Anda di halaman 1dari 254

KATA PENGANTAR

KATA SAMBUTAN REKTOR IAIN RADEN INTAN


DAFTAR ISI

BAB 1
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DISEKOLAH

A. Pengertian Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam ........................ 1


B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam................................................ 14
C. Pentingnya Pendidikan Agama Islam di sekolah ......................................... 17
D. Pendekatan Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah .................... 30
E. Rangkuman ................................................................................................... 33
F. Latihan .......................................................................................................... 34
G. Bahan Bacaan ............................................................................................... 35

BAB 2
AKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Orientasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ....................................... 38
B. Definisi Pembelajaran PAI ............................................................................ 38
C. Tujuan Pembelajaran (Pengajaran) ............................................................... 40
D. Prinsip-Prinsip Belajar Dan Pembelajaran ................................................... 48
E. Unsur-Unsur Pembelajaran Pendidikan Agama Islam .................................. 55
F. Pendekatan dan Pengembangan Pembelajaran Agama Islam ....................... 65
G. Sasaran Pembelajaran Pembelajaran Agama Islam....................................... 77
H. Rangkuman ................................................................................................... 104
I. Latihan .......................................................................................................... 105
J. Bahan Bacaan ............................................................................................... 105

BAB 3
METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DAN APLIKASINYA
A. Pengertian Metodelogi Pendidikan Agama Islam ......................................... 110
B. Bentuk-Bentuk Metode Pembelajaran........................................................... 111
C. Faktor-Faktor Pilihan Metode ....................................................................... 117
D. Asas Dan Syarat Penggunaan Metode Pembelajaran .................................... 121
E. Langkah-Langkah Pelaksanaan Metode ....................................................... 126
F. Rangkuman ................................................................................................... 134
G. Latihan .......................................................................................................... 135
H. Bahan Bacaan ............................................................................................... 135

BAB 4
KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU PAI
A. Pengertian Profesionalisme Guru .................................................................. 138
B. Pentingnya Profesionalisme Guru dalam Pendidikan ................................... 138
C. Ciri-ciri Profesi Keguruan ............................................................................. 142
D. Standar Kompetensi Guru Profesional .......................................................... 150
E. Rangkuman ................................................................................................... 194
F. Latihan .......................................................................................................... 195
G. Bahan Bacaan ............................................................................................... 195

BAB 5
PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 PADA
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A. Arah Perkembangan Pembelajaran pada Kurikulum 2013............................ 198


B. Perlunya Perubahan dan Pengembangan Kurikulum 2013 ........................... 202
C. Tujuan Pengembangan Kurikulum 2013 ...................................................... 207
D. Landasan Pengembangan Kurikulum 2013................................................... 208
E. Rasional Pengembangan Kurikulum 2013 .................................................... 209
F. Karakteristik Kurikulum 2013 ...................................................................... 212
G. Krangka Dasar Kurikulum 2013 ................................................................... 212
H. Konsep Pembelajaran Pendidikan Agama Islam .......................................... 216
I. Menetapkan Keriteria Keberhasilan ............................................................. 229
J. Rangkuman ................................................................................................... 232
K. Latihan .......................................................................................................... 234
L. Bahan Bacaan ............................................................................................... 234
BAB 1

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


DISEKOLAH

A. Pengertian Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam

Formulasi konsep pendidikan Islam dan pendidikan Agama Islam di sekolah


tidak bisa dilepaskan dari sumber pokok ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah
karena kedua sumber tersebut merupakan pedoman otentik dalam penggalian
khazanah keilmuan Islam. Dengan berpijak kepada dua sumber di atas akan diperoleh
pemahaman yang jelas tentang definisi pedidikan Islam dan pendidikan agama Islam
di sekolah.

1. Pengertian Pendidikan Islam

Dikalangan para pakar pendidikan Islam belum ada kesepakatan tentang definisi
pendidikan Islam yang dapat diterima oleh semua pihak, baik secara etimologis
maupun secara terminologis. Walaupun demikian upaya untuk mencari pengertian
yang tepat senantiasa terus dilakukan.
Secara etimologis Pendidikan Islam diambil dari tiga istilah bahasa Arab yaitu
“tarbiyah”, “ta’lim”, dan “ta’dib” sebagaimana dapat dilihat dari hasil Konferensi
Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam yang diselenggarakan pada tahun
1997 di Universitas King Abdul Aziz Makkah dan Jeddah. Para peserta konferensi
belum berhasil merumuskan definisi pendidikan Islam secara komprehensif. Mereka
hanya merekomendasikan bahwa defenisi Pendidikan Islam adalah keseluruhan

1
makna yang terkadung dalam istilah “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib”1, tanpa ada
penjelasan apa-apa tentang ketiga istilah tersebut.
Untuk menjelaskan istilah “tarbiyah” para ahli pendidikan Islam merujuk pada
istilah-istilah yang ada dalam Al-Qur’an seperti kata “rabb” (QS,1:2) “rabbayani”
(QS,17:24), “raba-yarbu“ (QS,30:39), “rabiyah” (QS,69:10), “murabbi” (QS,1:2),
“rabbiyyin dan ribbiyani” (QS, 3:79 dan 146).
Kata “tarbiyah” merupakan bentuk masdar kata “raba-yurabbu-tarbiyatan”
artinya “pemeliharaan”. Karim Al-Bastani mengartikan “al-rabb” sebagai “tuan”,
“pemilik”, “memperbaiki”, “perawatan”, “tambah”, “mengmpulkan” dan
“memperindah”. Ibnu Abdillah Muhammad Bin Abmad Al-Qutubi dalam Tafsir
Qurtubi mengartikan kata al-rabb sebagai “pemilik”, “tuan”, “pemeliharaan” “Yang
Maha Memperbaiki”, “Yang Maha Mengatur”, “Yang Maha Menambah dan Maha
Menunaikan”.2 Pengertian di atas sebagai interpretasi dari kata al-rabb dalam surat
al-fatihah yaitu merupakan nama dari nama-nama Allah SWT. Imam Fahrur Razy
berpendapat bahwa al-rabb merupakan fonem yang seakar dengan kata al-tarbiyah
yang mempunyai makna al-tanmiyah yaitu pertumbuhan atau perkembangan.3
Untuk itu term rabbayani mengandung arti bukan sekedar pengembangan potensi
manusia yang bersifat pengembangan intelektual semata, akan tetapi meliputi
pengembangan dalam bentuk tingkah laku. Seperti yang diungkapkan Sayyed Qutb
bahwa fonem rabbayani adaalah sebagai pemelihara anak serta menumbuhkan
kematangan sikap mental. Untuk bisa melakukan tugas seperti itu perlu ilmu, sikap
penyantun, luas wawasan dan penuh kasih sayang. 4
Dengan merujuk pada kamus-kamus bahasa arab, Abdurrahman An-Nahlawi
menggunakan istilah pendidikan Islam dengan kata tarbiyah yang berasal dari tiga

1
Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Pustaka Firdaus.1997) ,terj Sori Sire-
gar, hal.15. selanjutnya disebut.Ali Ashaf: Khorison Baru Pendidikan IslamI. Lihat pula Sayyed
Naquib Alattas, Aims and Objectivies of Islamic Eduacation. (King Abdul Aziz University, Jeddah,
1997), hal, 64-65. Buku ini merupakan kumpulan makalah yang dibahas dalam “World Conference on
Muslim Education” I yang diselenggarakan di Makkah dan Jeddah 1997.
2
Muhaimin &Abdul Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda
Karya.1993, hal.128-130.
3
Fahrur Razy. Tafsir Fakhrur Razy. Teheren: Darul Kutub Al-Ilmiyah.1981, Juz XXI,
hal.151.
4
Sayyid Qutb.Tafsir Fadhilali Al-Qur’an , Cairo-Mesir: Darul Fikri.1985, Juz XV hal.15.

2
akar kata bahasa Arab; pertama raba-yarbu yang artinya bertambah, dan
berkembang. Dengan merujuk pada Al-Qur’an surat al-Rum ayat 39. kedua; rabiya-
yarba dibandingkan dengan kata khafiyah-yakhfa, artinya yang terkandung dalam
tubuh dan berkembang. Dengan merujuk pada Syair Ibnu Arabi. Ketiga; rabba-
yarubbu yang dibandingkan dengan kata madda-yamuddu yang artinya memperbaiki,
mengurusi, kepentingan mengatur dan menjaga. 5
Abdul Fatah Jalal mendefinisikan tarbiyah adalah suatu proses persiapan dan
pemeliharaan anak didik pada masa kanak-kanak di dalam keluarga.6 Menurut Abdul
Fatah Jalal kata tarbiyah lebih cocok pada suatu proses persiapan dan pengasuhan
pada fase pertama pertumbuhan manusia atau menurut istilah psikologi disebut fase
bayi dan kanak-kanak. Pengertian tersebut diambil dari surat Al-Isra Ayat 24.
Kata tarbiyah dalam ayat di atas berkaitan erat dengan proses persiapan dan
pemelihara pada masa kanak-kanak di dalam keluarga. Berbeda dengan istilah ta’lim
yang mempunyai jangkauan arti yang lebih luas dan umum karena proses ta’lim tidak
berhenti sampai anak itu menjelang dewasa melainkan seumur hidup. Untuk itu Jalal
berpendapat bahwa istilah yang paling tepat untuk pendidikan dalam Islam adalah
ta’lim, dengan merujuk pada surat Al-Baqarah 30-34, yaitu ketika Allah
mengajarkan kepada Nabi Adam as. tentang nama-nama benda.
Dari pernyataan ayat di atas memperlihatkan bahwa pendidikan Islam lebih tepat
diartikan istilah ta’lim karena proses ta’lim lebih bersifat universal dibanding dengan
proses tarbiyah. Pendapat ini diperkuat ketika Rasulullah Saw, mengajarkan tilawah
Al-Qur’an kepada kaum muslim. Beliau tidak hanya sebatas membuat mereka pandai
membaca melainkan kepada membaca dengan perenungan yang berisikan pengertian,
pemahaman, tanggung jawab dan penanaman amanah. Dari kondisi semacam ini
Rasulullah membawa mereka kepada proses tazkiyatu-al-nafsi yaitu suatu proses
penyucian dan pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri
manusia berada dalam suatu yang memungkinkan untuk menerima al-Hikmah, serta

5
Abdurrahman Al-Nahlawi. Pendidikan Islam di Sekolah, Madrasah dan Masyarakat.
Jakarta: Gema Insani Press. 1985, (terj. Syhabuddin), hal.20-21.
6
Abdul Fatah Jalal. Azaz-azaz Pendidikan Islam, terj. Heri Noor, Bandung Diponegoro.1977,
hal.17.

3
mempelajari segala apa yang bermanfaat dari suatu yang belum diketahuinya. Al-
Hikmah tidak dapat dipelajari secara persial dan sederhana melainkan mencakup
keseluruhan ilmu secara terinegrasi.
Menurut Sayyed Naquib Al Attas,7 istilah tarbiyah konotasinya yang sekarang
merupakan istilah yang relatif baru yang bisa dikatakan telah di buat-buat oleh orang-
orang yang mengaitkan dirinya dengan pemikiran modern. Istilah tersebut
dimaksudkan untuk mengungkapkan makna pendidikan tanpa memperhatikan sifat
yang sebenarnya. Istilah tarbiyah tidak sebagaimana yang mereka nyatakan
melainkan sebagai terjemahan dari istilah “education” menurut konsep Barat karena
makna-makna dasar yang dikandung olehnya mirip dengan yang bisa ditemui di
dalam rekaman latinnya. Selanjutnya Alattas merekomendasikan istilah “adab”
dipandang lebih tepat untuk menyebutkan pendidikan Islam. Adab merupakan
disiplin tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan
tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah,
intelektual dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan
wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajatnya. Adab
didefinisikan sebagai ungkapan keadilan seperti dicerminkan oleh kearifan. Untuk itu
adab dikenal sebagai ilmu tentang tujuan mencari pengetahuan. Sedangkan tujuan
mencari pengetahuan dalam Islam adalah menanamkan kebaikan dalam diri manusia
sebagai individu atau kelompok.
Istilah Adab menurut Alattas,8 melibatkan tindakan untuk mendisiplinkan pikiran
dan jiwa. hal ini berarti pencapaian kualitas-kualitas dan sifat-sifat yang baik oleh
pikiran; penyelenggarakan tindakan-tindakan yang betul, penyelamatan diri dari
kehilangan kemuliaan sebagai manusia.
Adab menunjukkan pengenalan dan pengakuan akan kondisi kehidupan,
kedudukan dan tempat yang tepat lagi layak, serta disiplin diri ketika berpartisipasi
aktif dan sukarela dalam menjalankan peranan seseorang sesuai dengan pengenalan

7
Sayyed Naquib Alattas, Aims and Objectivies of Islamic Education. King Abdul Aziz
University.Jeddah, 1997, hal, 64-65.
8
Ibid, hal 73.

4
dan pengakuan itu. Pemenuhannya dalam diri seseorang secara keseluruhan
mencerminkan kondisi keadilan.
Dari berbagai penjelasan di atas, secara etimologis penggunaan term “tarbiyah”,
“ta’lim” dan “ta’dib” pada prinsipnya sama yaitu digunakan untuk menjelaskan suatu
proses dalam menumbuhkan dan mengembangkan seluruh potensi baik manusia ke
arah kematangannya, baik secara fisik, akal, maupun kejiwaan.
Perbedaan dalam penggunaan ketiga istilah dimaksud merupakan gambaran
betapa luasnya kandungan kitab suci Al-Qur’an itu. Ketiga istilah tadi boleh saja
dipakai untuk menyebutkan istilah pendidikan. Oleh sebab itu konferensi Islam
Internasional di Jeddah tahun 1997 merekomendasikan bahwa pengertian pendidikan
dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dalam istilah “tarbiyah”,
“ta’lim” dan “ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama.
Menurut Azyumardi Azra,9 ketiga istilah di atas mengandung makna yang sangat
dalam, yaitu menyangkut masalah manusia dan masyarakat serta lingkungan yang
begitu dalam hubungannya dengan Tuhan. Ketiga istilah itu saling berkaitan satu
sama lain karena menyangkut totalitas kehidupan manusia, baik hubungannya dengan
Sang Pencipta maupun hubungannya dengan sesama makhluk-Nya. Ketiganya
sekaligus menjelaskan bagaimana ruang lingkup pendidikan Islam yang meliputi
“informal, formal, dan nonformal”.
Perbedaan pandangan dalam menggunakan ketiga istilah di atas merupakan
gambaran betapa kompleksnya masalah pendidikan dan betapa luasnya khazanah
keilmuan dalam Islam karena masing-masing memiliki alasan yang sama-sama kuat
merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Sebagai contoh Naquib
Alattas mempertahankan istilah ta’dib, Fatah Jalal dengan istilah ta’lim dan
Abdurrahman An-Nahlawi dengan istilah tarbiyah. Perbedaan pemahaman mereka
sangat tergantung pada latar belakang pendidikan, pengalaman dan kedalaman
analisis masing-masing.

9
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium Baru.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000, hal. 49.

5
Imam al-Jauhari dalam Naquib Alattas,10 memberi makna tarbiyah sama dengan
makna rabban dan rabba yang berarti “memberi makan”, “memelihara”, dan
“mengasuh”. Menurut Alattas, apabila istilah al-tarbiyah diidentikkan dengan bentuk
madlinya rabbayani, dan bentuk mudharinya murabbi akan mempunyai arti
“mengasuh”, “menanggung”, “memberi makan”, “memproduksi”, dan
“menjinakkan”, dan ini berarti pendidikan jasmani.
Apabila memperhatikan kontek kalimat dalam surat Al-Israa ayat 24,
menunjukkan bahwa pengertian tarbiyah dalam ayat di atas, nampak lebih luas dari
pada apa yang disampaikan Naquib Alattas, yang menyatakan bahwa pengertiaan
tarbiyah itu hanya sebatas aspek jasmani saja. Pendapat Alattas seperti itu dapat
dipahami karena dia melihatnya dari persepektif bahasa sesuai dengan keahliannya
sebagai ahli dibanding kesustraan Arab, bukan ahli dalam bidang pendidikan.
Hal ini tercermin dalam aktivitas doa seseorang untuk orang tuanya. Ketika
seseorang berdoa memohon kepada Allah untuk kedua orang tuanya, yang diperlukan
kedua orang tua itu adalah kasih sayang Allah bukannya pemeliharaan secara fisik,
karena saat itu fisik mereka sudah tidak lagi memerlukan apa-apa. Jadi kalimat
“rabbi” di sini dapat dimaknai “Sebagaimana mereka telah mendidik kami waktu
kami masih kecil dengan penuh kasih sayang”.
Demikian pula dalam surat Al-Syu’ara ayat 18, ketika Fir’aun berkata kepada
Nabi Musa As, sebagaimana berkata yang aritnya :

“......Fir’aun menjawab: bukankah kami telah mendidikmu di dalam (kelurga)


kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami
beberapa tahun dari umurmu”

Kata murabbi di sini berarti “mengasuh”, sedangkan proses pengasuhan tidak


mungkin hanya aspek jasmani saja, yang lebih dominan adalah aspek kejiwaannya.
Dari kedua ayat di atas menunjukkan bahwa esensi dari suatu proses pengasuhan atau
pendidikan adalah aspek kasih sayang pendidik kepada yang terdidik.

10
Haidar Bagir. Konsep Pendidikan Islam. (Bandung : Mizan. 1994) Cet IV, hal. 29 buku ini
sebahagian besar merupakan terjemahan dari Aims and Objectivies of Islamic Education, karya Sayyed
Naquib Alattas, yang gasasan-gagasannya diperkaya dan dikembangkan oleh penerjemah.

6
Mustafa Al-Maraghi, memberikan dua makna al-tarbiyah yaitu: “tarbiyah
kholqiyyah” yakni pembinaan dan pengembangan jasad, jiwa dan akal dengan
berbagai petunjuk, dan “tarbiyah diniyah“, yakni pembinaan jiwa dengan wahyu
untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa.11
Berangkat dari pengertian etimologis yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits Nabi Saw, para ulama dan para intelektual muslim kontemporer mengartikan
pendidikan Islam secara terminologi sebagai berikut.
Mustafa al-Gholayani berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses
penanaman nilai-nilai etika yang mulia pada jiwa anak yang sedang tumbuh dengan
cara memberi petunjuk dan nilai, sehingga mereka memiliki potensi-potensi dan
kompetensi-kompetensi jiwa yang mantap yang dapat membuahkan sifat-sifat bijak,
cinta akan kreasi dan berguna bagi tanah airnya.12
Sementara itu Imam Baidlowi dalam Tafsir Anwar al-Tanzil wa’asrarut Ta’wil,13
mengartikan pendidikan sebagai suatu proses penyampaian sesuatu sampai batas
kesempurnaan, dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Masih dalam kitab
yang sama Al-Asfahani mendefinisikan pendidikan sebagai suatu proses
menumbuhkan sesuatu secara bertahap yang dilakukan setapak sampai batas
kesempurnaan.
Muhammad Rasyid Ridha mengartikan pendidikan dengan istilah ta’lim, yaitu
suatu proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya
batasan dan ketentuan yang ketat.14 Pengertian ini berpijak pada pemahaman terhadap
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 31, tentang makna ‘allama Tuhan kepada Adam as.
Sedangkan proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam
As, menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan oleh Allah Swt
kepadanya.

11
Ahmad Mustafa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. (Mesir : Darul Fakri. Mesir. 1974), cet ke
III, Juz I, hal,13. Selanjutnya disebut Tafsir Al-Maraghi
12
Muhaimin & A.Mujib Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam, hal,131.
13
Abdurrahman An-Nahlawi. Pendidiklan Islam di Sekolah, Madrasah dan Masyarakat hal.
20
14
Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Mesir: Darul Ma’arif 1373H, Cet.Ke IV. Juz I,
hal 262

7
Dari ketiga peristilahan di atas dapat ditafsirkan bahwa istilah tarbiyah dalam
pengertian aslinya, penerapan dan pengamalannya dipakai oleh orang Islam pada
masa-masa yang lebih dini. Penonjolan kuantatif pada konsep tarbiyah adalah kasih
sayang (rahmah) dan bukan pengetahaun (‘ilm).
Ali Ashraf mencoba mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu aktivitas
yang memiliki maksud tertentu, diarahkan untuk mengembangkan individu secara
penuh berdasarkan ajaran Islam.15 Sementara Sayyed Naquib Alattas mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai suatu upaya melatih sensibilitas para murid sedemikian
rupa. Sehingga dalam perilaku terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan,
begitu pula pendekataan terhadap semua ilmu pengetahuan mereka, diatur oleh nilai-
nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan.16
Muhammad Yusuf Qardowi memberikan pengertian pendidikan Islam agak lebih
rinci yaitu pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya;
akhlak dan keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia agar
hidup lebih dalam keadaan damai maupun perang dan menyiapkannya untuk
menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan
pahitnya.17 Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses
penyiapan generasi muda untuk mengisi peran, memindahkan pengetahaun dan nilai-
nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan
memetik hasilnya di akhirat.18
Dari rumusan tersebut Azyumardi Azra,19 memaknai pendidikan Islam sebagai
suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam, melalui proses
di mana individu dibentuk agar mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu
menunaikan tugasnya sebagai khalifah di bumi, dalam rangka mencapai kebahagiaan
dunia akhirat. Ahmad D. Marimba mendefiniskan pendidikan Islam dalam bimbingan

15
Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam, hal. 11.
16
Seyyed Nuquib Alattas, Aims And Objectivies Of Islamic Education, hal.23
17
Muhammad Yusuf Qordowi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Bana. (Jakarta:
Bulan Bintang. 1980), terj. Bustami A. Gani & .Zainal A. Ahmad), hal.157
18
Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam . (Bandung: Al-Ma’arif 1980),
hal .94
19
Azyumardi Azra Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium Baru hal.6

8
jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-
ukuran Islam.20
Dari berbagai pengertian dan rumusan pendidikan Islam sebagaimana telah
dikemukakan di atas, pada dasarnya masih bersifat global. Secara lebih rinci Endang
Syaifuddin Anshari,21 mencoba memberikan pengertian yang lebih teknis yaitu
pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan) oleh subjek didik
terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi dan sebagainya)
dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu,
dengan metode tertentu, dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah tercapainya
pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.
Dengan demikian kajian masalah pendidikan dalam Islam sangat luas sehingga
sukar untuk diberikan batasan yang tegas atau defenisi yang dapat disepakati
bersama. Maka pantas filosof Amerika John Dewey, memberikan pengertian
pendidikan itu adalah kehidupan itu sendiri.22
Dari berbagai definisi pendidikan sebagaimana telah dimukakan di atas penulis
mencoba mengambil esensinya yaitu bahwa pendidikan Islam merupakan suatu upaya
pengasuhan, bimbingan, dan pengembangan kemampuan fisik, akal dan jiwa murid
secara utuh berdasarkan ajaran Islam. Pengasuhan tersebut dilakukan melalui proses
pemberdayaan potensi baik menuju pada tingkat kesempurnaannya yaitu insan kamil.
Dengan pengembangan sensibilitas murid, yakni pengembangkan potensi baik dan
menekan potensi buruk secara sempurna, jasmani, akal dan jiwa, mereka akan terlatih
secara mental dan fisik. Keinginan untuk memiliki pengetahuan bukan saja untuk
memuaskan rasa ingin tahu intelektulnya atau hanya untuk manfaat kebendaan yang
bersifat duniawi, tetapi juga untuk tumbuh sebagai makhluk yang rasional, berbudi,
dan menghasilkan kesejahteraan spiritual, moral dan fisik.

20
Ahmad D Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif 1980, hal
23
21
Endang Syafuddin Anshari, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam. (Jakarta: Usaha
Enterprise. 1976), hal. 85. Baca juga Azyumardi Azra. Esei-Esei Intelektual Pendidikan Islam. Hal. 6
22
Djamari, Nilai-nilai Agama dan Budaya yang Melandasi Interaksi Sosial di Pondok
Pesantren Cikaduen Banten. Disertasi FPs IKIP Bandung tidak diterbitkan, 1985, hal. 64.

9
Sikap ini berasal dari keyakinan terhadap adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya.
Mereka menerima sepenuh hati hukum moral yang diberikan Tuhan, keabadian-Nya
dan eksistensi-Nya bagi pengembangan kehidupan manusia, baik pengembangan
rasional maupun spiritualnya demi kebahagiaan didunia dan akhirat.
Dari uraian tadi Azyumardi Azra23, melihat perbedaan utama antara pendidikan
Islam dengan pendidikan pada umumnya, yaitu pendidikan Islam bukan hanya
mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia saja, tetapi juga untuk
kebahagiaan akhirat. Lebih dari itu, pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi
yang bernafaskan Islam, sehingga pribadi-pribadi yang dibentuk itu tidak terlepas dari
nilai-nilai agama.
Seorang murid yang telah menerima pendidikan Islam akan tumbuh sebagai
pribadi yang mencintai perdamaian, dapat hidup selaras, stabil dan berbudi pekerti
yang baik. Semua itu didasarkan atas keyakinan sepenuhnya akan adanya Allah,
kemurahan-Nya yang tak terbatas, dan keadilan-Nya tak tertandingi. Mereka hidup
dalam kehamonisan individual, sosial dan lingkungan sekitarnya, bukan dalam
konflik dengan alam dan atau lingkungannya. 24
Dengan demikian pendidikan Islam lebih menekankan pada proses “bimbingan
dan asuhan” bukan pada “pengajaran” yaitu transfer informasi tentang berbagai
pengetahuan, yang mengandung konotasi otoritatif pihak institusional yakni
pelaksanaan pendidikan dan lebih khususnya lagi adalah pihak guru. Dengan proses
bimbingan dan asuhan sesuai dengan ajaran Islam, maka anak didik mempunyai
ruang gerak yang luas untuk mengaktualisasikan segala potensi baiknya demi
mencapai kedewasaan fisik, akal dan jiwa. Di sini guru lebih berfungsi sebagai
“fasilitator” atau penunjuk jalan ke arah penggalian potensi baik anak didik. Karena
Allah telah mengilhamkan kepada jiwa manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan
ketakwaan seperti yang termaktub dalam QS. 91:8 yang artinya:
“Maka Dia mengilhamkan kepada (jalan) kejahatan dan ketakwaannya”

23
Azyumardi Azra. Esei-Esei Intelektual Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
2000, hal 6.
24
Haidar Bagir. Konsep Pendidikan Islam. hal.29.

10
Fungsi pendidikan disini adalah mengarahkan dan membimbing jiwa manusia
agar potensinya selalu berada dalam ketakwaan.
Dari ketiga istilah yaitu “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib” sebagaimana telah
diuraikan di atas para pendidikan di Indonesia nampaknya lebih senang menggunakan
istilah tarbiyah untuk menyebut istilah pendidikan Islam sebagaimana terlihat dalam
penggunaan istilah tarbiyah untuk menyebut fakultas pendidikan yang ada di
perguruan tinggi Islam (UIN, IAIN, STAIN).

2. Pengertian Pendidikan Agama Islam disekolah


Dalam struktur kurikulum nasional pendidikan menengah atas mata pelajaran
agama merupakan mata pelajaran wajib yang diberikan di seluruh sekolah, di setiap
jurusan, program dan jenjang pendidikan, baik di sekolah negeri maupun swasta. Hal
itu menunjukkan bahwa pemerintah memandang penting pendidikan agama diajarkan
di sekolah. Misi utamanya adalah membina kepribadian siswa secara utuh dengan
harapan bahwa siswa kelak akan menjadi siswa yang beriman kepada Allah Swt,
mampu mengabdikan ilmu-Nya untuk kesejahteraan umat manusia. Menurut Satryo
Soemantri Brodjonegoro,25 profil di atas merupakan tolok ukur sosok manusia
Indonesia yang utuh dan diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan dalam
perkembangan global.
PAI di sekolah berada di suatu sistem persekolahan. Secara institusional terikat
oleh sistem persekolahan yang cenderung menganut sistem pendidikan sekuler. Di
satu sisi PAI merupakan subsistem dari sistem pendidikan di sekolah , namun di sisi
lain PAI sebagai subsistem dari pendidikan Islam yang dituntut untuk mengembangan
dan mengelola diri sendiri sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam. Oleh karena
itu persoalan yang dihadapi PAI di sekolah sangat berbeda dengan pendidikan Islam
secara keseluruhan.
Dalam sistem pendidikan di persekolahan terdapat dua peristilahan, yaitu
“pendidikan” dan “pengajaran”. Terhadap kedua istilah di atas para parktisi

25
Satrio Soemantri Brodjonegoro. “Wacana tentang Pendidikan Agama Islam” dalam
Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Editor Fuaduddin & Cik Hasan Basri, Jakarta : Logos
Wacana Ilmu 1999, hal. 11.

11
pendidikan lebih cenderung ke arah pengajaran bukan pendidikan. Berkaitan dengan
makna pendidikan dan pengajaran, Harun Nasution menegaskan bahwa untuk
membentuk kepribadian murid sebagai pribadi yang utuh diperlukan pendidikan
agama bukan pengajaran agama. Namun yang berlaku pada umumnya di sekolah
umum termasuk sekolah adalah pengajaran agama bukan pendidikan agama”.26
Mungkin hal seperti ini merupakan salah satu penyebab kemerosotan akhlak,
khususnya di kalangan para siswa sebagai generasi penerus bangsa.
Menurut Azyumardi Azra pendidikan lebih dari sekedar pengajaran karena
pendidikan lebih diarahkan kepada pembentukan dan pembinaan seluruh aspek
kepribadian peserta didik, bukan sekedar transfer informasi tentang ilmu pengetahuan
kepada murid. Pendidikan merupakan transformasi nilai dan pembentukan
kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya sedangkan pengajaran lebih
berorientasi pada pembentukan “tukang” atau spesialisasi yang terkurung dalam
ruang spesialisasinya yang sempit”. 27 Berdasarkan dua pendapat di atas, pemberian
materi agama Islam di sekolah semestinya disampaikan melalui proses pendidikan
bukan pengajaran, sesuai dengan namanya yaitu mata pelajaran Pendidkan Agama
Islam (PAI).
Dalam menyelenggarakan dan melaksanakan PAI di sekolah harus dibedakan
antara program dengan tujuan. PAI di sekolah merupakan salah satu program dari
pendidikan Islam yang berfungsi sebagai media pendidikan Islam melalui lembaga
pendidikan formal, yang diberikan di sekolah.
Nurcholis Madjid,28 membedakan penyelenggarakan pendidikan Islam kepada
dua bagian. Pertama program pendidikan yang bertujuan untuk mencetak ahli-ahli
agama. Kedua program pendidikan agama yang bertujuan untuk memenuhi
kewajiban setiap pemeluk agama untuk mengetahui dan mengamalkan dasar-dasar
agamanya.

26
Harun Nasution. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. (Bandung: Mizan, 1995),
Bandung: Mizan. 1995,cet.ke II, hal. 385.
27
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi menuju Milenium Baru hal. 3
28
Nurcholis Madjid, “Masalah Pendidikan Agama Di Sekolah Menengah Umum”.dalam
Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi, Editor Fuaduddin & Cik Hasan Basri Jakarta : Logos
Wacana Ilmu 1999, hal 40.

12
Yang dimaksud dengan pendidikan agama Islam di sini adalah bagian yang
kedua, yaitu program pendidikan agama Islam sebagai satu pelajaran tentang agama
Islam yang diberikan di sekolah. Tujuannya untuk membina peserta didik menjadi
orang yang memiliki kepribadiaan muslim secara utuh yakni pribadi yang selalu taat
menjalankan perintah agamanya, bukan menjadikan mereka sebagai ahli dalam
bidang agama Islam. Untuk pengertian PAI di sekolah adalah suatu pelajaran atau
program studi yang bertujuan untuk menghasilkan para siswa yang memiliki jiwa
agama dan taat menjalankan perintah agamanya, bukan menghasilkan siswa yang
berpengetahuan agama secara mendalam.
Titik tekannya di sini adalah mengarahkan siswa agar menjadi orang-orag yang
beriman dan bertakwa untuk melaksanakan amal shaleh sesuai dengan
kemampuannya masing-masing.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran pengetahuan tentang
agama Islam yang diberikan di sekolah merupakan bagian integral dari pendidikan
Islam. Mata pelajaran PAI di sekolah mempunyai misi lebih luas dari sekedar
memberi pengetahuan tentang ajaran agama Islam. PAI lebih dititik beratkan pada
pembinaan kepribadian peserta didik berdasarkan ajaran Islam, yang salah satu
aspeknya adalah pembekalan pengetahuan tentang agama Islam.
Sebagaimana layaknya mata pelajaran PAI memiliki materi, metode, dan sistem
evaluasi secara terencana. Mengingat posisi PAI di sekolah sangat strategis yaitu
merupakan suatu mata pelajaran wajib yang diberikan kepada seluruh siswa yang
beragama Islam dari berbagai jurusan, program, dan jenjang maka program
pembelajarannya harus dirumuskan secara baik. Walaupun mata pelajaran PAI haya
diberikan dua jam perminggu, namun apabila dikelola secara optimal maka akan
memperoleh hasil yang baik.

B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam

13
Secara umum tujuan pendidikan agama Islam yaitu untuk meningkatkan
keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama
Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah
swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.29
PAI di sekolah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman,
penghayatan dan pengamalan siswa tentang agama Islam sehingga menjadi muslim
yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan
pada jenjang yang lebih tinggi.
Tujuan yang diharapkan dalam mengembangkan PAI adalah (1) menanamkan
nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2)
menanamkan nilai-nilai budaya pada umumnya, (3) mengembangkan kepribadian, (4)
mengembangkan kepekaan rasa, (5) mengembangkan bakat, (6) mengembangkan
minat belajar, (7) meningkatkan budi pekerti yang luhur sesuai dengan agama dan
keyakinannya.
Secara lebih tegas dan mendalam Dahlan M.D. memberikan penjelasan tentang
tujuan pendidikan agama Islam yang tidak jauh dari tujuan dienul Islam itu sendiri,
yakni agar peserta didik menjadi umat yang berpedoman kepada al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw dalam melaksanakan kehidupan dan penghidupan agar
mencapai kebahagiaan dan keselamatan hidup baik lahiriah maupun batiniah di dunia
dan di akhirat.30 Jadi PAI di sini memiliki tujuan (1) agar peserta didik dapat
mengatasi keterbatasan dirinya; (2) memberi santapan rohani; (3) memenuhi tuntutan
fitrah manusia; (4) mencapai kebahagiaan dan keselamatan; (5) memelihara
ketinggian martabat sebagai manusia; (6) memberikan keyakinan bahwa Islam
sebagai kebenaran mutlak; (7) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber
moral; (8) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber prinsip hidup; (9)
memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber hukum; (10) memberikan
29
Depdiknas RI., Kurikulum Sekolah Menengah Atas: Gari-Garis Besar Program Pendidikan
Jakarta: Depdiknas, 1999, hal. 15.
30
Dahlan M.D., Model-model Mengajar , Bandung: CV. Diponegoro, 1994, hal. 6-10.

14
keyakinan bahwa Islam sebagai sumber informasi dan metafisika; dan (11)
memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber inspirasi dan ilmu pengetahuan.
Di sekolah pada umumnya pendidikan lebih cenderung mengajarkan
pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani, kemandirian dan rasa tanggung jawab
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan yang dilaksanakan kurang dan
jarang terpadu dengan pembinaan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang nanti wujudnya akan sampai pada tercapainya perilaku budi pekerti yang luhur.
Berbagai pihak menyatakan bahwa pendidikan telah menyimpang dari tujuan
semestinya. Pengertian pendidikan telah diperkecil dengan “persekolahan” yang
kemudian diperkecil lagi dengan “pengajaran”, untuk selanjutnya diperkecil dengan
“pengajar di kelas” dan makin diperkecil lagi menjadi penyampaian materi
kurikulum. Untuk selanjutnya berakhir dengan mempersiapkan diri pada Ujian Akhir
Nasional (UAN). Akibatnya pendidikan telah berorientasi pada suatu hal yang sangat
sempit, berpusat pada aspek-aspek kognitif dan intelektual sehingga pendidikan tidak
mampu menghasilkan kepribadian yang utuh, bahkan untuk membina imtak yang ada
pada siswa sangat sulit dilaksanakan.
Tujuan pendidikan menurut ajaran agama Islam adalah membimbing menjadi
individu menjadi “khalifah fil ardh”. Dikemukakan oleh Muhaimin dan Mujib bahwa
tujuan manusia diciptakan adalah untuk mengabdi kepada Alllah swt dengan indikasi
tugasnya berupa ibadah kepada Allah swt.31
Semua pihak yang peduli terhadap pendidikan mengembalikan praktik
pendidikan sesuai dengan tujuan yang dicanangkan. Pendidikan yang telah diperkecil
dan dipersempit, dikembangkan kembali menjadi pendidikan yang dapat membina
dan membimbing siswa dalam pengembangan berbagai potensi yang dimilikinya.
Untuk mengembangkan tugas-tugas sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah fil
ardh. Pendidikan yang mampu mengembangkan dan membina perwujudan diri siswa
secara optimal sesuai dengan tuntunan Allah swt.
Selanjutnya dikemukakan oleh Muhaimin dan Mujib bahwa tujuan PAI harus
berorientasi pada hakikat pendidikan yaitu seperti berikut ini.

31
Muhaimin dan A. Mujib, Pemikiran Filsafat Pendidikan, hal. 153-154.

15
1) Tujuan dan tugas hidup manusia, manusia diciptakan untuk membawa tujuan dan
tugas hidup tertentu. Tujuan hidup manusia untuk beribadah kepada Allah swt,
dan bertugas sebagai pemimpin di muka bumi sebagai khalifah fil ardh Hal ini
sesuai dengan firman Allah swt yang berbunyi: “Katakanlah (Muhammad),
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan seluruh alam”.
2) Sifat-sifat dasar (nature) manusia, yaitu konsep tentang manusia yang diciptakan
sebagai khalifah di muka bumi (Q.S. az-Zariyaat [51]: 56). Penciptaan itu dibekali
dengan berbagai macam fitrah yang berkecenderungan pada alternatif (rindu akan
kebenaran dari tuhan) berupa agama Islam (Q.S. al-Kahfi [18]: 19) sebatas
kemampuan dan kapasitas ukuran yang ada.
3) Tuntutan masyarakat, untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang telah melembaga
dalam kehidupan suatu masyarakat maupun pemenuhan terhadap tuntutan
kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan tuntutan dunia modern.
4) Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, mengandung nilai yang dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia sedunia untuk mengelola dan
memanfaatkan dunia sebagai bekal kesejahteraan hidup di akhirat, serta
mengandung nilai-nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut agar
tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki.32
Tujuan PAI ini merupakan penjabaran dari Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yaitu “ Pendidikan nasional bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”. 33
Beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang maha Esa dalam rumusan tujuan
pendidikan nasional di atas menunjukkan bahwa pendidikan agama diharapkan
memberikan kontribusi positif terhadap usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional.
32
Ibid., hal. 153-154.
33
Afnil Guza, ”Standar Nasional Pendidikan (SNP)”, Kumpulan Undang-undang tentang
Pendidikan, Jakarta: Asa Mandiri, 2007.

16
Karena keimanan dan ketakwaan hanya dapat terbina secara sempurna melalui
pendidikan dan pengajaran agama Islam. Karena itu PAI mempunyai peran penting
dalam sistem pendidikan nasional.
Sejalan dengan uraian di muka Dahlan mengemukakan makna pendidikan Islam
sebagai berikut, yaitu:
“…bahwa pendidikan agama Islam merupakan penataan individual dan sosial
yang dapat menyebabkan seseorang tunduk, taat pada Islam dan menerapkannya
secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat. Untuk
merealisasikannya dituntut komunikasi, mengakui adanya inisiatif, aktivitas, dan
kreativitas terdidik yang masih perlu bantuan dan arahan, agar tidak menyimpang
dari tujuan yang diharapkan. Sedangkan tugas yang diembannya menyiratkan
tanggung jawab sebagai khalifah di bumi”. 34

Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa melalui tujuan PAI manusia
diharapkan selalu bersih untuk mencapai taraf makhluk yang tertinggi, makhluk
termulia, sebagai khalifah fil ardh, agar mendapat ridho Allah swt. Sehingga tercapai
kebahagian hidup di dunia dan kehidupan di akhirat nanti. Di samping itu manusia
tidak boleh lupa bahwa segala sesuatu yang diperolehnya adalah atas petunjuk serta
atas izin Allah swt. Dengan hasil pendidikan yang dijalani manusia dapat berusaha
mencapai tujuan hidupnya yang hakiki sesuai dengan ajaran agama Islam.

C. Pentingnya Pendidikan Agama Islam di sekolah


1. Eksistensi pendidikan Agama Islam dalam Pendidikan Nasional

Berangkat dari suatu pemikiran bahwa PAI di sekolah merupakan salah satu
media pendidikan Islam, maka pelaksanaannya sudah barang tentu harus merujuk
pada sistem pendidikan Islam secara utuh.
Pendidikan agama Islam dalam berbagai tingkatannya mempunyai kedudukan
penting dalam sistem pendidikan nasional sesuai dengan Undang-undang No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan Undang-undang ini posisi
pendidikan agama sebagai subsistem pendidikan nasioanal menjadi semakin

34
Dahlan M.D., Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi
Akhlak al-Qur’an di Musabaqah al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19 Rajab/26
September, Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002. hal.5.

17
mantap.35 Dalam UU No .20/2003 pasal 3 dikemukakan: bahwa “Pendidikan nasional
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab”.36
Dalam tujuan pendidikan nasional tersebut, dimensi keimanan dan ketakwaan
merupakan bagian yang terpadu dari tujuan pendidikan nasional. Hal ini
mengimplikasikan bahwa pembinaan iman dan takwa bukan hanya tugas dari bidang
kegiatan atau bidang kajian tertentu secara terpisah, melainkan tugas pendidikan
secara keseluruhan sebagai suatu sistem. Artinya, sistem pendidikan nasional dan
seluruh upaya pendidikan sebagai suatu sistem yang terpadu harus secara sistematis
diarahkan untuk menghasilkan manusia yang utuh, yang salah satu cirinya adalah
manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Penjabaran tujuan pendidikan nasional secara operasional ke dalam sejumlah
bidang kegiatan pendidikan secara sadar dan terarah ditujukan untuk mencapai
keseluruhan dimensi tujuan pendidikan nasional masih mengalami kesulitan. Dalam
kenyataan praktik-praktik pendidikan lebih mengutamakan dimensi-dimensi tujuan
yang bersifat intrumental yang berkenaan dengan aspek pengetahuan dan
keterampilan. Hal ini dapat dipahami karena secara konvensional, kegiatan
pendidikan atau yang lebih tepat proses belajar dan mengajar lebih banyak berkenaan
dengan belajar akademik (academic learning) untuk penguasaan bidang pengetahuan
atau keterampilan tertentu.37
Alasan lain proses pendidikan untuk mencapai aspek pengetahuan dan
keterampilan lebih mudah diamati dan diukur dari pada aspek nilai dan sikap.
Akibatnya dimensi-dimensi nilai dan efektif yang bersifat intrinsik dari tujuan
pendidikan seringkali terabaikan dan hanya menjadi efek penyerta (nurturant effect)

35
Azyumardi Azra Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi menuju Milenium Baru ,hal.
57.
36
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No 20 Tahun 2003.
37
Ahmad Tirto Sudiro. Pendidikan Agama dalam Persepektif Agama-agama. Jakarta: Dirjen
Dikti, 1995, hal.82.

18
dari upaya pendidikan.38 Sementara itu dari sejarah dan filsafat pendidikan yang sejati
mampu memberikan perhatian secara seimbang kepada semua dimensi potensi
manusia, baik dimensi pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), nilai dan
sikap (afektif), serta kemauan (konatif).39
Pentingnya perhatian yang besar dicurahkan kepada pembinaan keimanan dan
ketakwaan siswa ditegaskan pula dalam sejumlah hasil Rapat Kerja Nasional
(Rakernas) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Setiap tahun Rakernas
Depdiknas menetapkan peningkatan pendidikan agama sebagai salah satu
kebijaksanaan yang memperoleh perhatian sungguh-sungguh. Pengertian pendidikan
agama dalam butir kebijaksanaan tersebut idealnya bukan hanya mengacu kepada
PAI, melainkan kepada seluruh upaya pembinaan kualitas keberagaman siswa secara
terpadu di sekolah. Karena alasan tersebut dan didasari oleh adanya kebutuhan untuk
memberikan penekanan yang lebih kuat pada pendidikan yang dapat mengembangkan
kualitas imtak siswa, maka upaya-upaya pembinaan keimanan dan ketakwaan siswa
mengalami perluasan dan pengayaan. Ia tidak lagi cukup hanya didekati secara
monolitik, melainkan harus secara integratif.40 Artinya, ia tidak lagi hanya semata-
mata dipercayakan kepada PAI secara sebagai suatu mata pelajaran, melainkan
dikembangkan strategi lain yang secara komplementer membina imtak siswa.
Bersamaan dengan itu dikotomi yang selama ini terjadi antara pendidikan agama
dan pendidkan umum mulai dijembatani. Adapun strategi yang dapat dilakukan
antara lain melalui (1) integrasi materi imtak ke dalam mata pelajaran lain yang non-
PAI; (2) penciptaan iklan lingkungan sekolah yang kondusif untuk tumbuhnya imtak;
(3) kegiatan ekstra-kurikuler yang bernafaskan imtak; dan (4) mempererat kerjasama
sekolah dengan orang tua dan masyarakat dalam pembinaan imtak siswa.

38
Dedi Supriadi, Membangun Bangsa melalui Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2004, hal. 71.
39
Ibid, 75.
40
Permendiknas RI No. 23 Th. 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas, 2006, baca juga Permendiknas RI No. 6 Th.
2007 tentang Perubahan Permendiknas RI No. 24 Th. 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas RI no
22 dan 23 Th. 2006.

19
2. Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional ditetapkan ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 dan
2 sebagai berikut.
1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memilki kekuatan keagamaan, pengendalian diri, keperibadian,
kecerdasan, akhlak mulia, bangsa, dan negara.
2. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila Dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-
nilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
Dari rumusan diatas, dalam rangka mengembangkan dan membangun potensi
manusia seutuhnya, dalam arti utuh jasmani dan rohani sesuai dengan amanah
Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, diperlukan
adanya pelaksanaan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah ada
semua jalur jenis dan jenjang pendidikan.
Pendidikan secara kulturan pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi
dan tujuan yang tidak berbeda. Semuanya hidup dalam upaya yang bernaksud men-
gankat dan menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya, teru-
tama dalam bentuk transfer of knowledge dan transfer of values. Dalam konteks ini
secara jelas juga menjadi sasaran jangkauan pendidikan Agama Islam merupakan ba-
gian dari system pendidikan nasional, sekalipun dalam kehidupan bangsa Indonesia
tampak sekali eksistensinya secara cultural. Tapi secara kuat ia telah berusaha untuk
mengambil peran yang kompetitif dalam setting sosiologis bangsa, walaupun tetap
saja tidak mampu menyamai pendidikan umumnya yang ada dengan otonomi dan du-
kungan yang lebih luas, dalam mewujudkan tujuan pendidikan secara nyata.
Sebagai pendidikan yang berlebel agama, maka pendidikan Agama Islam memi-
liki transmisi spritual yang lebih nyata dalam proses pengajarannya dibanding dengan
pendidikan umum, sekalipun lembaga ini juga memiliki muatan serupa. Kejelasannya

20
terletak pada keinginan pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan keseluruhan
aspek dalam diri anak didik secara berimbang, baik aspek intelektual, imajinasi dan
keilmiahan, kulturan serta kepribadian. Karena itulah pendidikan Agama Islam memi-
liki beban yang multi paradigma, sebab berusaha memadukan unsur iman dan taqwa,
dimana dengan pemaduan ini, akan membuka kemungkinan terwujudnya tujuan inti
pendidikan Agama Islam yaitu melahirkan manusia-manusia yang beriman dan be-
rilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang.
Antara ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan, karena
perkembangan masyarakat Islam, serta tuntutannya dalam membangun manusia seu-
tuhnya (jasmani dan rohani) sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ilmu penge-
tahuan yang dicerna melalui proses pendidikan. Proses pendidikan tidak hanya meng-
gali dan mengembangkan sains, tetapi juga, lebih penting lagi yaitu dapat menemu-
kan konsepsi baru ilmu pengetahuan yang utuh, sehingga dapat membangun masya-
rakat Islam sesuai dengan keinginan dan kebutuhan yang diperlukan.
Berangkat dari pengertian pendidikan Islam, maka pendidikan agama Islam di
sekolah dapat didefinisikan sebagai suatu program pendidikan yang menanamkan
nilai-nilai Islam melalui proses pembelajaran, dikemas dalam mata pelajaran, diberi
nama pendidikan agama Islam (PAI). Sebagai mata pelajaran wajib di sekolah, PAI
memiliki kurikulum yang rancangannya sesuai dengan sistem di sekolah umum.
Pengertian ini berangkat dari suatu pemikiran bahwa PAI di sekolah merupakan salah
satu media pendidikan Islam, maka segala upayanya harus selalu merujuk pada
konsep pendidikan Islam secara utuh.
Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum sesuai dengan ketentuan
undang-undang dapat dilihat pada beberapa asal dari UUSPN No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas pada pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa: Kurikulum pendidikan
Dasar dan Menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewargaan,
bahasa, matematika, ilmu pengetahauan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani
dan olahraga, keterampilan/kejujuran, dan muatan lokal.

21
Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 37 ayat (1) tersebut diatas ditegasna bahwa:
Pendidikan agar dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia.
Bab V tentang peserta didik, pasal 12 ayat (1)
(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang se-agama
b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuan.
Bab X tetntang kurikulum pada pasal 36 ayat (3) juga dinyatakan:
(3) kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonsia dengan memperhatikan:
a. Peningkatkan iman dan takwa;
b. Peningkatan akhlak mulai;
c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. Keraguan potensi daerah dan lingkungan;
e. Tuntutan pembangunan daerah dan lingkungan;
f. Tuntutan dunia kerja;
g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. Agama
i. Dinamika perkembangan global; dan
j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan agama di sekolah di atur dalam
undang-undang, baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya
pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum, dan komponen pendidikan lainnya.
Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa dalam rangka membangun manusia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, maka pendidikan agama berfungsi
sebagai berikut.
a. Dalam aspek individual adalah untuk membentuk manusia Indonesia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia.

22
b. Dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah untuk hal-hal
sebagai berikut.
a) Melestarikan asas pembangunan nasional, khususnya asas perikehidupan dan
keseimbangan.
b) Melestarikan modal dasar pembangunan nasional yakni modal rohaniah dan
mental berupa keimanan, ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia.
c) Membimbing warga negara Indonesia menjadi warga negara yang baik
sekaligus umat yang taat menjalankan agamanya.
Hal ini sesuai dengan rumusan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3
tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis seta bertanggung jawab.
Dari kutipan tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional diatas, dinyatakan
bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pendidikan agama
menempati tempat yang strategis secara operasional, yaitu pendidikan agama
mempunyai relevansi enan pendidikan kehidupan bangsa dalam mewujudkan
manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanah pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Upaya pendidikan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,
memberikan makna perlunya pengembangan dimensi aspek kepribadian seluruh
makna perlunya pengembangan seluruh dimensi aspek keperibadian seluruhnya
secara seimbang dan selaras. Konsep manusia seutuhnya harus dipandang memlki
unsur jasad, akal, dan kalbu serta aspek kehidupannya sebagi makhluk individu,
sosial, susila, dan agama. Kesemuannya harus berada dalam kesatuan integralistik
yang bulat. Pendidikan agama perlu diarahkan untuk mengembangkan iman, akhlak,

23
hati nurani, budi pekerti serta aspek kecerdasan dan keterampilan sehingga terwujud
keseimbagan. Dengan demikian, pendidikan agama secara langsung akanmampu
memberikan kontribusi terhadap seluruh dimensi perkembangan manusia Indonesia
seutuhnya seperti tercermindari semua unsur yang terkandung dalam rumusan dalam
rumusan tujan pendidikan nasional seperti yang dimaksudkan. 41
Dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang objeknya
adalah pribadi anak yang sedang berkembang, maka adanya hubungan timbal balik
antara penanggung jawab pendidikan, yaitu yang didalamnya terdiri dari kepala
sekolah, para guru, staf ketatausahaan, orang tua dan anggota keluarga lainnya mutlak
diperlukan. Hal ini bukan hanya kaena peserta didik masih memerlukan perlindungan
dan bimbingan sekoah dan keluarga tersebut, tetapi juga pengaruh pendidikan dan
perkembangan kejiwaan yang diterima peserta didik dari kedua lingkungan tersebut
tidak boleh menimbulkan pecahnya keperibadian anak. Pengaruh komplikasi
psikologis tersebut selain bisa mengakibatkan frustasi pada diri anak, juga dapat
menghambat perkembangan jiwa anak didik.
Dengan kata lain, kerja sama antara penaggung jawab pendidikan tersebut perlu
diintensifkan, baik melalui usaha guru-guru di sekolah maupun orang-orang tua
murid. Pertemuan antara kedua pendidik ( guru dan orang tua) perlu diadakan secara
periodik; kunjungan guru kerumah orang tua murid yang diatur secara periodik untuk
saling mengadakan pertukaran pikiran dan pendapat tentang anak didiknya adalah
merupakan kegiatan pedagogis yang sangat penting artnya bagi usaha menyukseskan
pendidikan agama. Guru perlu mengetahui sedikit tentang suasana rumah, tempat
anak itu hidup, sehingga guru mengetahui suasana hidup keagamaannaya dan
bagaimana pandangannya terhadap perlunya pendidikan agama bagi putra-putrinya.
Guru memerlukan keterangan-Keterangan dari orang tua murid mengenai anaknya
masing-masing. Melalui cara demikian, guru akan memperoleh petunjuk-petunjuk
yang berharga yang dapat digunakan guna pendidikan anak di sekolah.

41
Depdikanas, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah
Menengah Atas Dan Madrasah Aliyah, Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas,2003, hal. 17

24
Lingkungan masyarakat juga mempunyai pengaruh pada pendidikan anak di
sekolah terhadap peaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah, sekolah dan
masyarakatnya juga dipengaruhi oleh hasil pendidikan sekolah. Menjadi tugas sekoah
untuk mengenal anak agar mereka belajar hidup dimasyarakat dan belajar
memahaminya dan mengenal baik buruknya. Dengan demikian, dengan cara tersebut
diharapkan agar anak memahami dan menghargai suasana masyarakatnya. Salah satu
dari tujuan sekolah adalah menagntar anak dalam kehidupannya di dalam masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan agama yang berlangsung dan diselenggarakan
masyarakat harus menjadi penunjang dan pelengkap yang mampu untuk
mengembangkan pengetahuan dan wawasan keagamaan anak. Dengan demikian pula
hendaknya yang terjadi dilingkunagn keluarga, pendidikan agama harus menjadi
pendorong yang saling menguatkan, sehingga melalaui program keterpaduan dapat
dikembangkan program pendidikan agama yang berkelanjutan, yang saling mengisi
dan menguatkan. Program pendidikan agama tersebut harus diusahakan agar tidak
tumpang tindih, tidak saling melemahkan dan tidak terjadi bertentangan satu dengan
yang lainnya. Dengan demikian, prinsip keterpaduan pendidikan agama Islam akan
tercapai dengan baik. Selanjutnya, perlu ditegaskan kembali di sini bahwa pendidikan
agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kerukunan
hubungan antara umat beragama.
Adapun tujuan pendidikan, yaitu untuk berkembangnya kemampuan peserta
didik dalam mengembangkan, memahami, menghormati dan mengamalkan nilai-nilai
agama Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Perlu diingat bahwa
dalam pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatiakn prinsip dasar sebagai
berikut.
1) Pelaksanakan pendidikan agar harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama
yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik.
2) Pendidiakn agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran
agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan
etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.

25
3) Pendidikan agama harus dapat menumbuhkan sikap kritis, kreatif, inovatif, dan
dinamis sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk menguasai ilmu
pengetahuan, teknokrat, dan seni.
4) Pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa
hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
5) Satuan pendidikan yang berciri khas agama dapat menciptakan suasana
keagamakan dan menambah mutan pendidikan agama sesuai kebutuhan, seperti
tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalamannya.
Dengan demikian, setiap satuan pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan
agama, dengan ketentuan sebagai berikut.
a) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan
agama.
b) Satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan
pendidikan agama dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan agama di
masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik.
c) Setiap satuan pendidikan seharusnya menyediakan tempat dan kesempatan
kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan
persyaratan agama yang dianut oleh peserta didik.
d) Tempat melaksanakan ibadah agama dapat berupa ruangan di dalam atau di
sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik
menjalankan ibadahnya.
e) Satuan pendidikan yang bercirikan khas agama tertentu tidak berkewajiban
membangun tempat ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama
satuan pendidikan yang bersangkutan.
Adapun kualifikasi minimum pendidik pendidikan agama pada tingkat SD, SMP,
SMU/SMK, atau bentuk lain yang sederajad adalah sarjana agama, ditambah
sertifikat profesi Pendidik pendidikan agama dari perguruan tinggi yang terakreditasi.
Pendidik pendidikan agama adalah guru mata pelajaran pendidikan gama harus
memiliki latar belakang agama sesuai dengan agama yang dianut peserta didik dan
mata pelajaran pendidikan agama yang diajarkan bagi pendidik yang tidak memenuhi

26
kualifikasi minimum sebagaiman tersebut, tetap memiliki keahlian di bidang agama
dan diperlukan dapat menjadi pendidik pendidikan gama setelah melalui uji
kelayakan dan kesetaraan.
Pendidikan pendidikan agama pada satuan pendidikan disediakan oleh satuan
pendidikan yang bersangkutan atau pengawasan pendidikan agama dilakukan oleh
pengawasan pendidikan agama terhadap penyelenggaraan pendidikan agama, tidak
lanjut hasil pengawasan. Laporan sebagaimana dimaksud diatas dan ditujukan kepada
kantor Departemen Agama Kabupaten/kota atau kantor Wilayah Departemen Agama.

3. Pendidikan Agama Islam sebagai Pendidikan Nilai (Afektif) di sekolah

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) pada hakekatnya merupakan upaya


untuk mewujudkan dan mengembangkan seluruh aspek keperibadian meliputi
pengembangan daya nalar, pengembangan sikap dan perilaku sebagai makhluk Tuhan
yang beriman dan berbudaya. Dalam rangka pengembangan kepribadian tersebut,
Ahmad Watik Pratiknya,42 berpendapat bahwa dalam pengembangan sumber daya
manusia dapat menganut paradigma ”nilai tambah”. Dalam tinjauan makro paradigma
”nilai tambah” setidak-tidaknya memiliki dua makna penting yaitu makna ekonomis
dan nonekonomis (nilai tambah insani). Nilai tambah ekonomis menjadikan manusia
lebih produktif dan secara material nilainya lebih tinggi. Nilai tambah ekonomis
dipengaruhi oleh pemanfaatan teknologi dalam proses produksi, kemampuan
manajerial, dan profesionalisme. Nilai tambah insani (martabat kemanusiaan)
menjadikan manusia lebih tinggi harkat serta derajat kemanusiaannya yaitu manusia
sebagai subjek pembangunan. Sementara nilai tambah insani menempatkan manusia
sebagai objek atau sasaran yang perlu dibangun. Kedua nilai tambah di atas amat
diperlukan dalam menata sumber daya yang berkualitas menuju kehidupan
masyarakat sejahtera.

