Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

HUKUM WARIS ISLAM


(Wasiat, Wasiat Wajibah, Hibah, dan Pembagian Harta Bersama)

Disusun Oleh : CHOIRIL YAQIN


NIM : 18.12000.2254
Dosen Pengampu : Devi Mariatul Qiptiah, M.Pd.I.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MOCH. SROEDJI - JEMBER
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Alloh SWT. karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya
saya dapat menyelesaikan makalah mata Kuliah Hukum Waris Islam tentang “Wasiat, Wasiat
Wajibah, Hibah, dan Pembagian Harta Bersama" tepat pada waktunya.

Makalah ini saya sajikan dalam konsep dan bahasa yang sederhana yang saya rangkum dan
susun dari berbagai sumber berkompeten sehingga diharapkan dapat membantu mempermudah
mahasiswa dan pembaca dalam memahami seluruh isi makalah ini.

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dosen mata kuliah Hukum Waris Islam (Devi
Mariatul Qiptiah, M.Pd.I.) yang telah membimbing dan memberikan kesempatan kepada saya untuk
menyusun makalah ini dengan baik.

Akhir kata, “Kesempurnaan hanya milik Alloh SWT” oleh karena itu didalam penyusunan
makalah ini tentunya tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Dengan kerendahan hati dan ketulusan
penulis mengharapkan masukan, kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan makalah ini.

Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk saya, mahasiswa dan semua
pembaca dalam pencapaian tujuan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya yang berhubungan
dengan hukum waris islam.

Jember, 25 Maret 2020

Choiril Yaqin

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar ................................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Tujuan .................................................................................................................... 2
C. Rumusan Masalah................................................................................................... 2

BAB II. PEMBAHASAN


A. WASIAT
I. Pengertian Wasiat…………………………………………………………3-4
II. Dasar Hukum Wasiat……………………………………………………..4-7
III. Rukun dan syarat Wasiat………………………………………………….8-9
IV. Pembatalan Wasiat………………………………………………………..10
B. WASIAT WAJIBAH
I. Pengertian Wasiat Wajibah……………………………………………….11
II. Dasar Hukum Wasiat Wajibah……………………………………………12-14
III. Syarat Wasiat Wajibah……………………………………………………14
C. HIBAH
I. Pengertian Hibah………………………………………………………….15
II. Dasar Hukum Hibah………………………………………………………15-16
III. Rukun dan Syarat Hibah…………………………………………………..16-18
IV. Bentuk-bentuk Hibah……………………………………………………...18-20
V. Pembatalan Hibah…………………………………………………………20-21
D. PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
I. Pengertain Harta Bersama…………………………………………………22-23
II. Dasar Hukum Harta Bersama……………………………………………..23-24
III. Pembagian Harta bersama…………………………………………………24-27
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan……….. .............................................................................................. .28-30
B. Saran ...................................................................................................................... .30
Daftar Pustaka .................................................................................................................... 31
ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Harta benda atau kekayaan dalam berbagai bentuknya telah diciptakan untuk
Manusia di muka bumi ini. Dan kita harus menyadari pada hakikatnya harta itu hanyalah
titipan Allah SWT, kepemilikan sepenuhnya ada ditangan Allah SWT. Allah SWT dapat
mengambil sewaktu-waktu harta yang dititipkan kepada kita.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Najm ayat 31 yang artinya:

“Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi,
supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang
telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik
dengan pahala yang lebih baik (syurga.)”

Harta yang dititipkan oleh Allah SWT kepada kita nantinya pasti akan dimintai
pertanggungjawaban diakherat, sehingga harus kita gunakan pada jalan kebaikan dan
kemaslahatan. Kita semua mempunyai batasan umur hidup didunia, dan harta kita
nantinya pasti akan kita tinggalkan. Harta yang kita tinggalkan setelah meninggal dunia
berupa segala sesuatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki dapat
disebut harta peninggalan.

Harta peninggalan, haruslah dibagi kepada orang-orang yang berhak


menerimanya, di dalam Fiqih Islam terdapat pembahasan mengenai ilmu mawaris.
Menurut para fuqaha, ilmu mawaris adalah ilmu untuk mengetahui orang yang berhak
menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang diterima oleh
tiap-tiap waris dan cara pembagiannya. Kedudukan ilmu ini dipandang separoh ilmu
syariah, karena bidang-bidang yang lain dari ilmu syariah berpautan dengan keadaan
manusia sebelum meninggal, maka ilmu ini berpautan dengan keadaan mereka sesudah
wafat.
Sistem pembagian harta peninggalan menggunakan sistem kewarisan Islam,
adakalanya ahli waris tidak dapat menikmati bagian harta warisan, sehingga perlu

1
ditingkatkan efektifitasnya dan optimalisasi pelaksanaan sistem kewarisan Islam agar
harta peninggalan itu beredar pada lingkungan kekerabatan yang lebih luas. Maka dari itu,
Saya akan membahas mengenai wasiat, wasiat wajibah, hibah, dan juga pembagian harta
bersama dalam pandangan Islam dan pelaksanaanya di Indonesia.

B. TUJUAN

Dengan makalah yang saya susun ini, diharapkan saya pribadi dan para pembaca
dapat lebih memahami tentang hukum waris islam terutama tentang wasiat, wasiat wajibah,
hibah, dan pembagian harta berssama.

C. RUMUSAN MASALAH
a. Pengertian, dasar hukum, rukun & syarat, serta pembatalan wasiat
b. Pengertian, dasar hukum, rukun & syarat wasiat wajibah
c. Pengertian, dasar hukum, rukun & syarat, serta bentuk-bentuk Hibah
d. Pengertian, dasar hukum, dan pembagian harta bersama

===============================================================

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. WASIAT

I. PENGERTIAN WASIAT

Wasiat (Jamak, Wasaaya ‫ )الوصايا‬secara etimologi bermakna menyambung sesuatu


dengan sesuatu yang lain. Sedangkan dalam terminologi syariah ia memiliki beberapa
arti, yaitu:

a) Pemberian seorang manusia pada yang lain dalam bentuk benda, hutang, atau
berupa manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat atas hibah itu setelah
kematian pemberi wasiat.

b) Amal kebaikan berupa harta setelah meningglanya pewasiat.

c) Kepemilikan yang disandarkan pada sesuatu setelah kematian dengan cara syar'i.

