Anda di halaman 1dari 17

PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penulisan Karya Ilmiah yang Diampu Oleh:

Dwi Septiani S.Hum., M.Pd.

Disusun oleh:
1. Ibnu Tsabit AJ : 201010700066
2. Erika Nabilla Chikita : 191010700121
3. Nova Ajiz Mustaqim : 201010700136

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PAMULANG
2022
ABSTRACT

This research discusses the approach of literary sociology, including its


definition and history. This study aims to expose in as much detail as possible the
approach of literary sociology. The research method used is the descriptive method of
analysis. This method describes or re-describes the facts and data obtained from the
object which is then compiled by analysis to facilitate research. The results of this
study show that literary sociology is a scientific and objective study that discusses
humans and society, the study of institutions and social processes. In the development
of literary sociology, Plato was considered a pioneer of the social theory of literature.
The sociology of literature underwent considerable growth and development. From this
research, it is known that literary works as a result of human work, certainly have a
close relationship with human life itself. The existence of a relationship between
literary works and humans, makes the occurrence of reciprocity between literary works
and humans.
Keyword: literary sociology, societies, literary works.

ABSTRAK
Penelitian ini membahas pendekatan sosiologi sastra, meliputi definisi dan
sejarahnya. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan sedetail mungkin pendekatan
sosiologi sastra. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis.
Metode ini mendeskripsikan atau menggambarkan kembali fakta dan data yang
diperoleh dari objek yang kemudian disusun dengan analisis untuk mempermudah
penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sosiologi sastra merupakan sebuah
studi ilmiah dan objektif yang membahas tentang manusia dan masyarakat, studi
mengenai lembaga dan proses-proses sosial. Dalam perkembangan sosiologi sastra,
Plato dianggap sebagai pelopor teori sosial sastra. Sosiologi sastra mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang cukup panjang. Dari penelitian ini diketahui
bahwa karya Sastra sebagai suatu hasil karya manusia, tentu mempunyai hubungan yang
erat dengan kehidupan manusia itu sendiri. Adanya hubungan antara karya sastra
dengan manusia, membuat terjadinya timbal balik antara karya sastra dengan manusia.
Kata Kunci: sosiologi sastra, masyarakat, karya sastra.
PENDAHULUAN
Sosiologi adalah telaah yang objektif tentang manusia dalam masyarakat, telaah
tentang lembaga dan proses sosial (Damono 1984:6). Karena pada dasarnya sosiologi
itu mempelajari tentang bagaimana kehidupan sosial masyarakat. Dalam buku yang
berjudul The Sociology of Literature, seorang ilmuan sastra Swingewood
mendefinisikan bahwa sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai
manusia dalam masyarakatnya (Swingewood, dalam Faruk 2005:1).
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang multiparadigma (Ritzer, dalam
Faruk 2005:2). Sosiologi disini berarti dalam sebuah sosiologi sastra terdapat beberapa
paradigma yang bersaingan dalam usaha merebut suatu hegemoni di lapangan sosiologi
secara keseluruhan. Sedangkan paradigma berarti satu citra fundamental mengenai
pokok persoalan dalam suatu ilmu pengetahuan.
Fungsi paradigma adalah untuk menentukan tentang apa yang harus diajukan,
bagaimana cara mengajukannya, serta aturan-aturan yang harus diikuti dalam
interpretasi jawaban-jawaban yang diperoleh. Menurut Soerjono Sukanto sosiologi
adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat
umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat
(Soerjono Sukanto, 1970 dalam Wiyatmi 2013:6).
Kemudian Pitirim Sorokin (Sorjono Sukanto, 1969:24) mengemukakan bahwa
sosiologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik
antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala
moral), sosiologi disini merupakan ilmu yang mempelajari tentang hubungan dan
pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala nonsosial, kemudian sosiologi
merupakan ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain
(Wiyatmi, 2013:6-7)

