Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FIQIH III (MUNAKAHAT & MAWARIS)


Hak-Hak Yang Berkaitan Dengan Harta Peninggalan, Rukun Waris,
Syarat Waris, Sebab Waris dan Golongan yang Berhak Waris
Dosen Pengampu
M. Thontowi, M. Pd

Kelas PAI 4 D
Disusun oleh :
Nadya Wardana (201210118)
Rahmatul Adawiyah (201210133)
Yuda Julianto (201210136)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN AJARAN 2023
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadiran allah swt.
Yang telah melimpahkan rahmat dan karunia nya, sehingga kami dapat
menyelasaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Fiqih III (Munakahat dan Mawaris) dengan judul : “ Hak-Hak Yang Berkaitan
Dengan Harta Peninggalan, Rukun Waris, Syarat Waris, Sebab Waris dan
Golongan yang Berhak Waris”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karna itu, kami mengaharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Jambi, 22 Mei 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
A. Hak-Hak Yang Berkaitan Dengan Harta Peninggalan ................................. 2
B. Rukun Waris ................................................................................................. 3
C. Syarat-Syarat Waris ...................................................................................... 5
D. Sebab-Sebab Waris ....................................................................................... 6
E. Golongan Yang Berhak Waris ...................................................................... 9
BAB III PENUTUP ...............................................................................................11
A. Kesimpulan .................................................................................................11
B. Saran............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada
seseorang yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum
waris adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum
mengenai kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak
menerima harta peninggalan di sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta
peninggalan, ahli waris telah memiliki bagian-bagian tertentu.
Menurut Prof. T. M. Hasbi Ash Shiddiqi di dalam bukunya Fiqhul
Mawaris menyebutkan bahwa Ilmu mawaris ialah ilmu yang dengan dia dapat
mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, orang yang tidak dapat
menerima pusaka kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara
membaginya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang yang penulis kemukakan di atas,
maka masalah-masalah yang di bahas yaitu :
1. Apa saja hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan?
2. Apa saja bentuk rukun warisan?
3. Apa saja bentuk syarat warisan?
4. Apa saja bentuk dari sebab-sebab warisan?
5. Siapa golongan yang berhak waris?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai hak-hak yang berkaitan dengan
harta peninggalan.
2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai rukun waris.
3. Untuk mengetahui dan memahami mengenai syarat waris.
4. Untuk mengetahui dan memahami mengenai sebab waris.
5. Untuk mengetahui dan memahami mengenai golongan yang berhak waris.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hak-Hak Yang Berkaitan Dengan Harta Peninggalan
Al-irs artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah
diambil untuk keperluan pemeliharaan jenazah pelunasan utang serta
melaksanakan wasiat. Tarikah (tirkah) adalah bahasa Arab yang artinya harta
peninggalan. Tirkah adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris atau orang
yang telah meninggal dunia. Harta peninggalan pewaris sebelum dibagi
kepada ahli waris maka harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan dengan
harta peninggalan pewaris. Kewajiban ahli waris adalah melaksanakan apa
yang menjadi hak-hak si pewaris agar tidak menjadi beban untuk pewaris
dunia dan akhirat, demikian juga ahli waris terlepas dari dosa karena tidak
menjalankan apa yang merupakan kewajiban ahli waris. Adapun hak-hak yang
berkaitan dengan harta peninggalan antara lain :
1. Biaya pemeliharaan/perawatan mayat (pewaris).
Sebagai langkah pertama yang harus dilakukan oleh ahli waris adalah
menyelesaikan fardhu kifayah si pewaris dari semua kewajiban yang akan di
penuhi oleh ahli waris. Para ahli hukum Islam akhirnya berpendapat bahwa
biaya untuk pemeliharaan/perawatan mayat (pewaris) adalah dari harta
peninggalan si pewaris.
2. Pelunasan utang
Hak kedua yang berkaitan dengan tirkah adalah membayar utang-utang
yang masih dalam tuntutan kreditur (pemberi pinjaman) kepada orang yang
meninggal. Setelah biaya penntajhizan mayit ditunaikan, maka kelebihan
harta peninggalan digunakan untuk melunasi utang muwarrits (pewaris).
Utang merupakan tanggung jawab yang harus dibayar oleh orang yang
berutang sesuai dengan waktu yang ditentukan. Apabila orang yang berutang
meninggal dunia, maka pada prinsipnya, tanggung jawab membayarnya
beralih kepada keluarganya.
Biasanya sebelum jenazah disalatkan dan diberangkatkan ke kuburan,
diminta oleh keluarga atau yang mewakilinya, agar utang si mati dibebaskan

