Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

FIQIH MUAMALAH
HAK MILIK DAN AKAD

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 1
C. Tujuan Masalah............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
A. Pengertian Hak Milik...................................................................... 3
B. Pembagian Hak............................................................................... 4
C. Sebab-Sebab Kepamilikan dan Klafisikasinya............................... 5
D. Pengertian Akad dan Khiyar........................................................... 8
E. Pembentukan Akad (Rukun, Unsur, Syarat)................................... 9
F. Macam-Macam Akad...................................................................... 10
G. Macam-Macam Khiyar................................................................... 11

BAB III PENUTUP............................................................................................. 13


A. Keseimpulan................................................................................... 13
B. Kritik dan Saran.............................................................................. 14

DAFTAR PUSATAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang memiliki nilai kesempurnaan yang tinggi
merupakan jalan hidup, dan mempunyai nilai kesempurnaan yang tinggi, yaitu
mengatur tata kehidupan manusia dalam mencapai tarap hidup yang layak,
bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan dan kesejahteraan itu akan terwujud jika
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya mampu mengadakan kerjasama
untuk memenuhi hajat hidup antara sesamanya. Kerjasama dalam bermuamalah
sebagai bagian interaksi manusia dalam kerjasama antara dua orang atau lebih
dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
Muamalah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam
persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jualbeli, utang piutang, kerja
sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggarapan tanah, dan sewa-
menyewa.
Agama Islam telah mengatur tatanan kehidupan bagi pemeluknya.
Khususnya dalam hubungan antara manusia dengan manusia yang lain yang
disebut dengan muamalah. Dalam fikih muamalah banyak menjelaskan hal-hal
penting dalam kehidupan manusia. Salah satunya dalam hal kepemilikan hak dan
akad. Dalam makalah ini kami akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan
hak milik dan akad..

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Pengertian Hak Milik?
2. Jelaskan Pembagian Hak?
3. Jelaskan Sebab-Sebab Kepemilikan dan Klasifikasinya?
4. Jelaskan Pengertian Akad dan Khiyar?
5. Jelaskan Pembentukan Akad (Rukun, Unsur, Syarat)?
6. Jelaskan Macam-Macam Akad?
7. Jelaskan Macam-Macam Khiyar?

1
C. Tujuan Masalah
1. Dapat Memahami Pengertian Hak Milik.
2. Dapat Memahami Pembagian Hak.
3. Dapat Memahami Sebab-Sebab Kepemilikan dan Klasifikasinya.
4. Dapat Memahami Pengertian Akad dan Khiyar.
5. Dapat Memahami Pembentukan Akad (Rukun, Unsur, Syarat).
6. Dapat Memahami Macam-Macam Akad.
7. Dapat Memahami Macam-Macam Khiyar.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Milik


Menurut pengertian umum, hak ialah :“Suatu ketentuan yang digunakan
oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum.”
Pengertian “hak” sama dengan arti hukum dalam istilah ahli ushul, yaitu
sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun
mengenai harta. Sedangkan arti “milik” adalah kekhususan terdapat pemilik suatu
barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil
manfaatnya selama tidak ada penghalang syar’i.
Berdasarkan definisi “milik” tersebut, kiranya dapat dibedakan antara hak
dan milik, untuk lebih jelas dicontohkan sebagai berikut; seorang pengampu
berhak menggunakan harta orang yang berada dibawah ampuannya, pengampu
punya hak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang
berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain dapat dikatakan “tidak semua yang
memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan
dapat memiliki”.1
Kata “hak milik “dalam bahasa Indonesia adalah kata serapan dari bahasa
Arab al haqq dan al milik yang bermakna ketetapan dan kepastian, yaitu suatu
ketetapan yang tidak boleh diingkari keberadaannya. Sementara itu pengertian al
haqq secara terminologis ialah ketetapan yang bersesuaian dengan realitas.
Adapun kata al milk adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan haknya
selama tidak ada penghalang yang menjadikan seseorang tidak bisa menggunakan
haknya.
Dari beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hak al milk
adalah hak yang memberikan kepada pemiliknya hak wilayah. Artinya dia boleh

