Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA:


ALASAN PEMBENAR
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen Pengampu: Nety Hermawati, SH, MA, MH

Disusun Oleh:
Kelompok 9

1. Kiki Chintya Nurkholis 1802010005


2. Dinar Ahmadiyanti 1802011006
3. Artiningsih 1802011005

Jurusan Hukum Tata Negara Islam (HTNI)


Fakultas Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO


1441 H / 2019 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, dengan ini penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Pidana yang berjudul “Alasan
Penghapusan Pidana: Alasan Pembenar” ini.
Adapun makalah ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses
pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, penulis juga ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas
kepada pembaca. Makalah ini tentunya masih banyak kekurangan, sehingga
penulis membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun. Terima
kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Metro, September 2019


Penulis,

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1
A. Latar Belakang.................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................... 3


A. Perbedaan Alasan Penghapus Pidana ................................. 3
B. Konsekuensi Perbedaan Alasan Pembenar dan Alasan
Pemaaf ................................................................................ 4
C. Pembelaan Terpaksa ........................................................... 5
D. Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang ........................ 8
E. Perintah Jabatan .................................................................. 9
F. Keadaan Terpaksa .............................................................. 11
G. Alasan Pembenar di Luar Undang-Undang ........................ 20

BAB III PENUTUP .............................................................................. 21


A. Kesimpulan ........................................................................ 21
B. Saran .................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alasan penghapus pidana merupakan keadaan khusus (yang harus
dikemukakan tetapi tidak dibuktikan oleh terdakwa) yang jika dipenuhi
menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik
telah dipenuhi dan dijatuhi pidana. KUHP tidak menjelaskan apa yang
dimaksud dengan alasan penghapus pidana dan perbedaan antara alasan
pembenar dan alasan pemaaf. KUHP hanya menyebutkan hal-hal yang dapat
menghapuskan pidana saja. Pembahasan mengenai hal tersebut berkembang
melalui doktrin dan yurispridensi.
Dalam hukum pidana seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak
pidana dapat dipidana bila memenuhi dua hal yaitu perbuatannya bersifat
melawan hukum dan Pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan yang didakwakan (adanya kesalahan pelaku) atau perbuatan
tersebut dapat dicelakan kepada pelakunya dan tidak ada alasan pemaaf.
Dalam ilmu hukum pidana, alasan hukum pidana dibedakan dalam alasan
penghapus pidana umum dan disebut dalam pasal 44, 48-51 KUHP, dan
alasan penghapus pidana khusus. Teori hukum pidana biasanya alasan-alasan
yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi alasan pembenar, alasan
Pemaaf, dan alasan Penghapus Penuntutan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pada makalah ini
akan dibahas mengenai Alasan Penghapusan Pidana: Alasan Pembenar. Untuk
lebih jelasnya mengenai hal tersebut akan dibahas di pembahasan selanjutnya
pada makalah ini.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat penulis rumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apa perbedaan alasan penghapus pidana?
2. Bagaimana konsekuensi perbedaan alasan pembenar dan alasan pemaaf?
3. Apa yang dimaksud pembelaan terpaksa dalam alasan penghapus pidana?
4. Bagaimana pelaksanakan ketentuan undang-undang mengenai alasan
penghapus pidana?
5. Apa yang dimaksud perintah jabatan dalam alasan penghapus pidana?
6. Apa yang dimaksud keadaan terpaksa dalam alasan penghapus pidana?
7. Bagaimana alasan pembenar di luar undang-undang?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah
ini yaitu:
1. Untuk memahami perbedaan alasan penghapus pidana.
2. Untuk memahami konsekuensi perbedaan alasan pembenar dan alasan
pemaaf.
3. Untuk memahami pembelaan terpaksa dalam alasan penghapus pidana.
4. Untuk memahami pelaksanaan ketentuan undang-undang dalam alasan
penghapus pidana.
5. Untuk memahami perintah jabatan dalam alasan penghapus pidana.
6. Untuk memahami keadaan terpaksa dalam alasan penghapus pidana.
7. Untuk memahami alasan pembenar di luar undang-undang.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perbedaan Alasan Penghapus Pidana


Dalam literatur ilmiah alasan penghapus pidana (strafuitsluitings-
gronden) lazim dibagi dalam dua jenis yaitu:1
1. Rechtvaardigingsgronden (Alasan Pembenar)
Alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum
(wederrechtelijkheid) perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh
terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
Rechtvaardigingsgronden menghapuskan suatu peristiwa pidana yaitu
kelakuan seseorang bukan suatu peristiwa pidana walaupun sesuai dengan
ketentuan yang dilarang dalam undang-undang pidana.
2. Schulduitsluitingsgronden (Alasan Pemaaf / Penghapus Kesalahan)
Alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, menghilangkan
pertanggungjawaban (toerekenbaarheid) pembuat atas peristiwa yang
dilakukannya. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat
melawan hukum, tetapi tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan.
Kelakuan seseorang tetap suatu peristiwa pidana tetapi tidak dapat
dipertanggungjawabkan (toegerekend) kepada pembuat.
3. Alasan Penghapus Penuntutan
Dalam hal ini yang dipersoalkan bukan ada alasan pembenar
maupun alasan pemaaf, tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan
maupun sifat sifat orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah
menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada
masyarat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi
pertimbangan adalah kepentingan umum. Klau perkaranya tidak dituntut,
tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dipidana.2

