2021
1
2
MAKALAH
Pencipta
1. Slamet Riyadi
2021
2
3
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dari mata kuliah fiqih mawaris ini dengan
judul “sejarah pusaka mempusakai dalam islam” Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada selaku dosen mata kuliah fiqih mawaris bapak Hajjin Mabrur, M.S.I
dan pihak-pihak yang telah memberikan kesempatan dan membantu penulis dalam proses
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyajian dan pembahasan masalah dalam
makalah ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf dan mengharapkan saran
dan kritik yang sifatnya membangun dari para pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan
makalah ini.
3
4
Daftar isi
Kata Pengantar..............................................................................................................................2
Daftar isi.........................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
1.1 Latar belakang.........................................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah....................................................................................................................6
1.3 Tujuan.......................................................................................................................................6
BAB II.............................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.............................................................................................................................7
A. Fase Jahiliyah............................................................................................................................8
1. Keturunan dan kerabat..........................................................................................................8
2. Anak angkat...............................................................................................................................8
3. Perjanjian setia kawan dan persahabatan..............................................................................9
B. Fase Pasca- Islam...............................................................................................................10
1. Peringkat pertama...............................................................................................................10
2. Peringkat kedua..................................................................................................................10
3. Peringkat ketiga..................................................................................................................11
4. Peringkat keempat..............................................................................................................11
2.3 Sebab-sebab adanya pusaka mempusakai dalam islam....................................................11
2.4 Perkembangan pusaka mempusakai dan pengetrapannya................................................12
1. menuju kesempurnaan........................................................................................................12
2. keistimewan aturan pusaka mempusakai islam..................................................................13
3. Kodifikasi hukum pusaka mempusakai..............................................................................13
4. Pusaka Mempusakai di Indonesia.......................................................................................13
2.5 Sumber hukum yang menjelaskan tentang pusaka pembagian harta pusaka...................14
BAB III..........................................................................................................................................17
PENUTUP.....................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................18
BAB I
4
5
PENDAHULUAN
Harta waris menjadi harta yang diberikan dari seseorang yang sudah meninggal
pada orang terdekat seperti keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Untuk pembagian
harta waris di dalam hukum Islam sudah diatur dengan sangat jelas pada Al Quran. Allah
SWT dengan segala rahmat-Nya juga sudah memberikan bimbingan untuk mengarahkan
manusia dalam urusan pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan ini memiliki
tujuan supaya diantara manusia yang sudah ditinggalkan tidak menimbulkan
pertengkaran dan perselisihan.
Hukum kewarisan pada intinya adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak dan kepemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing. Dari pengertian ini dapat
diketahui bahwa substansi hukum kewarisan termasuk kewarisan Islam ialah mengatur
peralihan hak milik dari simayit kepada ahli waris. Dalam literatur fiqih Islam, hukum
waris Islam dikenal dengan beberapa nama atau sebutan yaitu hukum waris, hukum
faraid dan hukum al-mirats.
5
6
1.3 Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Mawaris
2. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi para pembaca
6|P a g e
7
BAB II
PEMBAHASAN
Islam merupakan agama yang di bawa oleh Rasulullah Saw dalam keadaan yang
sempurna, oleh karena itu islam juga mengatur masalah mengenai hukum pusaka
mempusakai dalam islam. Pusaka mempusakai biasanya di kenal juga dengan istilah
waris mewarisi yaitu suatu hukum yang membicarakan segala sesuatu yang berkaitan
atau berkenaan dengan tirkah ( harta peninggalan orang yang meninggal).
Dan berikut ini merupakan rukun pusaka mempusakai dalam islam di antaranya yaitu sbb
:
a. Adanya muwaris (pewaris) :yaitu orang yang mewariskan dan telah meninggal dunia.
b. Adanya waris (ahli waris) : yaitu orang yang menerima harta pusaka (dari muwaris
yang telah meninggal)
c. Adanya mawrus (harta) : yaitu harta yang di tinggalkan oleh sang muwaris yang telah
meninggal dunia.
Selain itu hukum pusaka mempusakai juga memiliki syarat-syarat tertentu di antaranya
yaitu sbb :
a. Kematian muwaris telah jelas di yakini (benar-benar sudah wafat).
b. Yakin atas hidupnya ahli waris sesudah kematian sang muwaris.
c. Dapat di ketahui jalinan pertalian di antara keduanya (antara muwaris dan ahli waris).
d. Dan dapat pula di ketahui tentang bagian untuk ahli waris menurut syara’.
