Anda di halaman 1dari 16

KONSEP DASAR HUKUM KEWARISAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Kewarisan Islam

Dosen pengampu:
Khotifatul Defi Nofitasari, S.H., M.H.

Disusun oleh:
Azizah Dwi Jayanti (103220023)
Albita Suhaili (103220010)
Ambarwati (103220015)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt., karena berkat


rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang membahas tentang
Konsep Dasar Hukum Kewarisan. Selanjutnya, sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw.
yang kita nantikan syafaatnya kelak di yaumil qiyamat.
Dengan selesainya penyusunan makalah ini, kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsih baik
berupa tenaga ataupun pikiran sehingga makalah ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya, terutama kepada Beliau, Ibu Khotifatul Defi
Nofitasari, S.H,. M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Kewarisan Islam.
Kami menyadari bahwasannya makalah ini masih sangat jauh dari sebuah
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun
dari berbagai pihak sangatlah kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi teman-teman
mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Ponorogo, 23 Februari 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1

C. Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3

A. Rukun dan Syarat Kewarisan ..................................................................... 3

B. Sebab dan Halangan Kewarisan ................................................................. 6

C. Pihak Yang Berhak Atas Harta Peninggalan Pewaris ................................. 9

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 12

A. Kesimpulan ............................................................................................. 12

B. Saran ....................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam membawa ajaran tentang kerohanian yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah. Sebagaimana membawa ajaran tentang kehidupan
kemasyarakatan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan
antar manusia dengan lingkungannya. Dalam kaitannya dengan hubungan
manusia dengan manusia, salah satu yang menjadi mediumnya adalah harta
kekayaan.
Oleh karena itu, Allah sebagai pembuat ajaran-ajaran memberikan harta
kekayaan pada manusia sebagai Amanah. Agar dapat dipergunakan kepada
hal-hal yang diridhainya. Paling tidak ada dua fungsi harta kekayaan yaitu
untuk memenuhi kebutuhan pemilik harta dan untuk menjalin hubungan
persaudaraan diantara sesama manusia. Namun jika amanah atas harta
kekayaan ini tidak dilaksanakan secara baik, akan dapat menjadi sumber
konflik dan sengketa dalam kehidupan manusia, baik skala keluarga
maupun masyarakat.
Dalam kehidupan manusia, beberapa peristiwa penting akan terjadi
yang menimbulkan konsekuensi hukum yang mesti dihadapi. Seperti pada
peristiwa kematian pasti akan menyisahkan hukum kepada orang yang
ditinggal, khususnya hukum yang bertalian dengan persoalan harta. Harta
yang ditinggalkan untuk kemudian dialihkan kepada pihak tertentu. Proses
beralihnya harta peninggalan dalam prespektif Islam diatur oleh ilmu
khusus yang dikenal dengan Hukum Kewarisan Islam. 1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Rukun dan Syarat Kewarisan?
2. Apa Sebab Kewarisan dan Halangan Kewarisan?
3. Siapa Pihak Yang Berhak Atas Harta Peninggalan Pewaris?

1
Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, (Surabaya : Unair Press, 2010), 2

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja rukun dan syarat dalam kewarisan islam.
2. Untuk mengetahui apa sebab kewarisan dan halangan kewarisan.
3. Untuk mengetahui siapa saja pihak yang berhak atas harta peninggalan
pewaris.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rukun dan Syarat Kewarisan
Dalam menentukan legalitas sesuatu tetap didasrkan pada terpenuhinya
rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Rukun adalah sesuatu yang merupakan
unsur pokok dan harus ada di dalamnya. Jika unsur pokok tersebut tidak
ada, maka sesuatu itu tidak ada wujudnya dan konsekuensinya legalitasnya
tidak terwujud. Sedangkan syarat merupakan unsur penunjang bukan unsur
pokok, tetapi jika dia tidak ada maka konsekuensinya juga tidak dapat
mewujudkan legalitas. Dalam melaksanakan pembagian harta warisan juga
harus terpenuhi rukun dan syarat-syarat untuk mendapatkan legalitas
pembagiannya.
Menurut kesepakatan ulama, rukun-rukun dalam warisan ada 3, yaitu
diantaranya ialah :
a. Muwarris (Pewaris)
Muwarris adalah orang yang telah meninggal dunia dengan
meninggalkan harta warisan untuk dibagi-bagikan kepada para ahli
waris. Jika tidak ada muwarris atau pewaris, maka tidak aka nada
pembagian warisan, sebab tidak terpenuhi rukunnya.
b. Waris (Ahli Waris)
Waris adalah orang-orang yang berhak mendapatkan harta
peninggalan pewaris. Namun ketika memenuhi atau dengan suatu sebab.
Seperti sebab adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau
pernikahan, maupun sebab hak perwalian dengan muwarris. 2
Dalam KHI atau Kompilasi Hukum Islam Pasal 171A, dinyatakan
bahwasanya pewaris adalah orang yang saat pada meninggalnya atau
yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan pengadilan,
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. 3