42
Ahmad Watik Pratiknya. Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Umum, Editor
Fuaduddin dan Cik Hasan Basri. Jakarta: Logos Wacaana Ilmu 1999, hal. 87

27
Sumber daya manusia yang berkualitas itu menyangkut tiga demensi (1) dimensi
spiritual, (2) dimensi ekonomis, dan (3) dimensi budaya. 43 Upaya pengembangan
kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan perlu mengacu pada
pengembangan nilai tambah pada tiga demensi tadi. Pendidikan agama di SMU
merupakan salah satu implementasi dari pembinaan dimensi spiritual.
Dari uraian di atas dapat diambil maknanya bahwa pendidikan merupakan suatu
proses dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Secara makro misi
pendidikan meliputi pembinaan iman dan takwa, pembinaan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), dan pembinaan budaya. Proses pembinaan iman artinya proses
transformasi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupannya sebagai hamba Allah yang
meliputi ketaatan melaksanakan ibadah, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial
dalam rangka membina pribadi yang beragama. Proses pembinaan iptek artinya
proses pembinaan dan pengembangan potensi manusia sebagai khalifah Allah di
muka bumi ke arah terbinanya kemampuan manusia dalam mengolah kekayaan alam
dengan kemampuan ilmu dan teknologi untuk mendapatkan manfaat demi
kesejahteraan manusia. Proses pemberdayaan artinya proses transformasi nilai-nilai
budaya, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai spiritual menyangkut nilai-nilai
etis, estetis, serta wawasan kebangsaan dalam rangka membina sikap saling
menghormati.
Dalam tinjauan secara makro dapat dilihat peran PAI dalam pengembangan SDM
yaitu sebagai suatu proses pengembangan fitrah sebagai makhluk Tuhan yang
potensinya sempurna. Dalam pelaksanaannya meliputi tiga tahapan yaitu alih penge-
tahuan (transfer of knowledge), alih metode (transfer of methodologi) dan alih nilai
(transfer of value).
Fungsi pendidikan sebagai alih pengetahuan dapat dilihat dari teori human
capital di mana pendidikan tidak dipandang sebagai barang konsumsi belaka tetapi
sebagai investasi jangka panjang. Pemahaman tentang ajaran agama yang luas dan
komperehensif merupakan suatu investasi yang sangat berharga bagi siswa di sekolah

43
Ibid.

28
untuk meningkatkan prestasi belajar, beramal dan beribadah demi masa depan yang
lebih baik.
Fungsi pendidikan sebagai alih metode sangat berperan terutama dalam
kemampuan penerapan ilmu pengetahauan dan teknologi. Pada teknological sciences
lebih merupakan proses transfer of methodology dari pada transfer of knowlede. Da-
lam persepekif agama Islam hakekat iptek tidak lebih dari sekedar bagaimana mene-
mukan proses sunatullah (hukum alam) itu terjadi, bukan menciptakan suatu ”hukum
alam”. Pendidikan berfungsi membimbing peserta didik memahami bagaimana proses
sunantullah itu terjadi di alam ini dan bagaiman mengolah dan memanfaatkan hasil-
nya untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para
ilmuwan untuk berlaku sombong karena prestasi akademisnya karena Tuhan telah
menyediakan segalanya itu untuk kemaslahatan manusia. Yang dimaksud iptek di sini
adalah iptek yang berwawasan iman dan takwa (imtak).
Dilihat sacara makro, PAI sebagai proses alih nilai yang memiliki tiga sasaran.
Pertama, PAI sebagai alat untuk membentuk manusia yang mempunyai
keseimbangan antara kemampuana afektif, kognitif, dan psikomotor. Di sini dapat
digambarkan bahwa misi pendidikan adalah dapat menghasilkan manusia-manusia
yang berkepribadian utuh. Kedua, dalam sistem nilai yang dilahirkan juga termasuk
nilai-nilai keimanan dan ketakwaan akan terpancar pada ketundukan manusia dalam
melaksanakan ibadah kepada Tuhannya menurut keyakinannya masing-masing.
Berakhlak mulia, dalam alih nilai tersebut juga bermakna dan dapat
ditransformasikan yaitu nilai-nilai yang mendukung proses industrialisasi dan
penerapan teknologi, seperti penghargaan terhadap waktu, disiplin, etos kerja,
kemandirian, kewirausahaan, dan sebagainya. Seperti diketahui bahwa era
industrialisasi yang berorientasi pada penggunaan teknologi memerlukan sikap dan
pola pikir yang menunjang ke arah pemanfaatan dan penerapannya secara seimbang.
Oleh karena itu nilai-nilai imtak perlu dijadikan landasan dalam pengembangan SDM
Indonesia yang berkualitas.

29
Dari uraiaan di atas secara makro kita melihat fungsi dan peran pendidikan
agama Islam dalam proses pembinaan pribadi yang beriman dan bertakwa, yang
menguasai teknologi, dan berbudaya.
Esensi dari nilai-nilai yang ditanamkan melalui tiga bentuk pembinaan di atas
semuanya terkandung dalam PAI, dan keseluruhannya merupakan nilai-nilai yang
sangat diperlukan dalam kehidupan di dunia modern. Yang menjadi persoalan
sekarang sejauh mana mata pelajaran PAI di sekolah dapat menjadi fasilitas dalam
memenuhi harapan siswa terhadap pegangan nilai yang mereka butuhkan dalam
menghadapi kehidupan modern yang bercorak sekuler ini.

D. Pendekatan Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah

Bertolak dari pemikiran bahwa PAI di sekolah merupakan salah satu media
pendidikan Islam, kedudukannya sangat strategis dalam menanamkan nilai-nilai
keislaman bagi para calon intelektual muslim. Untuk mewujudkannya diperlukan
berbagai pendekatan dan startegi yang dapat sesuai dengan karakter dan kultur
sekolah masing-masing.
Menurut Siti Malikah Towaf,44 dalam menghadapi berbagai tantangan dalam
melaksanakan ajaraan agama di abad modern-khususnya bagi kalangan siswa
pelaksanaan pembelajaran PAI di sekolah dapat mengembangkan dua pendekataan
yaitu pendekatan holistik dan pendekatan kontekstual. Istilah pendekatan holistik di-
ambil dari kata holis yang merupakan “the view an organic or integrated whole has
45
reality independent of and greater then the some of its part” yaitu suatu pandangan
bahwa suatu organisasi atau suatu keseluruhan yang terpadu itu mempunyai realitas
yang mandiri dan lebih besar dari sekedar kumpulan bagian-bagiannya. Pendekatan
holistik memandang masalah, gejala atau masyarakat sebagai suatu kesatuan
organisme. Pendekatan ini dipandang cocok dalam pengembangan PAI karena tujuan

44
Siti Malikah Towaf, Pendekatan Holistik, hal,169.
45
Cottins, W.W Webstrer’s New School and Affice Dictionary. Wartrd Publising
Co.Inc.United States of America.1983, hal, 687.

30
PAI adalah membina siswa agar lebih memiliki kepribadian muslim secara utuh
melalui pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam secara utuh pula.
Istilah pendekatan kontekstual diambil dari kata “contextus to weave together”,
yang dapat dijabarkan sebagai the whole situation background and environment
relevant to some happening or personality46 yang berarti seluruh situasi, latar
belakang atau lingkungan yang relevan dengan beberapa kepribadian. Pendekatan ini
dipilih juga berdasarkan pada rumusan tujuan PAI yang menghendaki siswa memiliki
wawasan berpikir komprehensif dan pendekatan integratif dalam menyikapi berbagai
masalah kehiduannya, baik sosial, konomi, politik, pertahanan, keamanan dan
kebudayaan, baik dalam lingkup pribadi, keluarga maupun masyarakat luas.
Berkenaan dengan hal tersebut terdapat tuntutan bahwa PAI di sekolah dapat
dikembangkan dengan memperhatikan latar belakang situasi dan lingkungan, baik
dalam konteks makro maupun mikro karena semua itu dapat berpengaruh terhadap
pembentukan kepribadian.
Adanya pendekatan holistik PAI di sekolah sebagai tradisi normatif dan
ediologis, sedangkan pendekatan kontektual lebih mencerminkan tradisi ilmiah.
Kedua pendekatan ini sangat memungkinkan dalam memberikan kesempatan belajar
seluas-luasnya kepada siswa tentang ajaran Islam. Pendekatan ini disebut pendekatan
integratif.
Pendekatan kontektual dalam PAI tercermin pada pengembangan materi dan
proses yang tidak hanya memberikan gambaran utuh tentang ajaran Islam yang
diyakini siswa, tetapi juga mencerminkan pemenuhan harapan siswa terhadap ilmu
pengetahuan dan pengembangan pengetahuan secara islami serta mengarah kepekaan
siswa terhadap masalah-masalah aktual yang menyentuh bidang kehidupan nyata.
Dari kedua pendekatan di atas, PAI di sekolah dapat diposisikan sebagai suatu
strategi untuk merombak dikotomisasi antara ilmu pengetahuan agama dengan ilmu
pengetahan umum, karena di benak siswa di sekolah sebagai calon intelektual Islam
di masa depan, proses dikotomisasi hampir mendominasi proses belajar mereka
seiring dengan perkembagan iptek modern yang bercorak sekuler. Untuk merombak

46
Ibid, hal 394.

31
pemahaman dikotomis tersebut, pendekatan kontekstual merupakan pilihan yang
tepat untuk mempertautkan ajaran Islam dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan
yang digali dan dipelajari siswa. Upaya tersebut dapat diawali dengan mengupas
secara jelas dan tuntas tentang sistem pengetahuan dalam Islam. Penjelasan tersebut
dimulai dari pertanyaan-pertanyaan filosofis berikut (1) bagaimana kedudukan ilmu
pengetahuan yang benar dalam persefektif Islam, (2) bagaimana cara memperoleh
pengetahaun yang benar dalam Islam, dan (3) bagaimana cara memanfaatkan ilmu
pengetahuan dalam pandangan Islam.
Konsentrasi dari pendekatan itu diperlukan materi tentang filsafat ilmu dalam
persefektif Islam. Sebagai contoh pandangan dasar Islam tentang ilmu dinyatakan
bahwa ilmu pengetahuan hanya merupakan deskripsi tentang alam yang disepakati
oleh Allah Swt, sedangkan pengembangannya hanya merupakan upaya manusia
dalam mengungkap kebenaran Ilahi dengan menggunakan akal dan pengamalan indra
yang dimilikinya.
Penggunaan kedua pendekatan di atas sejalan pula dengan hasil analisis yang
dikemukakan oleh Kuntowidjoyo,47 bahwa tradisi keilmuan dalam Islam memiliki
tiga aspek, yaitu: (1) tradisi normatif baik yang bersifat deklaratif maupun apologetis
dalam arti menjelaskan norma-norma ajaran Islam ataupun sikap pembelaan dalam
menghadapi tulisan orang luar tentang Islam, (2) tradisi ideologis yaitu cita-cita
mewujudkan akhlakul karimah secara individual maupun sosial dan kontektual, sosial
dan historis yang berkembang akhir-akhir ini.
Pendekatan ini dimungkinkan dapat menjangkau kemampuan berpikir dan
bertindak para siswa dalam menyikapi berbagai masalah dalam kehidupan yang
dihadapinya, baik kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik pengetahuan dan
keamanan karena mereka dibekali wawasan berpikir agama yang komprehensif dan
integral.
Untuk menerapkan kedua pendekatan di atas pelaksanaan pembelajaran PAI di
sekolah dituntut untuk memperhatikan latar belakang disiplin ilmu siswa dan situasi
lingkungan aktual kehidupan mereka, baik dalam konteks makro maupun mikro.

47
Siti Malikah Towaf. Pendekatan Holistik, hal 169

32
Yang dimaksud dengan konteks makro di sisni adalah latar belakang sosial, politik,
ekonomi dan hudaya masyarakat Indonesia, dan perkembangan iptek. Sedangkan
yang dimaksud dengan konteks mikro adalah latar belakang kebutuhan sekolah siswa
terhadap PAI. Untuk mengaplikasikan kedua pendekatan yang ditawarkan tersebut
perlu dicari strategi yang tepat.

E. Rangkuman
Pendidikan Islam lebih tepat diartikan istilah ta’lim karena proses ta’lim lebih
bersifat universal dibanding dengan proses tarbiyah. Secara etimologis penggunaan
term “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib” pada prinsipnya sama yaitu digunakan untuk
menjelaskan suatu proses dalam menumbuhkan dan mengembangkan seluruh potensi
baik manusia ke arah kematangannya, baik secara fisik, akal, maupun kejiwaan.
Perbedaan pandangan dalam menggunakan ketiga istilah di atas merupakan gambaran
betapa kompleksnya masalah pendidikan dan betapa luasnya khazanah keilmuan
dalam Islam karena masing-masing memiliki alasan yang sama-sama kuat merujuk
pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Sebagai contoh Naquib Alattas
mempertahankan istilah ta’dib, Fatah Jalal dengan istilah ta’lim dan Abdurrahman
An-Nahlawi dengan istilah tarbiyah. Perbedaan pemahaman mereka sangat
tergantung pada latar belakang pendidikan, pengalaman dan kedalaman analisis
masing-masing.
Pendidikan Islam yaitu pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani
dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam
menyiapkan manusia agar hidup lebih dalam keadaan damai maupun perang dan
menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan
kejahatannya, manis dan pahitnya. Pendidikan Islam sebagai proses bimbingan
(pimpinan, tuntunan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran,
perasaan, kemauan, intuisi dan sebagainya) dan raga objek didik dengan bahan-bahan
materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu, dan dengan alat
perlengkapan yang ada ke arah tercapainya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai
dengan ajaran Islam.

33
Penyelenggarakan pendidikan Islam kepada dua bagian. Pertama program
pendidikan yang bertujuan untuk mencetak ahli-ahli agama. Kedua program
pendidikan agama yang bertujuan untuk memenuhi kewajiban setiap pemeluk agama
untuk mengetahui dan mengamalkan dasar-dasar agamanya.
Terkait dengan pengertian pendidikan Islam dalam proses menuntun manusia
maka pendidikan agama Islam disini adalah bagian yang kedua, sebagai satu
pelajaran tentang agama Islam yang diberikan di sekolah. Tujuannya untuk membina
peserta didik menjadi orang yang memiliki kepribadiaan muslim secara utuh yakni
pribadi yang selalu taat menjalankan perintah agamanya, bukan menjadikan mereka
sebagai ahli dalam bidang agama Islam. Untuk pengertian PAI di sekolah adalah
suatu pelajaran atau program studi yang bertujuan untuk menghasilkan para siswa
yang memiliki jiwa agama dan taat menjalankan perintah agamanya, bukan
menghasilkan siswa yang berpengetahuan agama secara mendalam.
Titik tekannya di sini adalah mengarahkan siswa agar menjadi orang-orag yang
beriman dan bertakwa untuk melaksanakan amal shaleh sesuai dengan
kemampuannya masing-masing. Tujuan yang diharapkan dalam mengembangkan
PAI adalah (1) menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, (2) menanamkan nilai-nilai budaya pada umumnya, (3)
mengembangkan kepribadian, (4) mengembangkan kepekaan rasa, (5)
mengembangkan bakat, (6) mengembangkan minat belajar, (7) meningkatkan budi
pekerti yang luhur sesuai dengan agama dan keyakinannya.

F. Latihan
1. Jelaskan defenisi pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam yang anda
ketahui ?
2. Apa yang anda ketahui tentang konsep pendidikan Islam dan Pendidikan Agama
Islam ?
3. Pendidikan Afektif adalah termasuk pendidikan Nilai, coba anda uraikan apa yang
dimaksud pendidikan Nilai itu sendiri ?

34
4. Apa yang anda ketahui tentang pendidikan Agama Islam dalam sistem pendidikan
Nasional Di Indonesia ?

G. Bahan Bacaan
Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.1997.

Aims and Objectivies of Islamic Eduacation. (King Abdul Aziz University, Jeddah,
1997), hlm, 64-65. Buku ini merupakan kumpulan makalah yang dibahas
dalam “World Conference on Muslim Education” I yang diselenggarakan di
Makkah dan Jeddah 1997.

Muhaimin &Abdul Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda


Karya.1993.

Fahrur Razy. Tafsir Fakhrur Razy. Teheren: Darul Kutub Al-Ilmiyah.1981, Juz
XXI.

Sayyid Qutb.Tafsir Fadhilali Al-Qur’an, Cairo-Mesir: Darul Fikri.1985.

Abdurrahman Al-Nahlawi. Pendidikan Islam di Sekolah, Madrasah dan Masyarakat.


Jakarta: Gema Insani Press. 1985

Abdul Fatah Jalal. Azaz-azaz Pendidikan Islam, terj. Heri Noor, Bandung
Diponegoro.1977.

Sayyed Naquib Alattas, Aims and Objectivies of Islamic Education. King Abdul Aziz
University.Jeddah, 1997.
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium
Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000.

Haidar Bagir. Konsep Pendidikan Islam. (Bandung : Mizan. 1994) Cet IV, hlm. 29
buku ini sebahagian besar merupakan terjemahan dari Aims and Objectivies
of Islamic Education, karya Sayyed Naquib Alattas, yang gasasan-
gagasannya diperkaya dan dikembangkan oleh penerjemah.

Ahmad Mustafa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. (Mesir : Darul Fakri. Mesir. 1974),
cet ke III, Juz I, hlm,13. Selanjutnya disebut Tafsir Al-Maraghi

Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Mesir: Darul Ma’arif 1373H.

Muhammad Yusuf Qordowi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Bana.


Jakarta: Bulan Bintang. 1980.

35
Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam . Bandung: Al-Ma’arif
1980.

Ahmad D Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif


1980.

Endang Syafuddin Anshari, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam. (Jakarta: Usaha


Enterprise. 1976), hlm. 85. Baca juga Azyumardi Azra. Esei-Esei Intelektual
Pendidikan Islam. Djamari, Nilai-nilai Agama dan Budaya yang Melandasi
Interaksi Sosial di Pondok Pesantren Cikaduen Banten. Disertasi FPs IKIP
Bandung tidak diterbitkan, 1985

Azyumardi Azra. Esei-Esei Intelektual Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana


Ilmu. 2000.

Satrio Soemantri Brodjonegoro. “Wacana tentang Pendidikan Agama Islam” dalam


Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Editor Fuaduddin & Cik Hasan
Basri, Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1999.

Harun Nasution. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. (Bandung: Mizan, 1995),
Bandung: Mizan. 1995.

Nurcholis Madjid, “Masalah Pendidikan Agama Di Sekolah Menengah


Umum”.dalam Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi, Editor
Fuaduddin & Cik Hasan Basri, Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1999.
Depdiknas RI., Kurikulum Sekolah Menengah Atas: Gari-Garis Besar Program
Pendidikan, Jakarta: Depdiknas, 1999.

Dahlan M.D., Model-model Mengajar, Bandung: CV. Diponegoro, 1994.

Afnil Guza, ”Standar Nasional Pendidikan (SNP)”, Kumpulan Undang-undang


tentang Pendidikan, Jakarta: Asa Mandiri, 2007.

Dahlan M.D., Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar


“Implementasi Akhlak al-Qur’an di Musabaqah al-Qur’an Metodik
Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19 Rajab/26 September, Fakultas
Tarbiyah UBINSA, 2002.

Ahmad Tirto Sudiro. Pendidikan Agama dalam Persepektif Agama-agama. Jakarta:


Dirjen Dikti, 1995.

Dedi Supriadi, Membangun Bangsa melalui Pendidikan. (Bandung: PT Remaja


Rosda Karya, 2004.

36
Permendiknas RI No. 23 Th. 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas, 2006, baca juga
Permendiknas RI No. 6 Th. 2007 tentang Perubahan Permendiknas RI No.
24 Th. 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas RI no 22 dan 23 Th. 2006.

Depdikanas, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah


Menengah Atas Dan Madrasah Aliyah, Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang
Depdiknas,2003.

Ahmad Watik Pratiknya. Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Umum, Editor
Fuaduddin dan Cik Hasan Basri. Jakarta: Logos Wacaana Ilmu 1999.

Cottins, W.W Webstrer’s New School and Affice Dictionary. (Wartrd Publising
Co.Inc.United States of America.1983

Ahmad D Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif


1980

Depdiknas RI., Kurikulum Sekolah Menengah Atas: Gari-Garis Besar Program


Pendidikan, Jakarta: Depdiknas, 1999

37
BAB 2
MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

A. Orientasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Untuk mencapai tuntutan Pendidikan Agama Islam (PAI) menghasilkan lulusan


yang berkualitas, pembelajaran pada pendidikan Pendidikan Agama Islam (PAI)
perlu dipikirkan kembali. Pembelajaran yang mengena perlu dipikirkan dan
diterapkan. Definisi pembelajaran PAI yang cocok perlu di tinjau ulang.
Paradigma Pembelajaran PAI yang sekarang dianggap cocok di sekolah adalah
pembelajaran dengan pengalaman yang berbasis pada saintifik1. Pembelajaran
sekarang juga tidak boleh hanya menekankan pada aspek kognitif saja tetapi juga
harus memperhatikan aspek afeksi atau perasaan.2 Selanjutnya, yang paling penting
bagi pembelajaran sekarang adalah pembelajaran harus mengarah ke pembelajaran
aktif bukan ke pembelajaran pasif, yaitu siswa-siswa harus aktif berintraksi dikelas
dan guru berperan sebagai mesivator, fasilitator an orator. Disamping itu
pemeblajaran PAI harus gambarkan dengan realitas sosial yaiutu apa yang disebut
dengan contekstual teaching and learning.

B. Definisi Pembelajaran PAI

Manusia dan binatang sama-sama belajar tetapi cara belajar mereka berbeda.
Descartes berpikir bahwa manusia berbeda dengan binatang dalam hal
kemampuannya untuk berpikir dan menciptakan produk-produk baru dengan

1
Pembelajaran sainstifik yaitu pembelajaran berbasis metode Ilmiah di mana pembelajaran
Agama Islam harus diulang dengan prinsip-prinsip Ilmiah (obyektif Rasional, impiris/faktual) sesuai
dengan semangat kurikulum 2013
2
Jagiyanto, Filosofi, Pendekatan Dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus Untuk Dosen
Dan Mahasiswa : Yogyakarta, Andi Offset, 2006, hal 11

38
menggunakan pikiran dan mentalnya. Binatang hanya dapat didorong mengerjakan
sesuatu karena dilatih dan diprogram. Manusia sebaliknya dapat berubah perilakunya
lewat kreativitas, kemauan yang kuat, komitmen, visi tentang masa depan dan
aspirasi-aspirasi.
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mana suatu kegiatan
berasal atau berubah lewat reaksi dan suatu situasi yang dihadapi, dengan keadaan
bahwa karakteristik-karaktenistik dan perubahan aktivitas tersebut tidak dapat
dijelaskan dengan dasar kecenderungan-kecenderungan reaksi, kematangan, atau
perubahan-perubahan sementara dan organisme. (Learning is the process by which an
activity originates or is changed through reacting to an encountered situation,
provided that the characteristics of the change in activity cannot be explained on the
basis of native response tendencies, maturation, or temporary states of the
organism3) (Hilgard dan Bower, 1966, hal.2, di Bonoma, 1987).
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa pembelajaran terjadi ketika manusia
berubah karena suatu kejadian dan perubahan yang terjadi bukan karena perubahan
secara alami atau karena menjadi dewasa yang dapat terjadi dengan sendirinya atau
karena perubahannya sementara saja, tetapi lebih karena reaksi dan situasi yang
dihadapi.
Bertolak dari pengertian tersebut diatas bahwa pembelajaran merupakan suatu
proses belajar bagi manusia dan merupakan upaya untuk menjadikan manusia
memahami makna dari apa yang dipelajarinya. Pembelajaran pendidikan agama Islam
adalah suatu upaya membuat peserta didik dapat belajar dan tertarik untuk terus-
menerus mempelajari agama Islam. Oleh karena itu Istilah pembelajaran lebih tepat
digunakan karena ia menggambarkan upaya untuk membangkitkan prakarsa belajar
seseorang. Di samping itu, ungkapan pembelajaran memiliki makna yang lebih dalam
untuk mengungkapkan hakikat desain pembelajaran dalam upaya membelajarkan
peserta didik.

3
Hilgard, E. R., Bower, Teories Of Learning, New York: Appleton Century, 1966, hal 2
(dalam Jagiyanto), 2006, hal 12

39
Konsep pembelajaran mengandung beberapa implikasi, yaitu (1) perlu
diupayakan agar dapat terjadi proses belajar yang interaktif antara peserta didik dan
sumber belajar yang direncanakan; (2) ditinjau dari sudut peserta didik, proses itu
mengandung makna bahwa terjadi proses internal interaksi antara seluruh potensi
individu dengan sumber belajar yang dapat berupa pesan-pesan ajaran dan nilai-nilai
serta norma-norma ajaran Islam, guru sebagai fasilitator, bahan ajar cetak atau
noncetak yang digunakan, media dan alat yang dipakai belajar, cara dan teknik
belajar yang dikembangkan, serta latar atau lingkungannya (spiritual, budaya, sosial
dan alam) yang menghasilkan perubahan perilaku pada diri peserta didik yang
semakin dewasa dan memiliki tingkat kematangan dalam beragama; dan (3) ditinjau
dari sudut pemberi rangsangan perancang pembelajaran pendidikan agama, proses itu
mengandung arti pemilihan, penetapan dan pengembangan metode pembelajaran
yang memberikan kemungkinan paling baik bagi terjadinya proses belajar pendidikan
agama.4
Pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu rekayasa yang diupayakan
untuk membantu peserta didik agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan maksud
dan tujuan penciptaannya. Dalam konteks proses belajar di sekolah/madrasah,
pembelajaran tidak dapat hanya terjadi dengan sendirinya, yakni peserta didik belajar
berinteraksi dengan lingkungannya seperti yang terjadi dalam proses belajar di
masyarakat (social learning). Proses pembelajaran hams diupayakan dan selalu
terikat dengan tujuan (goal based). Oleh karenanya, segala kegiatan interaksi,
metode, dan kondisi pembelajaran harus direncanakan dengan selalu mengacu pada
tujuan pembelajaran yang dikehendaki. 5

C. Tujuan Pembelajaran
Mengapa mengajar ?, ini adalah pertanyaan yang mendasar yang dapat diberikan
kepada pendidik. Banyak jawaban yang diberikan oleh mereka. Gleason (1982)

4
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam-Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, hal 184
5
Lok Cit

40
menunjukkann ada beberapa alasan mereka mengajar, yaitu untuk uang (for money),
untuk kebanggaan (for glory), untuk kesempatan melakukan riset (for the opportunity
to do research) dan untuk siswa-siswa (for students). Disamping itu banyak juga
guru/pendidik yang mengajar untuk kesenangan (for fun), untuk status (for status),
untuk bergurau (for joke), untuk menghibur (for entertain) atau untuk menghabiskan
waktu (for killing a time).
Beberapa diantara mereka mengatakan bahwa tujuan mengajar adalah untuk
mencari uang. Mengajar untuk uang. Guru/pendidik yang mengajar semata-mata
untuk uang adalah mereka yang berhati murah. Mereka ingin menyamakan profesi
mereka dengan profesi teman mereka seperti akuntan atau banker yang tidak dapat
disalahkan karena memang lebih berorientasi ke mencari uang.
Beberapa menjawab bahwa mereka mengajar untuk kebanggaan dan kejayaan
(for glory). Mereka yang mengatakan ini juga pengajar yang berhati murah. Mereka
mementingkan diri mereka sendiri. Mereka ingin dipuji dan diagungkan. Mereka
mengajar untuk mendapatkan pangkat akademik yang tinggi.
Mereka yang mengatakan mengajar untuk mendapat kesempatan melakukan riset
(for the opportunity to do research) biasanya mengajar hanya sebagai sarana untuk
dapat melaksanakan riset. Supaya mendapat dana riset, mereka terpaksa menjadi
guru/dosen dan mengajar. Mereka mengajar bukan untuk uang, bukan untuk pangkat
atau kebanggaan, tetapi mereka mengajar karena terpaksa untuk mendapatkan dana
riset.
Mereka yang mengatakan mengajar untuk mendapat kesenangan (for fun) juga
merupakan pengajar yang mementingkan dirinya sendiri. Mereka mengajar untuk
kesenangan mereka. Mereka tidak perduli apakah murid mereka mengerti atau tidak
tetapi yang penting mereka puas.
Mereka yang mengajar untuk bergurau (for joke) atau untuk menghibur (for
entertain) juga sebenarnya untuk kesenangan mereka sendiri. Mereka merasa senang
dan puas jika siswa terhibur. Mereka berpikir jika siswa terhibur dengan cara
melemparkan gurauan-gurauan, mereka akan dianggap guru yang tidak

41
membosankan dan menyenangkan. Mereka tidak menyadari bahwa dengan membuat
siswa senang tidak sama dengan membuat siswa pintar.
Mereka yang mengajar untuk menghabiskan waktu (for killing a time) juga
merupakan pengajar yang mementingkan diri sendiri. Pengajar mi biasanya adalah
mereka yang sudah pensiun dan pekerjaannya dan merasa mempunyai banyak waktu
yang luang untuk mengajar. Mereka berdalih bahwa sebenarnya jiwa mereka adalah
pengajar tetapi karena kesibukannya mereka tidak sempat untuk mengajar dan baru
setelah mereka pensiun dapat melakukannya. Jika mereka benar-benar senang
mengajar mengapa tidak mengajar pada waktu masih usia produktif tidak pada usia
pensiun. Pada usia produktif mereka lebih senang mencari uang daripada mengajar
dan bagaimana mungkin mereka mengatakan sebenarnya jiwa mereka adalah
pengajar.
Mereka yang menjawab mengajar adalah untuk siswa-siswa (for students)
menganggap keberhasilan mengajar jika siswa yang diajar mendapatkan sesuatu
sesuai dengan tujuannya.
Oleh karena itu tujuan pembelajaran pendidikan agama islam di sekolah sebagai
pendidikan formal bertujuan meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan
pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.6
Pembelajaran PAI di sekolah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan,
pemahaman, penghayatan dan pengamalan siswa tentang agama Islam sehingga
menjadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia
dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta untuk
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.
Tujuan yang diharapkan dalam mengembangkan PAI adalah (1) menanamkan
nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2)
menanamkan nilai-nilai budaya pada umumnya, (3) mengembangkan kepribadian, (4)

6
Depdiknas RI. Kurikulum Sekolah Menengah Atas. Gari-Garis Besar Program Pendidikan,
Jakarata: Depdiknas, 1999, hal.15.

42
mengembangkan kepekaan rasa, (5) mengembangkan bakat, (6) mengembangkan
minat belajar, (7) meningkatkan budi pekerti yang luhur sesuai dengan agama dan
keyakinannya.
Secara lebih tegas dan mendalam Dahlan, M.D memberikan penjelasan tentang
tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam yang tidak jauh dari tujuan Islam itu
sendiri, yakni agar peserta didik menjadi umat yang berpedoman kepada Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah Saw dalam melaksanakan kehidupan dan penghidupan agar
mencapai kebahagiaan dan keselamatan hidup baik lahiriah maupun batiniah di dunia
dan di akhirat.7 Jadi PAI di sini memiliki tujuan (1) agar peserta didik dapat
mengatasi keterbatasan dirinya, (2) memberi santapan rohani, (3) memenuhi tuntutan
fitrah manusia, (4) mencapai kebahagian dan keselamatan, (5) memelihara ketinggian
martabat sebagai manusia, (6) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai
kebenaran mutlak, (7) memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber moral, (8)
memberikan keyakinan bahwa Islam sebagai sumber prinsip hidup, (9) memberikan
keyakinan bahwa Islam sebagai sumber hokum, (10) memberikan keyakinan bahwa
Islam sebagai sumber informasi dan metafisika, (11) memberikan keyakinan bahwa
Islam sebagai sumber inspirasi dan ilmu pengetahuan.
Di sekolah pada umumnya pembelajaran lebih cenderung mengajarkan
pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani, kemandirian dan rasa tanggung jawab
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan yang dilaksanakan kurang dan
jarang terpadu dengan pembinaan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang nanti wujudnya akan sampai pada tercapainya perilaku budi pekerti yang luhur.
Berbagai pihak menyatakan bahwa pendidikan telah menyimpang dari tujuan
semestinya. Pengertian pendidikan telah diperkecil dengan “persekolahan” yang
kemudian diperkecil lagi dengan “pengajaran”, untuk selanjutnya diperkecil dengan
“pengajar di kelas” dan makin diperkecil lagi menjadi penyampaian materi
kurikulum. Untuk selanjutnya berakhir dengan mempersiapkan diri pada Ujian Akhir
Nasional (UAN). Akibatnya pendidikan telah berorientasi pada suatu hal yang sangat

7
Dahlan , M.D. Model-model Mengajar, Bandung: CV.Diponegoro, 1994. hal.6-10.

43
sempit, berpusat pada aspek-aspek kognitif dan intelektual sehingga pendidikan tidak
mampu menghasilkan kepribadian yang utuh, bahkan untuk membina imtak yang ada
pada siswa sangat sulit dilaksanakan.
Tujuan pembelajaran PAI menurut ajaran agama Islam adalah membimbing
menjadi individu menjadi “khalifah fil ardh”. Dikemukakan oleh Muhaimin dan
Mujib bahwa tujuan manusia diciptakan adalah untuk mengabdi kepada Alllah Swt
dengan indikasi tugasnya berupa ibadah kepada Allah Swt.8
Semua pihak yang peduli terhadap pemebelajaran PAI mengembalikan praktik
pendidikan sesuai dengan tujuan yang dicanangkan. Pendidikan yang telah diperkecil
dan dipersempit, dikembangkan kembali menjadi pendidikan yang dapat membina
dan membimbing siswa dalam pengembangan berbagai potensi yang dimilikinya.
Untuk mengembangkan tugas-tugas sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah fil
ardh. Pembelajaran PAI yang mampu mengembangkan dan membina perwujudan
diri siswa secara optimal sesuai dengan tuntunan Allah Swt.
Selanjutnya dikemukakan oleh Muhaimin dan Mujib bahwa tujuan
Pembelajaran PAI harus berorientasi pada hakikat pendidikan yaitu seperti berikut
ini.
1. Tujuan dan tugas hidup manusia, manusia diciptakan untuk membawa tujuan dan
tugas hidup tertentu. Tujuan hidup manusia untuk beribadah kepada Allah Swt,
dan bertugas sebagai pemimpin di muka bumi sebagai khalifah fil ardh Hal ini
sesuai dengan firman Allah Swt yang berbunyi:
“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam”.
2. Sifat-sifat dasar (nature) manusia, yaitu konsep tentang manusia yang diciptakan
sebagai khalifah di muka bumi (QS. 51: 56). Penciptaan itu dibekali dengan
berbagai macam fitrah yang berkecenderungan pada alternatif (rindu akan
kebenaran dari tuhan) berupa agama Islam (QS.18:19) sebatas kemampuan dan
kapasitas ukuran yang ada.

8
Muhaimin dan A. Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, hal. 153-154.

44
3. Tuntutan masyarakat, untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang telah
melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat maupun pemenuhan terhadap
tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan tuntutan dunia
modern.
4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, mengandung nilai yang dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia sedunia untuk mengelola dan
memanfaatkan dunia sebagai bekal kesejahteraan hidup di akhirat, serta
mengandung nilai-nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut agar
tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki 9.
Tujuan pembelajaran PAI ini merupakan penjabaran dari Undang-undang No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yaitu “ Pendidikan nasional
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab”.10
Beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang maha Esa dalam rumusan tujuan
pendidikan nasional di atas menunjukkan bahwa pendidikan agama diharapkan
memberikan kontribusi positif terhadap usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Karena keimanan dan ketakwaan hanya dapat terbina secara sempurna melalui
pendidikan dan pengajaran agama Islam. Karena itu PAI mempunyai peran penting
dalam sistem pendidikan nasional.
Sejalan dengan uraian di muka Dahlan mengemukakan makna pendidikan Islam
sebagai berikut, yaitu:
“…bahwa pendidikan agama Islam merupakan penataan individual dan
sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk, taat pada Islam dan
menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Untuk merealisasikannya dituntut komunikasi, mengakui adanya inisiatif,

9
Ibid , hal. 153-154.
10
Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kumpulan Undang-undang tentang Pendidikan
kompilasi oleh Afnil Guza. Jakarta: Asa mandiri.

45
aktivitas, dan kreativitas terdidik yang masih perlu bantuan dan arahan, agar
tidak menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Sedangkan tugas yang
diembannya menyiratkan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi”. 11

Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa melalui pembelajaran PAI


manusia diharapkan selalu bersih untuk mencapai taraf makhluk yang tertinggi,
makhluk termulia, sebagai khalifah fil ardh, agar mendapat ridho Allah SWT.
Sehingga tercapai kebahagian hidup di dunia dan kehidupan di akhirat nanti. Di
samping itu manusia tidak boleh lupa bahwa segala sesuatu yang diperolehnya adalah
atas petunjuk serta atas izin Allah SWT. Dengan hasil pendidikan yang dijalani
manusia dapat berusaha mencapai tujuan hidupnya yang hakiki sesuai dengan ajaran
agama Islam.

D. Prinsip-Prinsip Belajar Dan Pembelajaran


Menetapkan, dan mengembangkan metode pembelajaran PAI perlu memahami
prinsip-prinsip pembelajaran yang mengacu pada teori belajar dan pembelajaran.
Untuk memenuhi keperluan tersebut, dalam bagian ini disajikan prinsip-prinsip pem-
belajaran, yaitu tentang kesiapan belajar, motivasi, persepsi, retensi, dan transfer
dalam pembelajaran. Dari konsep belajar dan pembelajaran dapat diidentifikasi
prinsip-prinsip belajar dalam pelaksanaan pembelajaran PAI sebagai berikut.12
1. Prinsip Kesiapan (Readiness)
Proses belajar sangat dipengaruhi oleh kesiapan individu sebagai subjek yang
melakukan kegiatan belajar. Kesiapan belajar adalah kondisi fisik-psikis (jasmani-
mental) individu yang memungkinkan subjek dapat melakukan belajar. Biasanya,
kalau beberapa taraf persiapan belajar telah dilalui peserta didik maka ia siap untuk
melaksanakan suatu tugas khusus. Peserta didik yang belum siap melaksanakan suatu
tugas dalam belajar akan mengalami kesulitan atau malah putus asa tidak mau belajar.
Kesiapan belajar ialah kematangan dan pertumbuhan fisik, psikis, inteligensi, latar

11
Dahlan M.D. Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi
Akhlak Al-Qur’an di Musabaqah Al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19 Rajab
/26 September Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002. hal.5.
12
Muhaimin, et. Al. Paradigma Pendidikan Islam-Upaya Mengefektifkan Agama Islam
Disekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, hal 137-145

46
bela-kang pengalaman, hasil belajar yang baku, motivasi, persepsi, dan faktor-faktor
lain yang memungkinkan seseorang dapat belajar.
Berdasarkan prinsip kesiapan belajar tersebut, dapat dikemuka-kan hal-hal yang
terkait dengan pembelajaran PAI, antara lain (1) individu akan dapat belajar dengan
baik apabila tugas yang dibe-rikan kepadanya sesuai dengan kesiapan (kematangan
usia, kemampuan, minat, dan latar belakang pengalamannya); (2) kesiapan belajar
harus dikaji lebih dulu untuk memperoleh gambaran kesiapan belajar siswanya
dengan jalan mengetes kesiapan atau ke-mampuan; (3) jika individu kurang siap
untuk melaksanakan suatu tugas belajar maka akan menghambat proses pengaitan
penge-tahuan baru ke dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Karena itu, jika
kesiapan sebagai prasyarat belajar maka prasyarat itu harus diberikan lebih dulu; (4)
kesiapan belajar mencerminkan jenis dan taraf kesiapan untuk menerima sesuatu
yang baru dalam membentuk atau mengembangkan kemampuan yang lebih mantap;
dan (5) bahan dan tugas-tugas belajar akan sangat baik kalau divariasi sesuai dengan
faktor kesiapan kognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik yang akan belajar.
2. Prinsip Motivasi (Motivation)
Motivasi dapat diartikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang
menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu (Morgan, 1986). Ada
tidaknya motivasi dalam diri peserta didik dapat diamati dari observasi tingkah
lakunya. Apabila peserta didik mempunyai motivasi, ia akan: (1) bersungguh-
sungguh, me-nunjukkan minat, mempunyai perhatian, dan rasa ingin tahu yang kuat
untuk ikut serta dalam kegiatan belajar; (2) berusaha keras dan memberikan waktu
yang cukup untuk melakukan kegiatan tersebut; dan (3) terus bekerja sampai tugas-
tugas tersebut terse-lesaikan. (Worfel dan Stilwill, 1981)
Berdasarkan sumbernya, motivasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu (1) motivasi
intrinsik, yakni motivasi yang datang dari dalam diri peserta didik; dan (2) motivasi
ekstrinsik, yakni motivasi yang datang dari lingkungan di luar diri peserta didik.
Dalam pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam perlu diupayakan
bagaimana agar dapat mempengaruhi dan me-nimbulkan motivasi intrinsik melalui
penataan metode pembelajaran yang dapat mendorong tumbuhnya motivasi belajar

47
dalam diri peserta didik. Sedangkan untuk menumbuhkan motivasi ekstrinsik dapat
diciptakan suasana lingkungan yang religius sehingga tumbuh motivasi untuk
mencapai Tujuan pembelajaran PAI sebagaimana yang ditetapkan.
Berkenaan dengan prinsip motivasi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam:

a. Memberikan dorongan (drive}


Tingkah laku seseorang akan terdorong ke arah suatu tujuan tertentu apabila ada
kebutuhan. Kebutuhan ini menyebabkan timbulnya dorongan internal, yang
selanjutnya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu menuju tercapainya suatu
tujuan. Setelah tujuan dapat dicapai biasanya intensitas dorongan semakin menurun.
Hubungan kebutuhan dan motivasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Hubungan Kebutuhan dengan Motivasi (Teori Morgan, 1986).
b. Memberikan insentif
Adanya karakteristik tujuan menyebabkan seseorang berting-kah laku untuk
mencapai tujuan tersebut. Tujuan yang menyebabkan seseorang bertingkah laku
tersebut disebut insentif. Setiap orang mengharapkan kesenangan dengan
mendapatkan insentif yang bersifat positif. Begitu pula sebaliknya, orang akan
menghindari insentif yang bersifat negatif. (Morgan, 1986).
Dalam kegiatan pembelajaran PAI juga diperlukan insentif untuk lebih
meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Insentif dalam pembelajaran pendidikan
agama Islam tidak se-lalu berupa materi, tetapi bisa berupa nilai atau penghargaan
sesuai kadar kemampuan yang dapat dicapai peserta didik. Bila perlu insentif dapat
diberikan kepada peserta didik secara bertahap sesuai tahap tingkatan yang dapat
dicapainya.
c. Motivasi berprestasi
Setiap orang mempunyai motivasi untuk bekerja karena adanya kebutuhan untuk
dapat berprestasi. McClelland (dalam Carleson, 1986) mengemukakan bahwa
motivasi merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (1) harapan untuk melakukan

48
tugas dengan berhasil; (2) prestasi tertinggi tentang nilai tugas; dan (3) kebutuhan
untuk keberhasilan atau kesuksesan.
Karena itu, guru perlu mengetahui sejauh mana kebutuhan berprestasi setiap
peserta didik. Peserta didik yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan
menyelesaikan tugas atau masalah yang memberikan tantangan dan kepuasan secara
lebih cepat. Peserta didik jenis ini memerlukan balikan setiap unjuk kerjanya dengan
nilai atau pujian yang tepat. Sebaliknya, peserta didik yang memiliki motivasi
berprestasi rendah, pada umumnya tidak realistik untuk mencapai tujuannya. Karena
itu, tugas berat atau ringan bagi peserta didik jenis ini sama saja tidak ada
pengaruhnya bagi tumbuhnya motivasi untuk berprestasi. Jika tugas-tugas itu mudah,
ia akan mengerja-kannya, tetapi jika tugas-tugas itu berat dan gagal melakukan-nya
maka tidak akan memiliki dampak atau arti apa-apa baginya, bahkan ia tidak merasa
mempunyai beban atas kegagalannya.
d. Motivasi kompetensi
Setiap peserta didik memiliki keinginan untuk menunjukkan kompetensi dengan
berusaha menaklukkan lingkungannya. Motivasi belajar tidak bisa dilepaskan dari
keinginannya untuk menunjukkan kemampuan dan penguasaannya kepada yang lain.
Karena itu, diperlukan: (1) keterampilan mengevaluasi diri; (2) nilai tugas bagi setiap
peserta didik; (3) harapan untuk sukses; (4) patokan keberhasilan; (5) kontrol belajar;
dan (6) pe-nguatan diri untuk mencapai tujuan. (Worell dan Stilwell, 1981)
e. Motivasi kebutuhan menurut Maslow
Menurut Maslow, manusia memiliki kebutuhan yang bersifat hierarkis, yaitu:

49
Teori tersebut menunjukkan bahwa: (1) individu bukan hanya didorong oleh
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis, sosial, dan emosional, melainkan dapat
diberikan dorongan untuk mencapai sesuatu yang lebih dari apa yang dimiliki saat
ini; (2) pengetahuan tentang kemajuan yang dicapai dalam memenuhi keinginan
untuk mencapai tujuan dapat mendorong terjadinya peningkatan usaha, dan
pengalaman tentang kegagalan yang tidak merusak citra diri peserta didik dapat
memperkuat kemampuan memelihara kesung-guhan dalam belajar; (3) dorongan
yang mengatur perilaku tidak selalu jelas bagi peserta didik, misalnya seorang peserta
didik yang mengharapkan dari gurunya untuk bisa berubah lebih dari itu karena
kebutuhan emosi untuk mencapai sesuatu; (4) motivasi dipengaruhi oleh unsur-unsur
kepribadian, seperti rasa rendah diri atau keyakinan diri sehingga peserta didik yang
termasuk pandai belum tentu bisa menghadapi setiap masalah; (5) rasa aman dan
keberhasilan dalam mencapai tujuan cenderung meningkatkan motivasi belajar,
kegagalan dapat meningkatkan atau menurunkan motivasi belajar, semuanya ini
bergantung pada berbagai faktor. Karena itu, tidak semua peserta didik dapat
diberikan dorongan yang sama untuk melakukan suatu tugas; dan (6) setiap media
pembelajaran memiliki pengaruh motivasi yang berbeda pada diri peserta didik sesuai
dengan karakteristik individu.

3. Prinsip Perhatian
Perhatian merupakan suatu strategi kognitif yang mencakup empat keterampilan,
yaitu (1) berorientasi pada suatu masalah; (2) me-ninjau sepintas isi masalah; (3)
memusatkan diri pada aspek-aspek yang relevan; dan (4) mengabaikan stimuli yang
tidak relevan. (Worell dan Stilwill, 1981).
Dalam proses pembelajaran, perhatian merupakan faktor yang besar pengaruhnya.
Kalau peserta didik mempunyai perhatian yang besar mengenai apa yang disajikan
atau dipelajari, peserta didik dapat menerima dan memilih stimuli yang relevan untuk
diproses lebih lanjut di antara sekian banyak stimuli yang datang dari luar. Perhatian
dapat membuat peserta didik untuk: (1) mengarahkan diri pada tugas yang akan
diberikan; (2) melihat masalah-masalah yang akan diberikan; (3) memilih dan

50
memberikan fokus pada ma- " salah yang harus diselesaikan; dan (4) mengabaikan
hal-hal lain yano- tidak relevan.
Beberapa prinsip yang diajukan Chield (1977), yang perlu diperhatikan dalam
mempengaruhi perhatian seseorang adalah (1) memperhatikan faktor-faktor internal
yang mempengaruhi belajar, yaitu minat, kelelahan, karakteristik peserta didik,
motivasi; dan (2) memperhatikan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi belajar,
meliputi intensitas stimulus, kemenarikan stimulus yang baru, keragaman stimuli,
penataan metode yang sesuai dan sebagainya.

4. Prinsip Persepsi
Pada umumnya, seseorang cenderung percaya pada sesuatu sesuai dengan
bagaimana ia memahami sesuatu itu pada situasi tertentu. Persepsi adalah suatu
proses yang bersifat kompleks yang menye-babkan orang dapat menerima atau
meringkas informasi yang diperoleh dari lingkungannya (Fleming dan Levie, 1981).
Semua proses belajar selalu dimulai dengan persepsi, yaitu setelah peserta didik
menerima stimulus atau suatu pola stimuli dari lingkungannya. Persepsi dianggap
sebagai kegiatan awal struktur kognitif seseorang. Persepsi bersifat relatif, selektif,
dan teratur. Karena itu, sejak dini kepada peserta didik perlu ditanamkan rasa
memiliki persepsi yang baik dan akurat mengenai apa yang dipe-lajari. Kalau
persepsi peserta didik terhadap apa yang akan dipe-lajari salah maka akan
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan kegiatan belajar yang akan ditempuh.
Sekali peserta didik memiliki persepsi yang salah mengenai apa yang dipelajari
maka uktuk selanjutnya akan sukar diubah persepsi yang sudah melekat tadi,
sehingga dengan demikian ia akan mem-punyai struktur kognitif yang salah
(Lawther, 1977). Agar persepsi dapat berfungsi secara efektif, kemampuan untuk
mengadakan persepsi tentang sesuatu harus ditanamkan dan dikembangkan sebagai
suatu kebiasaan dalam setiap memulai kegiatan pembelajaran.
Untuk membentuk persepsi yang akurat mengenai stimuli yang diterima serta
mengembangkannya menjadi suatu kebiasaan, perlu ada latihan-latihan dalam bentuk

51
dan kondisi situasi yang ber-macam-macam agar peserta didik tetap dapat mengenai
pola stimuli itu, meskipun disajikan dalam bentuk yang baru.
Prinsip-prinsip umum yang perlu diperhatikan dalam menggu-nakan persepsi:
a. makin baik persepsi mengenar sesuatu, makin mudah peserta didik belajar
mengingat sesuatu tersebut;
b. dalam pembelajaran perlu dihindari persepsi yang salah karena hal ini akan
memberikan pengertian yang salah pula pada peserta didik tentang apa yang
dipelajari; dan
c. dalam pembelajaran perlu diupayakan berbagai sumber belajar yang dapat
mendekati benda sesungguhnya sehingga peserta didik memperoleh persepsi yang
lebih akurat. (Fleming dan Levie, 1981).

5. Prinsip Retensi
Retensi adalah apa yang tertinggal dan dapat diingat kembali setelah seseorang
mempelajari sesuatu. Dengan retensi membuat apa yang dipelajari dapat bertahan
atau tertinggal lebih lama dalam struktur kognitif dan dapat diingat kembali jika
diperlukan. Karena itu, retensi sangat menentukan hasil yang diperoleh peserta didik
dalam proses pembelajaran.
Apabila seseorang belajar maka setelah selang beberapa waktu apa yang
dipelajari akan banyak dilupakan, dan apa yang diingat-nya secara otomatis akan
berkurang jumlahnya. Penurunan jumlah apa yang diingat ini akan terasa sangat cepat
pada taraf permulaan, namun selanjutnya akan lambat.
Dalam pembelajaran perlu diperhatikan prinsip-prinsip untuk meningkatkan
retensi belajar seperti yang diungkapkan dari hasil temuan Thomburg (1984) yang
menunjukkan bahwa: (1) isi pembelajaran yang bermakna akan lebih mudah diingat
dibandingkan dengan isi pembelajaran yang tidak bermakna; (2) benda yang jelas dan
kongkret akan lebih mudah diingat dibandingkan dengan benda yang bersifat abstrak;
(3) retensi akan lebih baik untuk isi pembelajaran yang bersifat kontekstual atau
serangkaian kata-kata yang mempunyai kekuatan asosiatif dibandingkan dengan kata-
kata yang tidak memiliki kesamaan internal; dan (4) tidak ada perbedaan antara

52
retensi dengan apa yang telah dipelajari peserta didik yang mempunyai berbagai
tingkatan IQ. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi retensi belajar, yaitu (1) apa
yang dipelajari pada permulaan (original learning); (2) belajar melebihi penguasaan
(over learning); dan (3) pengulangan dengan interval waktu (spaced review). Di
samping yang diusulkan dari hasil temuan Thomburg tersebut, Chauham (1979)
mengajukan cara-cara untuk meningkatkan retensi belajar, antara lain (1) usahakan
agar isi pembelajaran yang dipelajari disusun dengan baik dan bermakna. Sebagai
bukti, pembelajaran syair akan diingat sebanyak 58% setelah 30 hari, pembelajaran
prosa akan diingat sebanyak 40%, dan pembelajaran kata tanpa makna diingat
sebanyak 28%; (2) pembelajaran dapat dibantu dengan jembatan keledai (macmonic),
karena akan meningkatkan organisasi materi yang dipelajari seperti akronim NIMIM
(Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad) untuk mengingat nabi mendapat gelar Ulul
azmi; (3) berikan resitasi karena hal ini akan meningkatkan aktivitas peserta didik; (4)
susun dan sajikan konsep yang jelas, misalnya dengan bantuan media audio visual;
dan (5) berikan latihan pengulangan terutama untuk pembelajaran keterampilan
motorik.
6. Prinsip Transfer
Transfer merupakan suatu proses dimana sesuatu yang pernah dipelajari dapat
mempengaruhi proses dalam mempelajari sesuatu yang baru. Dengan demikian,
transfer berarti pengaitan pengeta-huan yang sudah dipelajari dengan pengetahuan
yang baru dipelajari. Pengetahuan atau keterampilan yang diajarkan di sekolah selalu
diasumsikan atau diharapkan dapat dipakai untuk meme-cahkan masalah yang
dialami dalam kehidupan atau dalam pe-kerjaan yang akan dihadapi kelak. Transfer
belajar atau transfer latihan berarti aplikasi atau pemindahan pengetahuan, keteram-
pilan, kebiasaan, sikap, atau respon-respon lain dari suatu situasi ke dalam situasi
yang lain.
Ada beberapa bentuk transfer, yaitu (1) transfer positif, terjadi apabila
pengalaman sebelumnya dapat membantu atau memper-mudah pembentukan unjuk
kerja peserta didik dalam tugas-tugas selanjutnya; (2) transfer negatif, terjadi apabila
pengalaman yang diperoleh sebelumnya menghambat atau mempersulit unjuk kerja

53
dalam tugas-tugas baru; dan (3) transfer nol, terjadi apabila pengalaman yang
diperoleh sebelumnya tidak mempengaruhi unjuk kerja dalam tugas-tugas barunya.
Menurut Chauham (1979), transfer dapat diklasifikasikan ke dalam: (1) transfer
horisontal, yakni apabila pengetahuan atau keterampilan yang dipelajari sebelumnya
dapat dialihkan ke dalam proses mempelajari pengalaman yang setingkat atau dalam
satu kategori. Bentuk transfer horisontal meliputi transfer lateral, yakni apabila
pengetahuan atau keterampilan yang dipelajari sebelumnya dapat diterapkan dalam
situasi belajar di dalam kehidupan tanpa pengawasan orang yang mengajar, dan
transfer sequential, yakni apabila yang dipelajari sekarang secara positif ada
hubungannya dengan apa yang akan dipelajari pada masa yang akan datang; dan (2)
transfer vertikal, yaitu apabila pemahaman tentang apa yang dipelajari sebelumnya
dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang lebih sulit atau yang
berada pada jenjang pengetahuan yang lebih tinggi.
Selanjutnya, Chauham mengemukakan beberapa teori yang melandasi transfer
dalam pembelajaran, yaitu (1) teori disiplin mental (mental dicipline theory), dimana
seseorang dapat dilihat seperti badan yang terdiri atas bagian-bagian; (2) teori unsur-
unsur yang sama (identical elements), di mana sesuatu yang dipelajari dapat
ditransfer ke dalam situasi lain selama terdapat unsur-unsur yang identik pada kedua
macam pengalaman tersebut; (3) teori gene-ralisasi, di mana transfer belajar dapat
terjadi apabila si belajar dapat memahami prinsip-prinsip umum, bukan pemecahan
masalah yang bersifat spesifik. Tekanan dari teori ini terletak pada inte-ligensi yang
menyebabkan seseorang dapat memakai dan mene-rapkan pengetahuan tentang
prinsip-prinsip dari satu situasi ke dalam situasi lain; dan (4) teori transposisi, dimana
terjadinya persamaan persepsi antara situasi dengan apa yang ada dalam bentuk
umum. Belajar dapat menumbuhkan sesuatu dalam pola yang utuh atau dalam suatu
konfigurasi yang mempunyai makna. Proses yang terjadi dalam transfer adalah (a)
pengelompokan, generalisasi, dan strukturisasi materi; (b) terdapat hubungan dalam
berbagai bentuk atau ukuran; (c) adanya struktur dalam; dan (d) adanya proses
berpikir yang konsisten.

54
Dari prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran yang telah dikemukakan di atas
patut menjadi perhatian secara seksama bagi guru-guru tidak terkecuali bagi guru-
guru Agama agar dalam pembelajaran PAI betul-betul mencapai sasaran yang
dikehendaki. Penerapan prinsip-prinsip tersebut memerlukan kesungguhan dan
kemauan yang kuat yang dilandasi dengan ketulusan dan rasa bahagia bila ajaran-
ajaran agama dapat diaplikasikan oleh para siswa-siswa.

E. Unsur-Unsur Pembelajaran Pendidikan Agama Islam


Pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya
terasa kurang terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah
pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi "makna" dan "nilai" yang perlu
diinternalisasikan dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber mo-
tivasi bagi peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berperilaku secara kongkret-
agamis dalam kehidupan praksis sehari-hari.
Bila kita mengamati fenomena empirik yang ada di hadapan dan sekeliling kita
maka tampaklah bahwa pada saat ini terdapat banyak kasus kenakalan di kalangan
pelajar. Isu perkelahian pelajar, tindak kekerasan, premanisme, white collar crime
(kejahatan kerah putih), konsumsi minuman keras, etika berlalu lintas, perubahan
pola konsumsi makanan, kriminalitas yang semakin hari semakin menjadi-jadi dan
semakin rumit dan sebagainya, telah mewarnai halaman surat kabar, majalah dan
media massa lainnya.
Pada era globalisasi ini para siswa menghadapi beberapa kekuatan global yang
hendak membentuk dunia masa kini dan masa depan, yaitu (1) kemajuan iptek dalam
bidang informasi serta inovasi-inovasi baru di dalam teknologi yang mempermudah
kehidupan manusia; (2) masyarakat yang serba kompetitif; dan (3) meningkatnya
kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta kewajiban manusia dalam kehidupan
bersama, dan semakin meningkatnya kesadaran bersama dalam alam demokrasi.
Semuanya itu akan berpengaruh juga pada model pengembangan pendidikan agama
Islam yang akan disajikan kepada peserta didik.

