Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FIQIH MAWARITS

TENTANG
“SEJARAH KEWARISAN ISLAM”
“Makalah Ini Kami Susun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Fiqih Mawarits ”

DOSEN PENGAMPU :
MUSLIHUN, M.H

Disusun Oleh Kelompok I :


1. Rosnawati : Es.201024
2. Siti Rahma : Es.201025
3. Shinta Andriani : Es.201011
4. Yati Rahmita E. : Es.201042
5. Besse Mirna W. : Es.201002

PROGRAM STUDY EKONOMI SYARI’AH


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SYARI’AH AL-MUJADDID
TANJUNG JABUNG TIMUR
TAHUN AKADEMIK 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat-Nya sehingga
makalah pada mata kuliah Fiqih Mawarits yang berjudul “Sejarah Kewarisan Islam” ini dapat
tersusun sampai dengan selesai.

Tidak lupa Kami mengucapkan Terima Kasih terhadap Bapak Muslihun, M.H selaku
Dosen Pengampu pada mata kuliah Fiqih Mawarits dan kepada bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Kami sangat
berharap semoga Makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah.

Muara Sabak Timur, 03 Maret 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................................................
Daftar Isi.......................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................
A. Latar Belakang..................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................
C. Tujuan Pembahasan..........................................................................................................
BAB II..........................................................................................................................................
ISI…………………………………………………………………………………………….
A. Latar Belakang Ilmu Waris Dalam Islam…………………………………………….
B. Waris Pada Zaman Sebelum Nabi Muhammad……………..……………………….
C. Perkembangan waris islam................................................................................................
D. Asas-Asas Waris Islam………..………………………………………………………..
BAB III………………………………………………………………………………………..
PENUTUP……………………………………………………………………………………..
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………….
B. Saran…………………………………………………………………………………….
Daftar Pustaka..............................................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada prinsipnya, setiap manusia mengalami proses perjalanan, mulai dilahirkan, hidup
dibumi dan diakhiri dengan kematian. Tentu tahap-tahap tersebut akan membawa dampak
hukum atau pengaruh bagi lingkungannya, terutama bagi orang yang ada hubungan dengannya,
baik hubungan darah (nasab), maupun hubungan karena pernikahan. Manusia lahir bersama
dengan hak dan kewajibannya sebagai individu yang berinteraksi dengan orang lain. 1

Hubungan interaksi tersebut bisa dengan orang tuanya, kerabatnya, keluarganya, dan
juga masyarakat lingkungannya. Sejak bayi, anak-anak, tamyiz, usia baligh, dan lanjut usia,
manusia tidak pernah lepas dari hak dan kewajibannya. Manusia me miliki hak dan menanggung
kewajiban baik sebagai pribadi, sebagai anggota keluarga, sebagai warga negara, dan sebagai
pemeluk agama, yang harus taat, tunduk dan patuh terhadap syariat agama.

Demikian juga jika manusia meninggal. Ia membawa pengaruh dan akibat hukum kepada
dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Kematian juga menimbulkan
kewajiban baru bagi manusia yang lainnya, yaitu pengurusan jenazah yang merupakan fardhu
kifayah bagi orang yang ditinggalkannya, di samping akibat-akibat hukum lain yang salah
satunya menyangkut hak para keluarga yang ditinggalkannya (ahli waris) terhadap seluruh harta
yang ditinggalkan.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang ilmu waris dalam islam ?
2. Bagaimana waris pada zaman sebelum nabi Muhammad ?
3. Bagaimana perkembangan waris islam ?
4. Apa saja asas-asas dalam hukum waris islam ?

C. Tujuan Peulisan
1. Dapat memahami tentang latar belakang ilmu waris dalam islam
2. Dapat memahami waris pada zaman sebelum nabi Muhammad
3. Dapat memahami perkembangan waris islam
4. Dapat memahami asas-asas dalam hukum waris islam

1
Lihat Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1983), hlm.13.
2
Lihat Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002),
hlm. 1

4
BAB II
SEJARAH KEWARISAN ISLAM

A. LATAR BELAKANG ILMU WARIS DALAM ISLAM

Harta waris menjadi harta yang diberikan dari seseorang yang sudah meninggal pada
orang terdekat seperti keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Untuk pembagian harta waris di
dalam hukum Islam sudah diatur dengan sangat jelas pada Al Quran. Allah SWT dengan segala
rahmat-Nya juga sudah memberikan bimbingan untuk mengarahkan manusia dalam urusan
pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan ini memiliki tujuan supaya diantara manusia
yang sudah ditinggalkan tidak menimbulkan pertengkaran dan perselisihan.3