Istilah-istilah dalam Wasiat :


- Al-washi (‫ )الواصي‬atau al-mushi (‫ = )الموصي‬pemberi wasiat/pewasiat
- Al-Musho bihi (‫ = )الموصى به‬perkara/benda yang dijadikan wasiat.
- Al-Musho lahu (‫ = )الموصى له‬penerima wasiat (orang atau sesuatu)
- Al-musho ilaih (‫ = )الموصى إليه‬orang yang menyampaikan wasiat.
- Wasiat (‫ = )الوصية‬perilaku/transaksi wasiat

Wasiat dalam pengertian ilmu fiqh (hukum Islam) adalah sbb :


1) Menurut al Ibyani, wasiat adalah sistem kepemilikan yang disandarkan kepada
keadaan sesudah matinya orang yang berwasiat secara sukarela, dapat berupa
benda atau manfaatnya.
2) Menurut Sayid Sabiq, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik
berupa benda, hutang atau manfaat dengan syarat orang yang menerima wasiat itu
memiliki kemampuan menerima hibbah setelah matinya orang yang berwasiat.
3) Menurut Ibnu Rusyd, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain

3
mengenai hartanya atau kepada beberapa oang yang kepemilikannya terjadi
setelah matinya orang yang berwasiat.
4) Menurut Muhammad Sarbini al Khatib, wasiat adalah memberikan sesuatu
dengan kemauan sendiri yang dijalankan sesudah orangnya meninggal dunia.
5) Undang-undang wasiat Mesir No. 71 tahun 1946 pasal 1 menyebutkan bahwa
wasiat itu merupakan tindakan seseorang terhadap harta peninggalannya yang
disandarkan kepada keadaan sudah mati.
6) Pada Kompilasi Hukum Islam bab 1 Ketentuan Umum Pasal 171 butir f wasiat
adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang
akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Jadi dapat disimpulkan bahwa ;


Wasiat adalah “pesan seseorang ketika masih hidup agar harta bendanya
diberikan kepada orang lain atau lembaga, dan harus dilaksanakan setelah
pemberi wasiat meninggal dunia.”

Dari pengertian-pengertian di atas tersebut perlu diketahui bahwa ada


hikmah tersendiri apabila melakukan wasiat, yaitu :
1. Dengan wasiat dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Wasiat dapat menambah kebaikan pewasiat.
3. Dengan melakukan wasiat dapat menutup kekurangan orang yang
membutuhkan dan dapat meringankan beban orang-orang yang lemah.

II. DASAR HUKUM WASIAT

Ada beberapa dalil yang menjadi dasar hukum wasiat, diantaranya:


1. Q.S. Al-Baqarah ayat 180

ِ ‫ك َخ ي ْ ًر ا الْ َو‬
ُ ‫ص ي َّة‬ َ ‫إ ِ ْن ت َ َر‬ ‫ت‬ُ ‫ض َر أ َ َح دَ كُ ُم الْ َم ْو‬
َ ‫ع ل َ ي ْ كُ ْم إ ِ َذ ا َح‬
َ ‫ب‬ َ ِ ‫كُ ت‬
٠ ‫ين‬َ ِ ‫َع ل َى ال ْ ُم ت َّق‬ ‫ف ۖ َح ق ًا‬ِ ‫ين ب ِال ْ َم ْع ُر و‬
َ ِ ‫اْل َ ق ْ َر ب‬
ْ ‫ل ِل ْ َو ا ل ِدَ ي ْ ِن َو‬

4
Artinya : “Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedaatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu
bapak dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertaqwa.”

2. QS An-Nisa' ayat 11

٠٠٠٠ ۖ ‫َّللا ُ ف ِ ي أ َ ْو ََل دِ كُ ْم‬


‫ص ي كُ ُم ه‬
ِ ‫ي ُو‬

“Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anakmu…”

3. QS Al-Maidah ayat 106

‫ض َر أ َ َح دَ كُ ُم‬
َ ‫ش ه َ ا دَ ة ُ ب َي ْ ن ِكُ ْم إ ِ َذ ا َح‬ َ ‫ي َ ا أ َي ُّ ه َ ا ا ل ه ِذ‬
َ ‫ين آ َم ن ُوا‬
ْ‫ع ْد ٍل ِم ن ْ كُ ْم أ َ ْو آ َخ َر ا ِن ِم ن‬ َ ‫ص ي هةِ ا ث ْ ن َ ا ِن َذ َو ا‬ ِ ‫ين ا لْ َو‬ َ ‫ت ِح‬ ُ ‫ا ل ْ َم ْو‬
ُ ‫ص ي ب َة‬ َ َ ‫ض َر ب ْ ت ُ ْم ف ِي ْاْل َ ْر ضِ ف َ أ‬
ِ ‫ص ا ب َت ْ كُ ْم ُم‬ َ ‫غ ي ْ رِ كُ ْم إ ِ نْ أ َن ْ ت ُ ْم‬
َ
٠٠٠٠ۚ ِ‫ا ل ْ َم ْو ت‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh
dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan
kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya
kematian…”

4. QS As-Syura ayat 13

‫ص ىٰ ب ِهِ ن ُو ًح ا َو ا ل ه ِذ ي أ َ ْو َح ي ْ ن َا إ ِ ل َيْ َك َو َم ا‬
‫ع ل َكُ ْم ِم َن ال دِّي ِن َم ا َو ه‬
َ ‫شَ َر‬
٠٠٠٠ۖ ٰ‫ص ي ْ ن َا ب ِهِ إ ِب ْ َر ا هِ ي َم َو ُم و سَ ىٰ َو ِع ي سَ ى‬‫َو ه‬

5
Artinya : “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa…”

5. Hadits Riwayat (HR) Bukhari dan Muslim

ِ ‫وصي فِي ِه َيبِيتُ لَ ْيلَتَ ْي ِن إِ هَل َو َو‬


‫صيهتُهُ َم ْكتُوبَة‬ ِ ُ‫سلِ ٍم لَهُ ش َْيء ي‬
ْ ‫ئ ُم‬
ٍ ‫ق ا ْم ِر‬
ُّ ‫َما َح‬
ُ‫ِع ْن َده‬

Artinya: “Tidaklah seseorang mewasiatkan suatu hak untuk seorang muslim, lalu
wasiatnya belum ditunaikan hingga dua malam, kecuali wasiatnya itu diwajibkan di
sisinya”

6. HR Bukhari dan Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqash

ُ ُ‫ط ُر قَا َل ََل قُ ْلتُ الثُّل‬


‫ث قَا َل‬ ْ ‫ش‬
‫وصي بِ َمالِي ُكلِّ ِه قَا َل ََل قُ ْلتُ فَال ه‬ ِ ُ ‫َّللاِ أ‬
‫سو َل ه‬ ُ ‫قُ ْلتُ يَا َر‬
ً‫ث َكثِير إِنهكَ أَنْ تَ َد َع َو َرثَتَكَ أَ ْغنِيَا َء َخ ْير ِمنْ أَنْ تَ َد َع ُه ْم َعالَة‬ُ ُ‫ث َوالثُّل‬ُ ُ‫فَالثُّل‬
‫اس فِي أَ ْي ِدي ِه ْم‬ َ ُ‫يَتَ َكفهف‬
َ ‫ون النه‬

Artinya: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan
seluruh hartaku (kepada putrid tunggalku, pent.)”. Beliau bersabda, “Tidak boleh”.
Aku berkata, “Kalau setengahnya?” Beliau bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata,
“Kalau sepertiganya?” Beliau bersabda: “Ia sepertiganya dan sepertiga itu sudah
banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu
mengemis kepada manusia dengan menengadahkan tangan-tangan mereka.

