Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HAK MILIK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu: Rambona Putra, S.H.I, M.H.I

Disusun Oleh Kelompok 3:

Tamam Sabila 2251020157

Novita ayu Ningtyas 2251020109

Asri Handayani 2251020021

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2023/2024
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fiqih Muamalah dengan
judul Hak Milik.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari
banyak pihak yang tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih


yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki
oleh karena itu kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 27 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4

A. LATAR BELAKANG ................................................................................... 4

B. RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 5

C. TUJUAN ........................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 6

A. PENGERTIAN HAK MILIK ...................................................................... 6

B. MACAM-MACAM HAK ............................................................................ 6

C. MACAM-MACAM MILIK ......................................................................... 9

D. SEBAB-SEBAB PEMILIKAN ................................................................... 11

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 17

A. KESIMPULAN ........................................................................................... 17

B. SARAN......................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 19

iii
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam sebagai agama tidaklah sama dengan ideologi lainnya,
keistimewaannya yang datang dari Sang Pencipta tidak hanya sekadar teori.
Syariatnya benar-benar memposisikan manusia sesuai dengan fitrahnya.
Demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia yang telah
diatur sedemikian rupa sehingga rahmat bagi seluruh alam bukanlah sekadar
omongan.

Semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT, menurut ajaran
Islam bahwa Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas
alam semesta. Allah lah yang memberikan manusia karunia dan rezeki yang tak
terhitung jumlahnya. Manusia dengan kepemilikannya adalah pemegang
amanah dan khalifah. Maka semua kekayaan dan harta benda merupakan milik
Allah, manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu
amanah atau pemberian dari Allah. Manusia menggunakan harta berdasarkan
kedudukannya sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang
kekal. Karena manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia,
maka manusia harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat
mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT.1

Ikhtiar dalam bentuk bekerja, bisnis dan usaha lain yang halal adalah
merupakan sarana untuk mencapai kepemilikan pribadi Dalam Islam, kewajiban
datang lebih dahulu, baru setelah itu adalah Hak. Setiap Individu, masyarakat
dan negara memiliki kewajiban tertentu. Dan sebagai hasil dari pelaksanaan
kewajiban tersebut, setiap orang akan memperoleh hak-hak tertentu. Islam
sangat peduli dalam masalah hak dan kewajiban ini. Kita diharuskan untuk
mencari harta kekayaan dengan cara ikhtiyar tetapi dengan jalan yang halal dan
tidak menzalimi orang lain. Selain itu, Kita juga tidak dibiarkan bekerja keras

1
Abdul Rahman Ghazaly dan Ghufron Ihsan, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.43.

4
membanting tulang untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa
balasan yang setimpal.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Hak Milik?
2. Apa Saja Macam-Macam Hak?
3. Apa Saja Macam-Macam Milik?
4. Apa Saja Sebab-Sebab Pemilikan?

C. TUJUAN
1. Mengerti dan Memahami Pengertian Hak Milik
2. Mengerti dan Memahami Macam-Macam Hak
3. Mengerti dan Memahami Macam-Macam Milik
4. Mengerti dan Memahami Sebab-Sebab Pemilikan

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HAK MILIK


Kata hak berasal dari bahasa Arab al-haqq yang secara etimologi
mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, diantaranya berarti milik,
ketetapan dan kepastian, menetapkan dan menjelaaskan, bagian (kewajiban),
dan kebenaran. Milik dalam arti bahasa adalah penguasaan seseorang terhadap
harta dan berkuasa penuh terhadapnya, yakni bebas melakukan tasarruf
terhadapnya Adapun hak milik adalah hubungan antara manusia dengan harta
yang di tetapkan dan diakui oleh syara, karna adanya hubungan tersebut, ia
berhak melakukan berbagai macam tasarruf terhadap harta yang dimilikinya
selama tidak ada hal-hal yang menghalanginya.2

Dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian hak milik atau
kepemilikan merupakan hubungan kepemilikan antara manusia dan harta atau
benda yang diterapkan oleh syara’, yang memberikan kekuhusan yang
memungkinkan untuk mengambil manfaat atau melakukan tasarruf atas harta
atau benda tersebut menurut cara-cara yang dibenarkan ditetapkan oleh syara’.