Hukum kewarisan pada intinya adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak dan
kepemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan beberapa bagiannya masing-masing. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa substansi
hukum kewarisan termasuk kewarisan Islam ialah mengatur peralihan hak milik dari simayit
kepada ahli waris.4

Hukum kewarisan Islam merupakan satu dari sekian banyak hukum Islam yang terpenting.
Hukum warisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa saja orang yang bisa mewarisi dan
tidak bisa bagian-bagian yang diterima setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Dalam
hukum kewarisan Islam penerima harta warisan di dasarkan pada asas Ijbari, yaitu harta warisan
pindah dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT Tanpa digantungkan pada kehendak
pewaris atau ahli waris. 5

Waris merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dikaji secara khusus dalam
lingkup fiqh mawaris. Pengkhususan pengkajian dalam hukum Islam secara tidak langsung
menunjukkan bahwa bidang waris merupakan salah satu bidang kajian yang penting dalam
ajaran Islam. Bahkan dalam al- Qur’an, permasalahan mengenai waris dibahas secara detail
dan terperinci. Hal tersebut tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya sengketa antar
anggota keluarga terkait dengan harta peninggalan anggota keluarga yang telah meninggal.6

Ilmu mawaris adalah ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena dengan ilmu mawaris
harta peninggalan seseorang dapat disalurkan kepada yang berhak, sekaligus dapat mencegah
kemungkinan adanya perselisihan karena memperebutkan bagian dari harta peninggalan
tersebut. Dengan ilmu mawaris ini, maka tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Karena
pembagian harta warisan ini adalah yang terbaik dalam pandangan Allah dan manusia. Dari
Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:

Artinya : "Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid
dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal,
dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua
orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun

3
https://dalamislam.com/hukum-islam/pembagian-warisan-menurut-hukum-islam diakses
pukul:10:39, 28/01/ 2018 2 A
4
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013),
hal. 17
5
Ah. Rofiq, hukum Islam di Indonesia , jakarta : PT. Raja grafindo persada , 200 hl 356
6
Secara lebih jelas dapat dilihat dalam Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta:
UII Press, 2001, hlm. 3.

5
keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. "
(HR Daruquthni)

Permasalahan yang muncul sekarang adalah banyak orang yang tidak memahami ilmu
mawaris, sehingga sangat sulit mencari orang yang benar-benar menguasai ilmu ini. Di sisi lain
banyak anggota masyarakat yang tidak mau tahu dengan ilmu mawaris, sehingga akibatnya
mereka membagi harta warisan menurut kehendak mereka sendiri dan tidak berpijak pada cara-
cara yang benar menurut hukum Islam. Misalnya pembagian harta warisan sama rata antara
semua anak. Bahkan anak angkat memperoleh bagian, cucu mendapat bagian walaupun ada anak
almarhum (yang meninggal) dan lain-lain. Kenyataan ini terutama akibat tidak memahaminya
aturan yang digariskan dalam ilmu mawaris.
Akan tetapi dalam pelaksanannya hukum kewarisan Islam perlu mendapatkan perhatian
yang besar, karena dalam pembagaian warisan antara hak waris yang satu dengan yang lain
saling berkaitan.7 Pembagian warisan sering menimbulkan akibat- akibat yang tidak jarang
menimbulkan perselisihan diatara anggota keluarga yang berkepanjagan karena secara naluriah
manusia sangat mecintai harta. sebagaimana yang dijelaskan dalam surat (QS.Al-Imran ayat 14)
yang berbunyi:
‫ض ِة َو ْالخَ ي ِْل ْال ُم َس َّو َم ِة َوااْل َ ْن َع ِام‬
َّ ِ‫ب َو ْالف‬ ِ ‫ت ِمنَ النِّ َس ۤا ِء َو ْالبَنِ ْينَ َو ْالقَن‬
ِ َ‫َاطي ِْر ْال ُمقَ ْنطَ َر ِة ِمنَ ال َّذه‬ ِ ‫اس حُبُّ ال َّشهَ ٰو‬ ِ َّ‫ُزيِّنَ لِلن‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫ع ْال َح ٰيو ِة ال ُّد ْنيَا ۗ َو ُ ِع ْند َٗه ُحسْنُ ْال َم ٰا‬
‫ب‬ َ ِ‫ث ۗ ٰذل‬
ُ ‫ك َمتَا‬ ِ ْ‫َو ْال َحر‬
Artinya : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
Yaitu: wanita-wanita, anak- anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak [186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup
di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Dalam hal ini tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan harta benda termasuk harta pewaris itu sendiri. Berkaitan masalah diatas, maka
dibuatlah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan
meninggalnya seseorang. Proses pindahnya harta dari orang meninggal dunia kepada pihak
yang masih hidup yang beralih kepada orang orang yang ditetapkan sebagai ahli waris dalam
huk um waris. Dalam ajaran agama Islam ketentuan ini disebut faraid. hal ini sesuai dengan
hadist.
‫الحقىا الفرائض با هلها فما قب ي فهى الولى رجل ذ كرز‬

Artinya : “Berikanlah bagian fara’idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak.
Maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya). (
HR.Bukhori Muslim).

