh karena itu, ia
memandang masalah manusia itu termasuk kegiatan bertutur didekatinya
secara dramatistik.
Kernett Burke mengemukakan bahwa setiap tingkah laku
manusia terdapat 5 komponen dasar yang meliputi:
1. Tindakan (Act), yaitu suatu yang bertempat atau yang masih berupa
fenomena yang dapat berwujud nyata atau abstrak yang masih ada di
benak pembicara;
2. Medan (Scene), yaitu tempat atau situasi yang melingkupi
berlangsungnya suatu tindakan. Misalnya adalah rumah, lapangan,
hutan;
3. Pelaku (Agent), yaitu pelaku atau pendorong terjadinya suatu
tindakan. Yang termasuk pelaku ini adalah manusia dan kegiatan

[36]
mental yang mendorong terjadinya suatu proses tindakan. Gagasan,
ide, keinginan, cita-cita bisa digolongkan sebagai pelaku;
4. Sarana Tindak (Agency), yaitu sarana yang digunakan untuk
menjalankan tindakan. Misalnya adalah cara-cara atau alat melakukan
tindakan;
5. Tujuan (Purpose), yaitu arah keseluruhan tindakan yang dilakukan
pcmbicara. Misalnya segala sesuatu yang merangsang terjadinya suatu
tindakan. Hal ini diistilahkan oleh Burke sebagai motif.
Berdasarkan kelima komponen di atas, jelas bahwa kegiatan
bertutur itu biasanya berlangsung di suatu medan tertentu,
dilatarbelakangi motif tertentu, ditampilkan oleh seorang penutur dengan
cara-cara atau alat-alat tertentu. Misalnya adalah di dalam tutur tidak
resmi (mengobrol) kita mclihat sikap orang pastilah berusaha
menonjolkan dirinya. Secara sadar atau tidak, unsur ini pasti ada.
Retorika di samping menampilkan gambaran yang membuat
orang mendapatkan pemahaman yang baik tentang kegiatan bertutur, juga
berusaha memberikan tuntunan atau bimbingan. Misalnya adalah
pembicara disadarkan akan motir tutur, bagaimana membaca medan,
menampilkan tutur yang sesuai dengan kebutuhan dan memilih sarana
tutur yang perlu untuk suatu peristiwa tutur tertentu.

(3) Bahasa di dalam Pandangan Retorika


Bahasa juga merupakan pokok persoalan yang termasuk cakupan
retorika. Retorika memandang bahasa tidak sama dengan linguistik,
Fisiologi, Sosiologi. Walaupun demikian, kesamaan masih banyak didapat

[37]
kesamaannya dikaitkan dengan banyak sekali ilmu itu dimanfaatkan oleh
pakar retorika.
Ahli-ahli retorika sepakat hahwa bahasa itu adalah sistem yang
berupa bunyi bahasa di dalam bahasa lisan dan huruf di dalam bahasa tulis
yang digunakan sebagai alat komunikasi. Bahasa itu mempunyai daya
simbolis yang besar sehingga melalui bahasa manusia dapat dilakukan
penggeneralisasian, penspesialisan, pengklasifikasian, dan
pengabstraksian. Walaupun demikian, bahasa itu bersifat abstrak karena
ia secara tidak langsung menunjuk sesuatu seperti halnya dcngan tanda.
Bahasa memungkinkan lebih dari satu sehingga menimbulkan kemenduan
makna atau ambiguitas. I. A. Richards, aliran General Semantik juga
mengingatkan hahwa kemampuan bahasa itu terbatas sekali. Bahasa
hanya mampu memetakan benda-benda atau hal-hal yang menjadi topik
tutur. Sebagaimana sebuah peta, bahasa itu tidak pernah sama dengan
sesuatu yang dituturkan. Oleh karena itu, aliran General Semantik
mengingatkan setiap pembicara agar mempergunakan bahasa dengan
sebaik-baiknya. Tujuan itu tercapai dengan menelaah bahasa secara
ilmiah.
Bahagian-bahagian yang termasuk cakupan retorika di dalam
bidang bahasa itu ada empat, yaitu (1) memilih corak bahasa; (2) memilih
macam bahasa; (3) mencoba materi bahasa; dan (4) memilih gaya bahasa.
Keempat unsur ini diuraikan di bawah ini.
(1) Memilih corak bahasa
Di dalam pernakalan bahasa, retorika menyadari bahwa bahasa
tidak hanya mengenal satu corak bahasa. Corak bahasa tu ada yang resmi,
ada yang tidak resmi. Masing-masing corak bahasa itu mempunyai bidang

[38]
pemakaiannya sendiri-sendiri. Misalnya adalah corak bahasa pergaulan
hanya tepat atau baik digunakan ketika mengobrol dengan teman, tetapi
tidak boleh dipakai di dalam bertutur resmi. Oleh karena itu, setiap
pembicara dianjurkan untuk memilih corak bahasa yang efektif atau yang
baik, yaitu corak bahasa yang sesuai dan tepat dengan situasi tutur, bentuk
tutur, lingkungan sosial dan budaya, situasi politik yang sedang
berlangsung.
(2) Memilih macam bahasa
Bahasa memiliki macam atau unsur berupa kata, ungkapan dan
istilah. Setiap materi bahasa ini harus disesuaikan dengan situasi
pemakainya. Oleh karena itu, kemampuan memilih materi bahasa itu
diperlukan. Ciri umum macam bahasa adalah di satu pihak ia bisa
mewadahi gagasan pembicara, di lain pihak ia memiliki kemampuam
mengucapkan kembali gagasan yang diemban pembicara.
(3) Mencoba materi bahasa
Unsur-unsur bahasa itu tidak akan berdaya jika tidak ditata secara
efektif. Di dalam retorika, kalimat ditata menjadi kalimat yang utuh, padu
dan mantap dan bervariasi panjangnya dan strukturnya. Di samping itu,
kelima dipertautkan sehingga untaian kalimat menjadi tutur yang
gamblang yang mudah dimengerti oleh penanggapnya.
Di dalam tutur tulis, retorika juga mengembangkan penataan
paragraf. Anton L. Beccker (di dalam Oka dan Basuki, 1990:51)
menyarankan bahwa untuk menampilkan suatu gagasan inti di dalam
setiap paragraf, kemudian membatasi gagasan itu dan memperjelasnya
dengan sejumlah ulasan.
(4) Memilih gaya bahasa

[39]
Di dalam retorika, gaya bahasa (style) berperan penting. Peranan
gaya bahasa mungkin dapat disamakan dengan fungsi-fungsi aroma di
dalam masakan, Di dalam retorika, pembicara disarankan agar selalu
memilih gaya bahasa yang mampu memikat perhatian pendengar di
samping bernilai ketepatan.

(4) Topik Tutur di dalam Pandangan Retorika


Topik tutur adalah segala sesuatu yang ditampilkan pembicara
atau penutur sebagai pokok tuturan. Topik tutur itu dapat berupa
ungkapan diri (buah pikiran, cetusan perasaan, kemauan, imajinasi, fantasi
dan cita-cita), pengetahuan dan pengalaman, lingkungan sekitar atau alam
raya. Ketiga perangkat bidang ini kaya akan topik sumber tutur. Walaupun
demikian, memilihnya bukanlah pekerjaan yang mudah.
Setelah topik tutur terpilih, kita mengolahnya dan
menganalisisnya. Hal ini berkaitan dengan metode. Di dalam retorika,
cara-cara ilmiah bagaimana menyikapi topik tutur itu ditentukan. Kita
harus bersifat obyektif untuk mengubah dan menganalisisnya.
Retorika juga menyarankan untuk mempertimbangkan berbagai
faktor sebelum dan bersamaan dengan pcnganalisisan topik tutur.
Misalnya adalah kita disarankan mempertimbangkan kemampuan diri kita
di dalam menggarap topik itu, kegunaan dan nilai topik, persepsi
menanggap tutur. Analisis ini dilakukan untuk memenuhi ulasan, bukti dan
contoh. Aristoteles (di dalam Oka dan Basuki, 1990:53-54) mengingatkan
kita bahwa di dalam mendekati topik tutur hendaknya menggunakan dua
pendekatan. Pcndekatan pertama adalah pendekatan dari dalam topik ini
sendiri. Pendekatan kedua adalah pendekatan dari

[40]
luar. Pendekatan pertana menghasilkan ulasan-ulasan artistik yaitu ulasan
dari hasil pcnganalisisan perorangan. Pendekatan kedua menghasilkan
ulasan-ulasan nonartistik, yaitu ulasan yang sebenarnya sudah merupakan
kenyataan. Pentingnya kedua pendekatan itu digunakan adalah keduanya
bcrfungsi penuh di dalam menopang dan mempertahankan gagasan yang
terkandung di dalam topik tutur.

(5) Tutur di dalam Pandangan Retorika


Tutur adalah bentuk bahasa yang mengemban simpulan gagasan
dan suatu topik tutur yang dipilih. Tutur itu dapat berbentuk lisan dan
tulis.
Di dalam retorika, manusia tidak mengidentifikasi tutur dengan
gagasan yang diwadahinya. Penyamaan keduanya akan cepat menutup
kemungkinan hadirnya tuturan lain terhadap gagasan yang sama. Di
samping itu, penyamaan itu dapat mengembangkan penilaian-penilain
yang tidak objektif. Misalnya tutur Bung Karno berjudul “Lahirnya
Pancasila” diidentikkan dengan Pancasila. Akibatnya tutur orang lain
tentang Pancasila tidak sama dengan yang diucapkan oleh Bung Karno
langsung dicap jelek sekali. Duduk perkara sebenarnya bukan demikian.
Tutur Pancasila Bung Karno adalah salah satu tutur yang memiliki
kedudukan yang sejajar dengan tutur Pancasila yang lain.
Di dalam retorika, setiap tutur haruslah ditata secara baik. I. A.
Richards mengungkapkan bahwa “Sebuah tutur yang baik kalau di satu
pihak ia mampu secara tepat mewadahi gagasan pembicara dan di lain
pihak ia mampu mengungkapkan kembali gagasan itu kepada
penanggapnya serta membuat pembicara bersedia bekerjasama” (di

[41]
dalam Oka dan Basuki, 1990:55). Mengacu kepada pandangan I. A.
Richards itu, tutur harus diusahakan, dipersiapkan, ditata, ditampilkan
secara baik. Ketiga hal ini minimal dikuasai oleh pembicara apabila ia
berkeinginan agar tuturannya baik.
Khususnya tentang corak tutur telah dikembangkan di dalam
retorika. Aristoteles misalnya telah meletakkan tiga dasar corak tutur,
yaitu (1) tutur pengarahan (delibrative); (2) tutur pembakar semangat
(epidiatic); dan (3) tutur penghakiman (forentic or judikatif). Ketiga corak
tutur ini diuraikan di bawah ini:
Corak tutur pengarahan (delibrative) lebih memusatkan perhatian
pada masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, tutur ini pada
umumnya menggambarkan kemungkinan hal-hal yang akan terjadi.
Ulasan yang banyak dimanfaatkan adalah ulasan nasihat, gambaran
imajinatif, janji-janji atau ancaman bilamana yang mendengar tidak
menjalankan.
Corak tutur pembakar semangat (epidiatic) perhatian kepada
keadaan yang sedang berlangsung. Tutur ini pada umumnya
memanfaatkan peristiwa-pwristiwa yang sedang berlangsung untuk
diulas dan dijadikan pembakar semangat pendengar.
Corak tutur penghakiman (forenic or judicative) lebih
memusatkan perhatian kepada masa lampau atau masa yang sudah terjadi.
Di dalam tutur penghakiman dikemukakan pembelaan atau penghukuman.
Di samping itu, terdapat corak tutur berperan atau exposition. Tutur ini
biasa dipakai oleh para ilmuwan di dalam membeberkan hasil-hasil
penelitiannya. Di dalam membeberkan topik

[42]
tuturnya, tutur berperan mengungkapkan sebagaimana adanya tanpa
suatu pretensi apapun (Oka dan Basuki, 1990:56).

5. Beberapa dimensi ideologi retorika


1. Dimensi filosofis kemanusiaan, dari dimensi ini, kita mengedepankan
pemahaman dari sudut identitas (ciri pembeda) antara eksistensi.
Identitas pembedanya:
• antara makhluk manusia dengan selain manusia
• antara manusia yang berbudaya
• antara yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, pandangan
hidup
5. Dimensi teknis, berbicara adalah sebuah teknik penggunaan symbol
dalam proses interaksi informasi.
6. Dimensi proses penampakan diri atau aktualisasi diri. Berbicara itu
adalah salah satu keperluan yang tidak bisa ditinggalkan
4. Dimensi teologis, menyampaikan ajaran agama sesuatu yang wajib
(dakwah)
Bicara juga ada seninya. Pernahkah anda mengamati seorang
penjual obat di pasar, ketika sedang menawarkan dagangannya? Atau,
pernahkah anda ikut demonstrasi di kampus anda? Kalau pernah coba
amati gaya bicara sang korlap!
Retorika bukan cuma menekankan pada output verbal seseorang
ketika berbicara, namun juga output non verbalnya. Percaya atau tidak,
gerakan bola mata kita atau arah pandangan mata kita, bahkan benda apa
yang kita pegang saat berbicara, berpengaruh pada dipercaya tidaknya
ucapan kita oleh orang lain. Seni berbicara memang erat kaitannya dengan

[43]
seni mempengaruhi orang lain. Salah satu kuncinya adalah kenali audiens
anda. Dengan mengenali siapa yang anda ajak bicara, anda bisa
memprediksi apa dan bagaimana anda harus bicara, agar ucapan anda bisa
dipercaya.