55
Membicarakan faktor-faktor proses kependidikan Islam berarti membicarakan
unsur atau komponen apa saja terlibat dalam proses kependidikan Islam. Untuk
menentukan faktor dan kedudukannya dalam struktur hierarki ilmu harus ditelusuri
dan konsep paling dasar proses pendidikan, yaitu akar ilmu atau hubungan subjek-
objek.13
Subjek dalam hal ini adalah manusia yang mencari tahu tentang objek. Kegiatan
mencari tahu ini disebut sebagai proses belajar atau dalam konteks pendidikan disebut
proses pembelajaran, yaitu proses hubungan antara manusia (subjek) dengan ilmu
(objek). Proses hubungan subjek-objek ini yang melahirkan tujuan atau arah dan
pendidikan. Tujuan adalah unsur ketiga setelah ada hubungan subjek-objek.
Sifat ketidak berdayaan, ketergantungan, dan ketidak-mampuan manusia (baca
anak didik)14 dalam menyempurnakan hubungan sebagai subjek ataupun objek dalam
diri nya itulah muncul konsep pendidik/guru. Sementara proses hubungan subjek dan
objek itu sendiri pasti menggunakan metode atau cara tertentu sekaligus menempati
ruang dan waktu. Artinya, proses pembelajaran itu sendiri pasti melibatkan unsur
lingkungan. Lingkungan dalam hal ini menempati kedudukan kelima, setelah peserta
didik (subjek), ilmu pengetahuan (objek), tujuan, dan pendidik. Dalam konteks luas,
lingkungan tersebut mencakup lingkungan konkret maupun abstrak. Dikatakan
konkret karena terlibat langsung di dalam proses pembelajaran itu sendiri, dan abstrak
karena tidak terlibat secara langsung tetapi turut memengaruhi perkembangan,
peranan, dan arah pembelajaran dalam pendidikan Islam.
Secara hierarkis, unsur-unsur dalam Pembelajaran pendidikan Agama Islam
dapat disusun berturut-turut adalah (1) anak didik, (2) ma- ten Pendidikan (ilmu
Pengetahuan), (3) tujuan pendidikan, (4) Pendidik/guru; dan (5) Lingkungan Masing-
masing unsur akan dibahas lebth luas pada pembahasan berikutnya. 15

13
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, hal 12
14
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000, hal, 9
15
Redja Mudyharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Bandung, 2002, hal 49-52

56
1. Unsur Anak Didik
Anak didik adalab seorang anak yang selalu mengalami perkembangan sejak
terciptanya sampai meninggal dan perubahan-perubahan itu terjadi secara wajar.16
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau
sasaran pendidikan, melainkan juga hams diperlakukan sebagai subjek pendidikan. 17
Sebagai subjek pendidikan, manusia memiliki kemampuan belajar yang
berkaitan erat dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengenal terhadap
objek-objek pengamatan melalui indranya. Pengetahuan manusia terbentuk karena
ada realita sebagai objek pengamatan indra.’ lndra manusia merupakan alat
kelengkapan yang dapat membuka kenyataan alam sebagai sumber pengetahuan yang
memungkinkan dirinya untuk menemukan hakikat kebenaran yang diajarkan oleh
agamanya, atau oleh Tuhannya. Indra merupakan pintu gerbang dan pengetahuan
yang semakin berkembang. Tuhan mewajibkan manusia menggunakan indranya
untuk memperoleh pengetahuan. 18
Sebagai bagian dan objek pendidikan, manusia pada hakikatnya terbentuk dan
kenyataan rohaniah (kejiwaan) dan kenyataan jasmaniah. Perpaduan pola-pola
hubungan jasmani dan rohani mi yang memberi arti hidup manusia. 19
Kajian keilmuan atas anak didik dalam pendidikan harus memerhatjlcan dua unsur
kemanusjaan mi. Dasar konsep anak didik sebagai objek sekaligus subjek mi wilayah
keilmuan unsur anak didik dalam sistem pendidikan khususnya pendidikan Islam
seharusnya dikaji dan dikembangkan secara maksimal. Perpaduan pengembangan
keilmuan anak didik ditinjau sebagai subjek maupun objek dalam jangka panjang
dapat menghindarkan terjadinva perpecahan kepribadian (split personality) dalam din
anak didik Seperti yang diungkapkan Azyumardi Azra. 20

16
Ibid, hal 45-56
17
Ibid, hal 64
18
Paul Suparno, Filsafat Kontrutivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal
64
19
Ibid, hal 71-72
20
Abdul Munir Mulkhan, akar pendidikan Islam sebagai ilmu, dalam Abdul Munir Mulkhan,
Dkk, Rilegius Iptek, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pustaka
Pelajar, 1998, hal 96

57
2. Unsur Tujuan
Faktor tujuan mempunyai peranan penting dalam pendidikan Islam, sebab akan
memberikan standar, arahan, batas ruang gerak, dan penilaian atas keberhasilan
kegiatan yang dilakukan.21 Dalam merumuskan tujuan pendidikan, terdapat berbagai
macam cara dan pendekatan, khusüs Untuk pendidikan Islam, disesuaikan dengan
kriteria dan karakter ilmu dalam Islam, yaitu terstruktur hierarkis dan tingkat
konkreta sampai dengan ilata.
Implikasi penyusunan tujuan pendidikan Islam berdasarkan struktur konsep
dengan pendekatan waktu adalah tujuan jangka pendek, menengah, dan jangka
panjang. Kriteria ataupun karakter mi berlaku pula untuk penentuan tujuan
pendidikan terkait dengan metodologi keilmuan. Perumpamaan, untuk tujuan jangka
pendek disusunlah rumusan objek-objek ilmu jasmaniah yang dalam pendekatan
metodologi pengajaran lebth dikenal sebagai psikomotor. Terkait dengan objek
material studi ilmu lebih difokuskan pada kosmologi.
Untuk jangka panjang secara metodologis dirumuskan sebagai metodologi
spiritual, sementara objek studi ilmu adalah filsafat atau lebih khusus agama. Jangka
pendek bertujuan mencapai kebahagiaan hidup di dunia, jangka panjang kebahagiaan
hidup setelah mati (akhirat). Karakter mi sebangun dengan rangka konsep doa dalam
Islam “Ya Tuhan kami berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat
dan peliharalah kami dati api neraka” (Q.S. 2:201).22
Alternatif lain penyusunan struktur tujuan aplikatif juga dapat dilakukan dengan
pendekatan objek eksistensi material bidang stucli yang dalam hal mi diwakilkan oleh
ilmu sains dan teknologi, antropologi, dan filsafat. Seluruhnya disajikan secara
berjenjang (hierarkis), perumpamaannya, tingkat dasar adalah studi ilmu sains dan
teknologi. Tahap berikutnya studi ilmu antropologi dan tahap akhir adalah filsafat.
Objek ilmu sains dan teknologi menggambarkan studi ilmu jasmaniah atau duniawi,

21
Tarmizi Bahrudin, Akhlak pesantren solusi bagi kerusakan akhlak, yogyakarta: ittaqa
press, 2001, hal 97
22
Depag RI, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra Semarang,
1996, hal 24

58
objek ilmu antropologi penggambaran studi ilmu terkait perikehidupan manusia di
dunia. Kehidupan yang dalam “proses” dari satu titik kembali menuju ke satu titik,
yaitu Tuhan (Q.S. 2: 156).23 Objek ilmu filsafat penggambaran kajian seluruh realitas
semesta baik di dunia dan akhirat. Dalam hal mi, agama adalah objek materiil dan
kajian kefilsafatan.
Terkait dengan penyusunan konsep tujuan etis dari pendidikan dapat merujuk
pada kesemestaan konsep tutunggal fungsi etis belajar, yaitu kedewasaan, kesadaran
din, kebijaksanaan hidup dan rna’rifatullah. Rumusan tersebut masih dalam kerangka
teoretis, artinya masing-masing perlu diterjemahkan dalam bentuk konkret.
3. Unsur Pendidik
Pendidik adalah orang yang mendidik. 24 Pendidik adalah orang yang dengan
sengaja memengaruhi orang lain untuk mencapai25 tujuan pendidikan. Semula kata
pendidik mengacu pada seseorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan, atau
pengalaman kepada orang lain. 26
Konsep ini mengarah pada pandangan yang menempatkan anak didik sebagai
objek pendidikan ini terlihat menonjol pada aliran empirisme dengan konsepnya
bahwa pengaruh lingkungan ekstemal khususnya pendidikan merupakan satu-satunya
pembentuk dan penentu perkembangan hidup manusia.27 Pendidik adalah faktor
dominan dalam mencapai tujuan dan anak didik inilah ditempatkan sebagai “wadah
kosong yang harus dilsi” oleh seorang pendidik. Akibatnya, potensi alami anak didik
sering kali terabaikan.
Sejalan perkembangan keilmuan pendidik, muncul konsep bahwa mendidik bukan
hanya mentrartsfer pengetahuan dan orang yang sudah tahu kepada yang belum tahu,
tetapi suatu proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri.

23
Ibid, Hal 18
24
W.J.S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka, 1982,
hal. 250
25
Sutarmi Imam Barnadhib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis,Yogyakarta : Andi Offset
, 1997, hal. 61
26
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hal.61
27
M.Arifin, M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1994, cet, ke-4, hal.94

59
Proses seseorang dalam membantu orang lain agar dapat mengonstruksi sendiri
pengetahuan lewat kegiatan terhadap fenomena dan objek yang ingin diketahui.28
Petunjuk ini dapat digunakan untuk menyusun konsep hierarkis kurikulum
pengajaran. Pengetahuan dalam diri seseorang pada hakikatnya telah dimiliki selama
manusia dikatakan hidup, dimiliki dalam arti belum terstruktur/terbentuk. Pendidikan
hanya berfungsi membantu proses pembentukan pengetahuan dalam diri anak didik.
lmplikasinya terhadap struktur kurikulum pendidikan akan sangat luas. Anak
didik harus ditempatkan pada urutan pertama, sedangkan pendidik hanya sebatas
suplemen. Bakat alami anak didik lebih diutamakan sebelum tujuan akademis
pendidikan. Dalam hal metodologi, pendidikan yang melibatkan pengalaman, seperti
kegiatan, eksperimen, penelitian, pembuktian lapangan, dan sejenis ditempatkan pada
tingkat awal, sebelum kesimpulan akhir dalam bentuk transfer pengetahuan diberikan.
Penyusunan kriteria hierarkis ini bukan berarti tahap yang satu lebth penting dari
tahap yang lainnya, tetapi hanya menunjukkan sistematika dan runtutan metodologis,
oleh sebab itu, perlu ada semacam shfting paradigm.29 Terkait dengan objek materi
pendidikan yang harus diberikan oleh seorang pendidik juga harus terintegrasi antara
yang fisik dan metafisik. Pengetahuan yang bersifat fisik secara metodologi diberikan
pada tahap awal pendidikan sebelum pengetahuan yang bersifat metafisik.
Implikasi lebih jauh dan struktur ilmu pendidikan terhadap pencapaian tujuan
akhir pendidikan adalah keterkaitan faktor manusia. Dengan kata lain, tujuan
pendidikan yang terintegrasi dalam struktur hierarkis. Dalam konsep Islam, integrasi
tujuan pendidikan terwujud dalam beragam bentuk dan jenis, namun keseluruhannya
menunjukkan keseimbangan dua kutub bipolaritas. Salah satu contoh adalah pendapat
M.J. Langeveld, yaitu integrasi kedewasaan jasmani dan rohani.30 Atau merujuk
pendapat Azyumardi Azra tentang integrasi keilmuan dan moral. Seorang pencildik

28
Paul Suparno Konstruktivisme dalam pendidikan, Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1997,
hal.71-72

29
M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant; Filsafat Etika Islam, Bandung; Mizan ,
2002, hal. 71-72
30
Opcit Sutarman, Op Cit, hal 28

60
dituntut untuk menjadi tokoh identifikasi dalam hal keluasan ilmu dan keluhuran
akhlaknya, sehingga anak didiknya selalu berupaya untuk mengikuti langkah-
langkahnya. Kesatuan antara kepemimpinan moral dan keilmuan dalam diri seorang
pendidik dapat menghindarkan anak didik dari bahaya keterpecahan pnibadi (split
personality).31

4. Unsur Lain-Lain
Unsur-unsur lain yang memengaruhi pembentukan pengetahuan dalam proses
pendidikan. Faktor-faktor lain ini dibedakan dalam empat kelompok, yaitu (1)
metode; (2) alat; (3) lingkungan manusia; dan (4) perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Dua unsur pertama terlibat langsung dalam proses pembelajaran, dan
dua unsur benkutnya tidak terlibat secara langsung, namun turut memengaruhi
pembentukan hasil proses belajar-mengajar.
a. Metode.
Metode (method) secara harfiah berasal dani dua perkataan, yaitu meta dan hodos.
Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau “cara”. Metode berarti cara atau
jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.32 Dalam pemakaian yang
umum, metode diartikan sebagai cara melakukan sesuatu kegiatan atau cara
melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara
sistematis.33
Dalam dataran praktis secara umum kita kenal dengan bentuk-bentuk, seperti
metode teladan, kisah-kisah, nasihat, pembiasaan, hukuman dan ganjaran, ceramah,
diskusi, dan seterusnya.
Metode dalam sistem pendidikan Islam mempunyai peran dan fungsi khusus.
Penerapan metode yang tepat hams disesuaikan dengan kekhususan kemampuan
peserta didik dalam belajar, oleh sebab itu metode secara operasional memiliki
berbagai macam bentuk dan variasi praktis.

31
Abudin Nata, Op Cit, hal 91
32
Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan suatu Pendekatan Baru , (Bandung; Remaja
Rosdakarya, 1995), Cet. Ke- 2, hal.7
33
Abudin Nata, Op Cit, hal 91

61
b. AIat
Alat pengajaran adalah tindakan atau perbuatan atau situasi atau benda yang
dengan sengaja diadakan untuk mencapai tujuan pendidikan. 34 Pengertian “alat”
mengarah pada objek benda mati sementara istilah tindakan atau perbuatan merujuk
pada objek yang “hidup atau berubah” dan ini terkait erat dengan perbuatan manusia.
Oleh sebab itu, tindakan atau perbuatan manusia dalam pendidikan dibahas dalam
unsur metode pendidikan.
Sebaliknya, istilah “alat” dalam pembahasan mi merujuk pada barang yang
dipakai untuk mengerjakan sesuatu.35 Mat pendidikan dapat berupa fisik atau nonfisik
(situasi) yang dalam proses kependidikan perlu didayagunakan Secara bervariasi
sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Tujuan utama mempergunakan alat
tersebut ialah untuk mencapai hasil yang optimal dalam proses kependidikan. 36
Oleh sebab itu, istilah “alat” lebih tepat digunakan untuk objek yang
“nonmanusia”. Contohnya, papan tulis, kapur, OHP, buku, tempat belajar, situasi, dan
kondisi ruangan, dan seterusnya akan sangat membantu proses pengajaran yang
kondusif. Berbeda dengan nasihat, hukuman atau ancaman. Nasihat, hukuman, atau
ancaman adalah situasi yang berhubungan dengan metode pengajaran yang dilakukan
manusia.
Alat pendidikan hanya sekadar benda mati yang bersifat material. Sehingga lebih
tepat diartikan sebagai situasi atau benda yang ada secara alami maupun direkayasa
yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikam Alat pendidikan berfungsi
mempermudah penyerapan indra manusia terhadap objek kenyataan belajar.
Kemampuan mengindra dalam diri manusia selalu dikaitkan pada tiga unsur indra
belajar dalam diri manusia, yaitu visual, auditorial, dan kinestetik.37 Pengetahuan

34
Sutarman Imam Burnadib, Op Cit, hal 96
35
W.J.S. Poerwadarmita, Op Cit, hal 29
36
M. Arifin, Op Cit, hal 145
37
Bobbi DePoter dan Mike Hernackhi, Quantum Learning: Uneashing The Genius in you” ,
Alwiyah Abdurrohman(trjh), Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman Dan Menyenangkan,
Bandung: Kaifa, 2002, hal. 113-124

62
indrawi menjadi sangat penting, karena bertindak selaku pintu gerbang pertama untuk
menuju pengetahuan yang lebih utuh. 38
Semakin banyak indra terlibat dalam proses pengetahuan, suatu pengetahuan
menjadi lebih mudah diingat.39 Alat pendidikan dalam arti benda atau barang yang
digunakan untuk melakukan proses belajar atau mengajar 40bertujuan membantu dan
mempermudah proses penyerapan pengetahuan manusia melalui media visual,
auditorial, dan kinestetik dna manusia tersebut.
c. Lingkungan manusia.
Manusia dengan segala perilakunya secara tidak langsung maupun langsung
sangat memengaruhi hasil proses belajar-mengajar. Lingkungan manusia dan
perilakunya yang memengaruhi proses pendidikan dapat dibedakan menjadi dua
bentuk. Legkungan tersebut adalah lingkungan yang disengaja (rekayasa) dan
lmgkungan yang tak disengaja (alami). Lmgkungan yang direkayasa itu adalah
lingkungan kependidikan, kebudayaan, masyarakat, dan lain-lain. Lingkungan yang
tak rekayasa terwujud sebagai lingkungan alam, lingkungan hidup (ekosistem), dan
seterusnya yang secara langsung maupun tak langsung memengaruhi proses
pendidikan.41
Perkembangan ilmu pengetahuan akan selalu melibatkan interaksi manusia
dengan alam sekitamya, baik dalam konteks sosial kemasyarakatan atau ruang
lingkup alam. Manusia akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai
kebaikan dan kejahatan, kesadaran politik, nilai-nilai religius, etika, dan seterusnya
atas akibat “teknis” ilmu pengetahuan manusia terhadap pemanfaatan alam dan
manusia itu sendiri.
Manusia tidak dapat bersikap netral lagi terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Manusia tidak hanya dituntut objektif, tetapi juga dituntut

38
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta :
kanisius, 1990, hal. 22
39
W.J.S. Poerwadarmita, Op Cit, hal 29
40
M. Arifin, Op Cit, hal 145
41
M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Tiori dan Konsep Ilmu Sosial, Bandung; PT.
Eresko Bandung , 1995, hal.160

63
bersikap subjektif. Karena manusia hidup dalam satu dunia, hasil ilmu pengetahuan.
Manusia dalam pekerjaan ilmiahnya tidak hanya bekerja dengan akal budinya,
melainkan dengan seluruh eksistensmya, dengan seluruh keadaannya, dengan hatinya
dan dengan seluruh indranya.
d. Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi
Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan objek yang merupakan bahan dalam
penelitian, meliputi objek material sebagai bahan yang menjadi tujuan penelitian
bulat dan utuh, serta objek formal, yaitu sudut pandangan yang mengarah kepada
persoalan yang menjadi pusat perhatian.42 Ilmu pengetahuan menghasilkan bipolaritas
kesenjangan antara: wujud dengan gaib, konkret dengan abstrak, fisik dengan
metafisik, dan seterusnya. Dalam sistem ilmu pengetahuan, objek yang “wujud,
konkret, fisik, dan sejenis” melahirkan objek yang disebut teknoiogi. Pada sisi lain,
objek yang “gaib, abstrak, metafisik, dan sejenis” melahirkan objek yang disebut ilmu
pengetahuan.
Indra manusia lebih mudah menangkap dan menerima kebenaran ilmu yang
bersifat teknologis dibandingkan ilmu pengetahuan yang bersifat teoretis.
Perkembangan ilmu pengetahuan akan selalu diikuti hambatan sosialnya, dan
perkembangan teknologi akan memunculkan pertanyaan moral etis religius
kemanusiaan.43
Kehidupan manusia berkembang semakin rumit dan kompleks seiring
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan hidup
manusia itu sendiri merupakan proses pendidikan. Selama masih disebut manusia
hidup, maka ia tidak akan pernah lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sesederhana atau sekecil apa pun bentuk pengetahuan dan teknologi
tersebut. Semakin maju dan berkembang sistem ilmu pengetahuan, maka objek ilmu
pengetahuan pun semakin luas dan mendalam.

42
Ibid, hal 58
43
Ibid, hal 159-16-

64
F. Pendekatan dan Pengembangan Pembelajaran Agama Islam
Pemahaman tentang Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah/perguruan tinggi
dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu PAI sebagai aktivitas dan PAI sebagai
fenomena. PAI sebagai aktivitas, berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk
upaya untuk membantu seseorag atau sekelompok orang dalam mengembangkan
pandangan hidup (bagaimana orang untuk menjalani dan memanfaatkan hidup dan
kehidupannya), sikap hidup dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual
(petunjuk praktis) maupun mental dan sosial yang bernapaskan atau dijiwai oleh
ajaran yang bernilai-nilai Islam. Sedangkan PAI sebagai fenomena adalah peristiwa
perjumpaan antara dua orang atau lebih dan/atau penciptaan suasana yang dampaknya
ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernapaskan atau dijiwai oleh
ajaran dan nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan
hidup pada salah satu atau beberapa pihak, 44
Diskursus tentang pengembangan pendidikan agama Islam di Indonesia yang
persentasikan oleh para ahli dan pemerhati pendidikan Islam, baik tulisan-tulisan
mereka diberbagai buku, majalah, jurnal, dan sebagainya, maupun melalui kegiatan
seminar, penataran dan lokakarya, serta kegiatan lainnya, telah memperkaya wawasan
dan visi kita dalam mengembangakan pendidikan agama Islam di Indonesia. Berbagai
pemikiran dan pengalaman mereka perlu dipotret, ditata dan didukung dalam suatu
paradigma, sehingga model-model orientasi dan langkah-langkah yang hendak dituju
menjadi semakin jelas. Lagi pula kalau seseorang hendak melakukan pengembangan
dan penyempurnaan, maka tata kuncinya sudah dapat dipegang, sehingga tidak terjadi
salah letak, arah dan langkah, yang pada gilirannya yang menimbulkan sikap
overacting dalam menyikapi paradigma tertentu.
Selama ini telah banyak pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam rangka
peningkatan kualitas pendidikan agama Islam yang diharapkan mampu memberikan
nuansa baru bagi pengembangan sistem pendidikan di Indonesia, dan sekaligus
hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pendidikan nasional yang

44
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Mengefekkan Pendidikan Agama di Sekolah.
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) Cet. II.

65
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membangaun watak serta peradaban
bangsa, yang bermartabat yang bertujuan untuk mengembangkan peserta didik agar
menjadi manusia ynag beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis seta bertanggung jawab,45
Munculnya berbagai pemikiran dan kebijakan tentang pembinaan pendidikan
agama Islam secara terpadu pada sekolah umum, pengembngan dan peningkatan
kualitas madrasah, pesantren, kegiatan pesantren kilat serta pendidikan agama Islam
disekolah menengah umum, dan sebagainya, adalah beberapa contoh menifestasi dari
usaha-usaha tersebut di atas.
Namun demikian, dalam beberapa hal agaknya pemikiran konseptual
pengembangan pendidikan agama Islam dan beberapa kebijakan yang diambil
kadang-kadang terkesan menggebu-gebu, idealis, romantis, atau bahkan kurang
realistis, sehingga para pelaksana dilapangan kadang-kadang mengalami beberapa
hambatan dan kesulitan untuk merealisasikannya atau bahkan etensitas atau
pelaksanaan efektivitasnya masih dipertanyakan. Hal ini mungkin disebabkan oleh
kurangnya kejelasan dan lemahnya pemahaman paradigma (jendela pandang)
pengembangan pendidikan agama Islam itu sendiri, yang berimplikasi pada kesalahan
orientasi dan langkah, atau ketidakjelasan wilayah dan arah pengembangannya.
Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan diskripsi tentang pengembangan
pendidikan agama Islam melalui potret atau pemetaan paradigma yang ada dan
memperjelas oreintasi dan wilayah dari masing-masing paradigma tersebut, sehingga
pemikiran dan kebijakan yang terkesan yang menggebu-gebu, idealis dan kurang
realistis, dapat ditelaah ulang dan dikoreksi kembali. Selanjutnya dapat dikontrusi
paradigma mana yang sekitarnya relevan untuk dikembangkan dalam menatap masa
depan bangsa Indonesia menuju masyarakat madani.

45
Undang-Undang Nomor:20/2003,Tentang Sistem Pendidikan Nasional

66
Dari hasil kajian penulis tantang paradigma pengembangan pendidikan Islam,46
ditemukan ada tiga peta paradigma pengembangan pendidikan agama Islam, yaitu
paradigma dikotomois, paradigma Mechanism, paradigma organism atau sistemik.

1. Pendekatan Dikotomis
Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana,
dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua
sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan
tidak bulat, pendidikan keagamaan dan non keagamaan atau pendidikan agama dan
pendidikan umum, demikian seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada giliranya
dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat
saja atau kehidupan rohani saja. Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut
sebagai seksi kerohanian. Dengan demikian pendidikan keagamaan dihadapkan
dengan pendidikan non-keagamaan, pendidikan keislaman dan non keislaman,
pendidikan agama dengan pendidikan umum, demikian seterusnya.
Pendidikan (agama) Islam seolah-olah hanya mengurusi persoalan ritual dan
spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu pengentahuan dan
ilmu pengentahuan serta seni, dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang
menjadi bidang garap pendidikan non-agama. Pandangan dikotomis inilah yang
menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan istilah pendidikan agama dan
pendidikan umum, atau ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya muncul dari
paradigma dikotomis tersebut.
Adanya perubahan dan/atau penyempitan pengertian ulama dan puqaha, sebagai
orang yang hanya mengerti soal-soal keagamaan belaka, sehingga tidak termasuk ke
dalam barisan kaum intelektual, juga merupakan implikasi dari pandanagan
dikotomis tersebut. Menurut azra,47 pemahaman senacam itu muncul ketika umat
Islam Indonesia mengalami penjajahan yang sangat panjang, dimana umat Islam

46
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Mengefekkan Pendidikan Agama di Sekolah.
(Bandung: Remaja Rosdakarya,2002) Cet. II. hal
47
Azra Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru.
(Jakarta: Logos, 1999), hal

67
mengalami keterbelakangan dan disentegrasi dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Perbenturan umat Islam dengan pendidikan dan kemajuan barat
memunculkan kaum intelektual baru (cendikiawan sekular. Dalam proses
pendidikannya, mereka mengalami brain washing (cuci otak) dari hal-hal yang
berbau Islam, sehingga mereka terjadi teralienasi (terasing) dari ajaran-ajaran Islam
dan muslim sendiri. Bahkan terjadi gap antara kaum intelektual baru (sekular) dengan
intelektual lama (ulama), dan ulama dikonotasikan sebagai kaum sarungan yang
hanya mengerti soal-soal keagamaan dan buta dalam masalah keduniaan.
Paradigma dikotomis mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan
agama Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia
dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-diniyah
(ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan
akhirat, sementara sains (ilmu pengentahuan) dianggap terpisah dari agama. demikian
pula pendekatan yang digunakan lebih bersipat keagamaan yang normatif, doktriner
dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal
(setia), memiliki sikap commitment (keberpihakan), dan didekasi (pengabdian) yang
tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu kajian-kajian keilmuan yang
bersifat empiris, rasional, analitis-keritis, dianggap dapat menggoyahkan iman,
sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normatif dan doktriner
tersebut.
Paradigma tersebut sering tersebut dalam realitas sejarah pendidikan Islam. Pada
periode pertengahan, lembaga pendidikan Islam (terutama madrasah sebagai
pendidikan tinggi atau al-jami’ah) tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan
semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Ia
banyak diabdikan kepada al-‘ulum al-diniyah (ilmu-ilmu agama) dengan penekanan
pada fiqih, tafsir dan hadits. Sementara ilmu-ilmu non-agama (keduniaan), terutama
ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai akar pengembangan sains dan teknologi, sejak
awal perkembangan madrasah dan al-jami’ah sudah berada dalam posisi marginal.
Islam memang tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu
umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu

68
pengentahuan. Namun demikian, dalam realitas sejarahnya justru suprimasi lebih
diberikan pada ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyah) sebagai jalan tol untuk menuju
Tuhan.
Sebelum kehancuran teologi mu’tazilah pada masa khalifah al-ma’mun (198-
218 H/813-833M), mempejalari ilmu-ilmu umum (kajian nalar dan empiris) ada
dalam kurikulum madrasah, tetapi ada juga pemakruhan atau bahkan lebih eronis lagi
“pengharaman” penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah ilmu-ilmu yang
dicurigai itu dihapuskan dari kurikulum madrasah. Mereka yang berminat
mempelajari ilmu-ilmu umum dan mempunyai semangat scientificinquiry
(penyelidikan ilmiah) guna membuktikan kebenaran ayat-ayat kauniyah, terpaksa
harus belajar sendiri-sendiri atau dibawa tanah, karena dipandang sebagai ilmu-ilmu
subversif yang dapat menggugat kemapanan doktrin sunni terutama dalam kalam dan
fiqih. Adanya madrasah al-thib (sekolah kedokteran) juga tidak dapat
mengembangkan ilmu kedokteran dengan bebas, karena sering digugat Fuqaha’,
misalnya tidak diperkenankan menggunakan organ-organ mayat sekalipun dibedah
untuk diselidiki. Demikian pula rumah sakit riset dibagdad dan kairo, karena
dibayangi legalisme fiqih yang kaku akhirnya harus berkonsentrasi pada ilmu
kedokteran teoritis dan perawatan.
Mengapa legalisme fiqih atau syariah dan/atau ortodoksi agama serta semangat
intoleransi. Terhadap para saintis (dari kalangan ulama Islam dan apalagi non
muslim) begitu dominan dalam lembaga pendidikan Islam? Menurut azra,48 karena:
(1) pandangan tentang ketinggian syariah atau ilmu-ilmu keagamaan, sebagai “jalan
tol” untuk menuju Tuhan; (2) lembaga-lembaga pendidikan Islam secara institusional
dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang-bidang keilmuan keagamaan, sehingga
kelompok saintis, (Dar al-‘ilm) tidak mendapat dukungan secara institusional, justru
Fuqaha’ berhadapan dengan tantangan saintis, sehingga kaum saintis tidak berdaya
menghadapi Fuqaha’ yang mengklaim legitimasi religius sebagai the Quardian of

48
Azra Azyumardi, Pendidikan Tinggi Islam Dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar),
Dalam: Charles Michael Stanton, Pendidkan Tinggi Dalam Islam (Terj. Afandi & Hasan Asari ).
Jakarta: logos, 1994, hal

69
God’s given law (pelindung/penguasa syariah); (3) hampir seluruh madrasah/al-
jami’ah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakap dari para dermawan dan
penguasa politik muslim. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk
mengarahkan madrasah pada lapangan ilmu-ilmu agama yang lebih banyak
mendatangkan pahala, sementara itu penguasa politik tertentu atau motivasi murni
untuk menegakkan ortodoksi sunni, sering mendikte madrasah/ al-jami’ah untuk tetap
dalam kerangka ortodoksi (kerangka syariah).
Bertolak dari kenyataan sejarah tersebut, maka kemunduran peradapan Islam serta
kelatarbelakangan sains dan teknologi didunia Islam, disamping karena faktor dari
dalam diri umat Islam sendiri, yang kurang peduli terhahap kebebasan penalaran
intelektual dan kurang menghargai kajian rasional-impiris atau semangat
pengembangan ilmiah dan filosifis. Dengan kata lain, paradigma dikotomis dijadikan
sebagai titik tolak dalam pengembangan pendidikan.

2. Pendekatan Mekanisme
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia49, secara etimologi mechanism berarti:
hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau hal saling bekerja seperti mesin,
yang masing-masing bergerak sesuai dengan fungsinya. Paradigma mechanisme
memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai
penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing
bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas
beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan
fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi
atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas; nilai agama,
nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik, nilai
biofisik, dan lain lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah
satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainnya.
Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya kadang-kadang bersifat

49
Depdikbud RI,Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta:Balai Pustaka, 1996

70
horizonlateral (indenpendent) atau bersifat lateral-sekuensial, tetapi tidak sampai
kepada vertikal linier.
Relasi yang bersifat horizontal lateral (indenpendent), mengandung arti bahwa
beberapa mata pelajaran yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan
sederajad yang independent, dan tidak saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat
lateral-sekuensial berarti diantara masing-masing mata pelajaran tersebut mempunyai
relasi sederajad yang bisa saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertikal-linier berarti
mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi,
sementara seperangkat mata pelajaran yang lain adalah termasuk pengembangan
nilai-nilai insani yang mempunyai relasi vertikel-linier dengan agama.
Dalam konteks tersebut, menurut pengamatan penulis, selama di sekolah-sekolah
masih ada proses sekularisasi ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dan
pengetahuan umum. Nilai-nilai keimanan dan ketakwaan seolah-olah hanya
merupakan bagian dari mata pelajaran pendidikan agama Islam, sementara mata
pelajaran yang lain mengajarkan bidang ilmunya seolah-olah tidak ada hubungannya
dengan masalah nilai keimanan dan ketakwaan.
Paradigma tersebut tampak dikembangkan pada sekolah menengah umum yang
didalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan, salah
satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang hanya diberi 2 atau 3 jam
pelajaran per minggu, dan didudukkan sebagai mata pelajaran umum, yakni sebagai
upaya pembentukan keperibadian yang religius.
Kebijakan tentang PAI sebagai mata pelajaran umum, atau sebagai upaya
pembentukan keperibadian yang religius, adalah sangat prospektif dalam membangun
watak, moral, peradaban bangsa yang bermartabat. Namun demikian, dalam
realitasnya pendidikan agama Islam sering termarginalkan, bahkan guru PAI di
sekolah umum pun kadang-kadang terhambat kariernya untuk menggapai jabatan
fungsional tertinggi (guru besar)
Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu disekolah
umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para
guru agamanya mampu memandukan antara mata pelajaran agama dengan pelajaran

71
umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan pada sekolah umum yang cukup
puas hanya mengembangkan pola relasi horizontal-lateral (independent). Barangkali
kebijakan tersebut relatif mudah diimplimentasikan pada lembaga pendidikan yang
mengembangkan pola lateral-sekuesial. Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut
adalah para guru agama harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu-
ilmu umum, sebaliknya guru umum dituntut untuk mengusai ilmu-ilmu umum
(bidang keahliannya) dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan guru
dituntut untuk mampu menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan
hubungan antara keduanya.
Namun demikian kadang-kadang dirasakan adanya kesulitan, terutama ketika
berhadapan dengan dasar pemikiran yang berbeda, sehingga terjadi konflik antara
keduanya. Contoh sederhana adalah menyangkut asal usul manusia. Sains yang
diajarkan disekolah bertolak dari asal pemirikaran bahwa manusia berasal dari kera,
sementara pendidikan agama tidak demikian. Psikologi behavioristik bertolak dari
hasil penelitian terhadap sejumlah hewan untuk diterapkan kepada manusia,
sementara pendidikan agama dari hasil pemahaman terhadap wahyu (kitab suci). Ilmu
ekonomi bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang serakah
(kapitalisme), sehingga bagaimana seseorang yang memiliki modal sedikit tetapi
mampu menghasilkan keuntungan yang lebih besar, yang berbeda halnya dengan
pendidikan agama, demikian seterusnya.
Suasana tersebut kadang-kadang menimbulkan ketegangan pada diri peserta didik,
terutama jika kedua-duanya (baik pendidikan agama maupun pendidikan umum)
saling memaksakan kebenaran pandangannya. Agama memang bertolak dari
keimanan terhadap kebenaran wahyu ilahi, sedangkan ilmu pengetahuan bertolak dari
fenomena empiris. Dari sini peserta didik tampaknya diuji pandangannya. Ketika
pandangan agama mendominasi pemikirannya, kadang-kadang ada kecenderungan
untuk bersikap pasif dan statis atau fatalistik, sedangkan bila ilmu pengetahuan
mendominasi pemikirannya, maka ada kecenderungan untuk bersikap split of
personality. Jangan-jangan munculnya budaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)
antara lain sebagai akibat dari pengembangan pendidikan agama Islam yang

72
menggunakan paradigma Mechanism tersebut, terutama yang menerapkan pola relasi
horozontal-lateral (independent) dan lateral-sekuinsial.
3. Pendekatan Organisme
Meminjam istilah Biologi, organism dapat berarti susunan yang bersistem dari
berbagai bagian jasad hidup untuk suatu tujuan, 50. Dalam konteks pendidikan Islam
paradigma organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan
merupakan suatu sistem yang terdiri atas dari komponen-komponen bersama dan
bekerjasama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang
religius atau dijiwai oleh ajaran nilai-nilai agama.
Pandangan semacam itu menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang
dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental values yang tetuang dan yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah Shahihah sebagai sumber pokok. Ajaran
dan nilai-nilai ilahi/ agama/ wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak,
sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukan sebagai nilai-nilai insani yang
mempunyai hubungan vertikal-linier dengan nilai Ilahi/agama.
Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan diharapkan dapat
mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta
mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu
pengetahaun, teknologi dan seni, memiliki kematanag profesional, dan sekaligus
hidup didalam nilai-nilai agama.
Paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistem
pendidikan dimadrasah, yang dikdeklarasikan sebagai sekolah umum yang berciri
khas agama Islam. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan
tiga kepentingan utama, yaitu: (1) sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik
hidup ke Islaman; (2) memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah
sederajad dengan sistem sekolah, sebagai wahana pembinaan warga negara yang
cerdas, berpengetahuan, berkeperibadian serta produktif; dan (3) mampu merespons

50
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1996

73
tuntutan-tuntutan masa depan, dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki
kesiapan memasuki era globalisasi, industralisasi maupun era informasi.51
Secara konseptual-teoretis pendidikan agama di Sekolah berfungsi sebagai:
1) Pengembangan iman dan ketakwaan kepada Allah Swt. Serta akhlak mulia
peserta didik seoptimal mungkin;
2) Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup
didunia dan diakhirat;
3) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial;
4) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam
keyakinan, pengalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari;
5) Pencegahan dari hal-hal negatif budaya asing yang dihadapinya sehari-hari;
6) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan
non-nyata), sistem dan fungsionalnya; dan
7) Penyaluran untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang
lebih tinggi.
PAI disekolah umum, menurut keputusan Dirjin Dikti Depdiknas RI Nomor:
38/DIKTI/Kep/2002 tentang rambu-rambu mata pelajaran pengembangan
keperibadian di sekolah menengah umum, merupakan salah satu mata pelajaran
kelompok pengembangan keperibadian, visi mata pelajaran ini menjadi sumber nilai
dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan peserta didik
mengembangkan keperibadiannya. Sedangkan misinya adalah membantu peserta
didik agar mampu mewujudkan nilai besar agama dalam menerapkan ilmu
pengetahuan teknologi dan seni yang dikuasainya dengan rasa tanggung jawab
kemanusiaan
Dilihat dari fungsi PAI di sekolah serta visi dan misi PAI disekolah tersebut, maka
secara konseptual-teoretis PAI disekolah dikembangkan ke arah paradigma
organisme atau sistemik, yang ingin menjadikan PAI sebagai sumber nilai dan
pedoman bagi peserta didik untuk mencapai kebahagiaan hidup didunia dan diakhirat,

51
Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan ,1998, hal 54

74
serta bagi penyelenggaraan program studi sekolah umum dan membantu peserta didik
agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni. Namun demikian, realitasnya dilapangan menunjukkan bahwa
pada umumnya PAI disekolah umum dikembangkan dengan menggunakan
paradigma dikotomis atau mekanisme, dan jarang menggunakan paradigma
organisme atau sistemik52. Hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pendidikan
agama Islam di sekolah umum/madrasah.
Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam disekolah menengah umum
tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti cukup puas dengan pola horizontal-lateral
(independent), yakni bidang studi (non-agama) kadang-kadang berdiri sendiri tanpa
dikonsultasikan dan berintraksi dengan nilai-nilai agama, dan ada yang
mengembangkan pola relasi lateral-sekuensial, yakni bidang studi (non-agama)
dikonsultasikan dengan nilai-nilai agama. Ada pula yang mengembangkan pola
vertikel-linier, mendudukan agama sebagai sumber nilai atas sumber konsultasi dari
berbagai bidang studi. Namun demikian, pada umumnya dikembangkan ke pola
horizontal-lateral (independent), kecuali bagi lembaga pendidikan tertentu yang
memiliki komitmen, kemampuan, atau political will dalam mewjudkan
relasi/hubungan lateal-sekuensial dan vertikal-linier.
Menurut Tilar,53 bahwa penelitian, pemikiran dan gagasan-gagasan dari para ahli
yang terpisah-pisah (horozontal-lateral/independent) atau tidak bertolak belakang
dari paradigma organisme tersebut, dapat berbahaya dalam eksistensi kehidupan
manusia. Hal ini dapat dilihat dari bahaya praktik bio-teknologi kloning terhadap
manusia. Tetapi hal ini merupakan indikasi perlunya seseorang berhati-hati di dalam
pengembangan ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai-nilai agama. Karena itu
sekolah menengah umum masa depan perlu dikembangkan ke arah integrasi nilai-

52
Tim STAIN, Hasil Penelitian Evaluasi Pelaksanaan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi
Umum. Malang: STAIN, 2003
53
Tilaar, H.A.R.,Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Tera
Indonesia, 1998, hal 76

75
nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik yang merupakan karakteristik dari
masyarakat madani di era global.
Paradigma organisme atau sistemik ini dapat dilakukan apabila para guru
memahami keterkaitan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dengan mata
pelajaran/bidang studi yang dibinanya. Dalam konteks ini ada dua permasalahan yang
dihadapi para guru, yaitu: (1) para guru dan guru harus melek (menguasai) bidang
ilmunya; dan (2) para guru/guru harus mampu menerjemahkan bidang ilmu tersebut
dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang terkandung dalam ajaran agama
Islam. Paradigma tersebut seyogyanya berjalan secara alamiah, tidak melalui proses
yang mengada-ada. Sebab, dalam kenyataan ada beberapa konsep ilmu pengetahuan
yang tidak bisa diterjemahkan kedalam nilai-nilai tersebut. Melalui paradigma
tersebut bukan berarti pokok bahasan harus di legalkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an
dan Al-Hadits, melainkan dari setiap pokok bahasan tersebut diambil hikmah yang
dapat diambil peserta didik bagi kehidupan (nilai spritual)-Nya.
Dengan demikian, diperlukan upaya spiritualisasi pendidikan dalam pembelajaran
atau berupaya menginternaliasi nilai-nilai atau spirit. Agama melalui proses
pendidikan ke dalam seluruh aspek pendidikan di sekolah-sekolah menengah umum.
Hal ini dimaksud untuk memadukan nilai-nilai sains dan teknologi serta seni dengan
keyakinan dan kesalehan dalam diri peserta didik. Ketika belajar biologi misalnya,
maka pada waktu yang sama diharapkan pelajaran itu dapat meningkatkan
keyakinannya kepada Allah, karena didalam ajaran agama diterangkan bahwa
Tuhanlah yang telah menciptakan keanekaragaman di muka bumi ini dan semuanya
tunduk pada hukum-Nya.
Berbagai krisis multidimensional yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia
memang tidak bisa hanya dilihat dan diatasi melalui pendekatan mono dimensional.
Namun demikian, karena segala krisis tersebut berpangkal dari krisis akhlak atau
moral, maka pendidikan agama dipandang sebagai masalah yang sangat vital dalam
membangun watak dan peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk itu, diperlukan
pengembangan pendidkan agama yang lebih kondusif dan prospektif terutama di
sekolah menengah umum. Paradigma pengembangannya perlu direkontruksi, dari

76
paradigma yang bersifat dikotomi dan mekanisme ke arah paradigma organisme atau
sistemik. Hanya saja untuk merombak paradigma tersebut diperlukan kemampuan
guru PAI dan political will dari para pengambil kebijakan, termasuk di dalamnya para
pimpinan lembaga pendidikan itu sendiri.

G. Sasaran Pembelajaran Pendidikan Agama Islam


Pembelajaran yang baik mempunyai sasaran-sasaran yang seharusnya berfokus
pada hal-hal sebagai berikut ini..
1. Meningkatkan kualitas berpikir (qualities of mind) yaitu berpikir dengan efisien,
konstruktif, mampu melakukan judmen (judgment) dan kearifan (wisdom).
Wisdom dapat diperoleh dan pengalaman-pengalaman guru, teman diskusi atau
manajer-manajer yang sudah berpengalaman. Pendidikan yang baik
menggandengkan pengalaman-pengalaman masa lalu dengan pengalaman-
pengalaman sekarang yang akan digunakan bersama-sama untuk mengantisipasi
keadaan masa depan. Proses belajar harus menekankan pada pengembangan
pemahaman, judmen, pengalaman-pengalaman dan bahkan intuisi.
2. Meningkatkan attitude of mind, yaitu menekankan pada keingintahuan (curiosity),
aspirasi-aspirasi dan pertemuan-penemuan. Pembelajaran juga merupakan suatu
kegiatan “seni” untuk mendorong orang untuk menemukan sesuatu (discovery
process).
3. Meningkatkan kualitas personal (qualities of person) yaitu karakter (character),
sensitivitas (sensitivity), integritas (integrity), tanggungjawab (responsibility).
4. Meningkatkan kemampuan untuk menerapkan konsep-konsep dan pengetahuan-
pengetahuan di situasi spesifik.54

E. Komponen Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam


1. Tujuan Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Dalam pendidikan formal ada suatu istilah yang sering digunakan oleh pakar
pendidikan untuk menyebut bagian-bagain dalam keseluruhan aktifitas pendidikan

54
Jagiyanto, Op Cit, hal 20

77
yaitu komponen pendidikan. Namun mereka tidak sepakat menyebut jumlah
komponen yang dimaksud.
Hasil studi Ahmad Tafsir,55 menyimpulkan bahwa yang disepakati sebagai
komponen pendidikan formal adalah tujuan pendidikan, pendidik, anak didik, dan alat
pendidikan yang meliputi materi, metode dan evaluasi. Untuk menentukan jumlah
komponen pendidikan dalam studi ini merujuk pada hasil studi diatas.
Pendidikan agama Islam bertujuan meningkatkan keimanan, pemahaman,
penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi
manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia
dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.56
PAI di sekolah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman,
penghayatan dan pengamalan siswa tentang agama Islam sehingga menjadi muslim
yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan
pada jenjang yang lebih tinggi.
Tujuan yang diharapkan dalam mengembangkan PAI adalah (1) menanamkan
nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2)
menanamkan nilai-nilai budaya pada umumnya, (3) mengembangkan kepribadian, (4)
mengembangkan kepekaan rasa, (5) mengembangkan bakat, (6) mengembangkan
minat belajar, (7) meningkatkan budi pekerti yang luhur sesuai dengan agama dan
keyakinannya.
Secara lebih tegas dan mendalam Dahlan, M.D memberikan penjelasan tentang
tujuan pendidikan agama Islam yang tidak jauh dari tujuan dienul Islam itu sendiri,
yakni agar peserta didik menjadi umat yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah Saw dalam melaksanakan kehidupan dan penghidupan agar

55
Ahmad Tafsir, Sistem Pendidikan Muhammadiyah. Disertasi S3 Program Doktoral IAIN
Jakart 1987, tidak diterbitkan, hal.29.
56
Depdiknas RI. Kurikulum Sekolah Menengah Atas. Gari-Garis Besar Program
Pendidikan. Jakarata: Depdiknas, 1999, hal.15.

78
mencapai kebahagiaan dan keselamatan hidup baik lahiriah maupun batiniah di dunia
dan di akhirat.57 Jadi PAI di sini memiliki tujuan yaitu:
1) Agar peserta didik dapat mengatasi keterbatasan dirinya,
2) Memberi santapan rohani,
3) Memenuhi tuntutan fitrah manusia,
4) Mencapai kebahagian dan keselamatan,
5) Memelihara ketinggian martabat sebagai manusia,
6) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai kebenaran mutlak,
7) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai sumber moral,
8) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai sumber prinsip hidup,
9) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai sumber hokum,
10) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai sumber informasi dan metafisika,
11) Memberikan keyakinan bahwa islam sebagai sumber inspirasi dan ilmu
pengetahuan.

Di sekolah pada umumnya pendidikan lebih cenderung mengajarkan pengetahuan,


keterampilan, kesehatan jasmani, kemandirian dan rasa tanggung jawab
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan yang dilaksanakan kurang dan
jarang terpadu dengan pembinaan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang nanti wujudnya akan sampai pada tercapainya perilaku budi pekerti yang luhur.
Berbagai pihak menyatakan bahwa pendidikan telah menyimpang dari tujuan
semestinya. Pengertian pendidikan telah diperkecil dengan “persekolahan” yang
kemudian diperkecil lagi dengan “pengajaran”, untuk selanjutnya diperkecil dengan
“pengajar di kelas” dan makin diperkecil lagi menjadi penyampaian materi
kurikulum. Untuk selanjutnya berakhir dengan mempersiapkan diri pada Ujian Akhir
Nasional (UAN). Akibatnya pendidikan telah berorientasi pada suatu hal yang sangat
sempit, berpusat pada aspek-aspek kognitif dan intelektual sehingga pendidikan tidak
mampu menghasilkan kepribadian yang utuh, bahkan untuk membina imtak yang ada
pada siswa sangat sulit dilaksanakan.

57
Dahlan , M.D. Model-model Mengajar, Bandung: CV.Diponegoro, 1994. hal.6-10.

79
Tujuan pendidikan menurut ajaran agama Islam adalah membimbing menjadi
individu menjadi “khalifah fil ardh”. Dikemukakan oleh Muhaimin dan Mujib bahwa
tujuan manusia diciptakan adalah untuk mengabdi kepada Alllah Swt dengan indikasi
tugasnya berupa ibadah kepada Allah Swt.58
Semua pihak yang peduli terhadap pendidikan mengembalikan praktik pendidikan
sesuai dengan tujuan yang dicanangkan. Pendidikan yang telah diperkecil dan
dipersempit, dikembangkan kembali menjadi pendidikan yang dapat membina dan
membimbing siswa dalam pengembangan berbagai potensi yang dimilikinya. Untuk
mengembangkan tugas-tugas sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah fil ardh.
Pendidikan yang mampu mengembangkan dan membina perwujudan diri siswa
secara optimal sesuai dengan tuntunan Allah Swt.
Selanjutnya dikemukakan oleh Muhaimin dan Mujib bahwa Tujuan pembelajaran
PAI harus berorientasi pada hakikat pendidikan yaitu seperti berikut ini.
1. Tujuan dan tugas hidup manusia, manusia diciptakan untuk membawa tujuan dan
tugas hidup tertentu. Tujuan hidup manusia untuk beribadah kepada Allah Swt,
dan bertugas sebagai pemimpin di muka bumi sebagai khalifah fil ardh Hal ini
sesuai dengan firman Allah Swt yang berbunyi:
“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam”.
2. Sifat-sifat dasar (nature) manusia, yaitu konsep tentang manusia yang diciptakan
sebagai khalifah di muka bumi (QS. 51: 56). Penciptaan itu dibekali dengan
berbagai macam fitrah yang berkecenderungan pada alternatif (rindu akan
kebenaran dari tuhan) berupa agama Islam (QS.18:19) sebatas kemampuan dan
kapasitas ukuran yang ada.
3. Tuntutan masyarakat, untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang telah
melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat maupun pemenuhan terhadap
tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan tuntutan dunia
modern.

58
Muhaimin dan A. Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, hal. 153-154.

80
4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam, mengandung nilai yang dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia sedunia untuk mengelola dan
memanfaatkan dunia sebagai bekal kesejahteraan hidup di akhirat, serta
mengandung nilai-nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan, sehingga manusia dituntut agar
tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki.59

Tujuan pembelajaran PAI ini merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan dalam
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yaitu
“ Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab”. 60
Beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang maha Esa dalam rumusan tujuan
pendidikan nasional di atas menunjukkan bahwa pendidikan agama diharapkan
memberikan kontribusi positif terhadap usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Karena keimanan dan ketakwaan hanya dapat terbina secara sempurna melalui
pendidikan dan pengajaran agama Islam. Karena itu PAI mempunyai peran penting
dalam sistem pendidikan nasional.
Sejalan dengan uraian di muka Dahlan mengemukakan makna pendidikan Islam
sebagai berikut, yaitu:
“…bahwa pendidikan agama Islam merupakan penataan individual dan sosial
yang dapat menyebabkan seseorang tunduk, taat pada Islam dan
menerapkannya secara sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Untuk merealisasikannya dituntut komunikasi, mengakui adanya inisiatif,
aktivitas, dan kreativitas terdidik yang masih perlu bantuan dan arahan, agar
tidak menyimpang dari tujuan yang diharapkan. Sedangkan tugas yang
diembannya menyiratkan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi”. 61

59
Ibid , hal. 153-154.
60
Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kumpulan Undang-undang tentang Pendidikan
kompilasi oleh Afnil Guza. Jakarta: Asa mandiri.
61
Dahlan M.D. Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi
Akhlak Al-Qur’an di Musabaqah Al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19 Rajab
/26 September Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002. hal.5.

81
Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa melalui Tujuan pembelajaran PAI
manusia diharapkan selalu bersih untuk mencapai taraf makhluk yang tertinggi,
makhluk termulia, sebagai khalifah fil ardh, agar mendapat ridho Allah SWT.
Sehingga tercapai kebahagian hidup di dunia dan kehidupan di akhirat nanti. Di
samping itu manusia tidak boleh lupa bahwa segala sesuatu yang diperolehnya adalah
atas petunjuk serta atas izin Allah SWT. Dengan hasil pendidikan yang dijalani
manusia dapat berusaha mencapai tujuan hidupnya yang hakiki sesuai dengan ajaran
agama Islam.

2. Materi Pendidikan Agama Islam di Sekolah


Perspektif ini diawali dari peristiwa diturunkannya Al Quran yang terbagi pada
dua priode. Pertama di Mekkah dengan turunnya 93 surat dengan lama waktu 12
tahun 5 bulan 21 hari. Pokok-pokok ajaran pada periode Makiyyah ini berkenaan
dengan keimanan, shalat, dan akhlak. Kedua di Madinah, dengan jumlah surat Al
Quran sebanyak 22 surat. Ajarannya bukan saja mencakup keimanan tetapi juga
meliputi muamalah-sosial. Ahmad Tafsir62 mengelompokkan materi pendidikan Nabi
Saw di Madinah terdiri atas (1) membaca Al-Quran, (2) keimanan/rukun iman, (3)
ibadah/rukun Islam, (4) akhlak, (5) dasar ekonomi, (6) dasar politik, (7) olahraga
kesehatan, dan (8) membaca dan menulis. Lebih lanjut Tafsir mengatakan bahwa ada
tiga kelompok bahan ajar yang tercakup dalam kurikulum pendidikan Islam yakni
pendidikan untuk kesehatan jasmani agar sehat dan kuat, kecerdasan otak seperti
logika dan sains, dan pendidikan hati untuk penguat keimanan.
Secara lebih sistemtis Hasan bin Ali Hijazi (dalam Anshari)63 menguraikan
cakupan materi pendidikan Islam, yaitu:

62
Tafsir, Ahmad. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Rosda Karya (1992)
hal.59
63
Anshari, E.S. Kuliah Al Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Rajawali, 1986) hal. 99.

82
1. Tarbiyah Imaniyah
Yaitu pendidikan yang bertujuan untuk (1) menghambakan manusia hanya kepada
Allah, (2) mewujudkan pribadi muslim yang beriman dengan komitmen amaliyah
yang tinggi, (3) ‘ubudiyah yang dilakukan berdasarkan ‘uluhiyah dengan dasar
kecintaan dan ketundukan yang sempurna, (4) menjaga hati dari segala hal yang
menyebabkan kemusyrikan. Sarana yang dibutuhkan dalam tarbiyah imaniyah
adalah sarana peningkatan, sarana preventif, dan sarana kuratif. Sarana
peningkatan dilakukan melalui tadabur atas tanda-tanda kekuasaan yang disertai
luasnya rahmat Allah dan hikmah dari setiap kehendak Allah, mengingat akan
kematian, dan mendalami makna ibadah yang dilakukan. Sarana preventif, yakni
menjaga komitmen, keyakinan, ucapan dan perbuatan, melatih menahan diri dari
berbagai kemaksiatan dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang, serta
berlatih untuk berbuat sabar. Sarana kuratif, yakni melatih diri dari perbuatan lalai
(ghaflah) dan melakukan taubat atas perbuatan dosa.
2. Tarbiyah Ruhiyah
Yakni pendidikan yang bertujuan untuk mendidik keseimbangan dalam diri
manusia antara kekuatan jiwa dan jasad. Kedua kekuatan ini harus dibangun
secara tepat agar melahirkan harmonisasi kehidupan manusia. Sarana dalam
pendidikan ruhiyah ini meliputi pendalaman atas keimanan akan hal-hal gaib,
adanya surga dan neraka, termasuk keyakinan bahwa nilai-nilai kesurgaan dan
kenerakaan terasa semenjak manusia berada di alam djunia fana ini. Kemampuan
memahami hakikat dari apa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi
suatu kekuatan besar untuk pendidikan ruhiyah.
3. Tarbiyah Fikriyah
Yakni pendidikan yang melatih pendidikan akal agar tunduk pada ketentuan Allah
secara ikhlas. Pendidikan fikriyah meliputi tafakur, yakni merenungkan sesuatu
yang sedang difikirkan agar menghadirkan keimanan: nadzara, yaitu melihat
dengan mata, ta’amul yaitu mengamati untuk memperoleh keyakinan yang hakiki,
i’tibar, yakni berfikir melampaui apa yang sedang dipikirkan sehingga
menemukan kebenaran di balik setiap pikirannya.

83
4. Tarbiyah Athfiyah
Yakni pendidikan yang mampu melatih perasaan agar berjalan secra proporsional.
Dalam diri manusia terdiri atas instink (gharizah), perasaan sedih (al-huzn),
perasaan takut (al-khauf), rasa gembira (al-farah), nafsu amarah (al-ghadhab),
dan rasa cinta (al-mahabbah). Semua potensi perasaan ini perlu mendapatkan
pendidikan yang tepat agar potensi-potensi perasaan bergerak pada naluri
dasarnya, yani berjlan pada titik kebenaran yang hakiki.
5. Tarbiyah Khuluqiyah
Pendidikan untuk melatih sesorang agar berakhlak mulia, memiliki kebiasaan
terpuji dan tertanam dalam pribadi seseorang secara mendalam, sehingga menjadi
sistem nilai yang terinternalisasi dan terindividuasi. Contoh tarbiyah khuluqiyah
adalah sabar, syukur, memiliki keberanian, dan medahulukan kepentingan orang
lain.
6. Tarbiyah Ijtima’iyah
Pendidikan untuk melatih seseorang agar memiliki kepedulian dan kecerdasan
sosial yang tinggi. Bentuk kecerdasan sosial dapat berupa saling mencintai
sesama. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kamu, sehingga ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari).

Kecerdasan sosial dapat dilakukan melalui rumah, lingkungan masyarakat,


sekolah, dan pergaulan sehari-hari sebagai laboratorium sosial. Setiap individu dapat
memiliki kecerdasan dan kesalehan sosial apabila dilatih secara tepat dan
berkesinambungan.
7. Tarbiyah Badaniyah
Pendidikan badan (jasmani sama pentingnya dengan pendidikan ruhani. Sebuah
Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad menyebutkan bahwa “Orang mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang
lemah”. Mengingat pendidikan jasmani sangat penting maka pemeliharaan,
perawatan dan penjagaan terhadap kondisi fisik menjadi sebuah kebutuhan dan
keharusan. Sedangkan menjaga dari sebab-sebab yang bisa berakibat pada sakit,

84
rusak, atau lemahnya fisik menajdi keniscayaan. Untuk itu mengatur makanan
dan minuman dalam jumlah yang tepat, waktu yang tepat, dan memilikih jenis
makanan yang sesuai merupakan salah satu bentuk memelihara keadaaan fisik
agar tetap sehat dan kuat. Oleh karena itu makanan yang berlebihan, tidak teratur
bahkan tidak memperhatikan kehalalannya, merupakan pengrusakan terhadap
fisik yang bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Allah Swt berfirman dlam
QS. Al-A’raf: 31, yang artinya: “Makan dan minumlah kalian dan jangan
berlebihan”.

Menilik uraian tentang materi pendidikan Islam, maka dapat disimak bahwa ada
tiga unsur yang perlu dijadikan perhatian dalam penyusunan materi PAI di sekolah
yaitu (1) kebutuhan (need) siswa, setidak-tidaknya memenuhi harapan mereka bagi
pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya, (2) standar mutu akademik
sebagai suatu pengajaran sesuai dengan tingkat pendidikannya, (3) keseimbangan
antara isi dan proses pembelajaran.
Berdasarkan pertimbangan ketiga unsur tersebut maka penyusunan materi PAI di
sekolah hendaknya diarahkan pada aspek-aspek berikut. Pertama, pemahaman
tentang nilai-nilai dasar Islam yang menjadi landasan untuk pembentukan dan
perkembangan seluruh aspek kepribadian siswa. Menurut Zakiah Daradjat,64 ada
empat nilai dasar yang harus ditanamkan kepada murid melalui materi PAI termasuk
di sekolah yaitu :
1) Nilai material, yaitu sejumlah pengetahuan tentang agama Islam yang
bersangkutan. Penambahan pengetahuan itu berlangsung melalui peneriman siswa
baru di kelas sesuai dengan tingkat dan jenjang pendidikan masing-masing,
2) Nilai formal, yaitu nilai pembentukan pribadi yang bersangkutan dengan daya
serap peserta didik atas segala bahan yang selalu diterimanya. Hal itu berarti
sejauh manakah daya serap sisiwa sehingga ia mampu dengan tenaganya sendiri
membentuk kepribadian yang utuh, kokoh dan tahan uji. Semua itu merupakan
kerja mental sebagai reaksi atas pengaruh yang diterimanaya dan melalui

64
Zakiah Daradjat. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: Bumi Aksara,1995,hal 192

85
pengalaman kejiwaan terjadi pembentukan rohani yang menjadi ciri kepribadian
seseorang.
3) Nilai fungsional, yaitu bahan ajar yang relevan dengan kebutuhan siswa dalam
kehidupan sehari-hari. Jika bahan ajar itu mengandung kegunaan - artinya sesuai
dengan kebutuhan peserta didik atau berfungsi dalam kehidupan sehari-hari -
maka nilai tersebut mengandung nilai fungsional,
4) Nilai esensial, yaitu nilai hakiki. Agama mengajarkan bahwa kehidupan yang
hakiki atau hidupan yang sebenarnya itu berlangsung di alam baqa (akhirat). Jadi
kehidupan itu tidak terhenti sampai kematian di dunia saja melainkan kehidupan
itu terus berlanjut sampai akhirat.
Kedua, pemahaman tentang hakikat hidup dan kehidupan manusia dalam
kaitannya dengan fungsi manusia sebagai hamba Allah Swt dan khalifah Allah di
muka bumi. Hal ini sangat penting disampaikan untuk membina tanggung jawab
siswa dalam melaksanakannya. PAI harus mampu menjelaskan secara rasioanal
kepada murid bahwa segala amal perbuatan manusia akan diminta pertanggung
jawaban dihadapan Allah Swt. Penanaman keyakinan seperti ini hendaknya dijadikan
materi pokok PAI.
Ketiga, pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar Islam (rukun iman dan rukun
Islam), dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang bernuansa
sekuler (modern). Salah satu bentuk aktualisasi adalah menjelaskan manfaat dibalik
penetapan hukum-hukum Islam yang Allah Swt turunkan. Menurut Qurais Shihab65
materi PAI di sekolah hendaknya disajikan dengan menjelaskan hikmatu al-tasyri’-
nya, yaitu pada hikmah dibalik ketentuan-ketentuan hukum Allah itu. Hal ini
diusahakan dengan tujuan agar siswa dapat memahami dan menghayati sebab dan
manfaat yang diperoleh. Tentu saja setelah materi-materi yang disajikan itu
dipertimbangkan dan disajikan sesuai dengan usia dan perkembangan kepribadian
siswa.

65
Qurais Shihab. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan,1996, hal 185

86
Merujuk pendapat Abu Hali Mahmud dalam kitab Al-Islam Aqidah wa
66
Syari’ah, dapat disimpulkan bahwa materi tentang aqidah (teologi) tidak lagi
sepenuhnya relevan untuk memberi “pencerahan” pada kondisi masa kini. Hal ini
karena materi-materi tersebut ditransfer secara utuh dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Sedangkan penulisan pertama kalinya dipengaruhi oleh situasi sosial
politik ketika itu, yang tergambar dalam superioritas pemerintah dinasti-dinasti yang
“mewakili” umat Islam dan pertikaian kelompok-kelompok tertentu yang
menganggap bahwa mereka yang tidak sealiran dengan teologi yang mereka percayai,
adalah kafir. Bahkan hanya perbedaan furu’iah dalam mazhab fiqih yang dianggap
menyimpang dari ajaran Islam, dan mereka dianggap bukan muslim. Untuk kondisi
saat ini hanya mengajarkan materi tersebut kuranglah relevan, namun perlu
pengayaan yang disesuaikan dengan kondisi dan semangat zaman (zietgeizt).
Dalam materi syari’ah seperti bersuci, puasa, shalat, dan zakat, dan haji
merupakan materi-materi yang harus disampaikan sedini mungkin. Sedangkan untuk
tingkat siswa apalagi di sekolah seyogyanya menonjolkan hikmah al-tasyri’ artinya
apa manfaat yang terkandung dibalik penetapan suatu hukum keagamaan bagi
kehidupan manusia.
Keempat, pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan dalam
ajaran Islam. Materi PAI di sekolah harus berkaitan erat dengan disiplin ilmu yang
dikembangkan lembaga pendidikan tempat berlangsungnya proses belajar mengajar
PAI itu sendiri. Ini amat mungkin, sebab baik dilihat dari sudut kenyakinan maupun
kenyataan, suatu hal yang mustahil terjadi tabrakan antara apa yang dinyatakan
wahyu Allah dengan apa yang diperbuat Allah Swt pada alam ini. Karena wahyu
Allah maupun alam sama-sama ciptaan-Nya di alam ini. Jadi mustahil antara kedua
ciptaan Allah itu terjadi pertentangan antara satu dengan yang lainnya. Keterpaduan
dan kesinambungan materi PAI bersifat normatif Qur’aniah dengan disiplin ilmu
yang bersifat fungsional-kauniyah merupakan prinsip dalam pengembangan materi
PAI di sekolah.