7. Hukum wasiat adalah sunnah muakkad menurut ijmak ulama (kesepakatan ulama)

6
 HUKUM-HUKUM WASIAT :

Melaksanakan wasiat itu wajib bagi Al musho, dan berdosa jika tidak
menyampaikan wasiat itu. Sedangkan hukum wasiat bagi pewasiat (Al washi) ada 5
(Lima), yaitu Wajib, Sunnah, Makruh, Haram, dan Mubah :
1) Wasiat Wajib
Wajib apabila manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan
akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada
Allah dan hutang kepada manusia.
Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang
belum dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai
hutang yang tidak diketahui selain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak
dipersaksikan.
2) Wasiat Sunah
Wasiat adalah Sunnah mu'akkad menurut ijmak (kesepakatan) ulama.
Walaupun bersedekah pada waktu hidup itu lebih utama. Dan apabila
diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang
saleh..
3) Wasiat Makruh
Makruh apabila orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia
mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Dan
wasiat kepada orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa mereka
akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan kerusakan.
4) Wasiat Haram
(a) Wasiat yang lebih dari 1/3 (sepertiga) bagian harta
(b) Wasiat kepada ahli waris, kecuali disepakati ahli waris yang lain
(c) Jika wasiat itu akan merugikan ahli waris
5) Wasiat Mubah
Wasiat hukumnya mubah apabila ia ditujukan kepada orang yang kaya,
baik orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat). Menurut
Imam Rafi'i mubahnya wasiat karena bukan transaksi ibadah.

7
III. RUKUN DAN SYARAT WASIAT

Rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi.Rukun wasiat adalah orang yang
berwasiat (musi), orang yang menerima wasiat (muso lagu), sesuatu (benda) yang
diwasiatkan (muso bihi), dan sighat (akad). Rukun dan syarat wasiat akan
dijabarkan sebagai berikut:

Rukun Wasiat ada 4 (empat) yaitu:


(a) Harta yang diwasiatkan (musho bih)
(b) Pewasiat (Al-Mushi)
(c) Penerima wasiat (musho lah)
(d) Penerima amanah yg menyampaikan wasiat (musho ilaih) dg sighat/akad

Adapun syarat dari keempat unsur di atas adalah sbb:

a) Syarat Harta yang diWasiatkan (Musho bih)


1. Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga) harta. Apabila lebih, maka
untuk kelebihan dari 1/3 harus atas seijin ahli waris.
2. Wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas seijin
ahli waris lain.
3. Boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada, seperi wasiat
buah dari pohon yang belum berbuah
4. Boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui, seperti
susu dalam perut sapi
5. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

b) Syarat Pewasiat / Pemberi Wasiat (Al-Washi)


1. Aqil baligh
2. Berakal sehat
3. Atas kemauan sendiri
4. Harta yang diwasiatkan adalah milik sendiri

8
Syarat orang yang berwasiat ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
pasal 194 yaitu:
a) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan
tanpa adanya paksaan dapaat mewasiatkan sebagian harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga.
b) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
c) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1)

c) Syarat Penerima Wasiat (Al-Musho Lah)

Penerima wasiat ada dua macam;


1. Wasiat umum : tidak boleh untuk hal-hal yang menimbulkan dosa.
seperti wasiat pembangunan masjid diperbolehkan, sedangkan wasiat
untuk membangun diskotik dilarang.
2. Wasiat khusus yaitu wasiat kepada orang/benda tertentu.
Syaratnya adalah sbb:
(a) Penerima wasiat hidup (orang mati tidak bisa menerima wasiat)
(b) Penerima wasiat diketahui (jelas identitas orangnya)
(c) Penerima wasiat telah ada ketika wasiat dinyatakan
(d) Penerima wasiat tidak membunuh pewasiat
(e) Penerima wasiat menerima (qabul) pemberian wasiat dari pewasiat

Terdapat beberapa kelompok penerima wasiat, yaitu:

1. Ibu-bapak seperti ibu-bapak angkat, ibu bapak yang dalam


pemeliharaan panti asuhan, ibu-bapak yang sakit keras sangat
membutuhkan biaya perawatan, dan lain sebagainya.

2. Para keluarga yang tidak berhak mendapat warisan.

3. Lembaga seperti lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang sosial


kemasyarakatan (KHI Pasal 194 ayat 1).
4. Para keluarga dalam hubungan keagamaan seperti para fakir dan
miskin.
5. Ahli waris yang memperoleh persetujuan para ahli waris (KHI pasal
195 ayat 3).

9
IV. PEMBATALAN WASIAT

Suatu wasiat akan menjadi batal dan tidak dapat dilaksanakan, apabila:
a) Orang yang berwasiat menarik wasiatnya

b) Orang yang berwasiat kehilangan kecakapan melakukan tindakan hukum karena


gila atau rusak akal;
c) Orang yang berwasiat ketika meninggal dunia menanggung hutang yang
menghabiskan harta peninggalannya;
d) Orang yang menerima wasiat meninggal sebelum orang yang berwasiat;
e) Orang yang menerima wasiat membunuh orang yang berwasiat;

f) Orang yang menerima wasiat menolak wasiat;

g) Harta yang diwasiatkan binasa;

h) Harta yang diwasiatan diputus hakim menjadi hak orang lain;

i) Harta yang diwasiatkan keluar dari milik orang yang berwasiat sebelum mati,
meskipun akhirnya harta tersebut kembali menjadi miliknya lagi;

j) Harta yang diwasiatkan mengalami perubahan bentuk dan;

k) Habis waktu wasiatnya.