6. Latar Belakang yang Berbeda


Proses komunikasi pada intinya adalah proses yang berusaha
mencari mutual understanding di antara dua pihak yang berkomunikasi
itu. Proses itu bisa gampang, bisa jadi sulit. Mutual understanding bisa
tercipta jika ada kemiripan antara frame of reference dan field of experience
kedua belah pihak.
Dua pihak yang berkomunikasi membawa latar belakang
pemahaman yang berbeda pula. Di benak setiap orang yang
berkomunikasi, umumnya telah tercipta image, persepsi dan gambaran
tentang lawan komunikasinya. Dalam banyak kasus, image bahkan dapat
tercipta sebelum bertemu muka dengan si-obyek image.
Image sendiri bukanlah suatu fenomena yang buruk. Image yang
tepat, dapat membantu kita dalam proses komunikasi, namun demikian,
kita harus menyadari bahwa Image dapat dimanipulasi atau dikondisikan,
secara sadar maupun tidak sadar, oleh diri kita sendiri, atau obyek lain
diluar diri kita.

Pesan Komunikan
Komunikator
Saluran

frame of
frame of
reference dan
reference dan
field of
field of Feedback
experience
experience

[44]
Suatu proses komunikasi akan menghasilkan mutual understanding
jika ada kedekatan antara frame of reference dan field of experience dari
para peserta proses komunikasi.
Untuk menjadi komunikator yang efektif, anda sedapat-dapatnya
harus mengenali karakteristik audiens anda, untuk menentukan teknik
komunikasi apa yang harus anda gunakan untuk menyampaikan pesan
anda. Karakter tersebut dapat diketahui salah satunya dengan bertanya
kepada panitia. atau melihat apa jenis acara tersebut. Oleh sebab itu,
komunikator harus mempersiapkan diri jauh sebelum acara dimulai. Agar
ketika sudah berada di depan podium, komunikator tidak lagi gugup
karena kurangnya persiapan.

7. Pentingnya Retorika
Persepsi adalah proses yang terintegrasi dalam individu, yang
terjadi sebagai reaksi atas stimulus yang diterimanya (bersifat individual).
Sebuah konsensus (kesamaan persepsi kolektif pada satu isu tertentu)
yang tercapai melalui diskusi sosial akan menimbulkan opini publik.
Sedangkan pada diri individu sendiri, opini bisa bersifat laten atau manifes.
Opini yang bersifat laten disebut sikap. Sikap adalah suatu predisposisi
terhadap sesuatu obyek, yang didalamnya termasuk sistem kepercayaan,
perasaan, dan kecenderungan perilaku terhadap obyek

[45]
tersebut. Sikap bisa dipelajari, bersifat stabil, melibatkan aspek kognisi
dan afeksi, dan menunjukkan kecenderungan perilaku.

[46]
3
BERBAHASA DAN BERPIDATO

1. Keterampilan Berbahasa dan Berpidato


Jauh sebelum manusia mempunyai tradisi baca tulis, manusia
sudah berbahasa juga. Bahasa yang digunakan adalah bahasa lisan. Karena
itu dapat dipastikan bahwa bahasa yang mula-mula adalah bahasa lisan.
Istilah bahasa lisan baru muncul setelah bahasa tulis. Dulu tidak
dibedakan antara bahasa lisan dengan bahasa tulis karena setiap bahasa
adalah lisan. Itulah sebabnya sampai sekarang ada yang beranggapan
bahwa bahasa lisan itu dasar komunikasi. “Oral language is basic of
communication” dcmikian kata Dacanay. Sedangkan bahasa tulis hanyalah
rekaman bahasa lisan.
Dalam pelaksanaan bahasa lisan, komunikator menyampaikan
informasi dengan berbicara sedangkan dalam pelaksanaan bahasa tulis,
komunikator menyampaikan informasi dengan menulis dan komunikasi
menerima informasi dengan membaca. Berdasarkan hal itu, ada empat
kegiatan berbahasa yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis.
Dalam komunikasi sehari-hari, penggunaan keempat
keterampilan berbahasa itu tidak sama. Hal ini telah dibuktikan Paul T.
Rankin mengenai penggunaan waktu untuk keempat keterampilan
berbahasa terhadap 68 orang dari berbagai pekerjaan dan jabatan selama
dua bulan. Hasil survai Donald E. Bird (1951: 166) terhadap mahasiswa

[47]
Stephene College Girls di New York menunjukkan bahwa mereka dalam
perkuliahan menggunakan waktu berkomunikasi sebagai berikut:
Menyimak 45%
Berbicara 25%
Membaca 15%
Menulis 18%
Uraian di atas menunjukkan bahwa kegiatan berbicara menyita
waktu 25% dari semua kegiatan berbahasa kita. Suatu jumlah yang cukup
banyak yaitu urutan kedua setelah menyimak.
Kegiatan berbicara memang banyak dilakukan orang dalam
kehidupan bermasyarakat. Ada-ada saja yang dibicarakan. Kenyataan
telah membuktikan bahwa hampir semua orang tahan tidak makan satu
hari tetapi tidak tahan untuk tidak berbicara satu jam.
Wujud kegiatan berbicara itu dapat kita lihat misalnya ketika
pelaku pemerintahan menguraikan kebijaksanaan pemerintahannya;
orang tua memberi nasihat kepada anaknya; pemuka agama
membeberkan isi kitab suci disebut berkotbah; seorang tokoh partai
mengemukakan kelehihan partainya yang dinamakan berkampanye, dan
sebagainya.
Dari kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa berpidato
merupakan salah satu kegiatan berbicara, dan berbicara merupakan satu
kegiatan berbahasa.

2. Pengertian Pidato

[48]
Pidato adalah penyampaian gagasan, pikiran atau informasi
kepada orang banyak secara lisan dengan cara-cara tertentu. Pidato dapat
diartikan sebagai seni membujuk seperti yang dikatakan Aristotelcs, The
art of persuasion. Jadi, orang dikatakan berpidato dengan baik apabila dia
mampu membujuk para pendengarnya untuk memahami, menerima, dan
mematuhi pesan-pesan yang dikemukakannya.
Dalam pelaksanaannya, pembicara menyampaikan informasi, ide,
pikiran, atau pendapat secara lisan di depan umum. Oleh karena itu, dalam
pidato terdapat tiga unsur yaitu:
1. Pembaca
2. Isi pembicaraan
3. Pendengar
Baik pada jaman dulu, sekarang maupun masa yang akan datang,
pidato tetap memegang peranan penting dalam masyarakat. Orang yang
mempunyai keahilan dalam berpidato dapat dengan mudah membeberkan
ide-idenya sehingga dapat diterima oleh pendengarnya.
Dalam sejarah dapat kita ketahui orang-orang yang ahli pidato
(orator) yang tersohor. Misalnya Hitler, dengan keahliannya dia mampu
mengajak bangsanya untuk berperang. Demikian pula Bung Tomo, dengan
pidatonya dia mampu membakar semangat arek-arek Surabaya berperang
melawan kolonialis. Contoh lain mantan Presiden RI Soekarno yang
keahlian berpidatonya sulit dilupakan.

3. Tujuan Pidato

[49]
Tujuan pidato ada bermacam-macam. Setiap pembicara
merumuskan tujuan berpidato karena tujuan setiap pidato tergantung dan
keadaan dan apa yang dikehendaki oleh pembicara. Namun secara umum,
tujuan pidato dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
i. Memberitahukan
ii. Menghibur dan menyenangkan
iii. Membujuk atau mempengaruhi.
Bila pidato itu bertujuan memberitahukan, maka reaksi yang
diharapkan oleh pembicara ialah agar pendengar paham atau mengerti
pesan yang dikemukakan pembicara. Jadi, pidato itu selesai diharapkan
para pendengar mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak tahu. Karena
itu, pembicara harus mengutamakan kejelasan isi pidato.
Contoh pidato yang bertujuan untuk memberitahukan.
“Bapah-bapak, Ibu-ibu, Saudara/Saudari yang terhormat. Assalamu
alaikum wr.wb.”
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, kita
berterima kasih karena semua pembangunan gedung SMU ini tidak
terdapat hambatan berarti.
Terlebih dahulu kami selaku ketua panitia pembangunan,
menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak, Ibu dan
Saudara yang telah memberikan bantuan moral maupun materil
yang tulus ikhlas dalam pembangunan gedung ini.
Selain itu, kami tidak lupa atas bantuan subsidi dan Pemerintah Pusat
serta dan Bapak Pejabat Wilayah dan Desa. Untuk itu, kami
mengucapkan terima kasih.

[50]
Bapak-bapak, Ibu dan Saudara yang terhormat! Dengan selesainya
gedung SMU ini maka terpenuhilah harapan masyarakat,
khususnya wali murid yang telah lama menginginkan adanya
gedung SMU yang memenuhi persyaratan.
Sehubungan dengan hal tersebut, sampailah waktunya dimana kami
telah menerima gedung SMA di desa kami yang segera akan
ditempati.
..................
Terima kasih. Wassalarnu alaikum wr.wb.
Bila tujuan pidato untuk menghibur atau menyenangkan maka
reaksi yang akan diharapkan oleh pembicara dan pendengar yaitu
perasaan puas dan senang. Pidato semacam ini terdapat sewaktu diadakan
jamuan makan, pesta, atau pertemuan-pertemuan gembira lainnya
misalnya pidato sambutan dalam pesta ulang tahun seorang teman. Dalam
kesempatan seperti itu, pembicara berusaha menciptakan suasana lebih
semarak dan lebih menggembirakan para tamu. Caranya bcrmacam-
macam, antara lain memuji-muji yang berulang tahun pada saat itu
mengenai kecantikannya, kelakuannya maupun kelebihan lain yang
dimilikinya. Di samping itu memuji para undangan yang datang dengan
meyelipkan humor yang segar dan orisional.
Selain untuk kedua tujuan di atas, pidato bcrtujuan membujuk
atau mempengaruhi pendengar. Dalam pidato itu, pembicara berusaha
mendorong, meyakinkan, dan akhirnya mengajak para pendengar untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu seperti yang
dikehendaki oleh si pembicara. Pembicara mendorong para pendengar,
maksudnya dia berusaha memberi semangat dan membangkitkan

[51]
kegairahan. Jadi, berusaha membakar emosi para pendengar. Pembicara
mempengaruhi keyakinan atau sikap mental pendengar bahwa sesuatu itu
baik atau tidak baik. Untuk meyakinkan para pendengar, pembicara
menampilkan bukti-bukti, fakta-fakta, contoh-contoh, perbandingan-
perbandingan, dan alasan-alasan yang masuk akal. Setelah pendengar
didorong dan diyakinkan, barulah pembicara mempengaruhi pendengar,
agar mau berbuat dan bertindak. Tindakan yang diharapkan pembicara
bermacam-macam. Ada yang berupa dukungan moril dan ada pula gerakan
mengumpulkan uang, menusuk tanda gambar tertentu, mengadakan
demonstrasi, pemogokan, dan sebagainya.
Perlu ditambahkan bahwa dalam menyiapkan pidato, pembicara
tidak cukup hanya menyiapkan tujuan utama tetapi juga tujuan khusus.
Tujuan khusus artinya tanggapan yang khusus diharapkan dan pendengar
setelah pembicara selesai berpidato. Tujuan khusus itu merupakan suatu
hal yang diharapkan untuk dikerjakan, diyakini, dirasakan, diketahui, atau
disenangi oleh pendengar.
Contoh: Topik : Membaca
Tujuan Umum : Memberitahukan
Tujuan khusus : Agar pendengar memahami pentingnya
membaca.
Atau:
Topik : Membaca
Tujuan Umum : Membujuk
Tujuan Khusus : Agar pendengar rajin membaca.
Contoh di atas menunjukkan bahwa dalam topik yang sama,
pembicara dapat menetapkan tujuan yang berbeda. Tentu saja, penetapan

[52]
tujuan yang berbeda akan menimbulkan uraian dan penyampaian yang
berbeda pula.