1
J. E. Sahetapy, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), 56
2
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 137

3
Perbedaan alasan pembenar dan pemaaf adalah penting untuk dapat
dipidananya pelaku peserta. Kalau A seorang pembuat, bersama-sama dengan
orang lain dapat mengajukan alasan pemaaf (misalnya tidak dapat
bertanggungjawab), maka alasan pembenar (misalnya karena peraturan
undang-undang), maka hal ini menguntungkan semua pelaku peserta.
Sehubungan dengan itu tampak juga perbedaan dalam bekerjanya
preseden. Hakim yang memutuskan dihapusnya pidana karena adanya alasan
pembenar ingin menyatakan bahwa dia akan memperlakukan sama semua
orang yang dalam memutuskan adanya alasan pemaaf tidak ingin mengatakan
lebih daripada bahwa pembuat indivdual ini karena keadaan khusus yang
mengenai dirinya (tidak mampu bertanggungjawab, sesat yang dapat
dimaafkan), deliknya tidak cukup dapat dicelakan padanya untuk dapat
memidana dia.
Dirangkum secara singkat: alasan pembenar menghapuskan dapat
dipidananya perbuatan, alasan pemaaf menghapuskan dapat dipidananya
pembuat.3

B. Konsekuensi Perbedaan Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf


Pembagian alasan penghapusan pidana dalam alasan pembenar dan
alasan pemaaf sesuai dengan pemisahan antara sifat melawan hukum dan
kesalahan sebagai unsur yang dianggap harus ada dalam tiap-tiap perbuatan
pidana. Apabila dalam suatu keadaan tertentu satu unsur hilang, maka
kepidanaan perbuatan itu juga hilang. Penghapusan pidana adalah akibat
penghapusan sifat melawan hukum ditambah penghapusan kesalahan.4
Termasuk alasan penghapus kesalahan umum yang tertulis yaitu:
1. Kemampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP);
2. Daya paksa karena dorongan psikis (Pasal 48 KUHP);
3. Pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP);

3
J. E. Sahetapy, Hukum Pidana., 57
4
Ibid., 150

4
4. Kesesatan yang dapat dimaafkan mengenai kewenangan atas dasar suatu
perintah jabatan yang diberikan (Pasal 51 ayat 2 KUHP);
Termasuk alasan penghapus sifat melawan hukum yaitu:
1. Daya paksa dalam arti keadaan darurat (Pasal 48 KUHP);
2. Daya paksa dalam arti terpaksa memilih antara kewajiban-kewajiban yang
bertentangan (Pasal 48 KUHP);
3. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 1 KUHP);
4. Peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP);
5. Perintah Jabatan (Pasal 51 ayat 1 KUHP);

C. Pembelaan Terpaksa (Noodweer)


Dengan istilah pembelaan terpaksa hendak diterangkan bahwa suatu
delik dapat dilakukan karena pembelaan yang dibenarkan. Dalam pasal 49
ayat 1 KUHP ditentukan syarat-syarat dimana melakukan suatu delik untuk
membel diri dapat dibenarkan.5
Pasal 49 ayat 1 berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa terpaksa
melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan ketika itu yang
melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap
kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang
lain, tidak dipidana”.6
Dalam Pasal 49 ayat (1) dapat dilihat ada enam unsur-unsur pembelaan
darurat atau terpaksa yaitu:
1. suatu serangan
2. serangan itu diadakan sekoyong-koyong (ogenblikkelijk) atau suatu
ancaman yang kelak akan dilakukan (onmiddellijk dreigende aanranding)
3. serangan itu melawan hukum (wederrechtelijk)
4. serangan itu diadakan terhadap diri sendiri, diri orang lain, kehormatan diri
sendiri, kehormatan orang lain, harta benda sendiri, harta benda orang lain.

5
Ibid., 69-70
6
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 189

5
5. Pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan (noodzakelijk)
yakni pembelaan itu bersifat “darurat”.
6. Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal.
Menurut pasal 49 ayat 1 HUKP untuk pembelaan terpaksa
diisyaratkan:7
1. Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan
kesusilaan atau harta benda;
2. Serangan itu bersifat melawan hukum;
3. Pembelaan merupakan keharusan;
4. Cara pembelaan adalah patut (syarat ini tidak disebut dalam pasal 49 ayat
1)
Menurut ketentuan pidana seperti yang telah dirumuskan di dalam
pasal 49 ayat (1) KUHP, apabila kepentingan-kepentingan hukum tertentu dari
seseorang itu mendapat serangan secara melawan hukum dari orang lain, maka
pada dasarnya orang dapat dibenarkan untuk melakukan suatu pembelaan
terhadap serangan tersebut walapun dengan cara yang merugikan kepentingan
hukum dari penyerangnya, yang di dalam keadaan biasa cara tersebut
merupakan suatu tindakan yang terlarang dimana pelakunya telah diancam
dengan sesuatu hukuman.8
Itulah sebabnya mengapa Profesor van Bemmelen telah mengatakan
bahwa di dalam suatu noodweer itu “undang-undang telah mengizinkan orang
untuk main hakim sendiri”.
Profesor Pompe mengatakan: “dalam keadaan normal untuk
meniadakan serangan itu orang harus meminta bantuan dari penguasa, akan
tetapi dalam keadaan darurat seperti yang dimaksud dalam pasal 49 ayat (1)
KUHP, ia tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat demikian”, dan oleh
karena itulah maka ia dapat dibenarkan untuk meniadakan sendiri serangan
tersebut tanpa bantuan dari alat-alat negara.9