Hadist diatas menyatakan sisa harta sudah diambil oleh ashabul furud atau diberikan
kepada waris laki laki yang paling dekat dengan si mati yang dinamakan ashabah. Namun
demikian,untuk terjadinya saling waris mewaris tersebut diperlukan syarat-syarat, baik itu syarat
yang berkaitan dengan pewaris atau syarat yang berkaitan dengan ahli warisnya.

Menurut hukum kewarisan Islam, secara singkat syarat- syarat tersebut antara lain bagi
pewaris adalah pewaris telah meninggal dunia. Menurut ulama, kematian pewaris itu dibedakan
menjadi 3(tiga) macam :haqiqi,hukmi, taqdiry.

Kemudian syarat-syarat bagi ahli adalah hidupnya ahli waris disaat kematian pewaris,
baik itu sudah nyata maupun hidup secara hukmi walaupun ia tidak diketauhi secara kenyataan

7
Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam , jakarta : rajawali prese 1990 hl. 129

6
masih hidup, seperti ahli waris yang mafqud. Dan pusaka anak yang masih dalam kandungan.
Masalah ini memang menimbulkan problem tersendiri, disamping itu menurut hukum Islam
terdapat beberapa sebab seorang itu menerima waris adalah karenahubungan darah, atau
karena hubungan perkawinan dan karena memardekakan budak (wala).8

B. WARIS PADA ZAMAN SEBELUM NABI

Sebagian aturan syariat Islam, siapapun yang wafat dari kalangan ummat islam dan
mempunyai tirkah atau harta peninggalan, maka harta tersebut harus diwariskan. Hal itu
sudah menjadi ketentuan dalam syari’at islam yang di atur ketat dalam hukum warits,
sehingga dalam masalah hukum warits ini pelakunya harus mengikuti ketentuan-ketentuan
yang sudah di tetapkan baik dari sisi penerima warisan ataupun dari sisi pembagian
warisan.

Dalam syariat Islam, seseorang yang wafat dan meninggalkan harta, hartanya harus
diwariskan. Pembagian harta itu harus sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu hukum
waris. Hukum Waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagian masing-masing.9

Hukum waris mengatur siapa saja yang berhak menjadi ahli waris yang mendapat
bagian harta warisan, yang terhalang menerima warisan, berapa bagiannya masing-masing,
bagaimana ketentuan pembagiannya, serta mengatur hak-hak yang berhubungan dengan
pembagian warisan.10

Masa pra-Islam dikenal juga dengan masa jahiliah, yaitu masa di mana bangsa Arab
selalu melakukan peperangan dan bertindak tidak adil. Pada masa itu, kehidupan orang
Arab ber gantung pada hasil perniagaan, jarahan, dan hasil rampasan perang dari bangsa-
bangsa yang mereka taklukkan. Ketika itu, kekayaan berada di tangan laki-laki dewasa yang
mampu dan memiliki kekuatan serta kekuasaan. Hal itu juga berlaku terhadap pembagian
harta warisan. Maka, menjadi wajar jika harta warisan diberikan kepada laki-laki dewasa,
bukan kepada perempuan dan anak-anak.

Pada masa jahilyah, pembagian harta warisan dilakukan dengan berpijak pada dua
sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab.11 Salah satu yang menjadi Tradisi jahiliyah
dalam pembagian harta warisan adalah bersifat patrilinear, di mana kaum perempuan dan
anak-anak yang belum dewasa mereka terjegah untuk mendapatkan harta warisan,
sekalipun mereka merupakan ahli waris dari yang telah meninggal.12 Dengan itu sudah
menjadi indikasi kuat bahwa pra-Islam keadaan bangsa Arab dalam masalah waritrsan
mereka telah menjadikan kaum wanita tidak artinya.
Hal itu terjadi karena arab jahiliyah pada saat itu berdalih bahwa kaum wanita tidak
mempunyai kekuatan untuk di ikut sertakan dalam berperang membela kaum dan sukunya.