4. Metode Pidato
Ada empat macam metode untuk berpidato yaitu:
i. Metode Naskah
Dalam pidato resmi sering kita melihat pembicara membawa
naskah yang sudah disiapkan sebelumnya untuk dibacakan di muka
umum. Metode pidato semacam ini disebut metode naskah.
Metode naskah ini memang masih sering digunakan dalam situasi
resmi, terutama pidato yang disiarkan melalui radio atau televisi.
Pembicara memakai metode naskah alasannya agar keliru sebab
setiap kata yang diucapkan oleh pejabat dalam situasi resmi akan
disebarluaskan oleh wartawan dan akan dipakai sebagai panutan oleh
khalayak. Selain itu, naskah pidato akan disimpan sebagai dokumenn
atau arsip.
Memang ada kemungkinan metode naskah digunakan orang
karena pembicara belum biasa atau belum ahli berpidato dengan
alasan takut tidak lancar. Jadi, metode ini cocok bagi orang yang masih
dalam taraf belajar.
Perlu disadari bahwa rnetode naskah ini dirasakan agak kaku
sebab seolah-olah ada batas antara komunikator dengan komunikan.
Mata pembicara sering tertuju pada naskah sehingga kontak batin
dengan komunikan tidak terbina dengan baik. Lebih-lebih pembicara
bukan seorang ahli maka ia tidak bisa memberikan tekanan dan

[53]
variasi suara untuk menghidupkan pembicaraan agar lekas tidak
mcmbosankan.

ii. Metode Menghafal


Metode ini merupakan lanjutan dan metode naskah. Naskah yang
sudah disiapkan sebelumnya bukan sekedar dibaca saja tetapi dihafal
seluruhnya kata demi kata. Dalam pelaksanaan pidato, pembicara
tinggal menyuarakan naskah yang telah dihafalkan tadi persis dengan
naskah yang asli. Agaknya metode pidato ini hanya bisa dilakukan
untuk pidato yang pendek saja. Pidato panjang yang memerlukan
waktu beberapa jam jelas tidak mungkin menggunakan metode ini.
Pidato yang menggunakan metode ini biasanya kurang menarik
dan menjemukan karena pembicara cenderung berbicara cepat dan
tergesa-gesa malahan kata-kata yang diucapkan itu maknanya tidak
dihayati. Jadi hanya sekedar mengeluarkan hafalannya saja.
Kelemahan metode ini ialah pembicara tidak menyesuaikan reaksi-
reaksi dari pendengar karena ia sudah terikat dengan naskah yang
sudah dihafal. Meskipun demikian, jika pembicara sudah terampil
menguasai situasi, biasanya pidato tersebut juga akan berhasil seperti
diharapkan.

iii. Metode Improptu


Pembicara yang menggunakan metode ini tidak mempunyai
persiapan lebih dahulu. Pembicara tidak menyiapkan naskah, tidak
membaca naskah, tidak perlu menghafal naskah. Bahkan menulis

[54]
pokok-pokok isi pidato pun tidak. Jadi, pembicara benar-benar
spontanitas.
Biasanya pidato semacam ini dilakukan oleh orang yang ditunjuk
secara mendadak. Kelemahan penggunaan metode ini ialah kurang
bisa dilakukan oleh orang yang belum ahli berpidato. Kebaikannya
adalah sangat efektif bagi orang yang ahli berpidato karena rangkaian
kalimat yang sudah dibuat secara spontan kadang dirasakan lebih
menarik dan segar daripada yang sudah direncanakan sebelumnya.

iv. Metode Ekstemporan


Metode ini dianggap paling efektif di antara ketiga metode pidato
di atas. Karena itu, metode ini sangat dianjurkan.
Sebelum berpidato, sang pembicara menyiapkan garis-garis besar
(out line) isi pidato dengan cara menuliskan hal-hal yang dianggap
penting. Penulisan isi pidato tidak perlu secara utuh, tetapi cukup
menuliskan pokok-pokoknya saja dan disusun secara sistematis.
Dengan kata lain, kerangkanya sudah disiapkan, tetapi dagingnya
diberikan secara spontanitas dalam berpidato. Kerangka dan catatan-
cacatan hanya digunakan untuk menghafalkan susunan isi pidato.
Kebaikan metode ini ialah pembicara dapat melihat urutan isi
pidato atau hal-hal lain jika lupa. Kebaikan yang lain, pembicara
mempunyai kesempatan yang luas untuk membina kontak batin
dengan pendengar sehingga pidato lebih komunikatif.
Selain metode naskah, hafalan, improptu, dan metode
ekstemporan ada juga metode gabungan antara metode-metode di

[55]
atas. Meskipun demikian, pembicara pasti menggunakan salah satu
dari keempat metode di atas sebagai metode yang lebih dominan.

[56]
4 PERSIAPAN PIDATO

Pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa hampir 25%


waktu kita pergunakan untuk berbicara. Berdasarkan kenyataan itu
memang terasa aneh bahwa kita tidak tahu berbicara, demam panggung,
merasa grogi, atau merasa malu ketika ia disuruh berbicara. Memang tidak
masuk akal, tetapi hal ini sering kita alami atau temukan.
Untuk mengatasi hal di atas, kita perlu mempersiapkan pidato
kita. Persiapan pidato mencakup:
1. Menentukan topik dan tujuan;
2. Menganalisis pendengar dan situasi;
3. Memilih dan menyempitkan topik;
4. Mengumpulkan bahan;
5. Membuat kerangka uraian;
6. Menguraikan secara mendetail;
7. Melatih dengan suara nyaring (Gorys Keraf, 1980: 317-318)

1. Menentukan topik dan tujuan


Yang pertama diperhatikan dalam mempersiapkan sebuah pidato
adalah menentukan topik dan tujuan. Hal ini sangat bergantung kepada
pendengar yang dihadapi dan keinginan si pembicara. Setiap pidato dalam
satu kesempatan sekurang-kurangnya harus mengandung satu topik yang

[57]
ingin disampaikan kepada pendengar dan tentunya mengharapkan suatu
reaksi dari pendengar. Pembicara tentu menginginkan agar pokok-pokok
pembicaraan yang diyakini dan dipahami oleh pendengar. Oleh karena itu,
diperlukan data dan fakta untuk membuktikan pokok-pokok pembicaraan
tadi.
Topik dan tujuan pembicaraan merupakan dua hal yang tidak
terpisahkan. Topik merupakan persoalan yang akan ditemukan,
sedangkan tujuan pcmbicaraan merupakan tanggapan yang diharapkan
dari pendengar.
Dalam hal menentukan topik pembicaraan, perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Topik yang dipilih hendaknya sudah diketahui oleh pembicara dan ada
kemungkinan untuk memperoleh lebih banyak keterangan atau
informasi untuk melengkapinya.
b. Topik yang disampaikan hendaknya menarik perhatian bagi si
pembicara sendiri.
c. Persoalan yang dibicarakan hendaknya juga menarik perhatian
pendengar.
Suatu topik dapat menarik perhatian pendengar karena:
1) Topik itu mengenai persoalan para pendengar sendiri.
2) Topik itu merupakan suatu jalan keluar dan suatu persoalan yang
tengah dihadapi.
3) Merupakan persoalan yang ramai dibicarakan dalam masyarakat
atau persoalan yang jarang terjadi.
4) Persoalan yang dibawakan merupakan konflik pendapat.

[58]
d. Tingkat kesulitan persoalan yang dibahas hendaknya disesuaikan
dengan tingkat kemampuan para pendengar.
e. Persoalan yang disampaikan hendaknya dapat diselesaikan dalam
waktu yang disediakan. Bila pidato itu melampaui waktu yang
ditentukan dapat menimbulkan perhatian pendengar berkurang dan
bahkan akan lenyap sama sekali.
Selain topik, perlu diperhatikan pula judul pidato. Topik
mengandung materi pembicaraan atau persoalan yang diuraikan serta
objek atau aktivitas yang perlu diketahui pendengar. Sebaliknya, judul
adalah etiket yang diberikan untuk menimbulkan rasa ingin tahu terhadap
persoalan yang diuraikan. Judul adalah semacam slogan yang
menampilkan topik dalam bentuk yang menarik. Judul yang baik
hendaknya bersifat relevan, provokatif, dan singkat.

Tujuan Pembicaraan
Tujuan pembicaran tergantung dari keadaan dan keinginan
pembicara. Tujuan pembicara tersebut dapat dibedakan atas tujuan umum
dan tujuan khusus.
a. Tujuan Umum
Tujuan umum beserta reaksi-reaksi umum yang terdapat dalam
satu uraian dapat dibedakan atas:

Tujuan Umum Reaksi yang diinginkan Sifat dan jenis uraian


mendorong membangkitkan emosi persuasif
meyakinkan persesuaian pendapat persuasif
intelektual, keyakinan persuasif

[59]
bertindak tindakan tertentu persuasif
dari pendengar
memberitahukan pengertian yang tepat instruktif
mengenai suatu hal
menyenangkan minat dan kegembiraan reaktif

Tujuan suatu uraian dikatakan mendorong bila pembicara


berusaha memberi semangat, membangkitkan kegairahan, atau menekan
perasaan yang kurang baik, serta menunjukkan rasa hormat dan
pengabdian. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan inspirasi atau
membangkitkan emosi para pendengar. Misalnya, pidato Ketua Umum
PSSI dihadapan para pemain yang akan bertanding di luar negeri yang
bertujuan agar mereka memiliki semangat bertanding yang cukup tinggi.
Tujuan meyakinkan maksudnya apabila pcmbicara berusaha
mempengaruhi keyakinan, sikap mental, dan intelektual para pendengar.
Alat yang sangat penting dalam uraian ini adalah argumentasi. Untuk itu
dibutuhkan bukti-bukti, fakta dan contoh-contoh kongkrit yang
meyakinkan para pendengar. Reaksi yang diharapkan dari pendengar
adalah adanya persesuaian pendapat, intelektual, keyakinan dan
sebagainya atas persoalan yang dibawakan.
Tujuan bertindak maksudnya adalah jika pembicara menghendaki
adanya tindakan akan reaksi fisik dari pendengar. Misalnya berupa seruan
persetujuan atau ketidaksetujuan, pengumpulan dana, penandatanganan
suatu resolusi, pengadaan suatu demonstrasi. Dasar dari tindakan tersebut
adalah keyakinan yang mendalam atau terbakarnya emosi atau kedua-
duanya.

[60]
Tujuan memberitahukan maksudnya bila pembicara ingin
memberitahukan atau memberi informasi tentang sesuatu kepada
pendengar agar mereka mengerti dan memahami atau memperluas
pengetahuan mereka. Reaksi yang diharapkan adalah menimbulkan minat
dan kegembiraan pada hati pendengar.

b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dapat diartikan sebagai suatu reaksi atau
tanggapan khusus yang diharapkan dari pendengar setelah pembicara
selesai menyampaikan pidatonya. Tujuan khusus ini merupakan suatu hal
yang diharapkan untuk dikerjakan, dirasakan, diyakini, dimengerti, dan
disenangi pendengar.
Misalnya seorang pembicara akan menyampaikan suatu pidato
dengan topik “Cara Belajar yang Efektif” maka dapatlah dibuat tujuan
khusus sebagai berikut:
Topik : Cara Belajar yang Efektif
Tujuan Umum : Mendorong
Tujuan Khusus : Untuk menarik sebanyak mungkin agar pendengar
tertarik untuk melaksanakan cara belajar efektif.
Perlu diketahui bahwa bisa saja topiknya sama tetapi tujuan khususnya
dan umumnya berbeda. (lihat pembahasan semula)

[61]
2. Menganalisis Situasi dan Pendengar
a. Menganalisis Situasi
Dalam menganalisis situasi perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Maksud pengunjung mendengarkan uraian
2) Adat kebiasaan atau tata cara kehidupan mendengar
3) Susunan acara; pembicara pada waktu awal, penengahan,
atau pada akhir acara. Pada waktu pagi, siang, sore, atau
malam hari; sesudah atau sebelum perjamuan, dan
sebagainya.
4) Tempat pembicaraan berlangsung; di alam terbuka atau di
dalam ruangan, ada tempat duduk atau tidak, ada penerangan
atau tidak, dan sebagainya.
Dengan menganalisis hal-hal tersebut akan didapatkan jalan
keluar untuk menyiapkan cara-cara bagaimana pembicara haruis
menyesuaikan diri dalam menyampaikan pidato dan memberi
jalan untuk menentukan sikap yang harus diambil dalam
menghadapi para pendengar.
b. Menganalisis Pendengar
Ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk menganalis
pendengar yang akan dihadapi:
1) Data-data Umum
Yang diperlukan dalam data-data umum ini adalah: jumlah
pendengar, usia, pekerjaan, pcndidikan, dan keanggotaan
sosial politik.
2) Data-data khusus

[62]
Data-data khusus yang perlu mendapat perhatian meliputi:
a) Pengetahuan pendengar mengenai topik yang dibawakan
Dalam hal ini pembicara berusaha menemukan seberapa
dalam pengetahuan pendengar tentang topik yang akan
disampaikan. Jika pendengar terdiri dari orang-orang
yang tingkat pengetahuannya berbeda maka pembicara
dapat mengambil pengetahuan rata-rata pendengar.
b) Minat dan keinginan pendengar
Dalam hal ini pembicara harus berusaha mengetahui apa
yang diperlukan oleh pendengarnya, terutama keperluan
yang dapat menghubungkan pendengar dengan topik
pembicaraannya.
c) Sikap pendengar
Secara garis besar, sikap pendengar terhadap topik
pembicaraan akan lahir dalam satu bentuk berikut:
menaruh perhatian atau sama sekali apatis. Sedangkan
terhadap pembicara sendiri para pendengar dapat
mengambil sikap bersahabat atau sikap angkuh. Sikap
apatis selalu timbul jika pendengar tidak melihat adanya
hubungan antara pokok pembicaraan dengan
kepentingan atau persoalan hidup pendengar.

[63]
3. Memilih dan Menyempitkan Topik
Topik yang akan disajikan biasanya ditentukan terlebih dahulu oleh
panitia. Namun kadang-kadang persoalan yang disajikan itu diserahkan
sepenuhnya kepada pembicara.
Pemilihan topik hendaknya disesuaikan dengan sifat pertemuan,
data serta informasi tentang situasi dan pendengar yang akan hadir dalam
pertemuan. Topik yang disajikan hendaknya tidak terlalu luas melainkan
harus dibatasi sesuai dengan waktu yang tersedia.