7
J. E. Sahetapy, Hukum Pidana., 59
8
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2011), 441
9
Ibid., 442

6
Pembatasan dari pasal 49 ayat (1) KUHP untuk membela raga,
kehormatan kesusilaan atau harta benda, dapat diartikan bahwa nyawa,
integritas raga, kehormatan seksual boleh dibela, juga benda dan pemiliknya,
tetapi bukan benda yang tidak berwujud seperti ketentraman rumah tangga.10
Sebagai suatu dasar pembenaran, noodweer harus memenuhi beberapa
persyaratan yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh serangannya dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pembelaannya itu sendiri.
Menurut Profesor van Hammel, serangan itu harus:
1. bersifat melawan hukum atau wederrechtelijk;
2. mendatangkan suatu bahaya yang mengancam secara langsung;
3. bersifat berbahaya bagi tubuh, kehormatan atau benda kepunyaan sendiri
atau kepunyaan orang lain;11
Serangan harus bersifat melawan hukum. Menurut Profesor van Hamel
suatu serangan bersifat melawan hukum apabila orang yang mendapat
serangan itu mengalami suatu penderitaan atau dapat mengalami suatu
penderitaan, padahal menurut hukum orang tersebut tidak mempunyai
kewajiban untuk mendapatkan penderitaan semacam itu. Menurut
sejarah, noodweer itu biasanya hanya dapat dilakukan terhadap serangan yang
bersifat “subjectief onrechtmatig” atau bersifat melawan hukum yang telah
dilakukan oleh seseorang yang mempunyai sculd. Akan tetapi dalam hal ini
cukup kiranya apabila serangan itu bersifat “objectief onrechtmatig” atau
bersifat melawan hukum, hingga suatu serangan itu harus dianggap sebagai
bersifat melawan hukum apabila penyerangnya itu tidak gerechtigd atau tidak
mempunyai hak untuk berbuat demikian, walaupun mungkin benar bahwa ia
telah merasa berhak untuk melakukan perbuatan semacam itu.12
Menurut Profesor van Hamel, pembelaan itu:
1. harus bersifat perlu atau bersifat noodzakelijk;
2. perbuatan yang dilakukan untuk melakukan pembelaan itu haruslah dapat
dibenarkan;

10
J. E. Sahetapy, Hukum Pidana., 59
11
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., 443
12
Ibid., 447

7
Mengenai cara pembelaan diperintahkan atau patut, membawa kita
pada asas yang sangat penting untuk ajaran penghapus pidana, yaitu:13
1. Asas Subsidiaritas. Melanggar kepentingan hukum seseorang untuk
melindungi kepentingan hukum orang lain tidak diperkenankan, kalau
perhitungan itu dapat dilakukan tanpa atau dengan kurang merugikan.
2. Asas Proporsionalitas. Melanggar kepentingan hukum seseorang untuk
melindungi kepentingan hukum orang lain dilarang kalau kepentingan
hukum yang dilindungi tidak seimbang dengan pelanggarannya. Jadi harus
ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dan kepentingan
yang dilanggar.
3. Asas “Culpa In Causa”: barang siapa yang keberadaannya dalam situasi
darurat dapat dicelakan kepadanya tetap bertanggungjawab. Ini berarti
bahwa seseorang yang karena perbuatannya sendiri diserang oleh orang
lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena pembelaan
terpaksa.

D. Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang


Perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan itu harus suatu
perbuatan menjalankan peraturan perundang-undangan guna kepentingan
umum (algemen belang). Perbuatan menjalankan peraturan perundang-
undangan guna kepentingan sendiri (eigen belang) tidak dibenarkan menurut
pasal 50 KUHP. Pasal 50 KUHP hanya dapat membenarkan suatu perbuatan
untuk menjalankan suatu kewajiban saja.
Contoh dari peraturan perundang-undangan yang membenarkan hal itu
adalah pasal 25 W.V.W. pasal ini (di Belanda) melarang membahayakan
keamanan di jalan dan harus lebih diutamakan dari peraturan lalu lintas
lainnya. Misalnya: seorang pengendara sepeda yang menurut Pasal 27 R.V.V.
wajib menggunakan jalur untuk sepeda, harus bersepeda di jalan cepat untuk