Setelah kita lihat bahwa wasiat itu merupakan pemindahan kepemilikan harta
peninggalan. Namun disini wasiat bisa dibatalkan karena ada beberapa hal yaitu
apabila si penerima wasiat itu meninggal terlebih dahulu maka wasiat itu batal karena
yang diberi wasiat sudah tidak ada. Bisa juga karena harta yang diwasiatkan itu habis
karena oleh suatu hal sehingga tidak ada harta yang bisa diwasiatkan. Wasiat juga
bisa batal dikarenakan karena sipenerima wasiat itu sudah tidak memiliki kecakapan
dalam mengurus wasiat. Jika si penerima wasiat itu membunuh si pemberi wasiat
maka wasiat itu batal karena sipenerima sudah melakukan hal yang tidak baik maka
sipenerima wasiat itu tidak pantas untuk menerima wasiatnya dan hal tersebut
menjadi batalnya pemberian wasiat.
Suatu wasiat itu terkadang tidak selalu dengan harta namun bisa juga dengan
pemanfaatan suatu benda, sehingga apabila pemanfaatan benda tersebut sudah habis
maka wasiat itu telah habis masa waktunya.

10
B. WASIAT WAJIBAH

I. PENGERTIAN WASIAT WAJIBAH

Wasiat wajibah adalah “suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau
kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena
adanya suatu halangan syara’. Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum
Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya
tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang
meninggal dunia.
Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas
kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka
tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham
atau terhijab oleh ahli waris lain.

Dapat disimpulkan bahwa wasiat wajibah merupakan suatu ijtihad dari para ulama
yang pelaksanaannya dilakukan oleh hakim kepada orang yang telah meninggal dunia tapi
belum melakukan wasiat untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dan dalam
keadaan tertentu pula dengan batas maksimal pemberian harta adalah sepertiga karena
batasan pemberian wasiat wajibah sama dengan batasan pemberian wasiat yaitu tidak
boleh melebihi sepertiga dari harta peniggalan orang yang meninggal dunia.

Jadi Wasiat Wajibah “adalah suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga
yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia, tetapi tidak
melakukan wasiat secara sukarela agar diambil hak atau benda peninggalannya untuk
diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.”
Suparno Usman mendefinisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak
dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Pelaksanaannya
tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut telah diucapkan atau dituliskan, tapi
pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut
harus dilaksanakan.

11
II. DASAR HUKUM WASIAT WAJIBAH

Dalam fiqh Islam, wasiat wajibah didasarkan pada suatu pemikiran akal, yaitu
untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang yang dekat dengan pewaris tetapi
secara hukum Islam dia tidak memperoleh bagian karena terhalang mewarisi dengan
syarat tidak memberikan kerugian bagi ahli waris sendiri.
Selain anak angkat atau orang tua angkat, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy
menambahkan bahwa orang yang berhak mendapatkan wasiat wajibah adalah cucu
yaitu anak laki-laki atau anak perempuan dari garis keturunan laki-laki maupun
perempuan yang orang tuanya meninggal dunia terlebih dahulu atau bersama-sama
dengan kakeknya. Menurut Fatchur Rahman, cucu mendapatkan wasiat wajibah karena
orang tuanya meninggal dunia terlebih dahulu sebesar bagian yang diterima oleh
ayahnya apabila ayahnya mesih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga
bagian harta peninggalan, tapi dengan syarat sebagai berikut :
a. Cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima pusaka
b. Si mayit (ayahnya) tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang
telah ditentukan padanya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam :

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang
tua angkat terbina hubungan saling berwasiat.

Dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi :

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan 193
tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat
wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan anak
angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Dari pasal tersebut, jelas bahwa wasiat wajibah hanya terbatas dengan anak
angkat dan orang tua angkat, dan pemberian wasiat wajibah terhadap anak angkat pun
hanya sebanyak 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya tidak boleh lebih dari itu.
Kompilasi Hukum Islam menetapkan dengan adanya seperti itu yaitu dengan

12
mengkompromikan antara hukum Islam dan hukum adat.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 185 menjelaskan bahwa bagian cucu tidak boleh
melebihi bagian ahli waris yang digantikannya. Pasal tersebut berbunyi :
(1) Ahli waris yang meninggal terlebih dahulu daripada si pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut
dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.

Peraturan khusus mengenai wasiat wajibah belum diatur secara terperinci di


Indonesia, sedangkan di Negara Mesir, undang-undang wasiat wajibah telah diatur
yaitu dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 79 Undang-undang Nomor 71 Tahun 1356
H/ 1946 M di Mesir. Undang-undang tersebut mengandung peraturan hukum sebagai
berikut :
a. Apabila pewaris tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak laki-lakinya yang
telah meninggal dunia terlebih dahulu, atau meninggal secara bersamaan, maka
cucu dari anak laki-laki tersebut wajib mendapatkan wasiat wajibah dari harta
warisan pewaris sebesar bagian anak laki-laki pewaris tersebut, tapi tidak boleh
melebihi sepertiga harta warisan , dengan syarat cucu tersebut bukan ahli waris
dan belum ada bagian untuknya melalui jalan lain atau hibah. Bila hibah tersebut
lebih sedikit dari bagian wasiat wajibah, maka harus ditambahkan dengan
kekurangannya.
b. Wasiat demikian diberikan kepada golongan tingkat pertama dari anak laki- laki,
dari anak perempuan, dan kepada anak laki-laki dari garis laki-laki dan seterusnya
ke bawah; dengan syarat setiap orang tua meng-hijab anaknya.

c. Apabila pewaris mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dengan wasiat
yang melebihi bagiannya, maka kelebihan wasiat itu merupakan ikhtiyarah. Dan
bila dia mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang kurang dari bagiannya,
maka wajib disempurnakan.
d. Wasiat wajibah itu didahulukan atas wasiat-wasiat yang lain. Bila pewaris tidak
mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dan dia mewasiatkan kepada
orang lain, maka orang yang wajib diberikan wasiat tersebut adalah mengambil

13
kadar bagiannya.

Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah, berpendapat bahwa
wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun
kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan, sehingga pemberian wasiat
wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat
diterapkan dan dilaksanakan.

III. SYARAT WASIAT WAJIBAH

Wasiat wajibah harus memenuhi dua syarat antara lain yang pertama yaitu yang wajib
menerima wasiat yaitu bukan waris dan yang kedua yaitu orang yang meninggal, baik
kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah
yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, misalnya seperti hibah.
Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :

1. Yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima pusaka
walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
2. Orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak
yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti
hibah umpamanya.
Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak akan memperoleh hak
kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam orang tua angkat
secara serta merta dianggap telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat
wajibah) maksimal sebanyak 1/3 dari harta yang ditinggalkan untuk anak angkatnya, atau
sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya, dimana harta tersebut dalam sistem
pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan pembagian warisan kepada para ahli
warisnya, maka wasiat wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu.