66
Zakiah Daradjat. Metodik Khusus Pendidikan Agama, hal. 195.

87
Dalam konteks pembelajaran di kelas materi-materi PAI di sekolah telah disusun
sedemikian rupa dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang secara
substansional mencakup materi Akidah Akhlak, Al-Qur’an, Hadits dan Fiqh, serta
Sejarah Kebudayaan Islam. Materi-materi tersebut dikembangkan dengan tetap
mengacu pada tujuan dan pendekatan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.
3. Metode Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Metodologi pengajaran merupakan salah satu komponen penting yang perlu
mendapatkan perhatian dalam pembelajaran PAI di sekolah. Pembelajaran PAI tidak
hanya diarahkan pada pengembangan kognitif siswa dan pengalihan ajaran Islam
semata, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana agar ”daya jiwa” peserta
didik dapat berfungsi secara maksimal untuk merubah watak yang jelek mencapai
kesempurnaannya yaitu manusia yang berakhlak mulia. Menurut Ibnu Miskawaih67
“daya jiwa” bermakna bahwa jiwa manusia memiliki daya. Daya jiwa yang dimaksud
dapat dibagi ke dalam tiga bagian yaitu:
a) Jiwa Rasional (al-nafs al-natikah) yang memiliki daya berpikir (al-aqlu al-
natiqah) yang disebutnya jiwa atau raja (al-malakiyah). Ini merupakan fungsi
jiwa tertinggi, memiliki kekuatan berpikir dan melihat fakta. Alat yang
dipergunakannya dalam jasmani adalah otak.
b) Jiwa apetitif atau binatang buas (al-nafsu sabu’iyah) yang memilki daya marah
(al-quwwah al-ghadabiyah) yaitu keberanian menghadapi resiko, ambisi
terhadap kekuasaan, kedudukan dan kehormatan. Alat yang digunakannya dalam
badan adalah hati (al-qolbu)
c) Jiwa binatang (al-nafsu al-bahamiyah) dengan daya gairah atau nafsu (al-quah al-
syahwiyah) yaitu daya hewani yang berkehendak kepada hal-hal seperti dorongan
untuk makan, minum, kelezatan seksualitas dan segala macam kenikmatan
indrawi (al-ladzaah al-hissyah) dan alat dipergunakannya dalam tubuh manusia
adalah jantung.

67
Ibnu Miskawaih. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Bandung: Mizan. 1997, hal 35-43. (Buku
Aslinya Berjudul Tahdzib al-Akhlak).

88
Lebih lanjut Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa ketiga daya jiwa tersebut
berbeda-beda kekuatan dan kapasitasnya pada setiap orang. Jika berkembang salah
satunya akan dapat merusak yang lainnya atau meniadakan aktivitasnya. Namun
terkadang ketiganya dianggap sebagai tiga jiwa dan terkadang dianggap sebagai tiga
daya atau fakultas dari satu jiwa. Ditegaskannya pula bahwa ketiga daya atau
kekuatan jiwa ini masing-masing bisa menjadi kuat atau lemah tergantung kepada
temperamen, kebiasaan dan pendidikannya.
Selanjutnya dengan pandangannya tentang manusia sebagaimana telah
dikemukakan di atas bahwa manusia yang paling sempurna dan paling mulia adalah
manusia yang paling besar dan unggul jiwa rasionalnya ( intelektualnya) dan dalam
hidupnya selalu setuju dan cenderung mengikuti jiwa ini. Manusia yang dikuasai oleh
kedua jiwa lainnya (sabu’iyah dan bahimiyah) maka akan turun derajatnya sesuai
dengan jiwa yang lebih kuat dominasinya, menjadi manusia buas atau manusia
syahwat yang menjadikannya seperti binatang.
Dalam pembahasan tentang jiwa, Ibnu Miskawaih banyak mengkaitkannya
dengan akhlak seperti juga terlihat dalam definisinya tentang akhlak. Baginya akhlak
adalah keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
dipikirkan dan dipertimbangkan sebelumnya. Dengan kata lain akhlak merupakan
keadaan jiwa yang mendorong lahirnya aktivitas-aktivitas secara spontan. Keadaan
jiwa itu dapat berupa naluri atau fitrah manusia sejak lahir dan dapat pula merupakan
hasil latihan pembiasaan.
Dari uraian di atas diperoleh pengertian bahwa sikap mental yang mendorong
manusia melahirkan aktivitas-aktivitas secara spontan bisa berasal dari naluri atau
fitrah dan bisa juga lewat latihan dan pembiasaan. Maskawaih menolak anggapan
bahwa akhlak itu tidak dapat diperbaiki atau diubah. Melalui latihan dan pembiasaan
manusia dapat mengubah watak kejiwaan, yang tidak baik menjadi baik. Manusia
mempunyai karakter yang berbeda-beda dan karakter yang bermacam-macam. Hal ini
dapat dibuktikan melalui proses pembinaan dan pengembangan watak. Seorang anak
dapat tumbuh dan berkembang wataknya karena pengaruh lingkungan alam, budaya
sosial, dan pendidikan yang diterimanya.

89
Dengan penolakan Ibnu Miskawaih terhadap pendapat yang mengatakan bahwa
akhlak itu tidak dapat diperbaiki karena sudah merupakan karakter atau watak
seseorang, maka nampak jelas bahwa Ibnu Miskawaih mendasarkan argumentasi
secara jelas dan gamblang, yaitu watak atau karakter manusia itu sesungguhnya dapat
diubah dan dipengaruhi melalui suatu proses terencana dan simultan. Proses yang
mempengaruhi watak itu disebut upaya pendidikan.68 Perubahan watak itu tidak
mungkin terjadi seketika karena hal ini merupakan proses alamiah. Keberhasilan dari
suatu proses pendidikan itupun bukanlah suatu jaminan instant melainkan peraihan
melaui suatu proses dan usaha oleh manusia.
Upaya PAI di sekolah umum lebih diarahkan pada perubahan watak anak didik.
Untuk itu proses pembelajaran PAI tidak hanya tertuju pada pengawetan, pelestarian
dan pengalihan ajaran semata, namun lebih ditujukan pada ikhtiar mengembangkan
sikap beragama dan watak (karakter) peserta didik daripada menjadi agamawan atau
ahli dalam bidang agama. Oleh sebab itu pembelajarannya harus kaya dengan
metodologi.
Menurut Zakiah Daradjat dan Sukmadinata,69 ada tiga alasan pokok tentang
pentingnya metodologi dalam proses pembelajaran. Pertama, karena pembelajaran
tidak saja menunjuk kepada kedua komponen utama pendidik dan peserta didik, akan
tetapi ada aspek penting lainnya yaitu pendidik harus merancang pembelajaran
tersebut dari sudut pandang peserta didik. Kedua, tercakup dalam istilah
”pembelajaran” tersebut adalah pendidikan dan pengajaran serta dampak pengasuhan
(nurturent effect) atau dampak pengirim yang mengandung pengertian lebih luas dari
sekedar menyampaikan ilmu sebab dalam istilah pembelajaran justru segi pendidikan
(asuhannya) harus mengiringi kegiatan pembelajaran tersebut. Ketiga, perolehan
pembelajaran PAI secara umum diharapkan mampu mengantipasi dan beradaptasi
dengan era informasi dan globalisasi. Pengembangan metodologi PAI dapat

68
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 76
69
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 88 dan .Nana
Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung; PT Remaja
Rosdakarya, 1997, hal.123.

90
berpedoman dan berlandaskan pada pemahaman Islam secara utuh atau disebut
dengan pemahaman tentang dienul Islam secara “kaffah”.
Untuk membantu siswa agar sanggup mengubah sikapnya, maka materi-materi
PAI di sekolah disajikan dengan cara (metode) menemukan sendiri. Pengajaran perlu
diletakkan pada proses belajar tentang konsep-konsep ataupun kejadian dalam
lingkungannya masing-masing. Untuk itu diperlukan pendekatan integratif antara
komponen-komponen sistem PAI itu sendiri.
Untuk mengintegrasikan ketiga komponen sistem pembelajaran PAI, para
pengelola perlu mengklasifikasikan materi-materi PAI kedalam tiga kelompok, yaitu
(a) materi tentang dasar keislaman dan implimentasinya, (b) materi tentang
pengembangan wawasan pemikiran keislaman, (c) materi tentang integrasi nilai-nilai
keislaman ke dalam bidang studi siswa.
Menurut J. Riberu,70 penghayatan dan pengamalan materi dengan pembelajaran
agama atau “pengendapan nilai” bagi peserta didik dapat dilakukan secara realistis
dalam praktek kehidupan keseharian. Di samping pengalaman ini akan memberikan
keasyikan tersendiri bagi siswa, pengalaman ini juga diperlukan sebagai jembatan
menuju titik tolak yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional,
sosial dan fisik dalam pembelajaran serta sekaligus merupakan usaha melihat konteks
permasalahan yang diperolehnya.
Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar PAI di kelas seorang guru juga dapat
mempertimbangkan berbagai metode pembelajaran yang lazim dipakai dalam PAI.
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi metode-metode PAI tersebut adalah:71
a. Mendidik dengan hiwar (percakapan) Qurani dan nabawi.
b. Mendidik dengan kisah-kisah Qurani dan nabawi.
c. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) Qurani dan nabawi.
d. Mendidik dengan memberi teladan.
e. Mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.

70
J. Riberu. Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-agama. (Dirjen Dikti 1995), hal 41
71
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, dan
Masyarakat,. Hal. 58.

91
f. Mendidik dengan mengambil ‘ibrah (pelajaran) dan mau’idzah (peringatan),
mendidik dengan targhib (membuat senang), dan tarhib (membuat takut).
Sedangkan Hadari Nawawi72 menambahkan dengan adanya metode3 disiplin,
partisipasi dan pemeliharaan. Ahmad Tafsir menjelaskan menjelaskan bahwa metode
hiwar ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih dengan sengaja
diarahkan kepada suatu tujuan yang dikehendaki. Bahan percakapan atau materi
menggunakan berbagai konsep sesuai kondisi yang diajak bercakap. Pada percakapan
ini dapat saja ada kesimpulan, tetapi jika dibiarkanpun tidak menjadi masalah yang
berarti, sebab dalam metode ini dimaksudkan agar terjadi klarifikasi nilai yang
dilakukan diri masing-masing.
Dalam konteks metode hiar tersebut yang berkitan dengan metode PAI, maka
pendidik sengaja atau tidak sengaja terlihat untuk menyampaikan pesan-pesan atau
nilai-nilai yang dikehendaki. Tetapi perlu untuk dipikirkan agar dalam prosesnya
tidak terlalu memaksakan atau mengintervensi yang terlalu kuat. Biarkan suasana
dialogis terjadi secara alamiah.
Metode kisah Qurani dan nabawi adalah metode pengkisahan orang-orang salah
yang layak diikuti dan orang-oranf jahat yang layak dijauhi yang terdapat dalam Al-
Quran. Metode amtsal adalah memberi pemisalan terhadap sifat baik dan buruk.
Perumpamaan ini digali dari Al Quran. Dalam Al-Quran misalnya disebutkan bahwa
orang yang beramal secara riya’ seperti tanah yang beada di atas batu kemudian
tersapu bersih oleh air, atau perumpamaan orang kafir seperti api yang menyala-
nyala.
Adapun metode keteladan adalah metode yang menekankan pada perilaku
seseorang sebagai modelling. Model ini kemudian diidentifikasi dan diteladi oleh
peserta didik. Proses meneladani sebenarnya bisa terjadi pada jenjang usia manapun.
Oleh karena itu pendidikan melalui keteladanan sangatlah dibutuhkan sekalipun
untuk pendidikan orang dewasa.

72
Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengelolan Kelas. (Jakarta: CV. H. Masagung.
1989) hal 211

92
Metode pembiasaan sering digunakan oleh Al Ghazali. Keyakinan yang dibangun
oleh Al Ghazali berdasarkan bahwa budi pekerti dapat menjadi dengan banyaknya
mengerjakan amal perbuatan yang mendukung, menaati dan meyakininya sebagai
baik dan terpuji.73
Metode ibrah dan mauidzah menurut An-Nahlawi memiliki segi perbedaan dari
segi makna. Ibrah adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada
intisari sesuatu yang disaksikan, dihadpi dengan menggunakan nalar yang
menyebabkan hati tunduk. Sedangkan mauidzah adalah nasehat yang lembut yang
diterima dengan hati dan cara menjelaskan pahala atau ancaman. Jadi kedua metode
ini merupakan nasehat yang dapat menyejukkan hati, yang memungkinkan hati
pendengarnya akan luluh, terharu dan menimbulkan empati yang mendalam.
Metode kedisiplinan merupakan metode yang melatih peserta didik agar taat pada
aturan dengan penuh kesadaran dan keyakinan, bahwa dengan disiplin yang baik jauh
akan bermanfaat daripada hidup tanpa disiplin. Metode partisipasi adalah peserta
didik bukan hanya diperankan sebagai penonton belaka tetapi pelaku aktif dalam
proses pembelajaran. Metode ini memang tepat digunakan untuk pendidikan orang
dewasa.74
Sejumlah metode yang diuraikan di atas tentu akan lebih bermakna, bermanfaat
dan berfungsi secara tepat apabila dalam penggunaannya bervariasi. Aertinya tidak
menggunakan satu metode saja, melainkan menggunakan beberapa metode secara
terpadu. Apalagi jika dikaitkan denga banyaknya metode yang dapat dipakai dalam
proses pembelajaran, seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, eksperimen,
karyawisata, kerja kelompok, bermain peran, dan sejumlah metode alternatif lainnya
yang sekarang banyak dipakai dalam proses pembelajaran.

4. Sistem Evaluasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah

73
Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, penyunting: KH. Misbah Z. Musthofa, Jakarta: Bintang
Pelajar, hal.189.
74
Ibid.

93
Evaluasi memiliki bermacam-macam konotasi. Sebagian orang menganggap
bahwa evaluasi sama dengan tes atau pemberian nilai. Pemberian nilai memang
bagian dari evaluasi. Namun lingkup evaluasi pembelajaran adalah suatu penilaian
terhadap murid, guru, kegiatan belajar mengajar atau kurikulum. Sekalipun demikian
evaluasi dikatakan relatif bagus apabila mampu memberikan evaluasi terhadap proses
dan hasil belajar siswa.
Evaluasi terhadap proses dan hasil belajar siswa, meliputi tiga hal, yaitu keluaran,
efek, dan dampak. Keluaran berupa prestasi belajar yang dicapai siswa sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Efek berupa perubahan tingkah laku dalam
tingkatan yang lebih tinggi sebagai akibat adanya perlakuan belajar. Dampak
merupakan pengaruh suatu kurikulum pada perkembangan lembaga pendidikan itu
sendiri, ilmu pengetahuan, dan masyarakat.
Evaluasi bukalah tahap akhir dari pendidikan, melainkan proses yang terus
berjalan sejak perencanaan pembelajaran dimulai.Dalam kerangka PAI, evaluasi
merupakan proses dan produk yang saling mengisi. Bahkan berdasarkan evaluasi,
proses yang baik akan mengahsilkan produk yang baik pula.
Evaluasi proses merupakan suatu strategi untuk melihat bagaimana perencanan
dapat dilaksanakan atau tidak. Jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maka
segera lakukan perubahan sesuai kebutuhan. Sedangkan evaluasi produk untuk
melihat hasil akhir yang dicapai dari suatu produk pendidikan. Namun perlu diingat
bahwa ketercapaian produk yang terlihat dari kemampuan hasil belajar bukan hanya
diukur dari aspek kognitif saja, melainkan harus terintegrasi dengan aspek afektif dan
psikomotor dengan proporsiyang tepat.
Dalam dunia pendidikan formal, suatu proses belajar mengajar harus dapat
dievaluasi guna melihat sejauh mana keberhasilan atau kegaagalan suatu proses
75
pendidikan. Menurut Zakiah Daradjat, pada umumnya ada dua kesulitan bagi guru
PAI dalam menilai hasil belajar yaitu (1) disebabkan karena perumusan Tujuan
pembelajaran PAI kurang jelas, (2) kurangnya kemampuan para guru dalam

75
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pendidikan Agama, hal. 207.

94
mengembangkan alat evaluasi yang tepat. Kedua hal hal tersebut sanagt berkaitan
dengan proses belajar mengajar di sekolah karena fungsi utama evaluasi belajar
adalah untuk mengukur sejauhmana tujuan pengajaran dapat tercapai. Oleh sebab itu
perumusan tujuan yang jelas akan memudahkan dalam pelaksanaan evaluasi hasil
belajar mengajar.
Secara formal sistem evaluasi PAI merujuk pada sistem penilaian program mata
pelajaran yang menerapkan prinsip-prinsip perolehan berimbang antara tiga
komponen, yaitu (1) perolehan pengetahuan dan pemahaman, (2) pembentukan
keterampilan intelektual dan hubungan antara pribadi, (3) pembentukan serta
pengamalan nilai. Dari ketiga komponen tersebut mencerminkan suatu konsepsi
pembinaan kepribadian menyeluruh, berimbang dan berkesinambungan. Prinsip di
atas dijabarkan secara operasional sehingga hasil proses belajar mengajar PAI itu
dapat dievaluasi dengan baik.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ada sejumlah faktor yang menjadi
persoalan dalam melakukan evalausi hasil belajar PAI di SMU,76 yaitu (1) adanya
perbedaan persepsi tentang batasan materi-materi yang tidak dapat di evaluasi seperti
masalah-masalah keimanan, padahal Al-Qur’an telah mengisyaratkan tentang
karakteristik orang-orang yang beriman. Sekurang-kurangnya evaluasi dapat dilihat
dari indikator perilaku orang-orang beriman, (2) perumusan Tujuan pembelajaran
PAI terlalu ideal dan terkesan kurang jelas sehingga sulit diukur keberhasilannya, (3)
kurangnya kemampuan guru PAI dalam mengembangkan instrumen evaluasi
sehingga evaluasi PAI hanya terbatas pada aspek kognitif siswa, kurang menjangkau
pada aspek efektif, (4) rasio guru dan siswa terlalu jauh sehingga seorang guru harus
mengajar di luar kapasitasnya. Hal ini tentu akan berdampak pada efektifitas
pelaksanaan evaluasi.

76
Muhaimin & A. Mujib Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam:. Filosifis Kerangka Dasar
Operasional, hal 281.

95
Lebih lanjut Muhaimin menjelaskan ada empat jenis evaluasi PAI yang dapat
dikembangkan,77 yaitu:
1. Evaluasi penempatan (placement test), yaitu evaluasi yang dilakukan sebelum
peserta didik mengikuti pembeljaran (PBM). Gunanya untuk mengukur sejauh
mana kemampuan awal dan latar belakang pengalaman keagamaan siswa. Dengan
evaluasi ini guru akan mempunyai gambaran kemampuan awal siswa tentang
ajaran agama dan apa yang mereka harapkan dari PAI.
2. Evaluasi diagnosis yaitu evaluasi terhadap hasil suatu penganalisisan tentang
keadaan belajar peserta didik baik berupa kesulitan-kesulitan belajar atau berupa
hambatan-hambatan dalam menghadapi situasi belajar.
3. Evaluasi normatif, yakni evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar siswa
yang dicapai anak didik setelah ia menyelesaikan program dalam suatu mata
pelajaran.
4. Evaluasi sumatif, yakni evaluasi terhadap apa yang dilakukan siswa pada satu
semester, yaitu hasil belajar siswa setelah mengikuti pelajaran dalam satu
semester, atau akhir tahun untuk menentukan jenjang berikutnya.
Keempat jenis evaluasi di atas nampaknya belum cukup untuk mengukur
keberhasilan pembelajaran PAI karena lebih menekankan pada perubahan sikap dan
tingkah laku ke arah positif. Padahal perubahan sikap siswa banyak dipengaruhi
faktor-faktor di luar kegiatan belajar mengajar di kelas. Untuk itu sistem evaluasi PAI
perlu terus dicari dan dikembangkan.
Menurut Zakiah Darajat,78 ada lima strategi dalam usaha menilai hasil
pembelajaran PAI secara efektif, agar penilaian dapat dilakukan terhadap semua
aspek hasil belajar secara serasi dan seimbang yaitu (1) perumusan tujuan yang jelas
dan tegas sehingga mudah dievaluasi, (2) pencatatan tingkah laku peserta didik, (3)
kesinambungan dalam penilaian, (4) kualitas istrumen dalam penilaian, (5)
kesesuaian antara aspek yang diukur dengan materi yang disampaikan.

77
Ibid. Selanjutnya baca: Sukardi, Evaluasi Pendidikan, Prinsip dan Operasionalnya,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hal 5-8.
78
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pendidikin Pendidikan Agama, hal 207

96
Sesuai dengan karakteristik mata pelajaran PAI di SMU, pelaksanaan evaluasi
terhadap hasil belajar mengajar di kelas perlu dikembangkan instrumen evaluasi PAI.
Pengembangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa semakin banyak variabel
evaluasi, akan semakin objektif hasil penilaiannya. Dalam pelaksanaannya semua
variabel evaluasi ini diberitahukan kepada siswa sejak awal pembelajaran agar
mereka terpengaruh dan termotivasi untuk mengejar prestasi puncaknya.
Di samping sejumlah instrumen yang telah ditawarkan di atas, ada empat bentuk
instrumen penilaian yang dapat dikembangkan dalam mengevaluasi PAI di sekolah,
yaitu :
a. Menegaskan siswa untuk melaporkan aktivitas keagamaan masing-masing, baik
di lingkungan siswa maupun di luar siswa.
b. Sosiometrik yaitu memberikan penilaian dan meranking dari 5 orang teman
sekelasnya yang paling tinggi sikap keberagamaannya meliputi; (1) cara
berpakaian, (2) pelaksanaan shalat, (3) kejujuran, (4) aktivitas keagamaan, (5)
menepati janji, (6) pengetahuan dan wawasan keislamannya, (7) sopan santun, (8)
membaca Al-Qur’an, (9) pergaulan dengan teman (bahasa dan perilakunya sehari-
hari).
c. Observasi mencari informasi dari berbagai sumber tentang perilaku keagamaan
siswa. Sumber-sumber bisa diperoleh dari guru-guru PAI, himpunan siswa.
Demikian juga sekitar tempat tinggal siswa dapat dilacak.
d. Mengadakan studi sosial keagamaan di sekitar tempat tinggalnya. Mereka
ditugaskan mendata kehidupan keagamaan khususnya kemakmuran masjid yang
ada didekat tempat tinggalnya.
e. Cara seperti ini cukup efektif dalam mempengaruhi proses belajar mengajar di
kelas dan pemantauan perilaku siswa di luar kelas. Memang diakui bahwa
instrumen seperti ini memerlukan tenaga pendidik yang memadai dan ketekunan
mereka dalam

97
Al-Gazali yang dikutip Abdullah ’Abdul Daim 79 pernah mengatakan bahwa
kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang sangat mulia yang dapat
menentukan masa depan seseorang. Karena itu para pendidik akan selalu di kenang
oleh peserta didiknya. Al-Gazali memberikan argumen yang kuat, baik berdasarkan
Al-Qur’an, Al-Sunnah maupun argumentasi secara rasional. Selanjutnya Al-Gazali
pernah menyampaikan bahwa makhluk yang paling mulia adalah manusia.
Sedangkan sesuatu yang paling mulia pada diri manusia adalah hatinya. Tugas utama
pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, dan menggiring peserta didik agar
hatinya selalu dekat kepada Allah Swt.
Dalam bagian awal kitab Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali memulainya dengan
menerangkan tentang keutamaan ilmu dan pengajaran. Selanjutnya di
menggambarkan kedudukan tinggi bagi para ahli ilmu dan para ulama dengan
menyitir ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah Swt, serta perkataan ahli pikir.
Pandangannya tentang hal-hal di atas sangat kuat. Ini terbukti dengan seringnya
menerangkan kedudukan dan keutamaan ulama dan guru dalam berbagai karya
monumentalnya.
Dalam pernyataan di atas Al-Gazali sangat menghargai orang yang berilmu dan
mengamalkan ilmunya dengan ikhlas. Salah satu pengamalannya adalah
mengajarkan kepada orang lain. Menurut Al-Gazali orang yang berilmu dan tidak
mengamalkannya adalah termasuk orang-orang celaka. Ia mengatakan “seluruh
manusia akan binasa, kecuali orang-orang berilmu. Orang-orang berilmu pun celaka
kecuali orang-orang mengamalkan ilmunya. Orang-orang yang mengamalkan
ilmunya pun akan binasa kecuali orang-orang ikhlas”80
Kedudukan guru dalam pandangan Al-Ghazali sangat terhormat dan mulia. Ia
menggambarkan kemuliaan guru diibaratkan bagaikan pelita di segala zaman. Orang
yang hidup bersamanya akan memperoleh pancaran cahaya ilmunya yang dapat

79
‘Abdullah ’Abdul Daim. Al-Tarbiyah ‘Abru al-Tarikh min Unhuri al-Qodhimah hatta
Awail Qorni al-‘Isyirin. (Bairut: Darul ilmi Lil Mu’alimin. 1984), hal 232.
80
Fathiyah Hasan Sulaiman, Pemikiran-pemikiran Pendidikan menurut Al-Ghazali, terj.
Hery Noor. Bandung : Diponegoro. 1986, hal.30.

98
meneranginya dari perjalanan kegelapan dunia. Andaikan dunia ini tidak ada guru,
manusia ini bagaikan binatang, karena pendidik selalu berupaya mengeluarkan
manusia yang bersifat kebinatangan menuju sifat ketuhanan 81.
Dari ungkapan-ungkapan Al-Ghazali di atas dapat disimak bahwa tugas utama
seorang guru adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan
membawakan hati peserta didik untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt
guna mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
Sebagai pembimbing sudah barang tentu seorang guru harus menjadi suri tauladan
bagi muridnya dalam perilaku keseharian sehingga ia akan menjadi penuntun, baik
bagi murid maupun masyarakat luas. Sesuai dengan julukannnya sebagai orang
berilmu, guru berperan sebagai tempat bertanya, tentang pengetahuan yang bersifat
umum dan pengetahuan tentang hidup. Untuk itu ia harus menguasai bidang studi
yang diajarkannya dan dia harus memiliki wawasan yang luas tentang ilmu
penegetahuan.
Sehubungan dengan tugas dan perananya, guru di samping harus memiliki sifat-
sifat umum seperti berakal sempurna, berahklak mulia dan pantas diserahi amanat
untuk mengajar anak, dia juga harus memiliki sifat-sifat khusus. Dalam kegiatan
belajar di sekolah guru berperan sebagai pengajar sekaligus sebagai pembimbing.
Untuk itu guru dituntut memiliki perangai yang lemah lembut dan penuh kasih
sayang. Apabila murid diperlakukan dengan lemah lembut dan kasih sayang, mereka
akan merasa aman dan percaya serta berani terbuka atas persoalan-persoalan yang
dihadapainya.
Sekaitan dengan sifat-sifat khusus bagi seorang guru, Al-Ghazali dalam kitab Ihya
Ulumuddin82 mengungkapkan tentang tata krama sebagai pendidik dengan istilah
adab li al-mu’alim, yaitu sebagai berikut.
1. Mempunyai rasa kasih sayang kepada semua murdinya dan memperlakukan
mereka seperti kepada anaknya sendiri.

81
Muhaimin & A.Mujib Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam, hal.,169.
82
Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, hal, 212-222.

99
2. Selalu mengukuti jejak Rasul Saw. Ia tidak menuntut upah, imbalan dan ucapan
terimakasih dari hasil mengajarnya itu.
3. Tidak membiarkan murid mempelajari satu tingkat dalam ilmu, padahal dia belum
seselsai mengikuti pada tingkat tertentu. Ia juga tidak meninggalkan nasehat
sedikitpun kepada murid untuk belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai
ilmu yang terang.
4. Menghardik murid yang berperangai jelek dengan cara sindiran selama cara itu
dapat dipahami oleh murid.
5. Tidak melecehkan mata pelajaran lain dihadapan muridnya.
6. Menyingkatkan pelajaran dan menyampaikannya sesuai dengan kemampuan
daya nalar murid.
7. Memberikan materi pembelajaran secara jelas dan tuntas, tidak menyembunyikan
sesuatu dibalik yang diterangkannya. Kepada para pelajar yang cerdas dijelaskan
bahwa dibalik itu masih ada pelajaran yang sulit.
8. Pendidik mengamalkan ilmu yang diajarkannya. Jangan sampai membohongi
perbuatannya sendiri. Ilmu dapat dilihat dengan mata hati sedangkan perbuatan
dapat dilihat dengan mata kepala.
Dari kedelapan adab li al-mu’alim yang disampaikan Al-Ghazali, Muhammad
Nawawy Al-jawawy83 memberi penjelasan ada tujuh belas sikap yang harus dimiliki
seorang guru muslim, yaitu sebagai berikut.
1. Menerima segala problematika yang dihadapi muridnya dengan sikap terbuka.
2. Bersikap penyantun dan penyayang (Q.S, 3:159).
3. Menjaga kewibawaan dan kehormatnnya dalam bertindak.
4. Menghindari dan menghilangkan sifat-sifat angkuh terhadap sesama (Q.S, 15 :
32).
5. Bersikap merendah ketika menyatu dengan sekelompok masyarkat (Q.S, 15:88).
6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia.

83
Muhammad Nawawy Al-Jawawy. Muraqil Ubudiyah fi Syarhil Biayatul Hidayah,
Semarang : Toha Putra. 1985; Hal, 32

100
7. Bersifat lemah lembut dalam menghadapi anak didik yang rendah tingkat IQ-nya,
serta membinanya sampai tahap maksimal.
8. Meninggalkan sifat pemarah.
9. Memperbaiki sikap muridnya dan guru bersikap lemah lembut terhadap anak
didik yang kurang lancar berbicara.
10. Meninggalkan sikap yang menakutkan pada anak didik yang belum mengerti atau
belum mengetahui.
11. Berusaha memperhatikan pertanyaan-pertanyaan anak didik walaupun pertanyaan
itu tidak bermutu.
12. Menerima kebenaran dari anak didik yang berani membantahnya.
13. Menjadikan kebenaran sebagi acuan proses pendidikan walaupu kebenaran itu
datang dari anak didik.
14. Mencegah anak didik untuk mempelajari yang membahayakan dirinya (Q.S, 2 :
195)
15. Menanamkan sifat ikhlas pada anak didik serta terus-menerus mencari informasi
guna disampaikan pada anak didiknya yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub
kepada Allah SWT (Q.S, 98).
16. Mencegah anak didik mempelajari ilmu yang fardukifayah sebelum ia
mempelajari ilmu yang fardu’ain.
17. Mengaktualisasikan ilmu yang akan diajarkan pada anak didik (Q.S, 2 :2, Q.S,
61:2)
Dalam sistem pendidikan formal, Muhamman Abduh84 mengatakan bahwa
seorang guru muslim, disamping harus menguasai materi dan metode mengajar, ia
harus mampu memberikan contoh yang baik sehingga mereka menjadi panutan bagi
muridnya. Untuk itu seorang guru harus memiliki kretria sebagai berikut :
1) Guru harus melaksanakan ajaran agama dengan baik, berakhlak mulia dan
mempunyai kemampuan mendidik. Guru yang dipilih adalah guru yang layak

84
Rasyid Ridha. Tarikh Mohammad Abduh., hal, 756.

101
menangani tugas pendidikan, sehingga tujuan pendidikan yang telah digariskan
dapat tercapai.
2) Guru harus mengetahui kemampuan yang dmiliki oleh muridnya.
3) Guru harus mempunyai kepedulian terhadap perkembangan murid, baik
perkembangan kecakapan maupun keseriusannya dalam belajar, kehadiran, dan
akhlaknya.
Kriteria seorang pendidik yang dikemukan oleh Muhammad Abduh di atas bukan
hanya dikhususkan bagi para pendidik dalam bidang studi agama Islam saja,
melainkan bagi seluruh pendidik muslim yang mengajarkan bidang-bidang studi
umum. Sekaitan dengan pendidikan seorang pendidik yang ideal, maka perlu
dijelaskan bagaimana tentang kriteria guru PAI di sekolah.
PAI merupakan salah satu mata pelajaran yang bertujuan membina kepribadian
siswa secara utuh sebagai makhluk Tuhan, anggota keluarga, anggota masyarakat dan
sebagai warga negara. PAI merupakan salah satu mata pelajaran umum memiliki
karakteristik sebagai mata pelajaran yang membina kepribadian siswa secara utuh
berdasarkan ajaran agama. Penekanannya pada aspek pembinaan akhlak. Untuk itu
tugas guru PAI di samping harus mampu menyampaikan materi pelajaran dengan
baik mereka juga dituntut tampil memberikan suri tauladan kepada masyarakat,
khususnya bagi siswanya dan segenap warga sekolah di SMU masing-masing.
Secara kultural image masyarakat bahwa predikat guru agama identik dengan
orang yang ahli agama, yang saleh, dan tekun menjalankan ibadah. Ini semestinya
dijadikan motivasi bagi guru agama dalam meningkatkan kualitas pemahaman dan
kualitas keimanannya. Untuk itu guru PAI di sekolah yang ideal adalah mereka yang
memenuhi kualifikasi tertentu sebagaimana yang digambarkan oleh Ahmad Tirto
Sudiro85 yaitu bahwa guru agama hendaknya mempunyai kualifikasi sebagai ahli-ahli
agama yang memiliki wawasan sosial, memiliki integritas kepribadian, sanggup

85
Ahmad Sanusi, Pendidikan Alternatif Menyisipkan Vektor Percepatan (Untuk Memacu
Mutu Belajar dan Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah) Bandung: PPs UPI Bandung, 1998,
hal. 361

102
mengekspresikan kata hatinya dalam bentuk perbuatan dan mampu melaksanakan
proses pembelajaran dengan baik.
Sejalan dengan kriteria pendidikan yang ideal sebagaimana telah diuraikan di
atas, Ahmad Sanusi86 menyoroti secara khusus tentang kriteria pendidik termasuk
guru PAI di sekolah. Ia berpendapat untuk mendukung terselenggaranya proses
belajar mengajar yang bersemangat tinggi yang menuju pada output yang paling
optimal, maka di samping tersedianya sarana prasarana, fasilitas dan anggaran yang
memadai, diperlukan guru yang dapat memenuhi beberapa kriteria penting seperti; (1)
merasa terpanggil sebagai guru mata pelajaran, (2) menampilkan perilaku
keteladanan, (3) memiliki visi yang jelas tentang mata pelajaran kependidikan agama,
(4) menyadari dan dapat mengantisipasi tantangan yang dihadapinya, (5)
berkedudukan senior dan berpengalaman dalam segi dialektik dan metodik, (6) cukup
waktu dan berdedikasi untuk menjalankan tugasnya secara berhasil.
Sesuai dengan perkembagan kebutuhan dan tuntunan siswa dewasa ini, guru PAI
di sekolah sebaiknya adalah para ahli yang memiliki wawasan sosial, punya integritas
kepribadian, sanggup mengekspresiakan kata hatinya dalam bentuk perbuatan dan
mampu melaksanakan prose pembelajaran. Untuk iu mereka harus memiliki wawasan
keislaman yang luas dan memiliki kemampuan akademis yang tinggi, karena mereka
harus mampu menerangkan teks-teks ajaran agama secara kontekstual - kini dan di
sini - serta responsif terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Karena peserta didik
di sekolah adalah individu yang sedang mencari identitas diri dengan segala dinamika
perkembangannya. Sering timbul pertanyaan dalam dirinya dan itu menuntut jawaban
yang kiranya dapat dipenuhi oleh guru agama.
Dengan demikian keberadaan PAI di sekolah akan sanggup menjadi fasilitas bagi
pengembangan daya nalar atas teks-teks keagamaan sesuai dengan berbagai ilmu-
ilmu yang ditekun siswa. Dari sekian banyak kriteria pendidik sebagaimana
dikemukakan di atas yang paling penting adalah pengalaman keagamaan dan
keteladanan guru terutama dalam perilaku sehari-hari yang nampak didepan mata

86
Ibid, hal. 362-364.

103
muridnya, seperti cara berpakaian, kedisiplinan, sopan santun dan tutur katanya.
Terlebih lagi bagi guru pendididkan agama karena selama ini penilaian masyarakat
terhadap aspek moralitas mereka lebih sensitf dibandingkan dengan guru-guru
pendidikan bidang studi lainnya.
Begitu beratnnya tugas dan fungsi guru agama di sekolah, seolah-olah tidak
mungkin ditemukan figur guru agama yang memenuhi kriteria seperti itu. Namun di
sisi lain upaya pendidikan agama yang tidak boleh berhenti karena tidak
ditemukannya guru yang ideal. Untuk mencapai kriteria di atas semua pihak terkait
terus menerus mengupayakannya melalui pembinaan yang intensif terhadap para guru
dan guru agama yang ada, baik perkembangan intelektualnya maupun aspek sikap
dan perilakunya.

H. Rangkuman
Paradigma Pembelajaran Pendidikan Agama Islam sekarang yang dianggap
cocok disekolah adalah pembelajaran dengan pengalaman yang berbasis pada
saintifik. Pembelajaran sekarang juga tidak boleh hanya menekankan pada aspek
kognitif saja tetapi juga harus memperhatikan aspek afeksi atau perasaan. Dari uraian
tersebut dapat dipahami bahwa pembelajaran terjadi ketika manusia berubah karena
suatu kejadian dan perubahan yang terjadi bukan karena perubahan secara alami atau
karena menjadi dewasa yang dapat terjadi dengan sendirinya atau karena
perubahannya sementara saja, tetapi lebih karena reaksi dan situasi yang dihadapi.
Pembelajaran merupakan suatu proses belajar bagi manusia dan merupakan
upaya untuk menjadikan manusia memahami makna dari apa yang dipelajarinya.
Pembelajaran pendidikan agama Islam adalah suatu upaya membuat peserta didik
dapat belajar dan tertarik untuk terus-menerus mempelajari agama Islam. Oleh karena
itu Istilah pembelajaran lebih tepat digunakan karena ia menggambarkan upaya untuk
membangkitkan prakarsa belajar seseorang. Di samping itu, ungkapan pembelajaran
memiliki makna yang lebih dalam untuk mengungkapkan hakikat desain
pembelajaran dalam upaya membelajarkan peserta didik.

104
Tujuan pembelajaran PAI menurut ajaran agama Islam adalah membimbing
menjadi individu “khalifah fil ardh”. Karna tujuan manusia diciptakan adalah untuk
mengabdi kepada Alllah Swt dengan indikasi tugasnya berupa ibadah kepada Allah
Swt
Selama ini telah banyak pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam rangka
peningkatan kualitas pendidikan agama Islam yang diharapkan mampu memberikan
nuansa baru bagi pengembangan sistem pendidikan di Indonesia, dan sekaligus
hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pendidikan nasional yang
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membangaun watak serta peradaban
bangsa, yang bermartabat yang bertujuan untuk mengembangkan peserta didik agar
menjadi manusia ynag beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis seta bertanggung jawab

I. Latihan
1. Jelaskan defenisi pembelajaran dan pembelaajran Pendidikan agama islam yang
anda ketahui
2. Apa yang anda ketahui tentang belajar ? Kegiatan belajar seperti apa menurut
anda yang cocok dengan materi pendidikan Agama Islam disekolah ?
3. Apa yang anda ketahui tentang tujuan pembelajaran pendidikan Agama Islam di
sekolah ?
4. Tujuan pembelajaran PAI menurut ajaran agama Islam adalah membimbing
menjadi individu menjadi “khalifah fil ardh. Jelaskan apa yang dimaksud dengan
khalifah fil ardh ? Berikan contohnya ?

J. Bahan bacaan
Pembelajaran sainstifik yaitu pembelajaran berbasis metode Ilmiah di mana
pembelajaran Agama Islam harus diulang dengan prinsip-prinsip Ilmiah
(obyektif Rasional, impiris/faktual) sesuai dengan semangat kurikulum 2013

Jagiyanto, Filosofi, Pendekatan Dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus Untuk


Dosen Dan Mahasiswa : Yogyakarta, Andi Offset, 2006

105
Hilgard, E. R., Bower, Teories Of Learning, New York: Appleton Century, 1966

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam-Upaya Mengefektifkan Pendidikan


Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

Depdiknas RI. Kurikulum Sekolah Menengah Atas. Gari-Garis Besar Program


Pendidikan. (Jakarata: Depdiknas, 1999.

Dahlan , M.D. Model-model Mengajar, Bandung: CV.Diponegoro, 1994.

M.D. Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi


Akhlak Al-Qur’an di Musabaqah Al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam
Progresif ”. Kamis, 19 Rajab /26 September Fakultas Tarbiyah UBINSA,
2002

Muhaimin dan A. Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Kumpulan Undang-undang tentang Pendidikan kompilasi oleh Afnil Guza.
Jakarta: Asa mandiri.

Muhaimin, et. Al. Paradigma Pendidikan Islam-Upaya Mengefektifkan Agama Islam


Disekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Mengefekkan Pendidikan Agama di


Sekolah. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994

H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia,


Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000

Redja Mudyharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Bandung, 2002

Paul Suparno, Filsafat Kontrutivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997

Abdul Munir Mulkhan, akar pendidikan Islam sebagai ilmu, dalam Abdul Munir
Mulkhan, Dkk, Rilegius Iptek, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dan pustaka Pelajar, 1998

Depag RI, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra
Semarang, 1996

W.J.S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka,


1982

106
Sutarmi Imam Barnadhib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis,Yogyakarta : Andi
Offset , 1997

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

M.Arifin, M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1994

Paul Suparno Konstruktivisme dalam pendidikan, Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,


1997

M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant; Filsafat Etika Islam, Bandung;
Mizan , 2002

Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan suatu Pendekatan Baru , Bandung; Remaja


Rosdakarya, 1995.

Bobbi DePoter dan Mike Hernackhi, Quantum Learning: Uneashing The Genius in
you” , Alwiyah Abdurrohman(trjh), Quantum Learning: Membiasakan
Belajar Nyaman Dan Menyenangkan, Bandung: Kaifa, 2002.

Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,


Yogyakarta : kanisius, 1990

M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Tiori dan Konsep Ilmu Sosial, Bandung;
PT. Eresko Bandung , 1995

Azra Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru.
Jakarta: Logos, 1999.

Depdikbud RI,Kamus Besar Bahasa Indonesia:Jakarta:Balai Pustaka, 1996

Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan ,1998.


Tilaar, H.A.R.,Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Tera
Indonesia, 1998.

Tafsir, Ahmad. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Rosda Karya,
1992.

Anshari, E.S. Kuliah Al Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi,


Jakarta: Rajawali, 1986.

Zakiah Daradjat. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: Bumi Aksara,1995.

Ibnu Miskawaih. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Bandung: Mizan. 1997.

107
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996

Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung;


PT Remaja Rosdakarya, 1997.

J. Riberu. Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-agama. Dirjen Dikti 1995.

Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengelolan Kelas. Jakarta: CV. H.


Masagung. 1989.

Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, penyunting: KH. Misbah Z. Musthofa.Jakarta: Bintang


Pelajar.

Sukardi, Evaluasi Pendidikan, Prinsip dan Operasionalnya, Jakarta: Bumi Aksara,


2008

Abdullah ’Abdul Daim. Al-Tarbiyah ‘Abru al-Tarikh min Unhuri al-Qodhimah hatta
Awail Qorni al-‘Isyirin. Bairut: Darul ilmi Lil Mu’alimin. 1984.

Fathiyah Hasan Sulaiman, Pemikiran-pemikiran Pendidikan menurut Al-Ghazali,


terj. Hery Noor. Bandung : Diponegoro. 1986.

Muhammad Nawawy Al-Jawawy. Muraqil Ubudiyah fi Syarhil Biayatul Hidayah,


(Semarang : Toha Putra. 1985.

Ahmad Sanusi, Pendidikan Alternatif Menyisipkan Vektor Percepatan, Untuk


Memacu Mutu Belajar dan Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah)
Bandung: PPs UPI Bandung, 1998.

108
BAB 3

METODE PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN


APLIKASINYA

Salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh guru adalah kemampuan
dalam menguasai dan melaksanakan berbagai macam metode mengajar yang
bervariasi dalam setiap mengajarnya. Kemampuan tersebut merupakan bagian dari
salah satu kompetensi profesional guru yang harus melekat dalam pribadinya sebagai
guru maupun pendidik.
Sebagimana diketahui dalam proses intraksi belajar mengajar terjadi hubungan
timbal balik antara guru dengan siswa, dalam hubungan tersebut memerlukan suatu
media komunikasi bahasa dari pihak guu dalam bentuk pilihan metodelogi mengajar
yang bervariasi. Dengan begitu maka proses penyampaian pesan (materi pelajaran)
akan berjalan secara baik dan memperoleh hasil yang memuaskan.
Memahami pentingnya penguasaan dan penerapan metode mengajar pada setiap
pengajaran oleh pihak guru, maka sudah selayaknya bila persoalan metodelogi
mengajar tidak hanya dipahami dalam batas teoritik saja dari pihak guru, akan tetapi
pada tingkat pelaksanaan mencerminkan kualitas penguasaan yang meyakinkan.
Gambaran bahwa kalau profesinya sebagai seorang guru dengan sendirinya akan
menguasi metodelogi mengajar yang baik adalah sesuatu yang ideal. Akan tetapi
manakala kenyataannya berbeda dengan seharusnya tentu itu merupakan masalah
yang harus mendapat perhatiaan
Di kalangan para ahli pendidikan banyak yang mengakui bahwa keampuhan
suatu metode yang digunakan oleh seorang guru setidaknya harus
mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya: (1) tujuan yang hendak dicapai, (2)
kemampuan guru dan suasana anak didik, (3) situasi dan kondisi dimana pengajaran
berlangsung, (4) fasilitas sarana dan media yang ada, (5) waktu yang sedia, dan (6)

109
kebaikan dan kekurangan suatu metode1. Berikut ini akan dibahas konsep-konsep
teoritik mengenai metodelogi pendidikan agama islam dan aplikasinya berdasrkan
dari berbagai pendapat para ahli yang memiliki kompetensi di bidang pendidikan.
Atas dasar itu uraian difokoskan kepada enam pokok bahasan yaitu: pengertian
metodelogi pendidikan agama islam, bentuk-bentuk metode mengajar, faktor-faktor
pilihan metode, syarat penggunaan metode, langkah pelaksanaan metode.

A. Pengertian Metodelogi Pendidikan Agama Islam


Defenisi metodelogi dari aspek semantik sangat erat kaitannya dengan kata
metodik yang berasl dari kata metode. Dengan kata lain metodik sama pengertiannya
dengan metodelogi, yang mengandung makna seperti yang dikemukakan oleh
Asmuni Syakir yaitu: “ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau
jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan
efisien. Sedangkan secara etimologi istilah metodologi berasal dari kata metodos
yang berarti cara atau jalan dan logos artinya ilmu”2
Adapun cara umum metodologi sering diartikan suatu cara dan sistematis dan
umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan, ia merupakan jawaban atas pertanyaan
“bagaimana”
Dalam bidang pendidikan/pengajaran pengertian metodologi telah dirumuskan
oleh John Dewey sebagai : In brief, the method of teaching is the method of an art, af
action intelligently directed by ends. Pada dasarnya metode mengajar itu adalah
metode seni, metode berbuat yang secara bijaksana (dengan cerdik) oleh tujuan3
Definisi di atas senada dengan pendapat yang dikemukan oleh Tayar Yusuf
sebagai berikut “Metode mengajar adalah suatu cara tertentu yang tepat dan serasi
untuk menyajikan suatu materi pelajaran, sehingga tercapai tujuan pelajaran
tersebut”4.

1
Winarno Surahmad, Metode Pengajaran Nasional, Jermmars, Bandung: 1980, hal 28
2
Asumsi Syukir, Metode Da’wah,Jakarta: Bulan Bintang,1979, hal 90
3
HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hal. 143
4
Tayar Yusuf , Ilmu Praktek Mengajar: Metodik Khusus Pengajaran Agama,Bandung :PT .
Al-Maarif, 1985, hal. 50

110
Bertitik tolak dari pengertian metodologi sebagai suatu cara untuk mencapai
tujuan, dikaitkan dengan bidang materi bidang studi Islam, maka dapat dirumuskan
pengertian metodologi Pendidikan Agama Islam adalah: suatu cara yang ditempuh
dalam menyajikan materi pelajaran agama Islam pada anak didik sehingga tercapai
tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.
Akan tetapi dikarenakan materi bidang studi Agama Islam itu sendiri masuk
ruang lingkup pembicaraan metodik khusus, maka formulasi metode yang digunakan
dalam pelajaran harus disesuaikan dengan sifat-sifat ke khususan dari bidang studi
Agama Islam itu sendiri5. Adapun sifat kekhususan itu berupa materi pelajaran,
seperti: Fiqih, Akhlak/Tasawuf, Sejarah Kebudayaan Islam, Tafsir/Hadist dan
Tauhid/Ilmu Kalam6.
Kaitan dengan materi PAI di sekolah-sekolah umum dalam buku ini ini mencakup
materi: Fiqih, Akhlak/Tasawuf, Sejarah Kebudayaan Islam, Tafsir/Hadist dan
Tauhid/Ilmu Kalam. Namun demikian dalam konteks buku ini perlu ditegaskan
bahwa formulasi metode PAI dimaksudkan disini bukanlah metode Pendidikan Islam
dalam arti murni seperti: metode bil kalam, metode khudwah, metode mua’isah dan
lain sebagainya itu. Akan tetapi dimaksud adalah metode-metode yang umum yang
langsung dipakai dalam mengajarkan bidang studi agama Islam seperti metode
ceramah, metode tanya jawab, metode diskusi, metode demontasi, metode
sosiodrama, metode pemberian tugas dan lain sebagainya.
B. Bentuk-Bentuk Metode Pembelajaran
Setelah diuraikan pengertian metodelogi pendidikan agama Islam diatas, maka
berikut ini akan dikemukakan bentuk-bentuk metode PAI itu sendiri pada prinsipnya
metode mengajr materi bidang studi Agama Islam, walaupun diakui adanya
perbedaan ciri khusus yang melekat pada bidang studi Agama Islam.
Para ahli umumnya mengakui sulitnya memberikan suatu klasifikasi yang jelas
mengenai setiap metode yang pernah dikenal didalam pengajaran, dan terasa lebih
sulit lagi upaya untuk menggolongkan metode itu kedalam pilihan nilai kualitas dan
5
` Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990,
hal. 12
6
Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Jakarta: PT. Alhidayah, 1965, hal. 50

111
efektifitas. Sebab metode yang kurang baik sekali ditangan guru yang lain, dan
metode yang baik akan gagal ditangan guru yang lain yang tidak menguasai tiknik
pelaksanaannya.
Namun demikian ada sifat-sifat umum yang terdapat pada setiap metode. Dengan
mencermati sifat-sifat umum yang terdapat pada setiap metode. Maka upaya
menggolongkan dan mengklasifikasikan yang lebih jelas mengenal bentuk-bentuk
metode yang lazim dan praktis digunakan/dilaksanakan dapat dilakukan.
Dalam konteks pengelompokan metode yang layak untuk digunakan itu Wanarno
Surachmad memformulasikan ke dalam 10 bentuk kategori mengajar yaitu:
1. Metode ceramah
2. Metode latihan siap (drill)
3. Metode tanya jawab
4. Metode diskusi
5. Metode demontrasi dan eksperimen
6. Metode pemberian tugas (resitasi)
7. Metode karyawisata
8. Metode kerja kelompok atau gotong royong
9. Metode sistem regu
10. Metode sosiodrama dan bermain peran.7
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk metode mengajar itu
banyak sekali, namun demikian dalam tulisan ini mengacu kepada bentuk-bentuk
metode yang ada dalam kurikulum di sekolah umum yang merekomendir 10 metode
sebagai berikut:
1. Metode Pemberian Tugas
Dalam percakapan sehari-hari metode ini dikenal dengan sebutan lain yaitu
pekerjaan rumah (PR). Akan tetapi sebenarnya metode ini jauh lebih luas dari
pekerjaan rumah karena siswa belajar tidak hanya di rumah mungkin laboratorium,

7
Winarno Surachmad. Ibid, hal 32

112
dihalaman sekola atau tempat-tempat lainnya.8 Metode ini dalam pelaksanaannya
melalui tiga tahapan yaitu:
a. Guru memberi tugas
b. Siswa melakukan tugas belajar
c. Siswa mempertanggngjawabkan kepada guru apa yang telah dilakukannya.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa metode pemberian tugas dimaksud:
guru memberikan bahwa bahan pelajaran dengan cara memberikan tugas kepada
siswa untuk dikerjakan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran 9
2. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah cara penyampaian pelajaran dimana guru dan peserta didik
berama-sama mencari jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi. 10
Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam hubungan intraksi edukatif sering
dihadapkan kepada berbagai macam permasalahan, yang kadang-kadang tidak jarang
permasalahan itu sulit diatasi/dipecahkan. Metode ini salah satu cara yang tepat
digunakan dalam kepentingan bersama, dengan cara bermusyawarah untuk
menemukan kata sepakat.
3. Metode Tanya Jawab
Yang dimaksud dengan metode tanya jawab yaitu: cara penyajian pelajaran
dengan jalan guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa untuk dijawab.
Dalam pelaksanaannya perbedaan antara metode tanya jawab dengan metode diskusi
terletak dalam:
a. Cara dan jenis pertanyaan yang dikemukakan oleh guru
b. Sifat partisipasi yang diharapkan dari siswa
Dalam metode tanya jawab pada umumnya guru berusaha menanyakan apakah
siswa telah mengetahui fakta tetentu yang mudah diajarkan, atau apakah proses
pemikiran yang telah dipakai oleh siswa.

8
Winarno Surachmad, Ibid, hal. 92
9
Tayar Yusuf, Ibid,1992, hal. 133
10
Subandijad, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum,Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,1993, hal.133

113
Dalam metode diskusi, pertanyaan guru lebih diarahkan untuk merangsang sswa
menggunakan fakta yang lebih kompleks. Pertanyaan tidak bersifat faktual, sebab itu
juga maka jawabannya tidak bersifat tunggal atau mutlak.11
4. Metode Ceramah
Yang dimaksud dengan metode ceramah adalah penerangan dan penuturan secara
lisan oleh guru terhadap siswa. Dalam pelaksanaan ceramah untuk menjelaskan
uraiannya guru dapat menggunakan alat-alat pembantu seperti gambar-gambar.
Tetapi metode utama berhubungan guru dengan siswa adalah berbicara 12
Ciri-ciri yang menonjol dalam metode ini, dalam pelaksanaan pengajaran dikelas
adalah peranan guru nampak sangat dominan. Adapun siswa mendengarkan dengan
teliti dan bila perlu mencatatnya apa yang disampaikan guru didepan kelas. Atas
dasar ciri diatas, maka metode ceramah ini sering dianggap pengajaran terlalu
menolong kurang menumbuhkan kreatifitas dan sensitivitas siswa. Oleh karena itu
sering pula metode ini disebut sebagai metode tradisional.
5. Metode Demontrasi
Berlainan dengan metode ceramah, metode demontrasi dimaksud sebagai suatu
metode mengajar dengan menggunakan alat peraga (meragakan) untuk memperjelas
suatu pengertian, atau untuk memperlihatkan bagaimana untuk melakukan dan
memperjelas suatu proses pembuatan tetentu. 13
Metode ini merupakan metode mengajar yang sangat efektif dalam membantu
siswi-siswa mencari jawaban atas pertanyaan seperti: Bagimana cara membuatnya?,
Terdiri dari bahan apa?, Cara mana yang paling baik? Bagaimana dapat diketahui
kebenarannya? Dan Bagaimana cara melakukan sesuatu (memperaktikkan) secara
baik dan benar?.
Dalam pengajaran agama Islam metode ini tentu sangat penting dalam
mengetahui kemampuan dan aplikasi pengajaran agama Islam bagi siswa. Misalnya
aplikasi ibadah dalam hal shalatnya, wudhunya, adzan, dan tatacara ibadah lainnya.
6. Metode Penemuan
11
Winarno, Ibid, hal. 83.
12
Winarno, Ibid, hal 77
13
Winarno, Ibid, hal 87

114
Metode Inquiri (penemuan) yaitu merupakan salah satu metode mengajar dengan
cara guru menyuguhkan suatu pristiwa kepada siswa yang menimbulkan teka-teki dan
motvasi siswa untuk mencari pemecahan masalah.14
Metode ini dalam pelaksanaannya di telurusi dalam fakta menuju teori dengan
harapan agar siswa teransang untuj mencari dan meneliti, serta memecahkan masalah
dengan kemampuan sendiri.
7. Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Metode pemecahan masalah lazim juga disebut dengan problem solving. Dalam
pengajaran metode program solving dimaksudkan adalah suatu cara penyajian bahan
pelajaran dimana siswa dihadapkan dengan kondisi masalah dari masalah yang
sederhana, menuju masalah yang sulit komplek.15
Dalam pelaksanaan metode ini Jhon Dewey menyarankan agar siswa-siswi
dibiasakan untuk percaya diri sendiri, dalam mengatasi kesulitan/masalah yang
sedang dihadapi.
Mengingat inti metode ini melatih siswa agar ia mampu menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi, maka dalam pengajaran agama Islam metode ini sangat baik
dalam mengajarkan hal--hal yang mengandung problem dan perbedaan-perbedaan
pendapat untuk dipadukan. Misalnya dalam mana guru agama mengajarkan masalah-
masalah khilafiyah dalam Islam, baik menyangkut fiqih maupun masalah teologi
(ilmu kalam) dan lain sebagainya.
8. Metode Latihan Siap (drill)
Latihan siap dimaksud yaitu agar pengetahuan siswa dan kecakapan tertentu dapat
menjadi miliknya, dan betul-betul dikuasai siswa. Dengan kata lain metode latihan
siap (drill) adalah suatu cara dalam menyajikan bahan pelajaran dengan jalan melatih
siswa agar menguasai pelajaran dan tampil dalam melaksanakan tugas yang telah
diberikan.

14
Rostiyah N.K, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem,Jakarta: Bina Aksara, 1985, hal.
175-177
15
Tayar Yusuf, Ibid, hal 80

115
Dalam melaksanakan metode ini tentu siswa sebelumnya telah diberikan/dibekali
dengan pengetahuan secara teoritik secukupnya. Kemudian siswa disuruh
mempraktekkannya atas bimbingan guru, sehingga menjadi mahir terampil. 16
9. Metode Sosiodrama dan Bermain Peranan
Metode sosiodrama dan bermain peranan adalah dua metode yang dapat
dikatakan bersamaan dan dalam pemakaiannya sering bergantian. Sosiodrama artinya
cara meyajikan pelajaran dengan cara mendramatisasikan cara tingkah laku didalam
hubungan sosial. Sedangkan bermain peranan menekankan kenyataan dimana siswa
diturut sertakan dalam memainkan peranan didalam mendramatisasikan masalah-
masalah hubungan sosial.
Tujuan yang ingin dicapai dengan metode sosiodrama antara lain: (1)
mengertikan perasaan orang lain, (2) membagi pertanggungjawaban dan memikulnya,
(3) menghargai pendapat orang lain, dan (4) mengambil keputusan dalam
kelompok.17
Dalam pelaksanaan pengajaran agama Islam metode sosiadrama dan bermain
peranan ini baik sekali dalam mana melatih siswa agar memiliki sikap dan tingkah
laku yang baik seperti dalam pengajaran akhlak. Di samping pelajaran agama Islam
dalam menghayati nilai-nilai perjuangan para pahlawan Islam, melalui drama tetentu
dari kisah perjuangan pahlawan Islam yang diinginkan.