Contoh
Topik : Pengajaran Menulis di SMU
Pembahasan Topik : Masalah pengajaran narasi di SMU

4. Mengumpulkan Bahan
Sebelum menyusun suatu naskah pidato, terlebih dulu
mengumpulkan bahan yang diperlukan. Bahan itu harus berhubungan
dengan topik yang akan dibahas. Lebih banyak dan lebih lengkap bahan
yang diperoleh maka akan memperlancar pembicara dalam menyusun
naskah pidato. Bahan itu dapat diperoleh dari buku, majalah, surat kabar.
Selain itu, bahan dapat pula diperoleh melalui wawancara dengan seorang
yang dapat memberi informasi sehubungan dengan topik yang akan
dibahas.

5. Membuat Kerangka Uraian


Agar memudahkan pembicara dalam menyusun suatu naskah
pidato, sebelumnya pembicara harus membuat kerangka uraian terlebih
dahulu. Kerangka uraian yang dibuat ini sebaiknya terperinci dan tersusun

[64]
baik. Dalam kerangka tersebut, topik yang akan dibahas dibagi menjadi
beberapa bagian atau subtopik. Tiap bagian itu dibagi pula menjadi bagian-
bagian yang lebih kecil yang menjelaskan bagian sebelumnya.
Bagi orang yang sudah biasa berpidato di hadapan umum,
kerangka seperti itu sudah cukup untuk digunakan sebagai pegangan
pembicaraannya. Namun bagi pertemuan tertentu atau bagi orang yang
menghendaki uraian naskah kerangka uraian itu harus dikembangkan lagi
menjadi suatu uraian atau karangan yang menarik dan menjadi suatu
naskah pembicaraan yang diinginkan.

6. Menguraikan Secara Mendetail


Uraian atau naskah pidato disusuri berdasarkan kerangka yang
telah dibuat sebelumnya. Dengan kerangka yang terinci dan tersusun baik,
penyusun naskah diharapkan tidak akan mengalami kesulitan yang
berarti.
Dalam penyusunan naskah hendaknya dipergunakan kata-kata
yang tepat, penggunaan kalimat yang efeklif, pemakaian istilah-istilah dan
gaya bahasa yang dikehendaki sehingga dapat memperjelas uraian.
Teknik penyusunan naskah di bawah ini tidak dapat dijadikan
pedoman:
a. Dalam bagian pengantar uraian perlu disampaikan suatu orientasi
mengenai apa yang akan diuraikan serta bagaimana usaha untuk
menjelaskan tiap bagian itu. Dengan cara ini diharapkan pendengar
akan lebih siap untuk mengikuti uraian itu dengan cermat dan penuh
perhatian.

[65]
b. Dalam memasuki uraian, pembicara tiap kali harus menekankan
bagian-bagian yang penting sebagai sudah dikemukakan pada bagian
awal orientasinya. Tiap bagian yang mendapat penekanan itu
kemudian diikuti dengan penjelasan, illustrasi, atau keterangan-
keterangan yang merupakan perincian yang perlu diketahui oleh
pendengar.
c. Pada akhir uraian, pembicara sekali lagi menyampaikan ikhtisar
seluruh uraiannya itu agar para pendengar dapat memperoleh
gambaran secara bulat mengenai seluruh persoalan yang baru saja
selesai dibicarakan.

7. Melatih dengan Suara Nyaring


Sebelum menyampaikan suatu uraian dihadapan umum,
hendaknya pembicara terlebih dahulu melakukan latihan membaca
naskah agar pada waktunya nanti dapat melakukan pidato dengan lancar.
Dengan melakukan latihan, seorang pembicara akan dapat membiasakan
diri dan menemukan cara dan gaya yang tepat.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berbicara di
hadapan umum, baik berbicara di hadapan suatu kelompok kecil maupun
kelompok besar.

Pembicaraan pada Kelompok Kecil


a. Gerak-gerik
Seorang yang berbicara di hadapan umum tidak hanya melakukan
komunikasi melalui ucapan-ucapan, melainkan mengadakan komunikasi
melalui gerak-gerik: tatapan muka, air muka, senyum, gerakan tangan, dan

[66]
sebagainya. Semua gerik-gerik itu harus diekspresikan sesuai dengan isi
pembicaraan.

b. Teknik Bicara
Biasanya kecepatan berbicara akan turut menentukan
keberhasilan pidato seseorang. Kecepatan pembicaraan dapat diatur dan
disesuaikan dengan penting tidaknya isi uraian. Suatu pengertian yang
mungkin tidak mudah diterima para pendengar, temponya dapat
diperlambat. Sebaliknya, suatu pengertian yang sangat penting dapat
diulang sekali lagi. Begitu pula sesudah menyampaikan suatu pengertian
yang penting, janganlah langsung melanjutkan ke masalah lain. Hendaknya
berhenti sebentar untuk memberi kesempatan kepada pendengar untuk
merenungkannya.
Berbicara pada kelompok kecil tidak memerlukan alat pengeras
suara. Suara pembicara yang pelan akan meyebabkan pendengar
memasang telinganya dengan sungguh-sungguh untuk mendengar apa
yang diucapkan. Lafal dan volume harus jelas. Bila ada di antara pendengar
yang saling berbicara atau membuat gaduh, pembicara yang
berpengalaman biasanya akan berusaha untuk mengatasi kegaduhan itu.
Misalnya dengan merendahkan suaranya secara tiba-tiba maka
pembicaraan dan kegaduhan di antara pendengar akan kedengaran lebih
jelas sehingga para pendengar yang tertib tentu akan merasa jengkel dan
para pembuat gaduh akan menemukan diri mereka sebagai pengganggu
pembicaraan.

[67]
c. Transisi
Dalam suatu uraian tertulis, transisi antara subtopik yang lain
jelas dinyatakan oleh judul-judul bab, sub-sub judul atau pemisahannya
antara paragraf dengan paragraf. Dalam pembicaraan atau suatu uraian
lisan hal itu tidak terlihat.
Transisi dari suatu subtopik ke subtopik yang lain dalam suatu
uraian lisan dapar dilakukan dengan berbagai cara:
1) Sesudah menyelesaikan satu subtopik, pembicara berhenti sebentar
sebelum memulai dengan subtopik baru;
2) Pada saat menyampaikan subtopik baru, pembicara menggunakan
satu dua kalimat sebagai pengantar bagi subtopik yang baru tersebut;
3) Peralihan itu dapat juga dinyatakan dengan perubahan sikap; dan
sikap duduk berubah ke sikap berdiri atau mengambil cacatan-catatan
baru dengan menyingkirkan catatan lama, atau menggunakan alat
peraga baru dan menyingkirkan alat peraga lama.

d. Alat Peraga
Pembicara dapat membantu uraiannya dengan menggunakan
bermacam-macam alat peraga kalau dimungkinkan, seperti film, gambar,
overhead proyektor, mesin perekam, dan sebagainya.
Untuk menggunakan alat peraga, pembicara barus
mempertimbangkan hal-hal berikut:
1) Alat peraga cukup dapat dilihat dan dibaca oleh semua pendengar;
2) Alat peraga jangan terlalu banyak ragamnya sehingga sukar dipahami
atau diingat;

[68]
3) Penggunaan alat peraga hanya dilakukan jika benar-benar membantu
menjelaskan suatu hal yang tak dapat dilakukan melalui penjelasa
lisan;
4) Penggunaan alat peraga jangan sampai menimbulkan kehilangan
kontak antara pendengar dengan alat peraga.

Pembicaraan pada Kelompok Besar


Apa yang telah dikemukakan mengenai hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam menghadapi kelompok kecil, berlaku pula untuk
menghadapi kelompok besar. Selain itu, ada beberapa petunjuk yang perlu
diperhatikan khususnya dalam menghadapi kelompok besar:
a. Pembukaan
Sebelum mulai berbicara, sebaiknya pembicara menggunakan
satu-dua menit untuk mengukur situasi, melayangkan pandangan
sebentar kepada para pendengar untuk mendapatkan suatu kesan singkat
mengenai semua yang hadir, menaksir jumlah pendengar, kesan tentang
kemampuan intelektual para pendengar, dan sebagainya.
Pembicara jangan tergesa-gesa menyajikan materi pembicaraan.
Sebaiknya pembicara terlebih dahulu mengucapkan terima kasih kepada
orang yang telah memperkenalkannya, menghubungkan pembicaraan
dengan pembicaraan sebelumnya, menggambarkan suasana umum
pertcmuan itu, serta kepentingannya bagi para pendengar.

b. Kecepatan Berbicara
Kecepatan dan volume suara harus disesuaikan dengan jumlah
pengunjung, besar ruangan, dan sifat mudah atau sulitnya topik

[69]
pembicaraan. Semakin banyak pengunjung hendaknya kecepatan
berbicarapun semakin diperlambat.

c. Artikulasi
Artikulasi pembicara hendaknya diusahakan agar senantiasa jelas
bagi para pendengar. Perlu diperhatikan bahwa biasanya semakin hanyak
pengunjung kemungkinan banyak gangguan dan suara hiruk-pikuk
semakin besar.

[70]
5 PELAKSANAAN PIDATO

1. Struktur Pidato
Secara sederhana, syukur pidato dapat dipisahkan menjadi tiga
bagian: pembukaan, isi dan penutup. Adapun hal-hal yang mungkin
terdapat dalam tiap-tiap bagian itu (tidak harus semua, boleh juga hanya
satu) adalah sebagai berikut:
Pembukaan
1. Ucapan terima kasih, ucapan salam, dan menyapa hadirin.
2. Perkenalan diri pembicara
3. Humor sebagai penyegar
4. Penyiapan pikiran pendengar terhadap isi pidato

Isi atau uraian:


1. Penjelasan-penjelasan
2. Alasan-alasan
3. Bukti-bukti yang mendukung
4. Ilustrasi-ilustrasi
5. Contoh-contoh
6. Perbandingan-perbandingan
7. Kontras-kontar, dan sebagainya.

[71]
Penutup:
1. Menyiapkan kesimpulan isi pidato
2. Menyampaikan harapan yang berisi anjuran atau harapan kepada
pendengar,
3. Menyampaikan salam penutup
Waktu yang dipergunakan untuk menyampaikan pembukaan, isi
dan penutup tidaklah sama. Perbandingannya adalah sebagai berikut:
1. untuk pidato singkat yang hanya m,emerlukan waktu lima menit,
perbandingan waktunya adalah:
Pembukaan : 1 menit
Isi : 3 menit
Penutup : 1 menit
2. Untuk pidato yang panjang disarankan tidak melebihi sepersepuluh
dari seluruh pidato. Isi atau uraiannya sekitar delapan sepersepuluh
dan penutupnya sepersepuluh atau lebih singkat lagi (Asul Wijayanto,
1979: 40). Jadi, perbandingan waktu antara pembukaan, isi, dan
penutup adalah 1 : 8 : 1. Tentu saja perbandingan itu tidak mutlak,
tergantung pada situasi.

a. Pembukaan Pidato
Membuka pidato memainkanperanan yang sangat penting, karena
kesan pertama bagi para pendengar adalah pada cara pembukaan pidato.
Kalau kesan pertama baik, maka pendengar akan menaruh simpati pada si
pembicara. Hal ini merupakan modal utama untuk keberhasilan pidato.
Sebaiknya, apabilakesan pertama sudah tidak baik, maka perhatian

[72]
pendengar sulit dikendalikan. Karena itu kita harus hati-hati dalam
membuka pidato.
Untuk membuka pidato, ada berbagai cara yang dapat dilakukan
misalnya membuka pidato dengan humor, dengan memperkenalkan diri;
memberikan pendahuluan secara umum; membuka pidato dengan cara
memberikan ilustrasi dan sebagainya.

b. Isi Pidato
Isi pidato merupakan uraian mengenai pokok persoalan yang
dipilih untuk mencapai tujuan terutama tujuan khusus pidato. Karena itu,
dalam menguraikan pokok pembicaraan harus berkiblat pada tujuan yang
ingin dicapai. Selain itu, uraian pokok persoalan juga diwarnai oleh
pendekatan yang dipilih oleh pembicara. Namun apapun tujuannya dan
pendekatannya, uraian dalam pidato harus jelas. Dalam wujud yang nyata,
uaraian itu berupa penjelasan-penjelasan yang dikuatkan oleh fakta-fakta,
alasan, contoh, dan perbandingan-perbandingan.
Ada tiga pendekatan dalam menyampaikan isi pidato, yaitu:
1) Pendekatan intelektual
Pendekatan ini dipakai apabila para pendengar umumnya orang-
orang yang berpendidikan tinggi. Dalam menghadapi orang-orang
terpelajar ini, pembicara tidak boleh asal bicara, melainkan harus
berbicara dengan mengutamakan penalaran. Setiap pernyataan yang
dikemukakan harus disertai alasan dan bukti yang kuat karena
pendengar memang sudah terbiasa berfikir logis.

