Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HARTA PENINGGALAN DAN HARTA WARIS

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Hukum Waris

Kelompok 3 :
Gayatri Puspita Sari (C73218040)
Intan Alya Puspitasari (C73218043)
Naila Nur Izzah (C73218051)

Dosen:
Drs. Imam Supriyadi, MthI.

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah Mata Kuliah Hukum Waris yang berjudul “Harta Peninggalan dan Harta Waris”
tepat pada waktunya.
Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung
kami dalam penyusunan makalah ini, sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis berharap semoga dengan selesainya makalah ini, dapat bermanfaat bagi
pembaca dan teman-teman, khususnya dalam memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan.
Makalah ini disusun sebagai bentuk proses belajar mengembangkan kemampuan
mahasiswa. Penulis menyadari dalam pembuatan Makalah ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan, oleh karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan penulis di masa yang akan datang.

Surabaya, 06 Maret 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i


KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Harta Peninggalan dan Harta Waris .............................................. 2
B. Perbedaan Harta Peninggalan dan Harta Waris ............................................... 7
C. Bentuk Harta Peninggalan ............................................................................... 8

BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 12


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... iv

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Harta merupakan kebutuhan primer bagi manusia dalam kehidupan di dunia ini dan
tidak seorang pun yang luput dari mengenalnya dari seluruh penjuruh dunia. Manusia sering
lupa bahwa Allah SWT menciptakan dan memberi rezeki adalah untuk dipakai mengabdi
kepada Allah SWT.
Harta yang diperoleh manusia di dunia ini, tidak mutlak dimiliki seterusnya karena
pada suatu saat nanti mereka akan meninggal dan tentunya harta yang diperoleh akan
tinggalkan dan beralih kepemilikangnya kepada orang lain (ahli warisnya) yang ditinggalkan.
Allah SWT. berfirman pada QS. Al-Nisa’ 4: 33
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib
kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah
bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Berdasarkan ayat tersebut, bahwa harta yang diperoleh setelah ditinggalkan karena
telah meninggal dunia, maka akan diwarisikan kepada ahli waris yang berhak yang
didasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-
Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian harta peninggalan dan harta warisan?
2. Apakah perbedaan harta peninggalan dan harta warisan?
3. Bagaimana bentuk dari harta peninggalan?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Harta Peninggalan (Tirkah)


Tirkah menurut bahasa, yaitu sesuatu yang ditinggalkan dan disisakan oleh seseorang.
Sedangkan menurut istilah, tirkah adalah seluruh yang ditinggalkan mayit berupa harta dan
hak-hak yang tetap secara mutlak. Dengan demikian, tirkah mencakup empat hal berikut:
1. Kebendaan, berupa benda-benda bergerak dan benda-benda tetap.
2. Hak-hak yang mempunyai nilai kebendaan, seperti hak monopoli untuk
mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan, sumber air minum, dan lain
sebagainya. Termasuk juga hak kemanfaatan, seperti memanfaatkan barang yang
disewa dan dipinjam. Hak yang bukan kebendaan, seperti hak syuf’ah (hak beli yang
diutamakan untuk salah seorang anggota serikat atau tetangga atas tanah, pekarangan
atau lain sebagainya, yang dijual oleh anggota serikat yang lain atau tetangganya), dan
hak khiyar, seperti khiyar syarat.
3. Sesuatu yang dilakukan oleh mayit sebelum ia meninggal dunia, seperti khamar yang
telah menjadi cuka setelah ia wafat, dan jerat yang menghasilkan binatang buruan,
setelah ia meninggal dunia. Keduanya dapat diwariskan kepada ahli waris mayit.
4. Diyat (denda) yang dibayarkan oleh pembunuh yang melakukan pembunuhan karena
khilaf. Hal ini sesuai dengan pendapat yang lebih kuat, memasukkan diyat ke dalam
kepemilikan mayit sebelum matinya.1
Dalam ketentuan umum Pasal 171 huruf (d) dijelaskan bahwa harta peninggalan adalah
harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya
maupun hak-haknya.
Pengarang kitab al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhauil Kitab wa al
Sunnah memberikan definisi tirkah dengan “apa saja yang ditinggalkan seseorang sesudah
matinya. Baik berupa harta, hak-hak maliyah atau ghairu maliyah. Maka apa saja yang
ditinggalkan seseorang sesudah matinya, oleh jumhur fuqaha diistilahkan dengan tirkah, baik
mayat punya utang atau tidak. Baik utangnya itu berupa utang ‘ainiyah atau syakhshiyyah.2
1
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Ahkam al Mawarits fi al Fiqhi al Islamy, terj., Addys
Aldizar, dan Fathurrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), cet. pertama. hal. 67-
68.
2
Pengertian utang ‘ainiyah ialah utang-utang yang berkaitan dengan harta benda seperti: gadai yang berkaitan
dengan benda yang digadaikan. Sedang pengertian utang syakhshiyyah adalah utang yang berkaitan dengan
pertanggungan orang yang berutang seperti pinjaman, mas kawin dan sebagainya. Muhammad Ali Ash
Shabuny, dalam kitabnya, alih bahasa oleh Sarmin Syukur, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995)