14
C. HIBAH

I. PENGERTIAN HIBAH

Kata Hibah berasal dari bahasa Arab ( ‫ة‬ѧ‫ ( هب‬kata ini merupakan mashdar dari
kata ( ‫ب‬ѧ‫ ( وه‬yang berarti pemberian. Apabila seseorang memberikan harta miliknya
kepada orang lain secara suka rela tanpa pengharapan balasan apapun, hal ini dapat
diartikan bahwa si pemberi telah menghibahkan miliknya. Karena itu kata hibah sama
artinya dengan pemberian. Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa pihak
penghibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan, hibah
merupakan salah satu bentuk pemindahan hak milik jika dikaitkan dengan perbuatan
hukum.

Adapun hibah dengan maknanya yang umum, meliputi hal-hal berikut:


a. Ibraa' yaitu : menghibahkan hutang kepada orang lain yang berhutang.
b. Sedekah yaitu : menghibahkan atau memberikan sesuatu dengan tidak ada
tukarannya karena mengharapkan pahala di akhirat.
c. Hadiah yaitu : memberikan sesuatu dengan tidak ada tukarannya serta dibawah
ketempat yang diberi karena hendak memulyakannya.

II. DASAR HUKUM HIBAH

Alloh dan Rosululloh telah memerintahkan kepada manusia untuk saling


mengasihi, salah satu caranya dengan memberikan hibah secara suka rela. Dasar
hukum disyariatkannya hibah, diantaranya ;

1. Q.S Al Baqoroh ayat 177

‫ِين‬
َ ‫يل َوالسَّا ِئل‬ َ ‫َوآ َتى ْال َما َل َعلَ ٰى حُ ِّب ِه َذ ِوي ْالقُرْ َب ٰى َو ْال َي َتا َم ٰى َو ْال َم َساك‬
ِ ‫ِين َواب َْن الس َِّب‬
‫ب‬ِ ‫َوفِي الرِّ َقا‬
Artinya;"Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir, (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya"

15
2. Q.S An Nisa’ ayat 4

ُ ‫س ا فَ ُك ل ُو ه‬ َ ْ‫ص ُد قَ ا ت ِ ِه نَّ ن ِْح ل َ ًة ۚ فَ إ ِ نْ ِط ْب نَ لَ ُك ْم َع ن‬


ً ‫ش ْي ٍء ِم ْن هُ َن ْف‬ َ ‫س ا َء‬ َ ِّ‫َو آ تُ وا ال ن‬
‫َه ن ِي ًئ ا َم ِر ي ًئ ا‬

Artinya;”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. “

3. H.R. Al Bukhari

‫ َك َن َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم يَقْبَ ُل‬: ‫َو َع ْن َعائشة رضي هللا عنها قالت‬
‫ رواه ْالب ُخاري‬.‫ْالهَ ِديَّةَ َويُثِبُ َعلَ ْيهَا‬
Artinya:”Dan diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: “Rasulullah Saw. selalu menerima
hadiah dan membalasnya.”

4. H.R. Abu Hurairah & Al Malik


. ‫تصافحوا يذهب الغ ّل وتها دوا وتحا بّوا‬
Artinya: “Hendaklah kalian saling berjabat tangan, niscaya perasaan tidak senang
hilang dari kalian. Dan hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian saling
mencintai.”

III. RUKUN & SYARAT HIBAH

Rukun Hibah ada 4, yaitu :

1. Wahib : Orang yang menghibahkan harta bendanya


2. Mauhub Lahu : Orang yang menerima hibah
3. Mauhub : Benda yang dihibahkan
4. Sighat :Akad ijab qobul antara pemberi dan penerima hibah

16
Syarat-Syarat Hibah, yaitu:

a) Wahib
Wahid adalah pemberi hibah yang menghibahkan barang miliknya. Wahib
disyaratkan :
1. Memiliki sesuatu untuk dihibahkan
2. Cukup dalam membelanjakan harta, yakni baliq dan berakal
3. Memberi atas dasar kemauan sendiri
4. Baligh dan dibenarkan melakukan tindakan hukum

b) Mauhub Lahu

Mauhud Lahu adalah penerima hibah, disyaratkan sudah wujud ketika akad hibah
dilakukan. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti
janin yang masih dalam kandungan ibunya, maka ia tidak sah dilakukan hibah
kepadanya. Atau ada orang yang memberi hibah kepada orang yang masih gila, maka
hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharaannya, atau orang yang mendidiknya,
sekalipun dia bukan keluarganya atau orang asing.

c) Mauhub

Mauhub adalah adalah barang yang dihibahkan dan syaratnya sebagai berikut :

1. Milik sempurna wahib


2. Memilki nilai atau harga
3. Sudah ada ketika akad hibah dilakukan
4. Telah dipisahkan dari harta milik penghibah
5. Berupa barang yang boleh dimilki menurut agama
6. Dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah ke
penerima hibah

d) Sighat (Ijab qobul)

Sighat (ijab qabul) adalah kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang
melaksanakan hibah yaitu penghibah dan penerima hibah, yang menunjukkan
pemindahan hak milik dari seseorang (yang menghibahkan) kepada orang lain
(yang menerima hibah). Ijab Qabul adalah penyerahan, misalnya si penerima
17
menyatakan " Saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu" lalu si penerima
menjawab :"Ya, saya terima pemberian saudara"

IV. BENTUK-BENTUK HIBAH

Hibah dilihat dari bentuknya dapat dibedakan menjadi 4 (empat) macam, yaitu:

1) Hibah ‘Umra dan Ruqbah

‘Umra secara bahasa berarti umur dan ruqbah artinya mengawasi.

Bangsa Arab dahulu melakukannya di masa Jahiliyyah (yaitu) memberikan rumah


kepada seseorang seraya berkata kepadanya, “Aku membolehkanmu untuk mendiami
rumahku sepanjang umurmu.” Maka, dikatakan ‘umra karena sebab ini. Demikian
pula dikatakan dengan ruqba karena setiap dari keduanya saling mengawasi kapan
yang lainnya meninggal sehingga rumah itu kembali kepadanya.

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda:

‫الع ُْم َرى َجا ِئزَ ةٌ ِل َم ْن أُ ْع ِم َرهَا َوالر ْق َبى َجا ِئزَ ةٌ ِل َم ْن أُرْ ِق َب َها‬.
ْ

“Umra itu boleh bagi orang yang diberinya dan ruqba itu boleh bagi yang diberinya.”