1
. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 34

3
memiliki, boleh memakai, boleh mengambil manfaat, boleh menghabiskan, boleh
membinasakan asal tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain.2

B. Pembagian Hak
1. Dari segi pemilik hak
a. Hak Allah yaitu segala bentuk yang boleh mendekatkan diri kepada Allah,
mengagungkan-Nya, dan menyebarluaskan syari’at-syari’at-Nya. Seperti
berbagai macam ibadah, jihad dan amar-ma’ruf nahi mungkar.
b. Hak Manusia, hak manusia pada hakikatnya untuk memelihara
kemaslahatan para pribadi manusia. Dalam hak-hak manusia, seseorang
boleh memanfaatkan, menggugurkan, atau mengubahnya, serta dapat
diwariskan kepada ahli waris. Misalnya, pewarisan qisas kepada ahli
waris.
c. Hak berserikat (gabungan) antara hak Allah dengan hak manusia.

2. Dari segi objek hak


a. Hak mali, yaitu hak yang berkaitan dengan harta.
b. Hak ghoiru mali,yaituhak yang tidak berkaitan dengan harta.
c. Hak syakhsi, yaitu yang ditetapkan syara’ bagi seorang pribadi, berupa
kewajiban terhadap orang lain, seperti hak penjual untuk menerima harga
barang yang dijual.
d. Hak ‘aini, yaitu hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan
orang kedua, seperti hak memiliki.
e. Hak mujarrod, yaitu hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila
digugurkan melalui perdamaian atau pemaafan. Misal dalam persoalan
hutang.
f. Hak ghoiru mujarrod, yaitu hak yang apabila digugurkan atau dimaafkan
meninggalakn bekas terhadap orang yang dimaafkan. Misal dalam hal
qishas.

2
.Ridwan, Pemilikan Rakyat dan Negara Atas Tanah, (Jakarta: Sekretaris Badan Litbang
dan Diklat, 2010), hlm. 109

4
3. Dari segi kewenangan pengadilan terhadap hak itu
a. Hak diyani, adalah hak yang tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan
pengadilan. Misal dalam persoalan hutang yang tidak boleh dibuktikan
pemberi hutang karena tidak cukupnya alat-alat bukti didepan pengadilan.
b. Hak qadha’i, yaitu seluruh hak yang tunduk dibawah kekuasaan
pengadilan, dan pemilik hak itu mampu untuk menuntut dan
membuktikan haknya itu didepan hakim. Misal hutang yang ada
buktinya.3

C. Sebab-Sebab Kepemilikan dan Klasifikasinya


Sebab-sebab kepemilikan harta adalah sebab yang menjadikan seseorang
memiliki harta tersebut, yang sebelumnya tidak menjadi hak miliknya. Sebab
pemilikan harta itu telah dibatasi dengan batasan yang telah dijelaskan oleh
syara’. Menurut syari’at Islam setidaknya ada lima sebab kepemilikan (asbab
altamalluk), yaitu (Aziz, 2019) :
1. Bekerja (Al’amal)
Bentuk-bentuk kerja yang disyariatkan, sekaligus bisa dijadikan
sebagai sebab kepemilikan harta, antara lain (Muhammad, 2016):
a. Menghidupkan Tanah Mati (ihya’ almawaat)
Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknmya, dan tidak
dimanfaatkan oleh satu orangpun. Sedangkan yang dimaksud dengan
menghidupkannya adalah mengolahnya dengan menanaminya atau
dengan mendirikan bangunan di atasnya.

b. Menggali kandungan bumi


Menggali apa yang terkandung di dalam perut bumi, yang bukan
merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama’ah), atau
disebut rikaz. Dengan kata lain, harta tersebut bukan merupakan hak
seluruhnya kaum muslimn.