8
A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 398-402.
9
Pengertian hukum waris menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 Ayat
1, lihat Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Semarang, 2008), hlm. 13.
10
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 4.
11
Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Bandung: Cita Pusaka Media Perintis,
2012), hal. 7.
12
Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 32

7
Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, “Bagaimana mungkin kami memberikan
warisan (harta peninggalan kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggangi
kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh.”
13
Bahkan Mereka melarang keras dan megharamkan kaum wanita menerima harta warisan
sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil. Tidak sampai di situ, di
antara mereka mengira bahwa kaum wanita yang ditinggal mati suaminya mereka termasuk
harta yang dapat diwariskan dan diwarisi oleh para ahli waris suaminya.

Di masa jahiliyah (pra-islam), pembagian warisan dilakukan jika terdapat hubungan


kekeluargaan/kerabat. Di antara mereka juga ada yang beranggapan bahwa harta warisan
bisa diberikan terhadp mereka yang telah melakukan perjanjian prasetia, dan bias juga di
berikan pada tabanni (anak-anak yang diadopsi /pengangkatan anak). Dari penjelasan di
atas Dapat di tarik pemahaman bahwa, seseorang bisa mendapatkan harta warisan apabila:14
1. Ditemukan Pertalian Kekeluargaan/kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang
yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran.
2. Sudah di gelarnya Janji Ikatan Prasetia
Definisi Janji prasetia adalah dorongan dan dukungan yang di dasari oleh kemauan
bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan sesama. Dengan itu kaum wanita
dan anak laki-laki terkesan disingkirkan sebab tidak mungkin terealisasi apabila pihak-
pihak yang berjanji adalah anak-anak yang belum dewasa, apalagi kaum wanita.
Adapun isi janji prasetia tersebut adalah: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku
pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu damaiku damaimu,
kamu mewarisi hartamu aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku
dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai ganti nyawaku, aku
pun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu”.15

3. tabanni (Pengangkatan Anak)


sebelumnya sudah di jelaskan bahwa pewarisan atas dasar kekarabatan, pewarisan
atas nama ikatan janji prasetia, dan pewarisan atas nama tabanni (pengangkatan anak), itu
semuanya bias terlaksana dengan catatan mereka harus terdiri dari lelaki dewasa (yang
mempunyai kekuatan cukup).
Adapun tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia dan pengangkatan anak
adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan
kehormatan mereka serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan mereka. Hal itu
tidak akan terealisasikan jika masih anak-anak atau perempuan.16

C. PERKEMBANGAN WARIS ISLAM


Pada masa awal Islam, masih berlaku sistem pembagian kewarisan masa jahiliah hingga
turun ayat yang menerangkan bahwa para lelaki (tidak memandang dewasa atau anak-anak)
memperoleh bagian (pusaka) dari harta peninggalan orang tua dan kerabat-kerabat terdekat,
begitu juga dengan perempuan, baik harta itu sedikit maupun banyak. Sebagaimana firman
Allah swt Q.S. an-Nisa’ (4): 7

13
Muhammad Ali al-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, terj. A.M Basmalah, (Gema
Insani Press, 1995), hlm. x.
14
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, hlm. 3
15
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm.14
16
Teuku M.Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Risky Putra,
2011),hlm.3

8
ِ َ‫صيْبٌ ِّم َّما تَ َركَ ْال َوالِ ٰد ِن َوااْل َ ْق َربُوْ ۖنَ َولِلنِّ َس ۤا ِء ن‬
ۗ ‫صيْبٌ ِّم َّما تَ َركَ ْال َوالِ ٰد ِن َوااْل َ ْق َربُوْ نَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ اَوْ َكثُ َر‬ ِ َ‫ِّجا ِل ن‬ َ ‫لِلر‬
‫ص ْيبًا َّم ْفرُوْ ضًا‬
ِ َ‫ن‬
Artinya : ”Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan”.

Dengan turunnya ayat di atas, terhapuslah adat jahiliah yang tidak memberikan pusaka
kepada perempuan dan anak-anak kecil. Di sisi lain, pada masa awal Islam, Rasulullah telah
menerapkan hukum kewarisan. hal ini terlihat ketika Rasulullah beserta sahabatnya hijrah dari
Mekkah menuju Madinah. Ketika sampai di Madinah, Rasulullah dan para sahabat disambut
dengan gembira oleh orang-orang Madinah dengan ditempatkan dirumah-rumah mereka,
dicukupi segala keperluan hariannya, dilindungi jiwanya dari pengejaran kaum Quraisy, dan
dibantu dalam menghadapi musuh-musuh yang menyerangnya.