13
J. E. Sahetapy, Hukum Pidana., 60

8
menghindari situasi berbahaya. Pasal 25 W. V.W. yang merupakan aturan inti
lalu lintas mengharuskan dia berbuat demikian. (H.R. 9-5-1950).14
Sama seperti pada pembelaan terpaksa dan keadaan darurat, di sini
berperan asas-asas subsidiaritas dan proporsionalitas. Asas subsidiaritas dalam
hubungan ini berarti bahwa pembuat delik hanya akan berhasil dengan
pembelaannya bedasarkan pelaksanaan peraturan undang-undang kalau
dia diwajibkan untuk berbuat demikian. Asas proporsionalitas berarti bahwa
dilakukannya delik hanya dapat dibenarkan apabila dalam pertentangan antara
dua kewajiban hukum, yang lebih besar diutamakan perbandingan yang tepat
harus dilakukan antara tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang
digunakan.15
Contoh. Putusan Jurusita. Dalam rangka menjalankan tugasnya,
seorang jurusita mengosongkan sebuah rumah dan bertentangan dengan
peraturan daerah menaruh perabot rumah tangga di jalan. Hoge Raad
berpendapat bahwa jurusita itu secara tidak sah dipidana berdasarkan
peraturan (kepolisian) daerah dengan motivasi bahwa pelaksanaan putusan
hakim untuk mengosongkan rumah bagi jurusita yang ditunjuk merupakan
tugas yang diperintahkan oleh undang-undang. Ini berarti bahwa jurusita
berwenang dan berkewajiban untuk berbuat yang menurut pikiran sehat harus
dilakukan untuk melaksanakan pengosongan. (H.R. 30-1-1928).16
Peraturan perundang-undangan memberi kepada pembuat suatu hak
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Hak ini menghapuskan unsur
melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan oleh karena itu menjalankan suatu
peraturan perundang-undangan adalah suatu rechtvaardigingsgrond.

E. Perintah Jabatan
Pasal 51 KUHP mengadakan perbedaan antara suatu perintah yang
dikeluarkan oleh suatu jabatan yang sah (ayat 1) dan suatu perintah yang
dikeluarkan oleh suatu jabatan yang tidak sah (ayat 2). Yang dimaksud dengan

14
Ibid., 66
15
Ibid
16
Ibid., 67

9
“perintah” bukan saja suatu perintah konkrit (concreet bevel) tetapi juga suatu
instruksi umum.
1. Perintah Jabatan yang sah (Bevoegd gezag)
Pasal 51 ayat (1) KUHP: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melakukan perintah jabatan, perintah yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang tidak dipidana”.
Keputusan Hoge Raad tertanggal 27 November 1933 menyatakan
bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah harus ada
suatu hubungan menurut hukum publik (publiekrechtelijke verhouding).
Tetapi baik yang memerintah maupun yang diperintah tidak perlu
berstatus pegawai negeri dan tidak perlu yang diperintah hierarkis
dibawah yang memerintah.17
Perintah jabatan yang sah yaitu suatu perintah yang sah,
memberi hak kepada yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu. Hak ini menghapuskan unsur melawan hukum, karena
perintah jabatan tersebut adalah suatu rechtvaardigingsgrond.
2. Perintah Jabatan yang Tidak Sah (Ambtelijk bevel door onbevoegd
gezag)
Baik peraturan undang-undang maupun perintah jabatan dengan
wewenang menghasilkan alasan pembenar. Tetapi ada bedanya. Pembuat
boleh percaya bahwa peraturan perundang-undangan telah dibuat dan
diumumkan secara sah. Tetapi dia harus waspada bahwa suatu perintah
jabatan dapat diberikan tanpa wewenang, khususnya kalau perintah itu
tidak sesuai dalam rangka tugasnya yang biasa. Hanya perintah yang sah
yang harus ditaati, apabila seseorang tidak ingin melakukan perbuatan
yang dapat dipidana. Jadi kepatuhan buta tidak menghalalkan.18

17
Ibid
18
Ibid., 68

10
Pasal 51 ayat (2) KUHP menentukan bahwa pembuat harus
memenuhi dua syarat agar ia dapat dikecualikan dari hukuman yaitu:19
a. yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah yang
dikeluarkan adalah suatu perintah yang tidak sah (syarat subjektif).
b. menjalankan perintah itu harus diadakan dalam batas-batas
lingkungan “ondergeschiktheid” dari yang diperintah pada yang
memerintah. Yang diperintah harus hierarkis dibawah yang
memerintah dan yang diperintah tidak boleh bertindak diluar batas-
batas “ondergeschiktheid” nya.
Dalam hal perintah jabatan yang tidak sah, maka perbuatan yang
bersangkutan adalah suatu perbuatan yang melawan hukum karena suatu
perintah yang tidak sah tidak memberi suatu hak kepada pembuat
perbuatan itu yang dapat membenarkan perbuatannya dan tidak ada suatu
hak yang dapat menghapuskan unsur melawan hukum.
Pembentuk undang-undang telah memberikan ketentuan bahwa
perintah jabatan yang tidak sah menyebabkan hapusnya pidana kecuali
jika dipenuhi syarat subjektif adanya itikad baik dan syarat objektif masuk
dalam lingkungan pekerjaan orang yang diperintah, maka syarat-syarat
yang demikian dapat menghapuskan kesalahan. Moelyatno berpendapat
bahwa Pasal 51 ayat (2) KUHP merupakan alasan penghapus penuntutan,
karena dalam hati pembuat tidak pernah menghadapi tekanan dari luar dan
pemerintah mendasarkan atas pertimbangan utilitasuntuk tidak
memidana.20