3
.Nasrun Haroen, Fikih Muamalah, (Jakarta: Media Pratama, 2007), hlm. 3-7

5
c. Berburu
Berburu termasuk dalam kategori bekerja. Berburu mutiara, ikan,
batu permata, bunga karang serta yang diperoleh dan hasil buruan laut
lannya, maka harta tersebut adalah hak milik orang yang memburunya,
sebagaimana yang berlaku dalam pemburuan barang dan hewan-hewan
yang lain.

d. Makelar (sam sarah)


Makelar yaitu suatu cara untuk memperoleh harta dengan bekerja
untuk orang lain dengan upah, baik itu untuk keperluan menjual maupun
membeli.

e. Syirkah
Syirkah dari segi bahasa bermakna penggabungan dua bagian atau
lebih, yang tidak bisa dibedakan lagi antara satu bagian dengan bagian
yang lain. Sedangkan menurut syara’ syirkah adalah transaksi antara dua
orang atau lebih yang dua-duanya sepakat untuk melakukan kerja yang
bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan.

f. Ijarah
Ijarah yaitu suatu transaksi jasa yang dimiliki oleh seseorang untuk
dikontrak oleh orang lain dengan kompensasi.

2. Waris
Waris juga termasuk dalam kategori sebab atau cara untuk memiliki
harta, karena waris adalah sarana untuk membagikan kekayaan yang dimiliki
oleh seseorang semasa hidupnya agar tidak mengumpul, maka sebelah
kematian orang tersebut, harta itu harus dibagikan atau didermakan kepada
orang lain, tetapi pembagian kekayaan tersebut bukanlah merupakan illat bagi
waris itu, melainkan sarana tersebut hanya merupakan penjelasan tentang
fakta waris itu sendiri.

6
3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
Setiap orang berhak untuk hidup dan juga wajib untuk mendapatkan
kehidupan sebagai haknya bukan sebagai hadiah, maupun belas kasihan. Cara
ia memenuhinya adalah dengan bekerja, jika tidak mampu bekerja maka
negara atau pemerintah wajib untuk mengusahakan pekerjaan untuknya.
Karena negara adalah “pengembala” (ar-Ra’i) rakyat,serta bertanggung
jawab terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidup rakyatnya.

4. Pemberian harta negara kepada rakyat


Pemberian ini juga termasuk dalam kategori pemilikan harta yang
diberikan kepada orang-orang atau rakyat yang tidak mampu memenuhi hajat
kehidupan dan hal ini diambil dari bait al-mal sebagai zakat.

5. Harta yang diperoleh tanpa konpensasi harta dan tenaga


Dalam hal ini yang juga termasuk dalam kategori sebab kepemilikan
adalah perolehan individu sebagian mereka dari sebagian yang lain, atas
sejumlah harta tertentu dengan tanpa kompensasi harta atau tenaga apapun.

Kepemilikan dalam Islam diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu


(Sulistiawati & Ahmad, 2017) ;
1. Kepemilikan individu
Kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang ditentukan pada zat
ataupun kegunaan (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh
kompensasi baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain
seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti
dibeli dari barang tersebut.

2. Kepemilikan umum
Kepemilikan umum adalah izin al-syari’ kepada suatu komunitas
untuk bersama-sama memanfaatkan benda atau barang. Sedangkan benda-
benda yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang

7
telah dinyatakan oleh al-Syari’ sebagai benda-benda yang dimiliki suatu
komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang
saja.
Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya,
namun dilarang memilikinya, seperti fasilitas dan sarana umum, sumber daya
alam yang tabiat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu
secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas.

3. Kepemilikan Negara
Kepemilikan Negara adalah harta yang ditetapkan Allah menjadi hak
seluruh rakyat, dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah atau negara,
dimana negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian
rakyat sesuai dengan kebijakannya. Kepemilikan negara pada dasarnya juga
merupakan hak milik umum, tetapi hak pengelolaannya menjadi wewenang
dan tanggung jawab pemerintah. Meskipun demikian, cakupan kepemilikan
umum dapat dikuasai oleh pemerintah, karena ia merupakan hak seluruh
rakyat dalam suatu negara, yang wewenang pengelolaannya ada pada tangan
pemerintah.