2
Muhammad Ali As-Sabuni, Al-Faraid, Hukum Waris Dalam Islam, (Depok : Fathan Prima
Media, 2013), 39
3
Asmuni, Nispul Khoiri, Hukum Kekeluargaan Islam, (Medan : Wal Ashri Publishing,
2017), 306

3
c. Maurus (Harta Waris)
Maurus adalah harta benda atau hak-hak yang mungkin diwariskan
kepada ahli waris oleh pewaris yang akan diwarisi oleh para ahli waris
setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang
dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini disebut juga dengan
tirkah atau turas.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171E bahwa harta warisan
adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.4
Masalah waris mewarisi akan terjadi jika apabila terpenuhi tiga syarat.
Adapun syarat tersebut yaitu diantaranya ialah :
a. Pewaris Benar Sudah Meninggal Dunia
Meninggalnya pewaris merupakan syarat utama untuk realisasi
pembagian harta warisan. Jika pewaris belum meninggal dunia, seperti
masih koma di ruang perawatan, harta warisan belum bisa dibagi.
Kematian seseorang dalam konsep fikih ada mati hakiki, yaitu memang
pewaris sudah meninggal dunia dan disaksikan oleh keluarga atau
dengan mendapat pemeriksaan dari dokter lalu diberikan surat
keterangan kematian.
Adakalanya kematian hukmi yaitu kematian didasarkan atas
keputusan pengadilan, karena hilang atau sebab lainnya seperti dia
berada di negara musuh. Ada juga konsep mati taqdiri yaitu kematian
seseorang yang mafqud (hilang). Kematian ini ditentukan dengan
orangorang sebayanya sudah meninggal dunia. Jika sudah ada kepastian
tentang meninggalnya seseorang baik secara hakiki, hukmi maupun
taqdiri, maka baru boleh dilakukan pembagian harta warisan.

4
Ibid,. 306

4
b. Hidupnya Ahli Waris
Ahli waris yang akan mendapat warisan nyata-nyata masih hidup
ketika orang yang akan diwarisi hartanya meninggal, meskipun masa
hidupnya hanya sebentar saja. Ketika orang yang akan diwarisi hartanya
meninggal maka yang berhak menerima warisan darinya adalah orang
yang nyata-nyata masih hidup ketika si mayit meninggal. Meskipun tak
lama setelah meninggalnya si mayit, dalam hitungan menit misalnya,
ahli warisnya kemudian menyusul meninggal, maka si ahli waris ini
berhak mendapatkan bagian warisan dari si mayit.
c. Ahli Waris Diketahui Secara Pasti
Dalam hal ini harus diketahui seluruh jumlah ahli waris. Termasuk
di dalamnya jumlah bagian masing-masing. Posisi para ahli waris
hendaklah diketahui dengan pasti misalnya istri, suami, kerabat, dan
sebagainya. Dengan demikian, dapat diketahui dengan pasti jumlah
bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab,
dalam hukum waris perbedaan jauh dekatnya kerabat akan membedakan
jumlah yang diterima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa
seseorang adalah saudara daripada pewaris.
Namun harus dinyatakan statusnya sebagai saudara sekandung,
saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai
hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul
furudh atau orang yang mendapat porsi terntentu seperti ½ - ¼ dan
seterusnya. Ada yang karena ashabah atau menghabisi sisa harta. Ada
juga yang terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat, misalnya ada ibu
dan ada nenek, maka nenek tidak mendapat bagian sebab dihijab atau
terhalang oleh ibu.5