[73]
2) Pendekatan moral
Pendekatan moral ini dipergunakan apabila para pendengar
umumnya orang-orang yang aktif dalam bidang moral, misalnya di
lingkungan keagamaan, kemanusiaan dan sebagainya.
3) Pendekatan emosional
Apabila para pendengar umumnya oarng-orang yang tidak
berpendidikan tinggi, maka sebaiknya digunakan pendekatan
emosional sewaktu berpidato. Pendekatan ini sudah terbukti paling
efisien untuk mengambil simpati pendengar yang tidak intelek.
Caranya, pembicara lebih dulu mengajak pendengar untuk bersahabat
baru kemudian ditanamkan atau disampaikan informasi, gagasan,
pendapat, atau kehendak si pembicara.

c. Penutup Pidato
Penutup pidato merupakan bagian yang amat penting karena apa
saja yang terakhir dikatakan pembicara biasanya lebih mudah dan lebih
lama diingat oleh pendengar. Selain itu, kesan terakhir penampilan
pembicara juga terekam dalam angan-angan pendengar. Oleh karena itu,
pembicara harus hati-hati memilih cara menutup pidato sebab
ketidaktepatan menutup pidato akan merusak keseluruhan isi pidato yang
sudah baik ditata.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menutup pidato,
misalnya menutup pidato dengan mengemukakan rangkuman
(kesimpulan) isi pidato: menutup pidato dengan mengucapkan kalimat
berupa motto; mengemukakan ajaran, dan sebagainya.

[74]
2. Tata Krama Perpidato
Berpidato di hadapan umum merupakan suatu kehormatan.
Berhasil tidaknya pidato itu ditentukan oleh tata krama dalam berpidato.
Tata krama ini tentu disesuaikan dengan forum yang dihadapi, misalnya di
hadapan massa, di hadapan wanita, di hadapan orang terkemuka, di
hadapan sesama golongan, di hadapan pelajar, di hadapan pemeluk satu
agama, atau di hadapan rakyat desa. Perhatikan tata krama berpidato
berikut ini:
1. Jika berpidato di hadapan umum, hendaknya memperlihatkan hal-hal
sebagai berikut:
a. Berpakaianlah dengan rapi dan bersih; tidak bergaya pamer
dengan memakai perhiasan atau pakaian yang berlebihan
b. Gunakanlah kata-kata yang sopan dan jangan memperlihatkan
keangkuhan, kesombongan tetapi dengan rendah hati.
c. Jika pidato agak panjang, selingilah dengan humor yang sopan
agar tidak membosankan para pendengarnya.
2. Jika berpidato di hadapan wanita atau sebagian besar wanita dan yang
berpidato pria, gunakanlah kata-kata yang tidak menyinggung
perasaannya.
3. Jika berpidato di hadapan orang-orang terkemuka, hendaklah
mempersiapkan diri dengan baik, penuh keyakinan, dan tidak merasa
rendah diri.
4. Jika berpidato di hadapan sesama golongan, kita harus terbuka dan
terus terang dan agak santai namun jangan melupakan tata krama.
5. Jika yang mendengar pidato kita itu pelajar, kita harus mampu
meyakinkan mereka dengan argumentasi-argumentasi yang logis.

[75]
6. Jika berpidato di depan pemeluk suatu agama, kita harus menjaga agar
jangan sampai ada satu ucapan pun yang menyinggung martabat suatu
agama.
7. Jika yang mendengarkan pidato kita itu masyarakat desa, gunakanlah
kata-kata atau kalimat yang sederhana sehingga pidato kita itu mudah
dipahami.

3. Posisi Berpidato
Komunikasi akan lebih efektif jika si pembicara dapat dilihat oleh
pendengar. Daya tarik akan berkurang jika yang berpidato tidak dapat
dilihat oleh pendengar. Usahakanlah berdiri pada tempat tertentu
sehingga dapat dilihat oleh seluruh pendengar. Usahakanlah berdiri
jangan duduk. Berpidato dengan duduk haya dapat dibenarkan dengan
alasan tertentu. Ada juga pidato yang diucapkan di hadapan pendengar
yang sama-sama duduk di lantai misalnya pertemuan-pertemuan di desa.
Yang berpidato harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi.

4. Faktor Penunjang Keefektifan Berpidato


Agar pidato sukses, di samping dapat menguasai massa, masih
diperlukan hal-hal berikut:
1. Pembicara dituntut seseorang yang bermoral. Jika pembicara tidak
bermoral baik dan hal itu diketahui oleh pendengar, maka pendengar
akan mencemooh. Pembicara yang bermoral baik san jujur akan sangat
terkesan bagi pendengar.

[76]
2. Pembicara hendaknya sehat jasmani dan rohani sehingga
penampilannya dapat bersemangat, gagah, simpatik. Jangan sekali-kali
menunjukkan fisik yang lemah di hadapan massa.
3. Sarana yang diperlukan hendaknya cukup menunjang, misalnya
publikasikan jika pidato itu disampaikan di hadapan massa, pengeras
suara harus memadai, waktu dan tempat yang sesuai.
4. Jika berpidato di hadapan massa diperhatikan: volume suara, tingkat
pengetahuan massa, keadaan sosial, kebiasaan, adat istiadat, agama,
dan waktu berbicara. Pembicara harus sabar dan menyesuaikan
gayanya dengan massa yang dihadapi.

[77]
6 UNSUR TEKNIK PIDATO

1. Berani Tampil di depan Umum


Seseorang yang mahir berpidato haruslah menguasai teknik
tampil di lingkungan umum. Lingkungan umum yang seringkali menjadi
ajang pergaulan seseorang, sedang lingkungan khusus adalah lingkungan
pasti dimana orang selalu hadir dalam kesehariannya.
Bagi seorang Kepala Dinas Kehutanan maka Kantor Kehutanan
adalah lingkungan khususnya sebab disanalah hak dan kewajibannya
setiap hari harus dipenuhi. Sementara lingkungan umumnya adalah dinas
terkait dan masyarakat tempat tinggalnya. Maka dalam kapasitasnya
tersebut, seorang Kepala Dinas diharuskan selalu mampu berpidato di
lingkungan: kantor dinas kehutanan, kantor dinas terkait, dan lingkungan
masyarakat. Di sinilah unsur keberanian itu diuji sebab semakin tinggi
status sosial dan jabatan seseorang maka akan semakin kerap pula dia
diminta untuk berpidato.

2. Bisa Berkonsentrasi
Dalam pidato, seseorang harus menyampaikan sesuatu yang
dirasakan bermanfaat untuk pendengarnya. Agar pidato itu bisa runtut
dengan makna yang jelas, tidak mengulang bahasan, dan pembicara tidak
gugup, maka seseorang harus bisa berkonsentrasi terhadap materi
pidatonya dan pendengarnya. Hal ini disebabkan oleh berkonsentrasi

[78]
hanya pada pidato apalgi hanya dengan mebaca teks akan membuat
sebuah pidato penjadi menjemukan dan hadirin tidak diperdulikan.
Dengan konsentrasi diharapkan akan timbul ketenangan pada pembicara
sehingga ia bisa berpidato dengan lancar.

3. Pandai Mengolah Intonasi


Agar sebuah pidato bisa menarik maka seseorang harus bisa
mengolah intonasi yakni tinggi rendah dan tekanan suara yang bervariasi.
Bagaimana dia mengucapkan kalimat biasa dan bagaimana mengucapkan
kalimat yang perlu untuk ditekankan kepada pendengar.
Teori penekanan kata ini biasanya berlaku pada suku kata kedua.
Jadi apabila Anda mengucapkan kata ‘kalimat’ maka yang ditekankan
adalah suku kata ‘li’. Dan dalam hal ini Anda melatihnya dengan baik maka
Anda akan bisa melakukannya dengan otomatis. Sementara secara
keseluruhan bisa pula dipilih kalimat mana yang akan ditekankan.

4. Bisa Merangkai Kata yang Menarik


Merangkai kata yang menarik itu ada dua pilihan, yakni terlebih
dahulu dikonsep dan dihafalkan bila Anda membaca teks pidato atau Anda
berlatih secara khusus untuk bisa melakukan hal itu. Cara yang terbaik
adalah bisa melakukannya dengan spontan serta siap setiap saat. Agar bisa
merangkai kata yang menarik, maka seseorang harus bisa menyelami
siapa pendengarnya dan apa yang menjadi perhatian mereka secara
khusus menyangkut hal yang aktual. Inilah yang diungkap pada awal
kegiatan pidato.
Selanjutnya, hal yang dapat dilakukan untuk menunjang
kemahiran merangkai kata adalah:

[79]
a. Gemar mendengarkan pidato yang menarik;
b. Gemar membaca;
c. Gemar berkomunikasi secara lisan dengan orang lain;
d. Gemar berlatih; dan
e. Memperhatikan humor bermutu.
Semua ini akan menjadi peluru bagi Anda yang siap untuk Anda
tembakkan setiap saat. Pidato yang menarik adalah bagian penting dari
suatu acara.

5. Pandai Menghidupkan Suasana


Suasana yang hidup adalah suatu suasana yang responsif artinya
terjalin komuniksi dan perhatian antara pendengar dan mereka yang
berada di atas panggung. Suasana yang hidup ini memang harus dilakukan
oleh pengisi acara yang meliputi antara lain:
a. Pembaca acara;
b. Penyambut/orang yang berpidato;
c. Pengisi acara.
Khusus bagi mereka yang berpidato, acara yang baik adalah
dengan cara humor. Prinsip humor yangbaik dalam berpidato adalah:
a. Membawa kesegaran;
b. Tidak porno;
c. Sesuai pendengar;
d. Tidak terlalu panjnag; dan
e. Tidak terlalu sering.
Selain cara menggunakan humor dalam pidato untuk
menghidupkan suasana, maka orang yang berpidato harus mampu untuk

[80]
menjalin komunikasi secara langsung atau tidak langsung dengan
pendengarnya dan melemparkan isi yang aktual mengenai kehidupan
sosial, tugas kedinasan, mengenai data terbaru, atau apa pun yang perlu
disimak.

6. Mengenal Penampilan/Busana
Seorang tokoh nasional pernah suatu ketika berkunjung
mendadak ke lokasi kongres untuk melihat persiapan akhir. Namun
setelah selang beberapa waktu terkuaklah tujuan utamanya yakni ia
melihat apa warna latar belakang back ground yang ada. Sehingga ia bisa
berfikir tentang baju apa yang dikenakannya sehingga nampak serasi
dengan latar tersebut.
Menyimak kisah ini maka bisa dilihat bahwa sebenarnya
seseorang memang harus memikirkan penampilan busananya. Untuk
berpidato, biasanya memang diharapkan memakai pakaian resmi, seperti:
a. baju lengan panjang;
b. batik;
c. stelan jas;
d. kebaya; dan
e. seragam kantor.
Kostum santai seperti kaos panitia hanya bisa dimungkinkan
apabila seseorang berpidato langsung di event tersebut. Warna yang
dikenakan sebaiknya jangan mencolok.

7. Catatan/Konsep

[81]
Pidato memang perlu konsep baik untuk lisan atau tertulis.
Konsep itu bisa suatu point/isi pokok yang dihafal maupun ditulis. Namun
bisa pula sebuah teks pidato panjang yang dibacakan. Kenapa ini penting?
Tujuan utamanya adalah agar semua hal yang disampaikan itu bisa secara
sistematis dan tidak mengulang masalah serta tidak memakan waktu
untuk mengemukakannya. Dengan pidato yang terkonsep maka bukan saja
orang yang berpidato akan senang dan mudah, namun demikian pula
dengan pendengarnya. Ini penting.
Catatan dan konsep pidato mutlak disediakan dan dipelajari
sebelum seseorang berpidato dan wajib dikuasai. Catatan harus dinilai
kembali agar diketahui apakah ada hal yang dapat disempurnakan.

8. Pidato dengan atau tanpa Teks


Sesuatu apapun akan selalu memiliki dua sisi yakni sisi yang baik
dan sisi yang kurang baik. Kedua sisi ini diolah sedemikian rupa agar sisi
yang baik bisa ditonjolkan dan sisi yang kurang baik bisa ditekan.
Sementara itu seseorang juag harus mengukur kemampuan diri dan tugas
yang akan disandangnya agar hal di atas bisa dilakukan.
Menjawab pertanyaan apakah pidato dengan teks atau tidak,
maka kita harus mengetahui sisi positif dan negatifnya. Pidato dengan teks,
kebaikannya adalah: semua tersusun dengan rapi, tidak mengulang
bahasan, sangat mudah, dan panjang pendeknya bisa diatur sesuai waktu.
Kekurangannya adalah: terkesan kurang menguasai, bisa monoton,
pendengar kurang tertarik, dan kurang komunikatif. Pidato tanpa teks
kebaikannya adalah: spontan, terkesan menguasai, dan lebih komunikatif.

[82]
Sedangkan kekurangannya adalah: rawan pada pengulangan bahasan dan
terlalu meledak-ledak.
Untuk hal yang bersifat penting, tetap menggunakan teks seperti
penjelasan resmi pemerintah yang menyangkut data dan permasalahan
peka/politis. Sedang untuk pidato tanpa teks cukup baik apabila ini
berkenaan dengan hal yang biasa namun pokok persoalan dikemukakan di
awal agar tidak melantur ke kiri dan ke kanan.