2
(diibra’kan). Jika utang tersebut tidak bisa dibebaskan, maka utang tersebut
tanggung jawabnya diambil alih oleh keluarganya. Penyelesaiannya diambil
dari harta peninggalannya, jika tidak ada, maka keluarga (ahli waris) yang
akan membayarnya.
3. Melaksanakan atau membayar wasiat pewaris
Wasiat adalah memberikan hak memiliki sesuatu secara sukarela yang
pelaksanaannya ditangguhkan setelah adanya peristiwa kematian atau pesan
seseorang untuk memberikan sesuatu kepada orang lain. Besarnya jumlah
wasiat yang akan dilaksanakan adalah tidak boleh lebih dari 1/3 harta
peninggalan setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah dan setelah dibayar
seluruh hutang-hutangnya.1
4. Pembagian Harta Waris
Setelah harta peninggalan seorang yang meninggal digunakan untuk
memenuhi kebutuhan jenazahnya, pelunasan hutang-hutangnya, dan
penunaian wasiatnya, barulah sisa dari harta peninggalan itu (Al-irts atau al
mauruts: ‫( المورث‬dapat dibagikan kepada ahli warisnya (Al warits: ‫)الورث‬.2
B. Rukun Waris
Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan
perpindahan kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris
kepada ahli warisnya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta
warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah dengan
sendirinya menurut ketetapan Allah swt tanpa digantungkan pada kehendak
pewaris atau ahli waris. Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan
rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Ada tiga rukun
warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
1. Muwaris
Yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah
meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu dapat dibedakan menjadi :
1 Moh.Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di
Indonesia, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 55-56
2
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At Tuwaijry, Hkum Waris, Islam House, 2007), hlm. 4

3
a. Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan
oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat
bukti yang jelas dan nyata.
b. Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis).
Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu
kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya
beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis
muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan
muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah,
apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah
dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah
kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam
segi kemungkinannya. “yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
pengadilan” adalah termasuk orang yang meninggal secara hukmy maupun
taqdiri karena harus melalui pembuktian yang diyatakan dihadapan
pengadilan.
2. Waris (ahli waris)
Yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik
hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau
karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat
meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan
hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-
haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu, antara muwaris
dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
3. Al-Mauruts
Yakni seluruh harta peninggalan yang siap dibagikan kepada ahli waris
sesudah diambil untuk keperluan pemeliharaan jenazah, pelunasan utang,