5
Muhammad Ali As-Sabuni, Al-Faraid, Hukum Waris Dalam Islam, (Depok : Fathan
Prima Media, 2013), 40

5
B. Sebab dan Halangan Kewarisan
1. Sebab Kewarisan
Dalam hukum Islam, sebab-sebab untuk dapat menerima warisan
ada tiga yaitu, hubungan kekerabatan (al-qarabah), hubungan
perkawinan (al-musaharah), hubungan karena sebab memerdekakan
budak atau hamba sahaya (al-wala).
Di dalam konteks Kompilasi Hukum Islam hanya menyebutkan dua
alternatif kemungkinan seseorang dapat mewarisi. Yakni karena
hubungan darah dan karena hubungan perkawinan. Pasal 174 ayat 1
huruf (a) dan (b) disebutkan tentang sebab seseorang memperoleh
kewarisan dengan istilah kelompok ahli waris, yakni kelompok menurut
hubungan darah dan hubungan perkawinan. Namun untuk sebab karena
memerdekakan budak sudah tidak berlaku lagi untuk sekarang, karena
praktik perbudakan ini hanya ada pada masa Rasulullah SAW. 6
a. Hubungan Kekerabatan (al-qarabah)
Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati
kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan kekerabatan
antara keduanya. Adapun hubungan kekerabatan ditentukan oleh
adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya
kelahiran.7
b. Hubungan Perkawinan (al-musaharah)
Hubungan atau pernikahan dijadikan sebagai penyebab hak
adanya perkawinan, hal ini dipetik dari Qur'an surah An-Nisa' (4) :
12, yang intinya menjelaskan tentang hak saling mewarisi antara
orang yang terlibat dalam tali pernikahan yaitu suami istri. Syarat
suami-istri saling mewarisi di samping keduanya telah melakukan
akad nikah secara sah menurut syariat. Juga antara suami istri yang

6
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta : Rajawali Press, 2012), 41
7
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2004), 179

6
berakad nikah itu belum terjadi perceraian ketika salah seorang dari
keduanya meninggal dunia.8
c. Memerdekakan Budak (al-wala’)
Al-wala’ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang
memerdekakan budak atau hamba sahaya, atau melalui perjanjian
tolong menolong. Adapun bagian orang yang memerdekakan budak
atau hamba sahaya adalah satu per-enam dari harta peninggalan.
2. Halangan Kewarisan
Memperoleh hak waris tidak cukup hanya karena adanya penyebab
kewarisan, tapi pada seseorang itu juga harus tidak ada penyebab yang
dapat menghalanginya untuk menerima warisan. Halangan dalam waris
ini dapat disimpulkan menjadi beberapa berikut.
a. Menurut Hukum Islam
1) Pembunuhan
Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris, misalnya
seseorang anak membunuh ayahnya, maka ia tidak berhak
mendapatkan warisan. Pembunuhan yang dilakukan ahli waris
terhadap pewaris, menyebabkan ia terhalang haknya untuk
mewarisi. Jika seorang ayah membunuh anaknya dengan sengaja
tidak dapat dihukum dengan hukuman yang serupa. Akan tetapi,
ayah yang membunuh anaknya, tetap terhalang untuk mendapat
harta warisan dari anaknya. Ketentuan ini didasarkan kepada
hadis sebagai berikut yang berarti :
“pembunuh tidak berhak mendapat harta warisan sedikitpun
juga”. (HR. an-Nasai)
2) Perbudakan
Para ulama fikih sepakat bahwa salah satu faktor yang dapat
menghalangi untuk mendapatkkan harta warisan adalah karena
berstatus sebagai budak. Hal ini disebabkan bahwa segala yang

8
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan
Adaptabilitas, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2012), 37