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode ini
mendeskripsikan atau menggambarkan kembali fakta dan data yang diperoleh dari objek
yang kemudian disusun dengan analisis untuk mempermudah penelitian. Metode
deskriptif analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan data-data yang telah terkumpul
dari permasalahan pada teks kemudian dianalisis dengan memberikan pemahaman dan
penjelasan untuk menarik kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan penelitian pengertian Sosiologi sastra Faruk (1994:1)
mengemukakan bahwa sosiologi sastra merupakan sebuah studi ilmiah dan objektif
yang membahas tentang manusia dan masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-
proses sosial. Kemudian dikatakan bahwa sosiologi sebagai sebuah studi yang berusaha
menjawab pertanyaan bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana dengan cara
kerjanya, dan mengapa masyarakat bertahan hidup. Melalui lembaga-lembaga sosial,
agama, ekonomi. Politik dan keluarga secara bersama-sama membentuk apa yang
disebut struktur sosial, sosiologi dikatakan memperoleh gambaran tentang cara-cara
menyesuaikan diri yang ditentukan oleh masyarakat tertentu, gambaran mengenai
mekanisme sosialitas, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu
dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial
tersebut.
Sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam
masyarakat, memahami hubungan-hubungan antarmanusia serta proses yang timbul
akibat adanya hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat. Perbedaannya yaitu
sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah
mengenai lembaga dan proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana masyrakat berlangsung, dan bagaimana ia dapat tetap ada,
kemudian sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukan
cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya, melakukan telaah
secara subjektif dan personal (Damono, 1979 dalam Wiyatmi 2013:7).
Menurut Swingewood terdapat dua corak penyelidikan sosiologi yang
menggunakan data sastra. Pertama, Sociology of Literature (sosiologi sastra) yaitu
penyelidikan yang bermula dari lingkungan sosial untuk masuk kepada hubungan sastra
dengan faktor di luar sastra yang terbayang dalam karya sastra. Kedua, Literary of
Sociology (sosiologi sastra) yaitu penyelidikan yang menghubungkan dengan struktur
karya sastra kepada genre dan masyarakat tertentu. Sosiologi sastra mengalami
perkembangan yang begitu pesat, karena didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya
sastra harus difungsikan sama seperti aspek-aspek kebudayaan yang lain. Karena
keberadaan karya satra itu sendiri tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi di
masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono (1979), bahwa karya
sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan,
sastra dan masyarakat (Damono, 1979 dalam Wiyatmi 2013:8). Maka dari itu
pemahaman terhadap karya sastra yaitu tidak dapat terpisahkan dari berbagai variabel,
pengarang sebagai anggota masyarakat, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang
ikut berperan untuk melahirkan karya sastra, kemudian pembaca yang akan membaca,
menikmati, serta memanfaatkan karya sastra tersebut.
Sosiologi merupakan ilmu objektif kategoris, yang membatasi diri pada apa
yang terjadi dewasa ini (das saini) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen).
Sedangkan karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Menurut Soemardjo
dan Saini (1988: 1) sastra adalah seni yang banyak mengandung unsur kemanusiaan.
Sedangkan karya sastra adalah hasil karya manusia yang memiliki banyak unsur di
dalamnya termasuk unsur sosial. Kemudian selain itu (Damono 1984: 7)
mengemukakan bahwa sastra merupakan bagian dari kemasyarakatan. Sama seperti
halnya sosiologi, sastra berhubungan dengan manusia dalam masyarakat, usaha manusia
untuk menyesuaikan diri dan untuk mengubah masyarakat itu.
Seperti apa yang dikemukakan diatas dalam hal tersebut bahwa sosiologi dan
sastra sesungguhnya berbagi masalah yang sama. Namun pada hakikatnya sastra
merupakan gambaran dari kehidupan. Oleh karena itu diperlukannya bidang khusus
yang digunakan untuk menelaah karya sastra sebagai gambaran dari kenyataan.
Damono (1984: 2) menyatakan bahwa pendekatan terhadap karya sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut
sosiologi sastra. Maka dari itu berbagai gejala-gejala sosial masyarakat yang terdapat di
dalam suatu karya sastra tentunya dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra. Karena pada dasarnya karya sastra berisi tentang kehidupan
masyarakat.
Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru, disiplin
yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir pada abad ke-18. Sosiologi
sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori
strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai
involusi. Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang
justru merupakan asal-usulnya. Kemudian karena dipicu oleh kesadaran bahwa karya
sastra harus difungsikan sama dengan aspekaspek kebudayaan yang lain, maka satu-
satunya cara adalah dengan mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat,
memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara
keseluruhan (Ratna 2013: 331-332).
Menurut Ratna (2013: 332-333) terdapat beberapa hal yang harus
dipertimbangkan mengapa sastra berkaitan erat dengan masyarakat, hal yang harus
diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh
penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang
terjadi dalam msyarakat, pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi
masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah
kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi yang lain,
dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat
jelas sangat berkepentingan dengan ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,
masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Sosiologi sastra sebagai ilmu yang multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat di
dalamnya adalah sosiologi dan sastra, dengan pertimbangan bahwa karya sastra juga
memasukan aspek-aspek kebudayaan lain, maka ilmu-ilmu yang terlibat adalah sejarah,
filsafat, agama, ekonomi dan politik. Dalam penelitian sosiologi sastra yang perlu
diperhatikan adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu-ilmu yang lainnya berfungsi
sebagai ilmu bantu.