2) Hibah Al-Musya (dibagi-bagi)

Hibah dalam bentuk ini adalah hibah yang terjadi saat seseorang memiliki bagian

harta yang tidak pasti, baik ukuran maupun jumlahnya, kemudian menghibahkannya

kepada orang lain atau orang tersebut memiliki sesuatu yang kemudian

menghibahkannya kepada dua orang atau lebih.

Keabsahan hibah dalam bentuk al-Musya, terdapat beberapa pendapat di antara

para ulama, di antaranya:

a. Menurut ulama Mazhab Syafi’i, hibah semacam ini sah dan dibolehkan, karena
18
sahnya transaksi jual-beli al-musya berdasarkan ijma’ para ulama bahwa
penguasaan barang hibah terjadi jika penerima hibah menerima barang hibah
tersebut, meskipun menghibahkan satu barang kepada banyak orang. Di samping
itu, tujuan hibah adalah penyerahan

kepemilikan dan kepemilikan dapat terwujud dalam hibah al- musyasebagaimana


halnya kepemilikan pada hibah kepada orang tertentu yang dipilih dan barang-
barang yang dibagi tersebut pun sah untuk diperjualbelikan. Dasar hukum yang
digunakan adalah hadis berikut ini:
Artinya: “Dari Umair bin Salamah Al-Dlumairi dari Zaid bin Ka’b Al- Bahzi ra.
bahwa Rasulullah SAW keluar untuk pergi ke Mekkah dalam keadaan
ihram. Ketika sampai di Al-Rauha’, tiba-tiba datang seekor Keledai liar
buruan. Ia beritahukan hal itu kepada Rasulullah SAW. Kemudian
beliau bersabda, “Biarkanlah Keledai itu, karena ia hampir menemui
pemiliknya.” Al-Bahzi, pemilik Keledai itu datang menemui Nabi
SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya berikan Keledai ini kepada
kalian.” Kemudian, beliau menyuruh Abu Bakar membagikannya
kepada para sahabatnya.” (HR. Imam Malik dan Al-Nasa’i).

b. Abu Hanifah berpendapat bahwa tersebarnya kepemilikan bagi orang banyak


(syuyu’) yang terjadi ketika pengambilan barang akan menghalangi sahnya hibah.
Namun, jika terjadi pada saat akad saja, maka tidak mengakibatkan batal. Hibah
seseorang kepada dua orang adalah menyerahkan kepemilikan setengah harta
hibah tersebut kepada masing- masing pihak. Oleh karena itu, kepemilikan bagi
banyak orang (syuyu’) terjadi pada akad yang sama dan inilah yang disebut
dengan hibah dalam bentuk al-musya
.
3) Hibah Iwadh

Hibah dalam bentuk ini adalah memberikan kepada orang lain yang bertujuan
untuk mengharapkan imbalan atau pengganti atas sesuatu yang dihibahkan kepadanya.
Menurut ulama Mazhab Hanafiah, jika orang yang diberi memberi hibah balasan dan
ia menerimanya, maka pemberi hibah tidak boleh mengambil kembali barang
hibahnya.
Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW yang bersabda, “Orang yang memberi hibah
19
paling berhak atas harta yang dihibahkannya selama ia belum dibalas atas hibahnya
tersebut.”
Kata “belum dibalas” dalam hadis ini bermakan belum diberi ganti rugi atas
hibahnya. Dipersyaratkan agar pemberian gantinya diserahkan dengan kalimat yang
menunjukkan perbandingannya untuk hibah, karena jika tidak dikatakan sebagai
pengganti, maka barang yang diberikan merupakan hibah baru yang memerlukan
adanya akad sebagai bagian dari syarat sahnya hibah.

4) Hibah Bersyarat (Manfaat)

Hibah bersyarat adalah hibah yang dihubungkan dengan suatu persyaratan. Misalnya,
syarat pembatasan penggunaan barang oleh pihak penghibah kepada penerima hibah,
maka syarat yang disebutkan dalam hibah tersebut tidak sah, meskipun hibahnya itu
sendiri sah, hal ini disamakan dengan ariyah (pinjaman).
Menurut bahasa ariyah mempunyai arti memberi manfaat tanpa imbalan.
Sedangakan ariyah (meminjami) menurut syara’adalah memberi manfaat dari sesuatu
yang halal dimanfaatkan kepada orang lain, dengan tidak merusak dzatnya,
agar dzat barang itu nantinya bisa dikembalikan lagi kepada yang empunya.

V. PEMBATALAN HIBAH

Dalam proses pembatalan/pencabutan hibah, maka jumhur ulama berpendapat bahwa


mencabut hibah itu adalah hukumnya haram, kecuali hibah orang tua terhadap anaknya,
sesuai dengan sabda nabi :

‫ب ِهبَةً فَيَرْ ِج ُع فِ ْيهَا إِالَّ ْال َوالِ ِدفِ ْي َماي ُ ْع ِطىلِ َولَ ِد ِه‬
َ َ‫ْطى َع ِطيَّةًأَ ْويَه‬
ِ ‫الَيَ ِحل لِ َرجُل ُم ْسلِم أَ ْن يُع‬
Artinya:"Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang atau menghibahkannya
kemudian ia tarik kembali, kecuali (pemberian atau hibah ) seorang bapak kepada
anaknya". (H.R.Abu Daud)

Hibah yang dapat dicabut diantaranya, karena :

 Hibahnya orang tua terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu
demi menjaga kemaslahatan anaknya

20
 Bila dirasa ada unsur ketidakadilan diantara anak-anaknya yang menerima hibah
 Apabila dengan adanya hibah itu, ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah
dari fihak lain

Dihadits lain dikatakan telah dijelaskan bahwa menarik hibah itu termasuk perbuatan
tercela ;

َ ِ‫ أَ َّن َرس ُْو َل هللا‬: ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َما‬


: ‫صلَّى هللاُ َعلَي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬ ِ ‫َع ْن اِ ْب ِن َعبَّا س َر‬
‫ْال َعا ئِ ُد فِي ِهبَتِ ِه َكا ْل َعائِ ِدفِي قَ ْيئِ ِه‬

“Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ‘Orang yang
menarik kembali hibahnya seperti orang yang menjilat kembali muntahannya.’ (H.R.
Bukhari Muslim)

21
D. PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

I. PENGERTIAN HARTA BERSAMA

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia harta bersama atau harta gono- gini secara
hukum artinya adalah harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga
menjadi hak berdua suami istri. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang
dimaksud harta bersama atau harta gono- gini adalah harta perolehan bersama selama
bersuami istri.
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan harta bersama
adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa terbentuknya harta
bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan
tersebut putus karena perceraian atau karena mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-
masing suami atau isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun dalam


pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1985 maupun pasal85 KHI, terhadap harta
suami istri yang berada dalam masa ikatan perkawinan telah diberi nama “Harta
bersama”. Dalam masyarakat Aceh dikenal dengan “Harta seharkat”. Dalam masyarakat
Melayu dikenal dengan nama ”Harta serikat”, Di Minangkabau harta bersama
dinamakan Harta-Suarang, di Kalimantan disebut barang perpantangan, di Sulawesi
Selatan (Makasar dan Bugis) cakkara, di Jawa Tengah dan Timur harta gono gini, di
Jawa Barat guna-kaya atau campur-kaya.” Dan dalam masyarakat Jawa-Madura dikenal
dengan “Harta gono-gini”. Sampai sekarang penggunaan nama-nama tersebut masih
mewarnai praktek peradilan.