B. MACAM-MACAM HAK
Hak milik terbagi kepada dua bagian

a. Hak Milik yang Sempurna (Al-Milk At-Tam).

Pengertian hak milik yang sempurna menurut Wahbah Zuhaili adalah sebagai
berikut:

‫ حبيث يثبت للمالك مجيع احلقوق املشروعة‬، ‫امللك التام هو ملک ذات الشيء )رقبته( ومنفعته معا‬

2
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamlat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 67

6
“Hak milik yang sempurna adalah hak milik terhadap zat sesuatu (bendra)
dan manfaat bersama-sama, dengan demikian semua hak-hak yang diakui
oleh syara tetap ada di tangan pemilik”.

Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi hak milik yang sempurna


sebagai berikut:

‫ام هو امللك الواقع على ذات العني و منافعها ّ امللك الت‬

“Pengertian hak milik yang sempurna adalah suatu hak milik yang
mengenaizat burung dan manfaatnya”.3

Dari definisi tersebut, baik yang pertama maupun yang kedua dapat dipahami
bahwa hak milik yang sempurna merupakan hak penuh yang memberikan
kesempatan dan kewenangan kepada si pemilik untuk melakukan berbagai
jenis tasarruf yang dibenarkan oleh syara.

Muhammad Abu Zahrah mengemukakan beberapa keistimewaan dari hak


milik yang sempurna ini sebagai berikut.

1) Milik yang sempurna memberikan hak kepada si pemilik untuk melakukan


tasarruf terhadap barang dan manfaatnya dengan berbagai macam cara
yang dibenarkan oleh syara, seperti jual beli, hibah, ijarah (sewa-
menyewa), iarah, wasiat, wakaf, dan tasarruftasarruf lainnya yang
dibenarkan oleh syara' dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidahnya,

2) Milik yang sempurna juga memberikan hak manfaat penuh kepada si


pemilik tanpa dibatasi dengan aspek pemanfaatannya, masanya, kondisi
dan tempatnya, karena yang menguasainya hanya satu orang, yaitu si
pemilik. Satu-satunya pembatasan ialah bahwa pemanfaatan atas barang
tersebut tidak diharamkan oleh syara’

3
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamlat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 72-75

7
3) Milik yang sempurna tidak dibatasi dengan masa dan waktu tertentu. Ia
hak yang mutlak tanpa dibatasi dengan waktu, tempat, dan syarat. Setiap
syarat yang bertentangan dengan tujuan akad tidak berlaku. Perpindahan
akan memindahkankan hak di mana hak hak milik bila merusakkan ganti
kerugian atau merusakkan.

4) Orang yang menjadi pemilik yang sempurna apabila merusakkan


menghilangkan barang yang dimilikinya ia tidak dibebani ganti kerugian
baik dengan mål mitsli maupun qimi, karna ia mengganti tersedak adannya
meskipun artinya sendiri, karena ia mengganti untuk dir Meskipun
demikian ia tetap dibebani pertanggungjawaban Perusakan atas hartanya,
mungkin berupa hukumant dinyatakan mahjur 'alaih, sehingga ia tidak
boleh men-tasarrut hartanya, melainkan di bawah perwalian".

b. Hak Milik yang Tidak Sempurna (Al-Milk An-Nâgish)

1) Pengertian Al-Milk An-Nâqish

Wahbah Zuhaili memberikan definisi milk nâqish sebagai berikut.

‫ا قص هو ملك العني و حدها أو املنفعة وحدها ّ وامللك الن‬

"Milk naqish wah adalah memiliki bendanya saja Milk nâgish (tidak
sempurna) adalah memiliki manfaatnya saja."63

Muhammad Yusuf Musa memberikan definisi milk nâqis sebagai berikut.

‫ا قص ملك املنفعة وحدها إذ تكون العني ملك ْغيه أو ملك ّ و الن العني ال املنفعة‬

"Hak milk nâgish (tidak sempurna) adalah memiliki manfaatnya saja


karena barangnya milik orang lain, atau memiliki barangnya tanpa
manfaat”.