10. Metode Karyawsata/Widyawisata


Dalam belajar siswa tidak hanya terbatas dikelas atau dirumah saja. Akan tetapi
suatu pergi kesuatu tempat lain untuk mempelajari suatu hal tertentu. Dengan
karyawisata sebagai suatu metode menagajar dimaksudkan siswa-siswa dibawah
bimbingan guru pergi meninggalkan sekolah menuju kesuatu tempat untuk
menyelidiki atau mempelajari hal tertentu. Misalnya guru bersama siswa pergi ke
musium, ke taman hewan, kepabrik tertentu dalam rangka pelajaran. Beda halnya
dengan tamasya dimana manusia-manusia yang pergi kesuatu tempat hanya mncari

16
Tayar Yusuf, Ibid, hal. 66.
17
Winarno, Ibid, hal, 102.

116
kesengan atau hiburan18 Dalam pelajaran agama melalui metode ini sangat penting
artinya bagi siswa-siswi dalam rangka menanamkan jiwa agama dan semangat
kebersamaan dengan melalui kunjungan ketempat-tempat bersejarah, keyayasan anak
yatim piatu dan tempat-tempat suci dan ibadah umat Islam atau mungkin sekali
ketempat puncak (gunung) tetentu. Sehingga diharapkan muncul pengakuan terhadap
kebearan dan kemaha Agungan Allah sebagai pencipta alam semesta ini.

C. Faktor-Faktor Pilihan Metode


Dalam proses pelaksanaan pengajaran metode sering dihadapkan pada kesulitan
menetapkan mana diantara metode-metode yang ada itu cocok diterapkan kedalam
suatu materi pelajaran tertentu. Hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan dan
wawasan guru terhadap metodelogi yang ada atau dapat juga disebabkan adanya
sikap yang memandang bahwa masalah metodelogi pengajaran bukanlah sesuatu hal
amat penting dalam proses pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Bagi guru yang menganggap pekerjaaan bukanlah pekerjaan sembarangan akan
tetapi merupakan pekerjaan profesional, tentu ia senantiasa mempersiapkan
mengajarnya secara optimal. Di antaranya ia selalu mempertimbangkan berbagai
macam metode mengajar itu kedalam pilihan yang tepat pada setiap saat
menyampaikan bahan pelajaran itu di kelas.
Secara teoritik semua macam metode mengajar itu tentu baik adanya, hanya saja
bila pemakaiannya tidak sesuai dengan materi dan tujuan pengajaran yang hendak
disampaikan maka tidak membawa proses dinamis dalam intraksi belajar mengajar
dengan siswa, akan tetapi lebih jauh dapat berakibat gagal dalam pentingnya bagi
guru memperhatikan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemecahan
metode yang tepat dan serasi.
Menurut Winarno Surachmad ada lima faktor yang harus dipertimbangkan dalam
menetapkan metode yaitu:
1. Faktor tujuan yang hendak dicapai
2. Faktor anak didik yang dihadapi

18
Winarno, Ibid, hal, 93.

117
3. Faktor situasi dan kondisi
4. Faktor yang tersedia
5. Faktor pribadi guru itu sendiri 19
Dalam konsep yang senada, Abu Ahmadi menambahkan selain lima faktor diatas,
ada faktor lain yang juga harus diperhatikan, yaitu bahan pelajaran yang akan
disampaikan, partisipasi kebaikan dan kelemahan metode tertentu serta filsafat. 20
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-fakktor yang harus
dipertimbangkan seorang guru dalam mentapkan pilihan metode mengajar yang tepat
dalam mengajar adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Yang Hendak Dicapai
Pada setiap mata pelajaran tertentu biasanya memiliki tujuan yang berbda-beda
antara satu dengan yang lainnya. Misalnya pada tujuan pengajaran Tafsir Al-Qur’an
dan Hadist berbeda dengan tujuan akhlak Tasawuf, dan pelajaran Tauhid berbeda
tujuannya dengan pelajaran Fiqih, dan lain sebagainya.
Oleh karena tujuan umum dan tujuan khusus dari masing-masing pelajaran
tersebut memiliki perbedaan dan tekanannya masing-masing, maka aplikasinya dalam
pemilihan dan penetapan metode mengajar, guru hendaklah mampu melihat
perbedaan-perbedaan tersebut dari sisi kepentingan ketetapan dan penerapan metode
yang cocok dan serasi.
Dengan kata lain tujuan yang ingin dicapai dari masing-masing mata pelajaran
atau Sub pokok bahasan yang ingin disampaikan itu haruslah menjadi. Perhatian
utama bagi guru dalam menetapkan metode apa yang digunakan dalam mengajar.
2. Kemampuan Guru
Efektif tidaknya suatu metode mengajar juga sangat ditentukan oleh kemampuan
guru dalam memakainya, disamping faktor ini berkaitan langsung dengan sifat dan
keperibadian guru tetentu. Misalnya ada guru yang sifat dan keperibadiannya seorang
pendiam, tentu baginya kurang tepat bila menggunakan metode ceramah sebagai
metode utamanya. Sebaliknya seorang guru bernama Si A, oleh karena mahir dalam
19
Winarno, Ibid, hal ,76.
20
Abu Ahmadi, Metodik Khusus Pendidikan Agama (MKPA, Bandung:Armico1985, hal.
108.

118
berbicara dan retorik, (bukan sifat pendiam) maka bagiannya akan
mempertimbangkan metode ceramah sebagai metode utama disamping metode lain
sebagai pendukung.
3. Anak Didik
Bila hal ketiga yang perlukan mendapat perhatian oleh guru dalam mamilih dan
menetapkan suatu metode mengajar adalah masalah anak didik. Dimana dalam proses
intraksi belajar mengajar guru berhadapan dengan makhluk hidup yang namnya
manusia anak didik. Dengan potensi dan fitnah yang dimiliki anak didik memberikan
kemungkinan dan sekaligus harapan untuk berkembang dengan baik kearah pribadi
yang sempurna.
Di samping hal diatas dapat disadari oleh guru bahwa anak didik yang
dihadapinya memiliki: kemampuan kecerdasan, karakter, latar belakang sosial
ekonomi, unsur bakat dan minat masing-masing satu dengan yang lainnya. Oleh
sebab itu implikasi dan keberadaan siswa tersebut membawa adanya perlakuan guru
yang berbeda dari sekian anak yang ia hadapi itu dengan modus metode mengajarnya
yang beragam. Di harapkan dengan keragaman metode dan penuh gairah belajar bagi
siswa, karena keterampilan metode mengajar guru sangat menatik dan merangsang
bagi setiap siswa yang mengikuti belajar.
Adalah suatu yang dapat dinilai kurang arif jika guru mengajar tanpa
mempertimbangkan sisi perbedaan dan perkembangan anak tersebut dalam cara
menyampaikan bahan pelajaran kepada siswanya. Nabi sendiri dalam sebuah
hadistnya menyatakan: ”hendaklah kamu sekalian berbicara kepada seseorang sesuai
dengan siapa yang dihadapi” (Al-Hadist). Hadist tersebut tentunya mencerminkan
suatu upaya bagi setiap orang termasuk guru dalam menyampaikan ide ataupun
pembicaraan disesuaikan dengan audiens yang dihadapi.
4. Situasi Dan Kondisi Pengajaran Dimana Berlangsung.
Situasi dan kondisi saat mana berlangsung pengajaran hendaknya juga perlu
diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pemilihan metode mengajar. Situasi dan
kondisi yang dimaksud yaitu termasuk fisik/gedung sekolah. Demikian juga kondisi

119
fisik dan psikis siswa dan lingkungan pada umumnya saat berlangsung belajar
mengajar.
Sebagai salah satu contoh lingkungan sekolahan yang nampak kesehariannnya
begitu bising (karena kemungkinan dekat dengan jalan raya) akan dapat berakibat
proses pengajaran menjadi terganggu. Begitu juga terhadap siswa yang karena secara
fisik maupun psikis lemah dan lelah dari pekerjaan atau olahraga tertentu suatu saat
akan berpengaruh terhadap suasana belajar mengajar. Bagi guru hal-hal yang
demikian perlu menjadi perhatian, terutama dalam memilih dan menetapkan mana
metode yang tepat bila menghadapi suasana demikian.
Adalah juga indikator guru yang tidak memahami prinsip-prinsip penerapan
metode yang tepat bila dikemukakan dilapangan banyak diantara guru mengajar tanpa
memperdulikan situasional belajar dan kondisi obyektif siswanya. Misalnya guru
mengajar dengan menggunakan metode pemberian tugas disaat siswanya mengalami
kelelahan belajar dan lain sebaginya.
5. Fasilitas Yang Sedia
Tersedianya sarana dan media pengajaran di sekolah/ kelas merupakan
pendukung yang sangat berarti bagi pencapaian tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Hal ini dikarenakan bukan hanya fungsi dan kegunaan media ini dapat
memperkuat pemahaman dan persepsi siswa terhadap apa yang akan disimpulkan
guru, akan tetapi keberadaanya sangt vital bahkan merupakan keharusan bagi
kelancaran dan pencapaian tujuan pengajaran secara optimal.
Sungguh keterkaiatan sarana dan media dengan metode apa yang akan digunakan
oleh guru sangat erat dan saling ketergantungan. Artinya metode yang ditetapkan
telah baik namun media yang akan dipakai tidak ada maka proses pengajaran akan
mendapatkan hambatan. Sebagai cotoh seorang guru agama Islam menggunakan
metode demontasi dalam mengajarnya namun dalam pelaksanaannya media ataupun
sarana yang tidak menunjang/tidak ada, maka efektifitas metode yang digunakan oleh
para guru agama Islam tersebut bolh dikatakan tidak ada artinya.
Gambaran yang telah dikemukakan diatas memberikan arti bahwa guru bukan
hanay dituntut mempertimbangkan faktor-faktor seperti yang telah dikemukakan

120
terdahulu, juga dituntut mempertimbangkan ketepatan metode dengan keberadaan
media yang ada di sekolahnya masing-masing.
6. Kelebihan Dan Kekurangan Suatu Metode
Dari masing-masing metodeyang banyak itu, sudah barang tentu memiliki
kelebihan dan kekurangannay masing-masing. Akan tetapi kekurangan suatu metode
tertentu dapat dilengkapi oleh keunggulan metode lain. Oleh karena itu kita perlu
memakai banyak metode dalam setiap kali mengajar di kelas. Mengkin sekali kita
harus menggunakan 1,2,3 dan 4 macam metode dalam setiap mengajar dikelas secara
bervariasi. Dalam oleh karena itu pula guru hendaknya mempertimbangkan dan
memilih-milih man diantara sekian metode itu lebih unggul keefektifannya bila
dikaitkan dengan materi pelajaran apa yang akan disampaikan pada siswa.
Dengan memperhitungkan secara umum dan kekhususan sifat sebagai faktor baik
tujuan, kemampuan guru, anak didik, situasi, fasilitas/media, waktu serta mengenai
sifat berbagai metode, maka seorang guru akan lebih mudah menetapkan metode
apakah yang paling serasi dan sesuai untuk situasi kondisi pengajaran.

D. Asas Dan Syarat Penggunaan Metode Pembelajaran


1. Asas-Asas Penggunaan Metode

Asas-asas pelaksanakan metode pendidikan agama Islam pada dasar dapt


diformulasikan sebagai berikut:
a. Asas Motivasi
Pendidikan harus berusaha membangkitkan minat anak didiknya sehingga seluruh
perhatian mereka tertuju dan terpusat pada bahan pelajaran yang sedang disajikan.
Asas ini dapat diupayakan melalui pengajaran dengan cara menarik sesuai dengan
tingkat perkembangan anak didik, mengadakan selingan yang sehat, menggunakn alat
peraga yang sesuai dengan sifat materi, menghindari pngaruh yang dapat
mengganggu konsenterasi siswa dan mengadakan kompetensi sehat sehingga timbul
perlombaan untuk mencari prestasi yang lebih baik diantara siswa, tentu dalam hal ini
akan lebih baik bila guru juga menyediakan hadiah-hadiah tertentu.

121
b. Asas Aktivitas
Dalam proses belajar mengajar anak didik harus diberi kesempatan untuk
mengambil bagian yang aktif, baik rohani maupun jasmani, terhadap pengajaran
yang akan diberikan, secara individual maupun kolektif. Asas ini menghindari adanya
verbalisme bagi anak didik.
Asas aktivitas ini dapat diupayakan melalui adanya aktivitas jasmani berupa:
tulisan, eksprimen, pembuatan kontruksi model, atau juga kegiatan berupa rohani
seperti ketekunan dalam mengikuti pelajaran, mengamati secara cermat, dan
berkemauan keras untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal.
c. Asas Apersepsi
Mengalami dalam proses belajar mengajar bararti menghayati situasi aktual yang
sekaligus menimbulkan respon-respon tertentu dari pihak anak didik hingga
memperoleh perubahan pola tingkah laku (pematangan dan kedewasaan), perubahan
dalam pembendeharaan konsep-konsep (pengertian) dan kekayaan akan informasi.
Asas apersepsi bertujuan menghubungkan bahwa pelajaran yang akan diberikan
dengan apa yang telah dikenalkan oleh anak didik.
d. Asas Peragaan
Dalam asas ini, pendidik/guru memberikan variasi dalam cara-cara mengajar
dengan mewujudkan bahan yang akan diajarkan secara nyata, baik dalam bentuk
aslinya maupun tiruan (model-model), sehingga anak didik dapat mengamati dengan
jelas dan pengajarn lebih tertuju untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Asas ini diupaykan melalui penggunaan berbagai macam alat peraga secara wajar,
yaitu dengan memeragakan pelajaran dengan percobaan, membuat herbarium, ruang
ekspresi, bulliten botd, poster, serta menyelenggarakan karya wisata dan mengadakan
sandiwara, sosiodrama pantomin dan lain sebagainya.
e. Asas Ulangan
Asas yang merupakan usaha untuk mengetahui tarap perkembangan, kemajuan
dan keberhasilan belajar anak didik dalam aspek pengetahuan, keterampilan serta
sikap setelah mengikuti pengajaran sebelumnya. Hal ini karena penguasaan
pengetahuan mudah terlupakan oleh anak didik jika tidak diadakan pengulangan.

122
Oleh karena itu semakin banyak diadakan ulangan oleh guru maka semakin
pengetahuan itu melekat dan tetap berkesan dalam ingatan dan dapat difungsikan
dengan baik. Asas ulangan ini dapat dilakukan melalui oksional yaitu diberikan
secara kebetulan, atau cara sistematis yaitu diberikan secara teratur, kontinyu dan
terencana.
f. Asas Korelasi
Pristiwa belajar mengajar adalah menyeluruh, mencakup berbagai dimensi yang
kompleks. Guru hendaknya memandang anak didik sebagai sejumlah daya-daya yang
dinamis yang senantiasa dalam keadaan intraksi dengan dunia sekitar untuk mencapai
tujuan. Hal ini akan menyebabkan dalam menerima pelajaran, anak didik akan
bersifat selektif kemudian bereaksi mengolahnya.
g. Asas Konsentarsi
Asas ini memfokuskan pada suatu pokok masalah teretentu dari keseluruhan
bahan pelajaran untuk melaksanakan tujuan pendidikan serta memperhatikan anak
didik dalam segala aspeknya. Asas ini dapat diupayakan melalui pemberian masalah
yang baru muncul.
h. Asas Individualisasi
Asas ini menekankan adanya perlakuan yang berbeda pada setiap masing-masing
anak didik oleh guru. Hal ini didasarkan pada filosofinya bahwa setiap anak memiliki
perbedaan-perbedaan satu dengan lainya baik dari segi bentuk maupun kemampuan
masing-masing
Aplikasi dari asas ini adalah setiap pendidik dapat dan harus mempelajari pribadi
setiap anak, terutama tentang kepandaian, kelebihan, serta kekurangan, dan memberi
tugas sebatas dengan kemampuannya.
i. Asas Sosialisasi
Asas yang memperhatikan penciptaan suasana sosial yang dapat membangkitkan
semangat kerja sama antara anak didik dengan pendidik atau sesama anak didik
dengan masyarakat sekitar, dalam menerima pelajaran agar lebih berdaya guna.
Asas ini guru dapat memanfaatkan sumber-sumber fasilitas dari masyarakat untuk
kepentingan pelajarannya dengan jalan membawa anak didik untuk mengunjungi

123
karyawisata, survey, pengabdian masyarakat (survise projects) dan perkemahan
(school camping)
j. Asas Evaluasi
Asas ini menekankan perlunya guru memperhatikan hasil dan penilaian terhadap
kemampuan yang dimiliki anak dalam memperbaiki cara mengajar.
k. Asas Kebebasan
Azaz ini merupakan memberian kebebasan keleluasaan keinginanan dan tindakan
bagi anak didik dengan dibatasi atas kebebasan yang mengacu pada hal-hal yang
positif. Asas ini mengandung tiga aspek, yaitu : self direktinees, self discipl;ine dan
self-control.
l. Asas Lingkungan
Azaz yang menentukan metode yang berpijak pada pengaruh lingkungan yang
berakibat intraksi dengan lingkungan.
Azaz in menghendaki agar guru dalam menyajikan pelajaran senantiasa
menghubungkan pelajaran dengan lingkungan anak didik sehari-hari. Terutama
lingkungan orang tuanya, teman sepermainannya dan sosial masyarakat.
m. Asas Globalisasi
Asan ini menghendaki agar adanya upaya guru dalam menyajikan pelajran kepada
anak didiknya dengan jalan menyampaikan bahanitu secara menyeluruh tidak dalam
arti sempit, sepotong-sepotong. Jadi kebutuhan bahan merupakan hal yang amat
penting dilaksanakan.
n. Asas Pusat Minat
Asas ini merupakan memperhatikan kecendrungan jiwa yang tetap kejujuran
suatu hal yang berharga bagi seseorang. Sesuatu berharga bagi seseorang apabila
sesuai dengan kebutuhan. Untuk itu asas ini hendaknya dikaitkan pula dengan nilai
ketuhanan, sosial dan kealaman.
o. Asas Ketauladanan
Asas ketauladanan ini memperhatikan bahwa setiap anak didik memiliki tingkat
perniruan (imitasi) yang tinggi kepada sesuatu yang baru atau pada seseorang yang
dikagumunya. Asas keatuladanan ini juga menghendaki agar seorang guru dalam

124
menyajikan pelajaran disertai dengan contoh-contoh yang kongkrit dan baik terhadap
oeristiwa tertentu. Dan juga yang lebih penting keperibadian guru yang merupakan
cermin yang dapat menjadi contoh yang nyata bagi anank-anaknya.
p. Asas Pembiasaan
Pembiasaan-pembiasaan yang baik adalah sesuatu mesti dikembangkan oleh guru
kepada anaknya. Upaya pembiasaan disni dapat dilakukan dngan jalan melatih anak
dengan hal-hal yang baik sehingga menjadi kebiasaan. Hal ini penting mengingat
manusia mempunyai sifat lupa. 21

2. Syarat-Syarat Penggunaan Metode


Dalam suatu penerapan metode, syarat-syarat berikut ini harus diperhatikan oleh
seorang guru pada setiap akan menyajikan bahan pelajran di kelas, nyaitu :
a. Metode mengajar yang digunakan harus dapat membangkitkan motif, minat atau
gairah balajar.
b. Metode yang digunakan harus dapat menjamin perkembangan kegiatan
keperinbadian murid.
c. Metode yang digunakan harus dapat memberikan kesempatan baik baik ekspresi
yang kereatif dari keperibadian murid.
d. Metode mengajar yang di gunakan harus meransang kegiatan murid untuk belajar
yang lebih lanjut, melakukan eksplorasi dan inovasi (pembeharuan)
e. Metode yang harus digunaklan harus dapat mendidik muri dalam teknik belajar
sendiri dan cara memperoleh pengentahuan melalui usahah sendiri.
f. Metode mrgajar harus dapat meniadakan penyajian bahan pelajaran yang bersifat
perpelistik dan mengantinya dengan pengalaman yang nya dan bertujuan.
g. Metode mengajar yang digunakan harus dapat menanamkan dan
mengembangakan nilai-nilai dari sikap-sikap utama yang diharapkan dari
kebiasaan dari cara belajar yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

21
(Muhaimin dan Abd. Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalisasinya ), Bandung: Trigendakarya, 1993, hal. 234-240

125
Asas dan styarat-syarat yang telah dikemukakan diatas akan memberkan orientasi
dalam menyeleksi guru-guru yang memiliki pengentahuan dan kemampuan dalam
mengemplimentasikan metode mengajar secara optoimal dan afektif.

E. Langkah-Langkah Pelaksanaan Metode


Dikarenakan masing-masing metode manggunakan spesifikasi kebaikan dan
kekurangan masing-masing, tentu saja langkan-langkah opersional metode-metode
tersebut kedalam pengajaran memiliki ciri dan cara masing-masing. Berikut ini akan
dikemukakan langkah-langkah masing-masing metode dengan membatasi sepuluh
pokok metode yang di maksud dalam tulisan ini. Metode-metode tersebut yaitu :
1. Metode Pemberian Tugas
Dalam metode pemberian tugas (pendidik) harus mengentahui dan menerapkan
langkah-langkah berikut :
a. Merumuskan secxara oprasional/spesifikasi mengenal target yang akan dicapai
b. Memperkirakan apakah tujuan yang akan dirumuskan itu dapat dicapai dalam
batas-batas waktu, tenaga serta sarana yang tersedia, masalahnya, buku-buku serta
alat-alat lainnya
c. Dapat mendorong siswa secara aktif dan kreatif untuk mempelajari dan
mempraktekkan pelajaran yang telah diberikan
d. Agar siswa mempunyai pengentahuan yang integral/terpadu.
Adapun langkah-langkah teknis pemberian tugas kepada siswa hendaknya melalui
tahapan sebagai berikut :
a. Guru pertama-tama memberikan teori-teori pelaksanaan tugas kepada siswa
berikut penjelasannya
b. Menetapkan jenis tugas dan ruang lingkup tugas yang telah dikerjakan
c. Menetapkan batas waktu yang tugas yang akan dikerjakan serta mekanisme
pengumpulan tugas bila telah selasai.
2. Metode Diskusi

126
Dalam proses pelaksanaan mengajar metode diskusi ini mendapat perhatian
karena dengan diskusi akan meransang murid-murid berpikir mengeluarkan
pendapatnya.
Untuk melaksanakan metode diskusi, langkah-langkah yang perlu diperhatikan
oleh seorang guru sebagai pemimpin diskusi seperti :
a. Mengikut sertakan semua siswa dalam diskusi
b. Batasi pendapat sendiri dan dan hargai pendapat peserta diskusi
c. Jangan dipertaruhkan seorang peserta diskusi untuk memborong pertanyaan
d. Simpulkan pembicaraan diskusi/hasil-hasil pembicaraan
e. Ciptakan suasana hormat-menghormati tentang pendapat sehingga suasana
diskusi menjadi tegang
f. Perhatikan waktu dan terpedahkan nya persoalan diskusi
g. Usahakan suasana demokratis dan dinamis dalam diskusi .
Pertanyaan yang layak didiskusikan ialah yang mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut :
a. Menarik minat dan sesuai dengan tarap perkembangan
b. Mempunyai kemungkinan-kemungkinan jawaban lebih dari satu.
c. Pada umumnya tidak menyakan manakah jawaban mana yang benar dan mana.
Tapi lebih mengutamakan hal yang mempertimbangkan dari membandingkan
Dalam upaya mengarahkan hasil diskusi mencapai sasaran maka pimpinan
diskusi perlu memperhatikan tiga hal berikut ini :
a. Pimpinan diskusi sebagai pengatur dan pengarah diskusi
b. Pimpinan diskusi sebagai pengatur lalu lintas pembicaraan
c. Pimpinan diskusi sebagai pengarah dan menyimpulkabn berbagai poendapat
3. Metode Tanya Jawab
Langkah-langkah metode tanya jawab yang perlu diperhatikan oleh guru adalah
sebagai berikut :
a. Merumuskan tujuan sejelasnya dalam bentuk khusus dan berpusat pada tingkah
laku siswa
b. Mencari alasan mengapa mempergunakan metode tanya jawab

127
c. Menetapkan kemungkinan jawaban pertanyaan apakah mengandung banyak
pertanyaan/masalah ataukah hanya terbatas pada jawaban ya atau tidak
d. Menetapkan kemungkinan untuk menjaga agar tidak menyimpang dari pokok
persoalan.
Selain langkah-langkah umum diatas, maka langkah-langkah teknis berikut juga
perlu dipedomi yaitu :
a. Pertanyaan yang diberikan adalah berkisar pada pelajaran yang telah diberikan
b. Pertanyaan yang telah diberikan mula-mula ditawarkan kepada semua
peserta/siswa, lalu kemudian ditujukan pada salah seorang siswa tertentu dengan
pertimbagan psikologi tertentu pula
c. Petanyaan yang diajukan hendaklah mengandung nilai problematik, dimana guru
tidak akan menjawabnya kecuali semua siswa menunjukan ketidakmampuannya.
d. Guru dapat menjelaskan seperlunya dari pertanyaan-pertanyaan yang telah
diajukan dan di jawab oleh siswa itu setelah mengakhiri pertanyaan-pertanyaan.
4. Metode Ceramah
Berikut ini langkah-langkah yang harus diperhatikan guru pada saat
menggunakan metode ceramah, agar dapat mempertinggi hasil ceramah:
a. Rumusan tujuan yang hendak dicapai melalui metode ceramah itu hendaknya
dirumuskan secar jelas dan terarah.
b. Setelah menetapkan tjuan yang hendak dicapai hendaklah diselidiki apakah
metode ceramah benar-benar merupakan metode yang tepat untuk dipakai.
c. Susun bahan ceramah yang benar-benar perlu diceramahkan, dan minimal guru
membuatnya dalam bentuk garis-garis pokok bahasanya.
d. Pengertian yang dapat dijelaskan dengan menggunakan alat atau media mengajar
hendaknya ditetapkan sebelumnya.
e. Tangkaplah perhatian siswa dan arahkan pada pokok yang akan diceramahkan.
f. Kemudian usahakan menanamkan perhatian yang jelas. Hal ini bisa dilakukan
melalui beberapa jalan misalnya pertama guru memberikan ikhtisar ringkasan
mengenai pokok-pokok yang akan diuraikan. Kedua menguraikan pokok tersebut
dan akhirnya menyimpulkan pokok-pokok penting dalam materi ceramah.

128
g. Adanya rencana tulisan. Teknik evaluasi yang wajar digunakan untuk mengetahui
tercapai tidaknya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
5. Metode Demokrasi
Berikut ini langkah-langkah yang perlu diperhatikan oleh seorang guru bila
menggunakan metode demontasi dalam mengajarnya yaitu:
a. Merumuskan tujuan yang jelas dari sudut kecakapan atau kegiatan yang
diharapkan melalui metode demontrasi tersebut.
b. Menetapkan garis besar langkah-langkah demontrasi yang akan dilaksanakan,
oleh guru telah dicobakan terlebih dahulu supaya tidak gagal pada waktunya.
c. Menperhitungkan waktu yang telah ditentukan apakah tersedia waktu untuk
memberikan kesempatan siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan komentar
selama dan sesudah demontrasi dilakukan.
d. Selama dementrasi berlangsung kita bertanya pada diri kita apakah keterangan-
keterangan diberikan dapat didengar dengan jelas oleh siswa. Dan apakah juga
alat/media pengajaran yang mendukung pelaksanaan demostrasi cukup tersedia,
dan kalau tersedia dimana ditempatkan.
e. Menetapkan rencana untuk menilai kemajuan siswa.
6. Metode Penemuan (Inquiri)
Langkah-langkah pelaksanaan metode penemuan (inquiri) ini dapat dilakukan
dengan cara guru membagi tugas meneliti suatu masalah di kelas. Siswa dibagi ke
dalam beberapa kelompok dan masing-masing kelompok mendaptkan tugas tertentu
yang harus diselesaikan. Kemudian tugas itu mereka pelajari, diteliti serta dibahas
dan didiskusikan kemudian masing-masing kelompok itu membuat laporan hasil kerja
dengan sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (objektif)
Metode penemuan (inquiri) juga dapat berjalan dengan cara guru menunjukkan
suatu benda/barang berupa buku yang masih asing bagi siswa di depan kelas,
kemudian menyuruh siswa untuk mengambil, meneliti dan membaca buku tersebut
secara cermat. Lalu guru memberikan masalah atau bertanya kepada seluruh siswa

129
yang sudah siap dengan pertanyaan dan menjawabnya dengan tepat. Dalam hal ini
pertanyaan yang diajukan tidak menyimpan dari isi buku yang ditunjuk. 22
Suatu hal yang harus diperhatikan guru agar penggunaan metode penemukan ini
dapat dilaksanakan secara baik maka memerlukan kondisi belajar sebagai berikut:
a. Menciptakan situasi dan kondisi yang fleksibel (tidak kaku) dalam intraksi
belajar, dan siswa bebas dari perasaan takut dan tertekan.
b. Kondisi lingkungan hendaknya diciptakan sedemikian rupa sehingga dapat
memancing gairah dan semangat belajar dan intelektual yang tinggi.
c. Menciptakan suasana belajar yang kondusif dan responsip sehingga kreativitas
siswa dapat tercipta.

7. Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving)


Agar metode problem ini dapat efektif dalam pelaksanaan pengajaran, maka guru
harus memperhatikan langkah-langkah berikut ini:
a. Dalam memilih masalah hendaknya guru mempertimbangkan segi kemampuan
dan perbedaan siswa.
b. Siswa lebih dahulu diberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan.
c. Bimbingan secara kontinyu dan penyediakan alat/media pengajaran harus
diperhatian.
d. Merencanakan tujuan yang hendak dicapai melalui metode pemacahan masalah
tersebut
e. Mula-mula guru mengajukan pokok-pokok permasalahan yang akan dipecahkan
itu, lalu siswa meresponinya dan berusaha secara maksimal untuk mencari jalan
keluar pemecahan masalah tersebut, apakah malalui usaha individu atau usaha
kelompok (bersama)
f. Bila diinginkan dapat membentuk tim tertentu sebagai memudahkan usaha
pemecahan masalah, bila masalah itu dianggap kompleks
g. Menyimpulkan/merangkum semua masukan yang deberikan siswa.

22
Tayar Yusuf, Ibid, hal. 82-83

130
8. Metode Latihan Siap (Drill)
Jika guru akan menggunakan metode drill dalam pengajaran maka prinsip-prinsip
dan langkah-langkah berikut ini harus diperhatikan:
a. Drill hanyalah untuk bahan atau tindakan yang bersifat otomatis.
b. Latihan harus memiliki arti dalam rangka yang lebih luas
a) Sebelum dilaksanakan latihan siswa perlu mengetahui terlebih dahulu arti
latihan itu.
b) Siswa perlu menyadari bahwa latihan-latihan itu berguna untuk untuk
kebutuhan siswa selanjutnya.
c) Siswa perlu mempunyai sikap bahwa latihan-latihan itu diperlukan untuk
melengkapi belajar
c. Latihan-latihan itu pertama harus ditekankan kepada diagnosa
a) Pada taraf permulaan jangan diharapkan repduksi yang sempurna.
b) Dalam percobaan kembali harus diteliti kesulitan yang timbul.
c) Respon yang benar akhirnya harus dikenal oleh siswa dan respon yang salah
harus diperbaiki
d. Di dalam latihan pertama-tama ketetapan kemudian kecepatan, dan pada akhirnya
kedua-keduanya harus dapat tercapai.
e. Masalah latihan secara relatif harus harus singkat, tetapi harus sering dilakukan
pada waktu-waktu lain
f. Masa latihan harus menarik, gembira dan menyenangkan
a) Agar hasil latihan memuaskan, minat, intristik diperlukan
b) Tiap-tiap kemajuan yang dicapai siswa harus jelas
c) Hasil latihan terbaik dengan sedikit menggunakan emosi
g. Pada waktu latihan harus lebih didhulukan proses yang efisiesial.
9. Metode sosiodrama dan bermain peranan
Langkah-langkah guru dalam menggunakan metode sosiodrama dan bermain
peranan sebagai berikut:
a. Guru menerangkan teknik ini dengan cara yang sederhana bila kelompok siswa
baru untuk pertama kalinya diperkenalkan dengan metode ini.

131
b. Situasi masalah yang akan dimainkan ditetapkan sediamkan rupa
c. Guru menciptanya pristiwa itu secukupnya untuk mengatur adegan atau untuk
memberikan kesiapan mental.
d. Jika sosiodrama untuk pertama kalinya dilakukan sebaliknya guru sendiri
memiliki siswa yang kiranya dalm melaksanakan tugas itu.
e. Guru mendengar dan memperhatikan peran siswa yang tidak melaksanakan tugas.
f. Guru menetapkan dengan jelas masalah dan peran yang harus mereka mainkan
g. Guru menyarankan kalimat yang pertama yang baiak diucapkan oleh pemain
untuk memulai.
h. Guru menghentikan sosiodrama pada detik-detik situasi sedang memuncak, dan
kemudian membuka diskusi umum.
i. Sebagai hasil diskusi, kadang-kadang dapat diminta kepada siswa untuk
menyelesaikan masalah itu dengan cara-cara lain
j. Guru dan siswa menarik kesimpulan-kesimpulan. 23

10. Metode Karyawisata/Widiyawisata


Proses belajar mengajar dengan menggunakan matode karyawisata
/widiyawisata ini dalam pelaksanaannya memerlukan keahlian dan keterampilan para
guru, sebab banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan melalui metode ini dilakukan melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Tahap Perencanaan
Hal yang harus diperhatikan dalam tahap ini adalah sebagai berikut:
a. Menetapkan tujuan
b. Mempertimbangkan dan menetapkan obyek
c. Menetapkan lamanya waktu pelaksanaan
d. Mentapkan teknik-teknik dalam mempelajari obyek
e. Menetapkan orang-orang atau instansi yang harus dihubungi sebagai nara sumber
atau pihak yang terkait

23
Winarno, Ibid, hal.102-103.

132
f. Memperhitungkan jumlah peserta didik yang akan mengikuti karyawisata
g. Mempersiapkan perlengkapan
h. Memberi penjelasan tentang cara membuat/menyusun laporan
i. Memperhitungkan keadaan iklim, musim dan suasana
j. Menjelaskan secara garis besarnya keadaan obyek yang akan dikunjungi

2. Tahapan Pelaksanaan
Setelah peserta didik tiba dilokasi obyek, segera segala sesuatunya diatur sesuai
dengan hal-hal yang telah direncanakan:
a. Semua peserta didik melakukan observasi dengan tgas yang telah dibicarakan
dikelas.
b. Tata tertib selama berada dilokasi harus di pegang teguh.
c. Peserta didik memperhatikan secara/ dengan teliti, obyek, mencatat,
mendengarkan wawancara atau informasi yang diberikan oleh guru atau petugas.
d. Peserta didik harus memperoleh penjelasan yang sebaik-baiknya mengenai obyek
yang diteliti
e. Guru mendorong peserta didik untuk berani bertanya dan mengingatkan peserta
didik untuk mencacat semua hasil yang telah siperoleh.

3. Tahap Tindak Lanjut


Tindak lanjut dilakukan setelah peserta didik tiba kembali kekelas dengan cara
menagdakan diskusi dan pertukaran data yang diperoleh dari hasil pengamatan obyek
dilokasi karyawisata.
a. Para peserta didik masuk kelas dan melengkapai cacatan. Hal ini dilakukan agar
semua peserta didik memperoleh gambaran yang sama dan lebih lengkap tentang
yang lebih diamati dilokasi.
b. Menyusun bahan yang telah diperoleh ditempat lokasi baik berupa benda asli,
tiruan, gambar, cacatan atau laporan untuk dijadikan bahan dokumentasi di kelas
berupa pajangan24

24
Subadijad, Ibid, hal. 136-137

133
Langkah-langkah yang telah dipaparkan tersebut diatas merupakan patokan
(tolak ukur) tingkat keberhasilan dan penggunaan metode mengajar seorang guru
pada umumnya.

F. Rangkuman
Memahami pentingnya penguasaan dan penerapan metode mengajar pada setiap
pengajaran oleh pihak guru, maka sudah selayaknya bila persoalan metodelogi
mengajar tidak hanya dipahami dalam batas teoritik saja dari pihak guru, akan tetapi
pada tingkat pelaksanaan mencerminkan kualitas penguasaan yang meyakinkan.
Gambaran bahwa kalau profesinya sebagai seorang guru dengan sendirinya akan
menguasi metodelogi mengajar yang baik adalah sesuatu yang ideal. Akan tetapi
manakala kenyataannya berbeda dengan seharusnya tentu itu merupakan masalah
yang harus mendapat perhatiaan
Defenisi metodelogi dari aspek semantik sangat erat kaitannya dengan kata
metodik yang berasl dari kata metode. Dengan kata lain metodik sama pengertiannya
dengan metodelogi, yang mengandung makna bahwa “ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan
dengan hasil yang efektif dan efisien. Adapun cara umum metodologi sering diartikan
suatu cara dan sistematis dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan, ia
merupakan jawaban atas pertanyaan “bagaimana.
Di kalangan para ahli pendidikan banyak yang mengakui bahwa keampuhan
suatu metode yang digunakan oleh seorang guru setidaknya harus
mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya: (1) tujuan yang hendak dicapai, (2)
kemampuan guru dan suasana anak didik, (3) situasi dan kondisi dimana pengajaran
berlangsung, (4) fasilitas sarana dan media yang ada, (5) waktu yang sedia, dan (6)
kebaikan dan kekurangan suatu metode.

G. Latihan
1. Apa yang anda ketahui tentang metode pembelajaran dan berikan contohnya ?
2. berikan penjelasan tentang metode pembelajaran pendidikan agama islam di
sekolah ?

134
3. Sebutkan syarat-syarat dalam menggunakan metode pembelajaran pendidikan
agama islam ?
4. Sebutkan dan jelaskan lima faktor yang harus dipertimbangkan dalam
menetapkan metode pembelajaran ?

H. Bahan Bacaan
Winarno Surahmad, Metode Pengajaran Nasional, Jermmars, Bandung: 1980.

Asumsi Syukir, Metode Da’wah, Jakarta: Bulan Bintang,1979

HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Tayar Yusuf , Ilmu Praktek Mengajar: Metodik Khusus Pengajaran Agama, Bandung
:PT . Al-Maarif, 1985.

`Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1990.

Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Jakarta: PT. Alhidayah, 1965.

Subandijad, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada,1993.

Rostiyah N.K, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem, Jakarta: Bina Aksara,
1985

Abu Ahmadi, Metodik Khusus Pendidikan Agama (MKPA), Bandung:Armico1985.


(Muhaimin dan Abd. Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya ) (Bandung: Trigendakarya, 1993.

135
BAB 4

KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU

A. Pengertian Profesionalisme Guru


Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan
yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Secara etimologi, istilah profesi berasal
dari bahasa Inggris, yaitu profession atau bahasa latin, profecus, yang artinya
mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan suatu
pekerjaan. Sedangkan secara terminologi, profesi berarti suatu pekerjaan yang
mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan
mental, yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoretis sebagai instrumen untuk
melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual (Danin,2002 dalam
Rusman)1. Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu pengetahuan,
keahlian, dan persiapan akademik.
Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian tertentu.
Artinya, jabatan profesional tidak bisa dilakukan atau dipegang oleh sembarang orang
yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan
tersebut. Melainkan melalui proses pendidikan dan pelatihan yang disiapkan secara
khusus untuk bidang yang diembannya. Misalnya, seorang guru profesional yang
memiliki kompetensi keguruan melalui pendidikan guru seperti (S1-PGSD, Si
Kependidikan, AKTA Pendidikan) yang diperoleh dan pendidikan khusus untuk
bidang tersebut. Jadi kompetensi guru tersebut diperoleh melalui apa yang disebut
profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu
(preservice training atau pra-jabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi (in-
service training).
1
Rusman, model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru, Jakarta: PT.
Rajawali Perss, 2011, hal 16

136
Menurut Martinis Yamin (2007) “profesi mempunyai pengertian seseorang yang
menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur
berlandaskan intelektualitas. “Sedangkan menurut Jasin Muhammad (dalam Yunus
Namsa, 2006),” profesi adalah suatu lapangan pekerjaan yang dalam melakukan
tugasnya memerlukan teknik dan prosedur ilmiah, memiliki dedikasi, serta cara
menyikapi lapangan pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan yang ahli.”
Pengertian profesi mi tersirat makna bahwa di dalam suatu pekerjaan profesional
diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang
mengacu pada pelayanan yang ahli.
Sementara itu, menurut Didi Atmadilaga, “profesi merupakan wewenang praktik
suatu kejuruan yang bersifat pelayanan pada kemanusiaan secara intelektual spesifik
yang sangat tinggi, yang didukung oleh penguasaan pengetahuan keahlian serta
seperangkat sikap dan keterampilan teknik, yang diperoleh melalui pendidikan dan
latihan khusus yang penyelenggaraanya dilimpahkan kepada lembaga pendidikan
tinggi yang bersama memberikan izin praktik atau penolakan praktik dan kelayakan
praktik dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang
diawasi langsung oleh pemerintah maupun asosiasi profesi yang bersangkutan.”
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi
adalah suatu bidang pekerjaan atau keahlian tertentu yang mensyaratkan kompetensi
intelektualitas, sikap, dan kete.rampilan tertentu yang diperoleh melalui proses
pendidikan secara akademis yang intensif.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian atau kecakapan
yang memenuhi mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. (UU
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Menurut Djam’an Satori,
“profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi,
misalnya, “Dia seorang profesional”. Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan
pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya.” Dalam pengertian kedua mi, istilah
profesional dikontraskan dengan “non-profesional” atau “amatiran”. Dalam kegiatan
sehari-hari seorang profesional melakukan pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu yang

137
telah dimilikinya, jadi tidak asal-asalan. Sementara itu, menurut Walter Johnson
(1959) profesional (professionals) sebagai “.... seseorang yang menampilkan suatu
tugas khusus yang mempunyai tingkat kesulitan lebih dan biasa dan
mempersyaratkan waktu persiapan dan pendidikan cukup lama untuk menghasilkan
pencapaian kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang berkadar tinggi”.
Adapun pengertian profesional menurut Uzer Usman (1992) adalah “suatu
pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara
sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum.” Kata
profesional itu sendiri berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai
kata benda yang berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim,
dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional adalah
pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk
itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat
memperoleh pekerjaan lain. Artinya pengertian guru profesional adalah orang yang
memiliki kemampuan dan keahljan khusus dalam bidang keguruan sehingga ia
mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang
maksimal.
H.A.R. Tilaar2 menjelaskan bahwa seorang profesional menjalankan
pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiliki
kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional
menjalankan kegiatannya berdasarkan profesionalisme, dan bukan secara amatiran.
Profesjonaljsme bertentangan dengan amatirisme. Seorang profesional akan terus-
menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar, melalui pendidikan dan
pelatihan.
Profesionalisme berasal dari profession yang berarti pekerjaan. Menurut Arifin
(1995)3 Pengertian profesionalisme merupakan suatu pandangan terhadap keahli-an
tertentu yang diperlukan dalam pekerjaan tertentu,iyang mana keahlian itu hanya
diperoleh melalui pendidikan khusus atau latihan khusus. Jadi profesionalisme
2
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997,
86
3
Arifin, Kapita selekta pendidikan (Islam dan umum), Jakarta: Bumi Aksara, hal 105

138
mengarah kepada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan
kemampuan profesionalnya dan terus-meneru s mengembangkan strategistrategi yang
digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesi yang
diembannya.
Profesionalisme Guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu
keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pembelajaran yang berkaitan
dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru
yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi yang dipersyaratkan untuk
melakukan tugas pendidikan dan pembelajaran. Dengan kata lain, dapat disimpulkan
bahwa pengertian guru profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan
keahlian khusus dalam bidang keguruan, sehingga ia mampu melakukan tugas dan
fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Guru yang profesional adalah
orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang luas di
bidangnya.4

B. Pentingnya Profesionalisme Guru dalam Pendidikan


Guru merupakan seorang pendidik, pembimbing, pelatih, dan pengembang
kurikulum yang dapat menciptakan kondisi dan suasana belajar yang kondusif, yaitu
suasana belajar menyenangkan, menarik, memberi rasa aman, memberikan ruang
pada siswa untuk berpikir aktif, kreatif, dan inovatif dalam mengeksplorasi dan
mengelaborasi kemampuannya. Guru yang profesional merupakan faktor penentu
proses pendidikan yang berkualitas. Untuk dapat menjadi guru profesional, mereka
harus mampu menemukan jati diri dan mengaktualisasikan diri sesuai dengan
kemampuan dan kaidah-kaidah guru yang profesional. Mengomentari mengenai
rendahnya kualitas pendidikan saat mi, merupakan indikasi perlunya keberadaan guru
profesional. Untuk itu, guru diharapkan tidak hanya sebatas menjalankan profesinya,
tetapi guru harus memiliki interest yang kuat untuk melaksanakan tugasnya sesuai
dengan kaidah-kaidah profesionalisme guru yang dipersyaratkan.

4
Rusman, Op Cit, 2011, hal 19

139
Guru dalam era teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini bukan hanya
sekadar mengajar (transfer of knowledge) melainkan harus menjadi manajer belajar.
Hal tersebut mengandung arti, setiap guru diharapkan mampu menciptakan kondisi
belajar yang menantang kreativitas dan aktivitas siswa, memotivasi siswa,
menggunakan multimedia, multimetocie, dan multisumber agar mencapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan.
Berkenaan dengan pentingnya profesionalisme guru dalam pendidikan, Ahmad
Sanusi5 (1991) mengutarakan enam asumsi yang melandasi perlunya profesionalisasi
dalam pendidikan, yaitu:
1. Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi,
dan perasaan dan dapat dikembangkan sesuai dengan potensinya; sementara itu
pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat
manusia,
2. Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni secara sadar bertujuan, maka
pendidikan menjadi normatif yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang
baik secara universal, nasional, maupun lokal, yang merupakan acuan para
pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan.
3. Teori-teori pendidikan merupakan jawaban kerangka hipotesis dalam menjawab
permasalahan pendidikan.
4. Pendidik bertolak dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai
potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan itu adalah usaha
untuk mengembangkan potensi unggul tersebut.
5. Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni situasi di mana terjadi dialog
antara peserta didik dengan pendidik yang memungkinkan peserta didik tumbuh
ke arah yang dikehendaki oleh pendidik agar selaras dengan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi masyarakat.

5
Ahmad Sanusi, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan,
Bandung: IKIP Bandung, 1991, hal 23

140
6. Sering terjadinya dilema antara tujuan utama pendidikan, yaitu menjadikan
manusia sebagai manusia yang baik (dimensi intrinsik) dengan misi instrumental,
yakni yang merupakan alat untuk perubahan atau mencapal sesuatu.
Kalau kita lihat sejenak kondisi real pendidikan yang ada di daerah, kita masih
banyak menemukan guru berada di dalam Situasi yang kurang menguntungkan untuk
melaksanakan tugas yang diamanahkan kepadanya. Banyak guru yang ditempatkan di
dalam ruang yang penuh sesak dengan anak didik dengan perlengkapan yang kurang
memadai, dengan dukungan manajerial yang kurang mutakhir. Di tempat yang
demikian itulah, guru-guru itu diharapkan mampu melaksanakan tugas yang maha
mulia untuk mendidik generasi penerus anak bangsa. Hal mi akan bertambah lebih
berat dan kompleks, bilamana dihadapkan lagi dengan luapan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, tetapi dengan dukungan fasilitas dan sarana yang minim
serta dengan iklim kerja yang kurang menyenangkan. Selain itu, beban guru ditambah
lagi dengan berbagai tugas di luar kegiatan akademik yang banyak menyita waktu
dan tenaga para guru.
Luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak, serta
kemajuan dan perkembangan yang dialami masyarakat serta aspirasi nasional dalam
kemajuan bangsa dan umat manusia di lain pihak, membawa konsekuensi serta
persyaratan yang semakin berat dan kompleks bagi pelaksana dalam sektor
pendidikan pada umumnya dan guru pada khususnya.
Pendidikan yang baik, sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat modern
dewasa mi dan sifatnya yang selalu menantang, mengharuskan adanya pendidik yang
profesional. Hal mi berarti bahwa di masyarakat diperlukan pemimpin yang baik, di
rumah diperlukan orang tua yang baik dan di sekolah dibutuhkan guru yang
profesional. Akan tetapi, dengan ketiadaan pegangan tentang persyaratan pendidikan
profesional, maka hal ini menyebabkan timbulnya bermacam-macam tafsiran orang
tentang arti guru yang baik, tegasnya guru yang profesional.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa dalam mencari
jawaban tentang apa dan siapa itu guru yang profesional memerlukan suatu tinjauan
yang luas serta melingkupi berbagai segi. Sesudah itu barulah disimpulkan profil guru

141
yang bagaimana yang dikehendaki. Dalam bentuknya yang modern, profesi itu
ditandai pula oleh adanya pedoman-pedoman tingkah laku yang khusus
mempersatukan mereka-mereka yang tergolong di dalamnya sebagai satu korps,
ditinjau dan pembinaan etik jabatan. Pelembagaan profesi, serupa itu tidak saja dapat
memperkuat pengaruh teknis, tetapi juga pengaruh-pengaruh sosial dan politik, ke
dalam maupun ke luar. Umumnya dengan mudah orang menyetujui bahwa tugas
sebagai seorang guru baiknya dipandang sebagai tugas profesional. Tetapi tidak
semua menyadari bahwa profesionalisasi tenaga pelaksana itu bukan hanya terletak
dalam masa-masa persiapan (pendidikan pendahuluan), tetapi juga di dalam
pembinaan dan cara-cara pelaksanaan tugas sehari-hari. Dengan perkataan lain,
profesionalisasi guru tidak selesai dengan diberikannya lisensi mengajar kepada
mereka yang berhasil menamatkan pendidikannya. Untuk menjadi guru ini harus
mencakup aspeknya yang formal. Kualifikasi yang formal ini masih perlu dijiwai
dengan kualifikasi riil dan ini hanya mungkin diwujudkan dalam praktik. 6

C. Ciri-ciri Profesi Keguruan


Menurut Ornstein dan Levine (1984)7 menyatakan bahwa profesi itu adalah
jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah mi:
1. Melayani masyarakat merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat.
2. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak
ramai.
3. Menggunakan hasil penelitin dan aplikasi dan teori ke praktik.
4. Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
5. Terkendali berdasarkan lisensi buku dan/atau mempunyai persyaratan yang
masuk.
6. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu.
7. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang
ditampilkan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.
6
Rusman, Model-model Pembelajaran-mengembangkan profesionalisme Guru, Jakarta:
Rajawali Press, 2011, hal 23
7
Omstein, Allan C, dan Levine, Daniel U. An Introduction Foundasion Of Education, Third
Edition. Boston: Houghton Miffin Co (dalam Rusman, 2011, hal 24-26)

142
8. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien.
9. Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya relatif bebas dan
supervisi dalam jabatan.
10. Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
11. Mernpunyai asosiasi profesi dan/atau kelompok ‘elite’ untuk mengetahui dan
mengakui keberhasilan anggotanya.
12. Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau
menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.
13. Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dan pablik dan kepercayaan diri setiap
anggotanya.
14. Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi.

Senada dengan pendapat di atas, Sanusi et al. (1991), mengutarakan ciri-ciri


utama suatu profesi itu sebagai berikut.
1. Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan.
2. Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.
3. Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan
masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4. Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik,
eksplisit, yang bukan hanya sekadar pendapat khalayak umum.
5. Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang
cukup lama.
6. Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan Melibatkan
sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.
7. Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang
teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
8. Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgetnent
terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.
9. Dalam praktiknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom bebas dan
campur tangan orang lain.

143
10. Jabatan mi mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, Sehingga
memperoleh imbalan yang tinggi pula.

Menurut Robert W. Richey (1974) ciri-ciri profesionalisasi jabatan guru adalah


sebagai berikut.
1. Guru akan bekerja hanya semata-mata memberikan pelayanan kemanusiaan
daripada usaha untuk kepentingan pribadi.
2. Guru secara hukum dituntut untuk memenuhi berbagai persyaratan untuk
mendapatkan lisensi mengajar serta persyaratan yang ketat untuk menjadi anggota
organisasi guru.
3. Guru dituntut memiliki pemahaman serta keterampilan yang tinggi dalam hal
bahan pengajar, metode, anak didik, dan landasan kependidikan.
4. Guru dalam organisasi profesional, memiliki publikasi profesional yang dapat
melayani para guru, sehingga tidak ketinggalan, bahkan selalu mengikuti
perkembangan yang terjadi.
5. Guru, selalu diusahakan untuk selalu mengikuti kursus-kursus, workshop,
seminar, konvensi, serta terlibat secara luas dalam berbagai kegiatan “in service”.
6. Guru diakui sepenuhnya sebagai suatu karier hidup (a life career).
7. Guru memiliki nilai dan etika yang berfungsi secara nasional maupun secara
lokal.

Sedangkan ciri-ciri profesi keguruan menurut NEA (National Education


Association) (1948) 8 adalah sebagai berikut.

1. Jabatan yang Melibatkan Kegiatan Intelektual


Jabatan guru melibatkan kegiatan intelektual karena mengajar melibatkan upaya-
uPaya yang sifatnya sangat didominasi kegiatan intelektual. Malahan lebih lanjut
dapat diamati bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota profesi mi adalah
dasar bagi persiapan dan semua kegiatan profesional lainnya.
2. Jabatan yang Menggeluti Batang Tubuh Ilmu yang Khusus

8
Loc Cit

144
Semua jabatan mempunyai monopoli pengetahuan yang memisahkan anggota
mereka dan orang awam dan memungkinkan mereka mengadakan pengawasan
tentang jabatannya. Anggota-anggota suatu profesi menguasai bidang ilmu yang
membangun keahlian’ mereka dan melindungi masyarakat dan penyalahgunaan,
amatiran yang tidak terdidik, dan kelompok tertentu yang ingin mencari keuntungan.
Menurut Encyclopedia of Educational Research, terdapat bukti-bukti bahwa
pekerjaan mengajar telah secara intensif mengembangkan batang tubuh ilmu khusus.
3. Jabatan yang Memerlukan Persiapan Latihan yang Lama
Menjadi guru melalui pendidikan cukup lama di perguruan tinggi, yaitu Si
Kependidikan. Anggota kelompok guru dan yang berwenang di Kementerian
Pendidikan Nasional berpendapat bahwa persiapan profesional yang cukup lama,
amat perlu untuk mendidik guru yang profesional. Konsep mi menjelaskan keharusan
memenuhi kurikulum perguruan tinggi yang terdiri dan pendidikan umum,
profesional dan khusus sekurangkurangflya empat tahun bagi guru pemula (Si di
LPTK) atau pendidikan persiapan profesional di LPTK paling kurang selama setahun
setelah mendapat gelar akademik Si di perguruan tinggi nonLPTK.
4. Jabatan yang Memerlukan Latihan dalam Jabatan yang Berkesinambungan
Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat sebagai jabatan
prorofesional, sebab hampir tiap tahun guru melakukan berbagai kegiatan latihan
profesional, baik yang mendapatkan penghargaan kredit maupun tanpa kredit. Bahkan
pada saat sekarang mi bermacam-macam pendidikan profesional tambahan diikuti
guru-guru dalam menyetarakan dirinya dengan kualifikasi yang telah ditetapkan
(penyetaraan Si untuk guru SD). Dilihat dan sudut pandang ini jelas kriteria keempat
mi dapat dipenuhi bagi jabatan guru di Indonesia.

5. Jabatan yang Menjanjikan Karier Hidup dan Keanggotaan yang Permanen

145
Dengan adanya sertifikasi guru, berimplikasi terhadap tunjangan profesi guru
sebesar satu kali gaji pokok, hal mi dapat menjanjikan karier hidup, sehingga profesi
guru sekarang mulai dilirik orang. Keanggotaan guru memang permanen.
6. Jabatan yang Menentukan Standarnya Sendiri
Dikarenakan jabatan guru menyangkut hajat hidup orang banyak, maka
pembakuan jabatan guru ini sering tidak diciptakan oleh anggota profesi sendiri
terutama di negara kita. Pembakuan jabatan guru masih sangat banyak diatur oleh
pihak pemerintah, atau pihak lain yang menggunakan tenaga guru tersebut seperti
yayasan pendidikan swasta. Namun sedikit demi sedikit LPTK mulai menyusun
standarnya sendiri.
7. Jabatan yang Mementingkan Layanan di Atas Keuntungan Pribadi
Jabatan guru adalah jabatan yang mempunyai nilai sosial kemasyarakatan yang
tinggi, tidak perlu diragukan lagi. Guru yang baik akan selalu ikhlas dalam
menjalankan aktivitas mengajarnya. Jabatan guru telah terkenal secara universal
sebagai suatu jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk membantu
oang lain dan bukan disebabkan oleh keuntungan ekonomi atau keuangan semata.
Kebanyakan guru memilih jabatan Ini berdasarkan apa yang dianggap baik oleh
mereka, yakni mendapat keuntungan rohaniah ketimbang kepuasan ekonomi atau
lahiriah. Namun, alasan INi bukan berarti guru harus dibayar lebih rendah. Oleh
sebab itu, tidak perlu diragukan lagi bahwa persyaratan ketujuh ini dapat dipenuhi
dengan baik.

8. Jabatan yang Mempunyai Organisasi Profesional yang Kuat dan Terjalin


Erat
Di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang
merupakan wadah seluruh guru mulai dan guru TK sampai dengan guru SLTA, ada
pula Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) yang mewadahi para sarjana
pendidikan, ada juga kelompok-kelompok guru bidang studi. Namun, eksistensi dan
organisasi tersebut perlu diteliti lebih jauh, apakah sudah terjalin dengan kuat dan
terjalin erat? Semua perlu dibuktikan.

146
Dan definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diangkat beberapa kriteria
untuk menentukan ciri-ciri suatu profesi, yaitu sebagai berikut (Rochman
Natawidjaja, 1989)9.
a. Ada standar untuk kerja yang baku dan jelas.
b. Ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan pelakunya dengan program
dan jenjang pendidikan yang baku serta memiliki standar akademik yang
memadai dan yang bertanggung jawab tentang pengembangan ilmu pengetahuan
yang melandasi profesi itu.
c. Ada organisasi profesi yang mewadahi para pelakunya untuk mempertahankan
dan memperjuangkan eksistensi dan kesejahteraannya.
d. Ada etika dan kode etik yang mengatur perilaku etik para pelakunya dalam
memperlakukan kliennya.
e. Ada sistem imbalan terhadap jasa layanannya yang adil dan baku.
f. Ada pengakuan masyarakat (profesional, penguasa, dan awam) terhadap
pekerjaan itu sebagai suatu profesi.
Dari uraian di atas tentang cini-ciri suatu profesi, maka profesi mempunyai cini-
cini utama sebagai benikut.
a. Pungsi dan signifikansi sosial: suatu profesi merupakan suatu pekerjaan yang
memiliki fungsi dan signifikansi sosial dan krusial.
b. Keterampilan/keahlian: untuk mewujudkan fungsi, dituntut derajat
keterampilafl/keahlian tertentu.
c. Pemerolehan keterampilan tersebut bukan hanya dilakukan secara rutin,
melainkan bersifat pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis yang
menuntut pemecahan dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
d. Batang tubuh ilmu: suatu profesi didasarkan kepada suatu disiplin ilmu yang
jelas, sistematis, dan eksplisit (a systematic body of knowledge) dan bukan hanya
common sense.

9
Rahman Natawijaya, Meningkatkan Kualitas Professional Guru Sd Melalui Pemantapan
Lembaga Pendidikan, Makalah Seminar, Bandung PGRI, 1989

147
e. Masa pendidikan: upaya mempelajari dan menguasai batang tubuh ilmu dan
keterampilan/keahlian tersebut membutuhkan masa latihan yang lama, bertahun-
tahun dan tidak cukup hanya beberapa bulan. Hal mi dilakukan pada tingkat
perguruan tinggi.
f. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional: proses pendidikan tersebut juga
merupakan wahana untuk sosialisasi nilai-nilai profesional di kalangan para
siswa/mahasiswa.
g. Kode etik dalam memberikan pelayanan kepada klien, seorang profesional
berpegang teguh kepada kode etik yang pelaksanaannya dikontrol oleh organisasi
profesi. Setiap pelanggaran terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.
h. Kebebasan untuk memberikan judgment: anggota suatu profesi mempunyai
kebebasan untuk menetapkan judgment-nya sendiri dalam menghadapi atau
memecahkan sesuatu dalam lingkup kerjanya.
i. Tanggung jawab profesional dan otonomi: komitmen pada suatu profesi adalah
melayani klien dan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab
profesional harus diabdikan kepada mereka. Oleh karena itu, praktik profesional
itu otonom dan campur tangan pihak luar.
j. Pengakuan dan imbalan: sebagai imbalan dan pendidikan dan latihan yang lama,
komitmennya dan seluruh jasa yang diberikan kepada klien, maka seorang
profesional mempunyai prestise yang tinggi di mata masyarakat dan karenanya
juga imbalan yang layak.
Ciri-ciri suatu profesi menurut Robert W. Richey (1974) sebagai berikut.
a. Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal daripada kepentingan
pribadi.
b. Seorang pekerja profesional, secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk
mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang
mendukung keahliannya.
c. Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu
mengikuti perkemhanan dalam pertumbuhan jabatan.

148
d. Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap serta cara
kerja.
e. Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi.
f. Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin din
dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya.
g. Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian.
h. Memandang profesi sebagai suatu karier hidup (a life career) dan menjadi
seorang anggota yang permanen.