Untuk memperteguh dan mengabadikan ikatan persaudaraan, Rasulullah menjadikan hal


tersebut sebagai salah satu sebab untuk saling mewarisi satu sama lain. Misalnya, apabila
seorang sahabat tidak mempunyai wali (ahli waris) yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya
diwarisi oleh walinya yang ikut hijrah. Ahli waris yang enggan hijrah ke Madinah tidak berhak
mewarisi harta sedikitpun. Tetapi, jika ada sahabat yang tidak mempunyai wali yang ikut hijrah,
maka harta peninggalannya dapat diwarisi oleh saudaranya dari penduduk Madinah yang
menjadi wali karena ikatan persaudaraan.17

Hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa pada masa awal Islam seseorang dimungkinkan
untuk mendapatkan harta warisan apabila:18 a) adanya pertalian kerabat (‫)القراب• •ة‬, b) adanya
pengangkatan anak (‫)الت•بني‬, c) adanya hijrah (‫)الهجرة‬, dan d) adanya ikatan persaudaraan (‫المؤخ‬
‫)ة‬. Sehingga dapat dipahami bahwa dalam pewarisan pada awal Islam, kaum kerabat yang
berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki dewasa saja, melainkan
juga kepada anak-anak dan perempuan. Adanya hijrah dan ikatan persaudaraan juga
memungkinkan untuk mendapatkan harta warisan, dan dalam kewarisan Islam, tidak dikenal
adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).18
Berdasarkan historisitas Islam, sistem kewarisan pada masa sebelum Islam sangat tidak
adil. Oleh karena itu, hak waris hanya diberikan kepada laki-laki dewasa yang sudah mampu
memanggul senjata untuk berperang dan dengan itu dapat memperoleh rampasan perang.
Semantara itu, laki-laki yang belum dewasa dan perempuan tidak mendapatkan hak waris
walaupun orang tuanya kaya raya. Dalam Islam, setiap pribadi baik laki-laki ataupun perempuan
berhak mendapatkan hak waris. Hal ini membuktikan bahwa sejarah tidak bisa dibohongi dan
dilupakan.
Menerima warisan merupakan perbuatan pengalihan hak dan kewajiban, dari orang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya sebagai penerima warisan dalam memiliki dan
memanfaatkan harta peninggalan. Orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan atau
harta warisan (mewarisi) orang yang meninggal disebut ahli waris. Pewarisan tersebut baru
terjadi jika ada sebab-sebab yang mengikat pewaris dengan ahli warisnya. Beberapa sebab

17
Ikatan persaudaraan disini adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, yaitu orang-orang
yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin yang hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah.
Lihat Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris , hlm.7-8.
18
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris , hlm 4-5

9
tersebut adalah:19
1. Perkawinan
2. Kekerabatan
3. Wala’ (penolong)

D. ASAS-ASAS HUKUM WARIS ISLAM

Perkataan asas berasal dari bahasa Arab, asasun, artinya: dasar, basis, pondasi Kalau
dihubungkan dengan sistem berpikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasan berpikir yang
sangat mendasar Oleh karena itu, di dalam bahasa Indonesia, asas mempunyai arti (I) dasar
(sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat) (2) dasar cita-cita (perkumpulan atau
organisasi) (3) hukum dasar.7 Sedangkan asas menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
mempunyai beberapa arti, diantaranya adalah kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau
berpendapat.20

Berdasarkan pengertian bahasa tersebut, jika dihubungkan dengan hukum, maka yang
dimaksud dengan asas adalah "kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan
alasan berpendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Menurut mariam Darus
Badrulzaman dalam bukunya Mencari Sistem Hukum Benda Nasional mengatakan bahwa asas
adalah asas diperoleh melalui kontsruksi yuridis, yaitu dengan menganalisis (mengolah) data-
data yang sifatnya nyata (konkrit) untuk kemudian mengambil sifat- sifatnya yang umum
(kolektif) atau abstrak.19

Sudikno Mertokusumo mengatakan asas merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya
atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan Hakim
yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam
peraturan konkrit tersebut.21 Sedangkan menurut H Idris Djafar dan Taufik Yahya dalam
bukunya Kompilasi Hukum Kewarisan Islam menjelaskan bahwa asas pada umumnya berfungsi
sebagai rujukan atau latar belakang peraturan yang konkrit untuk mengembalikan segala
masalah yang berkenaan dengan hukum.