A. Pendekatan Sosiologi sastra


Pendekatan Sosiologi sastra menggunakan aspek-aspek sosial yang dilakukan
kelompok dominasi terhadap masyarakat, menurut ratna (2013: 339-340) meliputi:
1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra
itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah
terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang
terjadi disebut refleksi.
2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur,
bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
3. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu,
dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya
menghasilkan penelitian karya sastra sebagai gejala kedua.
Pendekatan yang dianggap lebih relevan adalah model penelitian yang kedua
karena berkaitan dengan ciri-ciri sosiologi sastra kontemporer, dimana masyarakatlah
yang harus lebih berperan.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan hingga saat ini
menaruh perhatian besar terhadap aspek dokumenter sastra, landasannya adalah gagasan
bahwa sastra merupakan cermin jamannya (Damono, 1978: 8-9). Berdasarkan
pandangan ini sastra merupakan cerminan langsung dari berbagai struktur sosial,
hubungan kekeluargaan, serta pertentangan kelas. Dalam hal ini, tugas sosiologi sastra
adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang
itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asalusulnya (Damono 1978: 8-9).

B. Sejarah Sosiologi Sastra


Dalam perkembangan sosiologi sastra Plato dianggap sebagai pelopor teori
sosial sastra. Sosiologi sastra mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup
panjang, juga bisa dikatakan memiliki usia paling tua. Secara institusional objek
sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu kealaman
adalah gejala-gejala alam. Masyarakat merupakan orang-orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya adalah sosiolog melukiskan kehidupan
manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sedangkan sastrawan
mengungkapkannya melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Kemudian sastra juga
memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Maka
dari itu hakikat sosiologi adalah objektivitas, sedangkan hakikat karya sastra adalah
subjektivitas atau kreativitas, sesuai dengan pandangan masing-masing pengarang.
Teori-teori sosial sastra sudah ada sejak zaman Plato atau Aristoteles filsuf
Yunani, pada abad ke-5. Dalam buku yang berjudul Ion dan Republik digambarkan
mekanisme antarhubungan sastra dengan masyarakatnya. Sastra dalam pembicaraan ini
hanya meliputi puisi, sesuai dengan kondisi zamannya, semua bentuk sastra ditulis
dalam bentuk genre tersebut.
Plato dengan teori mimesisnya dianggap sebagai pelopor teori sosial sastra
(Damono, 1979: 16). Kata mimesis sendiri berasal dari bahsa Yunani yang berarti
tiruan. Teori ini menganggap karya sastra sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams,
1981 dalam Wiyatmi 2013: 12). Plato berpendapat bahwa karya seni semata-mata
merupakan tiruan (mimesis) yang ada dalam dunia ide. Jadi karya seni adalah tiruan dari
tiruan, serta hierarkis seni berada di bawah kenyataan. Oleh karena itu kualitasnya lebih
rendah dari pada karya seorang tukang. Karya seni mengkondisikan manusia semakin
jauh dari kenyataan yang sesungguhnya. Oleh karena itu juga seniman harus dijauhkan
dari kehidupan masyrakat.
Mengenai filsafat ide Plato tersebut yang semata-mata bersifat praktis diatas
ditolak oleh Aristoteles. Menurutnya, seni justru mengangkat jiwa manusia, yaitu
melalui proses penyucian (catharsis), sebab karya seni membebaskan manusia dari
nafsu yang rendah. Dalam memahami kenyataan, seni didominasi oleh penafsiran.
Maka dari itu, seniman tidak hanya semata-mata meniru kenyataan, melainkan
menciptakan dunianya sendiri. Dalam kebudayaan barat, khususnya abad pertengahan,
pikiran-pikiran Aristoteles mengenai peniruan diterima sebagai dasar estetik dan filsafat
seni. Karya seni meniru alam sebagai ciptaan Tuhan (The Great Model) karya seni
mencerminkan keindahan Tuhan, manusia hanya menciptakan kembali, manusia
sebagai homo artifex. Sedangkan di Indonesia sendiri terdapat dalam puisi-puisi Jawa
Kuno, melalui konsep persatuan antara manusia dengan Tuhan lewat keindahan, sebagai
penjelmaan Tuhan (Teeuw, 1984: 219-249).
Dalam sosiologi sebuah kenyataan yang ada bukanlah kenyataan yang objektif,
melainkan kenyataan yang sudah ditafsirkan kenyataan sebagai kontruksi sosial. Bahasa
merupakan alat utama yang digunakan untuk menafsirkan kenyataan, karena bahasa
adalah milik bersama, dan didalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial.
Terlebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif subjektif, sebagai kenyataan yang
diciptakan. Pada gilirannya, kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat
mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Misalnya karakterisasi
tokoh - tokoh dalam novel, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh
masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyaarakatlah yang harus
meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang ditealdani. Proses penafsiran
tersebut bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw, 1984:
224-249).
Selain itu juga dalam melukiskan sebuah kenyataan melalui refleksi, sebagai
cermin, juga dengan cara refraksi. Refraksi yaitu jalan belok. Dalam hal ini seniman
mengubah sedemikian rupa dengan kualitas kreativitasnya, tidak hanya melukiskan
keadaan yang sesungguhnya. Dalam hal ini ada empat cara yang mungkin dilakukan,
menurut Teeuw (1982: 18-26), yaitu:
a) Afirmasi, yaitu dengan cara menetapkan norma-norma yang sudah ada,
b) Restorasi, yaitu sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah using,
c) Negasi, yaitu dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang berlaku,
dan
d) Inovasi, yaitu dengan mengadakan pembaruan terhadap norma yang ada.
Dalam sosiologi sastra, teori Plato dan Aristoteles dianggap mendasari kajian
sosiologi karya sastra, yang membahas “kenyataan” yang terdapat dalam karya sastra
dalam hubungannya dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan menganggap
sastra sebagai sarana untuk mencatat dokumen sosial historis masyarakat (Wiyatmi,
2013: 16).
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa hubungan sastra dan masyarakat
sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles, tetapi sosiologi sebagai ilmu yang berdiri
sendiri, menggunakan teori dan metode ilmiah dianggap baru mulai pada abad ke-18.
Yaitu ditandai dengan tulisan Madame de Stael (Albrecht, dkk., eds., 1970: ix;
Laurenson dan Swingewood, 1972: 25-17) yang berjudul De la literature cinsiderce
dans ses rapports avec les institutions sociales (1800). Meskipun demikian buku teks
pertama mengenai sosiologi sastra adalah buku yang berjudu The Sociology of Art and
Literature: a Reader, yang terbit pada tahun 1970, dan dihimpun oleh Milton C.
Albrecht, dkk. Terdapat tiga indikator penting yang melatarbelakangi lahirnya suatu
disiplin baru, yaitu: a) hadirnya sejumlah masalah baru yang menarik dan perlu
dipecahkan, b) adanya metode dan teori yang relevan untuk memecahkannya, dan c)
adanya pengakuan secara institusional (Ratna, 2015: 331-332).
Kehadiran sosiologi sastra memang sangat lambat jika dibandingkan dengan
ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi agama, sosiologi pendidikan, sosiologi ideologi, serta
sosiologi politik. Sosiologi sastra disebut juga sosiokritik sastra, karena
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan. Dari berbagai sudut pandang masing-
masing, terdapat banyak yang berpendapat siapa sesungguhnya pelopor sosiologi sastra.
Michel Biron (dalam Makaryk, ed., 1993: 190) menyebutkan Georg Lukacs, Rene
Wellek dan Austin Warren (1962: 95) menyebutkan De Bonald, Elizabeth dan Tom
Burns (1973: 95) menyebutkan Madame Stael, Robert Escarpit dan Harry Levin (dalam
Elizabeth and Tom Burns, ed., 1973: 11) menyebutkan Hippolyte Taine, Diana
Laurenson dan Alan Swingewood (1972: 31) juga menyebutkan Hippolyte Taine.
Menurut Faruk teori sosiologi sastra tidak hanya mengakui eksistensi sastra
sebagai lembaga sosial yang relatif otonom, melainkan mempunyai kemungkinan relatif
formatif terhadap masyarakat. Maka teori tersebut ditemukan dalam teori kultural atau
ideologis general Gramsci yang kemudian diterapkan dalam sastra (Faruk, 2015:130).
Menurut Gramsci persoalan kultural dan ideologis itu penting, karena berlangsung
proses yang rumit di dalamnya. Kemudian gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir
begitu saja dari otak individual, melainkan memiliki pusat informasi, iradiasi,
penyebaran, dan persuasi. Gramsci menyebutkan bahwa puncak tersebutlah yang
disebut sebagai hegemoni. Konsep hegemoni bagi Gramsci berarti sesuatu yang lebih
kompleks dan digunakan untuk meneliti bentuk-bentuk politik, kultural, dan ideologis
tertentu, yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang ada, suatu kelas fundamental
yang dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-
bentuk dominasi yang bersifat memaksa. Dalam konsep teorinya Gramsci menanamkan
beberapa konsep, yaitu hegemoni, kebudayaan, ideologi, kepercayaan populer, kaum
intelektual dan negara.