Secara terperinci, ciri keprofesian ini dikemukakan oleh D. Westby Gibson


(1965) sebagai berikut.
a. Pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan
oleh kelompok pekerja yang dikategorikan sebagai suatu profesi.
b. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan
prosedur yang unik.
c. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mampu
melaksanakan suatu pekerjaan profesional.
d. Dimilikinya suatu mekanisme untuk menyaring, sehingga hanya mereka yang
dianggap kompeten yang diperbolehkan bekerja untuk lapangan pekerjaan
tertentu.
e. Dimilikinya organisasi profesional yang di samping melindungi kepentingan
anggotanya dan saingan kelompok luar, juga berfungsi untuk meningkatkan
kualitas layanan kepada masyarakat, termasuk tindak etis profesional pada
anggotanya.
Sementara itu Rusman10 merici tentang ciri-ciri profesi guru, yaitu:
a. Memiliki standar unjuk kerja yang baku atau dengan kata lain memiliki áturan
yang jelas tentang hal yang dikerjakannya.
b. Anggota profesinya memperoleh pendidikan tinggi yang memberikan dasar
pengetahuan yang bertanggung jawab.

10
Rusman, Op Cit, hal 32

149
c. Memiliki lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan tenaga profesi yang
dibutuhkan. Contohnya untuk menghasilkan tenaga guru, maka ada perguruan
tinggi keguruan seperti UPI, IKIP, FKIP dan STKIP.
d. Memiliki organisasi profesi yang memperjuangkan hak-hak anggotanya, serta
bertanggung jawab untuk meningkatkan profesi yang bersangkutan.
e. Adanya pengakuan yang layak dan masyarakat.
f. Adanya sistem imbalan yang memadai sehingga anggota profesi dapat hidup dan
profesinya.
g. Memiliki kode etik yang mengatur setiap anggota profesi.
Sekarang ini, masyarakat menginginkan semua pelayanan yang diberikannya
adalah yang terbaik. Misalnya, setiap orang tua menginginkan anaknya bersekolah di
sekolah yang gurunya profesional, setiap orang menginginkan menyimpan uang di
bank yang pelayanannya profesional, dan sebagainya. Tuntutan-tuntutan masyarakat
inilah yang membuat setiap profesi untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik.
Jika setiap anggota profesi dapat melakukan pekerjaannya dengan profesional, maka
dengan sendirinya dia akan membangun profesinya sehingga semua ciriciri profesi
yang diuraikan sebelumnya dapat tercapai.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana seorang anggota profesi melakukan
pekerjaannya dengan profesional? Setiap anggota profesi baik secara sendiri-sendiri
atau dengan cara bersama melalui wadah organisasi profesi dapat belajar. Belajar
yang dimaksud, yaitu belajar untuk mendalami pekerjaan yang sedang disandangnya
dan belajar dari masyarakat apa yang menjadi kebutuhan mereka saat ini dan saat
yang akan datang. Telah dikemukakan pada bagian muka kegiatan belajar mi tentang
profesionalisasi, yaitu usaha untuk mengembangkan profesi melalui pendidikan
prajabatan dan pendidikan dalam jabatan, sehingga pelayanan kepada pemakai (klien)
akan semakin meningkat.

D. Standar Kompetensi Guru Profesional


Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa
guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimal Si atau D-IV dan
memiliki empat standar kompetensi yakni kompetensi pedagogis, kompetensi

150
profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial (pasal 10). Keempat
kompetensi tersebut kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal
28 dan penjelasannya, kompetensi pedagogis adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perancangan dan pelaksanakan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya.
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak
mulia. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran
secara luas dan mendalam yang memungkinkan guru untuk membimbing peserta
didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Pendidikan
Nasional.
Sedangkan kompetensi sosial adalah kemampuan pendidikan sebagai bagian dan
masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidk, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat
sekitar. Berikut adalah uraian garis besar tentang hakikat keempat standar
kompetensi11 tersebut disertai dengan komentar dan catatan kritis yang relevan.

1. Kompetensi Pedagogis
Secara etimologis, kata pedagogi berasal dari kata bahasa Yunani, paedos dan
agogos (paedos=anak dan agoge = mengantar atau membimbing). Karena itu
pedagogi berarti membimbing anak. Tugas membimbing ini melekat dalam tugas
seorang ,pendidik, apakah guru atau orang tua. Karena itu pedagogi berarti segala
usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membimbing anak muda menjadi manusia
yang dewasa dan matang. Dan asal kata ini maka kompetensi pedagogis nampaknya
merupakan kompetensi yang tertua dan bahkan sudah menjadi tuntutan mutlak bagi

11
Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diatur melalui Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan
Kompetensi Guru.

151
manusia sepanjang zaman, karena kompetensi ini melekat dalam martabat manusia
sebagai pendidik, khususnya pendidik asali yakni orangtua.
Ketika peran pendidik dan orang tua digantikan dengan peran guru di sekolah
maka tuntutan kemampuan pedagogis ini juga beralih kepada guru. Karena itu guru
tidak hanya sebagai pengajar yang mentransfer ilmu, pengetahuan dan keterampilan
kepada siswa tetapi juga merupakan pendidik dan pembimbing yang membantu siswa
untuk mengembangkan segala potensinya terutama terkait dengan potensi akademis
maupun non akademis. Melalui peran mi, para guru secara spesifik haruslah menjadi
orang yang dapat membuat siswa bisa belajar. Dengan demikian kompetensi
pedagogis terkait erat dengan kemampuan didaktik dan metodik yang harus dimiliki
guru sehingga dia dapat berperan sebagai pendidik dan pembimbing yang baik.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi dan Kompetensi Guru telah menggarisbawahi 10 kompetensi inti yang
harus dimiliki oleh guru yang terkait dengan standar kompetensi pedagogis.
Kesepuluh kompetensi inti itu adalah sebagai berikut:
1) Menguasai karakteristik peserta didik dan aspek fisik, moral, kultural, emosional,
dan intelektual.
2) Menguasai teori-teori belajar dan prirsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
3) Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran atau bidang
pengembangan yang diampu.
4) Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.
5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan
pembelajaran.
6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya.
7) Berkomuriikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar
9) Menianfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
10) Melakukan tindakanreflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.

152
a. Pemahaman terhadap Karakteristik Peserta Didik
Siswa atau peserta didik yang dilayani oleh guru adalah individu-individu yang
unik. Mereka bukanlah sekelompok manusia yang dapat dengan mudah diatur,
didikte, diarahkan atau diperintah menurut kemauan guru. Mereka adalah subjek yang
memiliki latar belakang, karakteristik, keunikan, kemampuan yang berbeda-beda.
Karena itu pemahaman terhadap karakteristik peserta didik dan berbagai aspek
perkembangannya dan faktor-faktor yang memengaruhinya merupakan syarat mutlak
bagi guru agar guru dapat berhasil dalam pembelajararinya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Benjamin Bloom12, setidak-tidaknya ada
dua karakteristik individual siswa yang harus diperhatikan dalam memberikan
layanan pendidikan yang optimal yakni karakteristik kognitif dan karakteristik
afektif. Kedua karakteristik ini sangat berpengaruh terhadap pembelajaran dan hasil
belajarnya, sebagaimana yang terlihat dalam gambar berikut:

Gambar 1:
Karakteristik siswa yang memengaruhi hasil belajar
Diadaptasi dan Bloom.

12
Benjamin Bloom, Human Characteristik In School Learning, New York: McGrawu-Hil
Book Co, 1974, hlm 11

153
Karakteristik pertama adalah karakteristik kognitif. ini terkait dengan
kemampuan intelektual siswa dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Perkembangan intelektual manusia telah diteliti oleh para ahli psikologi kognitif, dan
salah seorang ahli psikologi kognitif yang pandangannya sangat berpengaruh
terhadap pemahaman manusia tentang perkembangan kognitif usia anak dan remaja
adalah Jean Piaget. Piaget membagi perkembangan kognitif manusia atas empat tahap
yakni tahap sensori motorik (0-2 tahun), tahap pra operasional (2-7 tahun), tahap
operasi konkret (7-11 tahun), dan tahap operasi formal (11-15 tahun).13 Anak-anak
usia sekolah berada pada tahap operasi konkret dan operasi formal. Ciri kemampuan
intelektual pada tahap operasi konkret adalah kemampuannya untuk memahami
sesuatu melalui instrumen-instrumen benda-benda konkret. Karena kemampuan
berpikir mereka masih terbatas pada representasi konkret maka anak-anak pada usia
ini harus membutuhkan banyak bantuan berupa media atau alat peraga untuk
menjelaskan konsep-konsep yang abstrak. Sementara bagi remaja yang sebagian
besar sudah berada pada tahap operasi formal, di mana kemampuan berpikir abstrak
sudah berkembang maka tugas guru adalah mengembangkan kreativitas berpikir dan
mencipta melalui metode-metode seperti penemuan, pemecahan masalah, dsb.
Sementara itu karakteristik afektif berkaitan dengan aspek-aspek seperti minat,
motivasi, konsep diri, dan sikap (terhadap sekolah, mata pelajaran, guru dan teman
sebaya) juga ikut berpengaruh sebagai prakondisi terciptanya proses pembelajaran
yang efektif. Guru perlu memahami karakteristik siswa semacam ini agar bisa
merancang dan menciptakan pembelajaran yang menggugah siswa.
Karakteristik siswa yang lain yang juga ikut berpengaruh terhadap proses
pembelajaran adalah karakteristik psikososial. Sebagaimana yang telah dikaji oleh
Erikson14 pada umumnya perkembangan psikososial manusia terjadi dalam delapan
tahap dan pada setiap tahap perkembangan selalu disertai dengan krisis tertentu,
karena adanya pertentangan atau konflik antara perkembangan maju dan
perkembangan mundur. Berikut adalah tahap perkembangan psikososial menurut

13
Anita Woolfolk, Education Psychology, Boston: Allyn and Bacon, 1993, hal 31
14
Ibid, hal 67

154
Erikson: a) kepercayaan dasariah vs ketidakpercayaan dasariah (usia 12 — 18 bulan),
b) otonomi vs rasa malu (18 bulan—3 tahun), c) inisiatif vs rasa bersalah (usia 3 — 6
tahun), d) keinginan untuk terlibat dalam pekerjaan produktif vs rendah diri, e)
identitas vs kebingungan peran, f) keintiman vs isolasi, g) generativitas vs stagnasi,
dan h) integritas vs keputusasaan.
Pada umumnya, siswa sekolah dasar dan menengah berada pada usia
perkembangan psikososial keempat dan kelima. Pada siswa sekolah dasar, di satu sisi
mereka mulai menyadari peran mereka untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan
produktif. Jika kesadaran ini direalisasikan maka mereka akan merasa berguna dan
memiliki ideal dan cita-cita untuk berguna di masa depan. Di pihak lain, bagi siswa
yang tidak dapat merealisasikan keinginannya ini maka ia akan merasa rendah diri.
Pada fase mi proses pembentukan konsep diri menjadi sangat menonjol. Ada rasa
kemampuan diri (self-efficacy) di satu pihak tetapi di lain pihak jika tenjadi kegagalan
maka ada perasaan rendah diri (inferior) menyebabkan hambatan bagi siswa untuk
maju.
Pada siswa sekolah menengah, di satu sisi mereka sedang berkembang untuk
menjadi diri sendiri, menemukan keunikan diri sendiri. Mereka menyadan bahwa
dirinya adalah unik dan khas yang berbeda dengan orang lain. Tetapi di pihak lain,
jika mereka gagal untuk menemukan diri sendiri maka mereka akan menjadi
terombang ambing, karena adanya kebingungan peran yang dimainkannya. Jika ini
terjadi maka bisa saja menjerumuskan meneka ke dalam hal-hal yang negatif.

b. Menguasai Teori Belajar dan Prinsip-prinsip Pembelajaran yangMendidik


Tugas utama gunu adalah memenganuhi siswa bisa belajar. Kanena itu tidak
tenelakkan bahwa guru juga harus menguasai dengan baik teori-teori belajar, dan
bagaimana teori-teori itu diaplikasikan dalam pembelajaran melalui model-model
pembelajaran tertentu.
Secara umum ada tiga teori belajar yang masih benpengaruh sampai saat mi yakni
teori-teori behaviorisme, teori-teori kognitivisme, dan teori-teori humanistik-
konstnuktivis. Ketiga teori ini meletakkan dasan bagi berbagai model pembelajanan
yang ada saat ini.

155
Teori behaviorisme adalah teori awal dalam pembelajaran yang menekankan
pentingnya stimulus-stimulus dan luar untuk memenganuhi siswa bisa belajar.
Asumsinya bahwa siswa adalah subjek pasif yang hanya bisa belajar kalau ada
ransangan tententu dan luar. Gunu adalah pusat dan siswa adalah periferial atau
pelengkap dalam belajar. Bagi kaum behavioris, belajar harus bisa diamati melalui
perilaku konkretnya.
Teori-teori kognitif pada kontinum lain mengatakan bahwa belajar merupakan
proses pengolahan informasi yang tidak dapat diamati. Proses itu terjadi dalam benak
seseorang ketika memperoleh informasi atau rangsangan dan luar melalui panca
inderanya. Informasi yang diterima kemudian diolah, disaring, diproses dan jika
bermakna maka akan disimpan di dalam unit penyimpanan baik sementara (short-
term memory) maupun permanen (ion gterm memory). Informasi yang telah disimpan
di dalam unit penyimpanan itu kemudian dapat ditarik kembali dan digunakan sesuai
kebutuhan.
Teori humanistik-konstruktivis justru berbeda pandangan secara radikal dengan
kedua teori di atas. Perbedaan yang paling menonjol adalah perubahan pandangan
tentang siswa/peserta didik yang sebelumnya dianggap sebagai subjek yang pasif
menjadi subjek yang aktif. Pendukung teori konstruktivis berpendapat bahwa siswa
adalah subjek yang aktif menciptakan pengetahuannya sendiri, berdasarkan
pengalaman-pengalamannya dengan lingkungan. Karena itu pengetahuan bukanlah
kumpulan fakta atau konsep-konsep yang dicekokkan kepada siswa, tetapi lebih
merupakan suatu rekonstruksi terhadap pengalaman yang didapat.
Selain menguasai teori-teori belajar dan pembelajaran, guru juga harus menguasai
prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. Menurut T. Raka Joni15, pembelajaran
yang mendidik adalah pembelajaran yang tidak hanya berupa penerusan informasi,
melainkan pembelajaran yang lebih banyak memberikan peluang bagi peserta didik
untuk pembentukan kecerdasan, pemerolehan pengetahuan dan keterampilan. mi
berarti guru harus lebih mengedepankan peran siswa sebagai subjek aktif dalam

15
T. Raka Joni, Pembelajaran yang mendidik: artikulasi Konseptual, terapan konstekstual,
dan vrivikasi emperik, jurnal ilmu pendidikan, jilid 12 No.2, 2005, hal 91-127

156
pembelajaran. Pembelajaran yang mendidik juga berarti pembelajaran yang
memberikan pengalaman-pengalaman bermakna yang tidak hanya berguna untuk
kepentingan sesaat (seperti untuk menyelesaikan soal tes agar bisa lulus), tetapi
pembelajaran yang memberikan kemampuan bagi siswa untuk bisa belajar sepanjang
hayat (learning how to learn).
c. Mengembangkan Kurikulum
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59
Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Kurikulum 2013
dikembangkan atas teori “pendidikan berdasarkan standar” (standard-based
education), dan teori kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum).
Pendidikan berdasarkan standar menetapkan adanya standar nasional sebagai kualitas
minimal warganegara yang dirinci menjadi standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian
pendidikan. Kurikulum berbasis kompetensi dirancang untuk memberikan
pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik dalam mengembangkan
kemampuan untuk bersikap, berpengetahuan, berketerampilan, dan bertindak.
Kurikulum 2013 menganut: (1) pembelajaran yang dilakukan guru (taught
curriculum) dalam bentuk proses yang dikembangkan berupa kegiatan pembelajaran
di sekolah, kelas, dan masyarakat; dan (2) pengalaman belajar langsung peserta didik
(learned-curriculum) sesuai dengan latar belakang, karakteristik, dan kemampuan
awal peserta didik. Pengalaman belajar langsung individual peserta didik menjadi
hasil belajar bagi dirinya, sedangkan hasil belajar seluruh peserta didik menjadi hasil
kurikulum.
Berdasarkan peraturan tersebut membuktikan bahwa guru bukan hanya pelaksana
kurikulum tetapi juga pengembang kurikuium di tingkat satuan pendidikan.
Kurikulum untuk tahun 2013 setiap satuan pendidikan telah mulai diterapkan untuk
jenjang pendidikan dasar dan Mengah. Kurikulum tahun 2013 telah memberikan
peluang bagi para guru untuk mengembangkan perangkat pembelaajran secara
madniri, seperti Silabus dan RPP maupun dalam wadah seperti Kelompok Kerja Guru

157
(KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Salah satu otonomi
profesional guru terletak pada kemampuannya untuk mengembangkan kurikulum
sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik yang dilayaninya.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menetapkan kompetensi (inti)
semua mata pelajaran di jenjang pendidikan dasar dan menengah yang diatur dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59
Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013. Kompetensi Inti Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dimiliki seorang peserta didik
SMA/MA pada setiap tingkat kelas. Kompetensi Inti dirancang untuk setiap kelas.
Melalui kompetensi inti, sinkronisasi horisontal berbagai kompetensi dasar antarmata
pelajaran pada kelas yang sama dapat dijaga. Selain itu sinkronisasi vertikal berbagai
kompetensi dasar pada mata pelajaran yang sama pada kelas yang berbeda dapat
dijaga pula. Rumusan kompetensi inti menggunakan notasi sebagai berikut:
1. Kompetensi Inti-1 (KI-1) untuk kompetensi inti sikap spiritual;
2. Kompetensi Inti-2 (KI-2) untuk kompetensi inti sikap sosial;
3. Kompetensi Inti-3 (KI-3) untuk kompetensi inti pengetahuan; dan
4. Kompetensi Inti-4 (KI-4) untuk kompetensi inti keterampilan.
Standar kompetensi inti yang harus dicapai oleh para siswa setelah mengikuti
pembelajaran. Tugas para guru adalah mengembangkan kompetensi Inti ini ke dalam
silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Selain itu para guru diberikan
kewenangan untuk mengembangkan bahan ajar dan berbagai perangkat pembelajaran
untuk menunjang proses pembelajaran yang optimal.
d. Melaksanakan Pembelajaran yang Mendidik
Penguasaan terhadap prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik oleh para guru
harus juga diwujudkan dalam proses pembelajaran aktual. Guru dituntut untuk
menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran mendidik tersebut dalam situasi
pembelajaran riil. Salah satu pendekatan pembe1ajaran yang mendukung karakter
pembelajaran yang mendidik adalah pendekatan PAIKEM (Pembelajaran Aktif,
Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Pendekatan mi harus tercermin dalam

158
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan dan pengorganisasian pembelajaran serta
penilaian pembelajaran. Karena itu guru harus menerapkan berbagai strategi, metode,
teknik dan prosedur yang inovatif, sehingga dapat membuat siswa bisa belajar dalam
situasi atau kondisi yang bebas dan berbagai macam tekanan, ancaman, ketekunan,
dan sebagainya.
Pendekatan ini menempatkan siswa sebagai subjek belajar dan guru Sebagai
mitra belajar dan fasilitator. Melalui intervensi dan penciptaan kondisi tertentu, siswa
menjadi subjek yang aktif dalam merencanakan dan mengorgantisir belajarnya.
Mereka memiliki peluang yang seluas-luasnya untuk memanfaatkan berbagai sumber
belajar yang tersedia secara efektif guna meningkatkan hasil belajarnya.
Pembelajaran inovatif artinya guru dan siswa dalam pelaksanaan pembelajaran
memanfaatkan berbagai strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran baru, yang
sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman, sehingga mampu memberdayakan
siswa untuk tetap up to date dengan perkembangan zaman. Salah satu ciri
pembelajaran inovatif adalah pemanfaatan strategi mutakhir yang berasal dari
perkembangan baru dalam bidang teori-teori pembelajaran. Juga pembelajaran yang
memanfaatkan multimedia dan teknologi komunikasi dan informasi untuk
penyampaian pembelajaran.
Pembelajaran yang kreatif adalah pembelajaran yang mampu merangsang siswa
untuk dapat menemukan cara-cara baru dan unik untuk memecahkan masalah.
Pembelajaran kreatif juga mendorong siswa untuk mampu menemukan hal-hal kecil
(ide, metode, teknik, atau prosedur) sehingga mampu melahirkan insan-insan yang
kreatif dan berdaya cipta.
Pembelajaran yang efektif artinya pembelajaran yang memiliki dampak tertentu
bagi perubahan perilaku siswa sebagaimana yang ditetapkan dalam tujuan-tujuan
pembelajaran atau standar-standar kompetensi yang diharapkan. Pembelajaran efektif
menempatkan guru dan siswa Sebagai mitra kolaboratif yang berjalan bersama
mencapai tujuan yang diharapkan.16

16
Marselus R, Payong, Sertifikasi Profesi Guru-Konsep Dasar Problematika, Dan
Implementasinya, Jakarta: Indeks, 2011, hal 35

159
Sedangkan pembelajaran yang menyenangkan (Joyfuii Learning) adalah
pembelajaran yang membuat siswa merasa betah dan bebas dan situasi tertekan, takut,
terancam, dan membawa siswa kepada suatu lingkungan belajar yang ramah terhadap
anak (friendly classroom). Melalui lingkungan belajar semacam ini anak bebas untuk
mengekspresikan diri dan mengaktualisasikan berbagai potensinya, sehingga segala
bakat dan kemampuan siswa dapat berkembang secara optimal. Selain itu siswa juga
semakin mencintai pelajarannya dan memiliki minat yang kuat terhadap pelajaran,
sehingga dapat memberikan peluang bagi siswa untuk berhasil.
Pembelajaran yang mendidik juga bermakna pembelajaran yang tidak hanya
memengaruhi perubahan perilaku pada aspek-aspek kemampuan tertentu saja, tetapi
pada semua aspek kemampuan pribadi manusia secara menyeluruh. Sebagaimana
yang telah ditawarkan oleh UNESCO, pembelajaran yang mendidik hendaknya
berpijak pada empat pilar belajar yakni: learning to know, learning to do, learning to
be, dan learning to live together.17 Belajar ntuk mengetahui segala sesuatu,
mentranfer berbagai ilmu dan pengetahuan adalah penting, tetapi bukan satu-satunya.
Karena itu harus dilengkapi dengan belajar untuk bisa menjadi terampil dalam
melakukan segala sesuatu, belajar untuk menjadi diri sendiri, dan belajar untuk bisa
hidup dan beradaptasi dengan orang lain.
Pembelajaran mendidik adalah pembelajaran yang memotivasi siswa untuk
belajar, tidak hanya pembelajaran yang mentransfer pengetahuan dan keterampilan.
Karena itu kemasan pembelajaran yang dibuat guru hendaknya memperhatikan
prinsip-prinsip motivasional yang baik, sehingga dapat memengaruhi kemampuan
siswa untuk belajar. Realitas ini perlu dicermati sungguh-sungguh oleh guru karena
belajar di abad ini tidak hanya menguasai sebanyak-banyaknya pengetahuan,
keterampilan atau nilai-nilai yang perlu bagi kehidupan tetapi lebih dan itu; belajar
untuk bisa belajar dan menyesuaikan diri (learning how to learn). Karena itu guru
dalam pembelajaran yang mendidik hendaknya memposisikan diri sebagai motivator
dan pemberi semangat (inspirator) bagi siswa. Guru hendaknya menantang siswa

17
Jagoes delors, learning: The Treasure Within, Report To UNESCO Of The International
Commision On Education Go The Twenty Firs Century, Paris: UNESCO Publication, 1996, hal 86-89

160
untuk bisa menemukan pengetahuan sendiri dan menemukan cara-cara pemecahan
masalah sendir secara kreatif.

e. Memanfaatkan Teknologi Informasi untuk Pembelajaran


Kita hidup di abad informasi dan teknologi komunikasi dan informasi
memainkan peranan penting dalam menentukan kualitas kehidupan umat manusia.
Era mi sudah diisyaratkan oleh Alfin Toffler pada awal dasawarsa 1990-an dan ia
menyebuthya sebagai era informasi (information era). Dalam era mi informasi telah
menjadi satu kekuatan utama yang memengaruhi dan menentukan segala aspek
kehidupan manusia sekaligus memengaruhi kualitas budaya dan suatu bangsa. Guru
di abad ini berhadapan dengan kenyataan, bahwa para siswa yang hadir di sekolah
telah memiliki kekayaan informasi yang mereka peroleh di luar sekolah. 18 Di pihak
lain, UNESCO telah mengingatkan akan peran baru guru dalam abad informasi ini.
Menurut UNESCO, dalam tahn-tahun terakhir ini sumber dan distribusi informasi
telah berkembang dalam cara yang sangat spektakuler hampir di mana-mana. Anak-
anak sudah terbiasa dengan kemasan-kemasan informasi yang menghibur,
menyenangkan bahkan penuh dengan hura-hura sehingga tantangan terberat bagi para
guru di abad informasi ini adalah, bagaimana mengemas pembelajaran semenarik
kemasan yang biasa diriikmati anak-anak di media (televisi, radio, internet, dsb) 19
Karena itu, pembelajaran di abad ini juga telah dipengaruhi oleh ketersediaan
teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan informasi, Sehingga peran guru
sebagai sumber informasi semakin perlahan digantikan dengan kehadiran teknologi
informasi semacam itu (komputer, internet, dan sebagainya). Satu survei yang
dilakukan oleh The National Center for Education Statistics (NCES) dan Departemen
Pendidikan Amerika Serikat pada tahun 1999 menunjukkan bahwa komputer dan
teknologi informasi telah menjadi kebutuhan yang mendesak bagi para guru,
administrator, dan praktisi pendidikan di Amerika sehingga dibutuhkan kemampuan
untuk menguasai teknologi ini. Para guru melaporkan bahwa mereka selalu

18
Anvirl Loveless, ICT in the primery curriculum”, dalam avril loveless dan Dabs Dore, (ed)
ICT in the premery, Buckingham: open University Press, 2002, 4-5
19
Jaques Delors, Op Cit, 142

161
menggunakan komputer untuk menyiapkan pelajaran, mengerjakan tugas-tugas
administratif seperti perekaman dan pengolahan nilai hasil belajar, dan sebagainya.
Mereka juga telah memanfaatkan internet untuk mencari materi atau bahan ajar,
mengakses informasi-informasi terbaru, tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta memanfaatkannya dalam pembelajaran. Selain itu para guru telah
menugaskan para siswanya untuk mencari sumber-sumber informasi atau materi dari
internet, dan memanfaatkan internet untuk berdiskusi atau berbagi informasi. 20
Dengan semakin luasnya penetrasi teknologi informasi dan komputer dalam
berbagai segi kehidupan manusia, termasuk dalam latar pembelajaran, maka para
guru juga dituntut untuk melek terhadap teknologi informasi dan dapat memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran. Guru harus bisa
memanfaatkan teknologi komputer ini untuk memudahkan pembelajaran atau
mengemas pesan-pesan pembelajaran secara menarik, sehingga dapat menggugah
imnat dan motivasi belajar siswa.
Selain itu juga komputer dan internet dapat digunakan sebagai sarana untuk
menjelajah informasi terbaru guna memperkaya bahan ajarnya atau wawasan
pengetahuan yang dimilikinya. James D Finn,21 salah seorang tokoh teknologi
pendidikan pernah mengatakan, masa depan pendidikan akan berada di tangan
mereka yang menghayati arti penting teknologi dan memanfaatkannya dalam
pembelajaran. Karena itu jika para guru ingin berperan lebih di abad mi, mereka juga
harus menguasai teknologi, termasuk teknologi informasi dan komputer.

f. Membantu Peserta Didik Mengaktualisasikan Potensinya


Kemampuan guru lain adalah membantu peserta didik mengaktualisasikan
segenap potensinya. Siswa sebagai individu memiliki berbagai bakat dan kemampuan
yang beragam. Karena itu tugas guru adalah menciptakan kondisi sedemikian rupa
agar berbagai potensi dan kemampuan yang beragam itu dapat dikembangkan secara

20
NCES, Teacher tools for the 21ST Century: S report on the teacher use of teknology,
Washinton DC: US Departemen of education, office of educaation Reseach an imprrovment, 2000 hal,
diakses http:nces.ed.gov.20november 2014
21
Dikutif dalam EACT, Definisi teknologi Pendidikan, satuan tugas definisi dan terminologi
AECH, diterjemahkan oleh Yusufhardi Marso, dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, hal 176

162
optimal. Salah satu wahana untuk mengembangkan kemampuan, potensi, bakat atau
minat siswa adalah melalui kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler. Guru tidak hanya
menjadi fasilitator belajar di ruang kelas, tetapi juga harus menjadi fasilitator belajar
di luar ruang kelas pada situasi-situasi non pembelajaran.
Para guru dapat melibatkan diri menjadi pembiria kegiatan-kegiatan
ekstrakurikuler secara spesifik sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Guru yang
berbakat olahraga dapat menjadi pembina olahraga siswa. Guru yang berbakat
kesenian dapat menjadi pembina kesenian siswa. Kegiatan-kegiatan pengembangan
minat, bakat dan potensi siswa dalan Kurikulum Tinkat Satuan Pendidikan termasuk
dalam kegiatan perigembangan diri yang setara dengan dua jam pelajaran per
minggu.
Melalui kegiatan pengembangan minat, bakat dan kemampuan siswa mi, para
siswa merasa dihargai dan memiliki peluang untuk mengembangkan kemampuannya
secara optimal tanpa dihambat oleh berbagai kegiatan-kegiatan akademik
pembelajaran semata.
Selain dikemas dalam kegiatan-kegiatan ektrakurikuler, kegiatan pengembangan
bakat, minat dan potensi siswa dapat juga diintegrasikan dalam pembelajaran melalui
penciptaan pengalaman-pengalaman belajar tertentu.
Kegiatan pembelajaran yang bernuansa PAIKEM di satu sisi membantu siswa
mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya, tetapi di sisi lain dapat juga
membantu siswa mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya secara maksimal.

g. Berkomunikasi secara Efektif, Empatik, dan Santun dengan Siswa


Kegiatan pembelajaran adalah suatu bentuk komunikasi. Karena esensi dan
pembelajaran adalah interaksi antara individu-individu tertentu, sehingga terjadi
pertukaran pesan (informasi, pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan lain-lain).
Agar supaya guru dapat berinteraksi dengan siswa dan dapat melaksanakan
pembelajarannya secara efektif, kemampuan komunikasi merupakan salah satu
prasyaratnya. Guru harus bisa berkomunikasi secara efektif dengan siswa agar pesan-
pesan pembelajaran dapat dipahami, dihayati atau diamalkan oleh para siswa.

163
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang mengena, atau komunikasi
yang menyebabkan pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami
dengan sempurna. Karena itu berkomunikasi secara efektif mengandung pengertian
adanya interaksi yang bermakna yang menimbulkan saling pengertian, dan saling
pemahaman di antara guru dan siswa.
Komunikasi secara empatik adalah komunikasi yang menggugah di mana semua
pihak yang terlibat dalam proses komunikasi dapat saling menyelami isi hati, maksud,
tujuan dan masing-masing pihak. Guru dapat berkomunikasi secara empatik dengan
siswa jika ia mampu memahami dengan baik kebutuhan-kebutuhan siswanya,
sehingga dapat menyesuaikan pelayanannya secara tepat.
Menurut Gordon, hubungan guru dan murid yang baik ditandai dengan beberapa
ciri berikut: 1) adanya keterbukaan dan transparan sehingga memungkinkan
keterusterangan dan kejujuran satu sama lain, 2) adanya saling perhatian, 3) adanya
saling ketergantungan satu sama lain, 4) adanya keterpisahan yang memungkinkan
guru dan siswa mengembangkan keunikan, kreativitas dan individualitas masing-
masing, dan 5) adanya pemenuhan kebutuhan bersama. 22
Dalam berkomunikasi secara efektif dengan para siswa, guru hendaknya
memperhatikan beberapa hambatan komunikasi berikut ini:23 1) memerintah,
mengkomando, mengatur, 2) memperingkatkan, mengancam, 3) mengkotbahi,
memberi keharusan, 4) menasihati, menawarkan pemecahan dan saran secara
berlebihan, 5) menggurui, menceramahi, 6) menghakimi, mengkritik, menyalahkan,
7) membentak, memberikan stereotip atau label, 8) mendiagnosis, menafsirkan atau
menganalisis secara keliru, 9) menginterogasi, mendesak, 10) menanik diri, sinis,
mengganggu.
Selain itu, akibat adanya pengaruh dan psikologi humanistik terhadap praktik
pendidikan, maka perlakuan terhadap siswa oleh para guru juga berubah. Kalau dulu,
ada hubungan sub ordinasi antara guru dan siswa. Siswa dianggap sebagai objek dan
pelengkap dalam pembelajaran. Saat mi siswa adalah subjek pembelajaran dan guru
22
Thomas Gordon, Menjadi Guru Efektif, (terjemah Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT.
Gramedia, 1997, hal 23
23
Ibid, hal 46-48

164
adalah mitra belajar. Karena itu dalam pergaulan dan interaksi edukatif guru dan
siswa dibutuhkan komunikasi yang santun. Guru harus menggunakan pendekatan-
pendekatan komunikasi yang lebih manusiawi dalam berinteraksi dengan para siswa
karena siswa adalah partnernya. Dalam kaitan dengan itu maka guru harus
mengembangkan sikap yang positif terhadap siswa, memperlakukan mereka sebagai
subjek yang sedang berkembang dengan segala keunikannya, dan membantu mereka
dalam merealisasikan segenap potensi yang dimilikinya melalui interaksi pedagogis
yang bermakna.

h. Menilai Proses dan Hasil Pembelajaran


Salah satu tugas utama guru dalam pembelajaran adalah menilai proses dan hasil
pembelajaran. Guru harus bisa mengembangkan alat penilaian yang tepat dan sahih
untuk dapat mengukur kemajuan belajar dan hasil belajar siswa secara komprehensif.
Penilaian terhadap proses dan hasil pembelajaran tidak hanya mencakup aspek atau
ranah tertentu, tetapi harus dapat mengungkap kemampuan utuh dalam ketiga ranah
secara komprehensif (ranah kognitif, afektif dan psikomotor).
Penilaian proses harus dilakukan secara berkesinambungan, sehingga diharapkan
dapat membantu guru untuk melakukan perbaikan-perbaikan pembelajaran yang lebih
optimal. Di sisi lain penilaian ini diharapkan dapat membantu siswa untuk
memperbaiki atau meningkatkan kinerja belajarnya. Penilaian proses terkait dengan
pencapaian-pencapaian sementara siswa Selama pembelajaran, keterlibatan, motivasi,
minat dan antusiasme siswa dalam pembelajaran. Penilaian harus dilakukan secara
adil, transparan, komprehensif, imparsial dan akuntabel dengan menggunakan alat
dan teknik penilaian yang valid dan reliabel.
Sementara itu, penilaian hasil dimaksudkan untuk mengukur ketercapaian tujuan-
tujuan pembelajaran (standar kompetesi dan kompetensi dasar) pada akhir dan satu
unit pembelajaran tertentu. Hasil-hasil penilaian ini kemudian dapat dimanfaatkan
untuk melakukan perbaikan, mendiagnosis kelemahankelemahan atau kesulitan yang
dialami siswa, atau untuk menjadi bahan refleksi bagi guru atau sekolah untuk
meningkatkan kinerja pelayanan mereka.

165
Dalam Kurikulum tahun 2013 penilaian proses sama pentingnya dengan penilaian
hasil. Karena itu keduanya harus dilakukan secara berkesinambungan dan konsisten.
Terkait dengan itu, telah diperukan setidak-tidaknya tujuh jenis penilaian berbasis
kelas yang dapat diaatkan guru untuk melakukan penilaian pembelajaran. Ketujuh
jenis pean itu adalah: penilaian tertulis, penilaian kinerja, penilaian produk, penilaian
ek, penilaian sikap, penilaian diri, dan penilaian portofolio. Ketujuh jenis peran ini
dapat digunakan dengan tepat apabila guru mampu mengidenasi kemampuan-
kemampuan atau perilaku yang harus dikuasai setelah engikuti proses pembelajaran.
Untuk melakukan penilaian yang baik, guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip
berikut:
1) Penilaian hendaknya dilakukan secara objektif yakni lai apa yang seharusnya
dinilai serta terfokus pada kompetensi atau tuuan pembelajaran yang telah
ditetapkan.
2) Penilaian hendaknya dian secara menyeluruh dan komprehensif, yakni mencakup
semua askemampuan atau kompetensi siswa (kognitif, afektif, dan perilaku).
3) laian hendaknya menggunakan alat-alat ukur yang tepat dengan melambangkan
validitas dan reliabilitasnya.
4) Penilaian hendaknya bersifat ‘‘idik artinya menjadi alat motivasi bagi siswa untuk
belajar. Siswa harus ntang untuk melakukan refleksi dan memperbaiki kinerja
belajarnya mehasil penilaian yang diperoleh.
5) Penilaian hendaknya dilakukan secara berkesmambungan dan memperhatikan
perkembangan siswa dan waktu ke waktu. 24

i. Melakukan Tindakan Reflektif


Salah satu ciri dari tugas guru sebagai seorang profesional adalah kemampuan
untuk merefleksikan praktiknya dan melakukan perbaikan-perbaikan secara
berkelanjutan. Menurut Bloud dkk (1985) sebagaimana yang dikutip oleh Jones,
Jenkin, dan Lord,25 refleksi merupakan satu bagian dan proses belajar dan merupakan

24
Marsel R, Payong, Evaluasi Pembelajaran, Ruteng: SKIP ST, Paulus, 2007 hal 3
25
Jeff Jones, Mazda Jenkin dan Sue Lord, Developing Efective Teacher Performance,
London: Chaoman Publishing, 2006, hal 45

166
satu istilah generik bagi kegiatan intelektual yang efektif, di mana individu-individu
yang terlibat di dalamnya berusaha untuk menyelidiki pengalamannya guna
membantu pemahaman dan apresiasi baru terhadap sesuatu hal tertentu. Dengan
demikian, tindakan-tindakan reflektif adalah sejenis proses belajar yang merupakan
bagian dan proses pengembangan profesionalisme berkelanjutan.
Sejak tahun 1980-an guru sering disebut juga sebagai ‘praktisi reflektif’
(reflective practitioners). Istilah ini dipopulerkan oleh Schon (1983). Menurut Schon
yang dikutip Day, guru sebagai praktisi reflektif dapat melakukan tiga bentuk
refleksi:26 Pertama, refleksi dalam tindakan (reflection-in-action) yang berkaitan
dengan proses pembuatan keputusan yang dilakukan pada saat guru secara aktif
terlibat dalam pembelajaran. Proses mi biasanya terjadi secara spontan tetapi dialami
ketika terjadi pembelajaran. Misalnya, ketika guru menerapkan suatu metode tertentu
dan kemudian memperoleh respons yang kurang memuaskan dari siswa maka pada
saat itu juga guru dapat berpikir, apa yang salah dengan metode ini, Kedua, refleksi
atas tindakan (reflection-on-action) yakni suatu refleksi yang dilakukan sebelum dan
setelah tindakan dilakukan. Biasanya, sebelum melakukan pembelajaran, guru sudah
mempertimbangkan secara cermat, mengapa ia menggunakan metode atau
pendekatan tertentu. Ia sudah memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu tentang
kesesuaiannya dengan konteks pembelajarannya. Setelah melaksanakan pembelajaran
ia melakukan refleksi ulang untuk melihat kembali efektivitas penggunaan metode
yang sudah diterapkannya, apa saja kekurangan dan kelebihannya. Dalam refleksi
atas tindakan, guru dapat menemukan kekurangan dan kelebihan secara sistematis
dan analitis. Ketiga, refleksi tentang tindakan (reflection-about-action), yakni suatu
kegiatan refleksi yang relatif lebih komprehensif, dengan mengambil sudut pandang
yang lebih luas dan dalam serta kritis terhadap praktik-praktik pembelajarannya
dengan mengkajinya dan berbagai aspek lain seperti etis, moral, politis, ekonomis,
sosiologis, dan lain sebagainya. Melalui refleksi ini, para guru dapat memperoleh
pemahaman yang lebih luas tentang praktik pembelajarannya dan meningkatkan

26
Christoper Day, Developing Teacher: the Challengers Of Lifelong Learning, London:
Falmer Press, 1999, hal 27-29

167
tanggungjawab dan akuntabilitasnya terhadap pilihan, dan keputusan-keputusan yang
dibuat dalam praktik pembelajaran.
Salah satu medium untuk melakukan refleksi adalah dengan mencatat Secara
teratur pengalaman-pengalaman pembelajarannya seusai pembelajaran. Catatan-
catatan mi berisi kasus atau pengalaman-pengalaman unik yang dialami guru dan
siswa dalam proses pembelajaran. Guru mencatat itu dalam diary atau catatan
hariannya dan kemudian merefleksikan pengalaman itu dengan mengkonfrontasikan
dengan basis pengetahuan atau pengalaman Sebelumnya. Jika ini dilakukan secara
terus-menerus maka guru dapat belajar banyak hal untuk bisa berubah, atau secara
alamiah akan memperbaiki caracara lamanya yang mungkin kurang cocok.
Jika pengalaman-pengalaman itu selalu ditulis dan direfleksikan secara terus-
menerus, maka secara sadar atau tidak para guru telah mengembangkan kemampuan
menulisnya; dan jika refleksi dibuat secara sistematis. maka dapat menjadi pintu
masuk bagi guru untuk melakukan penelitian-penelitian (penelitian tindakan kelas,
studi kasus, eksperimen, dsb).
2. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan
Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terkait
penguasaan terhadap struktur keilmuan dan mata pelajaran yang diasuh secara luas
dan mendalam, sehingga dapat membantu guru membimbing siswa untuk menguasai
pengetahuan atau keterampilan secara optimal. Secara lebih spesifik menurut
Permendiknas No. 16/2007, standar kompetensi mi dijabarkan ke dalam lima
kompetensi inti yakni:
1) Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung
mata pelajaran yang diampu
2) Menguasai standar kompetensi, dan kompetensi dasar mata pelajaran atau bidang
pengembangan yang diampu
3) Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif
Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan
tindakan reflektif

168
4) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan
mengembangkan diri.

a. Menguasai Materi, Struktur, dan Konsep Keilmuan Mata Pelajaran


Guru profesional adalah seorang ahli bidang studi (subject matter specialist).
Setelah melewati proses pendidikan dan pelatihan yang relatif lama (kurang lebih
empat tahun untuk jenjang strata satu (S-1) ditambah dengan satu tahun pendidikan
profesi), maka para guru dianggap memiliki pengetahuan dan wawasan yang cukup
tentang isi mata pelajaran yang terkait dengan struktur, konsep dan keilmuannya. 27
Penguasaan terhadap materi ini menjadi salah satu prasyarat untuk dapat
melaksanakan pembelajaran secara efektif, karena guru sering menjadi tempat
bertanya bagi siswa dan dapat juga menjadi sumber pemuas dahaga keingintahuan
siswa. Dalam diri siswa tentu ada kebanggan, bila memiliki guru yang bisa menjadi
pemuas dahaga keingintahuannya. Selain itu penguasaan terhadap mateni juga dapat
menjadi salah satu prasyarat bagi guru, untuk dapat memberikan bantuan yang tepat
terhadap permasalahan belajar yang dihadapi oleh siswa. Sering dijumpai, siswa
mengalami kesulitan dalam belajar karena ketidakmampuannya memahami konsep-
konsep keilmuan dalam mata pelajaran yang dipelajani. Kepada siapa mereka akan
bertanya jika sumber-sumber belajar lain tidak dapat membenikan jawaban yang
memuaskan bagi mereka. Dalam kondisi semacam mi, guru adalah andalan yang
diharapkan bisa memberikan bantuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi
siswa.
Kesalahan atau ketidakmampuan menguasai konsep-konsep dalam mata pelajaran
dapat berakibat fatal bagi para siswa, terlebih apabila konsep-konsep yang salah itu
kemudian diajarkan kepada pana siswa. Hal mi akan berdampak serius jika konsep-
konsep keilmuan itu menjadi prasyarat untuk mempelajari materi pada jenjang
selanjutnya atau belajar bidang-bidang yang lain. Karena itu penguasaan materi dan
bahan ajar sudah sepantasnya, menjadi salah satu tuntutan dalam kompetensi
profesional dalam standar kompetensi profesional.

27
Maselus R. Payong, Op Cit, hal 44

169
b. Menguasai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran
yang Diasuh
Sebagai pengembang kurikulum di tingkat satuan pendidikan, guru memiliki
kewajiban untuk menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar dan mata
pelajaran yang diasuh. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) untuk
semua mata pelajaran dan jenjang SD/MI/SDLB sampai SMA/ MA/ SMK/SMALB
sudah disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan sudah ditetapkan
melalui Permendiknas No. 22 tahun 2006.
Melalui penguasaan terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran maka diharapkan guru dapat mengembangkan silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran secara cermat. Hal mi karena standar kompetensi dan
kompetensi dasar merupakan arah dan dasar untuk mengembangkan materi pokok,
kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi.28 Pengembangan materi
pembelajaran berdasarkan pada standar kompetensi bukan berdasakan materi,
sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik.
Karena itu penguasaan terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar
menjadi prasyarat bagi guru untuk mengembangkan kurikulum di tingkat satuan
pendidikannya. Melalui penguasaan tersebut pada guru dapat menjabarkan,
menganalisis dan mengembangkan indikator-indikator pencapaian yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi sekolah serta kebutuhan dan karakteristik siswa yang
dilayani. Indikasi kemampuan ini dapat dilihat pada bagaimana guru dapat
mengembangkan rencana pembelajarannya (silabus dan RPP) secara cermat dengan
memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar dan struktur keilmuan mata
pelajarannya. Penguasaan terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar juga
dapat diketahui dari adanya kemampuan guru untuk mengembangkan alat penilaian
yang tepat, sesuai dengan indikator-indikatornya.

28
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014
Tentang Kurikulum 2013

170
c. Mengembangkan Materi Pembelajaran Secara Kreatif
Penguasaan terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar dan mata
pelajaran yang diasuh guru harus juga dibarengi dengan kemampuan guru untuk
mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan struktur keilmuan dan
kebutuhan khas peserta didik. Dalam mengembangkan materi pembelajaran, guru
dapat menggunakan model-model pengembangan Sebagaimana yang telah dikuasai
dalam teori-teori pembelajaran. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengembangan
materi pembelajaran harus dapat mengikuti suatu pola atau urutan logis tertentu,
misalnya dan yang sederhana kepada yang kompleks, dari yang konkret kepada yang
abstrak, dari yang dekat kepada yang jauh.
Prinsip utama dan penguasaan kompetensi ini adalah agar materi pembelajaran
yang akan dipelajari oleh siswa menjadi bermakna bagi mereka, sehingga tidak hanya
diketahui tetapi juga dapat dihayati dan diamalkan oleh siswa. Melalui prinsip mi,
guru dapat mengembangkan materinya secara kreatif (asalkan tidak menyimpang dan
konsep keilmuan) dengan menyesuaikannya dengan kebutuhan khas siswa.
Dalam mengembangkan materi, guru perlu memperhatikan prinsip-pninsip
berikut: 29
a) Validitas artinya ketepatan materi terkait dengan konsep keilmuannya. Materi
yang diberikan haruslah sudah teruji kebenarannya sehingga tidak menimbulkan
salah tafsir atau perdebatan.
b) Keberartian artinya signifikansi dari materi tersebut terhadap kebutuhan peserta
didik. Materi yang diberikan haruslah bermakna bagi siswa terutama untuk
menjawab kebutuhan-kebutuhan khasnya.
c) Relevansi: yakni bahwa mateni yang dikembangkan harus sesuai juga dengan
kemampuan siswa untuk menerimanya.
d) Kemenarikan: hendaknya mateni juga dapat mendorong siswa untuk mendalami
lebih jauh atau menimbulkan rasa ingin tahu.

29
E. Mulyasa, Standar Kompetensidan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007,
hal 139-140

171
e) Kepuasan: artinya materi yang diberikan dapat menimbulkan perasaan senang dan
puas dalam diri siswa, karena kebutuhan atau keinginannya terpenuhi.

d. Mengembangkan Profesional Berkelanjutan Melalul Tindakan Reflektif


Kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan (continuing professional
development = CPD) merupakan sebuah tuntutan mutlak bagi para guru karena
perkembangan ilmu dan teknologi beijalan begitu cepat. Karena itu penyesuaian
terhadap penguasaan ilmu dan teknologi bagi guru haruslah senantiasa up to date dan
menjadi salah satu syarat penting bagi guru, untuk mengembangkan diri dan
memperbaharui praktik profesionalnya. Penguasaan kompetensi mi masih terkait
dengan penguasaan salah satu kompetensi pada standar kompetensi pedagogis.
Pengembangan profesi berkelanjutan merupakan satu keniscayaan karena guru di
abad mi haruslah menjadi teladan pebelajar seumur hidup. Hasil-hasil penelitian
sebagaimana yang dilaporkan oleh David Hustler30 dkk., menunjukkan bahwa: 1)
Pengembangan profesional dilihat sebagai hal yang penting dan bermanfaat bagi
sebagian besar guru karena sebagai alat, untuk memperbaharui pengetahuan dan
keterampilan mereka demi pengembangan diri mereka maupun demi siswa yang
dilayani. 2) Kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan dapat memberikan
manfaat yang lebih baik, jika dilaksanakan secara terstruktur dan terfokus serta terkait
langsung dengan rencana pengembangan sekolah dan disajikan oleh para ahli atau
praktisi dengan memberikan peluang bagi para guru untuk bekerja secara kolaboratif
dan terlibat secara aktif. 3) Pengembangan profesional juga dapat dilihat Sebagai
faktor yang membatasi peluang-peluang guru untuk berkembang, Seandainya
kegiatan pengembangan profesional lebih diakibatkan oleh tekanan dan tanggapan
terhadap prakarsa baru atau tanggungjawab baru yang harus diemban guru. 4)
Dukungan bagi guru dalam kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan dirasa
penting khususnya dalam hal dukungan pendanaan dan fasilitas yang dibutuhkan.

30
Davit Hustler, et al, Teacher’s preception of Continung Profesional Develoment,
Manchester: Institut Of Education Mancester Metropolitan University, 2000, hal 27

172
Menurut Michael Eraut31, pengembangan profesionalisme berkelanjutan
merupakan suatu bentuk akuntabilitas moral sebagai profesional karena guru
memiliki: 1) komitmen moral untuk melayani kepentingan siswa meIalui refleksi
terus-menerus terhadap praktik profesionalnya sehingga dapat diketahui manakah
yang terbaik yang dapat diberikan kepada siswa; 2) kewajiban profesional untuk
meninjau secara berkala efektivitas dan praktik pembelajarannya sehingga dapat
meningkatkan mutu pembelajaran, manajemen, dan pedagogi; 3) kewajiban
profesional untuk mengembangkan secara terus-menerus pengetahuan-pengetahuan
praktis baik melalui refleksi pribadi maupun melalui interaksi dengan teman-teman
sejawat.
Kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan itu dapat dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan pelatihan-pelatihan dalam jabaran (in-service training) yang
dilaksanákan di sekolah atau dalam wadah kelompok guru (KKG atau MGMP),
penelitian kolaboratif, penelitian tindakan kelas, praktik mengajar bersama dalam
bentuk lesson study, atau juga mengikuti workshop atau pelatihan-pelatihan
fungsional lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan guru guna memperbaiki atau meningkatkan mutu pembelajarannya.
Guru profesional harus memiliki dorongan untuk selalu terbuka terhadap perubahan-
perubahan dan inovasi-inovasi baru, dan berani membawa inovasi-inovasi baru itu ke
dalam praktik pembelajarannya di kelas. Melalui kegiatan pengembangan profesional
berkelanjutan guru dapat mengasah kemampuan inovatifnya, mengembangkan
kepekaannya terhadap perkembangan dan tuntutantuntutan baru dalam praktik
profesionalnya.
Bolam yang dikutip Sugue32 berpendapat bahwa tujuan akhir dan pengembangan
profesional berkelanjutan adalah di satu sisi untuk meningkatkan kinerja belajar
siswa, dan di sisi lain untuk meningkatkan mutu pelayanan sekolah secara

31
Michael Eraut, Developing Professional Knoledge and Competence, dalam T.R. Guskey
dan M Huberman (ed), Professional Develoment In Educatioan : New Paradigms and Practies,
Colombia: Teachers College Press, 2995, hal 232
32
Ciaran Sugue, rethorics and realities of CPD Acroos Europe: FFrom Cachoponi Toward
Coherence’ dalam (Maselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru-Konsep Dasar, Problematika,
Implementasinya, Jakarta: Indeks, 2011), hal 48

173
menyeluruh. Akibatnya bagi Bolam kegiatan pengembangan profesional guru
berkelanjutan telah menempatkan posisi guru pada dua sayap kepentingan yang
berbeda. Karena itu perlu dibuat keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan guru
dan siswa di satu sisi, dan pemenuhan kebutuhan sekolah dan stakeholders lain di sisi
lainnya.
Tindakan refleksi guru juga merupakan satu ciri dan pekerjaan guru profesional
karena sebagaimana yang dikatakan oleh Villegas-Reimers,33 sebagai praktisi
reflektif (reflective practitioners) guru adalah individu-individu yang memasuki
profesi pengajaran dengan basis pengetahuan tertentu dan mereka akan selalu belajar
pengetahuan dan pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan dan
pengalaman sebelumnya. Agar proses belajar mi senantiasa berjalan secara
berkesinambungan, maka para guru harus selalu melakukan refleksi terhadap praktik-
praktik yang telah dilakukan sebelumnya, melakukan evaluasi diri secara terus-
menerus dengan demikian praktik-praktik baru akan semakin bermunculan karena
guru selalu berlajar dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Hasil kegiatan refleksi guru semacam itu dapat menjadi dasar bagi guru untuk
melakukan penelitian-penelitian tentang praktik pembelajarannya guna menemukan
inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran. Kegiatan penelitian tindakan kelas adalah
salah satu penelitian terapan yang dilakukan oleh guru untuk memecahkan masalah-
masalah pembelajaran yang dihadapi melalui tindakan-tindakan tertentu secara
kolaboratif. Guru dapat menerapkan metode atau strategi baru untuk mengatasi
masalah-masalah pembelajararinya melalui penelitian tindakan kelas. Karena itu
indikator pencapaian yang lain dan standar mi adalah kemampuan untuk melakukan
penelitian (penelitian tindakan kelas, eksperiman, studi kasus, dsb) yang berorientasi
pada perbaikan mutu pembelajaran dan hasil-hasil penelitian itu harus dapat
dipublikasikan di jurnal ilmiah, atau dikomunikasikan melalui forum-forum ilmiah
tertentu (seminar, simposium, semiloka, dsb).

33
Eleonora Villagas-reimers, Teacher Professional Development: An International Rievw Of
The Literature, (paris: international institute for educationa planning, 2003) diakses
http://unesco.org/iiep, 24 oktober 2010

174
e. Memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Berkomunikasi
dan Mengembangkan Diri

Jika dalam standar kompetensi pedagogis, pemanfaatan teknologi informasi dan


komunikasi diperuntukkan bagi peningkatan kualitas pembelajaran, maka dalam
kompetensi profesional, pemanfaatan teknologi komunikasi bagi guru diperuntukkan
bagi pengembangan diri atau berkomunikasi dengan kolega atau sejawat.
Sebagaimana yang telah diketahui, penetrasi teknologi informai dan komunikasi
terutama melalui komputer dan internet telah merambah begitu dalam pada segala
segi kehidupan manusia, dan telah dimanfaatkan secara luas oleh semua kalangan,
dan anak-anak, remaja, orang dewasa dan para profesional maka kemampuan untuk
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi merupakan suatu hal yang
mutlak.
Menurut Partnership for Century Skills,34 perubahan-perubahan yang mendalam
dalam segala segi kehidupan manusia, terutama pada bidang ekonomi, politik,
teknologi komunikasi dan informasi, demografis, dan lain-lain telah memaksa
manusia untuk mengubah cara-cara mereka untuk hidup dan bekerja. Satu hal yang
membuat manusia tetap eksis di abad ke-21 adalah kemampuannya mnggunakan
perangkat peralatan abad ke-21 untuk mengembangkan keterampilan belajarnya.
Yang termasuk dalam perangkat abad ke-21 adalah komputer dan internet, janngan
telekomunikasi, media dan peralatan multimedia. Guru sebagai agen pembaharu
haruslah yang terdepan dalam memanfaatkan perangkat ke-21 mi terutama untuk
mengembangkan dirinya, meningkatkan keinovatifanniya serta mengembangkan
kemampuannya untuk terbuka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan.
Selain itu UNESCO mencatat bahwa agar supaya berhasil dalam hidup, belajar
dan bekerja dalam suatu masyarakat yang kompleks, kaya informasi, dan berbasis
pengetahuan, para siswa dan guru harus memanfaatkan teknologi khususnya ICT
secara efektif. Di dalam latar pendidikan, teknologi dapat membuat siswa menjadi: 1)
pengguna informasi yang cakap, 2) pencari, penelaah, dan penilai iniformasi, 3)
34
Partnership for 21st Century Skills, Learning for the 21st Century, A Report and Mile
Guide for 21st Century Skills, tanpa tahun, tanpa penerbit (dalam buku Maselus R. Payong, 2011,hal
48)

175
penyelesai masalah dan pembuat keputusan, 4) pengguna alat-alat produktivitas yang
kreatif dan efektif, 5) komunikator, kolaborator, penerbit, dan produser, dan 6) warga
negara yang banyak pengetahuan, bertanggungjawab dan berkontribusi bagi kebaikan
bersama. 35
Atas dasar itulah maka UNESCO merumuskan standar kompetensi ICT bagi para
guru yang didasarkan pada tiga pendekatan yakni: 1) Pendekatan melek teknologi
(technology literacy approach) yakni meningkatkan kemampuan penguasaan
teknologi dengan menggabungkan keterampilan teknologi ke dalam kurikulum. 2)
Pendekatan pendalaman pengetahuan (the knowledge deepening approach) yakni
meningkatkan kemampuan menggunakan pengetahuan guna meningkatkan nilai bagi
output ekonomi dengan menerapkan pengetahuan itu, untuk mengatasi masalah yang
kompleks atau masalah nyata. 3) Pendekatan penciptaan pengetahuan (the knowledge
creation approach) yakni meningkatkan kemampuan untuk berinovasi dan
menghasilkan pengetahuan baru yang bisa dimanfaatkan bagi warga negara yang lain.
Masing-masing pendekatan itu kemudian dikembangkan lagi ke dalam enam
kompetensi utama dengan indikator-indikatornya. Dan keenam kompetensi dan
berbagai indikatornya36 itu nampaknya guru tidak hanya menjadi pengguna ICT (baik
untuk keperluan pembelajaran maupun keperluan pribadi) tetapi juga menjadi
perancang, pengorganisir, dan penilai isi dan perangkat ICT.

3. Kompetensi Kepribadian
Menurut Permendiknas No. 16/2007, kemampuan dalam standar kompetensi mi
mencakup lima kompetensi utama yakni: 1) bertindak sesuai dengan norma agama,
hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, 2) menampilkan diri sebagai
pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, 3)
menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa,

35
ICT Competency Standards for Teachers: Implementation Guidelines, (Paris: UNESCO,
2008), (dalam buku Maselus R. Payong, 2011,hal 48)
36
ICT Competency Standards for teacher: implementation guidelines, (paris: UNISCO, 2008)
p 1 (dalam webset: UNESCO, http://www.unesco.org/en/competency-standars-teacher) pada 10 maret
2011

176
4) menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru,
dan rasa percaya diri, dan 5) menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
a. Bertindak Sesual Norma Agama, Hukum, Sosial dan Kebudayaan Nasional
Indonesia
Guru tidak hanya bekerja mentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga menjadi
pemberi teladan nilai-nilai moral yang dianut oleh masyarakat. Ia harus menjadi
garda terdepan dalam teladan moral yang tercermin dalam sikap, perilaku dan cara
hidupnya. Karakter inilah yang menyebabkan guru dianggap sebagai sebuah tugas
yang istimewa dan mulia di mata masyarakat. Bertindak sesuai norma agama, norma
hukum dan norma sosial serta kebudayaan Nasional Indonesia mengharuskan guru
untuk satu dalam kata dan perbuatan. Apa yang diajarkannya kepada para murid
haruslah menjadi sikap dan cara hidupnya yang selalu diterapkan secara konsisten;
Dalam kaitan dengan guru Indonesia, segala sikap, tutur kata dan tindakannya
menjadi cerminan dan kesetiaan penghayatarmya terhadap nilai-niIai lulur yang
terkandung dalam Pancasila sebagai sumber dan segala norma kehidupan bangsa
Indonesia. Karena itu guru Indonesia adalah guru yang Pancasilais. Artinya guru yang
senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai religiositas melalui penghayatan terhadap
ajaran-ajaran agama yang dianutnya; nilai-nilai kemanusiaan yang menempatkan
martabat manusia dan keluhurannya sebagai salah satu keutamaan; nilai kebersamaan
dalam persatuan dan kesatuan bangsa dengan menjunjung tinggi dan menghormati
kedaulatan NKRI; nilai demokrasi yang mengedepankan musyawarah untuk
mencapai kesepakatan; dan nilai keadilan sosial yang berpihak pada seluruh bangsa
Indonesia tanpa membedakan latar belakang agama, etnis, kebudayaan, jenis kelamin,
dan sebagainya.
Kemampuan ini memang membutuhkan waktu dan proses pembentukan yang
panjang, karena berkaitan erat dengan pembentukan karakter sebagai seorang guru.
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional telah mewariskan karakter ini
melalui semboyan-semboyannya: Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa,
dari Tut Wuri Handayani.