F. Keadaan Terpaksa (Overmacht)


Keadaan terpaksa bukan alasan pembenar tetapi alasan pemaaf. Di sini
tidak dilindungi kepentingan yang lebih tinggi nilainya, tetapi dilakukan suatu
delik yang seharusnya tidak dilakukan. Jadi tidak ada masalah pembenaran.

19
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Bogor: Ghalia Indonesia, 1995), 202
20
Ibid

11
Tetapi dilakukannya menurut penalaran hukum pidana tidak dapat dicelakan
kepadanya.21
Keadaan terpaksa oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam
pasal 48 KUHP yang berbunyi: “Tidaklah dapat dihukum barangsiapa telah
melakukan sesuatu perbuatan di bawah pengaruh dari suatu keadaan yang
memaksa”.22 Menurut Memorie van Toelichting, keadaan terpaksa adalah
suatu kekuatan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan.23
Berdasarkan rumusan mengenai overmacht yang terdapat di dalam
Memorie van Toelichting diatas, pembentuk undang-undang telah mengakui
tentang adanya tiga macam peristiwa pokok dimana suatu overmacht dapat
terjadi. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah:
1. peristiwa-peristiwa dimana terdapat pemaksaan secara fisik;
2. peristiwa-peristiwa dimana terdapat pemaksaan secara psikis;
3. peristiwa-peristiwa dimana terdapat suatu keadaan yang
disebut noodtoestand yaitu keadaan dimana terdapat:
a. suatu pertentangan antara kewajiban hukum yang satu dengan
kewajiban hukum yang lain;
b. suatu pertentangan antara suatu kewajiban hukum dengan suatu
kepentingan hukum
c. suatu pertentangan antara kepentingan hukum yang satu dengan
kepentingan hukum yang lain;24
Jonkers berpendapat bahwa kata dwang (paksaan) berarti paksaan
(physiek) sedangkan kata gedrongen (dorongan) berarti paksaan psychisch.
Beliau membagi keadaan terpaksa dalam tiga macam yaitu: [49]
1. Keadaan terpaksa mutlak (absolute overmacht), yaitu orang yang
mengalami sesuatu yang tidak dapat dilawan karena pengaruh yang
dialami baik yang bersifat jasmaniah maupun kejiwaan.

21
J. E. Sahetapy, Hukum Pidana., 64
22
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., 407
23
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I., 192
24
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., 408

12
2. Keadaan terpaksa relatif (relatieve overmacht), yaitu orang yang
mengalami pengaruh yang tidak mutlak akan tetapi paksaannya tidak dapat
dilawan.
3. Keadaan Darurat (noodtoestand), yaitu keadaan darurat karena seorang
terpaksa melakukan didorong oleh keadaan dari luar untuk memilih
diantara dua peristiwa yang sama jeleknya. Pilihan masih menjadi inisiatif
pembuat.
Di bawah ini disajikan pokok-pokok pikiran Jonkers tentang ketiga
macam keadaan terpaksa tersebut;
1. Absolute overmacht (keadaan terpaksa mutlak)
Paksaan yang bersifat absolut atau vis absoluta merupakan paksaan
secara fisik dan dapat pula merupakan paksaan secara psikis. Paksaan
secara fisik dipandang sebagai absolute dwang yaitu apabila paksaan
tersebut demikian kuat sehingga segala kegiatan atau kemampuan untuk
melakukan sesuatu kegiatan pada orang yang dipaksa itu menjadi
ditiadakan. Misalnya: seseorang ditangkap oleh orang yang kuat, lalu
dilemparkan keluar jendela, sehingga terjadi perusakan barang. Maka
orang yang dilemparkan keluar jendela, tidak dapat dipidana menurut
pasal 406 KUHP.25
Paksaan secara psikis dipandang sebagai absolute dwang yaitu
apabila paksaan tersebut mempunyai pengaruh yang besar pada susunan
syaraf (zenuwstelsel) dari orang yang mendapat paksaan, sehingga
kemampuan dari orang itu sendiri menjadi tidak ada sama sekali. Misalnya
seseorang yang karena pengaruh sugesti secara hipnotis telah melakukan
sesuatu ataupun telah tidak melakukan sesuatu sesuai dengan yang
diinginkan oleh orang yang telah menghipnotisnya.26
Dalam hal ini orang yang melempar keluar jendela dan yang
menghypnotiseer-lah yang menjadi pembuat menurut pasal 55 KUHP
(doen pleger).