9. Pidato sebagai Informasi


Pidato bisa digunakan sebagai sarana menyampaikan satu
informasi akurat dari pihak yang berkepentingan kepada pihak yang
terkait. Pidato informasi bisa berupa:
a. Penerangan tentang penyakit menular;
b. Penerangan mengenai undang-undang lalu lintas;
c. Penjelasan mengenai syarat pengurusan ijin usaha; dan
d. Penerangan mengajukan kredit usaha.
Pidato ini biasanya sudah dirancang dengan khusus, artinya
disiapkan suatu acara dengan para pendengarnya yang terkait dengan
informasi tertentu. Penerangan tentang undang-undang lalu lintas bisa
dilakukan di sekolah-sekolah tinggi agar mereka sadar akan tertib lalu
lintas. Ini harus dilakukan pihak kepolisian. Suatu hal pokok, pidato
informasi ini sama sekali tidak boleh salah menyangkut materi pokok.

10. Pidato sebagai Penerangan


Bila pada pidato yang bersifat informasi itu ada hal yang terkait
khusus dan teknis sehingga orang akan dikenakan dengan prosedur atau

[83]
aspek baru yang berkemabng serta berubah untuk ditaati. Maka dalam
penerangan ini lebih menjurus kepada mempertajam hal-hal yang selama
ini sudah dibenak dan dipelajari oleh masyarakat. Topik-topik yang dapat
dijadikan pidato informasi (baca: penerangan) adalah:
a. Peningkatan pendapatan masyarakat melalui himbauan pemanfaatan
pekarangan rumah.
b. Peningkatan kesadaran masyarakat akan pembayaran iuran pajak
bumi dan bangunan.
c. Penerangan tentang perlunya setiap keluarga memiliki jamban yang
sehat dan bersih.
Pidato penerangan tidak harus dilakukan oleh pihak terkait tapi
oleh siapa pun yang bisa memotivasi untuk berkembang ke arah yang lebih
baik seperti lurah, camat, pemuka agama.

11. Pidato sebagai Komando


Jenis pidato bisa dilakukan dalam lingkungan militer,
perancangan gerakan nasional, peringatan hari besar, dan penerimaan di
lingkungan baru. Sifat pidato ini adalah mendasar, tegas, dan dipatuhi.
Pidato sebagai komando memang merupakan suatu pidato yang
tergolong spesial, sebab komando yang disampaikan harus selalu disertai
dengan serangkaian tindakan yang positif sesuai dengan apa yang
digariskan. Bila ini diterjang, maka pidato komando itu akan dinyatakan
gagal dan tidak bermakna. Pidato komando memang dirancang sebagai
suatu perintah dan bukan suatu informasi pasif yang hanya berlaku
apabila ada urusan yang terkait.

[84]
12. Pidato sebagai Ungkapan Perasaan
Pidato yang termasuk sebagai pengungkapan perasaan ini adalah
pidato berduka cita, pidato syukuran, pidato pengangkatan atau pidato
pernikahan. Di mana orang yang menyambut atas nama lingkungan
dimana kejadian itu berlangsung atau pihak terkait larut dalam suasana
yang sama. Getaran lubuk hati yang paling dalam dapat dirasakan dalam
pidato itu sehingga bisa muncul rasa: terpacu untuk maju, keharusan yang
mendalam, atau syukur yang mendalam sesuai momen atau acara yang
sedang berlangsung. Pidato ini memang bolah menjadi ungkapan perasaan
bukan berarti larut dalam perasaan sehingga tidak mengenal lagi waktu
atau lingkungan sekitar.

13. Latihan Nafas agar Tidak Gugup


Inilah cara berlatih agar bisa berkonsentrasi dan tidak gugup
dalam berpidato. Duduklah bersila dengan kepala tegak lalu ikuti
instruktur di bawah ini:
1. Tarik nafas dalam-dalam kemudian tahan selama tiga kali hitungan
dalam hati, lalu keluarkan pelan lewat mulut tiga kali.
2. Kemudian lakukan nafas biasa kembali sejenak.
3. Lakukan instruksi satu dengan memejamkan mata perlahan-lahan dan
hitungan sama.
4. Tingkatkan menjadi lima dan delapan hitungan.
5. Bernafaslah biasa dan sejenak kemudian dengarkan suara di sekitar
Anda hingga yang sekecil-kecilnya:
a. suara orang bicara;
b. orang berjalan;

[85]
c. suara mobil;
d. hingga suara air mengalir.
6. Bernafaslah seperti biasa.
7. Tarik nafas dalam-dalam seperti pada hitungan pertama kemudian
tahan lebih lama di atas 15 hitungan kemudian lepas pelan dan
lakukan tiga klai.
8. Bukalah mata.
9. Lihatlah benda-benda yang bergerak.
10. Tataplah dengan tajam.
11. Kemudian rilekskan seluruh tubuh Anda dengan tiduran.
12. Bangkitlah.
13. Pikirkan satu tema pendek.
14. Mulailah berbicara seperti berpidato.
15. Ulang bila tersendat-sendat.
16. Perpanjang setiap kali berlatih.
17. bila mahir maka ajaklah teman Anda menjadi pendengar setia Anda.

14. Kontak Pandang


Bila berpidato maka seseorang diharapkan untuk bisa melakukan
kontak pandang dengan hadirin namun ini bukan berarti bersikap untuk
bersikap kurang manis, namun menjalin apa yang diungkapkan agar
berjalan baik. Untuk itu maka hindarilah bersikap: terlalu suka menunduk,
mata ke mana-mana, menatap ke depan, terlalu sering tertuju pada teks,
dan hanya memandang kerumunan tertentu saja.
Kontak pandang ini tidak harus dilakukan terus menerus namun
cukup sewajarnya saja bahkan kalau perlu dilakukan dengan menambah

[86]
senyuman. Kontak pandang sebelum berpidato dianjurkan untuk
menyatukan emosi antar pembicara dengan pendengar dan lakukan ini
sejenak sembari bersiap.

[87]
7
DAYA TARIK PIDATO

Berpidato adalah proses penyampaian pesan atau maksud kepada


pendengar (khalayak). Agar pidato dapat menarik perhatian pendengar,
seorang orator tidak saja memperhatikan topik yang akan disampaikan,
tetapi juga cara menyampaikan topik tersebut.
Untuk menciptakan sebuah pidato yang menarik, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Menyulap Topik pidato


Seringkali kita jumpai bahwa sebuah topik pidato yang
diumumkan sudah berhasil menarik perhatian para pendengarnya.
Apalagi jika pembicara juga sudah memiliki nama yang menonjol.
Meskipun demikian, pembicara harus berusaha agar topik itu tetap
menarik. Hal ini dilakukan untuk menjaga atau mempertahankan minat
para pendengar yang sudah timbul.
Menumbuhkan dan mempertahankan daya tarik erat sekali
hubungannya dengan mengendalikan perhatian. Pada hakekatnya,
tumbuhnya perhatian itu sangat tergantung pada kesesuaian topik itu
dengan kepentingan, keinginan, pengalaman, dan pengetahuan para
pendengar. Kalau ada kesesuaian tadi, maka syarat berikutnya adalah
wawasan pengetahuan dan pengalaman pembicara. Artinya, topik itu akan

[88]
semakin menarik bila pembicara mempunyai pengetahuan yang cukup
mengenai topik itu.
Ada dua hal yang biasa dilakukan pembicara untuk
mempertahankan perhatian pendengar, yaitu:
1. Setiap ada kesempaan, pembicara harus menyisipkan salah satu faktor
yang dapat mengendalikan atas menarik perhatian pendengar.
Hasilnya, perhatian pendengar akan tetap tertuju pada pidato yang
sedang didengarnya.
2. Jika pembicara sudah mengetahui bahwa pendengarnya telah tertarik,
maka kesempatan itu kemudian dimanfaatkan untuk memasukkan
gagasan-gagasan isi pidato. Pembicara yang baik tentu telah
mengetahui bagaimana menghubungkan gagasan-gagasan isi pidato
dengan sesuatu yang telah menarik perhatian pendengar tadi.
Kadang-kadang pembicara berhadapan dengan topik yang
memang menjemukan. Namun tidak perlu putus asa, sebab topik yang
menjemukan itu dapat “disulap” menjadi menarik. Dalam hubungan ini,
Prof. Winans menasehatkan, “untuk membuat topik yang menjemukan
menjadi menarik, cobalah mengasosiasikan dengan sesuatu yang memang
telah menarik”. Misalnya kalau gambar sepasang sepatu dalam iklan akan
lebih menarik, jika dipakai oleh seseorang ternama di bidangnya sessuai
dengan corak sepatu itu.
Adapun cara “menyulap” topik biasa menjadi menarik antara lain
seperti di bawah ini:
1. Menjaga Nyawa
Mempertahankan hidup adalah hal yang paling penting bagi
semua orang. Karena itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan

[89]
mempertahankan hidup atau nyawa selalu menarik perhatian. Hal
semacam ini dapat dimanfaatkan oleh pembicara yang cekatan.
2. Memelihara dan Meningkatkan Kekayaan
Semua orang tertarik pada pembicaraan yang menyangkut harta
miliknya. Sebab pada umumnya orang cinta pada hartanya bahkan ada
yang mempertahankan hartanya sampai tewas. Pembicara yang
berpengalaman tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
3. Bangga Diri dan Martabat
Setiap manusia mempunyai sifat rasa senang dan bangga tas
dirinya. Karena sifat tersebut, setiap manusia terkadang tidak henti-
hentinya membicarakan dirinya, prestasinya, pengalamannya, dan
sebagainya.
Bangga diri dan martabat itu memang mempuntai potensi yang
besar untuk mengendalikan perhatian. Para pendengar akan segera
tersentak perhatiannya, manakala rasa bangga diri dan martabatnya
disentuh.
4. Kenikmatan dan Kepuasan Cita Rasa
Manusia sangat tertarik pada hal-hal yang berhubungan dengan
kenikmatan, kesenangan, keasyikan, hiburan, makanan yang lezat,
minuman yang segar, dan sebagainya. Hal semacam ini pun dapat
dimanfaatkan pembicara untuk membangkitkan perhatian pendengar.
5. Daya Tarik Seks
Dari dulu sampai sekarang, masalah seks selalu menarik
perhatian, dan di mana saja, kapan saja, dan bagi siapa saja. Karena itu,

[90]
apapun yang ada hubungannya dengan masalah seks tetap merupakan
sumber abadi yang menarik.
Gambar wanita cantik merupakan yang berharga dari sebuah
iklan untuk menarik perhatian pria dan juga wanita. Demikian pula
seorang pembicara yang cekatan, tidak pernah membiarkan hal-hal
yang menarik ini lewat begitu saja. Setiap ada kesempatan ia
mengaitkan topik pidatonya dengan masalah seks untuk
mengendalikan perhatian para pendengarnya. Perlu diingat bahwa
masalah seks yang ditampilkan janganlah masalah porno sebab dapat
berakibat sebaliknya. Karena itu, berhati-hatilah jika mengaitkan
masalah seks dengan isi pidato agar dapat menarik perhatian
pendengar.
6. Rasa Simpati
Pada umumnya manusia mampunyai rasa simpati terhadap
saudara, teman, masyarakat sekitar, suku bangsa dan sebagainya.
Demikian juga akan rasa simpati terhadap orang yang tertimpa
musibah. Perasaan simpati ini sering dimanfaatkan pembicara untuk
membangkitkan perhatian.
7. Rasa Ingin Tahu
Semua orang mempunyai rasa ingin tahu (curiousity). Rasa ingin
tahu itu ada yang sekadar ingin tahu dan ada pula rasa ingin tahu yang
mendalam dan mendetail. Sesuatu yang samar-samar terasa lebih
menarik perhatian daripada sesuatau yang telah nyata. Orang ingin
tahu apa sebenarnya sesuatu yang samar-samar itu. Hadiah yang
dibungkus meskipun isinya tidak seberapa akan lebih menarik

[91]
daripada yang tidak dibungkus, karena orang akan menduga-duga
atau ingin tahu apa isi hadiah itu.

2. Suara dalam Pidato


Sering kita lihat bahwa pembicara dalam memulai pidatonya
terasa alot dan tersendat-sendat. Perasaan gugup dan gelisah membuat
permulaan pembicaraan kurang berkesan atau kurang menarik. Perasaan
yang seperti itu menyebabkan suara pembicara kelihatan grogi, nada-nada
rendah dan bergetar. Suara demikian tidak menguntungkan dan akan
merusak perhatian pendengar.
Untuk menghindari suara yang demikian, maka perlu
diperhatikan hal-hal berikut ini:
1. Pembicara harus berusaha menenangkan diri sebelum maju ke depan.
Bila sudah berada di muka pendengar jangan langsung bicara. Selama
10 – 15 detik berdirilah dengan tenang, menyadari diri, sambil
membina kontak batin dengan para pendengar. Kontak batin ini dapat
dibina melalui pandangan mata. Pandanglah semua pendengar baik
yang di depan maupun yang di belakang, baik yang berada di sebelah
kanan maupun yang di sebelah kiri. Sementara itu bernafaslah dalam-
dalam untuk memperbesar percaya diri dan ketenangan diri.
2. Setelah dapat menguasi diri dan mengadakan kontak batin dengan
para pendengar, mulailah berbicara yaitu mengucapkan salam dan
sapaan-sapaan dengan penuh rasa simpati.