177
Norma adalah seperangkat ukuran yang berasal dari nilai-nilai tertentu yang
menjadi dasar untuk menentukan balk buruknya perilaku manusia. Norma bersumber
dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, seperti norma agama, norma adat
istiadat, atau norma hukum. Mengapa guru dituntut untuk bertindak sesuai dengan
norma-norma tersebut, karena guru senantiasa berurusan dengan nilai-nhlai, sehingga
kehidupan guru haruslah merupakan perwujudan dari nilai-nilai itu.
Melalui tugas ini juga, guru menjadi penjaga sikap dan perilaku masyarakat dalam
kaitan dengan pelaksanaan norma-norma yang ada. Maka guru hendaknya menjadi
sumber pencerahan bagi terlaksananya norma-norma dalam kehidupan di sekolah dan
masyarakat. Ia haruslah berani untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan yang
bersumber dari nilai dan norma-norma yang dianut.
Tugas ini tentu saja tidak mudah, terutama di tengah semakin merosotnya peran
guru dalam kehidupan masyarakat di satu pihak dan semakin merajalelanya perilaku
hidup elit masyarakat atau pemerintah yang tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku di pihak lainnya. Akibat dan pergeseran pandangan tentang profesi guru,
masyarakat juga semakin kurang merasakan pengaruh dari kehidupan guru sebagai
pilar penegak norma-norma yang menjadi suluh bagi masyarakat. Implikasi dari
kemampuan ini adalah bagaimana guru menjaga disiplin dan aturan serta menerapkan
secara konsisten dalam interaksi pembelajaran di sekolah. Untuk mewujudkan ini
maka guru haruslah orang yang memiliki disiplin dan ketaatan terhadap peraturan
yang ada di sekolah. Disiplin waktu misalnya mengharuskan guru untuk tertib waktu
dan tidak boleh terlambat masuk sekolah. Selanjutnya terkait dengan disiplin dalam
berpakaian, guru hendaknya menunjukkan teladan dengan mengenakan pakaian yang
rapi, bersih dan pantas. Dalam menjaga kebersihan sekolah, guru juga harus
menunjukkan teladan dengan membuang sampah pada tempatnya, menjaga kelas
selalu bersih, rapih, dan bebas dari berbagai macam sampah atau kotoran. Disiplin
berbicara juga mengharuskan guru untuk berbicara secara santun, ramah, dan baik
dengan siswa maupun dengan rekan sejawat.

178
b. Pribadi yang Jujur, Berakhlak Mulia, dan Teladan Bagi Peserta didik dan
Masyarakat
Tugas guru sebagai seorang pribadi profesional juga harus nampak dalam
eksistensi dirinya sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan menjadi suri
teladan bagi siswa dan masyarakat.
Menjadi pribadi yang jujur berarti berani untuk mengakui kekurangan dan
kelemahaimya serta bersedia untuk memperbaiki diri. Guru memang bukanlah
superman atau superwoman yang bisa dalam segala hal, tetapi juga memiliki
keterbatasan-keterbatasan tertentu dalam sikap, perilaku atau kemampuan-
kemampuan yang dimilikinya. Karena itu ia harus terbuka juga terhadap masukan,
kritik atau saran, serta bersedia mendengarkannya dengan hati yang lapang. Ia harus
juga menyadari bahwa siswa sebagai individu yang unik, dapat menjadi sumber untuk
belajar tentang kehidupan. Seorang guru dapat berkembang menjadi semakin
profesional apabila senantiasa belajar dalam pergaulan dan interaksinya dengan
siswa. Ia bisa melengkapi kekurangan-kekurangannya melalui interaksi pedagogis
dengan para siswa.
Tuntutan untuk menjadi pribadi yang jujur sebetulnya harus dimulai dari diri
sendiri. Jujur terhadap diri sendiri adalah kunci bagi keberhasilan hidup dan juga
kenyamanan dalam berkarya. Banyak orang yang mengalami gangguan atau bahkan
sakit mental diakibatkan oleh ketidakmampuan untuk berlaku jujur terhadap diri
sendiri. Jujur terhadap diri sendiri berarti berlaku autentik, bertindak sesuai dengan
hati nurani dan bersedia untuk “diadili” oleh hati nurani apabila melakukan
kesalahan-kesalahan atau bentindak tidak sesuai dengan kata hati. Ia harus berani
untuk menolak atau bahkan melawan kecurangan, kelicikan, atau praktik-praktik
kotor yang Sering dijumpai dalam tugasnya sebagai pendidik.
Hati nurani sebagai pelita jiwa dan sumber dan nilai dan kearifan hidup haruslah
senantiasa didengar. Karena itu apabila guru bertindak autentik dan berlaku jujur
maka pertama-tama ia harus berjalan sesuai dengan apa kata hati nuraninya. Hati
nurani dapat bertindak sebagai pemberi terang atau petunjuk (index), tetapi juga dapat
bertindak sebagai hakim (iudex) yang mengadili segala perbuatan kita yang tidak

179
sesuai dengan hati nurani atau norma-norma yang berlaku. Untuk dapat melakukan
hal mi maka dibutuhkan kemampuan guru untuk terus-menerus melakukan refleksi
terhadap segala sikap, perilaku, dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan baik dalam
kehidupannya sebagai manusia maupun dalam tugas pengabdiannya sebagai seorang
pendidik.
Selain bertindak jujur, guru juga harus menampilkan diri sebagai pribadi yang
memiliki akhlak yang mulia sehingga dapat menjadi sumber teladan bagi siswa
maupun masyarakat. Berakhlak mulia berarti guru harus menampilkan sikap dan
perilaku yang terpuji, mengedepankan sopan santun dan tata krama dan menjauhkan
perilaku-perilaku yang buruk. Hendaknya sikap dan perilaku guru jangan menjadi
skandal bagi pembentukan moralitas siswa. Karena itu ia haruslah menjadi pribadi
yang bermoral atau memiliki keteladanan moral (moral leadership), tahu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta selalu memilih untuk
bertindak sesuai dengan nilainilai luhur yang tidak bertentangan dengan harkat dan
martabatnya sebagai pendidik dan pemberi terang kepada siswa dan masyarakat
sekitar.
Guru merupakan seorang individu yang bermakna bagi siswa (the significant
others). Ia menjadi model (role model) yang memperlihatkan sikap dan perilaku yang
paritas dicontohi. Itulah sebabnya guru itu dikatakan digugu dan ditiru karena
karakternya sebagai pemberi teladan. Peribahasa Latin mengatakan, verba movent
exempla trahunt. Kata-kata menggerakkan, namun teladanlah yang memikat. Karena
itu nilai-nilai yang diajarkan guru tidak hanya sekadar berwujud kata-kata kosong
tetapi lebih dari itu harus menggema dan terpancar dalam sikap dan cara hidup guru
itu sendiri. Ketika guru mengajarkan sikap dan penilaku yang baik dan berbudi
pekerti luhur, maka semua itu akan menjadi berdaya guna dan memengaruhi sikap
dan perilaku siswa bila apa yang diajarkannya itu nyata juga dalam sikap dan cara
hidupnya. Inilah keutamaan yang luar biasa dalam diri guru.

180
c. Pribadi yang Mantap, Stabil, Dewasa dan Berwibawa
Guru juga haruslah individu yang memiliki pribadi yang stabil secara emosional
sehingga mampu membimbing siswa secara efektif. ini memprasyaratkan bahwa guru
setidak-tidaknya harus memiliki kecerdasan emosional yang cukup. Kecakapan dan
kemampuan yang dimilikinya baik pedagogis maupun keilmuan belumlah cukup
apabila tidak dibarengi dengan kestabilan emosional guru.
Menjadi pribadi yang matang secara emosional berarti guru haruslah mampu
mengendalikan diri, hawa nafsu, dan kecenderungan-kecenderungan tertentu yang
dimilikinya. Berhadapan dengan siswa yang berasal dari berbagai macam latar
belakang, watak dan karakter, guru haruslah dapat menempatkan diri, mengelola diri
dan emosinya sehingga dapat berinteraksi secara efektif dengan siswa. Tidak jarang
memang ditemukan bahwa ada guru yang tidak dapat menahan emosinya berhadapan
dengan siswa yang nakal, bandel, tidak disiplin, bahkan siswa yang mungkin
memiliki keterbatasan kemampuan sehingga lamban dalam belajar.
Guru yang labil secara emosional tidak jarang melakukan kekerasan-kekerasan
kepada para siswa. UNESCO dalam publikasinya bejudul topping Violence in
Schools: A Guide for Teachers menulis, bahwa meskipun setiap kultur mungkin
melihat secara berbeda setiap perilaku mana yang dikategorikan sebagai perilaku
kekerasan dan manakah yang tidak dianggap sebagai perilaku kekerasan namun
setidak-tidaknya terdapat empat bentuk kekerasan utama yang bisa saja terjadi di
sekolah, yang di antaranya dapat dilakukan oleh guru yakni: 1) hukuman fisik dan
psikologis, 2) bullying, 3) kekerasan berbasis jender dari jenis kelamin, dan 4)
kekerasan eksternal akibat dan pengaruh gang, situasi konflik, atau juga
penembakan.37
Dan beberapa jenis kekerasan tersebut, hukuman fisik dan psikologis adalah
yang paling sering dilakukan oleh guru terhadap para siswa. Hukuman fisik adalah
setiap jenis hukuman yang menggunakan kekuatan fisik yang dimaksudkan untuk
menyebabkan rasa sakit atau tidak menyenangkan. Jenis hukuman semacam ini yang
sering ditemukan dalam latar pendidikan adalah: menendang, memukul, menjambak

37
Diakses dari http://www.unisco.org/unesco/184162E.pdf diakses 2010

181
rambut, menjewer telinga, memelintir tangan, mencekik, atau memaksa siswa untuk
berada dalam posisi yang tidak nyaman (misalnya berlutut, mengangkat kaki sebelah,
berjemur di terik matahari, dsb). Sementara itu hukuman psikologis adalah bentuk
hukuman yang memberikan rasa tidak nyaman dalam diri siswa secara psikologis
sehingga mereka merasa tertekan, terancam, atau bahkan mengalami ketakutan. Jenis
hukuman mi tidak menggunakan kontak fisik secara langsung tetapi melalui
ungkapan-ungkapan verbal atau non verbal seperti cemoohan, gertakan, ancaman,
omelan, makian, sinisme, atau juga penggunaan kata-kata kasar sehingga
menyebabkan siswa merasa terluka secara psikologis dan menjadi tidak nyaman.
Akibat dari jenis-jenis hukuman seperti itu maka dapat mengakibatkan reaksi
serius terhadap kesehatan mental dan fisik siswa. Jenis hukuman semacam itu juga
membawa dampak pada rendahnya keterampilan sosial siswa, timbulnya depresi,
kecemasan, perilaku agresif, dan bahkan kurangnya rasa empati kepada orang lain.
Hukuman fisik juga dapat memperburuk hubungan guru siswa sehingga dapat
menjadi halangan yang serius terhadap proses pembelajaran di sekolah.38
Dalam kaitan dengan promosi pembelajaran PAIKEM dan juga pendidikan
inklusif, guru harus mengedepankan manajemen konflik dan manajemen diri yang
baik sehingga bisa berinteraksi dengan siswa. Pendekatanpendekatan humanistik
yang mengedepankan pemberian tanggungjawab dan kepercayaan kepada para siswa
haruslah menjadi pedoman dalam berinteraksi dengan siswa. Menurut sudut pandang
ini, dalam melihat siswa hendaknya guru tidak menggunakan kaca mata orang
dewasa tetapi melihat siswa dan sudut pandang siswa sehingga ia mampu memahami
mereka sebagaimana adanya. Tidak berarti bahwa dengan demikian, guru harus
merelativisir berbagai nilai dan norma yang berlaku tetapi melalui bimbingan dan
tuntutan yang terus-menerus diharapkan siswa juga dapat menyesuaikan diri dengan
sikap dan perilaku hidup orang dewasa serta nilai dan norma yang dihayati oleh orang
dewasa.
Emosi adalah daya insani yang menggerakkan segenap perilaku manusia, namun
demikian harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat terarah kepada sikap dan

38
Ibid

182
perilaku yang positif. Menurut kaum humanis, emosi yang dikemukakan secara jujur
dapat menjadi modal ampuh untuk membangun hubungan baik dengan orang lain.
Karena itu emosi harus diekspresikan secara jujur. Misalnya ketika seorang guru
marah kepada siswa karena tingkah lakunya yang tidak disiplin atau melanggar aturan
di kelas, ia dapat mengatakan melalui ungkapan verbal, “Maaf saya merasa sangat
terganggu dengan sikap dan perilaku Anda”. Atau, “Saya sulit untuk menyesuaikan
diri dengan Anda bila Anda tetap bersikap atau berperilaku semacam itu”.
Agar dapat berhasil dalam mengelola emosi sehingga guru dapat menampilkan
pribadinya yang stabil dan mantap maka kecerdasan emosi sebagaimana yang
ditawarkan oleh Daniel Goleman39 nampaknya sangat bermanfaat. Memiliki
kecerdasan intelektual saja bagi guru tidaklah cukup, karena itu ia harus memiliki
kecerdasan emosi yang baik. Melalui kecerdasan emosi, guru dapat mengenali
emosinya secara baik, mengelolanya, dan menggunakannya secara tepat.
Guru juga harus menampilkan dan sebagai pribadi yang berwibawa. Wibawa
adalah pengaruh tertentu yang timbul dan dalam diri seseorang pendidik atau orang
dewasa dan dirasakan oleh orang lain sehingga menyebabkan orang lain memberikan
rasa hormat atau penghargaan kepadanya. Dalam pedagogi tradisional pendidikan
dalam arti sesungguhnya baru dimulai ketika anak mengenal adanya kewibawaan
atau pengaruh tertentu dalam diri pendidik sehingga anak merasa taat atau hormat
terhadapnya. Dengan demikian maka kewibawaan (gezag) adalah keutamaan yang
dimiliki oleh pendidik yang menyebabkan segala perkataannya dituruti oleh anak.
Menjadi pribadi yang berwibawa tidak berarti guru haruslah gila hormat tetapi
penghormatan atau penghargaan yang diberikan siswa kepada guru bersumber dan
pancaran kepribadiannya yang mulia. Keteladanan guru Sekaligus menjadi sumber
kewibawaannya. Karena itu guru dihormati atau ditaati bukan karena posisi atau
jabatannya sebagai guru melainkan karena pribadinya yang memperlihatkan
keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai yang dihayati. Pancaran nilai yang tercermin

39
Danie Golemen, Emotional Intelegence, kecerdasan Emosional (terj. T. Hermaya), Jakarta:
Gramedia, 1996) (dalam Marselus 2011, hal 56

183
dalam sikap dan perilaku guru itulah yang menjadi daya tarik dan kekuatan bagi guru
sehingga ia dihormati dan disegani oleh para siswa.

d. Menunjukkan Etos Kerja, Tanggung Jawab, Rasa Bangga Menjadi Guru,


dan Rasa Percaya Diri
Guru profesional adalah guru yang memiliki etos kerja yang tinggi dan
bertanggungjawab terhadap tugas atau pekerjaannya. Etos kerja tercermin dalam
sikap yang positif terhadap pekerjaan, kesetiaan dan dedikasi dalam tugas dan
pelayanannya serta kesediaan untuk melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung
jawab.
Guru yang memiliki etos kerja yang tinggi selalu menjunjung tinggi Semangat
pengabdian tanpa pamrih. Ia mengedepankan kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi dan mengutamakan pelayanan prima kepada siswa atau pihak-pihak lain
yang membutuhkannya. Etos kerja tercermin dalam kedisiplinan dan ketaatannya
dalam bekerja, keberanian mengambil tanggungjawab dan kesediaan melakukan
inovasi-inovasi yang bermanfaat bagi perkembangan siswa maupun bagi peningkatan
mutu pendidikan secara keseluruhan.
Guru yang bertanggung jawab adalah guru yang setia kepada tugas yang
diembannya yakni tugas dalam mengajar, membimbing dan mendampingi siswa. Ia
tidak hanya mengutamakan tuntutan-tuntutan administratif birokrasi tetapi lebih dan
itu fokus kesetiaannya adalah pada bagaimana kebutuhan-kebutuhan siswa terpenuhi
melalui pelayanannya yang tanpa pamrih. Ia berani bertanggungjawab terhadap
keputusan-keputusan profesional yang dilakukannya yang dilandasi pertimbangan-
pertimbangan etis dan rasional.
Guru profesional juga harus memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Kebanggaan terhadap profesi ini ditunjukkan dengan tidak melakukan pekerjaan-
pekerjaan lain sebagai sarana untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Ketika
seseorang memilih untuk menjadi guru maka profesi ini sudah menjadi panggilan
hidupnya. Karena itu pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak menunjang pengembangan
profesionalisme guru haruslah dikesampingkan. Menulis buku bagi seorang guru

184
adalah hal yang positif karena menunjang pengembangan profesionalismenya sebagai
guru, karena itu pantas didorong atau diapresiasi. Tetapi jika seorang guru bekerja
juga sebagai manajer atau konsultan di sebuah perusahaan tentu merupakan sebuah
pelanggaran atau bahkan pelecehan terhadap tugas profesinya sebagai guru.
Pekerjaan sebagai manajer atau konsultan perusahaan tentu saja akan membagi
perhatiannya terhadap tugas pokoknya sebagai guru. Banyak sekali pelayanan guru
menjadi terbengkalai karena para guru melakukan pekeiaan-pekerjaan lain dan
bahkan pekerjaan guru dianggap sebagai pekerjaan nomor dua.
Rasa bangga menjadi guru juga harus ditunjukkan melalui kepercayaan din yang
kokoh. Menurut Branden, kepercayaan din sebetulnya bersumber dan harga din (self-
esteem). Harga din memiliki dua aspek yang saling berkaitan yakni rasa kemampuan
din (a sense of personal efficacy) dan rasa kber- maknaan din (a sense of personal
worth).40 Rasa kemampuan din kemudian melahirkan kepercayaan din (self-
confidence) sedangkan rasa kebermaknaan din melahirkan penghargaan terhadap din
sendiri (self-respect). Seorang yang memiliki kepercayaan din pertama-tama merasa
bahwa dirinya mampu melakukan tugas atau pekerjaan yang diberikan kepadanya. Ia
memiliki optimisme bahwa kemampuan potensial yang dimiliki menjadikan dirinya
dapat melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya. Guru harus merasa diri
kompeten dalam tugas dan profesinya meskipun di sana-sini terdapat kekurangan-
kekurangan. Menurut Branden, rasa percaya diri tidak serta merta menutupi
kekurangan atau ketidakmampuan yang dimilikinya, tetapi justru dalam kekurangan-
kekurangan itu ia bisa berharap dapat berbuat sesuatu melalui pertimbangan-
pertimbangan rasionalnya.
Sementara itu rasa kebermaknaan diri yang melahirkan penghargaan terhadap diri
sendiri (self-respect) justru lahir dan kesadaran tentang kemampuan dirinya. Ketika
seseorang merasa diri mampu dan kompeten dan dapat berbuat .sesuatu maka pada
saat yang sama ia merasa dirinya bermakna Sehingga kemudian memberikan rasa
penghargaan terhadap dirinya. Guru bisa menyadari bahwa dirinya kompeten dan

40
Nathaniel Branden, The Psychology Of Self-Esteem, Tonoko: Bantan Books, 1981, hal 10
dalam Marselus, 2011, hal 58

185
karena itu dapat melaksanakan tugasnya secara profesional. Pada saat yang sama ia
merasa dirinya berguna karena kompetensi yang dimilikinya dapat disumbangkan
untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Itulah sebabnya, bagi Branden,
antara self-confidence dan self-respect keduanya bisa dipilah-pilah secara konseptual
tetapi tidak dapat dipisahkan secara praktis. 41
e. Menjunjung Tinggi Kode Etik Pro fesi Guru
Guru sebagai profesional yang diikat melalui suatu persekutuan kesejawatan
dalam sebuah organisasi profesi guru tertentu harus memiliki kode etik yang
mengatur sikap dan perilaku profesionalnya. Kode etik merupakan pedoman sikap
dan perilaku bagi anggota profesi dalam layanan profesional maupun dalam
hubungan dengan masyarakat. Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen pasal 43 menyatakan: (1) untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan
martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru
membentuk kode etik; (2) kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi
norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas
keprofesionalan.
Menurut Hermawan sebagaimana yang dikutip Soetjipto dan Kosasi, kode etik
profesi apa saja pada umumnya memiliki beberapa tujuan yakni: 1) untuk menjunjung
tinggi martabat profesi, 2) untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para
anggotanya, 3) untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi, 4) untuk
meningkatkan mutu profesi, 5) untuk meningkatkan mutu organisasi profesi. 42
Khusus untuk profesi guru, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam
Kongres PGRI XIII di Jakarta pada tahun 1973 telah menetapkan Sebuah Kode Etik
Guru Indonesia.43 Dalam pidato pembukaan Kongres PGRI XIII tersebut, Ketua
Umum PGRI Basuni menandaskan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan

41
Ibid, hal 114
42
Ibid, hal 31-32
43
Hanadi Nawawi dan Mimi Martini, Kebijakan Kependidikan Di Indonesia Di Tinjau Dari
Sudut Hokum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994 hal 335

186
landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan
panggilan pengabdiannya sebagai guru. 44
Beberapa pokok kode etik guru Indonesia berdasarkan hasil Kongres PGRI XIII
tahun 1973 di Jakarta yang kemudian disempurnakan dalam Kongres PGRI XVI
tahun 1989 di Jakarta adalah bahwa guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan
karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut:
1) Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia
seutuhnya yang berjiwa Pancasila,
2) Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional,
3) Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan
melakukan bimbingan dan pembinaan,
4) Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya
proses belajar-mengajar,
5) Guru memelihara hubungan baik dengan orangtua murid dan masyarakmat
sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap
pendidikan,
6) Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu
dan martabat profesinya,
7) Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan
kesetiakawanan sosial,
8) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI
sebagai sarana perjuangan dan pengabdian,
9) Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
45
74
Guru profesional terikat dengan kode etik profesionalnya karena itu sudah
menjadi kewajiban bagi guru untuk menjunjung tinggi dan melaksanar kan kode etik
profesional itu secara konsisten. Guru dalam tugas pengabdiannya, dalam tutur kata

44
Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hal, 15-16
45

187
dan perbuatannya haruslah memperhatikan kode etik sebagai pedoman kerja dan
pelayanannya.
Pelanggaran terhadap kode etik sekaligus juga merupakan pelecehan terhadap
martabat guru sebagai profesional karena itu harus mendapatkan sar’iksi tertentu.
Karena itu dibutuhkan dewan etik dan organisasi profesi guru untuk senantiasa
memantau sikap dan perilaku guru anggota profesi ini dan berani mengambil tindakan
tegas terhadap anggota profesi ini yang melakukan pelanggaran serius terhadap kode
etik profesi. Sanksi terhadap anggota profesi yang melakukan pelanggaran kode etik
dapat berupa sanksi moral sampai pemecatan sebagai anggota profesi. Jika
pelanggaran itu berat dan memiliki implikasi hukum tertentu, maka guru dapat
dipecat dan keanggotaan profesi guru dan jabatan profesionalnya sebagai guru
dicabut serta dapat diproses melalui jalur hukum, apakah pidana atau perdata. Guru
profesional hendaknya menjunjung tinggi kode etik profesinya sebagai pedoman
sikap dan perilaku, dengan tidak melakukan pelanggaran kode etik.

4. Kompetensi Sosial
Guru profesional juga memiliki kompetensi sosial yang dapat diandalkan.
Kompetensi ini nampak dalam kemampuannya untuk berinteraksi dan berhubungan
dengan orang lain secara efektif (siswa, rekan guru, orang tua, kepala sekolah, dan
masyarakat pada umuninya). Menurut Permendiknas No. 16/2007, kemampuan dalam
standar kompetensi ini mencakup empat kompetensi utama yakni: 1) bersikap inklusif
dan dan bertindak objektif serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis
kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi;
2) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua, dan masyarakat; 3) beradaptasi di tempat bertugas di seluruh
wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya; 4)
berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan
tulisan atau bentuk lain. Berikut akan dijelaskan secara lebih spesifik keempat
kompetensi utama tersebut.

188
a. Bersikap Inklusif, Bertindak Objektif dan tidak Diskrimitatif
Bersikap inklusif artinya bersikap terbuka terhadap berbagai perbedaan yang
dimiliki oleh orang lain dalam berinteraksi. Guru dalam berinteraksi dengan siswa
atau sesama guru juga berhadapan dengan realitas mi. Siswa memiliki latar belakang
yang berbeda-beda dari segi jenis kelamin, agama, suku, ras, status sosial ekonomi,
dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan selera, minat, preferensi juga dapat membawa
situasi konflik yang potensial. Situasi semacam ml memiliki potensi konflik tertentu
baik laten atau nyata. Guru profesional adalah guru yang bisa membawa diri dalam
situasi semacam mi. Ia harus bisa berinteraksi dan bergaul dengan siswa atau rekan
sejawat, atau bahkan anggota masyarakat yang berbeda latar belakang semacam in mi
menuntut kemampuan untuk bisa mengelola koriflik.
Dalam latar pembelajaran, berhadapan dengan siswa yang memiliki keragaman
semacam ini guru harus mampu mengelola kelas dengan baik. Ia harus bisa
menempatkan dirinya di tengah perbedaan-perbedaan itu. Dengan bertindak
demikian, maka guru telah melaksanakan amanat dan Deklarasi Dunia tentang
Pendidikan untuk Semua (Education for All) yang dicanangkan di Jomtien Thailand,
tahun 1990 yang lalu. Salah satu butir deklarasi menyatakan bahwa pendidikan harus
dapat dinikmati oleh semua orang tanpa memandang usia, latar belakang ras, agama,
dan sebagainya. Dengan itu guru bertindak non diskriminatif karena ia tidak
membeda-bedakan peserta didik berdasarkan latar belakang mereka.
Dalam berinteraksi dengan rekan sejawat atau pun masyarakat sebagai pemangku
kepentingan dalam pendidikan, guru juga harus bisa menempatkan diri dalam situasi
yang mungkin penuh dengan keragaman latar belakang.
Guru juga dituntut untuk bertindak objektif baik dalam memberikan penilaian
terhadap hasil belajar siswa, maupun dalam memberikan pandangan-pandangan atau
pendapat terhadap suatu persoalan tertentu. Meskipun dalam hal tertentu pandangan
atau sikap guru terpaksa berpihak, namun keberpihakan guru harus dilandasi oleh
kebenaran ilmiah, rasional dan etis. Di atas sikap objektif guru ini terdapat
penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

189
Sikap objektif guru tidak boleh dikalahkan oleh desakan pragmatis atau tuntutan
kepentingan sesaat. Banyak guru yang menjadi tidak objektif dan tidak kritis terhadap
persoalan tertentu atau melacurkan profesinya hanya karena kepentingan sesaat.
Misalnya, banyak guru terpaksa melakukan pengkatrolan nilai untuk meluluskan
siswa karena dituntut oleh kebijakan sekolah atau diinstruksikan oleh pejabat dinas
pendidikan tertentu, dalam rangka menaikan pamor dan “mutu” pendidikan di
sekolah atau wilayah tersebut. Kecurangan-kecurangan yang selalu terjadi sebelum,
selama dan Setelah perhelatan Ujian Nasional (UN) yang dilakukan oleh sejumlah
oknum guru menjadi bukti bahwa banyak guru kita belum bertindak objektif dan
independen, tetapi masih bekerja di bawah pesanan, tekanan, atau intrik-intrik
tertentu.
b. Berkomunikasi secara Efektif, Empatik dan Santun
Pada prinsipnya, komunikasi yang efektif terjadi apabila pesan yang disampaikan
oleh pengirim pesan (guru) dapat diterima dengan baik oleh penerima (orang tua,
rekan sejawat, atau masyarakat pada umumnya), dipahami maksudnya dan bisa
46
menghasilkan efek yang diharapkan dalam diri penerima pesan. Efektivitas
komunikasi tergantung pada beberapa faktor yakni: penerima pesan (komunikan),
pengirim pesan (komunikator), pesan, dan situasi. 47
Komunikasi yang efektif memprasyaratkan guru dalam berkomunikasi dengan
orang lain haruslah memperhatikan kebutuhan dasar, kecenderungan, minat dan
aspirasi, serta nilai-nilai yang mereka anut. Di pihak guru sendiri selaku komunikator
juga harus memperhatikan kredibilitas dan daya tarik yang dimilikinya. Kredibilitas
berkaitan dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki guru sehingga apa yang
disampaikan kepada orang lain selaku penerima pesan dapat diterima dengan baik
karena dianggap berasal dari sumber yang dapat dipercaya atau diandalkan.
Kredibilitas yang dimiliki guru selaku komunikator juga sekaligus berlaku sebagai
daya tarik tertentu bagi orang lain, sehingga pesan-pesan guru dapat memikat
perhatian mereka. Pesan juga memiliki pengaruh tertentu bagi efektif tidaknya suatu
46
Marsel R. Payong, Komunikasi Pembelajaran, Ruteng: STKIP St. Paulus, 2000, hal 6
47
Unong Uchana Efendi, Ilmu, teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993, hal 42-45

190
komunikasi. Komunikasi yang efektif memprasyaratkan bahwa pesan dan
kemasannya harus menarik, membangkitkan minat, dan dapat dipahami oleh orang
lain selaku penerima pesan. Selain itu situasi juga ikut menentukan efektif tidaknya
suatu komunikasi. Situasi yang dimaksud berkaitan dengan waktu penyampaian
pesan, kondisi pada saat penyampaian pesan dan ada tidaknya gangguan pada saat
penyampaian pesan. Jika guru ingin agar komunikasi dengan orang lain berlangsung
efektif maka hendaknya memperhatikan keempat faktor tersebut secara baik.
Berkomunikasi secara empatik berarti komunikasi yang memungkinkan
komunikator dapat merasakan apa yang dirasakan oleh penerima pesan. Istilah empati
sendiri berasal dari kata bahasa Jerman einfuhlung yang berarti “merasakan”. 48
Berempati dengan seseorang berarti merasakan apa yang seseorang itu rasakan,
mengalami apa yang seseorang itu alami, atau melihat dan sudut pandang orang itu
tetapi tanpa kehilangan identitas atau jati din sendiri. Guru dapat berkomunikasi
secara empatik dengan orang lain apabila ia dapat menyelami dan berusaha untuk
merasakan, apa yang dirasakan oleh orang lain atau mengalami apa yang dirasakan
oleh mereka. Devito menyarankan, jika ingin berkomunikasi secara empatik maka
lakukan tiga hal berikut: 1) Nyatakan keterlibatan aktif Anda dengan orang lain
melalui ekspresi wajah atau gerak-gerik tertentu yang cocok, 2) Fokuskan
konsentrasi, misalnya dengan menjaga kontak mata, postur tubuh, dan kedekatan
fisik, 3) Gunakan sentuhan-sentuhan setepatnya bila perlu. 49
Komunikasi juga harus dilakukan secara santun, artinya harus disesuaikan
dengan kebiasaan, adat istiadat atau kebudayaan setempat. Mengingat orang lain yang
dihadapi guru bisa berasal dari latar kultur yang berbeda-beda, ada kemungkinan
makna santun dalam berkomunikasi dapat bervariasi. Penggunaan kata-kata dan
dinamikanya, ekspresi wajah, termasuk paralinguistik (tekanan suara, keras lembut
suara, sentuhan, dan sebagainya) harus diperhatikan kesesuaiannya dengan kebiasaan
berkomunikasi setempat. Itulah sebabnya, pengetahuan tentang multikulturalisme
bagi guru sangatlah penting karena menjadi dasar bagi guru untuk memupuk
48
Josep A Devito, The Interpersonal Comunication Book, New York: Harper Collin College
Publisers, 1995, hal 107 (dalam Marselus, Sertifikasi Profesi Guru, 2011, hal 63)
49
Ibid, hal 108 (Marselus, 2011, hal 64)

191
kemampuan komunikasinya dengan orang lain yang berasal dari latar belakang yang
berbeda-beda.
c. Beradaptasi di Tempat Tugas di Seluruh Wilayah RI
Guru Indonesia telah disiapkan untuk mampu bekerja di seluruh Indonesia. Ia
telah disiapkan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat di mana saja. d’ seluruh
wilayah Indonesia. Karena itu guru harus memiliki cultural intelligence (CI) yakni
kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi budaya yang beraneka ragam di
seluruh Indonesia. Kemampuan beradaptasi mi antara lain ditunjukkan dengan
kemampuan untuk menempatkan din sebagai warga masyarakat di mana ia bekerja,
kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa setempat sebagai bahasa
pergaulan, dan kemampuan untuk menghargai keunikan, kekhasan dan nilai-nilai
budaya dan adat istiadat dan masyarakat setempat.
Undang-undang No. 14 /2005 tentang Guru dan Dosen yang kemudian dipertegas
melalui Peraturan Pemerintah No. 74/ 2008 tentang Guru membuka kemungkinan
bagi guru untuk bekeija di seluruh wilayah Indonesia. Dalam keadaan darurat
misalnya, pemerintah dapat menerapkan wajib kerja bagi guru dan ditempatkan di
mana saja bila dibutuhkan. Selain itu, dalam rangka distribusi pemerataan guru di
seluruh Indonesia maka terdapat kemungkinan perpindahan guru dan red istribusi
guru antar kabupaten maupun antar provinsi di seluruh Indonesia. Akibat dan
kondisi-kondisi mi, keharusan untuk memupuk kecerdasan kultural (cultural
intelligence) adalah suatu keharusan disamping pemahaman tentang
multikulturalisme di Indonesia.
d. Berkomunikasi dengan Komunitas Profesi Sendiri dan Profesi Lain
Kemampuan komunikasi guru tidak hanya sebatas berkomunikasi dalam
konteks pembelajaran yang melibatkan interaksi guru siswa, tetapi juga kemampuan
untuk bisa berkomunikasi secara ilmiah dengan komunitas seprofesi maupun
komunitas profesi lain dengan menggunakan berbagai macam media dan forum.
Berkaitan dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Menpan RB) No. 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka
Kreditnya tentang penilaian angka kredit pada pasal 11 menyatakan bahwa salah satu

192
sub unsur yang dapat dinilai terkait dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan
adalah publikasi iimiah berupa hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang
pendidikan formal, atau juga publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan
pedoman guru.
Melalui komunikasi semacam ini guru dapat memberikan pencerahan kepada
masyarakat melalui media seperti majalah, surat kabar, bahkan melalui website-
website gratis yang sekarang banyak tersedia di dunia maya. Saat ini memang sudah
banyak guru yang memanfaatkan media online mi untuk pembelajaran, bahkan
penyampaian ide-idenya kepada masyarakat luas. Berbeda dengan komunikasi
melalui media surat kabar, majalah, atau jurnal ilmiah, komunikasi melalui media
online dikelola oleh guru sendiri. Karena itu selain kemampuan berbahasa tulis yang
baik, guru juga dituntut untuk melek ICT seperti bagaimana membuat konten-konten
media online dan menyebarluaskannya melalui situs online. Karena itu kemampuan
dasar untuk kompetensi ini terkait erat dengan kemampuan ICT yang telah
dikemukakan di depan.
Komunikasi dengan sejawat seprofesi maupun profesi lain, juga dapat
dilakukan melalui penyajian hasil penelitian atau pemikiran dalam forumforum
ilmiah seperti seminar, lokakarya, panel, dan lain sebagainya pada berbagai level
(lokal, nasional, maupun internasional).
Demikian penjabaran dari masing-masing (4 macam) kompetensi yang
seyogyanya dapat dipahami dan diimplementasikan oleh guru, tidak terkecuali oleh
guru agama. Dengan memahami dan mengimplementasikan empat kompetensi
berikut aspeknya masing-masing itu maka akan dapat meningkatkan dan
menwujudkan guru-guru yang professional dalam melaksanakan tugas dan
pengabdiannya.
Khusus untuk guru-guru agama, selain dari penguasaan empat kompetensi
tersebut Direktorat PAIS kemenag RI juga merekomendasikan dua kompetensi
tambahan selain empat kompetensi tersebut yaitu (1) kompetensi spiritual dan (2)
kompetensi ledersip. Kompetensi spiritual berkaitan dengan keharusan guru agama
memiliki kecerdasan beragama, artinya sikap, prilaku dan keprofesiannya selalu di

193
warnai dengan nilai-nilai spiritual (keagamaan) misalnya guru agama itu
menunjukkan ketaatan melaksanakan ibadah, baik ibadah mahdap dan ibadah
………………………………………………………, selain itu tampilan guru agama
selalu mencerminkan sikap toleransi yang tinggi baik kaitannya dengan iman maupun
antar agama dalam intraksi social dan intraksi pembelajaran di kelas.
Sementara itu kompetensi ledersip yaitu kompetensi yang berkaitan dengan
jiwa kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang guru agama. Kompetensi ini
berkaitan dengan ajaran agama Islam yang menekankan bahwa setiap pribadi
seorang muslim disebut sebagai pemimpin, baik pemimpin dalam konteks profesinya
maupun pemimpin pribadinya sendiri, yang itu dituntut oleh agama agar bersiap-siap
mempertanggungjawabkannya di hari akhir nanti, namun hakekat kepemimpinan
sebagai guru agama disini tentu juga berkaitan langsung dengan tugas-tugasnya
sebagai guru untuk selalu konsesten dan tanggung jawab dalam melaksanakan karir
gurunya dengan baik.
E. Rangkuman
Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian tertentu.
Artinya, jabatan profesional tidak bisa dilakukan atau dipegang oleh sembarang orang
yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan
tersebut. Melainkan melalui proses pendidikan dan pelatihan yang disiapkan secara
khusus untuk bidang yang diembannya. Profesi merupakan wewenang praktik suatu
kejuruan yang bersifat pelayanan pada kemanusiaan secara intelektual spesifik yang
sangat tinggi, yang didukung oleh penguasaan pengetahuan keahlian serta
seperangkat sikap dan keterampilan teknik, yang diperoleh melalui pendidikan dan
latihan khusus yang penyelenggaraanya dilimpahkan kepada lembaga pendidikan
tinggi yang bersama memberikan izin praktik atau penolakan praktik dan kelayakan
praktik dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang
diawasi langsung oleh pemerintah maupun asosiasi profesi yang bersangkutan.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian atau kecakapan
yang memenuhi mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

194
Setiap anggota profesi baik secara sendiri-sendiri atau dengan cara bersama
melalui wadah organisasi profesi dapat belajar. Belajar yang dimaksud, yaitu belajar
untuk mendalami pekerjaan yang sedang disandangnya dan belajar dari masyarakat
apa yang menjadi kebutuhan mereka saat ini dan saat yang akan datang. Telah
dikemukakan pada bagian muka kegiatan belajar mi tentang profesionalisasi, yaitu
usaha untuk mengembangkan profesi melalui pendidikan prajabatan dan pendidikan
dalam jabatan, sehingga pelayanan kepada pemakai (klien) akan semakin meningkat.

F. Latihan
1. Jelaskan menurut anda, apa yang dimaksud dengan profesionalisme ?
2. Apa yang anda ketahui tentang profesi seorang guru ?
3. Kemampuan komunikasi guru tidak hanya sebatas berkomunikasi dalam konteks
pembelajaran. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kalimat tersebut dan berikan
contohnya ?
4. Sebutkan dan jelaskan syarat-syarat profesi seorang guru di sekolah ?

G. Bahan bacaan

Anita Woolfolk, Education Psychology, Boston: Allyn and Bacon, 1993.

Anvirl Loveless, ICT in the primery curriculum”, dalam avril loveless dan Dabs
Dore, (ed) ICT in the premery, Buckingham: open University Press, 2002.

Ahmad Sanusi, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga


Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung, 1991.

Benjamin Bloom, Human Characteristik In School Learning, New York: McGrawu-


Hil Book Co, 1974

Ciaran Sugue, rethorics and realities of CPD Acroos Europe: FFrom Cachoponi
Toward Coherence’ dalam (Maselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru-
Konsep Dasar, Problematika, Implementasinya, Jakarta: Indeks, 2011).

Christoper Day, Developing Teacher: the Challengers Of Lifelong Learning, London:


Falmer Press, 1999.

195
Danie Golemen, Emotional Intelegence, kecerdasan Emosional (terj. T. Hermaya),
Jakarta: Gramedia, 1996.

Davit Hustler, et al, Teacher’s preception of Continung Profesional Develoment,


Manchester: Institut Of Education Mancester Metropolitan University, 2000.
Dikutif dalam EACT, Definisi teknologi Pendidikan, satuan tugas definisi dan
terminologi AECH, diterjemahkan oleh Yusufhardi Marso, dkk, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994.

Eleonora Villagas-reimers, Teacher Professional Development: An International


Rievw Of The Literature, (paris: international institute for educationa
planning, 2003) diakses http://unesco.org/iiep, 24 oktober 2010

E. Mulyasa, Standar Kompetensidan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya,


2007.

H.A.R. Tilaar, manajemen pendidikan nasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,


1997.

Jagoes delors, learning: The Treasure Within, Report To UNESCO Of The


International Commision On Education Go The Twenty Firs Century, Paris:
UNESCO Publication, 1996.

Jeff Jones, Mazda Jenkin dan Sue Lord, Developing Efective Teacher Performance,
London: Chaoman Publishing, 2006.

Josep A Devito, The Interpersonal Comunication Book, New York: Harper Collin
College Publisers, 1995.

Hanadi Nawawi dan Mimi Martini, Kebijakan Kependidikan Di Indonesia Di Tinjau


Dari Sudut Hokum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994.

ICT Competency Standards for Teachers: Implementation Guidelines, Paris:


UNESCO, 2008.

ICT Competency Standards for teacher: implementation guidelines, (paris: UNISCO,


2008) p 1 (dalam webset: UNESCO, http://www.unesco.org/en/competency-
standars-teacher) pada 10 maret 2011
Marsel R, Payong, Evaluasi Pembelajaran, Ruteng: SKIP ST, Paulus, 2007.

Maselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru-Konsep Dasar, Problematika,


Implementasinya, Jakarta: Indeks, 2011

196
Michael Eraut, Developing Professional Knoledge and Competence, dalam T.R.
Guskey dan M Huberman (ed), Professional Develoment In Educatioan : New
Paradigms and Practies, Colombia: Teachers College Press, 2995.

Marsel R. Payong, Komunikasi Pembelajaran, Ruteng: STKIP St. Paulus, 2000.

Nathaniel Branden, The Psychology Of Self-Esteem, Tonoko: Bantan Books, 1981,


hal 10 dalam Marselus, 2011
NCES, Teacher tools for the 21ST Century: S report on the teacher use of teknology,
Washinton DC: US Departemen of education, office of educaation Reseach an
imprrovment, 2000 hal, diakses http:nces.ed.gov.20 november 2014

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59


Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013

Partnership for 21st Century Skills, Learning for the 21st Century, A Report and Mile
Guide for 21st Century Skills, tanpa tahun, tanpa penerbit (dalam buku
Maselus R. Payong, 2011).

Rusman, model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru, Jakarta:


PT. Rajawali Perss, 2011.

Rahman Natawijaya, Meningkatkan Kualitas Professional Guru Sd Melalui


Pemantapan Lembaga Pendidikan, Makalah Seminar, Bandung PGRI, 1989

Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Thomas Gordon, Menjadi Guru Efektif, (terjemah Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT.
Gramedia, 1997.

T. Raka Joni, Pembelajaran yang mendidik: artikulasi Konseptual, terapan


konstekstual, dan vrivikasi emperik, jurnal ilmu pendidikan, jilid 12 No.2,
2005.

Unong Uchana Efendi, Ilmu, teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993.

Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diatur melalui Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 16 tahun 2007 tentang
Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru.

197
BAB 5

ORIENTASI DAN IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN


KURIKULUM 2013 PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

A. Arah Perkembangan Kurikulum 2013


Dalam rangka mempersiapkan lulusan pendidikan memasuki era globalisasi
yang penuh tantangan dan ketidakpastian, diperlukan pendidikan yang dirancang
berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan. Untuk kepentingan tersebut Pemerintah
melakukan penataan kurikulurn. Kurikulum 2013 merupakan tindak lanjut dari
kurikulum berbasis kompeteisi (KBK) yang pernah diterapkan pata tahun 2004. KBK
atau (Competency Based Cunkulum) dijadikan acuan dan pedoman bagi pelaksanaan
pendidikan untuk mengembangkan berbagai ranah pendidikan (pengetahuan,
keterampilan, dan sikap) dalam seluruh jenjang dan jalur pendidikan, khususnya pada
jalur pendidikan sekolah.
Pada hakikatnya kompetensi merupakan perpaduan dan pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak. Burke1 (1995) mengemukakan bahwa kompetensi: “... is a knowledge,
skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his
or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive,
afective, and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai
pengetahuan, keterampilan dan kemarnpuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah
menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif,
afektif, dan psikomotonik dengan sebaik-baiknya.
Pengertian tersebut mengandung arti bahwa kompetensi merupakan
penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan

1
Burke (1995) dalam E. Mulyasa, Pengembangan Kurikulum 2013, Bandung: PT.
Remajarosdakarya, 2013, hal 66

198
untuk menunjang keberhasilan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kompetensi
mencakup tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang harus dirnthki oleh peserta
didik untuk dapat melaksanakan tugas-tugas pembelajaran sesuai dengan jenis
pekerjaan tertentu. Dengan demikian, terdapat hubungan (link) antara tugas-tugas
yang dipelajani peserta didik di sekolah dengan kemampuan yang diperlukan oleh
dunia kerja. Untuk itu, kurikulum menuntut kerja sama yang baik antara pedidikan
dengan dunia kerja, terutama dalam mengidentifikasi dan nenganalisis kompetensi
yang perlu diajarkan kepada peserta didik di sekolah.
Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian
rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud hasil belajar peserta didik yang mengacu pada
pengalaman Iangsung. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-
tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit,
dikembangkan berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, dan merniliki
kontribusi terhadap kompetensi-kompetensi yang sedang dipelajari. Penilaian
terhathp pencapaian kompetensi penlu dilakukan secara objektif, berdasarkan kinenja
peserta didik, dengan bukti penguasaan mereka terhadap pengetahuan, keterampilan,
nilal dan sikap sebagai hasil belajan. Dengan demikian dalam pembelajaran yang
dirancang berdasarkan kompetensi, penilaian tidak dilakukan berdasarkan
pertimbangan yang bersifat subyektif. Beberapa aspek atau ranah yang terkandung
dalam konsep kompetensi dapat diuruikan sebagai berikut.
1. Pengetahuan (knowledge); yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, misalnya
seorang guru mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar, dan
bagaimana melakukan pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan
kebutuhannya.
2. Pemahaman (understanding); yaitu kedalaman kognitif, dan afektif yang dimiliki
oleh individu. Misalnya seorang guru yang akan melaksanakan pembelajaran
harus memiliki pemahaman yang baik tentang karakteristik dan kondisi peserta
didik, agar dapat melaksanakan pembelajaran secara efektif dan efisien.
3. Kemampuan (skill); adalah sesuatu yang dnruliki oleh individu untuk melakukan
tugas atau pekenjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya kemampuan guru

199
dalam memilih, dan rnembuat alat peraga sederhana untuk memberi kemudahan
belajar kepada pesenta didik.
4. Nilai (value); adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara
psikologis telah menyatu dalam diii seseorang. Misalnya standar perilaku gum
dalam pembelajaran (kejujuran, keterbukaan, demokratis, dan lain-lain).
5. Sikap (attitude); yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi
terhadap suatu rangsangan yang datang dan luar. Misalnya reaksi terhadap krisis
ekonomi, perasaan terhadap kenaikan upah/gajih, dan sebagainya.
6. Minat (interest); adalah kecenderungan seseorang untukmelakukan sesuatu
perbuatan. Misalnya minat untuk mempelajani atau melakukan sesuatu. 2
Berdasarkan analisis kompetensi di atas, Kurikulum 2013 berbasis kompetensi
dapat dimaknai sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada
pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar
performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa
penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Kurikulum ini diarahkan untuk
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat
peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan, dan
keberhasilan dengan penuh tanggung jawab.
Implementasi dan Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang
kompleks, dan melibatkan berbagai komponen yang saling terkait. Oleh karena itu
dalam proses pengembangan Kurikulum 2013, tidak hanya menuntut keterampilan
teknis dan pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai komponen
kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai komponen yang mempengaruhinya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Karakteristik pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait erat pada
Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan

2
E. Mulyasa, Op Cit, hal, 67-68

200
memberikan kerangka konseptual tentang sasaran pembelajaran yang harus
dicapai. Standar Isi memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan
pembelajaran yang diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi.
Keterampilan diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba,
menalar, menyaji, dan mencipta. Karakteristik kompetensi beserta perbedaan
lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses.
Penguatan pendekatan saintifik perlu diterapkan pembelajaran berbasis
penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk mendorong kemampuan
peserta didik menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok
maka sangat disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang
menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning).
Prinsip pembelajaran pada kurikulum 2013 menekankan perubahan paradigma:
1) Peserta didik diberi tahu menjadi peserta didik mencari tahu;
2) Guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber
belajar;
3) Pendekatan tekstual menjadi pendekatan proses sebagai penguatan
penggunaan pendekatan ilmiah;
4) Pembelajaran berbasis konten menjadi pembelajaran berbasis kompetensi;
5) Pembelajaran parsial menjadi pembelajaran terpadu;
6) Pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menjadi pembelajaran
dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi;
7) Pembelajaran verbalisme menjadi keterampilan aplikatif;
8) Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan
keterampilan mental (softskills);
9) Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
10) Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing
ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri
handayani);

201
11) Pembelajaranyang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat;
12) Pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja
adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas;
13) Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas pembelajaran; dan
14) Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik.

Dalam konteks penilaian hasil belajar dalam kurikulum 2013 bersifat autentik.
Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk
menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran, yang
meliputi ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Penilaian autentik menilai
kesiapan siswa, serta proses dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan penilaian
ketiga komponen (input – proses – output) tersebut akan menggambarkan kapasitas,
gaya, dan hasil belajar peserta didik, bahkan mampu menghasilkan dampak
instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect) dari
pembelajaran.

B. Perlunya Perubahan dan Pengembangan Kurikulum 2013


Dalam suatu sistem pendidikan, kurikukim itu sifatnya dinamis serta harus selalu
dilakukan perubahan dan pengembangan, agar dapat mengikuti perkembangan dan
tantangan zaman. Meskipun demikian, perubahan dan pengembangannya harus
dilakukan secara sistematis dan terarah, tidak asal beubah. Perubahan dan
pengembangan kurikulum tersebut harus memiliki visi dan arah yang jelas, mau
dibawa ke mana sistem pendidikan nasional dengan kurikulum tersebut. Sehubungan
dengan itu, sejak wacana perubahan dan pengembangan Kurikulurn 2013 digulirkan,
telali muncui berbagai tanggapan dan berbagai kalangan, balk yang pro maupun
kontra.
Menghadapi berbagai tanggapan tersebut, terutama “nada miring” dan yang
kontra terhadap perubahan kurikulum; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

202
Muhammad Nuh3 dalam berbagai kesempatan menegaskan perlunya perubahan dan
pengembangan Kurikulum 2013. Mendikbud mengungkapkan bahwa perubaan dan
pengembangan kurikulum merupakan persoalan yang sangat penting, karena
kurikulum harus senantiasa disesuaikan dengan tuntutan zarnan. Perlunya perubahan
dan pengembangan Kurikulum 2013 didorong oleh beberapa hasil studi internasional
tentang kemampuan peserta didik Indonesia dalam kancah internasional. Hasil survei
‘Trends in International Math and Science” tahun 2007, yang dilakukan oleh Global
Institute, menunjukkan hanya lima persen peserta didik Indonesia yang mampu
mengerjakan soal penalaran berkategori tinggi; padahal peserta didik Korea dapat
mencapai 71 persen. Sebaliknya, 78 persen peserta didik Indonesia dapat
mengerjakan soal hapalan berkategori rendah, sementara siswa Korea 10 persen.
Data lain diungkapkan oleh Programme for International Student Assessment
(PISA), hasil studinya tahun 2009 menempatkan Indonesia pada peringkat bawah 10
besar, dan 65 negara peserta PISA. Hampir semua peserta didik Indonesia temyata
cuma menguasai pelajaran sampai level tiga saja, sementara banyak peserta didik dan
negara lain dapat menguasai pelajaran sampal level empat, lima, bahkan enam. Ilasil
dan kedua survei tersebut merujuk pada suatu simpulan bahwa: prestasi peserta didik
Indonesia tertinggal dan terbelakang. Dalam kerangka inilah pelunya penambahan
dan pengembangan kurikulum, yang dimulai dengan penataan terhadap empat elemen
standar nasional, yaitu standar kompetensi kelulusan (SKL), standar isi, standar
proses, dan standar penilaian. Dalam pada itu dilakukan penataan terhadap empat
mata pelajaran, yakni: agama, PPKN, matematika, dan bahasa Indonesia.
Perlunya perubahan kurikulum juga karena adanya beberapa kelemahan yang
ditemukan dalam KTSP 2006 sebagai berikut (diadaptasi dan materi sosialisasi
Kurikulum 2013).
1. Isi dan pesan-pesan kurikuluin masih terlalu padat, yang ditunjukkan dengan
banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan kesukarannya
melainpui tingkat perkembangan usia anak.

3
Ibid, hal 60

203
2. Kurikulum belum mengembangkan kompetensi secara utuh sesuai dengan visi,
misi, dan tujuan pendidikan Nasional
3. Kompetensi yang dikembangkan lebih didominasi oleh aspek pengetahuan, belum
sepenuhnya menggambarkan pnibadi peserta didik (pengetahuan, keterampilan,
dan sikap).
4. Berbagai kompetensi yang diperlukan sesuai dengan perkembangan masyarakat,
seperti pendidikan karakter, kesadaran lingkungan, pendekatan dan metode
pembelajaran kompetensi keseimbangan soft skills and hard skills, serta jiwa
kewirausahaan, belum terakomodasi di dalam kurikulum.
5. Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap berbagai perubahan sosial yang
teijadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global.
6. Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang
rinci sehingga membuka peluang penafsirari yang beraneka ragam dan bemjung
pada pembelajaran yang berpusat pada guru.
7. Penilaian belum menggunakan standar penilaian berbasis kompetensi, serta belum
tegas memberikan layanan remediasi dan pengayaan secara berkala.

Jadi, kita juga dihadapkan pada berbagai permasalahan yang melibatkan


pelajar dan mahasiswa, seperti perkelahian pelajar, perjudian, penyalahgunaan obat
terlarang, narkoba, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), plagiarisme, kebocoran dan
berbagai kecurangan dalam ujian.4
Di samping beberapa kelemahan sebagaimana dikemukakan di atas,
perubahan dan pengembangan kurikulum diperlukan karena adanya beberapa
kesenjangan kurikulum yang sedang berlaku sekarang (KTSP). Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang berlangsung cepat dalam
era global dewasa ini, dapat dlidentifikasikan beberapa kesenjangan kurikulum
sebagai berikut:

4
Ibid, 59-61

204
KONDISI SAAT INI KONSEP IDEAL
A. KOMPETENSI LULUSAN A. KOMPETENSI LULUSAN
1 Belum sepenuhnya 1 Berkarakter mulia
menekankan pendidikan
karakter
2 Belum menghasilkan 2 Keterampilan yang relevan
keterampilan sesuai kebutuhan
3. Pengetahuan-pengetahuan lepas 3 Pengetahuan-pengetahuan terkait

1 Belurn relevan dengan 1 Relevan dengan materi yang


kompetensi yang dibutuhkan dibutuhkan
2 Beban be!ajar terlalu berat 2 Materi esensial
3. Terlalu luas, kurang rnendalam 3. Sesuai dengan tlngkat
perkembangan anak

1 Berpusat pada guru 1 Berpusat pada peserta didik


2 Proses pembelajaran berurientasi 2 Sifat pembelajaran yang
pada buku teks kontekstual
3. Buku teks hanya memuat materi 3. Buku teks memuat materi dan
proses pernbelajaran, sistem
bahasan
penilaian serta kompetensi yang
diharapkan

1 Menekankan aspek kognitif 1 Menekankan aspek kognitif,


afektif, psikornotonik secara
proporsional
2 Tes menjadi cara penilaian 2 Penilaian tes pada portofolio
dominan

205
1 1 Memenuhi kompetensi
profesi, pedagogi, sosiai, dan
personal
2 Fokus pada ukuran kinerja 2 Motivasi mengajar
FK

1 Satuan pendidikan niempunyai 1 Pemerintali pusat dan daerah


pembebasan dalam pengelolaan memiliki kendall kualitas dalam
kurikulum pelaksanaan kurikulum di tingkat
satuan pendidikan
2 Masth terdapat kecenderungan 2 Satuan pendidikan mampu
satuan pendidikan nienyusun menyususn kurikulum dengan
kurikulum tanpa mempertimbangkan kondisi
mempemmbangkan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan
satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah
peserta didik, dan potensi daerah
3. Pemetintah hanya 3. Pemeriritah menyiapkan
menyiapkan sampai standar semua komponen kurikulum
isi mata pelajaran sampai buku teks dan
pedoman

Berdasarkan kondisi tersebut, dilakukanbeberapa penyempurnaan pola pikir


sebagai berikut5.
Penyempurnaan Pola Pikir Perumusan Kurikulum
1 Siandax Kompetensi Lu1uan Standar Kompetensi Lultisàn
dfthñikdari Stándar isi ditünkan dan kebutuhan.
Standar Isi dirumuskan berdasarkan Standar Isi ditunmkan dan
Tujuan Mata Pelajaran (Standar Standar KompetenSi Lulusan
Kompetensi Lulusan Mata melalui Kompetensi Inti yang
Pelajaran) yang dirinci rnenjadi bebas mata pelajaran
Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar Mata Pelajaran
Pernisaban antara mata Semua mata pelaiaran
peIajaranpembentuk sikap, I)arus berkontnbusi
pembituk keterainpilan dan erhadap pembentukáh
pembentuk pengetahuah ikap, keterampilan dan
pengetahuan
Kompetensi diturunkan dan mata Mata pelajaran diturunkan

5
Ibid, hal 63

206
pelajaran dan kompetensi yang ingin
dicapai
Màta pejaxt lepas satu dengan yaiig
lain seperta sekuinpulan mata
pelajaraif
tepisah

Dalam kerangka inilah perlunya pengembangan Kurikulum 2013, untuk


menghadapi berbagai masalah dan tantangan masa depan yang semakin lama semakin
rumit dan kompleks. Berbagai tantangan masa depan tersebut antara lain berkaitan
dengan globalisasi dan pasar bebas, rnasalah lingkungan hidup, pesatnya kemajuan
teknologi infonnasi, konvergensi ilmu dan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan,
kebangkitan mdustri kreatif dan budaya, pergeseran kekuatan ekonomj dunia,
pengaruh dan imbas teknosaijis, mutu, investasi dan transforrnasj pada sektor
pendidikan, serta materi TIMSS dan PISA yang harus dimiliki oleh peserta didik.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, kurikulum harus mampu membekali
peserta didik dengan berbagai kompetensi. Kompetensi yang diperlukan di masa
depan sesuai dengan perkembangan global antara lain: kemampuan berkomunikasi
kemarnpuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral
suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawa,
kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda,
kemampuan hidup dalarn masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas dalam
kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai dengan
bakat minatnya, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan.

C. Tujuan Pengembangan Kurikulum 2013


Seperti yang dikemukakan di berbagai media massa, bahwa melalui
pengembangan Kurikulum 2013 kita akan menghasilkan insan Indonesia yang:
produktif, kreatif, inovatif, afektif melalul penguatan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan yang terintegrasi. Dalam hal ini, pengembangan kurikulum difokuskan
pada pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik, berupa paduan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik

207
sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya secara kontekstual.
Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki
kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif,
inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
Oleh karena itu, peserta dlidik perlu mengetahui kriteria penguasaan kompetensi
dan karakter yang akan dijadikan sebagai standar penilaian hasil belajar, sehingga
para peserta didik dapat mempersiapkan dirinya melalui penguasaan terhadap
sejumlah kompetensi dan karakter tertentu, sebagai prasyarat untuk melanjutkari ke
tingkat penguasaan kompetensi dan karakter berikutnya.
Mengacu pada penjelasan UU No. 20 Tahun 2003, bagian umum dikatakan,
bahwa “Strategi penthangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini
meliputi: pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbosis kompetensi dan pada
penjelasan Pasal 35, bahwa “Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan
lulusan yang rnencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar
nasional yang telah disepakati.” maka diadakan perubahan kurikulum dengan tujuan
untuk “Melanjutkan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah
dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan secara tepadu.6”
Untuk mencapai tujuan tersebut menuntut perubahan pada berbagai aspek lain,
terutama dalam implementasinya di lapangan. Pada proses pembelajaran, dan siswa
diberi tahu rnenjadi siswa mencari tahu, sedangkan pada proses penilaian, dan
berfokus pada pengetahuan melalui penilaian output menjadi berbasis kemampuan
melalui penilaian proses, portofolio clan penilaian output secara utuh dan
menyelunih, sehingga memerlukan penambahan jam pelajaran.