2
Macam-Macam Harta Peninggalan
Pengertian harta peninggalan secara luas dapat mencakup kepada kebendaan, sifat-sifat
yang mempunyai nilai kebendaan, benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain,
hak-hak kebendaan, hak-hak yang bukan kebendaan.3 Kepemilikan harta peninggalan yang
berupa harta benda dan hak-hak dapat dirinci sebagai berikut:
1. Harta benda,4 meliputi kepada:
a. Kebendaan
1). Benda-benda tetap;
2). Benda-benda bergerak.
b. Sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan
1). Piutang-piutang sipewaris;
2). Denda wajib;5
3). Uang pengganti qisas;6
4). Dan lain sebaginya.
c. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain
1). Benda-benda yang digadaikan sipewaris;
2). Barang-barang yang telah dibeli sipewaris sewaktu hidup dan barangnya belum
diterima.
3). Dan lain sebagainya.
2. Hak-hak,7 meliputi:
a. Hak-hak kebendaan
1). Hak untuk mendayagunakan dan menarik hasil suatu jalan lalulintas;
2). Hak menggunakan sumber air minum;
3). Hak menggunakan irrigasi pertanian;
4). Hak menggunakan kebun;
5). Dan lain sebagainya.

b. Hak-hak yang bukan kebendaan

cet. ke-1, hal. 49.


3
Lihat Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simajuntak, Hukum Waris Islam: Lengkap & Praktis (Cet. III; Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2001), h. 47.
4
Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Ce. III; Bandung: PT. Alma’arif, 1994), h. 36-37.
5
Ganti rugi yang diberikan oleh seseorang pelaku tindak pidana kepada korban atau ahli warisnya karena suatu
tindak pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan seseorang. Abdul Azis Dahlan et al., Ensiklopedi
Hukum Islam, Jilid I (Cet. I; Jakarta: Intermasa, 1997), h.266.
6
Uang pengganti lantaran tindakan pembunuhan yang diampuni, Fatchur Rahman, loc.cit.
7
Ibid., h. 37.