25
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I., 193
26
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., 410

13
Kiranya sudah jelas apa sebabnya absolute overmacht telah
menutup kemungkinan tentang dapat dijatuhkannya sesuatu hukuman
terhadap pelakunya, yakni karena pelaku tersebut sebenarnya tidak
melakukan sesuatu perbuatan. Ia hanyalah merupakan suatu manus
ministra atau hanya merupakan suatu alat dari orang lain.27
2. Relatieve Overmacht (Keadaan terpaksa Relatief )
Paksaan yang bersifat relatif atau vis compulsiva merupakan
paksaan secara psikis dalam arti luas yang berupa “begeerten en
voorstellingen” atau berupa “kenginan-keinginan dan pemikiran-
pemikiran” yang telah bekerja sedemikian rupa sehingga ia mampu
mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan
sesuatu.28
Kekuasaan, kekuatan, dorongan atau paksaan physiek atau
psychisch terhadap orang bersangkutan bersifat relatif atau nisbi. Misalnya
pada perampokan bank, bankir diancam dengan pistol supaya
menyerahkan uang. Bila tidak dilakukannya, maka pistol itu akan
ditembakkan oleh perampok dan pelurunya mengenai dirinya. Secara
teoritis, bankir itu dapat melawan dengan resiko mati ditembak. Bila ia
tidak melawan dan menuruti kehendak perampok, maka ia tidak dapat
dipidana sekalipun ia telah mewujudkan delik.29
Di dalam relatieve overmacht itu, overmacht merupakan
suatu rechtvaardigingsgrond atau suatu dasar pembenar bagi perbuatan-
perbuatan yang telah dilakukan oleh orang yang mendapat paksaan.30
Menurut Jonkers perbedaan antara absolute overmacht dan
relatieve overmacht yaitu:
Pertama, praktis orang yang memaksa atau mendoronglah yang berbuat,
Kedua, orang yang diancam, dipaksa atau didoronglah yang berbuat
sekalipun ia berbuat karena ancaman atau dorongan itu.

27
Ibid
28
Ibid
29
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I., 193
30
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., 410

14
Tidak semua paksaan atau dorongan terhadap seseorang dapat
menimbulkan relatieve overmacht. Kekuatan, paksaan tau dorongan itu
haruslah sedemikian rupa sehingga orang yang terkena tidak dapat atau
tidak perlu mengadakan perlawanan. Misalnya perintah atasan belaka
tidak melahirkan relatieve overmacht.31
3. Noodtoestand (Keadaan Darurat)
Para penulis umumnya berpendapat bahwa dalam
suatu noodtoestand atau dalam suatu keadaan terpaksa, perbuatan dari
pelakunya menjadi tidak dapat dipersalahkan kepadanya oleh karena pada
diri pelaku tersebut tidak terdapat unsur schuld. Keadaan darurat
(noodtoestand) dapat merupakan schulduitsluitingsgronden maupun
rechtvaardigingsgronden.
Suatu noodtoestand dapat terjadi apabila pada saat yang sama telah
terdapat:32
a. Suatu pertentangan antara dua macam kepentingan hukum yang
berbeda;
Contoh klasik dalam De Republica et de officio yang berasal
dari ahli filsafat Yunani Karneades: Dua orang yang hampir tenggelam
saling merampas papan yang hanya dapat memuat satu orang. Yang
seorang menolak yang lain sehingga tenggelam dan mati. Hal itu
dilakukan hanya demi menyelamatkan nyawanya sendiri.
Menurut van Bemmelen bahwa sama dengan noodweer
(pembelaan terpaksa atau darurat) maka untuk menetapkan
adanya noodtoestand diperlukan dua asas yaitu: proportionaliteit dan
subsidiariteit.
b. Suatu pertentangan antara suatu kepentingan hukum dengan suatu
kewajiban hukum;
Misalnya: Putusan Optisien (Putusan Ahli kacamata ; H.R. 15-
10-1923) Peristiwa yang menyangkut seorang pemilik toko kacamata

