Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Warisan dapat diartikan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke
arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, ketika
seorang anggota dari masyarakat itu meninggal dunia1 . Manusia
dikenal sebagai makluk sosial, dimana dalam kebutuhannya, manusia
tetap bergantung pada orang lain bahkan sampai sampai pada saat
dia meninggal. Terkadang seseorang jauh sebelum kematiannya,
sering mempunyai maksud tertentu terhadap harta kekayaannya yang
ditinggalkan, sehingga diperlukan suatu peraturan hukum yang
mengatur, yaitu apa yang disebut hukum waris. Hukum waris menurut
A. Pitlo : “Hukum Waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan
dimana, berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat-
akibatnya didalam bidang kebendaan, diatur yaitu akibat dari
beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada
ahli warisnya, baik didalam hubungannya antara mereka sendiri,
maupun dengan pihak ketiga".1

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Warisan ?
2. Bagaimana Waris Dalam Hukum Islam ?
3. Apa Prinsip - Prinsip Hukum Waris?
4. Bagaimana Sistem Pewarisan Islam?
5. Apa Saja Sumber Hukum Pewarisan beserta Asas-Asasnya?
6. Apa Saja Unsur-unsur Hukum Waris?
7. Bagaimana Tinjauan Jual Beli Hak Atas Harta Warisan Dalam
Hukum Islam?

1
Adrian Sutedi, S.H. M.H, Hukum Kepailitan, (Bogor: Ghalia, 2009), halaman 3
1
8. Apa Syarat Sah Perjanjian Jual Beli Warisan?

1.3 TujuanPenulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Warisan.
2. Untuk mengetahui Waris Dalam Hukum Islam.
3. Untuk mengetahui Prinsip - Prinsip Hukum Waris.
4. Sistem Pewarisan Islam.
5. Sumber Hukum Pewarisan beserta Asas-Asasnya.
6. Unsur-unsur Hukum Waris.
7. Tinjauan Jual Beli Hak Atas Harta Warisan Dalam Hukum Islam.
8. Apa Syarat Sah Perjanjian Jual Beli Warisan.

1.4 ManfaatPenulisan
Hasil penulisan makalah ini diharapkan bermanfaat bagi para
pembaca sebagai tambahan pengetahuan mengenai Warisan dan
untuk memberikan solusi tentang permasalahan yang terjadi dalam
pembagian warisan.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Warisan

Dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


disebutkan bahwa “ pewarisan hanya berlangsung karena kematian
”. warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-
hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia, akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup. Pendapat tersebut memberikan batasan-batasan mengenai
warisan antara lain :

a. Seorang peninggal warisan yang pada waktu wafatnya


meninggalkan kekayaan ;
b. Seseorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima
kekayaaan yang ditinggalkannya ;
c. Harta warisan, yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih
kepada ahli warisnya.

Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu Al-miirats, bentuk masdar
dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan, yang artinya adalah
berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari
suatu kaum kepada kaum lain. Sedangkan makna Al-miirats menurut
istilah adalah hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang tinggalkan itu berupa harta
(uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara
syar’i.2

Di dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan, dengan


mengambil kata waris dengan dibubuhi awalan ke dan akhiran an.
Kata waris itu sendiri dapat berarti orang, pewaris sebagai subjek dan

2
Muhammad Ali Ash-Shabuni, “Pembagian Waris Menurut Islam : Penerjemah A.M.
Basamalah“, Gema Insani Press : 2005 ( di akses dari www.kewarisan.com ).

3
dapat berarti pula proses. Dalam arti yang pertama mengandung
makna “ hal ikhwal “, orang yang menerima warisan dan dalam arti
yang kedua mengandung makna “ hal ihwal peralihan “ harta dari
yang sudah mati kepada yang masih hidup dan dinyatakan berhak
menurut hukum yang diyakini dan diakui berlaku dan mengikat untuk
semua orang yang beragama Islam. Mewaris, berarti menggantikan
tempat dari seseorang yang meninggal ( si pewaris ) dalam
hubungan- hubungan hukum harta kekayaannya. Pewarisan
dibedakan menjadi dua, yaitu (1) Pewarisan berdasarkan Undang-
Undang , juga disebut pewarisan ab-in-testato. Dan (2) Pewarisan
testamentair, yaitu pewarisan yang berdasarkan suatu testamen.3

Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta
benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik
berupa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang /
uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan
hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan
atas hutangnya ketika pewaris masih hidup. 4 Hukum Islam
merumuskan ; ” Hukum Waris memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta memindahkankan barang-barang
/ harta benda, baik barang-barang yang tidak terwujud, dan benda
(.immaterielle goederen ) dari suatu angkatan manusia (.generatie )
kepada turunannya. Hukum Waris Islam menyebutkan bahwa aturan-
aturan hukumnya mengatur bagaimana harta peninggalan atau harta
warisan diteruskan atau dibagi-bagi dari pewaris kepada para waris
dari generasi ke generasi berikutnya ”.

2.2 Waris Dalam Hukum Islam


Dalam hukum Islam ahli waris yang berhak menerima kewarisan ada
dua puluh lima orang, dengan perincian lima belas orang dari pihak

3
R.Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, ( Surabaya : Airlangga
University press, 2005 ), halaman 4.
4
Masjfuk zuhdi, Study Islam : Jilid III ( Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2007 ), halaman
57.
4
laki-laki dan sepuluh orang dari pihak perempuan.

a. Ahli waris dari pihak laki-laki adalah anak laki-laki, cucu laki-laki
dari anak laki-laki, bapak,kakek, saudara laki-laki sekandung,
saudara laki- laki sebapak, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki
saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki
sebapak, paman sekandung, paman sebapak, anak laki-laki paman
sekandung, anak laki-laki paman sebapak, suami dan laki-laki yang
telah memerdekakan hamba sahaya.
b. Ahli waris dari pihak perempuan adalah anak perempuan, cucu
perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek pihak ayah, nenek pihak
ibu, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak,
saudara perempuan seibu, isteri, dan perempuan yang telah
memerdekakan hamba sahaya.5

2.3 Prinsip - Prinsip Hukum Waris


Sejumlah prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1) Meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan
Prinsip tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain, bahwa
agama itu mudah, selalu mempermudah dan tidak mempersulit. Secara
substantif ajaran Islam senantiasa memberikan kemudahan agar
pelaksanaannya tidak menjadi beban di luar kapasitas.
2) Menyedikitkan beban
Telah menjadi etika dalam menjalankan hukum Islam untuk tidak selalu
mempertanyakannya yang berakibat pada semakin bertambahnya
aturan itu. Nabi Muhammad selalu menganjurkan untuk memahami
kaidah- kaidah umum agar dapat leluasa untuk berijtihad dan menggali
nilai-nilai hukum di dalamnya.
3) Berangsur-angsur dalam penetapan hukum
Sesuai dengan teori sosiologis bahwa penerimaan terhadap sesuatu
terkadang memerlukan proses adaptasi yang memerlukan waktu.
Hukum Islam sangat memperhatikan ini dengan melakukan penetapan

5
Masjfuk zuhdi, Study Islam : Jilid III ( Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2007 ), halaman
57.
5
hukum secara bertahap atau berangsur sesuai perkembangan dan
kapasitas.
4) Memperhatikan kemaslahatan manusia
Hukum Islam secara substansial selalu menekankan perlunya menjaga
kemaslahatan manusia. Hukum Islam senantiasa memperhatikan
kepentingan dan perkembangan kebutuhan manusia yang pluralistik.
Secara praktis kemaslahatan itu tertuju kepada tujuan-tujuan, yaitu :
a. Memelihara kemaslahatan agama ;
b. Memelihara kemaslahatan jiwa ;
c. Memelihara kemaslahatan akal ;
d. Memelihara kemaslahatan keturunan ;
e. Memelihara kemaslahatan harta benda.
5) Mewujudkan keadilan yang merata
Hukum Islam senantiasa menuntut kesadaran akan semangat egality
dan equality. Semua manusia dan makhluk lainnya merupakan ciptaan
Tuhan yang memiliki peluang yang sama untuk mengabdi kepada
pencipta- nya. Dan yang membedakan hanyalah tingkatan
ketakwaannya. Dalam konteks ini tidak dibenarkan untuk tidak berlaku
adil diantara sesama ciptaan Tuhan.6

2.4 Sistem Pewarisan Islam

Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersumber dari beberapa ayat


Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan,
dan hal-hal yang ditentukan Rasulullah. Dasar hukum kewarisan itu
ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang secara tersirat,
bahkan kadang-kadang hanya berisi pokok-pokoknya saja, yang
paling banyak ditemui dasar atau sumber hukum itu dalam Surah An-
Nisa’; disamping surah lainnya sebagai pembantu.