3
1). Hak khiyar;8
2). Hak Syuf’ah.9

Kewajiban Ahli Waris terhadap Harta Peninggalan


Dalam ketentuan umum Pasal 171 huruf (d) dijelaskan bahwa harta peninggalan adalah
harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya
maupun hak-haknya. Agar harta peninggalan tersebut dapat dibagi sebagai warisan, maka
perlu diselesaikan kewajiban-kewajiban tertentu.
Maksudnya adalah harta peninggalan (tirkah) ini tentunya masih belum bisa dipastikan
untuk menjadi harta warisan yang akan dibagi-bagi terhadap ahli warisnya. Karena bisa jadi
harta peninggalan itu (ternyata) hanya cukup untuk membayar/mengeluarkan segala hak yang
masih berkaitan dengan tirkah ini, seperti biaya penyelenggaraaan jenazah (tajhizul mayit),
utang, dan wasiat. Sehingga harta warisan itu dimaksudkan dengan harta peninggalan yang
sudah dalam keadaan bersih.
1. Biaya Keperluan Sakit dan Perawatan Jenazah
Biaya keperluan pengobatan ketika si pewaris sakit menjadi beban dari harta
peninggalan pewaris. Demikian juga biaya perawatan jenazah, mulai dari memandikan,
mengafani, mengusung dan menguburkan jenazah. Besar biaya tersebut diselesaikan
secara wajar dan makruf (kepatutan). Tidak boleh terlalu kurang, juga tidak boleh
berlebihan.
2. Pelunasan Utang
Hak kedua yang berkaitan dengan tirkah adalah membayar utang-utang yang masih
dalam tuntutan kreditur (pemberi pinjaman) kepada orang yang meninggal. Setelah biaya
pentajhizan mayit ditunaikan, maka kelebihan harta peninggalan digunakan untuk
melunasi utang muwarrits10 (pewaris). Sebagaimana firman Allah Swt. (di antaranya)
dalam surat an-Nisa ayat 11 di bawah ini:
ٍ ‫م ِۢنْ َبعْ ِد َوصِ َّي ٍة ي ُّْوصِ يْ ِب َهٓا اَ ْو َدي‬
‫ْن‬

8
Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi jual beli untuk melangsungkan
atau membatalkan transaksi yang disepakati, disebabkan hal-hal tertentu yang membuat masing-masing atau
salah satu pihak melakukan pilihan tersebut. Abdul Azis Dahlan et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, op.
cit., h. 914.
9
Menurut Mazhab Hanafi “Hak istimewa yang dimiliki seseorang untuk membeli (memiliki) sesuatu barang
tidak bergerak dari mitra (syarik, sekutu)-nya dengan harga pembelian yang ditawarkan peminat barang itu
untuk menghindari kemudaratan yang mungkin muncul karena datangnya orang lain atau tetangga lain.
Menurut Jumhur Ulama “Hak istimewa dalam memiliki benda tidak bergerak bagi mitra serikat dengan ganti
rugi. Abd. Aziz Dahlan et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, (Cet. I; Jakarta: Intermasa, 1997), h. 1718.
10
Hasniah Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Surabaya: Gitamedia Press, 2004), cet. pertama, hal. 31.