31
A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I., 194
32
Ibid., 195-196

15
yang melanggar peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
kotapraja Amsterdam tentang kewajiban untuk menutup perusahaan
pada jam yang telah ditentukan, oleh karena tepat pada saat pemilik
toko kacamata tersebut akan menutup pintu tokonya telah datang
seorang tua yakni tuan de Grooth yang meminta pertolongannya untuk
diperbolehkan membeli sebuah kacamata dengan alasan bahwa
kacamatanya telah hilang di jalan dan tidak dapat menemukannya lagi,
sehingga tuan de Grooth tidak dapat melihat sesuatu tanpa kacamata.
Walaupun pemilik toko kacamata menyadari mempunyai kewajiban
hukum (rechtsplicht) untuk menaati peraturan yang telah dikeluarkan
pemerintah Amsterdam, akan tetapi ia juga memiliki kepentingan
hukum (rechtsbelang) yaitu menolong seseorang yang memang perlu
ditolong. Hoge Raad berpendapat bahwa Pengadilan Negeri tidak
merusak secara yuridis pengertian keadaan terpaksa oleh karena
menuru sejarah undang-undang, keadaan terpaksa meliputi keadaan
darurat.33
c. Suatu pertentangan antara dua macam kewajiban hukum yang berbeda;
Contoh: A dipanggil sebagai saksi pada hari yang sama dan jam
yang sama di Jakarta dan di Bogor. Ia hanya dapat tampil di salah satu
tempat. Ia bebas memilih diantara kedua kewajiban hukum yang
sederajat itu. Pada umumnya kewajiban hukum yang paling pentinglah
yang harus dipilihnya. Dalam praktek sulit ditentukan yang paling
penting dalam hal ada bahaya. Misalnya pada kebakaran di suatu
bioskop, orang-orang merusak pintu-pintu untuk melarikan diri,
sedangkan sebenarnya terdapat banyak pintu-pintu darurat.
Profesor van Hamel tidak membuat suatu perbedaan
antara overmacht dengan noodtoestand, karena menurut sistematika
beliau, noodtoestand itu juga merupakan overmacht yang telah terjadi
karena adanya psychische dwang atau adanya tekanan psikis. Menurut
Profesor van Hamel, tekanan secara psikis tersebut dapat ditimbulkan

33
J. E. Sahetapy, Hukum Pidana., 64

16
oleh ancaman yang datang dari seorang manusia maupun dari keadaan-
keadaan (nothstand). Dalam pengertian seperti ini, overmacht
merupakan suatu rechtvaardigingsgrond atau merupakan suatu dasar
pembenaran mengenai apa yang telah dilakukan oleh seseorang yang
berada di dalam keadaan seperti itu.34
Menurut Profesor Noyon mengenai noodtoestand adalah tidak
berbeda samasekali dengan pendapat Profesor van Hamel, yang
berpendapat bahwa noodtoestand sebenarnya merupakan suatu dasar
pembenaran atau suatu rechtvaardigingsgrond bagi apa yang telah
dilakukan oleh seseorang yang berada di dalam keadaan yang terpaksa
seperti itu.
Mengenai hubungan antara suatu “perbuatan yang dapat
dibenarkan” di dalam suatu noodtoestand dengan suatu “perbuatan yang
tidak dapat dipersalahkan kepada pelakunya” didalam suatu overmacht,
menurut Profesor Noyon yaitu:
Apabila di dalam suatu peristiwa yang konkrit, antara kepentingan-
kepentingan hukum (termasuk kewajiban-kewajiban hukum) terdapat
pertentangan-pertentangan, sehingga salah satu dari kepentingan-
kepentingan hukum atau salah satu dari kewajiban-kewajiban hukum itu
terpaksa harus dikorbankan, maka perbuatan mengorbankan kepentingan
hukum atau kewajiban hukum hanya dapat dibenarkan yaitu apabila
kepentingan hukum atau kewajiban hukum yang dikorbankan itu
dipandang menurut tertib hukum adalah yang paling ringan. Apabila orang
tidak dapat memutuskan tentang kepentingan hukum atau kewajiban
hukum yang mana merupakan kepntingan hukum atau kewajiban hukum
yang terberat, maka ia harus memperhatikan kepentingan hukum atau
kewajiban hukum yang mana yang telah berada dalam bahaya seandainya
ia telah melakukan sesuatu. Pemilihan atas kepentingan hukum atau
kewajiban hukum yang mana yang akan ia korbankansebenarnya
merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan

34
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., 424

17
kepadanya karena suatu overmacht dan bukan merupakan suatu perbuatan
yang dibenarkan karena suatu noodtoestand.35
Profesor Simons menjelaskan tentang apa sebabnya sesuatu
perbuatan yang telah dilakukan dalam suatu noodtoestand membuat
pelakunya tidak dapat dihukum:
a. bahwa di dalam suatu noodtoestand, perbuatan yang telah dilakukan
telah kehilangan sifatnya sebagai perbuatan yang melanggar hukum;
b. bahwa pelakunya tidak dapat dihukum oleh karena perbuatan yang
telah ia lakukan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya;
c. bahwa perbuatan yang telah dilakukan di dalam
suatu noodtoestand membuat pelkunya tidak dapat dihukum oleh
karena sifatnya sebagai perbuatan yang terlarang telah ditiadakan
walaupun perbuatannya itu sendiri tetap bersifat melanggar hukum.
Menurut Profesor Simons jawaban yang paling tepat atas
pertanyaan apa sebabnya seorang yang telah melakukan sesuatu perbuatan
di dalam suatu noodtoestand tidak dapat dihukum adalah karena
pembentuk undang-undang telah menganggap bahwa larangannya itu
tidaklah berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan di dalam
keadan-keadan yang bersifat khusus, sehingga norma-normanya itu juga
telah dinyatakan sebagai tidak berlaku bagi keadaan-keadaan semacam itu.
Profesor Pompe berpendapat, noodtoestand dapat dimasukkan ke
dalam pengertian “relatieve overmacht”. Dan sebagai suatu dasar yang
meniadakan hukuman (strafuitsluitingsgrond), noodtoestand itu sama
halnya dengan semua dasar yang meniadakan hukuman tidak meniadakan
sifatnya yang terlarang dari suatu perbuatan, melainkan ia hanya
meniadakan hal dapat dihukumnya seseorang.
Profesor van Hattum berpendapat bahwa suatu perbuatan yang
telah dilakukan di dalam suatu overmacht atau di dalam
suatu noodtoestand tetap bersifat melanggar hukum akan tetapi perbuatan