7|P a g e
8
Dalam sejarah Pusaka mempusakai, adanya pusaka mempusakai terjadi pada 2 fase di
antaranya fase pertama yaitu : fase zaman jahiliah, dan fase yang kedua yaitu fase pasca
islam.
A. Fase Jahiliyah
Zaman Jahiliah merupakan suatu zaman yang penuh dengan kegelapan, penindasan
dan kezaliman. kalangan yang lemah ditindas dan kalangan berkuasa bebas
melakukan apa sahaja mengikut kehendak hawa nafsu tanpa dibimbing dengan akal
fikiran dan panduan agama. Oleh sebab itu, dalam konteks hak pewarisan pusaka
pada zaman tersebut, golongan yang layak menerima harta yaitu :
Mereka juga tidak mampu menunggang kuda dan melawan musuh. Dalam hal ini,
mereka tidak mampu membantu keluarga memiliki harta yang kebiasaannya
diperoleh melalui peperangan dan peperangan ialah suatu sumber pendapatan
pada saat itu. Sekiranya mana saja orang dapat mengalahkan musuh, mereka akan
memperoleh harta rampasan perang atau ghanimah. Selain itu, mereka juga tidak
berupaya mempertahankan maruah keluarga dan kabilah sendiri . Fenomena ini
sudah menjadi adat kebiasaan dalam kehidupan orang-orang jahiliyah
2. Anak angkat
Pada zaman Jahiliah, anak angkat dianggap seperti anak kandung dengan
dinasabkan kepada bapak angkat tersebut. Fakta ini merujuk kepada pandangan
Muhammad al-Tahir bin A’syur dan Wahbah alZuhaili yang menyatakan bahawa
anak angkat dianggap sebagai anak kandung kepada bapa angkatnya. Tindakan
8|P a g e
9
tersebut bertujuan untuk membolehkan mereka dan anak angkat mereka saling
mempusakai antara satu sama lain.
Namun dalam hal ini, pengkaji mendapati tokoh-tokoh sarjana terdahulu tidak
menyatakan dengan jelas hak pewarisan pusaka termasuk anak angkat perempuan
atau sebaliknya. Namun, pengkaji berkeyakinan hak pewarisan pusaka dalam fase
ini hanya dikhususkan untuk anak angkat lelaki dewasa saja dan tidak termasuk
anak angkat perempuan dewasa atau anak angkat lelaki yang masih kecil.
Pandangan ini bersandarkan kenyataan Muhammad al-Zuhaili bahawa hak
pewarisan pusaka dari aspek keturunan untuk anak lelaki dewasa saja dimana
anak perempuan dan anak lelaki yang masih kecil tidak berhak mewarisi sesuatu
pun daripada harta pusaka bapaknya untuk selamanya.
Perjanjian persahabatan dan setiakawan iaitu ikatan janji setia yang disepakati
antara dua orang lelaki yang tidak mempunyai hubungan kerabat. Pada zaman
Jahiliah, perjanjian tersebut dimeterai melalui kaedah bersumpah iaitu:
Maksudnya:
“Darahku adalah darahmu, kamu menolongku dan aku menolong kamu, kamu
mewarisiku dan aku pula akan mewarisimu, engkau menuntut bela ke atasku dan
aku pula akan menuntut bela ke atas kamu” .
Hijrah Nabi SAW dari Mekah ke Madinah ialah fase transformasi untuk
memartabatkan umat. Penghijrahan tersebut disebabkan orang Arab Jahiliah masih
bertuhankan hawa nafsu dalam kehidupan. Maka “Islam” yang dibawa oleh Nabi
SAW ialah agama yang mementingkan hak dan keadilan serta menghapuskan segala
bentuk kezaliman dan penindasan. Metodologi yang dilaksanakan oleh Nabi SAW
dalam memperkenalkan Islam secara berhikmah dan berperingkat-peringkat supaya
orang Islam yang menerima kedatangan Islam tidak merasa keberatan untuk
melaksanakan perubahan tersebut.
Hak pewarisan pusaka pasca Islam bermula peringkat awal kemunculan Islam iaitu
pada saat-saat Islam mempunyai pengikut yang amat sedikit dan masih lemah
sehinggalah Islam menjadi agama yang amat kuat dan digeruni musuh. Dalam
pengkajian isu ini, pengkaji merujuk pandangan Ahmad Mustafa al-Maraghiy yang
mengkategorikan pensyariatan hak pewarisan pusaka kepada empat peringkat yaitu di
antaranya sbb :
1. Peringkat pertama
2. Peringkat kedua
Anak keturunan dari orang yang mati berhak mendapatkan harta waris tanpa
memandang laki-laki ataupun perempuan dan baik itu kuat maupun lemah .