Agar kita dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh


mengenai suara dalam pidato, maka secara berturut-turut akan
dikemukakanhal-hal berikut ini:

[92]
1. Volume suara
Dalam berpidato pakailah volume yang besar. Berpidato dengan
volume suara kecil terasa mantap dan kurang berwibawa. Sebaliknya,
dengan volume suara besar terasa lebih berbobot, mantap, dan
berwibawa.
Ada orang mengatakan bahwa suara itu sudah pembawaan sejak
lahir. Namun sebenarnya dapat diupayakan. Bila kebetulan anda dapat
berbicara dengan berbagai volume, pakailah volume yang besar dalam
pidato dan kalau tidak bisa usahakanlah berbicara dengan agak
menunduk yang biasanya dapat memperbesar volume suara. Namun
tetap wajar dan jangan kelihatan dibuat-buat. Selain volume besar
pembicara harus berbicara lantang, mudah didengar para pendengar.
2. Intonasi
Intonasi mencakup tekanan, nada, tempo, dan jeda. Tekanan
berhubungan dengan keras lemahnya suatu kata atau frasa yang
diucapkan. Nada mempersoalkan tinggi rendahnya kata atau frasa
atau kalimat diucapkan.tempo mengatur cepat lambatnya suatu kata,
frase, atau kalimat diucapkan. Jeda adalah perhentian atau saat-saat
pembicara berhenti berbicara.
Bila intonasi itu diterapkan dalam pidato maka bunyi pidato yang
ditangkap pendengar bukan bunyi yang rata (monoton), melainkan
bunyi yang berirama. Kadang-kadang pembicara mengungkapkan
kata-katanya dengan keras dan cepat, kemudian dengan suara yang
lemah. Lambat, nada rendah dan mencekam lalu berhenti agak lama
dan akhirnya disusul dengan suara keras dan cepat disertai nada
tinggi. Demikianlah intonasi yang tidak membosankan pendengar.

[93]
Namun perlu diperhatikan dengan seksama penggunaan intonasi yang
tepat.
3. Pelafalan
Yang dimaksud dengan pelafalan adalah cara mengucapkan kata-
kata secara jelas, enak dan mudah didengar sesuai dengan makna dan
maksud yang terkandung dalam kata-kata yang diucapkan itu.
Pelafalan memainkan peranan yang amat penting dalam
berpidato. Pembicara yang tidak dapat melafalkan kata-kata secara
tepat, dapat merusak pidato secara keseluruhan. Perlu disadari bahwa
pelafalan yang baik bukan berarti pengucapan kata yang keras atau
berteriak-teriak. Pelafalan yang baik menandakan pcnguasaan bahasa
yang matang.
Dalam berpidato pelafalan ini harus lebih diperhatikan lagi bila
menyangkut hal-hal seperti di bawah ini:
a. Menyebutkan nama orang, tempat, lembaga, dan sebagainya
b. Mengucapkan kata-kata mutiara, peribahasa, dan sebagainya.
c. Mengutip ucapan orang lain
d. Mensitir artikel, puisi dan sebagainya.
e. Mengucapkan kata-kata yang perlu mendapatkan perhatian
khusus.

3. Humor dalam Pidato


Humor barangkali unsur yang paling bermanfaat dalam
mengendalikan perhatian pendengar. Humor yang ditampilkan sewaktu
berpidato harus memenuhi syarat-syarat di bawah ini:

[94]
1. Relevan
Humor harus relevan dengan masalah yang sedang dibicarkan.
Jangan sampai humor itu menyimpang. Sehingga dapat menyeret
perhatian pendengar ke hal-hal lain yang tidak dibicarakan dalam
pidato itu. Selain itu harus diupayakan agar humor yang ditampilkan
dapat lebih memperjelas uraian.
Humor yang tidak relevan dapat dianggap sebagai mengada-ada.
Hal ini akan berpengaruh kurang baik terhadap perhatian pendengar.
Lebih-lebih bila humornya tidak mengenai sasaran. Akibatnya bisa
mengurangi simpati pendengar. Jadi apa pun wujudnya humor harus
relevan dengan apa yang sedang dibicarakan sehingga seolah-olah
tidak tampak bahwa pembicara tidak berhumor.
2. Sopan
Tema humor dalam pidato yang sering kita saksikan adalah
masalah seks. Tema ini dianggap sangat ampuh untuk mengendalikan
pcrhatian pendengar karena mempunyai dua kekuatan sekaligus.
Pertama, masalah seks itu sendiri sudah mempunyai daya pikat yang
tinggi. Kedua, bila humornya “kena” juga sangat efektif untuk
mengendalikan perhatian pendengar. Sebenarnya, pemilihan tema
seks sebagai bahan humor tidak dilarang, asal masih dalam batas-
batas kesopanan dan tidak porno.
Humor yang sopan selalu lebih dihargai daripada humor yang
cenderung ke arah porno atau kasar. Lebih-lebih jika humor porno
atau kasar itu tidak diterima oleh pendengar maka pendengar akan
bersikap sinis kepada pembicara. Akibatnya, pembicara menjadi serba
salah.

[95]
3. Segar
Humor yang ditampilkan dalam pidato harus segar. Artinya,
jangan membuat humor dengan bahan/macam yang sudah sangat
dikenal atau diketahui umum. Carilah bahan baru yang segar kalau
bisa ciptaan Anda sendiri. Jangan meniru-niru humor orang lain yang
Anda anggap berhasil sebab ada resikonya. Selain belum tentu cocok
dengan situasi yang ada, kemungkinan humor itu sudah pernah
didengar oleh pendengar yang Anda hadapi. Kalau hal itu terjadi maka
penghargaan dan perhatian pendengar terhadap pidato akan
berkurang.

4. Kinesik dalam Pidato


Kinesik adalah keseluruhan gerak anggota tubuh yang menyertai
orang yang sedang berbicara. Bagian tubuh yang sering digerakkan untuk
menyertai pembicaraan adalah tangan, telapak tangan, jari, kepala, raut
muka dan masih banyak lagi. Kinesik ini juga merupakan suatu faktor yang
dapat dimanfaatkan untuk menambah daya tarik pidato asal
penggunaannya tepat.
Jika pembicara sudab berdiri di depan pendengar maka semua
mata akan tertuju kepada diri pembicara. Penampilan pembicara secara
keseluruhan menjadi perhatian pendengar. Dari sepatu, model, dan warna
celana dan baju sampai kaca mata atau kopiah serta gerak-gerik
pembicara, semuanya diperhatikan pendengar. Boleh disebutkan bahwa
dari ujung kaki sampai ke ujung rambut pembicara diperhatikan oleh
pendengar.

[96]
Menurut penyelidikan ahli psikologi, umumnya pendengar akan
tertarik pada sesuatu yang baik menurut pandangannya, sebaliknya orang
akan segera merasa bosan manakala melihat sesuatu yang tidak pada
tempatnya, tidak teratur, dan asal-asalan saja. Seorang pcmbicara yang
mengenakan pakaian yang tidak cocok, sering melipat-lipat lengan baju,
atau memasuk-masukkan tangan ke saku, dapat mengurangi kepercayaan
dan penghargaan pendengar. Oleh karena itu, berpakaian rapi bagi
pembicara sangat penting. Hal ini bukan saja memperbaiki kesan, tetapi
juga dapat menambah percaya diri.
Pada umumnya pendengar menghendaki agar seluruh badan
pembicara dapat dilihat dengan jelas. Sehubungan dengan ini, sebaiknya
pembicara tidak berdiri di belakang meja atau lainnya yang menyebabkan
ia tidak terlihat nyata oleh pendengar. Dalam pidato yang juiniah
pendengarnya banyak, biasanya panitia menyediakan panggung atau
mimbar, maksudnya memang agar pembicara lebih jelas kelihatan oleh
pendengar yang paling belakang.
Bila mungkin, di tempat pembicara jangan ada orang-orang yang
turut duduk, sebab hal itu bisa berpengaruh kurang baik terhadap
pembicara. Perhatian pembicara bisa terbagi antara pembicara dengan
orang-orang yang duduk sejajar atau di belakang pembicara. Lebih-lebih
bila orang itu berbisik-bisik kepada orang di sebelahnya, mengangkat kaki
terbatuk-batuk, mengaruk-garuk kepala, dan sebagainya. Jadi, perhatian
pendengar tidak bisa seluruhnya tertuju kepada pembicara.
Hitler pernah berkata bahwa berpidato dalam ruangan yang
penuh, pembicara lebih mudah membawa pendengar ke arah yang
dikehendaki. Meskipun demikian tidak berarti bahwa di ruang yang tidak

[97]
penuh atau setengah kosong maksud pembicara tidak akan tercapai.
Pembicara masih bisa berhasil asal tahu cara yang seharusnya dilakukan.
Bagaimana caranya? Berhasilnya pembicara dalam ruangan yang
penuh disebabkan oleh masing-masing pendengar merasa erat
hubungannya dengan yang lain. Karena itu, agar pidato bcrhasil, ruangan
yang tidak penuh atau setengah kosong diupayakan agar seolah-olah
penuh dengan jalan meminta supaya peserta duduk dekat dengan
pembicara dan juga duduk berdekatan dengan sesama pendengar. Jangan
dibiarkan ada kursi yang kosong di depan karena bisa menjadi pembatas
antara pembicara dengan para pendengar.
Dengan cara seperti di atas, maka watak pcndengar akan segera
melebur menjadi watak massa. Agar lebih jelas, watak individu dan watak
massa menurut ilmu jiwa massa ditampilkan di bawah ini:
1. Watak orang perseorangan (individu)
a. Secara perorangan, orang selalu menggunakan akal pikirannya
yang sehat dan wajar.
b. Sadar akan kepribadiannya sendiri
c. Bisa menerima uraian-uraian yang mendalam dan ilmiah.
d. Tidak mudah tersinggung karena gejala tindakan menggunakan
pertimbangan-pertimbangan objektif.
e. Tidak mudah bersikap apriori.
2. Watak Massa
a. Diliputi oleh emosi yaitu oleh perasaan solidaritas bersama,
bukan akalnya.
b. Karena itu, masa muda dipengaruhi, digerakkan, mudah menaruh
simpati, dan sebagainya.

[98]
c. Massa mudah mengikuti tanpa berpikir panjang.
d. Massa tidak bisa mengikuti uraian yang mendalam dan ilmiah.
e. Massa mudah tersinggung perasaannya.
f. Massa selalu bersikap apriori.
Kembali kepada gerakan anggota tubuh yang sudah terbukti
sangat ampuh untuk menyokong keberhasilan pidato. Sebuah gambar bisa
lebih nyata daripada rangakaian kalimat satu halaman. Setiap jeritan bisa
bcrmakna daripada kata-kata yang dipilih dan disusun dengan sebaik-
baiknya. Demikian pula satu gerakan tubuh misalnya menyilangkan jari
telunjuk di depan mulut yang tertutup bisa lebih besar pengaruhnya
daripada kalimat yang berisi larangan berbicara. Jadi. gerakan anggota
tubuh dapat menambah daya tarik pidato.
Petunjuk yang sempurna mengenai gerakan yang tepat itu tidak
ada. Bahkan suatu petunjuk dapat menyesatkan pembicara karena
gerakan anggota tubuh yang didasarkan petunjuk yang sudah ada, bisa
terasa janggal karena tidak sesuai dengan situasi. Gerakan kepala, tangan,
kaki, atau lainnya harus merupakan gerakan yang asli dan serta merta
(spontanitas) karena gerakan itu sebenarnya hasil dan akibat perhatian,
kesiapan, kegemaran, keadaan pendengar, dan sebagainya. Jadi, gerakan
anggota tubuh yang tidak selaras dengan hal-hal tersebut bisa terasa
hambar dan malah menggelikan dan menjemukan pendengar. Demikian
pula jika gerakan terlalu banyak, bisa menimbulkan kesan seperti badut
atau pemain sandiwara.