C. Macam-macam Pendekatan Sosiologi Sastra


Santosa dan Wahyuningtyas (2011, hlm. 24) menyatakan, karya sastra itu unik
karena merupakan perpaduan antara imajinasi pengarang dengan kehidupan sosial yang
kompleks. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa karya sastra dapat dianggap sebagai
cermin kehidupan sosial masyarakatnya karena masalah yang dilukiskan dalam karya
sastra merupakan masalah-masalah yang ada di lingkungan kehidupan pengarangnya
sebagai anggota masyarakat. Di sinilah keduanya bertemu kembali dan menyiratkan
bahwa harus terjadi interaksi interdisiplin dalam mengkaji suatu karya sastra.
Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara satra dan
masyarakat, literature is an exspreesion of society, artinya sastra adalah ungkapan
perasaan masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan
mengespresikan hidup (Wellek and Werren, 1990: 110). Wellek dan Warren dalam
bukunya Theory of Literature (1994, hlm. 109-133) mengemukakan 3 macam
pendekatan sosiologi sastra yang umumnya dilakukan, yakni sosiologi pengarang, karya
sastra, dan pembaca.
1. Sosiologi Pengarang
Sosiologi pengarang berhubungan dengan profesi pengarang dan institusi sastra.
Masalah yang dikaji antara lain dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang
sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai
kegiatan pengarang di luar karya sastra. Dapat dikatakan bahwa sosiologi
pengarang adalah kajian sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian pada
pengarang sebagai pencipta karya sastra (Wiyatmi, 2013, hlm. 29).
Dalam sosiologi pengarang, pengarang sebagai pencipta karya sastra dianggap
merupakan makhluk sosial yang keberadaannya terikat oleh status sosialnya dalam
masyarakat, ideologi yang dianutnya, posisinya dalam masyarakat, juga
hubungannya dengan pembaca. Dalam penciptaan karya sastra, campur tangan
penulis sangat menentukan, karena realitas yang digambarkan dalam karya sastra
ditentukan oleh pikiran penulisnya (Caute dalam Junus, 1986, hlm. 8).
Meskipun begitu, realitas yang digambarkan dalam karya sastra sering kali
bukanlah realitas apa adanya, tetapi realitas seperti yang diidealkan pengarang.
Tidak heran jika beberapa karya sastra mencampuradukkan realitas dan imajinasi
pengarang di dalamnya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra melalui
sosiologi pengarang membutuhkan data dan interpretasi sejumlah hal yang
berhubungan dengan pengarang.
Dari berbagai pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup atau
yang menjadi kajian sosiologi pengarang antara lain adalah meliputi:
a) Status sosial pengarang,
b) Ideologi sosial pengarang,
c) Latar belakang sosial budaya pengarang,
d) Posisi sosial pengarang dalam masyarakat,
e) Masyarakat pembaca yang dituju,
f) Mata pencaharian sastrawan (dasar ekonomi produksi sastra),
g) Profesionalisme dalam kepengarangan.