4
Artinya: “... Sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya ...”
Utang merupakan tanggung jawab yang harus dibayar oleh orang yang berutang
sesuai dengan waktu yang ditentukan. Apabila orang yang berutang meninggal dunia,
maka pada prinsipnya, tanggung jawab membayarnya beralih kepada keluarganya.
Biasanya sebelum jenazah disalatkan dan diberangkatkan ke kuburan, diminta oleh
keluarga atau yang mewakilinya, agar utang si mati dibebaskan (diibra’kan). Jika utang
tersebut tidak bisa dibebaskan, maka utang tersebut tanggung jawabnya diambil alih oleh
keluarganya. Penyelesaiannya diambil dari harta peninggalannya, jika tidak ada, maka
keluarga (ahli waris) yang akan membayarnya. Rasulullah saw. memberi isyarat, apabila si
mati mempunyai utang dan belum ada ahli waris yang mengambil alih, beliau tidak
berkenan untuk menshalatkannya.
Oleh sebab itu, utang ini merupakan salah satu hal yang harus diselesaikan sebelum
harta warisan dibagi. Pelunasan/dibayarkannya utang pewaris, yaitu utang-utang dituntut
oleh seseorang dan utang-utang yang menjadi tanggung jawab si mayit yang
meninggalkan warisan adalah menjadi kewajiban bagi ahli waris untuk menyelesaikannya.
Tirkah tidak boleh dibagi oleh ahli warisnya sebelum utang-utang mayit itu dibayar.
Mengingat sabda Nabi saw.:
ً. ‫وفس المؤمه معلقة بديى حتى يقضى عى‬
Artinya: “Jiwa (roh) orang beriman itu bergantung pada utangnya, sehingga utangnya
dibayarkan.” (HR. Ahmad).
Dengan demikian, jumhur ulama berpendapat bahwa utang tersebut wajib dibayar
(dikeluarkan, diserahkan) dan diambilkan dari tirkah. Maksudnya, ia wajib diselesaikan
sebelum tirkah dilaksanakan pembagiannya.
3. Wasiat11
Memenuhi wasiat yang batasan maksimalnya sepertiga, yang diberikan kepada selain
ahli waris, hal ini dilakukan sesudah membayar biaya-biaya penyelenggaraan jenazah dan
sesudah dibayarnya utang-utang pewaris. Adapun jika wasiat itu jumlahnya melebihi dari
11
Dalam ayat “Min ba‟dhi washiyyatin yusha biha au dain”, masalah wasiat disebut lebih dulu daripada utang.
Namun dalam hukum Islam utanglah yang harus didahulukan pembayarannya daripada wasiat. Hikmahnya
adalah, bahwa penyebutan yang didahulukan menunjukkan pentingnya yang disebut, yakni agar mendorong
para ahli waris untuk menunaikan wasiat, tanpa melalaikannya. Karena wasiat itu hanya dipandang sebagai
tabarru’ mahdha (perbuatan baik semata-mata) yang tidak perlu ada „iwadh (pengganti) yang kadang-kadang
para ahli waris enggan melaksanakan wasiat itu. Lain halnya dengan utang yang dituntut „iwadhnya
(pengganti) oleh pemberi utang. Atas dasar itulah kata wasiat disebut lebih dahulu (dalam ayat tersebut)
daripada kata utang. (Lihat Muhammad Ali Ash Shabuny, alih bahasa oleh M. Samhuji Yahya, Hukum Waris
dalam Syariat Islam Disertai Contoh-Contoh Pembagian Harta Pusaka, (Bandung: CV. Diponegoro,
1992/1413 H.), cet. II, hal. 44).

5
sepertiga harta, maka ia tidak dapat dilaksanakan kecuali atas izin dan kerelaan dari ahli
waris. Mengingat sabda Nabi saw. kepada Sa‟ad bin Abi Waqqas.
12
(‫ )رواي مسلم‬. ‫اوك ان تذر ورثتك اغىياء خيز مه ان تذر ٌم عالة يتكففون الىاس‬،‫الثلث والثلث كثيز‬
Juga berdasarkan sabda Nabi Saw. yang menyatakan bahwa: “Sesungguhnya Allah
memerintahkan sedekah kepada sepertiga harta untuk menambah amal-amalmu sekalian,
maka keluarkanlah sedekah itu menurut kemauanmu atauu menurut kesukaanmu.” (HR.
Bukhari).13

B. Harta Warisan
Harta warisan adalah salah satu bagian dari rukun kewarisan, selain pewaris dan ahli
waris, yang harus dipenuhi (adanya) dalam proses perpindahan hak dan kepemilikan
seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Tanpa adanya hata warisan, berarti
waris mewarisi (pewarisan) itu menjadi “batal”. Sebab warisan, adalah ungkapan dari
perolehan hak seseorang terhadap harta orang lain karena bagian, ashabah, atau rahim. Jika
salah satu dari hal itu tidak ada maka tidak ada warisan.14
Harta waris didefinisikan dengan kata mauruts dalam ilmu faraidh yaitu sejumlah harta
milik orang yang meninggal dunia (pewaris) setelah diambil sebagian harta tersebut untuk
biaya-biaya perawatan jika ia menderita sakit sebelum meninggalnya, penyelenggaraan
jenazah, penunaian wasiat harta jika ia berwasiat, dan pelunasan segala utang-utangnya jika
ia berutang kepada orang lain sejumlah harta.15
Dalam ajaran Islam semua harta peninggalan orang yang mati baik yang bersifat
kebendaan atau hak disebut dengan istilah tarikah/tirkah. Tarikah ini tidak otomatis menjadi
harta warisan yang akan diwariskan kepada ahli waris.16
Karena sebagai syarat untuk bisa dibagi-bagi, maka harta warisan ini harus dikeluarkan
lebih dahulu dari tiga hal tersebut, atau dengan kata lain, harta warisan ini diambil dari tirkah
setelah dikeluarkannya berbagai hak yang terkait dengan penunaian peraturan keagamaan.17