Perjanjiaan setiakawan / persahabatan atas faktor penghijrahan dari Mekah ke
Madinah saja. Walau bagaimanapun, golongan Muhajirin dibenarkan
mengecap perjanjian sesama mereka atas dasar setiakawan dalam mewarisi
harta pusaka masing-masing jika salah seorang meninggal dunia.
3. Peringkat ketiga
Anak keturunan dari orang yang mati berhak mendapatkan harta waris tanpa
memandang laki-laki ataupun perempuan dan baik itu kuat maupun lemah
Wasiat wajib diharuskan kepada kerabat yang tidak mendapat hak dalam
pewarisan pusaka.
Perjanjiaan setiakawan/persahabatan atas faktor penghijrahan di hapuskan
atau di tiadakan.
4. Peringkat keempat
Keturunan
Perkawinan yang sah
Hamba sahaya
Beragama Islam
a. Adopsi
Dahulu konon katanya Nabi muhammad SAW, sebelum di angkat menjadi
rasul pernah mengadopsi seorang anak yang bernaman zaid bin haritsah, setelah ia
bebas dari perbudakan. Karena status anak angkat pada saat itu identik dengan
anak keturunannya sendiri, para sahabat nabi memanggilnya zaid bin muhammad.
Lembaga adopsi beserta akibat hukumnya tidak bertahan lama pada zaman awal-
awal islam. Lembaga ini di tutup setelah di turunkan surat al-ahzab : 45 dan 40
yang berisikan larangan menggunakan panggilan anak angkat seperti panggilan
anak turunannya sendiri.
1. menuju kesempurnaan
seperti ikatan kesetiakawanan dan persahabatan pada masa itu. selain itu keluarga
atau keturunan yang berhak mendapat waris hanya seorang laki-laki dewasa yang
kuat berjuang, yang pada akhirnya hukum tersebut segera di hapuskan.
1. Bagi warga golongan Indonesia asli, pada prinsipnya berlaku hukum adat. Yang
dalam hal ini sudah barang tentu terdapat perbedaan antara satu daerah lingkungan
13 | P a g e
1
4
hukum adat di satu pihak dengan daerah lingkungan hukum adat di lingkungan lain.
Daerah hukum lindungan adat yang susunan keluarganya bersifat patriachaat
(kebapakan), berbeda dengan lingkungan hukum adat yang susunan kekeluargaannya
bersifat matriarchaat (keibuan) dan berbeda pula dengan daerah lingkungan hukum
adat yang susunan kekeluargaannya bersifat parental (keibu-kebakpaan).
2. Bagi warga negara golongan Indonesia asli yang beragama islam di berbagai
daerah, hukum islam sangat berpengaruh dan berlaku padanya.
3. Bagi orang-orang Arab pada umumnya seluruh hukum islam berlaku bagi mereka.
4. Bagi orang Tionghoa dan Eropa berlaku hukum warisan dari Burgerlijik Wetboek.
5. Peradilan di Indonesia yang berwewenang ,menyelesaikan perkara-perkara warisan
umat islam.
2.5.1 Sumber hukum yang menjelaskan tentang pusaka pembagian harta pusaka.
ۗ ُيْو ِص ْيُك ُم ُهّٰللا ِفْۤي َاْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْل ْنَثَيْيِن ۚ َفِا ْن ُك َّن ِنَس ٓاًء َفْو َق اْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَثا َم ا َتَر َك ۚ َوِا ْن َك ا َنْت َو ا ِح َد ًة َفَلَها الِّنْص ُف
َو َاِل َب ْيِه ِلُك ِّل ا ِحٍد ْنُه ا الُّسُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِاْن َك ا َن َلٗه َلٌد ۚ َفِا ْن َّلْم َيُك ْن َّلٗه َلٌد َّو َث ۤٗه َاَب ٰو ُه َفُاِل ِه الُّثُلُث ۗ َف ِا ْن َك ا َن َل ۤٗه
ِّم َو َو ِر َو ِّم َم َو َو
14 | P a g e
1
5
ِاْخ َو ٌة َفُاِل ِّمِه الُّسُد ُس ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِصْي ِبَهۤا َاْو َد ْيٍن ۗ ٰا َبٓا ُؤ ُك ْم َو َا ْبَنٓا ُؤ ُك ْم ۚ اَل َتْد ُرْو َن َاُّيُهْم َاْقَر ُب َلـُك ْم َنْفًعاۗ َفِرْيَض ًة ِّم َن ِهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا
َك ا َن َع ِلْيًم ا َحِكْيًم ا