Pewaris ( muwarits ) atau harta peninggalan (Tirkah), ialah apa yang


ditinggalkan pewaris baik hak kebendaan berwujud, maupun tidak
berwujud, bernilai atau tidak bernilai, atau kewajiban yang harus

6
Ibid, halaman 89.

6
dibayar. Harus ada ahli waris ( warits ), yaitu orang yang akan
menerima harta peninggalan pewaris, yang dapat dibagi dalam 5
(lima) golongan yaitu :

1. ahli waris sebab ( Sababiyah ) perkawinan antara suami dan


istri ;
2. ahli waris nasabiyah, yaitu orang yang menerima warisan karena
ada hubungan nasab ( Qarabat ) ;
3. ahli waris karena hubungan Wala ( karena pembebasan budak ) ;
4. apabila menangis anak yang baru dilahirkan maka dia akan
mewaris ;
5. kematiannya bersamaan, mereka tidak saling mewaris. 7

Perbedaan Agama, seorang Muslim tidak dapat mewarisi ataupun


diwarisi orang nonmuslim, apapun agamanya. Hal ini ditegaskan
Rasulullah saw. Dalam sabdanya:

َ‫ْسل ُم ْ ال َكافِ َر َ و َل ْ الكاَِف ُر ْ ال ُم ْسِ ل َم‬


ِ ‫ل َ ي ِر ُث ا ْل ُم‬
Artinya :
“Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula
orang kafir mewarisi muslim.” (Bukhari dan Muslim).
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan dalam Pasal 173,
yaitu :
Seorang terhalang ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang
telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. 8

2.5 Sumber Hukum Pewarisan beserta Asas-Asasnya

Sumber-sumber hukum warisan Islam adalah pertama Al-Qur‘an,

7
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., halaman 87.
8
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, h. 42.
7
kedua Sunnah Rasulullah SAW, dan yang ketiga ialah ijtihad para ahli
hukum Islam. Dasar penggunaan ketiga sumber hukum warisan Islam
itu pertama dalam Al-Qur‘an surat An-Nisa‘ ayat 59 :

“ Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan taatilah


Rasul (.Nya ), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah ( Al- Quran ) dan Rasul ( sunnahnya ), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.” 9

Dalam ayat tersebut mewajibkan bahwa setiap manusia dalam


menetapkan hukum harus berdasarkan ketetapan-ketetapan Allah
SWT dan Sunnah Rasulullah SAW,10 serta Uil Amri mmenyatakan
bahwa dapat dimaknakan sebagai sumber ijtihad para mujtahid. 11

Setiap perangkat hukum mempunyai asas atau prinsip masing-


masing, tidak terkecuali dalam hukum waris. Dalam hukum waris
dikenal 5 asas yaitu :

1. Asas ijbari. Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang
telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup berlaku
dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau
kehendak yang akan menerima, cara peralihan inidisebut ijbari.
Kata ijbar berasal dari bahasa Arab yang diartikan dengan paksaan
atau pengendalian Tuhan (atas segala ciptaann-Nya) termasuk
segala gerak gerik perbuatan manusia. Peralihan harta seseorang
yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan
sendirinya sesuai dengan kehendak Allah tanpa tergantung kepada
kehendak ahli waris atau pewaris. Ahli waris langsung menerima
kenyataan pindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan
jumlah yang telah ditentukan.
2. Asas bilateral, yaitu orang yang menerima warisan dari kedua
belah pihak kerabat yaitu kerabat garis keturunan garis laki-laki
maupun dari pihak kerabat keturunan perempuan. Dalam ayat 7
surah An-Nisa’ dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak
mendapatkan warisan dari pihak ayahnya juga dari pihak ibunya.