Semua hal yang berkaitan dengan pengarang tersebut akan berpengaruh


langsung pada karya sastra yang dibuatnya. Misalnya, status sosial pengarang
yang tinggi akan memberikan berbagai perspektif yang berbeda dengan penulis
yang berada di status sosial rendah. Kacamata keduanya akan berbeda jauh bak
orang yang melihat dari atas ke bawah, dan orang yang melihat dari bawah ke
atas. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian terhadap latar belakang pengarang
untuk mengkaji lebih jauh mengenai karya sastra yang ditelurkannya.

2. Sosiologi Karya Sastra


Menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan,
serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri, dan yang berkaitan
masalah-masalah sosial.
Sosiologi karya sastra adalah kajian sosiologi sastra yang mengkaji karya sastra
dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat
(Wiyatmi, 2013, hlm. 45). Sosiologi sastra ini berangkat dari teori mimesis
Plato, yang menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan.
Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta
hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan
dengan masalah sosial (Wellek dan Warren, 1994 dalam Wiyatmi, 2013, hlm.
45). Sosiologi karya sastra mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat. Apa
yang tersirat dalam karya sastra dianggap mencerminkan atau menggambarkan
kembali realitas yang terdapat dalam masyarakat.
Beberapa wilayah atau yang menjadi kajian utama dalam sosiologi karya sastra
meliputi:

a) Isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra
yang berkaitan dengan masalah sosial;
b) Mengkaji sastra sebagai cermin masyarakat atau bias realita dari kenyataan;
dan
c) Mengkaji sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan
sosiobudaya suatu masyarakat pada masa tertentu (Junus, 1986).

3. Sosiologi Pembaca
Mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh
mana dampak sosial sastra bagi masyarakat pembacanya (Wellek dan Werren,
1990: 111).
Sosiologi pembaca merupakan salah satu model kajian sosiologi sastra yang
memfokuskan perhatian kepada hubungan antara karya sastra dengan pembaca
(Wiyatmi, 2013, hlm. 60). Hal-hal yang menjadi wilayah kajian sosiologi
pembaca antara lain adalah:

a) Permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra,


b) Sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial,
c) Perubahan dan perkembangan sosial (Wellek dan Warren, 1994 dalam
Wiyatmi, 2013, hlm. 60).

Sosiologi pembaca juga mengkaji fungsi sosial sastra, mengkaji sampai berapa
jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial.

Beberapa pengertian dan pendapat di atas menyimpulkan bahwa pendekatan


sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap karya sastra dengan tidak meninggalkan
segi-segi masyarakat, termasuk latar belakang kehidupan pengarang dan pembaca karya
sastra.
Karya sastra kita kenal sebagai karya imajinasi yang lahir bukan atas
kekosongan jiwa namun juga atas realitas yang terjadi di sekeliling pengarang. Hal ini
tentu tidak lepas dari unsur yang membangun karya sastra tersebut yang meliputi unur
intrinsik (unsur yang membangun karya sastra dari dalam) dan unsur ekstrinsik (unsur
yang membangun karya sastra dari luar). Salah satu contoh kajian ektrinsik karya sastra
adalah konflik sosial yang hal tersebut tercakup dalam kajian sosiologi sastra.
Sosiologi sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam
masyarakat, mengenai lembaga dan proses sosial. Sosiologi mengkaji struktur sosial dan
proses sosial termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial yang mempelajari
lembagasosial. agama, ekonomi, politik dan sebagainya secara bersamaan dan
membentuk struktur sosial guna memperoleh gambaran tentang cara-cara manusia
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatan dan kebudayaan.
Sastrasebagaimana sosiologi berurusan dengan manusia; karena keberadaannya dalam
masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkanoleh masyarakat itu sendiri. Sastra
sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya karena
bahasamerupakan wujud dari ungkapan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.
Menurut Wolf terjemahan Faruk mengatakan, “Sosiologi kesenian dan kesusastraan
merupakan suatu disiplin ilmu yang tanpa bentuk; tidak terdefinisikan dengan baik,
terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih
general; yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya
berurusan dengan antara seni dan kesusasteraan dengan masyarakat (199: 3).