Sejak perkawinan dimulai, dengan sendirinya terjadi suatu percampuran antara


kekayaan suami dan kekayaan istri. Hal ini merupakan ketentuan umum apabila tidak
diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan demikian berlangsung seterusnya dan tidak dapat
diubah lagi selama perkawinan berlangsung. Jika seseorang ingin menyimpang dari
ketentuan tersebut maka ia harus melakukan perjanjian perkawinan.

22
Harta bersama meliputi:
a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;

b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan apabila tidak ditentukan
demikian;

c. Utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta
pribadi masing-masing suami-istri.

Tidak hanya dalam penyebutan harta bersama yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah yang lainnya namun juga mengenai tata cara pembagiannya, meski
demikian secara garis besar dalam hukum adat pembagian harta bersama adalah masing-
masing suami atau istri mendapatkan sebagian dari harta bersama.

Beberapa daerah di Jawa Tengah memiliki kebiasaan pembagian harta bersama


yaitu suami mendapatkan dua pertiga dan istri mendapat sepertiga. Azas pembagian
tersebut di Jawa Tengah disebut azas “sakgendong-sakpikul”. Tata cara pembagian
seperti ini juga dikenal di pulau Bali berdasarkan azas “susuhun-sarembat”. Begitu juga
di kepulauan Bagai, terdapat azas dua-pertiga dan sepertiga tersebut.

Berawal dari hukum adat inilah kemudian permasalahan harta bersama di adopsi
pemerintah menjadi hukum positif sebagai upaya unifikasi hukum untuk mengatasi
konflik yang mungkin muncul di tengah masyarakat.

II. DASAR HUKUM HARTA BERSAMA

Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan


antara suami dan istri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat-
istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian
didukung oleh Hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di negara kita.
Dasar hukum tentang harta bersama diantaranya:
a. Q.S An Nisa’ ayat 20-21
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu
telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak,
maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
23
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta
dan dengan (menanggung) doa yang nyata?. Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
b. Q.S. Al Baqarah ayat 237
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.”
c. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat (1), disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta benda yang
diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang
diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta
bersama.
d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 119, disebutkan bahwa “Sejak
saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta
bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-
ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama
perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu
persetujuan antara suami istri”
e. Kompilasi Hukum Islam pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta
bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami istri”.

III. PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

Apakah Semua Harta yang Diperoleh Selama Perkawinan Menjadi Harta


Gono-gini? Hal pertama yang penting untuk diperhatikan ialah Perjanjian
Perkawinan. Saat mengurus pembagian harta, Anda harus melihat apakah terdapat
perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta benda antara suami dan istri.
Apabila pasangan suami dan isteri memiliki perjanjian perkawinan yang
menyatakan memisahkan harta benda mereka, maka tidak ada yang namanya harta

24
bersama. Ketika perceraian terjadi, masing-masing suami atau istri tersebut hanya
akan membawa harta yang terdaftar atas nama mereka.

Sebaliknya, apabila tidak ada perjanjian perkawinan, maka pengaturan


mengenai harta bersama mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku. Ketentuan
Pembagian Harta Gono-gini Di Indonesia, ketentuan pembagian harta gono-gini
baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam
adalah dibagi ½ dari seluruh harta gono-gini antara suami dan istri. Namun, pada
prakteknya hakim tidak selalu membaginya dengan aturan tersebut. Pembagian
juga harus memperhatikan keadaan suami dan istri.

Misalnya, harta tersebut kebanyakan diperoleh dari hasil kerja keras istri
dan perceraian terjadi karena KDRT yang dilakukan oleh suami. Maka hakim dapat
saja memutus pembagian yang lebih adil terhadap istri. Perlu diingat bahwa putusan
perceraian tidak secara otomatis memutuskan atau menetapkan mengenai
pembagian harta gono-gini dalam perkawinan.

Pengajuan pembagian harta gono-gini dapat diajukan sesudah putusan


perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Bagi pasangan suami istri yang
perkawinannya dicatatkan ke kantor catatan sipil maka gugatannya diajukan ke
Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat. Sedangkan bagi yang perkawinannya
dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA), maka permohonan/gugatan diajukan
ke Pengadilan Agama tempat tinggal istri.

Pembagian harta gono-gini juga dapat dilakukan dengan cara membuat


perjanjian kesepakatan bersama antara suami dan istri
yang dibuat di hadapan Notaris. Notaris akan membantu perhitungan seluruh aset
dalam perkawinan meliputi proses-proses yang perlu dilakukan jika ada
pemindahan aset dan lain sebagainya. Apabila tidak ada putusan atau penetapan
mengenai pembagian harta gono gini, maka setiap perbuatan hukum terhadap harta
benda yang terdaftar atas nama salah satu pihak, harus mendapatkan persetujuan
dari mantan suami/istri.

Bila diajukan ke pengadilan agama bisa serempak dengan pengajuan


gugatan perceraian (kumulatif) atau dapat pula digugat tersendiri setelah putus
perceraian baik secara langsung oleh yang bersangkutan maupun memakai jasa
pengacara. Pemeriksaan pembagian harta bersama dalam hal yang kumulatif
25
dilakukan setelah pemeriksaan gugatan cerai. Apabila gugatan cerainya ditolak,
maka pembagian harta bersamanya juga ditolak. Karena pembagian harta bersama
tersebut menginduk pada gugatan cerai. Kecuali kalau meminta pemisahan harta
bersama, karena salah satu pihak dikuatirkan atau bahkan terbukti menghilangkan
harta bersama dengan permohonan tersendiri melalui gugatan harta bersama.
Pada pembagian harta bersama menurut KHI berdasarkan pada Pasal 97
harta bersama setelah perceraian dibagi rata, masing-masing ½ bagian antara suami
dan isteri sama. Sementara itu, menurut KUHPerdata pembagian dapat dilakukan
atas bukti-bukti yang diajukan oleh penggungat dan tergugat. Pengajuan bukti yang
lemah memperoleh pembagian harta bersama lebih banyak, dalam kasus pengajuan
bukti yang kuat dimiliki oleh penggugat sehingga penggugat memperoleh bagian
¾ bagian dan tergugat memperoleh ¼ bagian. Dengan demikian pembagian harta
bersama menurut Pasal 128 KUHPerdata bahwa setelah bubarnya harta bersama,
kekayaan bersama dibagi dua antara suami dan isteri, tetapi dapat terjadi perubahan
pembagian sesuai bukti-bukti secara hukum dalam proses peradilan.