4
serta pelaksanaan wasiat, baik berupa harta benda maupun hak yang
termasuk ke dalam kategori harta waris.3
C. Syarat-Syarat Waris
Dr. Musthafa Al-Khin dalam kitab al-Fiqhul Manhaji, menyebutkan ada 4
(empat) syarat yang mesti dipenuhi dalam warisan. Keempat syarat tersebut
adalah:
1. Orang yang mewariskan harta telah meninggal dunia.
Bila orang yang hartanya akan diwaris belum benar-benar meninggal,
umpamanya dalam keadaan koma yang berkepanjangan, maka harta
miliknya belum dapat diwarisi oleh ahli waris yang berhak menerimanya. Ini
dikarenakan adanya warisan itu karena adanya kematian. Selain nyata-nyata
telah meninggal harta warisan juga bisa dibagi bila seseorang dinyatakan
meninggal secara hukum oleh hakim. Umpamanya dalam kasus seorang
yang telah lama hilang tanpa diketahui kabarnya kemudian atas ajuan pihak
keluarga hakim memutuskan bahwa orang tersebut telah meninggal dunia.
Dengan putusan hakim tersebut maka harta milik orang tersebut bisa dibagi
kepada ahli waris yang ada.
2. Ahli waris yang akan mendapat warisan masih hidup
Ketika orang yang akan diwarisi hartanya meninggal, meskipun masa
hidupnya hanya sebentar saja. Artinya ketika orang yang akan diwarisi
hartanya meninggal maka yang berhak menerima warisan darinya adalah
orang yang nyata-nyata masih hidup ketika si mayit meninggal. Meskipun
tak lama setelah meninggalnya si mayit, dalam hitungan menit misalnya, ahli
warisnya kemudian menyusul meninggal, maka si ahli waris ini berhak
mendapatkan bagian warisan dari si mayit. Sebagai contoh kasus, pada saat
Fulan meninggal dunia ada beberapa orang keluarga yang masih hidup yaitu
seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, seorang istri, dan seorang
ibu. Namun lima menit kemudian istri si fulan menyusul meninggal dunia.
Dalam kasus seperti ini maka istri si Fulan tetap menjadi ahli waris yang
berhak mendapatkan harta peninggalannya si Fulan meskipun ia menyusul

3
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 28

5
meninggal tak lama setelah meninggalnya si Fulan. Ini dikarenakan pada saat
si Fulan meninggal sang istri masih hidup.
3. Diketahuinya hubungan ahli waris dengan si pewaris
Karena hubungan kekerabatan, pernikahan, atau memerdekakan budak
(walâ’).
4. Satu alasan yang menetapkan seseorang bisa mendapatkan warisan secara
rinci.
Syarat keempat ini dikhususkan bagi seorang hakim untuk menetapkan
apakah seseorang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan atau
tidak. Seorang saksi yang menyatakan pada hakim bahwa “orang ini adalah
ahli warisnya si fulan” tidak bisa diterima kesaksiannya dengan ucapan
begitu saja. Dalam kesaksiannya itu ia mesti menjelaskan alasan
kepewarisan orang tersebut terhadap si pewaris.4
D. Sebab-Sebab Waris
Menurut Menurut jumhurul ulama, sebab-sebab seseorang dapat mewarisi
harta orang yang meninggal dunia ada tiga, yakni kekerabatan/nasab,
pernikahan, dan wala’ (memerdekakan budak). Di samping ketiga sebab
tersebut, para ulama Syaf’iyah dan ulama Malikiyah juga memberi tambahan
satu sebab, yaitu Jihatul maal. Adapun sebab-sebab terjadinya waris mewaris
menurut hukum Islam terdiri dari 4 macam yaitu:
1. Kekerabatan (Nasab)
Seseorang dapat memperoleh harta warisan atau menjadi ahli waris salah
satunya disebabkan karena adanya hubungan kekerabatan/nasab dengan si
pewaris (muwarrits). Hal ini ditegaskan Allah SWT melalui firman- Nya
dalam QS. Al-Anfal ayat 75 :
‫ّللا بكُل ش اَيء عَليام‬ ٰ ‫ض ُه ام اَ او ٰلى ببَعاض ف اي ك ٰتب‬
َ ٰ ‫ّللا ۗان‬ َ ‫َوا ُولُوا ا‬
ُ ‫اْل ارحَام بَ اع‬
Artinya: .....“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan
kerabat), di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah M maha mengetahui
segala sesuatu.”