KESIMPULAN
Sosiologi sastra adalah pendekatan yang mengkaji, memahami, hingga menilai
karya sastra dengan menggunakan kacamata studi sosiologi yang menelaah manusia,
masyarakat, serta lembaga sosial yang menaunginya.
Hubungan sastra dan masyarakat sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles,
tetapi sosiologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri, menggunakan teori dan metode ilmiah
dianggap baru mulai pada abad ke-18. Sosiologi sastra mengalami perkembangan yang
begitu pesat, karena didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus
difungsikan sama seperti aspek-aspek kebudayaan yang lain. Karena keberadaan karya
satra itu sendiri tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi di masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono (1979), bahwa karya
sastra tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan,
sastra dan masyarakat (Damono, 1979 dalam Wiyatmi 2013:8). Maka dari itu
pemahaman terhadap karya sastra yaitu tidak dapat terpisahkan dari berbagai variabel,
pengarang sebagai anggota masyarakat, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang
ikut berperan untuk melahirkan karya sastra, kemudian pembaca yang akan membaca,
menikmati, serta memanfaatkan karya sastra tersebut.
Sosiologi dapat dikatakan sebagai suatu telaah ilmu pengetahuan yang
menjadikan manusia sebagai objeknya. Selain itu sosiologi juga menelaah hubungan
antara manusia dengan lingkungannya, manusia dengan budayanya, dan hubungan
manusia dengan lembaga-lembaga sosial. Seperti halnya sosiologi yang berurusan
dengan manusia dalam masyarakat, sastra juga berurusan dengan manusia dalam
masyarakat. Dalam hal ini sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang
sama. Perbedaan antara sosiologi dan sastra yaitu, sosiologi melakukan analisis ilmiah
yang objektif, sedangkan sastra menembus kehidupan sosial dengan menunjukkan cara-
cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya.
Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara sastra dan
masyarakat. Sastra merupakan cerminan langsung dari berbagai struktur sosial,
hubungan kekeluargaan, serta pertentangan kelas. Dalam hal ini, tugas sosiologi sastra
adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang
itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya.
Wellek dan Warren dalam bukunya Theory of Literature (1994, hlm. 109-133)
mengemukakan 3 macam pendekatan sosiologi sastra yang umumnya dilakukan, yakni
sosiologi pengarang, karya sastra, dan pembaca.
1. Sosiologi Pengarang
Menyangkut masalah pengarang sebagai penghasil Karya satra.
Mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial pengarang, dan ketertiban
pengarang di luar karya sastra.
2. Sosiologi Karya Sastra
Menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra, tujuan,
serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itusendiri, dan yang berkaitan
masalah-masalah sosial.
3. Sosiologi Pembaca
Mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh
mana dampak sosial sastra bagi masyarakat pembacanya (Wellek dan Werren,
1990: 111).
REFERENSI

Wiyatmi. (2013). Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Kanwa Publisher.

Damono, Sapardi Djoko. (1979). Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Singkat. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Wellek, R. & Warren, A. (2016). Teori Kesusastraan (M. Budianta, Terjemahan).


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pradopo, Rachmat Djoko dkk. (2001). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:


Hanindita

Azhar, Iqbal Nur. (2011, 12 Agustus). Sosiologi Sastra – Pusat Bahasa Al Azhar .
Diakses pada 11 Juli 2022.

Thabroni, Gamal. (2021, 22 Juni). Sosiologi Sastra: Pengertian & Berbagai Pendekatannya -
serupa.id. Diakses pada tanggal 13 Juli 2022.

Anda mungkin juga menyukai