5. Hal-hal Lain yang Perlu Diperhatikan

[99]
Selain aspek-aspek di atas, ada beberapa petunjuk yang belum
diketahui untuk menambah daya tarik pidato, yaitu:
1. Ketika sedang berpidato, pandanglah semua pendengar secara
teratur. Jangan sampai pandangan hanya tertuju pada sekelompok
hadirin tertentu sehingga kelompok yang lain merasa diabaikan. Hal
ini bisa mengurangi perhatian hadirin yang merasa diabaikan.
Memandang hadirin sebaiknya bukan hanya dengan main kepala,
tetapi juga dengan mata hati. Artinya, pembicara jangan hanya
menangkap apa yang tampak, tctapi juga harus tanggap terhadap
reaksi hadirin. Hasil pengamatan dengan mata hati itu akan berguna
untuk mengambil sikap dalam menyesuaikan diri untuk melanjutkan
pidatonya.
2. Jangan tampil dengan wajah cemberut atau pandangan liar yang
mengesankan galak. Penampilan yang demikian sangat merugikan
karena tidak akan memperoleh simpati hadirin. Sebaliknya, bila
pembicara tampil dengan wajah cerah maka pembicara akan mampu
menciptakan suasana yang menarik.
3. Mengawali pidato jangan mengucapkan pemintaan maaf karena tidak
siap, tidak mengetahui masalahnya secara sungguh-sungguh, tidak
tertarik pada masalah yang akan dibicarakan, dan sebagainya.
Permintaan maaf di atas hanya akan mengecewakan hadirin dan juga
akan mengurangi kepercayaan terhadap pembicara. Sebaliknya,
usahakan hadirin siap menerima uraian isi pidato dengan perhatian
yang penuh dan kepercayaan yang tinggi.
4. Dalam berpidato jangan mengajukan pertanyaan yang
membahayakan bila dijawab “tidak”. Misalnya, “Apakah Saudara-

[100]
saudara telah memahami apa yang telah saya katakan tadi?” Kemudian
dijawab oleh hadirin secara serentak “Tidak”. Kalau demikian, maka
kiamatlah sudah pidato itu karena pembicara kalah.
5. Menutup pidato jangan berkepanjangan, berputar-putar, seolah-olah
seperti kendaraan tanpa rem. Hal seperti itu selain menjemukan juga
dapat mengaburkan gagasan yang ditanamkan dalam isi pidato. Selain
itu, kesan tcrakhir pidato itu juga kurang baik sebab hadirin merasa
bosan bahkan bisa muak. Karena itu, segera akhiri pidato bila saatnya
sudah tiba.
6. Jangan mengoreksi atau menentang pembicara sebelumnya. Hal ini
akan mengurangi simpati pendengar kepada pembicara yang
menentang itu sebab sebagian pendengar pasti ada yang bersimpati
kepada pembicara yang ditentang itu.
7. Cobalah berpidato dengan membawa catatan seperlunya (kecuali
memang menggunakan metode naskah). Catatan itu baiknya berisi
pokok-pokok pidato saja, pokok-pokok pembukaan, pokok-pokok
butir utama, dan butir-butir pendukung isi pidato, serta pokok-pokok
mengenai penutup pidato.
8. Bila sebagian besar ada yang sengaja terbatuk-batuk, memindah--
mindahkan kursi, menjatuhkan botol minuman, atau berbincang--
bincang dengan teman dekatnya; pembicara harus memperlambat
ucapan-ucapannya atau berhenti sama sekali. Tindakan seperti itu
biasanya sangat ampuh untuk menghentikan kegaduhan. Bila
kegaduhan sudah bisa diatasi, pembicara dapat melanjutkan
pidatonya. Ingat pembicara jangan “ngotot”berbicara selagi
pendengar juga berbicara sampai gaduh.

[101]
9. Jangan terlalu sering menggunakan bentuk tegun. Bentuk tegun
adalah bunyi atau kata yang dipakai untuk memikirkan sesuatu yang
akan diucapkan.
10. Pemilihan kata, ungkapan, pola kalimat, dan gaya bahasa harus
diperhatikan untuk meningkatkan daya tarik pidato. Dengan kata lain,
pcmbicara harus menggunakan siasat pemakaian bahasa untuk
menimbulkan efek tertentu.

[102]
8 TATA KRAMA BERPIDATO

Istilah tata krama berasal dari bahasa Jawa yang berarti adat
sopan santun. Tata krama berpidato artinya sopan santun berpidato atau
kebiasaan berpidato yang baik, yang tidak melanggar norma kesopanan.
Itu semua dilakukan agar semua tujuan pidato dapat dicapai secara
maksimal oleh pembicara.
Tata krama berpidato secara umum sebenarnya hampir sama,
tetapi karena yang dihadapi itu bermacam-macam dan masing-masing
mempunyai sifat khusus, maka tata krama berpidato juga tergantung pada
siapa yang dihadapi waktu itu. Itulah sebabnya maka setiap pembicara
harus mengetahui bagaimana tata krama berpidato di hadapan para
pendengar yang berbeda-beda.

1. Berpidato di Depan Umum


a. Berpakaianlah dengan rapi, bersih dan necis, tetapi tidak bcrgaya
pamer dengan memakai perhiasan yang mahal-mahal dan pakaian
yang kelewat mahal.
b. Jangan memperlihatkan kesombongan, keangkuhan, atau
kepongahan, tetapi berpidatolah dengan sopan dan rendah hati.
Rendah hati bukan berarti rendah diri, karena yang terakhir ini
berarti minder.

[103]
c. Berpidatolah dengan kata-kata yang balus meskipun menyalahlan
pihak lain. Sedapat-dapatnya cara mengeritik atau menentang
pihak lain itu tidak terus terang melainkan dengan cara semu.
d. Apabila pidato agak panjang, perlu diselingi humor, sekedar untuk
membangkitkan gairah, tetapi harus tetap diperhatikan bahwa
humor barus bersifat sopan dan tidak menusuk perasaan.
e. Pada akhir pidato sampaikan maaf bila terdapat kekeliruan,
kekurangan, atau hal yang tidak berkenan di hati. Kemudian juga
sampaikan terima kasih atas perhatian pendengar.

2. Berpidato di Depan Wanita


a. Bila yang hadir sebagian besar wanita atau semuanya wanita
sedang berpidato pria, maka hendaklah lebih hati-hati dalam
mengeluarkan ucapan. Biasanya kaum wanita mudah tersinggung
perasaannya.
b. Jangan sekali-kali mengucapkan kata yang kasar atau kurang
senonoh walaupun dimaksudkan sebagai humor, agar tidak
dinilai tidak ceroboh atau kasar.
c. Sebutan bagi kaum wanita umumnya ibu-ibu atau Saudari.
d. Dalam setiap kesempatan besarkanlah hati-hati kaum wanita
dengan antara lain menunjukkan peranannya yang amat penting
dalam berbagai bidang.

[104]
3. Berpidato di Depan Orang Terkemuka
Pada dasarnya tata krama berpidato di depan orang-orang
terkemuka tidak jauh berbeda dengan hal-hal yang telah diuraikan di
atas, namun karena sifatnya yang berbeda maka perlu diperhatikan
pula hal di bawah ini:
a. Jangan merasa rendah diri tetapi percayalah pada diri sendiri.
Untuk itu lakukanlah persiapan yang lebih sempurna.
b. Sebaiknya jangan sombong jangan merasa lebih tahu akan segala
hal. Ingatlah bahwa manusia tidak mungkin mengetahui semua
hal atau masalah sacara sempurna.
c. Berpidato di hadapan orang terkemuka merupakan kehormatan.
Karena itu, tempatkanlah kehormatan itu pada proporsi yang
sewajarnya.
d. Percayalah pada anggapan bahwa orang-orang yang hadir itu
memang akan mendengarkan dan memperhatikan isi pidato
karena memang mereka merasa perlu untuk mendengarkannya.
e. Perlu disadari sepenuhnya bahwa berpidato di hadapan orang
terkemuka, jangan sekali-kali pidato itu berubah atau bersifat
memberi kuliah atau menggurui. Tetapi kalau memang karena
tugas menuntut demikian, boleh saja.

4. Berpidato di Depan Semua Golongan


a. Berpidato di depan sesama golongan dapat dilaksanakan agak
santai, tetapi juga masih tetap memperhatikan tata krama.

[105]
b. Pembicara dapat lebih bebas dalam menganalisis suatu masalah,
baik yang menyangkut kepentingan golongan maupun
kepentingan pihak luar.
c. Para pendengar biasanya lebih mudah menerima gagasan atau
pendapat yang disampaikan oleh pembicara asal disertai alasan,
bukti, dan contoh yang masuk akal.

5. Berpidato di Depan Pemeluk Suatu Agama


a. Sebagian besar rakyat Indonesia adalah pemeluk agama yang taat,
oleh karena itu rasanya keagamaan para pendengar jangan
sampai tersinggung.
b. Pcmbicara harus hati-hati jangan sampai terlontar ucapan yang
dapat merugikan martabat dan suatu agama. Bahkan sebaiknya
pembicaraan harus berusaha menjunjung tinggi martabat agama
terutama yang dipeluk oleh sebagian besar atau semua yang hadir
sebagai pendengar.

6. Berpidato di Depan Pemuda/Pelajar


a. Pada umumnya pemuda/pelajar memiliki pengetahuan yang luas
dan mempunyai daya banding yang tinggi. Selain itu, para
pemuda/pelajar biasanya mudah bereaksi terhadap sesuatu yang
tidak sesuai dengan pendapatnya atau keinginannya. Karena itu,
berpidato di hadapan pemuda/pelajar barus mengutamakan
penalaran karena mereka sudah biasa berpikir kritis.
b. Pembicara barus berusaha agar tidak menentang atau melawan
kehendak atau pendapat pendengar secara langsung. Lebih baik
pembicara memakai metode, ‘Ya, tetapi, …’

[106]
c. Sesuai dengan sifat muda para pendengarnya, pembicara
hendaknya membimbing dan membesarkan semangatnya, dan
jangan sekali-kali hanya memberondong dengan kritik-kritik saja.
d. Pembicara akan lebih berhasil bila mampu mengambil contoh-
contoh dari dunia remaja, menghubung-bubungkan dengan tokoh
yang menjadi idola remaja, dan juga mampu menyelipkan ragam
bahasa remaja dalam pidatonya.

7. Berpidato di Depan Rakyat Desa


a. Pada umumnya rakyat di pedesasaan masih terikat pada adat
istiadat, tebal rasa kegotong-royongannya, dan rasa
kekeluargaannya. Pembicara yang ingin berhasil harus berusaha
memanfaatkan hal-hal tersebut di atas.
b. Rakyat pedesaan biasanya rela berkorban untuk kepentingan
umum. Pembicara dapat memanfaatkan kesempatan ini dengan
berupaya sebaik-baiknya agar pendengar terpikat dan mau
menerima atau menjalankan kehendak pembicara. Tetapi rakyat
pedesaan yang umumnya masih polos itu jangan dibohongi, sebab
sekali saja mereka merasa tertipu, selamanya tidak akan percaya
lagi. Pembicara jangan memberi janji-janji kosong yang tidak
ditepati.
c. Berpidato di hadapan rakyat pedesaan yang tingkat
pendidikannya belum tinggi barus menggunakan kata-kata yang
sederhana, sehingga mudah dipahami. Bila perlu satu pokok
persoalan yang dianggap sulit dijelaskan berulang-ulang agar
benar-benar dapat dipahami oleh para pendengar.

[107]
8. Posisi Berpidato
a. Dalam berpidato, baik disediakan podium atau tidak, pembicara
harus berdiri. Maksudnya agar pembicara dapat dilihat dengan
mudah oleh para pendengarnya. Pembicara yang tidak dapat
dilihat oleh para pendengar, secara psikologis kurang menarik.
Berpidato dengan duduk menurut tata krama dianggap tidak
sopan.
b. Bila undangan sangat terbatas dan sernuanya duduk di lantai,
pembicara boleh duduk saja, asal tempatnya mudah dilihat.

[108]
DAFTAR PUSTAKA

Arsjad, Maidar G. dan Mukti U.S. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara


Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Basuki dan Oka. 1990. Retorika: Kiat Bertutur. Malang: A3.

Hendrikus, Dori Wuwur. 1995. Retorika: Terampil Berpidato, Berdiskusi,


Berargumentasi, Bernegosasi. Ende Flores: Kanisisus.

John and Heidi, Richards. 1988. Longman Dictionary of Applied Linguistics.


London: Longman.

Keraf, Gorys. 1981. Diksi dan Gaya Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah.

Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. Ende Flores: Nusa Indah.

Kridalaksana. Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Leech, Geoffrey. (terjemahan Oka). 1993. The Principlesof Pragmatics.


Jakarta: UI Press.

Niles, Olive S. 1980-1981. International Reading Association; A Dictionary


of Reading And Realated Terms. USA: News By.

Rahmat, Jalaluddin. 1994. Retorika Modern: Pendekatan Praktis. Bandung:


Rosda Karya.

Rousdiy, Lathief. 1973. Retorika Teori dan Praktik. Medan: UMSU.

Seaton and Brian. 1982. A Handbook of English Language Teaching Terms


and Practice. London: Longman.

[109]
Suryountoro, S. 1979. Contoh-contoh Pidato Praktis Populer. Gresik:
Bintang Pelajar.

Syafi’i, M. 1988. Retorika Dalam Menulis. Jakarta: Dikbud.

Tarigan, H.G. 1986. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.


Bandung: Angkasa.

Wahab, Abdul. 199l. Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra.


Surabaya: Airlangga University Press.

Wiyanto, Asul. 1979. Pidato, Ceramah dan Diskusi. Gresik: Bintang Pelajar.

Zain dan Badudu. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

[110]
BIOGRAFI

SUSANDI, dilahirkan di Aek Kanopan, Sumatera Utara pada 20 Juli 1985.


Di tanah kelahirannya pendidikan dasar, lanjut, dan menengah
ditempuhnya. Dilanjutkan menempuh S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia FPBS Universitas Negeri Medan, lalu S2 Pendidikan Bahasa
Indonesia PPS Universitas Negeri Malang.

Selain menjadi dosen di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Budi
Utomo Malang untuk matakuliah Teori Sastra, Apresiasi Sastra, Linguistik
Umum, Fonologi, Morfologi, Membaca, Pragmatik, Jurnalistik,
Perpustakaan Sekolah, Dasar Pemandu Acara, PPBI, Menyimak, Berbicara,
Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia, dan Retorika ia juga mengajar
matakuliah Beberapa judul buku yang pernah beliau tulis adalah,
Pengantar Linguistik Umum, Penulisan Karya Ilmiah, dan Retorika. Motto
hidupnya adalah berupaya berbuat yang terbaik bagi diri sendiri, keluarga,
dan lingkungannya.

[111]

Anda mungkin juga menyukai