H. Mohammad Daud Ali dalam bukunya Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia dalam memberikan pengertian tentang asas, membagi pada dua sudut
pandang. Pertama, asas dikaitkan dengan hukum, maka yang dimaksud dengan asas adalah
kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama
dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.Kedua, dilihat secara umum, asas berfungsi sebagai
rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.22

Berdasarkan pengertian asas. baik secara bahasa maupun secara istilah, bahwa asas
adalah merupakan kebenaran sebagai dasar yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat
dalam menetapkan hukum terhadap suatu persoalan atau ketetapan hukum Karena asas adalah
merupakan kebenaran sebagai dasar yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat dalam
menetapkan hukum terhadap suatu persoalan atau ketetapan hukum, maka berkaitan dengan

19
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris , hlm. 28.
20
W.J. S Perwadarminta.Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka. 1984). h. 61.
21
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) (Yogyakarta: Libeiry, 1988). h
.13.
22
H Mohammad Daud Ali. Hukum Islam. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia (Cet IX: Jakarta PT RajaGrafindo. 2001). h 114.

10
hukum kewarisan Islam tentu yang menjadi sumber utama adalah hukum Islam yang bersumber
dari al-Qur’an dan hadis, digali dan dipahami kemudian dikembangkan oleh akal pikiran orang
yang memenuhi syarat untuk berijtihad.14

Al-Qur'an dan hadis sebagai sumber perumusan hukum Islam yang melahirkan asas-asas
hukum kewarisan Islam, dijelaskan oleh Allah swt. pada Q.S. Ali lmran/3 ; 32.
Artinya : “Katakanlah (Muhammad). "Taatilah Allah dan Rasul Jika kamu berpaling, ketahuilah

bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.23

Berdasarkan pemaham ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Rasulullah saw yang berkaitan
dengan pelaksanaan kewarisan, ada beberapa asas yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
suatu keputusan hukum berkaitan dengan penyelesaian harta peninggalan H Mohammad Daud
Ali membagi asas hukum kewarisan Islam menjadi dua belas asas.24

1. Azas Integrity: Ketulusan


Integrity artinya : Azas ketulusan (integrity) ini mengandung pengertian bahwa dalam
melaksanakan Hukum Kewarisan dalam Islam diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya
karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya, yaitu berasal dari Allah swt melalui
Rasulullah Muhammad saw, sebagai pembawa risalah Al-Our'an Oleh karena itu, ketulusan
seseorang melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan sangat tergantung dari
keimanan yang dimiliki untuk mentaati hukum-hukum Allan swt.25

2. Azas Ta' abbudi: Penghambaan diri


Azas Ta'abbudi adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam adalah
merupakan bagian dari pelaksnaan perintah (ibadah) kepada Allah swt., yang apabilj
dilaksanakan mendapat pahala dan diberi ganjaran dan apabila tidak dilaksanakan juga diber
ganjaran seperti layaknya mentaati dan tidak mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya
Ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan kewarisan Allah swt.

3. Azas Hukukul Maliyah: Hak-hak Kebendaan


Hak-hak kebendaan (hukukul maliyah) adalah hak-hak kebendaan kebendaan saja yang
dapat diwariskan kepada ahli waris Sedangkan hak dan kewajiban dalam Lapangan hukum
kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan,
keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan.

Artinya: “Barangsiapa yang meninggalkan suatu hak atau suatu harta, maka hak atau harta itu
adalah untuk ahli warisnya setelah kematiannya”.28

4. Azas Hukukun Thabi'iyah: Hak-Hak Dasar


Hak-hak dasar (hukukun thabi 'iyah) adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai
manusia, artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir dan bahkan bayi yang
masih dalam kandungan dapat diperhitungkan sebagai ahli waris dengan syarat-syarat tertentu,

23 15
Kementrian Agama Republik Indonesia, Op. Cit., h. 87
24
H. Mohammad Daud Ali,Op.Cit., h 128
25
H. Idris Djakfar dan Taufik Yahya. Kompilasi Hukum Knansan Islam (Cet I. Jakarta PT. Dunia
Pustaka jaya. 1995). h. 29-39

11
atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian, tetapi ia masih hidup ketika pewaris
meninggal dunia, begitu juga suami dan istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat
tinggalnya (perkawinan dianggap utuh), maka dipandang cakap untuk mewarisi Hak-hak dari
kewarisan ini ada empat macam penyebab seorang mendapat warisan, yakni hubungan
kekeluargaan, perkawinan, wala (memerdekakan budak) dan seagama. Hubungan
kekeluargaan yaitu hubungan karena nasab atau darah (genetik) baik dalam garis keturunan
lurus ke bawah(Juru' al-mayyil), yaitu anak cucu dan seterusnya, garis keturunan lurus ke atas
(uhsul al-mayyit), yaitu ayah, kakek, ibu dan nenek, maupun garis keturunan ke samping (al-
hawasy), yaitu saudara.