ۗ َو َلـُك ْم ِنْص ُف َم ا َتَر َك َاْز َو ا ُج ُك ْم ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلُهَّن َو َلٌد ۚ َفِا ْن َك ا َن َلُهَّن َو َلٌد َفَلـُك ُم الُّر ُبُع ِمَّم ا َتَر ْك َن ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِص ْيَن ِبَهۤا َاْو َد ْيٍن
َو َلُهَّن الُّر ُبُع ِمَّم ا َتَر ْكُتْم ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلُك ْم َو َلٌد ۚ َفِا ْن َك ا َن َلـُك ْم َو َلٌد َفَلُهَّن الُّثُم ُن ِمَّم ا َتَر ْكُتْم ِّم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُتْو ُصْو َن ِبَهۤا َاْو َد ْيٍن ۗ َو ِا ْن َك ا
َن َر ُجٌل ُّيْو َر ُث َك ٰل َلًة َاِو اْمَر َا ٌة َّو َلۤٗه َاٌخ َاْو ُاْخ ٌت َفِلُك ِّل َو ا ِحٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُس ۚ َفِا ْن َك ا ُنْۤو ا َاْكَثَر ِم ْن ٰذ ِلَك َفُهْم ُش َر َك ٓاُء ِفى الُّثُلِث ِم ْۢن َبْع ِد
ۗ َو ِص َّيٍة ُّيْو ٰص ى ِبَهۤا َاْو َد ْيٍن ۙ َغْيَر ُمَض ٓا ٍّرۚ َوِص َّيًة ِّم َن ِهّٰللاۗ َو ا ُهّٰلل َع ِلْيٌم َحِلْيٌم
Artinya : "Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu
15 | P a g e
1
6
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar)
utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi
wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan
(kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha
Penyantun." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 12)
َيْسَتْفُتْو َنَكۗ ُقِل ُهّٰللا ُيْفِتْيُك ْم ِفى اْلـَك ٰل َلِةۗ ِاِن اْم ُر ٌؤ ا َهَلَك َلـْيَس َلٗه َو َلٌد َّو َلۤٗه ُاْخ ٌت َفَلَها ِنْص ُف َم ا َتَر َكۚ َو ُهَو َيِر ُثَهۤا ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلَها َو َلٌد ۗ َف ِا ْن
َك ا َنـَتا اْثَنَتْيِن َفَلُهَم ا الُّثُلٰث ِن ِمَّم ا َتَر َك ۗ َو ِا ْن َك ا ُنْۤو ا ِاْخ َو ًة ِّر َج ا اًل َّوِنَس ٓاًء َفِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْل ْنَثَيْيِن ۗ ُيَبِّيُن ُهّٰللا َلـُك ْم َاْن َتِض ُّلْو اۗ َو ا ُهّٰلل ِبُك ِّل
َش ْي ٍء َع ِلْيٌم
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu agar kamu tidak sesat. Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 176)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Islam merupakan agama yang di bawa oleh Rasulullah Saw dalam keadaan yang
sempurna, oleh karena itu islam juga mengatur masalah mengenai hukum pusaka
mempusakai dalam islam. Pusaka mempusakai biasanya di kenal juga dengan istilah
waris mewarisi yaitu suatu hukum yang membicarakan segala sesuatu yang berkaitan
atau berkenaan dengan tirkah . Yakin atas hidupnya ahli waris sesudah kematian sang
muwaris. Dan dapat pula di ketahui tentang bagian untuk ahli waris menurut syara’.
Zaman Jahiliah merupakan suatu zaman yang penuh dengan kegelapan, penindasan dan
kezaliman. kalangan yang lemah ditindas dan kalangan berkuasa bebas melakukan apa
sahaja mengikut kehendak hawa nafsu tanpa dibimbing dengan akal fikiran dan panduan
agama.
Anak keturunan dari orang yang mati berhak mendapatkan harta waris tanpa
memandang laki-laki ataupun perempuan dan baik itu kuat maupun lemah .
Wasiat wajib diharuskan kepada kerabat yang tidak mendapat hak dalam pewarisan
pusaka.
Dahulu konon katanya Nabi muhammad SAW, sebelum di angkat menjadi rasul pernah
mengadopsi seorang anak yang bernaman zaid bin haritsah, setelah ia bebas dari
perbudakan. Kekuatan kaum muslimin pada saat itu masih sangat lemah, lantaran jumlah
nereka yang masih sedikit sekali. Untuk menghadapi kaum kafir quraisy yang sangat
17 | P a g e
1
8
banyak pengikutnya serta sangat kuat. Tidak ada jalan lain yang di tempuh Rasulullah
beserta pengikut-pengikutnya selain meminta bantuan kepada penduduk luar kota yang
sepaham dan simpatik terhadap perjuangan beliau dan kaum muslimin dalam
memberantas kemusyrikan.