9
Ulil Amri, Mujitahid Ar-Razi dalam Mafnatihul Ghaib ( dikutip oleh Munawar Chalil,
Ulil Amri ), ( Semarang : Ramadhani, 2008 ) halaman 69.
10
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam ( mengutip ayat-ayat Al-
Qur’an, Surat An-Nisa’, Sunah Raullullah SAW ), ( Jakarta : PT. Hidakarya Agung,
2009 ), halaman 11.
11
Ulil Amri, Op.Cit., halaman 20.
8
Begitu pula seorang anak perempuan berhak menerima harta
warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya.
3. Asas Individual, yaitu harta peninggalan yang ditinggal mati oleh
pribadi langsung kepada masing-masing. Pembagian secara
individual ini didasarkan pada ketentuan bahwa setiap insan
sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menjalankan hak
dan kewajibannya. Dengan demikian, harta waris yang telah dibagi
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan menjadi milik ahli
waris secara individual.
4. Asas keadilan berimbang, yaitu ahli waris laki-laki maupun
perempuan semuanya berhak mewarisi harta peninggalan yang
ditinggal mati oleh pewaris sebagaimana dijelaskan dalam surat
An-Nisa ayat 7, yakni bahwa anak laki-laki demikian juga anak
perempuan ada bagian harta dari peninggalan ibu bapaknya. Kata
keadilan yang berasal dari bahasa Arab yaitu “al-adl” berarti
keadaan yang terdapat di dalam jiwa seseorang yang membuatnya
menjadi lurus.
5. Asas hukum warisan Islam dalam teks Al-Qur‘an dan As-Sunnah
tidak dijumpai, dan asas tersebut merupakan hasil ijtihad para
mujtahid, atau ahli hukum Islam. Dengan demikian kemungkinan
asas hukum warisan Islam itu beragam. Menurut Amir Syarifuddin
asas hukum warisan Islam lima macam, yaitu asas ijbari, asas
bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas
warisan semata akibat kematian.12

2.6 Unsur-unsur Hukum Waris

Dalam hukum warisan Islam sama dengan hukum warisan adat,


terdapat unsur- unsur yang dalam hukum Islam disebut rukun. Adapun
unsur-unsur hukum warisan Islam, antara lain : pertama, pewaris
(muwaris), yaitu orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan
harta warisan ; dan kedua, harta warisan adalah harta, baik berupa
harta bergerak, tidak bergerak, dan harta yang tidak maujud, seperti
hak intelektual, hak cipta dan lain-lain. Harta tersebut dapat dibagikan
kepada ahli waris, setelah dikurangi biaya perawatan / pengobatan
pewaris, pemakaman, pembayaran hutang, dan wasiat.

2.7 Tinjauan Jual Beli Hak Atas Harta Warisan Dalam Hukum Islam

Pemindahan hak atas harta warisan dapat berupa jual beli, hibah,
tukar menukar dan lelang. Dari perbuatan hukum yang sering

12
Amir Syarifuddin, Op.Cit., halaman 17-18.
9
dilakukan adalah jual beli harta warisan. Dalam konsep hukum Islam
kepemilikan mutlak itu berada di tangan Allah. Al- Quran dalam
beberapa ayatnya mengindikasikan mengenai hal ini, dalam surat Al-
Baqarah (2) ayat 255 menegaskan : “Kepunyaan-Nya apa yang di
langit dan dibumi.” Ayat-ayat lain yang juga menegaskan hal itu di
antaranya adalah QS. Al-Baqarah (2) : 284, QS. Ali Imran (3) : 109,
dan 129, QS. An-Nisa’ (4) : 126, 131, 132, 170, dan 171, QS. Yunus
(10) : 55 dan 68, QS. Ibrahim (14) : 2, An-Nahl 916) : 52, QS.
Thaha 9 (20) : 6, QS. Al-Hajj (22) : 64, QS. Luqman (31) : 26, dan QS.
Asy-Syura (42) : 4.

Hukum Islam mengakui adanya kepemilikan individual atau


kepemilikan yang diberikan kepada manusia. Kepemilikan Allah atas
semua yang ada di alam semesta ini didasarkan pada kenyataan
bahwa semua yang ada di dunia ini diciptakan oleh Allah. Begitu
juga manusia yang memiliki diri pribadinya dianggap sebagai pemilik
kerjanya maupun produk kerjanya. Tingkat kepemilikan seorang
individu atas barang yang telah diproduksinya dapat diukur oleh
kontribusinya dan proses produksinya. Kepemilikan bisa juga
diperoleh karena pemberian alam ( langsung dari Allah ), tanpa harus
mengolahnya, misalnya memanfaatkan air sungai / laut atau yang
lainnya.13 Nabi Muhammad Saw, Bersabda : “Barang siapa
menyentuh, dengan tangannya, sesuatu yang belum pernah disentuh
oleh seorang Muslim sebelumnya, dianggap sebagai pemilik sesuatu
itu.” Hadits ini mencakup sumber daya alam pada umumnya dan
barang-barang konsumsi pada khususnya.14