5. Azas Ijbari: Keharusan, kewajiban


Ijbari adalah bahwa dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis. Artinya, secara
hukum langsung berlaku dan tidak memerlukan tindakan hukum baru setelah matinya pewaris
atau peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya
sesuai dengan ketetapan Allah swt, tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik
pewaris maupun ahli waris.

6. Azas Bilateral
Azas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari keduabelah
pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan26

7. Azas Individual: Perorangan


Azas ini menyatakan bahwa setiap individu (orang perorang) yang termasuk ahli waris
berhak mendapat warisan secara individual (perseorangan) atau harta warisan harus dibagi-bagi
pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara individu (perorangan) dengan tidak ada
pengecualian (wanita, laki-laki, anak-anak, dan bahkan bayi yang masih dalam kandungan
ibunya berhak mendapatkan harta warisan secara perorangan.

8. Azas Keadilan yang Berimbang


Azas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang
diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang
harus ditunaikannya Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding
dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi
keperluan hidup anak dan isterinya sesuai dengan kemampuannya,

9. Azas Kematian
Makna azas ini adalah bahwa keuarisan baru muncul apabila ada yang meninggal uun
aiau kematian seseorang adalah merupakan sebab munculnya kcwarisan Menurut ketentuai
hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain
yang disebut kewarisan tcrja.

10. Azas Membagi Habis Harta Warisan


Azas membagi habis semua harta warisan adalah harta warisan harus dibagi habis
sehingga tidak tersisa Dari menghitung dan menyelesaikan pembagian dengan cara menentukan
siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masing-masing, mengeluarkan hak-hak pewaris
seperti mengeluarkan biaya tajhiz, membayarkan hutang dan wasiatnya27
26
Fatchur Rahnan. Ilmu Wars (Cel. III: Bandung Al-Ma'arif. 1994). h. 38.
27
H. Satria Effendi M. Zein. Problematika Hukum keluarga Islam Kontemporer: Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah (Cel. I. Jakarta kencana. 2004). h 294.

12
11. Azas Perdamaian dalam Membagi Harta Warisan
Berkaitan denga azas individual (perorangan), yaitu menyatakan bahwa harta warisan
harus dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara individu (perorangan),
maka secara individu (perorangan) mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan sesuatu
perbutan menurut kehendak pemilik hak tersebut Sedangkan asas perdamaian dalam membagi
harta warisan adalah memungkinkan melakukan pembagian harta warisan di luar jalur yang
telah ditetapkan Al- Qur'an dan Al-Hadits

12. Azas sosial dan kemanusiaan


Azas sosial dan kemanusiaan adalah apabila sedang membagi harta warisan, jangan
melupakan kerabat, anak-anak yatim dan fakir miskin yang ada disekeliling.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

13
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulksn bahwa, Ilmu mawaris adalah ilmu yang
sangat penting dalam Islam, karena dengan ilmu mawaris harta peninggalan seseorang dapat
disalurkan kepada yang berhak, sekaligus dapat mencegah kemungkinan adanya perselisihan
karena memperebutkan bagian dari harta peninggalan tersebut. Dengan ilmu mawaris ini, maka
tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Secara historisitas, pembagian harta warisan sudah ada sebelum Islam (praIslam). Sistem
pewarisannya adalah sistem keturunan dan sistem sebab. Pembagian harta warisan bersifat
patrilinear di mana anak-anak yang belum dewasa dan perempuan tidak mendapatkan harta
warisan, sekalipun mereka merupakan ahli waris. Seseorang baru mendapatkan harta apabila
memiliki pertalian kerabat, janji ikatan prasetia, dan pengangkatan anak. Sementara pada masa
awal Islam seseorang bisa mendapatkan harta warisan apabila ada pertalian kerabat,
pengangkatan anak, pertaliah hijrah dan persaudaraan.