Meskipun kedua definisi tersebut redaksinya sedikit berbeda, namun


pengertiannya sama, yaitu bahwa hak milik naqish itu memiliki salah

8
satunnya, apakah bendanya saja tanpa manfaat, atau manfaatnya tanpa
benda.4

2) Macam-macam hak milik nâqish

Dari definisi tersebut di atas dapat dipahami bahwa milik nâqish itu
adakalanya hanya memiliki bendanya saja tanpa manfaat, dan adakalanya
hanya memiliki manfaatnya saja tanpa bendanya. Yang pertama disebut
milk alain atau milk arraqabah, sedangkan yang kedua disebut milk
almanfaat. Milk al-manfaat adakalanya mengikuti orang yang
memanfaatkannya, dan ini disebut milk al-manfaat asy-syakhshi atau haq
intifa', dan adakalanya mengikut bendanya, dan ini disebut hak ‘aini atau
hak irtifâq, dan hal ini hanya berlaku untuk benda tetap (aqar).

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa hak milik nâqish itu ada tiga
macam:

a) Milk al-'ain atau milk ar-raqabah.

b) Milk al-manfaat asy-syakhshi atau haq intifâ.

c) Milk al-manfaat al-'aini atau haq irtifâq.5

C. MACAM-MACAM MILIK
Milik yang dibahas dalam fiqh muamalah secara garis dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:

a. Milk tam, yaitu suatu pemilikan yang meliputi benda, manfaatnya sekaligus,
artinya bentuk benda (zat benda kegunaannya dapat dikuasai. Pemilikan tam
bisa diperdengan banyak cara, jual beli misalnya.

b. Milk naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda
tersebut, memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya atau memiliki manfaat
(kegunaan)nya saja tanpa memiliki zatnya. Milik naqish yang berupa

4
Subairi, Fiqh Muamah, (Pemekasan: Duta Media Publishing, 2017), hlm. 37-40
5
Hendi Suhendi, fiqh muamalah, (Jakarta; PT. RajaGrafido Persada, 2010) halm.43

9
penguasaan terhadap zat barang (benda) disebut milik raqabah, sedangkan
milik naqish yang berupa penguasaan terhadap kegunaannya saja disebut
milik manfaat atau hak guna pakai, dengan cara i'arah, wakat, dan washiyah.6

Dilihat dari segi mahal (tempat), milik dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Milk al’ain atau disebut pula milk al raqabah, yaitu memiliki semua benda,
baik benda tetap (ghair manqul) maupun benda-benda yang dapat
dipindahkan (manqul) seperti pemilikan terhadap rumah, kebun, mobil dan
motor, pemilikan terhadap bendabenda disebut milk al-'ain.

b. Milk al-manfaah, yaitu seseorang yang hanya memiliki manfaat nya saja dari
suatu benda, seperti benda hasil meminjam, wakaf, dan lainnya.

c. Milk al-dayn, yaitu pemilikan karena adanya utang, misalnya sejumlah uang
dipinjamkan kepada seseorang atau pengganti benda yang dirusakkan. Utang
wajib dibayar oleh orang yang berutang.

Dari segi shurah (cara berpautan milik dengan yang dimiliki), milik dibagi
menjadi dua bagian, yaitu

1. Milk al-mutamayyiz, yang dimaksud milk al-mutamayyiz adalah:

‫متعلق بشيئ من ذی حدود تفصله من سواه‬

“Sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memiliki batasanbatasan,


yang dapat memisahkannya dari yang lain.”

Misalnya, antara sebuah mobil dan seekor kerbau sudah jelas batas-
batasnya.

2. Milk al-syai' atau milk al-musya, yaitu:

‫امللك املمتعلق جبزء نسيب ْغي معني من جمموع الشيب مهما كان ذلك اجلزء كبْيا أو ص ْغيا‬

6
Ismail Nawawi, fikih Muamalah klasik dan kontemporer, (Bogor; Ghalia Indonesia,
2012) hlm. 37

10
“Milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu,
betapa besar atau betapa kecilnya kumpulan itu."

