Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Kewarisan Islam Dalam Perspektif Fikih dan Undang-undang

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum Perdata Islam di
Indonesia )

Dosen Pengampu : Miftahudin Azmi, M.HI

Disusun Oleh :
Faisal 2002011100
Alfa Farikhah 200201110089
Azzahra 200201110

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami sehingga kami
dapat menyelesaikan Makalah Hukum Perdata Islam Indonesia dengan judul “Kewarisan
dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang” sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabat-Nya serta umat-umatnya
yang senantiasa istiqomah di atas Sunnah serta ajaran yang beliau bawa sampai hari
kiamat kelak yakni Addinul Islam.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam
Indonesia yang dibimbing oleh Bapak Miftahudin Azmi, M. HI. Serta dalam kepenulisan
makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan dan masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kami tidak menutup diri dari para pembaca akan saran
dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan dan peningkatan kualitas
penyusunan makalah di masa yang akan datang.

Malang, 20 November 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris Menurut Fiqih

Waris berasal dari bahasa arab Al-miirats, yang dalam bahasa arab adalah
bentukan masdar dari kata waritsa – yaritsu – irtsan – miiratsan yang memiliki
makna berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain. 1 Makna al-miirats
menurut istilah ysng dikenal para ulama adalah berpindahnya hak kepemilikan dari
orang yang meninggal kepada ahli waris yang masih hidup, baik yang ditinggalkan
berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal. 2 Sedangkan
waris menurut istilah diberikan pengertian oleh Prof Hasby As-Shiddiqi yakni ilmu
yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak
dapat mewarisi, jumlah masing-masing yang dapat diterima oleh ahli waris serta cara
pengembaliannya.3

Mawaris juga biasa disebut dengan faraid yang berarti ketentuan atau
menentukan. Para ulama mengartikannya dengan bagian yang ditentukan kadarnya
atau ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak
mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkan warisan dan berapa
bagian yang dapat diterima oleh mereka. Waris dalam kitab fikih dikenal dengan
nama Faraidh, yang secara bahasa berarti jamak dari kata faridhoh dan kata fardh
yang berarti ketentuan. Sedangkan menurut syariat fardh memiliki arti sebagai bagian
(hak) yang telah ditentukan bagi ahli waris.4

B. Syarat dan Rukun Waris

1
Badrah Uyuni and Mohammad Adnan, “Application of Islamic Inheritance Law Among Muslim Society,”
El-Arbah: Jurnal Ekonomi, Bisnis Dan Perbankan Syariah 5, no. 1 (2021): 19–32,
https://doi.org/10.34005/elarbah.v5i1.1543.
2
Nirsal, “Sistem Informasi Pengolahan Data Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam Pada
Pengadilan Agama Kota Palopo,” Jurnal Imiah d’computare 1, no. 2 (2011): 26–35.
3
Endang Sriani, “Fiqih Mawaris Kontemporer: Pembagian Waris Berkeadilan Gender,” TAWAZUN : Journal
of Sharia Economic Law 1, no. 2 (2018): 133, https://doi.org/10.21043/tawazun.v1i2.4986.
4
Saifullah Basri, “Hukum Waris Islam (Fara’Id) Dan Penerapannya Dalam Masyarakat Islam,” Jurnal
Kepastian Hukum Dan Keadilan 1, no. 2 (2020): 37, https://doi.org/10.32502/khdk.v1i2.2591.
Islam menjelaskan bahwa ada tiga syarat dalam kewarisan sehingga seseorang dapat
memberi hak untuk menerima warisan, diantaranya :