Berdasarkan historisitas Islam, sistem kewarisan pada masa sebelum Islam sangat tidak
adil. Oleh karena itu, hak waris hanya diberikan kepada laki-laki dewasa yang sudah mampu
memanggul senjata untuk berperang dan dengan itu dapat memperoleh rampasan perang.
Semantara itu, laki-laki yang belum dewasa dan perempuan tidak mendapatkan hak waris
walaupun orang tuanya kaya raya. Dalam Islam, setiap pribadi baik laki-laki ataupun perempuan
berhak mendapatkan hak waris. Hal ini membuktikan bahwa sejarah tidak bisa dibohongi dan
dilupakan.
Berdasarkan pemaham ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Rasulullah saw yang berkaitan
dengan pelaksanaan kewarisan, ada beberapa asas yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
suatu keputusan hukum berkaitan dengan penyelesaian harta peninggalan H Mohammad Daud
Ali membagi asas hukum kewarisan Islam menjadi dua belas asas, yakni ; asas ketulusan,
pengembangan diri, hak-hak kebendaan, hak dasar, hak kewajiban, azas bilateral, azas individu,
azas, azas berimbang, azas berimbang, azas harta warisan, azas perdamaian, dan azas
perdamaian.

B. Saran

Saran yang bisa penulis berikan Perlu adanya metode penilitian lebih lanjut akan upaya
peningkatan dikusi terhadap mahasiswa sebagai salah satu cara memaksimalakan potensi
genarasi dalam membentengi  dirinya dari radikalisme agama yang berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman I. Doi, Hudud dan Kewarisan, Cet.1 Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.

Abu Daud, Sulaiman Ibn al-Asy’ast Ibn Syaddad Ibn Umar al-Azdary, Sunan Abu Daud, juz
12. (Maktabah Syamilah Program).

14
Al-Damsyaqi, Abu al-Fida’ Ismail Ibn Umar Ibn Katsir al-Qurasyi, Tafsir Ibn Katsir, juz 4,
Maktabah Syamilah: al-tsaniyah 1420 H-1999 M.
Ali ash-Shabuni, Muhammad, Pembagian Waris Menurut Islam, terj. A.M Basamalah, Gema
Inasani Press, 1995

Anwar, Desy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru Dilengkapi Pedoman Umum Ejaan
yang Disempurnakan, Surabaya: Amalia, Cet.1, 2003.

Ash•Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, Fiqh Mawaris, Semarang: Pustaka Risky Putra, 2011.
Asrizal, Kafa’ah, Bingkai Keharmonisan Rumah Tangga, Yogyakarta: Ladang Kata, 2015.

At-Turmuzi, Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah bin Musa Ibn ad-Dahhak, Sunan at- Tirmizi, Ma
ja-a fi mirasu al-akh min al-abwa al-umm, juz. 7, (Maktabah Syamilah program).

Budiono, A. Rachmad, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung:


PT.Citra Aditya Bakti, 1999.

Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam di Peradilan Agama, Jakarta: RajaGrafindo persada,
2002.

Djuhana S. Pradja, Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, cet.

2, Bandung: Rosda Karya, 1994.

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, cet.2 Jakarta: Tintamas, 1968.

Ibn Hibban, Kitab al-Buyu’, Shaheh ibn Hibban, juz 11. Juga Muhamad bin Abdullah Abu
Abdullah Alhakim an-Naisabury, Mustadrak ‘ala Shahihain, Kitab al-Faraid, juz 4,
Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990. (Maktabah Syamilah Program).
Ismail Suny, Kompilasi Hukum Islam ditinjau dari sudut Pertumbuhan Teori Hukum di
Indonesia, dalam Mimbar Hukum, Nomor 4 Tahun II/1991.

Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan
Hukum Islam, Darussalam: Bulan Bintang, 1978.

Jawwad Mughniyyah, Muhammad, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khamsah, terj. Masykur A.B.,
Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, Fiqh Lima Mazhab: Ja’far, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali, Jakarta: Lentera, 1996.

Khairul Umam, Dian, Fiqih Mawaris Cet.1, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 Ayat 1,

Lutfhi Al-Mubarok, Akhmad dan Arina Kamiliya, Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.
46/PUU-VII/2010, Tentang Status Anak Luar Kawin Tanggal 13 Februari 2012 Dalam
Perspektif Sosologi dan Antropologi Hukum Islam, dalam Asrizal, dkk, Kajian Hukum
Keluarga Dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta: Elpip, 2015.

Muhammad Wahyuni Nafis et. al., Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr.

Munawir Sjadzali, MA., cet 1, Jakarta: Paramadina-IPHI, 1995.

Muhibbudin, Moh.,dkk, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Mulyadi,
Hukum Waris Tanpa Wasiat, Semarang: Badan Penerbit Universitas

15
Diponegoro Semarang, 2008.
Parman, Ali, Kewarisan dalam al-Qur’an, Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.

Projodikoro, Wiryono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983. Rahman,

Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981.

Ramulyo, Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

16

Anda mungkin juga menyukai