Sedangkan menurut Islam, pembagian harta bersama adalah sbb:

1) Istri mendapatkan seluruh mahar jika istri telah melakukan hubungan seks
dengan suaminya atau salah satu dari suami istri meninggal dunia dan mahar
telah ditentukan, Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 20-
21:

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu
telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak,
maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta
dan dengan (menanggung) doa yang nyata?. Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.(surat an-Nisa:20-21)

2) Istri mendapat separuh mahar jika ia belum melakukan hubungan seks


dengan suaminya dan mahar telah ditentukan. Allah berfirman dalam surat
al-Baqarah ayat 237:

26
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.(surat al-
Baqarah:237)

3) Istri memperoleh mut’ah jika ia belum melakukan hubungan seks dengan


suaminya dan mahar belum ditentukan, Qs Al-Baqarah 236:

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah
(pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya
dan orang yang miskin menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian

27
BAB III
PENUTUP

I. KESIMPULAN

A. WASIAT
Wasiat adalah “pesan seseorang ketika masih hidup agar harta bendanya
diberikan kepada orang lain atau lembaga, dan harus dilaksanakan setelah
pemberi wasiat meninggal dunia.”

Dasar Hukumnya terdapat pada Q.S. Albaqoroh ayat 180, Q.S. An Nisa ayat 11,
Q.S. Al Maidah ayat 106, Q.S. AsSyura ayat 13, dan beberapa hadist.

Hukum Wasiat bisa wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Tergantung pada
kondisi dan ketentuan yang meyertainya.

Rukun Wasiat ada 4 (empat) yaitu:


(a) Harta yang diwasiatkan (musho bih)
(b) Pewasiat (Al-Mushi)
(c) Penerima wasiat (musho lah)
(d) Penerima amanah yg menyampaikan wasiat (musho ilaih) dg sighat/akad
Dari keempat rukun itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

Wasiat juga bisa dibatalkan dengan berbagai sebab yang sudah dijelaskan pada bab
pembahasan.

B. WASIAT WAJIBAH

Wasiat Wajibah “adalah suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga
yang berhak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia, tetapi tidak
melakukan wasiat secara sukarela agar diambil hak atau benda peninggalannya
untuk diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.”

28
Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat :

1. Yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima pusaka
walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
2. Orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada
anak yang wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain,
seperti hibah umpamanya.

C. HIBAH
Menurut istilah agama Islam Hibah adalah itu semacam akad atau perjanjian
yang menyatakan pemindahan milik seorang kepada orang lain diwaktu ia masih
hidup tanpa mengharapkan sedikitpun balasan.

Perbedaan yang paling utama antara Wasiat dan Hibah adalah pada waktu
harta itu diberikan kepada yang menerimanya. Jika wasiat itu diberikan setelah
pemberi meninggal dunia, sedangkan hibat itu diberikan pada saat pemberi masih
hidup.

Sumber Hukum Hibah diantaranya terdapat pada Q.S Al Baqoroh ayat 177, Q.S.
An Nisa ayat 4, dan beberapa hadist.

Rukun Hibah ada 4, yaitu :

1. Wahib : Orang yang menghibahkan harta bendanya


2. Mauhub Lahu : Orang yang menerima hibah
3. Mauhub : Benda yang dihibahkan
4. Sighat :Akad ijab qobul antara pemberi dan penerima hibah

Dari keempat rukun itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

Bentuk-bentuk Hibah ada 4, yaitu ; ‘Umra & Ruqbah, Musya’, Iwadh, dan Hibah
Bersyarat.

Hibah juga bisa dibatalkan dengan berbagai sebab yang sudah dijelaskan pada bab
pembahasan.

29
D. PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
Harta Bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa
terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan
sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena mati. Definisi ini merujuk
pada Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974

Harta bersama meliputi:


a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;

b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan apabila tidak
ditentukan demikian;

c. Utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang


merupakan harta pribadi masing-masing suami-istri.

Pembagian harta bersama bisa diajukan ke pengadilan agama bersamaan pada saat
pengajuan gugatan cerai, dan umumnya dibagi1/2 bagian antar suami dan istri. Namun
akan ada pertimbangan lain jika yang mencari nafkah adalah pihak istri dan perceraian
karena terjadi KDRT terhadap istri.

II. SARAN
Selama ini masyarakat kita belum banyak yang memahami pentingnya membuat surat
wasiat sebelum meninggal, hal ini kadang sering menimbulkan perselisihan diantara
keluarga pada saat almarhum meninggal dunia. Oleh karena itu sebaiknya kita
menyiapkan surat wasiat sejak awal karena ajal datang bisa kapan saja.
Pemberian hibah juga perlu dibuat akad tertulis agar tidak terjadi sengketa dikemudian
hari jika penghibah meninggal dunia.

30
DAFTAR PUSTAKA

Kompilasi Hukum Islam

Anshori, Abdul. 2011. Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indoneisa. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Rofiq, Ahmad. 2005. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tono, Sidik. 2012. Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan. Jakarta:
Kementerian Agama RI.

2001.Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve

http://kerinci.kemenag.go.id/2014/09/06/artikel-hukum keluarga-wasiat-wajibah-dalam-khi-
dan-perspektif- fiqh/ diakses pada 20 April 2020

https://badilag.mahkamahagung.go.id/2014/02/05/suara-pembaca-badilag/suara-
pembaca/rekonstruksi-pembagian-harta-bersama-oleh-rahmat-raharjo-shi-msi-
52/diakses pada 25 April 2020

https://www.hukumonline.com/2005/06/23/klinik/detail/ulasan/cl1208/pembagian-harta-gono-
gini/ diakses pada 25 April 2020

https://tafsirq.com/diakses pada 25 April 2020

31

Anda mungkin juga menyukai