12
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, (Beirut: Darul Fikri, 1981), Juz III, hal. 186.
13
Fatchur rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Alma‟arif,1975), cet. empat, hal. 52
14
Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islamy wa Adillatuh, terj. Abdul Hayyie Al Kattani, dkk., Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan, (Jakarta: Gema Insani Darul Fikir, 2011 M./1432 H.),
Jumadil Akhir, cet. pertama, hal. 346.
15
Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1997), ed.1, cet.1, Nopember, hal. 33.
16
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi
Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), ed.1, cet. 1, hal. 57.
17
Sukris Sarmadi, op cit, hal. 37.

6
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), masalah ini tidak dimasukkan dalam
pembahasan spesifik sebagaimana Budgerlijk Weetboek (BW), dan hanya menyinggung
dalam bagian ketentuan umum mengenai definisi harta warisan yang dianggap sebagai harta
bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhizul mayyit), pembayaran
utang dan pemberian untuk kerabat (KHI Pasal 171 huruf (e)).18

C. Perbedaan Harta Peninggalan dan Harta Warisan


Al-irs artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk
keperluan pemeliharaan jenazah pelunasan utang serta melaksanakan wasiat.
Tirkah yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat yang
dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.19
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf d dijelaskan bahwa harta peninggalan
adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi
miliknya maupun hak-haknya.
Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan penjelasan tentang
harta waris pada Pasal 171 huruf e menyebutkan bahwa “Harta waris adalah harta bawaan
ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian
untuk kerabat".20
Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh
pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Dalam pengertian ini dapat
dibedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua
yang ditinggalkan oleh si mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat
kematiannya.21
D. Bentuk Harta Peninggalan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan penjelasan tentang harta peninggalan yang
berhak diwarisi dan yang menjadi harta warisan. Pasal 171 huruf e menyebutkan bahwa
“Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan
18
Ibid., hal. 39. Lihat juga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dilengkapi dengan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Arkola), hal.
19
Suryati, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Andi, 2017), hlm. 4
20
Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,
op. cit., h. 83.
21
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 206

7
untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat".22
Berdasarkan pasal ini dapat dipahami bahwa harta peninggalan yang ditinggalkan
pewaris ada kemungkinan bercampur dengan milik dan hak orang lain seperti diuraikan
dalam penjelasan sebelumnya.
Melihat bentuk perolehan harta peninggalan tersebut dengan memperhatikan penjelasan
pasal 171 hurf e Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka bentuk perolehan harta peninggalan
ada dua macam, yaitu:
1. Harta Bawaan
Harta bawaan atau disebut juga dengan harta milik masing-masing dari suami dan
istri23 atau harta milik suami atau istri24 adalah harta yang diperoleh suami atau istri
sebelum terjadinya perkawinan yang berasal dari warisan dari kedua ibu-bapak dan
kerabat, hibah, hadiah dan harta yang diperoleh dari usaha sendiri. Untuk harta bawaan
yang diperoleh dari warisan, hibah, hadia serta sodoqoh dari ibu-bapak dan kerabat
mereka masing-masing setelah menikah dan bukan karena usahanya sendiri, tetapi adalah
diusahakan setelah mereka bersama-sama sebagai suami-istri termasuk harta bawaan.25
Harta bawaan ini menjadi milik mutlak dari masing-masing suami atau istri dan dikuasai
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hokum atas harta tersebut. Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 87 ayat (1) dan (2) dijelaskan:
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing,
sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.26
Dalam pengelolaan harta bawaan ini tidak dibenarkan adanya percampuran antara
harta suami dan harta isteri walaupun telah terjadi perkawinan. Hal ini dijelaskan dalam
Kompilasi pasal 86 ayat (1) “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan

22
Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,
op. cit., h. 83.
23
Lihat Fatchur Rahman, op. cit., h. 41.
24
Lihat H. Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqhi Mawaris: Hukum Kewarisan Islam (Cet. I; Jakarta:
Radar Jaya Pratama, 1997), h. 45.
25
Lihat M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 103.
26
Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,
op. cit., h. 45

8
harta isteri karena perkawinan.”27 Oleh karena itu, harta peninggalan yang berbentuk harta
bawaan ini tidak ada sangkut paut dengan milik dan hak-hak orang lain kecuali yang
bersangkut paut dengan hak pewaris sewaktu hidup dan sebelum dikuburkan.
2. Harta Bersama
Dalam kenyataan hidup berkeluarga, antara pewaris dan ahli waris tidak menutup
kemungkinan terdapat harta peninggalan menjadi milik bersama apakah itu wujudnya
harta benda atau hak-hak. Keberadaan harta bersama dalam satu keluarga susah untuk
menghindarinya karena hampir semua keluarga yang ada memiliki harta bersama. Suami
isteri misalnya, sama-sama berusaha untuk menghidupi keluarganya, istri melayani segala
keperluan dan kebutuhan suami untuk dapat memperoleh harta dalam kehidupan rumah
tangganya. Istrinya membantu suami dalam memelihara anak-anak suami di rumah, ikut
bersama-sama suami mencari harta untuk menghidupi keluarganya, dan bahkan ada yang
sebaliknya isteri yang mencari harta dan suami menggantikan posisi isteri memelihara
anak di rumah. Dengan kenyataan ini, maka perolehan harta dalam satu rumah tangga,
tidak dapat dipungkiri bahwa berasal dari perolehan suami dan isteri.
Fatchur Rahman mengatakan bahwa harta kekayaan yang diperoleh oleh suami-isteri
selama langsungnya perkawinan dimana kedua-duanya bekerja untuk kepentingan hidup
berumah tangga. Bekerja ini hendaklah diartikan secara luas, hingga seorang isteri yang
pekerjaannya tidak nyata-nyata menghasilkan kekayaan, seperti memelihara dan mendidik
anak-anaknya, dianggap sudah bekerja. Dan harta kekayaan yang diperoleh secara
kongkrit oleh suami menjadi milik bersama.28
Untuk jelasnya pengertian secara luas apa yang dimaksud Facthur Rahman tentang
bekerja dalam memperoleh harta bersama, maka perlu dibuat kategorisasi harta bersama
sebagai berikut :
a. Harta yang dibeli selama perkawinan
Sebagai ukuran untuk menentukan apakah sesuatu barang itu termasuk objek harta
bersama atau tidak, adalah saat pembeliannya. Setiap barang yang dibeli selama
berlangsung ikatan perkawinan, termasuk objek harta bersama, tanpa mempersoalkan
siapa diantara suami-isteri itu membelinya, terdaftar atas nama siapa, dan terletak dimana.
b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian tetapi dibiayai dari harta
bersama