Misalnya memiliki sebagian rumah, seperti daging domba dan a-harta yang
dikongsikan lainnya, seperti seekor sapi yang dibeli empat puluh orang,
untuk disembelih dan dibagikan dagingnya.7

D. SEBAB-SEBAB PEMILIKAN
Adapun maksud dengan sebab-sebab pemilikan harta disini adalah sebab yang
menjadikan seseorang memiliki harta tersebut, yang sebelumnya tidak menjadi
hak miliknya. Sebab pemilikan harta itu telah dibatasi dengan batasan yang telah
dijelaskan oleh syara’. Menurut syari’at Islam setidaknya ada empat sebab
kepemilikan (asbab al-tamalluk) yang dijadikan sebagai sumber daya ekonomi,
yaitu:8

1. Bekerja (al’amal)

Kata “bekerja” wujudnya sangat luas, bermacam-macam jenisnya, bentuknya


pun beragam, serta hasilnya pun berbeda-beda, maka Allah swt. tidak
membiarkan “bekerja” tersebut secara mutlak. Allah swt. juga tidak
menetapkan “bekerja” tersebut dengan bentuk yang sangat umum. Akan
tetapi Allah swt. telah menetapkan dalam bentuk kerja-kerja tertentu yang
layak untuk dijadikan sebagai sebab kepemilikan. Bentuk-bentuk kerja yang
disyariatkan, sekaligus bisa dijadikan sebagai sebab pemilikan harta, antara
lain:

a. Menghidupkan Tanah Mati (ihya’ almawaat)

Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya, dan tidak
dimanfaatkan oleh seorang pun. Sedangkan yang dimaksud dengan
menghidupkannya adalah mengolahnya dengan menanaminya, baik

7
Ismail Nawawi, fikih Muamalah klasik dan kontemporer, (Bogor; Ghalia Indonesia,
2012) hlm. 38
8
Ali Akbar, Konsep Kepemilikan Dalam Islam, Jurnal Ushuludin, Vol. XVIII No. 2, Juli
2012, hlm 126-130

11
dengan tanaman maupun pepohonan, atau dengan mendirikan bangunan
di atasnya. Dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah,
berarti usaha orang tadi telah menjadikan tanah tersebut menjadi miliknya.
Berdasarkan sabda Nabi Saw. yang menyatakan:

“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah (mati yang telah
dihidupkan) tersebut adalah miliknya.” (HR. Imam Bukhari dari Umar Bin
Khaththab).

Ketentuan ini berlaku umum, mencakup semua bentuk tanah; baik tanah
dar al-Islam (negara Islam), ataupun tanah dar al-kufur (negara kufur);
baik tanah tersebut berstatus ‘usyriyah (yang dikuasai negara Islam tanpa
melalui peperangan) ataupun kharajiyah (yang ditaklukkan Islam melalui
peperangan). Kepemilikan atas tanah tersebut agar menjadi hak miliknya,
maka tanah tersebut harus dikelola selama tiga tahun secara terus-menerus
sejak mulai dibuka. Apabila tanah tersebut belum pernah dikelola selama
tiga tahun berturut-turut sejak tanah itu dibuka, atau setelah dibuka malah
dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut, maka hak pemilikan orang yang
bersangkutan atas tanah tersebut telah hilang.

b. Menggali Kandungan Bumi

Yang termasuk kategori bekerja adalah menggali apa terkandung di dalam


perut bumi, yang bukan merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu
komunitas (publik), atau disebut rikaz. Adapun jika harta temuan hasil
penggalian tersebut merupakan hak seluruh kaum muslimin, maka harta
galian tersebut merupakan hak milik umum (collective property). Apabila
harta tersebut asli, namun tidak dibutuhkan oleh suatu komunitas (publik),
semisal ada seorang pemukul batu yang berhasil menggali batu bangunan
dari sana, ataupun yang lain, maka harta tersebut tidak termasuk rikaz, juga
tidak termasuk hak milik umum (collective property), melainkan termasuk
hak milik individu (private property). Termasuk juga dalam pengertian
jenis harta galian (hasil perut bumi) seperti barang yang diserap dari udara,

12
seperti oksigen dan nitrogen. Begitu juga dengan ciptaan Allah yang telah
diperbolehkan oleh syara’ dan dibiarkan agar bisa dimanfaatkan.

c. Berburu

Berburu termasuk dalam kategori bekerja. Misalnya berburu ikan, mutiara,


batu pemata, bunga karang serta harta yang dipeloleh dari hasil buruan laut
lainnya, maka harta tersebut adalah hak milik orang yang memburunya,
sebagaimana yang berlaku dalam perburuan burung dan hewan-hewan
yang lain. Demikian harta yang dipeloleh dari hasil buruan darat, maka
harta tersebut adalah milik orang yang memburunya. Allah Swt. berfirman
dalam surat al-Ma’idah ayat 96:

“Dihalalkan bagimu, binatang buruan laut dan makanan (yang berasal)


dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orangorang yang
dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan
darat, selama kamu dalam ihram”. (Q.S. AlMa’idah: 96)

d. Makelar (samsarah)

Simsar (broker/pialang) adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk


orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual maupun
membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang mencarikan
(menunjukkan) orang lain. Makelar (samsarah) termasuk dalam kategori
bekerja yang bisa dipergunakan untuk memiliki harta, secara sah menurut
syara’.

e. Mudlarabah (bagi hasil)

Mudlarabah adalah perseroan (kerjasama) antara dua orang dalam suatu


perdagangan. Dimana, modal (investasi) finansial dari satu pihak,
sedangkan pihak lain memberikan tenaga (‘amal). Dalam sistem
mudlarabah, pihak pengelola memiliki bagian pada harta pihak lain karena
kerja yang dilakukannya. Sebab, mudlarabah bagi pihak pengelola
termasuk dalam kategori bekerja serta merupakan salah satu sebab

13
kepemilikan. Akan tetapi, mudlarabah bagi pihak pemilik modal (investor)
tidak termasuk dalam kategori sebab kepemilikan, melainkan merupakan
salah satu sebab pengembangan kekayaan. Nabi Saw. pernah bersabda:

“Perlindungan Allah Swt. di atas dua orang yang melakukan perseroan


(kerjasama) selama mereka tidak saling menghianati. Jika salah seorang
dari mereka berdua menghianati mitranya, maka Allah mencabut
perlindungan-Nya atas keduanya” (HR. AdDaruquthny).

f. Musaqat (paroan kebun)

Musaqat adalah seseorang menyerahkan pepohonan (kebun) nya kepada


orang lain agar ia mengurus dan merawatnya dengan mendapatkan
konpensasi berupa bagian dari hasil panennya. Dengan demikian, musaqat
termasuk dalam kategori bekerja yang telah dinyatakan kebolehannya oleh
syara’.

g. Ijarah (kontrak kerja)

Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja


atau buruh, agar mereka bekerja untuk orang tersebut. Ijarah adalah
pemilikan jasa dari seorang ajiir (orang yang dikontrak tenaganya) oleh
musta’jir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemilikan harta dari pihak
musta’jir oleh seorang ajiir. Sementara ajiir adakalanya bekerja untuk
seseorang dalam jangka waktu tertentu, seperti orang yang bekerja di
laboratorium, kebun, atau ladang seseorang dengan honorarium tertentu,
atau seperti pegawai negeri atau swasta.

2. Pewarisan (al-irts)

Yang termasuk dalam kategori sebab-sebab pemilikan harta adalah


pewarisan, yaitu pemindahan hak kepemilikan dari orang yang meninggal
dunia kepada ahli warisnya, sehingga ahli warisnya menjadi sah untuk
memiliki harta warisan tersebut. Berdasarkan firman Allah Swt.:

14
Dan Allah swt. mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak wanita; dan jika anak itu semuanya wanita lebih dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”. (QS. an-
Nisaa’:11).

Dengan demikian, pewarisan adalah salah satu sebab pemilikan yang


disyariatkan. Oleh karena itu, siapa saja yang menerima harta waris, maka
secara syara’ dia telah memilikinya. Jadi waris merupakan salah satu sebab
pemilikan yang telah diizinkan oleh syari’at Islam.9

3. Pemberian harta negara kepada rakyat

Yang juga termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah pemberian


negara kepada rakyat yang diambilkan dari harta baitul maal, dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup, atau memanfaatkan kepemilikan. Mengenai
pemenuhan hajat hidup adalah semisal memberi mereka harta untuk
menggarap tanah pertanian atau melunasi hutang-hutang. Umar bin
Khaththab telah membantu rakyatnya untuk menggarap tanah pertanian guna
memenuhi hajat hidupnya, tanpa meminta imbalan. Kemudian syara’
memberikan hak kepada mereka yang mempunyai hutang berupa harta zakat.
Mereka akan diberi dari bagian zakat tersebut untuk melunasi hutang-hutang
mereka, apabila mereka tidak mampu membayarnya. Firman Allah Swt.: “...
dan orang-orang gharim.” (Q.S. at-Taubah: 60). Maksudnya adalah orang-
orang yang mempunyai hutang.10

4. Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta atau tenaga

9
Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000). Hlm 50
10
Sohari Sahroni, dkk, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm. 34

15
Yang termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah perolehan individu,
sebagian mereka dari sebagian yang lain, atas sejumlah harta tertentu tanpa
kompensasi harta atau tenaga apa pun. Dalam hal ini mencakup lima hal:11

a. Hubungan pribadi, antara sebagian orang dengan sebagian yang lain, baik
harta yang diperoleh karena hubungan ketika masih hidup, seperti hibbah
dan hadiah, ataupun sepeninggal mereka, seperti wasiat.

b. Pemilikan harta sebagai ganti rugi (kompensasi) dari kemudharatan yang


menimpa seseorang, semisal diyat orang yang terbunuh dan diyat luka
karena dilukai orang.

c. Mendapatkan mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui akad nikah.

d. Luqathah (barang temuan).

e. Santunan yang diberiakan kepada khalifah dan orang-orang yang


disamakan statusnya, yaitu samasama melaksanakan tugas-tugas
termasuk kompensasi kerja mereka melainkan konpensasi dari
pengekangan diri mereka untuk melaksanakan tugas-tugas negara.
Dengan demikian, Islam melarang seorang muslim memperoleh barang
dan jasa dengan cara yang tidak diridhai Allah Swt, seperti; judi, riba,
pelacuran, korupsi, mencuri, menipu dan perbuatan maksiat lainnya.

11
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: kencana pranadamedia group, 2013), hlm.
67

16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pengertian hak milik atau kepemilikan merupakan hubungan kepemilikan
antara manusia dan harta atau benda yang diterapkan oleh syara’, yang
memberikan kekuhusan yang memungkinkan untuk mengambil manfaat atau
melakukan tasarruf atas harta atau benda tersebut menurut cara-cara yang
dibenarkan ditetapkan oleh syara’

2. Hak milik terbagi kepada dua bagian yaitu: Hak Milik yang Sempurna (Al-
Milk At-Tam) dan Hak Milik yang Tidak Sempurna (Al-Milk An-Nâgish)

3. Milik yang dibahas dalam fiqh muamalah secara garis dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu:

a. Milk tam, yaitu suatu pemilikan yang meliputi benda, manfaatnya


sekaligus, artinya bentuk benda (zat benda kegunaannya dapat dikuasai.

b. Milk naqishah, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda
tersebut, memiliki benda tanpa memiliki manfaatnya atau memiliki
manfaat (kegunaan)nya saja tanpa memiliki zatnya.

4. Menurut syari’at Islam setidaknya ada 4 sebab kepemilikan yang dijadikan


sebagai sumber daya ekonomi, yaitu bekerja (al’amal), pewarisan (al-irts),
pemberian harta negara kepada rakyat, dan harta yang diperoleh tanpa
kompensasi harta atau tenaga.

B. SARAN
Mungkin inilah yang disampaikan pada makalah ini meskipun penulisan ini jauh
dari kata sempurna. Masih banyak kesalahan dari penulisan kelompok kami,
karena kami manusia yang adalah tempat salah dan dosa. Kami juga
membutuhkan saran dan kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan
yang lebih baik daripada masa sebelumnya. Kami juga berterima kasih kepada

17
dosen pengampu mata kuliah Fiqih Muamalahyang telah memberi kami tugas
kelompok demi menambah wawasan kami.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazaly dan Ghufron Ihsan, (2010). Fiqih Muamalat, Jakarta:
Kencana.

Ahmad Wardi Muslich, (2010). Fiqh Muamlat, Jakarta: Amzah.

Ali Akbar, (2012). Konsep Kepemilikan Dalam Islam, Jurnal Ushuludin, Vol. XVIII
No. 2,
Hendi Suhendi, (2010). fiqh muamalah, Jakarta; PT. RajaGrafido Persada.

Ismail Nawawi, (2012). fikih Muamalah klasik dan kontemporer, Bogor; Ghalia
Indonesia.

Mardani, (2013). Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta; kencana pranadamedia group.

Sohari Sahroni, Ruf’ah Abdullah, (2011). Fikih Muamalah, Bogor; Ghalia


Indonesia.

Subairi, (2017). Fiqh Muamah, Pemekasan: Duta Media Publishing.

19

Anda mungkin juga menyukai