D. Pengertian Akad dan Khiyar


“Akad” diartikan sebagai perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul
berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.Semua perikatan
(transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang
dan harus sejalan dengan kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk
menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan
untuk membunuh seseorang.
Menurut Musthafa Azzarka, dalam pandangan syara’ suatu akad
merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak
yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan
pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena
itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu

8
pernyataan. Pernyataan itulah yang disebut dengan ijab dan qabul. Pelaku (pihak)
pertama disebut mujib dan pelaku (pihak) kedua disebut qaabil.4
Dari berbagai pengertian yang ada diatas maka dapat disimpulkan bahwa
akad adalah suatu kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan oleh dua orang
dengan kemauan sendiri yang ditandai adanya ijab dan qabul, sehingga mengikat
kepada keduanya.
Khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya,
karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu
akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa
menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju. 5

E. Pembentukan Akad (Rukun, Unsur, Syarat)


1. Rukun Akad
Rukun-rukun akad adalah sebagai berikut:
a. ‘Aqid ialah orang yang berakad, terkadang terdiri dari satu orang atau
beberapa orang, misalnya penjual dan pembeli beras di pasar biasanya
masing-masing pihak satu orang. Seseorang yang berakad terkadang
orang yang memiliki hak (‘Aqid Ashli) dan terkadang merupakan wakil
dari yang memiliki hak.
b. Ma’qud ‘Alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda
yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah (pemberian), dalam
akad gadai.
c. Maudhu’ al’aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli
tujuan pokoknya adalah memindahkan barang dari penjual kepada
pembeli dengan diberi ganti.
d. Sighot al’aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang
keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya

4
.M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), cet. 1, hlm. 103
5
.Ahmad Wardi Muslich. op.cit. hlm. 216.

9
dalam mengatakan akad, sedangakan qabul ialah perkataan yang keluar
dari pihak berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab.6

Ada juga yang menyatakan bahwa rukun akad yaitu cukup dengan
‘aqid, ma’qud alaih, dan shighat saja.7

2. Syarat Akad
Setiap pembentuk akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’
yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam.
a. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib
sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya
wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini juga disebut syarat
idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum,
seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.8

F. Macam- Macam Akad


1. ‘Akad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya
akad.
2. ‘Akad Mu’allaq ialah akad yang didalam pelaksanaannya terdapat syarat-
syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan
barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
3. ‘Akad Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat
mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang
pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini
sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum
sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.9

6
.Hendi Suhendi, op. Cit., hlm. 47
7
.Rachmat Syafe’i, op. Cit., hlm. 45
8
.Hendi Suhendi, op. Cit., hlm. 50
9
.Hendi Suhendi, op. Cit., hlm. 50

10
G. Macam- Macam Khiyar
1. Khiyar Majelis
Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang
berarti tempat duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli
fiqih adalah tempat kedua orang yang berakad berada dari sejak mulai
berakad sampai sempurna, berlaku dan wajibnya akad. Dengan begitu majlis
akad merupakan tempat berkumpul dan terjadinya akad apapun keadaan
pihak yang berakad.10
Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan
oleh syara‟ bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak
masih berada di tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai
macam jual beli, seperti jual beli makanan dengan makanan, akad pemesanan
barang (salam), syirkah.11
Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak
melakukan khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka
berpisah atau menentukan pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah
pihak telah memalingkan badan untuk meninggalkan tempat transaksi. Pada
prinsipnya khiyar majlis berakhir dengan adanya dua hal :
a. Keduanya memilih akan terusnya akad
b. Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.12

2. Khiyar Syarat
Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana
seseorang membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh
melakukan khiyar pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut
lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan
apabila ia mengendaki ia bisa membatalkannya.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat adalah
suatu bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli
memberikan persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau
10
.Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 177.
11
.Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi‟i Al-Muyassar, Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,
“ Fiqih Imam Syafi‟i”, Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 676.
12
.Sudarsono, op.cit. hlm. 410.