1. Orang yang mewariskan (pewaris) ia benar telah meninggal dunia baik secara
hakiki dan dapat dibuktikan secara hukum. Bahwa pewaris ini memang benar-
benar meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli waris atau sebagian dari mereka.
Adapun yang menurut hukum ialah ketika hakim telah menetapkan vonis kepada
seseorang yang tidak lagi diketahui keberadaannya. Contoh : orang hilang yang
keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti sehingga hakim memvonisnya
sebagai seseorang yang telah meninggal dunia.
2. Orang yang mewarisi (ahli waris) dan ia hidup pada saat pewaris meninggal dunia
dan bisa dibuktikan secara hukum. Pemindahan hak kepemilikan ini benar-benar
diberikan kepada ahli waris yang secara syariat ia masih hidup karena orang yang
sudah mati tidak memiliki hak untuk mendapat warisan.
3. Ada hubungan antara pewaris dengan orang yang menerima waris, baik dari
hubungan nasab maupun hubungan pernikahan. Dalam hal ini posisi para ahli
waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan
sebagainya, sehingga pembagian bisa diketahui dengan pasti jumlah bagian yang
harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. karena, dalam hukum waris
perbedaan jauh dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara
sang pewaris. Akan tetapi baru dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung,
saudara seayah, atau saudara seibu.5

Adapaun rukun dalam kewarisan diantaranya :

1. Al-Muwarris adalah orang yang mewariskan hartanya atau orang yang meninggal
dunia.
2. Al-Warits adalah orang yang masih hidup pada saat muwarris meninggal dan
mereka berhak atas harta peninggalan pewaris dengan adanya hubungan nasab
atau pernikahan

5
Nirsal, “Sistem Informasi Pengolahan Data Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam Pada
Pengadilan Agama Kota Palopo.”
3. Al-Mauruts adalah harta yang ditinggalkan oleh Muwarris atau biasa disebut
dengan tirkah (harta peninggalan).6
C. Penghalang Waris

Dalam pelaksanaan pembagian waris kepada ahli waris tentu saja tidak semua akan
mendapatkan haknya secara otomatis, karena ada hal-hal lain yang dapat menjadikan
seorang pewaris menjadi terhalang dengan beberapa hal, diantaranya :

1. Perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris , karena dalam hadis nabi
dijelaskan bahwa orang muslim tidak berhak atas harta orang kafir dan sebaliknya
orang kafir tidak berhak atas harta orang muslim
2. Mejadi seorang pembunuh, maka ia tidak berhak menerima waris atas harta
peninggalan rang yang dibunuh. Dan ia membunuh dengan sengaja yang
mengandung unsur pidana.
3. Budak, ia tidak berhak memiliki sesuatu, namun penghalang perbudakan ini sudah
tidak begitu mendapat perhatian kaena dalam masa sekarang perbudakan sudah
tidak ada.7

BAB III

PENUTUP

6
Muhammad Ikbal, “Hijab Dalam Kewarisan,” At-Tafkir 11, no. 1 (2018): 132–53,
https://doi.org/10.32505/at.v11i1.533.
7
Basri, “Hukum Waris Islam (Fara’Id) Dan Penerapannya Dalam Masyarakat Islam.”
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Saifullah. “Hukum Waris Islam (Fara’Id) Dan Penerapannya Dalam Masyarakat
Islam.” Jurnal Kepastian Hukum Dan Keadilan 1, no. 2 (2020): 37.
https://doi.org/10.32502/khdk.v1i2.2591.

Ikbal, Muhammad. “Hijab Dalam Kewarisan.” At-Tafkir 11, no. 1 (2018): 132–53.
https://doi.org/10.32505/at.v11i1.533.

Nirsal. “Sistem Informasi Pengolahan Data Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum
Islam Pada Pengadilan Agama Kota Palopo.” Jurnal Imiah d’computare 1, no. 2
(2011): 26–35.

Sriani, Endang. “Fiqih Mawaris Kontemporer: Pembagian Waris Berkeadilan Gender.”


TAWAZUN : Journal of Sharia Economic Law 1, no. 2 (2018): 133.
https://doi.org/10.21043/tawazun.v1i2.4986.

Uyuni, Badrah, and Mohammad Adnan. “Application of Islamic Inheritance Law Among
Muslim Society.” El-Arbah: Jurnal Ekonomi, Bisnis Dan Perbankan Syariah 5, no.
1 (2021): 19–32. https://doi.org/10.34005/elarbah.v5i1.1543.

Anda mungkin juga menyukai