7
dimiliki oleh budak adalah milik tuannya. Status budak ada
kalanya ia sebagai qinnun atau (budak murni), mudabbar (budak
yang telah dinyatakan akan dimerdekakan oleh tuannya),
mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan
dari tuannya dengan syarat-syarat yang telah disepakati dengan
tuannya). Kesimpulannya, budak dengan berbagai jenisnya,
tidak dapat menerima harta warisan, sebab dia tidak mempunyai
hak milik. 9
3) Berbeda Agama
Perbedaan agama menjadi salah satu penyebab tidak saling
mewarisi antara pewaris dan ahli warisnya. Dan hal ini sudah
disepakati oleh para ulama’ terutama ulama’ mazhab yang
empat. Maka orang muslim tidak dapat mewarisi harta orang
kafir, dan begitu juga sebaliknya baik karena hubungan kerabat
maupun hubungan perkawinan. Kesepakatan ulama’ tersebut
dibangun berdasarkan beberapa Hadis Nabi SAW. yang berarti :
“Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim dari ibn
Juraijdari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman
dari Usamah bin Zaid RA. Nabi SAW bersabda : “Orang muslim
tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang
muslim.” (HR. Bukhari)
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, seseorang
terhalang memperoleh warisan sebagaimana yang disebutkan pada
Pasal 173 adalah berdasarkan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap dihukum karena :
(a) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris,

9
Muhammad Ali As-Sabuni, Al-Faraid, Hukum Waris Dalam Islam, (Depok : Fathan
Prima Media, 2013), 41

8
(b) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
Pada Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan secara
khusus tentang halangan dikarenakan perbedaan agama.
C. Pihak Yang Berhak Atas Harta Peninggalan Pewaris
1. Hak Muwaris
Hak ini adalah hak yang harus diberikan kepada muwaris atau orang
yang akan mewariskan hartanya. Akibat kematian seseorang, ada
kewajiban yang harus dilakukan oleh ahli warisnya. Antara lain
memandikan, mengapani, menyalatkan dan menguburkannya. Hal ini
telah disepakati oleh para ulama dan semuanya termasuk fardu kifayah.
Dari keempat aspek tersebut hanya menyalatkannya yang tidak
terkait dengan biaya. Selainnya, memerlukan biaya baik untuk
memandikan, mengapani dan menguburkannya. Semua keperluan dan
pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta
miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan.
Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala
sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya.
Termasuk di dalamnya, jika ada biaya rumah sakit yang belum dibayar,
wajib dikeluarkan dari harta kekayaan pewaris. Dalam mengeluarkan
pembiayaan untuk keperluan orang yang meninggal, harus dilakukan
dengan cara yang makruf atau baik dan tidak boleh secara berlebihan.
2. Hak Kreditur
Hak ini adalah hak yang harus dipenuhi apabila seorang muwaris
memiliki tanggungan hutang. Dalam kehidupan ini, sesungguhnya
keinginan semua orang pada umumnya tidak mau berhutang, sebab akan
tetap menjadi beban pikiran. Orang yang banyak hutangnya, banyak
sedikitnya akan mempengaruhi ketenangan jiwanya.

9
Jika seseorang yang meninggal mempunyai hutang, maka hutang
tersebut diambil daripada harta peninggalannya. Ketentuan ini
didasarkan kepada hadis Nabi :
‫عن‬ َ ‫ي ه َُري َْرة َ أَ ِبي‬ َ ‫ض‬ ُ َ ُ‫ َع ْنه‬، ‫ع ِن‬
ِ ‫ّللا َر‬ ُ ‫َن ْف‬
َ ِ ‫قَالَ وسلم عليه هللا صلى النَ ِبي‬: ‫س‬
‫ضى َحتَى بِدَ ْينِ ِه ُمعَ َلقَة ْال ُمؤْ ِم ِن‬ َ ‫ع ْنهُ يُ ْق‬
َ
Artinya : “Dari Abu Hurairah dia berkata : Rasulullah Saw bersabda ;
Jiwa orang seorang mukmin itu tertahan oleh sebab hutangnya sampai
hutang itu dilunasi.”
Berdasarkan hadis di atas, maka pewaris yang meninggalkan hutang
kepada orang lain, wajib dibayar dan diambil dari harta warisnya.
Tentang hutang pewaris ada beberapa jenisnya diantaranya yaitu :
a. Hutang Yang Berbentuk Benda
Hutang seseorang terkadang berkaitan dengan barang yang
digadaikan. Hutang seperti ini menurut ulama mazab Hanafi harus
didahulukan membayarnya daripada untuk pengurusan jenazah.
Akan tetapi menurut pendapat mazab Hambali, harus didahulukan
biaya untuk penyelenggaraan jenazah. Pendapat mazab Hambali ini
didasrkan pada salah satu hadis Nabi SAW.
“Wahai Ali, ada tiga perkara yang tidak boleh engkau tunda,
yakni salat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, dan
wanita apabila telah ada calon suami yang sekufu.” (HR. Tirmidzi
dan Ahmad ; hasan)
b. Hutang Yang Berkaitan Dengan Allah
Ada kalanya hutang seseorang bukan hutang kepada sesama
manusia, tetapi hutang kepada Allah seperti membayar zakat, kifarat
dan nazar. Menurut mazhab Hanafi, semuanya gugur dengan adanya
kematian, sehingga tidak perlu dibayar oleh ahli waris, sebab ibadah
mahdah hilang kewajibannya dengan meninggalnya seseorang.
Namun demikian, menurut pendapat mazhab Maliki, Syafi’i, dan
Hambali, tetap wajib dibayar dan diambilkan dari harta peninggalan
pewaris walaupun dia tidak berwasiat. Pendapat mazhab Maliki,