35
Ibid., 425

18
tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya oleh karena
pada diri pelaku tidak terdapat unsur schuld.
Hazewinkel – Suringa berpendapat bahwa overmacht dalam arti
sempit merupakan “schulduitsluitingsgrond” atau suatu dasar yang
meniadakan unsur schuld, sedang perbuatan yang telah dilakukan di dalam
suatu noodtoestand itu membuat perbuatan tersebut kehilangan sifatnya
sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Apabila seseorang menginginkan agar sesuatu perbuatan yang
telah dilakukan di dalam suatu noodtoestand tidak dapat membuat
pelakunya dapat dihukum, maka perbuatannya itu harus memenuhi dua
syarat yaitu:
a. Proportionaliteits-beginsel atau asas proporsionalitas;
b. Subsidiariariteits-beginsel atau asas subsidiaritas;
Untuk memenuhi syarat proporsionalitas, diisyaratkan tentang
adanya suatu keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dengan
kepentingan yang dikorbankan. Apabila pada suatu saat tertentu terdapat
suatu pertentangan antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang
lain maka kepentingan yang mempunyai nilai yang lebih tinggi itu
haruslah ditolong, sedang kepentingan-kepentingan yang mempunyai nilai
yang lebih rendah dapat dikorbankan. Untuk memenuhi syarat
subsidiaritas, diisyaratkan bahwa pengorbanan dari kepentingan yang
mempunyai nilai yang lebih rendah itu haruslah dapat mencegah agar
kepentingan yang mempunyai nilai yang lebih tinggi jangan sampai harus
ikut dikorbankan.
Menurut Profesor van Bemmelen, yang dapat membuat seorang
pelaku menjadi tidak dapat dihukum bukan saja karena perbuatn yang
telah ia lakukan di dalam suatu noodtoestand itu telah memenuhi syarat
proporsionalitas dan subsidiaritas tetapi juga apabila perbuatan yang telah
ia lakukan merupakan suatu perbuatan yang telah terjadi sebagai akibat
dari adanya suatu noodtoestand-exces.

19
G. Alasan Pembenar di Luar Undang-Undang
Alasan pembenar atau penghapusan pidana di luar undang-undang,
yaitu:
1. Tidak ada kesalahan sama sekali / Avas
Meskipun dikatakan tidak ada kesalahan sama sekali, alasan
penghapusan pidana tidak menghendaki bahwa semua kesalahan, semua
celaan tidak ada sama sekali. Maksudnya bahwa pembuat telah cukup
berusaha untuk tidak melakukan delik, yang disebut: sesat yang dapat
dimaafkan.
2. Tidak ada sifat melawan hukum materil
Perbuatn yang dituduhkan kepada terdakwa tidak melanggar
kepentingan hukum yang hendak dilindungi pembentuk undang-undang
meskipun semua bagian tertulis dari rumusan delik terpenuhi.36

36
J. E. Sahetapy, Hukum Pidana., 64

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan
penghapusan pidana adalah beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi
hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau
terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak
pidana. Dalam teori hukum pidana, alasan-alasan yang menghapuskan pidana
dibeda-bedakan menjadi tiga macam yaitu alasan pembenar
(Rechtvaardigingsgronden), alasan pemaaf (Schulduitsluitingsgronden), dan
alasan penghapus penuntutan.
Perbedaan alasan pembenar dan pemaaf adalah penting untuk dapat
dipidananya pelaku peserta. Kalau A seorang pembuat, bersama-sama dengan
orang lain dapat mengajukan alasan pemaaf (misalnya tidak dapat
bertanggungjawab), maka alasan pembenar (misalnya karena peraturan
undang-undang), maka hal ini menguntungkan semua pelaku peserta.
Pembagian alasan penghapusan pidana dalam alasan pembenar dan
alasan pemaaf sesuai dengan pemisahan antara sifat melawan hukum dan
kesalahan sebagai unsur yang dianggap harus ada dalam tiap-tiap perbuatan
pidana. Apabila dalam suatu keadaan tertentu satu unsur hilang, maka
kepidanaan perbuatan itu juga hilang. Penghapusan pidana adalah akibat
penghapusan sifat melawan hukum ditambah penghapusan kesalahan.

B. Saran
Penulisan makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
perbaikan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah
wawasan kita tentang Alasan Penghapusan Pidana: Alasan Pembenar. Atas
kritik dan saran yang diberikan diucapkan terima kasih.

21
DAFTAR PUSTAKA

Farid, A. Zainal Abidin. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra


Aditya Bakti, 2011.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Poernomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana. Bogor: Ghalia Indonesia, 1995.

Sahetapy, J. E. Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty, 1995.

Anda mungkin juga menyukai