11
salah satunya boleh memilih antara meneruskan jual beli atau
membatalkannya.
Khiyar syarat disyari‟atkan untuk menjaga kedua belah pihak yang
berakad, atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang kemungkinan di
dalamnya terdapat unsur penipuan dan dusta. Oleh karena itu, Allah SWT
memberi orang yang berakad dalam masa khiyar syarat dan waktu yang telah
ditentukan satu kesempatan untuk menunggu karena memang diperlukan.
Kalangan ulama fiqih sepakat bahwa khiyar syarat sah jika waktunya
diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang yang dijual tidak termasuk
barang yang cepat rusak dalam tempo ini.13

3. Khiyar Aib
Khiyar aib termasuk dalam jenis khiyar naqishah (berkurangnya nilai
penawaran barang). Khiyar aib berhubungan dengan ketiadaan kriteria yang
diduga sebelumnya. Khiyar aib merupakan hak pembatalan jual beli dan
pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum
diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah
transaksi selesai disepakati sebelum serah terima barang.
Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib yang
mengakibatkan berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-
orang yang ahli dibidangnya.14
Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat
pada barang tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyarsetelahnya. 15
Alasannya ia telah rela dengan barang tersebut beserta kondisinya. Namun
jika pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut dan mengetahuinya
setelah akad, maka akad tetap dinyatakan benar dan pihak pembeli berhak
melakukan khiyar antara mengembalikan barang atau meminta ganti rugi
sesuai dengan adanya cacat.

BAB III

13
Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 111.
14
Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm. 98.
15
Sayyid Sabiq. op. cit. hlm. 161.

12
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hak al milk adalah hak yang memberikan kepada pemiliknya hak wilayah.
Artinya dia boleh memiliki, boleh memakai, boleh mengambil manfaat, boleh
menghabiskan, boleh membinasakan asal tidak menimbulkan bahaya bagi
orang lain.
2. Dari segi pemilik hak : hak Allah, hak manusia, hak serikat. Dari segi objek
hak : hak mali, hak ghoiru mali, hak syakhsi, hak ‘aini, hak mujjarod, hak
ghoiru mujjarod. Dari segi kewenangan pengadilan terhadap hak itu : hak
diyani, hak qadhai.
3. Sebab-sebab kepemilikan harta adalah sebab yang menjadikan seseorang
memiliki harta tersebut, yang sebelumnya tidak menjadi hak miliknya. Ada
lima sebab- sebab kepemilikan harta : bekerja, waris, kebutuhan akan harta
untuk menyambung hidup, pemberian harta negara kepada rakyat, harta yang
diperoleh tanpa konpensasi harta dan tenaga.
4. Kepemilikan dalam Islam diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
kepemilikan individu, kepemilikan umum, kepemilikan Negara.
5. Akad adalah suatu kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan oleh dua orang
dengan kemauan sendiri yang ditandai adanya ijab dan qabul, sehingga
mengikat kepada keduanya.
6. Khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya,
karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada
waktu akad, atau karena sebab yang lain.
7. Rukun Akad: ‘Aqid, Ma’qud ‘Alaih, Maudhu’ al’aqd, Sighot al’aqd. Syarat
Akad :
a. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib
sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya
wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini juga disebut syarat

13
idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum,
seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.

8. Macam- macam akad: ‘Akad munjiz, ‘Akad mu’allaq, ‘Akad mudhaf.


Macam- macam khiyar: Khiyar majlis, khiyar syarat, khiyar aib.

B. Kritik dan Saran


Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan pembaca. Kami mohon maaf bila ada kesalahan ejaan
dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.
Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kami juga
sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun. Fikih Muamalah. (Jakarta: Media Pratama. 2007)

Ridwan. Pemilikan Rakyat dan Negara Atas Tanah. (Jakarta: Sekretaris Badan
Litbang dan Diklat. 2010)

Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2003). cet. 1

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008)

Syafe’i, Rachmat. Fiqh Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia. 2001)

Ali, A. (2012). Konsep Kepemilikan Dalam Islam. Jurnal Ushuluddin, XVIII(2),


124-140.

Aziz, A. (2019). Harta Dan Kepemilikan. Jurnal Al-Iqtishod, I(1), 1-16.

Sulistiawati, & Ahmad, F. (2017). Konsep Kepemilikan Dalam Islam (Studi Atas

Pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani). Jurnal Syariah, V(2), 23-52.

15

Anda mungkin juga menyukai