10
Syafi’i dan Hambali tampaknya lebih kuat dan layak untuk dijadikan
rujukan. Sebabnya, pendapat tersebut relevan dengan firman Allah
dalam surat Al-Baqarah Ayat 280.
3. Hak Wasiat
Terkadang, seseorang sebelum meninggal dia telah berwasiat
kepada orang lain, baik secara lisan maupun tertulis. Wasiat merupakan
perbuatan yang terpuji, terutama bagi orang-orang beriman kepada
Allah dan Rasul. Bahkan bagi orang yang mempunyai kemampuan
finansial dan disuruh melaksanakannya menjelang kematian.
Wasiat pewaris harus dilaksanakan selama tidak melebihi jumlah
1/3 (sepertiga) dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang
wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris.
Pelaksanaan wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut
diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk untuk
membayar hutangnya. Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga
dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib
dilaksanakan semuanya.
4. Hak Ahli Waris
Hak ini adalah hak yang diperoleh oleh ahli waris untuk menerima
atau menguasai harta warisan yang ditinggalkan oleh si pewaris atas
kehendak pewaris. Perpindahan hak ini tidak hanya menyangkut siapa-
siapa yang berhak mendapatkan harta waris saja, melainkan juga tentang
bagian masing-masing ahli waris dan skema pembagiannya.
Pembagian atau pemindahan harta kepada ahli waris dilakukan
apabila semua hartanya sudah terlebih dahulu dibagi untuk pengurusan
jenazah sang pewaris, dan untuk membayarkan hutangnya apabila
pewaris memiliki hutang.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelaksanaan waris dapat dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan
syaratnya. Rukun waris menurut para ulama ada tiga, adanya pewaris, ahli
waris dan harta yang akan diwariskan. Sedangkan syaratnya adalah pearis
diketahui benar-benar sudah meninggal, hidupnya ahli waris, dan ahli waris
diketahui secara pasti.
Namun dalam hal ini tidak semua bisa mendapatkan warisan, ada sebab
memperoleh warisan dan sebab terhalangnya warisan. Seseorang bisa
mendapatkan waris apabila memiliki hubungan darah dengan pewaris,
menjalin ikatan pernikahan, dan memerdekakan budak. Dan seseorang bisa
terhalang waris apablia membunuh pewaris, seorang itu ialah budak, dan
berbeda agama dengan pewaris.
Dalam waris terdapat pihak-pihak yang memiliki ha katas waris. Yaitu
hak muwaris, hak kreditur, hak wasiat dan hak ahli waris.
B. Saran
Semoga para pembaca dapat mengambil hikmah dari makalah yang
kami tulis ini. Namun kami selaku penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini banyak kekurangan yang harus segera diperbaiki.
Maka dari itu kami meminta kepada pembaca untuk menganalisis kembali
makalah kami serta menambahkan hal-hal yang kurang dan memberikan
saran dan kritik yang membangun agar dalam pembuatan makalah
selanjutnya kami bisa lebih teliti serta memiliki banyak pengalaman dari
pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Afdol. Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil. Surabaya : Unair Press, 2010.
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan
Adaptabilitas. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2012.
Asmuni dan Khoiri, Nispul. Hukum Kekeluargaan Islam. Medan : Wal Ashri
Publishing, 2017.
As-Sabuni, Muhammad Ali. Al-Faraid, Hukum Waris Dalam Islam. Depok :
Fathan Prima Media, 2013.
Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta : Rajawali Press, 2012.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Kencana, 2004.

Anda mungkin juga menyukai