4 Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013) jilid ke II, hal. 274

6
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan (si
pewaris) dengan orang yang mewarisi (ahli waris) yang disebabkan oleh
kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab adanya hak mempusakai yang
paling kuat karena kekerabatan merupakan unsur kausalitas adanya
seseorang yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.’
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara si pewaris dengan
ahli waris, kekerabatan dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yakni:
a. Ushul, yaitu pertalian Jurus ke atas dari si pewaris, seperti ibu, nenek, ayah,
kakek, dan seterusnya.
b. Furu’, yaitu pertalian lurus ke bawah, yang merupakan anak turun dari si
pewaris seperti anak, cucu, cicit, dan seterusnya.
c. Hawasyi, yaitu pertalian menyamping dari si pewaris, seperti saudara,
paman-bibi, keponakan, dan seterusnya tanpa membedakan antara laki-laki
dan perempuan.5
2. Perkawinan
Perkawinan yang dimaksud adalah perkawaninan yang sah menurut syariat
Islam. Kaitan hubungan perkawinan dengan hukum kewarisan Islam, berarti
hubungan perkawinan yang sah menurut Islam. Apabila seorang suami
meninggalkan harta warisan dan janda, maka istri yang dtiinggalkan itu
termasuk ahli warisnya demikian pula sebaliknya .hubungan kekerabatan ini
disebut di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 7 :
ُِ‫اْل ْق َر ُب ْونَِ مِ َّما قَ َِّل مِ ْنه‬ ِِ ‫س ۤاءِِ نَ ِصيْبِ مِ َّما ت ََركَِ ا ْل َوال ِٰد‬
َ ْ ‫ن َو‬ َ ِ‫اْل ْق َر ُب ْونَِ َولِلن‬ ِِ ‫ل ِِلرجَا ِِل نَ ِصيْبِ ِم َّما ت ََركَِ ا ْل َوال ِٰد‬
َ ْ ‫ن َو‬
‫اَ ِْو َكث ُ َِر نَ ِص ْيبًا َّم ْف ُر ْوضًا‬
“Bagi orang anak laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu bapak dan
kekerabatannya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.”
3. Memerdekakan Budak (Wala’ul itqi)

5Dian Khairul Umam dan Maman Abd Djaliel, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia,
1999), hal. 18.

7
Al-Wala adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan
hamba sahaya, atau melelui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terakhir
ini, agaknya jarang dilakukan jika malah tidak ada sama sekali. Adapun al-
wala' yang pertama disebut dengan wala' al-'ataqah atau ushubah sababiyah,
dan yang kedua disebut dengan wala' al-mualah, yaitu wala 'yang timbul
akibat kesedihan seseorang untuk tolong menolong dengan yang lain melalui
suatu perjanjian perwalian. Orang yang memerdekakan hamba sahaya, jika
laki-laki disebut dengan al-mu’tiq dan jika perempuan al-mu’tiqah. Wali
penolong disebut maula’ dan orang yang ditolong yang disebut dengan
mawali.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya adalah 1/6 dari
harta peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada
hamba sahaya, maka jawabanya adalah bahwa hapusnya perbudakan
merupakan salah satu keberhasilan misi Islam. Karena memang imbalan
warisan kepada al-mu’tiq dan atau al-mu’tiqah salah satu tujuanya adalah
untuk memberikan motifasi kepada siapa saja yang mampu, agar membantu
dan mengembalikan hak-hak hamba sahaya menjadi orang yang merdeka.
4. Jihatul Islam (Baitul Maal)
Setelah membahas tiga sebab penerimaan harta warisan di atas, ada pula
pertanyaan, “Bagaimana apabila si muwarrits tidak memiliki ahli waris?”
Dalam hal ini golongan Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa ke-
Islaman juga menjadi sebab dalam pewarisan harta. Ini berarti apabila
seseorang telah meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris, maka
peninggalan tersebut harus diserahkan kepada Baitul Maal.
menurut Pasal 191 KHI menyatakan: “Bila pewaris tidak meninggalkan
ahli waris sarna sekali atau ahli warisnya tidak mengetahui ada atau
tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan
penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan
kesejahteraan umum.”
Para ulama yang berpegang teguh pada pendapat ini menjadikan sabda
Rasulullah SAW sebagai dasarnya, yakni :