27
Ibid
28
Lihat Fatchur Rahman, op.cit.,h.41

9
Sebagai ukuran yang kedua adalah apa saja yang dibeli, jika uang pembelinya itu
berasal dari harta bersama, maka barang tersebut tetap termasuk dalam pengertian harta
bersama, meskipun barang tersebut dibeli atau dibangun sesudah terjadinya perceraian.
Sebagai contoh, suami-isteri selama ikatan perkawinan berlangsung mempunyai
royalty terhadap sebuah karangan buku. Setelah perceraian terjadi, royalty itu
mendatangkan sejumlah uang. Lantas, dari uang ini suami membeli tanah dan membangun
sebuah rumah di atasnya. Dalam hal ini, tanah dan rumah tersebut adalah termasuk dalam
objek harta bersama, walaupun perolehannya setelah terjadi perceraian. Penerapan seperti
ini harus dipegang teguh, guna menghindari manipulasi dan itikad buruk suami atau isteri.
Sebab, dengan penerapan seperti ini, hukum akan tetap menjangkau harta bersama
sekalipun harta itu telah berubah menjadi barang lain.
c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan
Dalam sengketa harta bersama, jarang sekali yang berjalan secara mulus, apalagi
kalau hal itu terjadi jauh setelah berlangsungnya perceraian. Biasanya, dalam menanggapi
dalil gugatan penggugat, tergugat selalu membantah bahwa harta yang sedang
dipersengketakan itu bukan sebagai harta bersama, tetapi sebagai harta pribadinya. Dalam
hal ini, menjadi patokan untuk menentukan bahwa barang itu termasuk tidaknya sebagai
objek harta bersama, ditentukan oleh keberhasilan penggugat untuk membuktikan harta
yang sedang dipersengketakan itu diperoleh selama berlangsungnya perkawinan dan
perolehannya itu bukan melalui warisan atau hadiah.
d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan
Penghasilan yang berasal dari harta bersama, secara otomatis menjadi harta bersama,
karena ia berasal dari harta bersama. Akan tetapi tidak demikian halnya pada harta pribadi,
karena penghasilan yang berasal dari harta pribadi suami atau isteri, tidak menentukannya
secara lain dalam perjanjian perkawinan.
e. Segala penghasilan pribadi suami atau isteri
Penghasilan suami atau istri, dengan sendirinya menjadi harta bersama, karena
memang demikianlah ketentuan yang telah digariskan oleh pasal 35 ayat (1) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa “harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta benda bersama”29 dan pasal 1 huruf f Kompilasi dijelaskan juga
bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan

29
Direktorat Jenderal Departemen Agama R.I.,op.cit.,h.284

10
selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.30
Dua pasal ini berlaku sepanjang antara suami istri tidak dibuat perjanjian perkawinan.

30
Ibid .,h.13

11
BAB III
PENUTUP

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu:


Harta peninggalan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dunia, apakah harta itu menjadi miliknya maupun milik orang lain di bawa pengawasannya.
Setelah orang meninggal dunia, maka harta peninggalan dilakukan pemisahan dengan
harta milik orang lain termasuk dilakukan pemisahan terhadap harta yang diperoleh setelah
terjadinya perkawinan dengan istri.
Setelah melakukan pemisahan harta yang menjadi milik orang yang meninggal dunia
dengan harta yang menjadi milik orang lain, maka sebelum diberikan kepada ahli waris yang
berhak, maka dikeluarkan dulu hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalan, seperti:
biaya tajhiz, membayar utang dan mengeluarkan wasiat orang yang meninggal dunia tersebut.
Dalam ajaran Islam semua harta peninggalan orang yang mati baik yang bersifat
kebendaan atau hak disebut dengan istilah tarikah/tirkah. Tarikah ini tidak otomatis menjadi
harta warisan yang akan diwariskan kepada ahli waris.
Karena sebagai syarat untuk bisa dibagi-bagi, maka harta warisan ini harus dikeluarkan
lebih dahulu dari tiga hal tersebut, atau dengan kata lain, harta warisan ini diambil dari tirkah
setelah dikeluarkannya berbagai hak yang terkait dengan penunaian peraturan keagamaan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Prenada Media)


Naskur. 2016. Memahami Harta Peninggalan Sebagai Warisan dalam Perspektif Hukum
Islam. Jurnal Iain Manado
...., ..., Bab II. Jurnal uin antasari
Suryati. 2017. Hukum Waris Islam. (Yogyakarta: Andi)
Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Waris Adat. (Bandung: Citra Aditya Bakti)
Thalib, Sajuti. 1995. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika Offset)

iv

Anda mungkin juga menyukai