6
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar
Penilaian Pendidikan Dasar dan Menengah Kurikulum 2013

208
D. Landasan Pengembangan Kurikulum 2013
Pengembang kurikulum 2013 dilandasi secara filosofis, yuridis, dan
konseptuaj sebagai berikut.
1. Landasan filosofi
a. Fiosofis Pancasila yang memberikan berbagai prinsip dasar dalam
pembangunan pendidikan
b. Fiosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilaj luhur, nillai akademii(,
kebutithan peserta didik, dan masyarakat
2. Landasan Yuridis
a. RPJMM 2010-2014 Sektor Pendidikan, tentang Perubahan Metodologi
Pembelajaraji dan Penatan Kurikukum
b. PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
c. INPRES Nomor 1 Tahun 2010, tentang Percepatan Pelaksanaaj Priorftas
Pembangurian Nasionaj, penyempun kurikulum dan metode pembe1ajai aktif
berdasark nilai-nilaj budaya bangsa untuic membentuk daya saing dan
karakter bangsa.
3. Landasan Konseptual
a. Relevansi pendidikan (link and match)
b. Kurikulum berbasis kornpetensi, dan karakter
c. Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning)
d. Pembelajaran aktif (student active learning)
e. Penilalan yang valid, utuh, dan menyeluruh

E. Rasional Pengembangan Kurikulum 2013


Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut:
a. Tantangan Internal
Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan dengan
tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan
yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar

209
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan,
standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Tantangan internal lainnya terkait dengan perkembangan penduduk Indonesia
dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Saat ini jumlah penduduk
Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia tidak produktif (anak-
anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk
usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat
angkanya mencapai 70%. Oleh sebab itu tantangan besar yang dihadapi adalah
bagaimana mengupayakan agar sumberdaya manusia usia produktif yang melimpah
ini dapat ditransformasikan menjadi sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi
dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi beban.
b. Tantangan Eksternal
Tantangan eksternal antara lain terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu
yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi,
kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat
internasional. Arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat dari agraris
dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern
seperti dapat terlihat di World Trade Organization (WTO), Association of Southeast
Asian Nations (ASEAN) Community, Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC),
dan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Tantangan eksternal juga terkait dengan
pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains serta mutu,
investasi, dan transformasi bidang pendidikan. Keikutsertaan Indonesia di dalam
studi International Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS)
dan Program for International Student Assessment (PISA) sejak tahun 1999 juga
menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam
beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA. Hal ini disebabkan antara
lain banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam
kurikulum Indonesia.
c. Penyempurnaan Pola Pikir
Kurikulum 2013 dikembangkan dengan penyempurnaan pola pikir sebagai berikut.

210
1) Penguatan pola pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Peserta didik
harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari dan gaya
belajarnya (learning style) untuk memiliki kompetensi yang sama;
2) Penguatan pola pembelajaran interaktif (interaktif guru-peserta didik-
masyarakat-lingkungan alam, sumber/media lainnya);
3) Penguatan pola pembelajaran secara jejaring (peserta didik dapat menimba ilmu
dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui
internet);
4) Penguatan pembelajaran aktif-mencari (pembelajaran siswa aktif mencari
semakin diperkuat dengan pendekatan pembelajaran saintifik);
5) Penguatan pola belajar sendiri dan kelompok (berbasis tim);
6) Penguatan pembelajaran berbasis multimedia;
7) Penguatan pola pembelajaran berbasis klasikal-massal dengan tetap
memperhatikan pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik;
8) Penguatan pola pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines); dan
9) Penguatan pola pembelajaran kritis.
d. Penguatan Tata Kelola Kurikulum
Kurikulum 2013 dilakukan penguatan tata kelola sebagai berikut.
1) Penguatan tata kerja guru lebih bersifat kolaboratif;
2) Penguatan manajeman sekolah melalui penguatan kemampuan manajemen
kepala sekolah sebagai pimpinan kependidikan (educational leader); dan
3) Penguatan sarana dan prasarana untuk kepentingan manajemen dan proses
pembelajaran.
e. Penguatan Materi
Penguatan materi dilakukan dengan cara pengurangan materi yang tidak
relevan serta pendalaman dan perluasan materi yang relevan bagi peserta didik.

211
F. Karakteristik Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik sebagai berikut.
1. Mengembangkan keseimbangan antara sikap spiritual dan sosial, pengetahuan,
dan keterampilan, serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan
masyarakat;
2. Menempatkan sekolah sebagai bagian dari masyarakat yang memberikan
pengalaman belajar agar peserta didik mampu menerapkan apa yang dipelajari di
sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar;
3. Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap,
pengetahuan, dan keterampilan;
4. Mengembangkan kompetensi yang dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti
kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran;
5. Mengembangkan kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi
(organizing elements) kompetensi dasar. Semua kompetensi dasar dan proses
pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam
kompetensi inti;
6. Mengembangkan kompetensi dasar berdasar pada prinsip akumulatif, saling
memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar-mata pelajaran dan
jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).7

G. Kerangka Dasar Kurikulum


1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas
peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses
pembelajaran, posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik
dengan masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya.
Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan
dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia
berkualitas yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Pada dasarnya tidak

7
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014
Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Kurikulum 2013.

212
ada satupun filosofi pendidikan yang dapat digunakan secara spesifik untuk
pengembangan kurikulum yang dapat menghasilkan manusia yang berkualitas.
Berdasarkan hal tersebut, Kurikulum 2013 dikembangkan menggunakan filosofi
sebagai berikut.
1) Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa
masa kini dan masa mendatang. Pandangan ini menjadikan Kurikulum 2013
dikembangkan berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan
untuk membangun kehidupan masa kini, dan untuk membangun dasar bagi
kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. Mempersiapkan peserta didik
untuk kehidupan masa depan selalu menjadi kepedulian kurikulum, hal ini
mengandung makna bahwa kurikulum adalah rancangan pendidikan untuk
mempersiapkan kehidupan generasi muda bangsa. Dengan demikian, tugas
mempersiapkan generasi muda bangsa menjadi tugas utama suatu kurikulum.
Untuk mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa depan peserta didik,
Kurikulum 2013 mengembangkan pengalaman belajar yang memberikan
kesempatan luas bagi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan
bagi kehidupan di masa kini dan masa depan, dan pada waktu bersamaan tetap
mengembangkan kemampuan mereka sebagai pewaris budaya bangsa dan orang
yang peduli terhadap permasalahan masyarakat dan bangsa masa kini.
2) Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut pandangan
filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa lampau adalah
sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta didik.
Proses pendidikan adalah suatu proses yang memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi kemampuan berpikir
rasional dan kecemerlangan akademik dengan memberikan makna terhadap apa
yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari warisan budaya berdasarkan makna
yang ditentukan oleh lensa budayanya dan sesuai dengan tingkat kematangan
psikologis serta kematangan fisik peserta didik. Selain mengembangkan
kemampuan berpikir rasional dan cemerlang dalam akademik, Kurikulum 2013
memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk menimbulkan rasa

213
bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan pribadi, dalam
interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa
kini.
3) Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan
kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini
menentukan bahwa isi kurikulum adalah disiplin ilmu dan pembelajaran adalah
pembelajaran disiplin ilmu (essentialism). Filosofi ini bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik.
4) Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih
baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan
berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun
kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik (experimentalism and social
reconstructivism). Dengan filosofi ini, Kurikulum 2013 bermaksud untuk
mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan dalam berpikir
reflektif bagi penyelesaian masalah sosial di masyarakat, dan untuk membangun
kehidupan masyarakat demokratis yang lebih baik.
Dengan demikian, Kurikulum 2013 menggunakan filosofi sebagaimana di atas
dalam mengembangkan kehidupan individu peserta didik dalam beragama, seni,
kreativitas, berkomunikasi, nilai dan berbagai dimensi inteligensi yang sesuai dengan
diri seorang peserta didik dan diperlukan masyarakat, bangsa dan umat manusia.

2. Landasan Sosiologis
Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar adanya kebutuhan akan perubahan
rancangan dan proses pendidikan dalam rangka memenuhi dinamika kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana termaktub dalam tujuan pendidikan
nasional. Dewasa ini perkembangan pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Perubahan ini
dimungkinkan karena berkembangnya tuntutan baru dalam masyarakat, dunia kerja,
dan dunia ilmu pengetahuan yang berimplikasi pada tuntutan perubahan kurikulum
secara terus menerus. Hal itu dimaksudkan agar pendidikan selalu dapat menjawab

214
tuntutan perubahan sesuai dengan jamannya. Dengan demikian keluaran pendidikan
akan mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam upaya membangun
masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society).
3. Landasan Psikopedagogis
Kurikulum 2013 dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan perwujudan konsepsi
pendidikan yang bersumber pada perkembangan peserta didik beserta konteks
kehidupannya sebagaimana dimaknai dalam konsepsi pedagogik transformatif.
Konsepsi ini menuntut bahwa kurikulum harus didudukkan sebagai wahana
pendewasaan peserta didik sesuai dengan perkembangan psikologisnya dan
mendapatkan perlakuan pedagogis sesuai dengan konteks lingkungan dan jamannya.
Kebutuhan ini terutama menjadi prioritas dalam merancang kurikulum untuk jenjang
pendidikan menengah khususnya SMA. Oleh karena itu implementasi pendidikan di
SMA yang selama ini lebih menekankan pada pengetahuan, perlu dikembangkan
menjadi kurikulum yang menekankan pada proses pembangunan sikap, pengetahuan,
dan keterampilan peserta didik melalui berbagai pendekatan yang mencerdaskan dan
mendidik. Penguasaan substansi mata pelajaran tidak lagi ditekankan pada
pemahaman konsep yang steril dari kehidupan masyarakat melainkan pembangunan
pengetahuan melalui pembelajaran otentik. Dengan demikian kurikulum dan
pembelajaran selain mencerminkan muatan pengetahuan sebagai bagian dari
peradaban manusia, juga mewujudkan proses pembudayaan peserta didik sepanjang
hayat.
4. Landasan Teoritis
Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori “pendidikan berdasarkan standar”
(standard-based education), dan teori kurikulum berbasis kompetensi (competency-
based curriculum). Pendidikan berdasarkan standar menetapkan adanya standar
nasional sebagai kualitas minimal warganegara yang dirinci menjadi standar isi,
standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kurikulum berbasis kompetensi
dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik

215
dalam mengembangkan kemampuan untuk bersikap, berpengetahuan,
berketerampilan, dan bertindak.
Kurikulum 2013 menganut: (1) pembelajaran yang dilakukan guru (taught
curriculum) dalam bentuk proses yang dikembangkan berupa kegiatan pembelajaran
di sekolah, kelas, dan masyarakat; dan (2) pengalaman belajar langsung peserta didik
(learned-curriculum) sesuai dengan latar belakang, karakteristik, dan kemampuan
awal peserta didik. Pengalaman belajar langsung individual peserta didik menjadi
hasil belajar bagi dirinya, sedangkan hasil belajar seluruh peserta didik menjadi hasil
kurikulum.

H. Konsep Pembelajaran PAI berbasis Kurikulum 2013


1. Merancang Pembelajaran Efektif dan Bermakna
Implementasi Kurikulum 2013 merupakan aktuaiisasi kurikulum dalam
pembelajaran dan pembentukkan kompetensi serta karakter peserta didik. Hal
tersebut menuntut keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan berbagai
kegiatan sesuai dengan rencaiia yang telah diprogramkan. Saylor (1981) dalam
Mulyasa8 (2002) mengatakan bahwa “Instruction is thus the iniplernentation of
cwnculum plan, usually, but not necessarily, involving teaching in the sense of
student, teacher interaction in an educational setting”. Dalam hal iru, guru harus
dapat mengambil keputusan atas dasar penllaian yang tepat ketika peserta didik
belum dapat membentuk kompetensi dasar, apakah kegiatan pembelajaran dihentikan,
diubah metodenya, atau mengiilang dulu pembelajaran yang lalu. Guru hanis
menguasai prinsip-prinsip pembelajaran, pemilihan dan penggunaan media
pembelajaran, pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran, keterampilan menilai
hasil-hasil belajar peserta didik, serta memilih dan menggunakan strategi atau
pendekatan pembelajaran. Kompetensikompetensi tersebut merupakan bagian integral
bagi seorang guru sebagai tenaga profesional, yang hanya dapat dikuasai dengan baik
melalui pengalaman praktik yang intensif.

8
E. Mulyasa, Op Cit, hal 99

216
Guni harus menyadari bahwa pembelajaran merniliki sifat yang sangat
kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis secara
bersamaari. Aspek pedagogis menunjuk pada kenyataan bahwa pembelajaran
berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan. Karena itu, guru harus
mendampingi peserta didik menuju kesuksesan belajar atau penguasaan sejurnlah
kompetensi tertentu. Aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa peserta didik
pada umumnya memilild taraf perkembangan yang berbecla, yang menuntut materi
yang berbeda pula. Selain itu, aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa
proses belajar itu sendiri mengandung variasi, seperti belajar keterampilan motorik,
belajar konsep, belajar sikap, dan seterusnya (Gagne, 1984). Perbedaan tersebut
menuntut pembelajaran yang berbeda, sesuai dengan jenis belajar yang sedang
berlangsung, Aspek didaktis menunjuk pada pengaturan belajar peserta didik oleh
guru. Dalam hal im, guru harus menentukan secara tepat jenis belajar manakah yang
paling berperan dalam proses pembelajaran tertentu, dengan mengingat kompetensi
dasar yang harus dicapai. Kondisi ekstemal yang harus diciptakan oleh guru
menunjuk variasi juga dan tidak sama antara jenis belajar yang satu dengan yang lain,
meskipun ada pula kondisi yang paling dominan dalam segala jenis belajar. Untuk
kepentingan tersebut, guru harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai jenis-
jenis belajar, kondisi internal dan eksternai peserta didik, serta cara melakukan
pembelajaran yang efektif dan bermakna.
Pembelajaran menyenangkan, efektif dan bermakna dapat dirangcang oleh
setiap guru, dengan prosedur sebagai berikut :
a. Pemanasan dan Apersepsi
Pemanasan dan apersepsi perlu dilakukan untuk menjajaki pengetahuan
peserta didik, memotivasi peserta didik dengan menyajikan materi yang menarik, dan
mendorong mereka untuk meiigetahui berbagai hal baru. Pemanasan dan apersepsi mi
dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut.
a) Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami peserta
didik.

217
b) Peserta didik dimotivasi dengan bahan ajar yang menarik dan berguna bagi
kehidupan mereka.
c) Peserta didik digerakkan agar tertarik dan bemafsu untuk mengetahui hal-hal
yang baru.
b. Eksplorasi
Eksplorasi menipakan tahapan kegiatan pembelajaran untuk mengenalkan
bahan dan mengaitkannya dengan pengetahuan yang telah dirnihki peserta didik. Hal
tersebut dapat ditempuh dengan prosedur sebagai berikut
a) Perkenalkan materi standar dan kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh
peserta didik;
b) Kaitkan materi standar dan kompetensi dasar yang barn dengan pengetahuan
dan kompetensi yang sudah dimiliki oleh peserta didik;
c) Pilihlah metode yang paling tepat, dan gunakan secara bervariasi untuk
meningkatkan penerimaan peserta clidik terhadap maten standar dan
kompetensi baru.
c. Konsolidasi Pembelajaran
Konsolidasi merupakan kegiatan untuk mengaktifkan peserta didik dalam
pembentukan kompetensi dan karakter, serta menghubungkannya dengan kehidupan
peserta didik. Konsolidasi pembelajaran mi dapat dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut.
a) Libatkan peserta didik secara aktif dalam menafsirkan dan memahami materi dan
kompetensi baru;
b) Libatkan peserta didik secara aktif dalam proses pemecahan masalah (problem
solving), terutama dalam masalah-masalah aktual;
c) Letakkan penekanan pada kaitan struktural, yaitu kaitan antara materi standar dan
kompetensi barn dengan berbagai aspek kegiatan dan kehidupan dalam lingkungan
masyarakat;
d) Pilihlah metode yang paling tepat sehingga rnateri standar dapat diproses menjadi
kompetensi dan karakter peserta didik.

218
d. Pembentukkan Sikap, Kompetensi, dan Karakter
Pembentukan sikap, kompetensi, dan karakter peserta didik dapat dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut.
a) Dorong peserta didik untuk menerapkan konsep, pengertian, kompetensi, dan
karakter yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari;
b) Praktekkan pembelajaran secara langsung, agar peserta didik dapat
membangun sikap, kompetensi, dan karakter barn dalam kehidupan sehari-
hari berdasarkan pengertian yang dipelajari;
c) Gunakan metode yang paling tepat agar terjadi perubahan sikap, kompetensi,
dan karakter peserta didik secara nyata.
e. Penilaian Formatif
Penilaian formatif perlu dilakukan untuk perbaikan, yang pelaksanaannya dapat
dilakukan dengan prosedur sebagai berikut.
a) Kembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran peserta didik;
b) Gunakan hasil penilaian tersebut untuk menganalisis kelemahan atau
kekurangan peserta didik dan masalah-masalah yang dihadapi guru dalam
membentuk karakter dan kompetensi peserta didik;
c) Pilihlah metodologi yang paling tepat sesuai dengan kompetensi yang ingin
dicapai.
Prosedur pembelajaran efektif dan bermakna sebagaimana diuraikan di atas,
dapat dilukiskan sebagai berikut9.

9
Ibid, 103

219
Dalam pembelajaran efektif dan bermakna, peserta didik perlu dilibatkan secara
aktif, karena mereka adalah pusat dari kegiatan pembelajaran serta pembentukan
kompetensi, dan karakter. Peserta didik harus dilibatkan dalam tanya-jawab yang
terarah, dan mencari pemecahan terhadap berbagai masalah pembelajaran. Peserta
didik harus didorong untuk menafsirkan informasi yang diberikan oleh guru, sampai
hiformasi tersebut dapat diterima oleh akal sehat. Strategi seperti mi memerlukan
pertukaran pikiran, diskusi, dan perdebatan, dalam rangka mencapai pengertian yang
sama terhadap setiap materi standar. Melalui pembelajaran efektif dan bermakna,
kompetensi dapat diterima dan tersimpan lebih baik, karena masuk otak dan
membentuk karakter melalul proses yang logis dan sistematis.
Dalam pembelajaran efektif dan bermakna, setiap materi pelajaran yang barn
harus dikaitkan dengan berbagai pengalaman sebelumnya. Materi pembelajaran barn
disesuaikan secara aktif dengan pengetahuan yang sudah ada, sehingga pembelajaran
harus dimulai dengan hal yang sudah dikenal dan dipahami peserta didik, kemudian
guru rnenambahkan unsur-unsur pembelajaran dan kompetensi barn yang disesuaikan
dengan pengetahuan dan kompetensi yang sudah dimiild peserta didik.
Agar peserta didik belajar secara aktif, guru perlu menciptakan strategi yang
tepat guna, sedemikan rupa, sehingga mereka mempunyai motivasi yang tinggi untuk
belajar. Motivasi yang seperti mi akan dapat tercipta kalau guru dapat meyakinkan
peserta didik akan kegunaan materi pembelajaran bagi kehidupan nyata peserta didik.
Demikian juga, guru harus dapat menciptakan situasi sehingga materi pembelajaran

220
selalu tampak menarik, dan tidak membosankan. Untuk kepentingan tersebut, guru
harus mampu bertindak sebagai fasilitator, yang perannya tidak terbatas pada
penyampaikan informasi kepada peserta didik. Sesuai kemajuan dan tuntutan zaman,
guru harus memiliki kemampuan untuk memahami peserta didik dengan berbagai
keunikannya agar mampu membantu mereka dalam menghadapi kesulitan belajar.
Dalam pada itu, guru dituntut memahami berbagai pendekatan pembelajaran agar
dapat membimhing peserta didik secara optimal.

2. Mengorganisasikan Pembelajaran
Implementasi Kurikulum 2013 menuntut guru untuk mengorganisasikan
pembelajaran secara efektif. Sedikitnya terdapat lima hal yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan pengorgaxdsasian pembelajaran dalam implementasi Kurikulum
2013, yaitu pelaksanaan pembelajaran, pengadaan dan pembinaan tenaga ahli,
pendayagunaan lingkungan dan sumber daya masyarakat, serta pengembangan dan
penataan kebijakan.
a. Pelaksanaan Pembelajaran
Pembelajaran dalam implementasi Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan
kompetensi hendaknya dilaksanakan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik peserta
didik, serta kompetensi dasar pada umumnya. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dan
prosedur pembelajaran berbasis karakter dan kompetensi sudah seharusnya dijadikan
sebagai salah sam acuan dan dipahanii oleh pam guru, fasilitator, kepala sekolah,
pengawas sekolah, dan tenaga kependidikan lam di sekolah.
Sehubungan dengan itu, implementasi Kurikulum 2013 dalam pembelajaran
berbasis kompetensi, dan karakter yang dilakukan dengan pendekatan tematik
integratif harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
1) Mengintegrasikan pembelajaran dengan kehidupan masyarakat di sekitar
lingkungan sekolah.
2) Mengidentifikasi kompetensi dan karakter sesuai dengan kebutuhan dan masalah
yang dirasakan peserta didik.

221
3) Mengembangkan mdikator setiap kompetensi dan karakter agar relevan dengan
perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
4) Menata struktur organisasi dan mekanisme kexja yang jelas serta menjalin
keijasama di antara pam fasilitator dan tenaga kependidikan lain dalam
pembentukan kompetensi peserta didik.
5) Merekrut tenaga kependidikan yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan
sikap sesuai dèngan tugas dan fungsinya.
6) Melengkapi sarana dan prasarana belajar yang memadai, seperti perpustakaan,
laboratorjum, pusat sumber belajar, perlengkapan teknis, dan perlengkapan
adrninistrasi, serta ruang pembelajaran yang memadai.
7) Menilaiprugrampembelajaransecam berkaladanberkesinambungan untuk melihat
keefektifan dan ketercapaian kompetensi yang clikembangkan. Di samping itu,
penilaian juga penting unti.ik melihat apakah pembelajaran berbasis kompetensi
yang dikembangkan sudah dapat mengembangkan potensi peserta didik atau
belum.
b. Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Ahli
Dalam implementasi Kurikulum 2013 diperlukan pengadaan dan pembinami
tenaga alili, yang memjljkj sikap, pribadi, kompetensi dan keteranipilan yang
berkaitan dengan pembelajaran berbasis kompetensi dan karakter. Hal mi sangat
penting dilaksanakan, karena berkaitan dengan deskripsi kerja yang akan dilakukan
oleh masing-masing tenaga kependidikan. Dalam pada itu, Kurikulum 2013 yang
akan diimplementasikan secara bertahap, rencananya akan dilakukan pendampingan.
Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya tenaga abli, agar setiap personil memiliki
pemahaman dan kompetensi yang menunjang terlaksananya pembelajaran tematik
integratif dalam mengembangkan potensi peserta didik secara optimal.

c. Pendayagunaan Lingkungan sebagal Sumber Belajar


Dalam rangka menyukseskan implementasi kurikulum, perlu drdayagunakan
lingkungan sebagai sumber belajar secara optimal. Untuk kepentingan tersebut pan
guru, fasilitator dituntut untuk mendayagunakan lingkungan, baik lingkungan fisik

222
maupun lingkungan sosial, set-ta menjalin kerjasama dengan unsur-unsur terkait yang
dipandang dapat menunjang upaya pengembangan mum dan kualitas pembelajasan.
Pendayagunaan dan jalinan hubungan tersebut antara lain dapat dilakukan dengan
masyarakat di sekitar lingkungan sekolah.
d. Pengembangan Kebijakan Sekolah
Implementasi kurikulum perlu didukung oleh kebijakan-kebijakan kepala
sekolah. Kebijakan yang jelas dan balk akan dapat memberikan kelancaxan dan
kernudahan dalam implementasi pembelajaran berbasis kompetensi. Ada beberapa
kebijakan yang relevan diambil kepala sekolah dalam membantu kelancaran
pengembangan pembelajaran berbasis kompetensi, yaitu:
1) Mempmgmmkan pembahan kurikulum sebagai bagian integral dan program
sekolah secam keselumhan;
2) Menganggarkanbiaya operasionalpembelajaranberbasiskompetensi dan karakter
sebagai bagian dad anggaxan sekolah.
3) Meningkatkan mum dan kualitas gum, serta fasilitator agar dapat bekerja secam
profesional (meningkatkan pmfesionalisme gum).
4) Menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk kepentingan belajar, dan
pembentukan kompetensi dasar.
5) Menjalin kerjasarna yang balk dengan unsur-unsur terkait secara nesnii dalam
kaitannya dengan pernbelajaran berbasis kompetensi, seperti dunia usaha,
pesantren, dan tokoh-tokoh masyarakat.

3. Melaksanakan Pembelajaran, Pembentukan Kompetensi, dan Karakier


Pembelajaran dalam menyukseskan impelementasi Kurikulum 2013 merupakan
keseluruhan proses belajar, pembentukan kompetensi, dan karakter peserta didik yang
direncanakan. Untuk kepentingan tersebut, kompetensi inti, kompetensi dasar, materi
standar, indikator hasil belajar, dan waktu yang diperlukan harus ditetapkan sesual
dengan kepentingan pembelajaran sehingga peserta didik diharapkan mempemleh
kesempatan dan pengalaman belajar yang optimal. Dalam hal mi, pembelajaran pada
hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya,

223
sebingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut
banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, balk faktor internal yang datang dart
dalam diii individu, maupun faktor eksternal yang datang dan lirigkungan.
Pada umumnya, kegiatan pembelajaran mencakup kegiatan awal atau
pembukaan, kegiatan inti atau pembentukan kompetensi dan karakter, serta kegiatan
akhir atau penutup.
1. Kegiatan Awal atau Pembukaan
Kegiatan awal atau pembukaanpembelajaran berbasis kompetensi dalam
menyukseskan implementasi Kurikulum 2013 mencakup pembinaan keakraban dan
pre-test.
a. Pembinaan Keakraban
Pembinaan keakraban perlu dilakukan untuk menciptakan iklim pembelajaran
yang kondusif bagi pembentukan kompetensi peserta didik, sehingga tercipta
hubungan yang harmonis antara guru sebagai fasilitator dan peserta didik serta antara
peserta didik dengan peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik perlu diperlakukan
sebagai individu yang merniliki persamaan dan perbedaan individual.
Tahap pembinaan keakraban mi bertujuan untuk mengkondisikan para peserta
didik agar mereka siap melakukan kegiatan belajar. Para peserta didik perlu saling
mengenal terlebih dahilu antara yang satu dengan yang lain. Sating mengenal
merupakan persyamtan tumbuhnya keakraban antara peserta didik dan antara peserta
didik dengan sumber belajar (guru/fasifitator). Terbinanya suasana yang akrab amat
penting untuk mengembangkan sikap terbuka dalarn kegiatan belajar, dan
pembentukan kompetensi peserta didik. Suasana mi dapat mendorong peserta didik
untuk melakukan kegiatan sating belajar, suasana keakraban ml penting dlitumbuhlan
oleh gurulfasilitator sebelum kegiatan inti pembelajaran dimulai. Hal ml didasarkari
atas asumsi bahwa peserta didik tidak dapat berpartisipasi secara optimal daiam
kegiatan pembelajaran apabila tidak sating mengenal satu sama lain secara akrab.
Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut.

224
a) Di awal pertemuan pertama, guru memperkenaikan din kepada peserta didik
dengan memberi salam, menyebut nama, alamat, pendidikan terakhir, dan
tugas pokoknya di sekolah.
b) Peserta didik masing-masing memperkenalkan din dengan memberi salam,
menyebut nama, alamat, dan pengalaman dalana kehidupan sehari-hari, serta
mengapa mereka belajar di sekolah ini.
b. Pretes (tes awal)
Setelah pembinaan keakraban, kegiatan dilakukan dengan pretes. Pretes mi
memiliki banyak kegunaan dalam menjajagi proses pembelajaran yang akan
dilaksanakan. Oleh karena itu pretes rnemegang peranan yang cukup penting dalam
proses pembelajaran. Fungsi pretes ini antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
a) Untuk menyiapkan peserta 1idik dalam proses belajar, karena dengan pretes
maka pikiran mereka akan terfokus pada soal-. soal yang harus mereka
jawab/kerjakan.
b) Untuk mengetahui tingkat kemajuan peserta didik sehubungan dengan proses
pembelajaran yang dilakukan. Hal ml dapat dilakukan dengan
membandingkan basil pietes dengan posttes.
c) Untuk mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki peserta didik
mengenai bahan ajaran yang akan dljadiican topik dalam proses pembelajaran.
d) Untuk mengetahul darimana seharusnya proses pembelajaran dixnulai, tujuan-
tujuan rnana yang telah dikuasaj peserta didik, dan tujuan-tujuan mana yang
perlu mendapat penekanan dan perhatian khusus.
Untuk mencapai fungsi yang ketiga dan keempat maka hasil pretes harus segera
diperiksa, sebelum pelaksanaan proses pembelajaran inti dilaksanakax-i (sebelum
siswa mempelajani modul). Pemerjksaaj-i jul harus dilakukan secara cepat dan
cermat, jangan sarnpai mengganggu suasana belajar, dan jangan sampai mengalihkan
perhatian peserta didik, Untuk itu, pada waktu memeriksa pretes perlu dibexikan
kegiatan lain, misalnya membaca hand out, atau text books. Dalam hal mi pretes
sebaiknya dilakukan secara tertulis, meskipun bisa saja dilaksanakan secara lisan atau
perbuatan.

225
2. Kegiatan Enti atau Pembentukan Kompetensi dan Karakter
Kegiatan inti pembelajaran antara lain mencakup penyampaian informasi,
membahas matet-i standar untuk membentuk kompetensi dan karakter peserta didik,
serta melakukan tukar pengalaman dan pendapat dalam membahas materi standar
atau memecahkan masalah yang dihadapm bersama. Dalam pembelajaran, peserta
ctidik dibantu oleh guru dalam melibatkan din untuk membentuk kompetensi dan
karakter, serta mengembangk. dan memodifikasj kegiatan pembelajaran.
Pembentukan kompetensj dan karakter peserta didik perlu dilakukaj dengan
tenang dan menyenangkan, hal tersebut tentu Saja menuntut aktjvjtas dan kreativjtas
guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif. Pembentukan kompetensi dan
karakter dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik terlibat secara akti baik
mental, fisik maupun sosialnya.
Pembentukan kompetensi dan karakter mi ditandai keikutser peserta didik dalam
pengelolaan pembelajaran (participative teaching and learning), berkaitan dengan
tugas dan tanggung jawab mereka dalam menyelenggarakan program pembelajaran.
Tugas peserta didik adalah belajar sedangkan tanggung jawabnya rnencakup
keterlibatan mereka dalam membina dan mengembangkan kegiatan belajar yang telah
disepakati dan ditetapkan bersama pada saat penyusunan program. Dalam
pelaksanaan kegiatan pembelajaran mi peserta didik yang dibantu oleh guru
melibatkan din dalam proses pembelajaran. Upaya mengembangkan atau
rnemodifikasi kegiatan belajar tersebut erat kaitarinya dengan hasil penilaian kegiatan
pembelajaran. Teknik yang dapat digunakan dalam pelaksanaan kegiatan
pembelajaran tersebut mencakup antara lain teknik ceramah bervaniasi, forum, studi
kasus, dan simulasi.
Pembentukan kompetensi dan karakter mencakup berbagai langkah yang perlu
ditempuh oleh peserta didik dan guru untuk mewujudkan kompetensi dan karakter
yang telah ditetapkan. Hal mi ditempuh melalui berbagai cam, bergantung pada
situasi, kondlisi dan kebutuhan serta kemampuan peserta didik. Prosedur yang
ditempuh dalam pembentukan kompetensi dan karakter adalah sebagai berikut.

226
a) Berdasarkan kompetensi dasar dan materi standar yang telah dituangkan
dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), guru menjelaskan
kompetensi minimal yang hanis dicapai peserta didik, dan cam belalar
individual.
b) Guru menjelaskan materi standar secara logis dan sistematis, pokok baliasan
dikemukakan dengan jelas atau ditulis di papan tulis. Memberi kesempatan
peserta didik untuk bertanya sampai mateni standar tersebut benar-benar dapat
dikuasai.
c) Membagikan materi standar atau sumber belajar berupa hand out dan fotokopi
beberapa bahan yang akan dipelajari. Materi standar tersebut sebagian
terdapat di perpustakaan. Jika materi standar yang diperlukan tidak tersedia di
perpustakaan, maka guru im-mfotokopi dan surnber lain, seperti majalah, dan
surat kabar.
d) Membagikan lembaran kegiatan untuk setiap peserta didik. Lembaran
kegiatan berisi tugas tentang materi standar yang telah dijelaskan oleh guru
dan dipelajani oleh peserta didik.
e) Guru memantau dan memeriksa kegiatan peserta didik dalam a mengerjakan
lembaran kegiatan, sekaligus memberikan bantuan, arahan bagi mereka yang
memerlukan.
f) Setelah selesai diperiksa bersama-sama dengan cara menukar pekeijaan
dengan teman lain, lalu guru menjelaskan setiap jawabannya.
g) Kekeliruan dan kesalahan jawaban diperbaiki oleh peserta didik, jika ada yang
kurang jelas guru memberi kesempatan bertanya, tugas atau kegiatan mana
yang perlu penjelasan lebih lanjut.
Dalam pembentukan karakter dan kompetensi perlu diusahakan untuk melibatkan
peserta didik seoptimal mungkin. Melibatkan pesera didik adalah memberikan
kesempatan dan mengikutsertakan mereka untuk turut ambil bagian dalam proses
pembelajaran. Hal mi bertujuan untuk saling bertukar informasi antarpeserta didik
dan antarpeserta didiJ.c dengan guru mengenai topik yang dibahas, untuic mencapal
kesepakatan, kesamaan, kecocokan dan keselarasan pikiran mengenai apa yang akan

227
dipelajani. Hal mi penting untuk menentukan persetujuan atau kesimpulan tentang
gagasan yang bisa diambil atau tindakan yang akan dilakukan berkenaan dengan
topik yang dibicarakan.
3. Kegiatan Akhir atau Penutup
Kegiatan akhir pembelajaran atau penutup dapat dilakukan dengan memberikan
tugas, dan post test. Tugas yang diberikari merupakan tindak lanjut dan pembelajaran
inti atau pembentukan kompetensi, yang berkenaan dengan materi standar yang telah
dipelajani maupun materi yang akan dipelajani berikutnya. Tugas ml bisa merupakan
pengayaan dan remedial terhadap kegiatan inti pembelajaran atau pembentukkan
kompetensi.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kegiatan belajar, dan terhadap tugas-tugas
modul, hasil tes, dan ulangan dapat diperoleh tingkat kemampuan belajar setiap
peserta didik. Hasil analisis ini dipandukan dengan catatan-catatan yang ada pada
program mingguan dan harlan, untuk dgunakan sebagai bahan tindak lanjut proses
pembelajaran yang telah dilaksanakan. Program mi juga mengidentifikasi modul yang
perlu diulang, peserta didik yang wajib mengkuti remedial, dan yang mengkuti
program pengayaan.
Berdasarkan teori belajar tuntas, seorang peserta didik dipandang tuntas belajar
jika mampu menyelesaikan, menguasai kompetensi, dan kaxakter atau mencapai
tujuan pembelajaran minimal 65% dan seluruh tujuan pembelajaran. Sedangkan
keberhasilan kelas dilihat dan jumlah peserta didik yang mampu menyelesaikan atau
mencapai minimal 65%, sekurang-kurangnya 85% dan jurnlah peserta didik yang ada
di kelas tersebut.
Sekolah perlu memberikan perlakukan khusus terhadap peserta didik yang
mendapat kesulitan belajar melalui kegiatan remedial. Peserta didik yang cemerlang
diberikan kesempatan untuk tetap mempertahankan kecepatan belajamya melalul
kegiatan pengayaan. Kedua program itt dilakukan oleh sekolah karena lebih
mengetahui dan memahami kemajuan belajar setiap peserta didik.
Pada umurnnya pelaksanaan pembelajaran diakhini dengan post tes. Sama halnya
dengan pretes, post tes juga memiliki banyak kegunaan, terutama dalam melihat

228
keberhasilan pembelajaran. Fungsi post tes antara lain dapat dikemukakan sebagai
berikut:
a) Untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi
yang telah ditentukan, baik secara indivldu maupun kelompok. Hal mi dapat
diketahui dengan membandingkan antara hasil pretes dan post tes.
b) Untuk mengetahui kompetensi dan tujuan-tujuan yang dapat dikuasai oleh
peserta didik, serta kompetensi dan tujuan-tujuan yang belum dikuasainya.
Sehubungan dengan kompetensi dan tujuan yang belum dikuasai mi, apabila
sebagian besar belum menguasainya maka perlu dilakukan pembelajaran
kembali (remedial teaching).
c) Untuk mengetahui peserta didik-peserta didik yang perlu mengikuti kegiatan
remedial, dan peserta didik yang perlu mengikuti kegiatan pengayaali, serta
untuk mengetahui tingkat kesulitan dalam mengeijakan modal (kesulitan
belajar).
d) Sebagai bahan acuan untuk melakukan perbaikan terhadap komponen-
komponeri modul, dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan, baik
terhadap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi.
I. Menetapkan Kriteria Keberhasilan
Keberhasilan implementasi Kurikulum 2013 dalam pembentukan kompetensi dan
karakter peserta didik dapat dilihat dan segi proses dan dan segi hash. Dan segi
proses, pembentukan kompetensi dan karakter dikatakan berhasil dan berkualits
apabila seluruhnya atau setidak-tidakriya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat
secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, di samping
menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa
percaya pada din sendiri. Sedangkan dan segi hasil, proses pernbentukan kompetensi
dan karakter dikatakan berhasil apabila teijadi penibahan perilaku yang positif pada
din peserta didik selunuhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%). Lebth lanjut
pembentukan kompetensi dan karakter dikatakan berhasil dan berkualitas apabila
masukan merata, menghasjlkan otuput yang banyak dan bennutu tinggi, serta sesuai
dengân kebutuhan, perkembangan masyarakat dan pernbangungan.

229
Untuk memenuhi tuntutan tersebut di atas perlu dikembangkan pengalaman
belajan yang kondusif untuk membentuk manusia yang berkualitas tinggi, balk
mental, moral maupun fisik. Hal mi berarti kalau tujuannya bersifat afektif
psikomotonik, tidak cukup hanya diajarkan dengan modul, atau sumber yang
mengandung nilai kognitil Namun perlu penghayatan yang disertai pengalaman
nilainilai karakter yang dimanifestasikan dalam perilaku (behaivioral skill) sehani-
hani. Metode dan strategi pernbelajaran yang kondusif untuk hal tersebut perlu
dikembangkan, misalnya seperti: metode inquby, discovery, dan problem solving.
Penggunaan metode dan strategi tersebut diharapican setiap peserta didik dapat
mengembangkan potensinya secara optimal, sehingga akan lebih cepat dapat
menyesuaikan din dengan kebutui-an masyarákat apabila mereka telah menyelesaikan
suatu program pendidikan.
Keberhasilan implementasi Kurikulum 2013 berbasis kompetensi dan karakter
dapat dilihat dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, dengan
kriteria sebagai berikut.
1. Kriteria Jangka Pendek
b. Sekurang-kurangnya 75% isi dan prinsip-prinsip pembelajaran dapat
dipahami, diterima dan diterapkan oleh para peserta didik dan guru di kelas.
c. Sekurang-kurangnya 75% peserta didik merasa mendapat kemudahan, senang
dan mernilild kemauan belajar yang tinggi.
d. Para peserta didik berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran.
e. Materi yang dikomunikasikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan
mereka memandang bahwa hal tersebut akan sangat berguna bagi
kehidupannya kelak.
f. Pembelajaran yang dikembangkan dapat menumbuhkan minat belajar para
peserta didik untuic belajar lebih lanjut (continuing).
2. Kriteria Jangka Menengah
a. Adanya umpan balik terhadap guru tentang pembelajaran yang dilakukannya
bersama peserta didik.

230
b. Para peserta didik menjadi insan yang kreatif dan mampu menghadapi
berbagai pemiasalahan yang dihadapinya.
c. Para peserta didik tidak memberikan pengaruh negatif terhadap masyarakat
lingkungarmya dengan cara apapun.
3. Kriteria Jangka Panjang
a. Adanya peningkatan mutu pendidikan, yang dapat dicapai oleh sekolah
melalui kemandirian dan inisiatif kepala sekolah dan guru dalam mengelola
dan medayagunakan sumber-sumber yang tersedia.
b. Adanya peningkatan efisiensl dan efektivitas pengelolaan dan penggunaan
sumber-sumber pendidikan. melalui pembagian tanggungjawab yang jelas,
transparan, dan demokratis.
c. Adanya peningkatan perhtian serta partisipasi warga dan masyarakat sekitar
sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran yang dicapai
melalui pengambilan keputusan bersama.
d. Adanya peningkatan tanggung jawab sekolah kepada pemerintah, orang tua
peserta didik, dan masyarakat pada umumnya berkaitan dengan mutu sekolah,
baik dalam intra maupun ekstra kurikuler.
e. Adanya kompetisi yang sehat antarsekolah dalara peningkatan mutu
pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orangtua peserta
didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.
f. Tumbuhnya kemandirian dan berkurangnya ketergantungan di kalangan
warga sekolah, bersifat adaptif dan proaktif serta memiliki jiwa
kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, dan berarii mengambil resiko).
g. Terwujudnya proses pembelajaran yang efektif, yang lebih menekankan pada
belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do),
belajar menjadi dlii sendiri (learning to be), dan belajar hidup bersama secara
harmonis (learning to live together).
h. Terciptanya iklim sekolah yang aman, nyaman dan tertib, sehingga proses
pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoya
and learning).

231
i. Adanya proses evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutari. Evaluasi belajar
secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya scrap dan
kemampuan peserta didik, tetapi untuk memanfaatkan hasil evaluasi belajar
tersebut bagi perbaikan dan penyempumaan proses pembelajaran di sekolah.
Akhirnya, perlu dikemukakan di sini bahwa dalam rangka implementasi
Kurikulum 2013, Pemerintah telah menyediakan buku acuan utama (babon), buku
guru, buku siswa, dan juga silabus. Dengan demikian, guru tinggal mengikuti apa-apa
yang telah disiapkan dalam buku tersebut, serta melaksanakan pembentukan
kompetensi dan karakter peserta didik. Buku babon dimaksudkan Untuk memberikan
mated standar dalam pembelajaran, sebagai langkah standardisasi dalarn
implementasi kurikulum. Dalam hal mi, buku babon dirancang untuk memfasffitasi
gum dan peserta didik dalam melakukan pembelajaran. Buku babon menyajikan
materi standar minimal yang harus dikuasai oleh setiap peserta didik. Oleh karena)
itu, jika ada sekolah satuan pendidikan yang marnpu mencapai standar Iebih tinggi
dan standar minimal, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak
melarangnya, bahkan mendorong setiap sekolahlsatuan pendidikan untuk menjadi
sekolah unggulan, dengan kualitas pembelajaran di atas standar.
J. Rangkuman
Dalam rangka mempersiapkan lulusan pendidikan memasuki era globalisasi
yang penuh tantangan dan ketidakpastian, diperlukan pendidikan yang dirancang
berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan. Untuk kepentingan tersebut Pemerintah
melakukan penataan kurikulurn. Kurikulum 2013 merupakan tindak lanjut dari
kurikulum berbasis kompeteisi (KBK) yang pernah diterapkan pata tahun 2004. KBK
atau (Competency Based Cunkulum) dijadikan acuan dan pedoman bagi pelaksanaan
pendidikan untuk mengembangkan berbagai ranah pendidikan (pengetahuan,
keterampilan, dan sikap) dalam seluruh jenjang dan jalur pendidikan, khususnya pada
jalur pendidikan sekolah.
Implementasi dan Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang
kompleks, dan melibatkan berbagai komponen yang saling terkait. Oleh karena itu
dalam proses pengembangan Kurikulum 2013, tidak hanya menuntut keterampilan

232
teknis dan pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai komponen
kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai komponen yang mempengaruhinya.
Jadi kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Karakteristik
pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait erat pada Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan
kerangka konseptual tentang sasaran pembelajaran yang harus dicapai. Standar Isi
memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang
diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi.
Untuk mendorong kemampuan peserta didik menghasilkan karya kontekstual,
baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan
pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah
(project based learning).
Prinsip pembelajaran pada kurikulum 2013 menekankan perubahan paradigma:
1) Peserta didik diberi tahu menjadi peserta didik mencari tahu;
2) Guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber
belajar;
3) Pendekatan tekstual menjadi pendekatan proses sebagai penguatan penggunaan
pendekatan ilmiah;
4) Pembelajaran berbasis konten menjadi pembelajaran berbasis kompetensi;
5) Pembelajaran parsial menjadi pembelajaran terpadu;
6) Pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menjadi pembelajaran dengan
jawaban yang kebenarannya multi dimensi;
7) Pembelajaran verbalisme menjadi keterampilan aplikatif;
8) Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan
keterampilan mental (softskills);
9) Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik sebagai pembelajar sepanjang hayat;

233
Dalam hal ini, pengembangan kurikulum difokuskan pada pembentukan
kompetensi dan karakter peserta didik, berupa paduan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman
terhadap konsep yang dipelajarinya secara kontekstual. Kurikulum 2013 bertujuan
untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai
pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta
mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan
peradaban dunia.
K. Latihan
1. Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik agar dapat dinilai, sebagai wujud
hasil belajar. Jelaskan maksud dari kalimat tersebut ?
2. Kurikulum 2013 berbasis kompetensi dapat dimaknai sebagai suatu konsep
kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan
(kompetensi). Dari pernyataan tersebut jelaskan kompetensi yang harus dikuasai
peserta didi ?
3. Prinsip pembelajaran pada kurikulum 2013 menekankan perubahan paradigma.
Paradigma bagaimana yang dimaksud pada kaliat tersebut ?
4. Perlunya perubahan kurikulum juga karena adanya beberapa kelemahan yang
ditemukan dalam KTSP 2006. sebutkan dan jelaskan kelemahan KTSP tersebut ?
L. Bahan Bacaan
E. Mulyasa, Pengembangan Kurikulum 2013, Bandung: PT. Rosdakarya, 2013.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian
Pendidikan Dasar dan Menengah Kurikulum 2013

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 Tentang
Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Kurikulum 2013.

E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,


2013.

234
Daftar Pustaka

Ali Ashraf. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.1997.

Aims and Objectivies of Islamic Eduacation. (King Abdul Aziz University, Jeddah, 1997),
hlm, 64-65. Buku ini merupakan kumpulan makalah yang dibahas dalam “World
Conference on Muslim Education” I yang diselenggarakan di Makkah dan Jeddah
1997.

Abdurrahman Al-Nahlawi. Pendidikan Islam di Sekolah, Madrasah dan Masyarakat. Jakarta:


Gema Insani Press. 1985

Abdul Fatah Jalal. Azaz-azaz Pendidikan Islam, terj. Heri Noor, Bandung Diponegoro.1977.

Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Moderenisasi Menuju Milenium Baru.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000.

Ahmad Mustafa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. (Mesir : Darul Fakri. Mesir. 1974), cet ke
III, Juz I, hlm,13. Selanjutnya disebut Tafsir Al-Maraghi

Ahmad D Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif 1980.

; Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif 1980

Afnil Guza, ”Standar Nasional Pendidikan (SNP)”, Kumpulan Undang-undang tentang


Pendidikan, Jakarta: Asa Mandiri, 2007.

Ahmad Tirto Sudiro. Pendidikan Agama dalam Persepektif Agama-agama. Jakarta: Dirjen
Dikti, 1995.

Ahmad Watik Pratiknya. Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Umum, Editor
Fuaduddin dan Cik Hasan Basri. Jakarta: Logos Wacaana Ilmu 1999.

Abdul Munir Mulkhan, akar pendidikan Islam sebagai ilmu, dalam Abdul Munir Mulkhan,
Dkk, Rilegius Iptek, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan pustaka Pelajar, 1998

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta :
kanisius, 1990

Azyumardi Azra. Esei-Esei Intelektual Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
2000.

; Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru. Jakarta: Logos,
1999.

Anshari, E.S. Kuliah Al Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta:
Rajawali, 1986.
Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, penyunting: KH. Misbah Z. Musthofa.Jakarta: Bintang Pelajar.

Abdullah ’Abdul Daim. Al-Tarbiyah ‘Abru al-Tarikh min Unhuri al-Qodhimah hatta Awail
Qorni al-‘Isyirin. Bairut: Darul ilmi Lil Mu’alimin. 1984.

Ahmad Sanusi, Pendidikan Alternatif Menyisipkan Vektor Percepatan, Untuk Memacu Mutu
Belajar dan Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah) Bandung: PPs UPI
Bandung, 1998.

Ahmad Sanusi, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan,


Bandung: IKIP Bandung, 1991.

Asumsi Syukir, Metode Da’wah, Jakarta: Bulan Bintang,1979

Abu Ahmadi, Metodik Khusus Pendidikan Agama (MKPA), Bandung:Armico1985.


(Muhaimin dan Abd. Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya ) (Bandung: Trigendakarya, 1993.

Anita Woolfolk, Education Psychology, Boston: Allyn and Bacon, 1993.

Anvirl Loveless, ICT in the primery curriculum”, dalam avril loveless dan Dabs Dore, (ed)
ICT in the premery, Buckingham: open University Press, 2002.

Bobbi DePoter dan Mike Hernackhi, Quantum Learning: Uneashing The Genius in you” ,
Alwiyah Abdurrohman(trjh), Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman
Dan Menyenangkan, Bandung: Kaifa, 2002.

Benjamin Bloom, Human Characteristik In School Learning, New York: McGrawu-Hil Book
Co, 1974

Ciaran Sugue, rethorics and realities of CPD Acroos Europe: FFrom Cachoponi Toward
Coherence’ dalam (Maselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru-Konsep Dasar,
Problematika, Implementasinya, Jakarta: Indeks, 2011).

Christoper Day, Developing Teacher: the Challengers Of Lifelong Learning, London: Falmer
Press, 1999.

Cottins, W.W Webstrer’s New School and Affice Dictionary. (Wartrd Publising
Co.Inc.United States of America.1983

Danie Golemen, Emotional Intelegence, kecerdasan Emosional (terj. T. Hermaya), Jakarta:


Gramedia, 1996.

Davit Hustler, et al, Teacher’s preception of Continung Profesional Develoment, Manchester:


Institut Of Education Mancester Metropolitan University, 2000.

Dikutif dalam EACT, Definisi teknologi Pendidikan, satuan tugas definisi dan terminologi
AECH, diterjemahkan oleh Yusufhardi Marso, dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994.
Depdikbud RI,Kamus Besar Bahasa Indonesia:Jakarta:Balai Pustaka, 1996

Depag RI, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra Semarang,
1996

Depdiknas RI. Kurikulum Sekolah Menengah Atas. Gari-Garis Besar Program Pendidikan.
Jakarata: Depdiknas, 1999.

Dahlan , M.D. Model-model Mengajar, Bandung: CV.Diponegoro, 1994.

Depdiknas RI., Kurikulum Sekolah Menengah Atas: Gari-Garis Besar Program Pendidikan,
Jakarta: Depdiknas, 1999

Depdikanas, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Islam Sekolah


Menengah Atas Dan Madrasah Aliyah, Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang
Depdiknas,2003.

Dedi Supriadi, Membangun Bangsa melalui Pendidikan. (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2004.

Dahlan M.D., Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi
Akhlak al-Qur’an di Musabaqah al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”.
Kamis, 19 Rajab/26 September, Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002.

Depdiknas RI., Kurikulum Sekolah Menengah Atas: Gari-Garis Besar Program Pendidikan,
Jakarta: Depdiknas, 1999.

Dahlan M.D., Model-model Mengajar, Bandung: CV. Diponegoro, 1994.

Eleonora Villagas-reimers, Teacher Professional Development: An International Rievw Of


The Literature, (paris: international institute for educationa planning, 2003) diakses
http://unesco.org/iiep, 24 oktober 2010

E. Mulyasa, Standar Kompetensidan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

; Pengembangan Kurikulum 2013, Bandung: PT. Rosdakarya, 2013.

; Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013,Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2013.

Fahrur Razy. Tafsir Fakhrur Razy. Teheren: Darul Kutub Al-Ilmiyah.1981, Juz XXI.

Endang Syafuddin Anshari, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam. (Jakarta: Usaha Enterprise.
1976.

Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan ,1998.

Fathiyah Hasan Sulaiman, Pemikiran-pemikiran Pendidikan menurut Al-Ghazali, terj. Hery


Noor. Bandung : Diponegoro. 1986.
Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam . Bandung: Al-Ma’arif 1980.

Harun Nasution. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995, Bandung:
Mizan. 1995.

Hilgard, E. R., Bower, Teories Of Learning, New York: Appleton Century, 1966

HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

H.A.R. Tilaar, manajemen pendidikan nasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997.

Hanadi Nawawi dan Mimi Martini, Kebijakan Kependidikan Di Indonesia Di Tinjau Dari
Sudut Hokum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994.

Haidar Bagir. Konsep Pendidikan Islam. (Bandung : Mizan. 1994) Cet IV, hlm. 29 buku ini
sebahagian besar merupakan terjemahan dari Aims and Objectivies of Islamic
Education, karya Sayyed Naquib Alattas, yang gasasan-gagasannya diperkaya dan
dikembangkan oleh penerjemah.

H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung:


Remaja Rosdakarya, 2000

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Ibnu Miskawaih. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Bandung: Mizan. 1997.

ICT Competency Standards for Teachers: Implementation Guidelines, Paris: UNESCO, 2008.
ICT Competency Standards for teacher: implementation guidelines, (paris: UNISCO, 2008) p
1 (dalam webset: UNESCO, http://www.unesco.org/en/competency-standars-teacher)
pada 10 maret 2011

J. Riberu. Pendidikan Agama dalam Perspektif Agama-agama. Dirjen Dikti 1995.

Jagiyanto, Filosofi, Pendekatan Dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus Untuk Dosen
Dan Mahasiswa : Yogyakarta, Andi Offset, 2006

Jagoes delors, learning: The Treasure Within, Report To UNESCO Of The International
Commision On Education Go The Twenty Firs Century, Paris: UNESCO Publication,
1996.

Jeff Jones, Mazda Jenkin dan Sue Lord, Developing Efective Teacher Performance, London:
Chaoman Publishing, 2006.

Josep A Devito, The Interpersonal Comunication Book, New York: Harper Collin College
Publisers, 1995.

Muhaimin &Abdul Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda


Karya.1993.

Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Mesir: Darul Ma’arif 1373H.


Muhammad Yusuf Qordowi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Bana. Jakarta:
Bulan Bintang. 1980.

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam-Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama


Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

M.D. Sistem Pendidikan Islam, Makalah, disajikan dalam seminar “Implementasi Akhlak Al-
Qur’an di Musabaqah Al-Qur’an Metodik Pendidikan Islam Progresif ”. Kamis, 19
Rajab /26 September Fakultas Tarbiyah UBINSA, 2002

Muhaimin dan A. Mujib. Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kumpulan
Undang-undang tentang Pendidikan kompilasi oleh Afnil Guza. Jakarta: Asa
mandiri.

Muhaimin, et. Al. Paradigma Pendidikan Islam-Upaya Mengefektifkan Agama Islam


Disekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Mengefekkan Pendidikan Agama di Sekolah.


Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994

M.Arifin, M.Ed. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1994

M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali dan Kant; Filsafat Etika Islam, Bandung; Mizan ,
2002

Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan suatu Pendekatan Baru , Bandung; Remaja Rosdakarya,
1995.

M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Tiori dan Konsep Ilmu Sosial, Bandung; PT.
Eresko Bandung , 1995

Muhammad Nawawy Al-Jawawy. Muraqil Ubudiyah fi Syarhil Biayatul Hidayah, Semarang


: Toha Putra. 1985.

Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Jakarta: PT. Alhidayah, 1965.

Marsel R, Payong, Evaluasi Pembelajaran, Ruteng: SKIP ST, Paulus, 2007.

Maselus R. Payong, Sertifikasi Profesi Guru-Konsep Dasar, Problematika, Implementasinya,


Jakarta: Indeks, 2011

Michael Eraut, Developing Professional Knoledge and Competence, dalam T.R. Guskey dan
M Huberman (ed), Professional Develoment In Educatioan : New Paradigms and
Practies, Colombia: Teachers College Press, 2995.

Marsel R. Payong, Komunikasi Pembelajaran, Ruteng: STKIP St. Paulus, 2000.


Nathaniel Branden, The Psychology Of Self-Esteem, Tonoko: Bantan Books, 1981, hal 10
dalam Marselus, 2011

NCES, Teacher tools for the 21ST Century: S report on the teacher use of teknology,
Washinton DC: US Departemen of education, office of educaation Reseach an
imprrovment, 2000 hal, diakses http:nces.ed.gov.20 november 2014

Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengelolan Kelas. Jakarta: CV. H. Masagung.
1989.

Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung; PT


Remaja Rosdakarya, 1997.

Nurcholis Madjid, “Masalah Pendidikan Agama Di Sekolah Menengah Umum”.dalam


Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi, Editor Fuaduddin & Cik Hasan Basri,
Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1999.

Permendiknas RI No. 23 Th. 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas, 2006, baca juga Permendiknas
RI No. 6 Th. 2007 tentang Perubahan Permendiknas RI No. 24 Th. 2006 tentang
Pelaksanaan Permendiknas RI no 22 dan 23 Th. 2006.

Pembelajaran sainstifik yaitu pembelajaran berbasis metode Ilmiah di mana pembelajaran


Agama Islam harus diulang dengan prinsip-prinsip Ilmiah (obyektif Rasional,
impiris/faktual) sesuai dengan semangat kurikulum 2013

Paul Suparno, Filsafat Kontrutivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997

;Konstruktivisme dalam pendidikan, Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1997

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014
Tentang Kurikulum 2013

Partnership for 21st Century Skills, Learning for the 21st Century, A Report and Mile Guide
for 21st Century Skills, tanpa tahun, tanpa penerbit (dalam buku Maselus R. Payong,
2011).

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar
Penilaian Pendidikan Dasar dan Menengah Kurikulum 2013

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014
Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Kurikulum 2013.

Redja Mudyharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Bandung, 2002

Rostiyah N.K, Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem, Jakarta: Bina Aksara, 1985.

Rusman, model-model pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru, Jakarta: PT.


Rajawali Perss, 2011.
Rahman Natawijaya, Meningkatkan Kualitas Professional Guru Sd Melalui Pemantapan
Lembaga Pendidikan, Makalah Seminar, Bandung PGRI, 1989

Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Subandijad, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada,1993.

Sukardi, Evaluasi Pendidikan, Prinsip dan Operasionalnya, Jakarta: Bumi Aksara, 2008

Sayyid Qutb.Tafsir Fadhilali Al-Qur’an, Cairo-Mesir: Darul Fikri.1985.

Sayyed Naquib Alattas, Aims and Objectivies of Islamic Education. King Abdul Aziz
University.Jeddah, 1997.

Satrio Soemantri Brodjonegoro. “Wacana tentang Pendidikan Agama Islam” dalam


Dinamika Pikiran Islam di Perguruan Tinggi Editor Fuaduddin & Cik Hasan Basri,
Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1999.

Sutarmi Imam Barnadhib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis,Yogyakarta : Andi Offset ,


1997

Tilaar, H.A.R.,Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Tera Indonesia,


1998.

Tafsir, Ahmad. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Rosda Karya, 1992.

Tayar Yusuf , Ilmu Praktek Mengajar: Metodik Khusus Pengajaran Agama, Bandung :PT .
Al-Maarif, 1985.

Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990.

Thomas Gordon, Menjadi Guru Efektif, (terjemah Aditya Kumara Dewi), Jakarta: PT.
Gramedia, 1997.

T. Raka Joni, Pembelajaran yang mendidik: artikulasi Konseptual, terapan konstekstual, dan
vrivikasi emperik, jurnal ilmu pendidikan, jilid 12 No.2, 2005.

Unong Uchana Efendi, Ilmu, teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993.

Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diatur melalui Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
dan Kompetensi Guru.

W.J.S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka, 1982

Winarno Surahmad, Metode Pengajaran Nasional, Jermmars, Bandung: 1980.

Zakiah Daradjat. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: Bumi Aksara,1995.


Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996

Anda mungkin juga menyukai