8
(‫أنا وارث من ْلوارث له اعقل عنه وارثه ) رواه ابو داود‬
“Saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. Saya
membayar dendanya dan mewarisi dari padanya.” (HR. Abu Dawud).6
E. Golongan Yang Berhak Waris
Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang
meninggal sebanyak 25. Orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki
dan 10 orang dari pihak perempuan. Golongan ahli waris dari pihak laki-laki,
yaitu:
1. Anak laki-laki.
2. Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) dari pihak anak laki-laki, terus
kebawah, asal pertaliannya masih terus laki-laki.
3. Bapak.
4. Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas pertalian yang belum putus dari
pihak bapak.
5. Saudara laki-laki seibu sebapak
6. Saudara laki-laki sebapak saja.
7. Saudara laki-laki seibu saja.
8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.
9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja.
10. Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.
11. Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.
12. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.
13. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja.
14. Suami
15. Laki-laki yang memerdekakannya.
Apabila 10 orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang
mendapat harta warisan hanya 3 orang saja, yaitu:
1. Bapak.
2. Anak laki-laki.

6Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum Islam, Praktis
dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), hal. 32

9
3. Suami.
Golongan dari pihak perempuan, yaitu:
1. Anak perempuan.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asal
pertaliannnya dengan yang meninggal masih terus laki-laki.
3. Ibu.
4. Ibu dari bapak.
5. Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.
6. Saudara perempuan seibu sebapak
7. Saudara perempuan yang sebapak.
8. Saudara perempuan sribu.
9. Istri.
10. Perempuan yang memerdekakan si mayat
Apabila 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat
mewarisi dari mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu:
1. Istri.
2. Anak perempuan.
3. Anak perempuan dari anak laki-laki
4. Ibu
5. Saudara perempuan yang sibuk sebapak
Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak
perempuan semuanya ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang
dari dua suami isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan. 7

7
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2020),
Cet. 91, hlm. 349-350

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tarikah (tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh Pewaris atau orang
yang telah meninggal dunia. Adapun hak-hak yang berkaitan dengan harta
peninggalan antara lain :biaya pemeliharaan/perawatan mayat (pewaris),
membayar utang-utang yang masih ditagih oleh Kreditor (pemberi pinjaman),
dan melaksanakan atau membayar wasiat pewaris.
Ada tiga rukun warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat
tersebut adalah muwaris, waris (ahli waris) dan al-mauruts. enurut jumhurul
jumhurul ulama, sebab-sebab sebab-sebab seseorang seseorang dapat
mewarisi harta orang yang meninggal dunia ada tiga, yakni
kekerabatan/nasab, pernikahan, dan wala’ (memerdekakan budak). Di samping
ketiga sebab tersebut, para ulama Syaf’iyah dan ulama Malikiyah juga
memberi tambahan satu sebab, yaitu Jihatul maal.
Golongan yang berhkanwaris, sekiranya 25 orang tersebut di atas dari
pihak laki-laki dan dari pihak perempuan semuanya ada, maka yang pasti
mendapat hanya salah seorang dari dua suami isteri, ibu dan bapak, anak laki-
laki dan anak perempuan.
B. Saran
Dari seluruh yang penulis paparkan di atas melainkan hanya sebatas
kemampuan yang dimiliki. Terdapat banyak sekali kekurangan pada
pembahasan di atas. Oleh karena itu, penulis mohon maaf yang sebesar –
besarnya kepada seluruh orang yang telah membaca tulisan ini. Penulis sangat
mengharapkan kritikan dan saran demi untuk dapat menampilkan yang lebih
baik lagi kedepannya.

11
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khin Musthafa, (2013). Al-Fiqhul Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam,
jilid ke II
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, (2005). Ilmu Waris, Al-Faraidl:
Deskripsi Hukum Islam, Praktis dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah
Perdana
Muhibbin Moh., Wahid Abdul, (2009). Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika
Rasjid Sulaiman, (2020). Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung :
Sinar Baru Algensindo, Cet. 91
Rofiq Ahmad, (2005). Fiqh Mawaris, Jakarta Utara: PT Raja Grafindo
Persada, 2005
Umam Dian Khairul dan Maman Djaliel Abd, (1999). Fiqih Mawaris,
Bandung: CV Pustaka Setia

12

Anda mungkin juga menyukai