Di dalam hal jual beli, berarti bahwa kepemilikan barang akan


berpindah setelah barang itu diperjualbelikan, sehingga hak
kepemilikan barang itu akan berpindah dari penjual kepada
pembelinya. Tentu saja hak kepemilikan ini jika dirinci lagi bisa meliputi
berbagai cara, seperti terkait dengan sewa-menyewa, pinjam-
13
H. Muhammad Behesti, Kepemilikan dalam Islam ( Diterjemahkan dari buku aslinya
: Ownership in Islam ), ( Jakarta : Pustaka Hidayah, 2002 ), halaman 15.
14
Op.Cit., halaman 24.
10
meminjam, dan lain sebagainya. Kasus kepemilikan lainnya bisa juga
melalui kasus rampasan perang, wasiat, dan lain sebagainya.

2.8 Syarat Sah Perjanjian Jual Beli Warisan

Jual beli dinyatakan syah apabila telah memenuhi syarat-syarat atas


pelaku akad, barang yang akan diakadkan, atau tempat berakad,
barang yang akan dipindah kepemilikannya dari salah satu pihak
kepada pihak lain baik berupa harga atau barang yang ditentukan
dengan nilai atau harga. Pelaku akad adalah orang yang berakal dan
mempunyai kemampuan memilih. Jadi orang gila, orang mabuk, dan
anak kecil tidak bisa dinyatakan sah. Bagi anak kecil yang sudah
mampu membedakan yang benar dan yang salah maka akadnya sah,
tapi tergantung walinya.

11
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hukum Islam merumuskan ; ” Hukum Waris memuat peraturan-


peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
memindahkankan barang-barang / harta benda, baik barang-barang
yang tidak terwujud, dan benda (.immaterielle goederen ) dari suatu
angkatan manusia (.generatie ) kepada turunannya.
Dasar penggunaan ketiga sumber hukum warisan Islam itu pertama
dalam Al-Qur‘an surat An-Nisa‘ ayat 59 :

“ Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan taatilah Rasul


(.Nya ), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al-
Quran ) dan Rasul ( sunnahnya ), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.”

3.2 Saran
Waris merupakan hal penting di dalam hukum Islam karena sering
menimbulkan perselisihan, sebagai umat yang beragama Islam untuk
mecegah perpecahan dalam tali persaudaraan, sebaiknya
gunakanlah pembagian waris sesuai dengan hukum Islam.

12
DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, S.H. M.H, Hukum Kepailitan, (Bogor: Ghalia, 2009),

Muhammad Ali Ash-Shabuni, “Pembagian Waris Menurut Islam :


Penerjemah A.M. Basamalah“, Gema Insani Press : 2005 ( di akses
dari www.kewarisan.com ).

R.Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, ( Surabaya :


Airlangga University press, 2005

Masjfuk zuhdi, Study Islam : Jilid III ( Jakarta : PT. Raja Grafindo,
2007 ), Masjfuk zuhdi, Study Islam : Jilid III ( Jakarta : PT. Raja
Grafindo, 2007 ),

Ibid, halaman 89

Hilman Hadikusuma, Op.Cit.,.

Ulil Amri, Mujitahid Ar-Razi dalam Mafnatihul Ghaib ( dikutip oleh


Munawar Chalil, Ulil Amri ), ( Semarang : Ramadhani, 2008 )

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam ( mengutip


ayat-ayat Al-Qur’an, Surat An-Nisa’, Sunah Raullullah SAW ),
( Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 2009 ),.

Ulil Amri, Op.Cit.,.

Amir Syarifuddin, Op.Cit.,.

H. Muhammad Behesti, Kepemilikan dalam Islam ( Diterjemahkan


dari buku aslinya : Ownership in Islam ), ( Jakarta : Pustaka Hidayah,
2002 ),.

Op.Cit., halaman 24.

13
14

Anda mungkin juga menyukai