18 | P a g e
1
9
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.uin-suska.ac.id/16295/6/6.%20BAB%20I__2018311AH.pdf
https://www.scribd.com/doc/60624997/Rangkuman-Waris-Islam
Ahmad, F., Noor, F. M., & Azhar, A. (2017). Sejarah pelaksanaan hak pewarisan pusaka di
zaman Jahiliyyah dan zaman pasca Islam: Kajian perbandingan. UUM Journal of Legal
Studies, 8, 133-132.
19 | P a g e
2
0
20 | P a g e
2
1
Kelompok 2 :
KELAS 5F
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
2021
21 | P a g e
2
2
KATA PENGANTAR
Assalamu”alaikumWr.Wb
SWT karena hanya dengan hidyah-Nya, kami dapat menyelsaikan tugas kelompok
ini. Shalawat serta salam semoga Allah melimpahkan kepada Nabi Muhammad
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Fiqh
peradilanya
kekurangan dan keterbatasan, untuk itu dengan kerendahan hati kami siap
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari teman-teman sekalian.
sebagai pengetahuan.
Wassalamu”alaikumWr.Wb
22 | P a g e
2
3
Tim penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
1. Latar Belakang.................................................................................................................................3
BAB II.........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
1. Pengertian Ekonomi Islam................................................................................................................5
2. Perekonomian Islam para Masa Khulafa’ al-Rasyidin.......................................................................6
A. Masa Abu Bakara.........................................................................................................................6
B. Masa Umar bin Khattab...............................................................................................................8
BAB III.....................................................................................................................................................11
PENUTUP................................................................................................................................................11
Kesimpulan............................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................12
23 | P a g e
2
4
BAB I
PENDAHULUAN
e. Latar Belakang
Adapun sumber hukum yang dijadikan pedoman bagi para penegak hukum
(Hakim), Praktisi, dan sebagainya selain undang-undang tertulis tersebut
di atas adalah fatwa-fatwa ulama, baik yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh
klasik ataupun kitab-kitab fiqh modern. Sumber-sumber tersebut sampai
hari ini merupakan bahan pelengkap dalam proses pengalian Hukum
Islam.
2
Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,
24 | P a g e
2
5
2. Rumusan Masalah
Peradilannya?
3. Tujuan
Masyarakat.
25 | P a g e
2
6
BAB II
PEMBAHASAN
1. Rukun Pusaka
Ada tiga macam, yaitu :
a) Adanya Muwaris, orang yang diwarisi, yaitu si orang yang mati.
b) Adanya Waris, orang yang menerima pusaka.
c) Adanya Haqqun Maurus, harta peninggalan, yang menjadi pusaka.
2. Syarat-Syarat Pusaka
Syarat-syarat pusaka ada empat, yaitu :
a) Yakin akan kematian yang diwarisi (muwaris).
b) Yakin akan hidupnya ahli waris sesudah mati muwaris.
c) Diketahui jalan pertalian di antara keduanya.
d) Diketahui bagian untuk ahli waris menurut syara’
3. Muwaris
26 | P a g e
2
7
Terjemahannya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang
tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-
Nisa : 7)
a. Mushaharah (perkawinan).
b. Dengan jalan memerdekakan dari perbudakan (wala’).
Sabda Rasulullah Saw :
Artinya : “Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membe-
baskan budaknya.” (Muttafaqun ‘Alaih)
jika seseorang meninggal dunia sedang ahli warisnya tidak ada, maka harta
warisannya (peninggalannya) diserahkan kepada Baitul Mal
(Perbendaharaan Negara), untuk umat Islam dengan jalan pusaka.
4. Ahli Waris
Orang-orang yang mungkin atau boleh mendapat pusaka dari orang yang
meninggal dunia ada 25 orang, 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang
dari pihak perempuan, yaitu :
28 | P a g e
2
9
Jika 25 orang dari pihak laki-laki dan perempuan semua ada, yang tetap
pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami istri, ibu dan bapak,
anak laki-laki dan anak perempuan.
Haqqun maurus ialah harta pusaka yang akan dibagi. Penerima pusaka
itu ada dua macam :
29 | P a g e
3
0
30 | P a g e
3
1
Pasal 174 tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau perkawinan,
telah sejalan dengan fiqih Faraid.
Pasal 176 tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam keadaan
sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat Al-Qur’an dan rumusannya
dalam fiqih Faraid.
Pasal 177 tentang bagian ayah telah dirumuskan sebagai berikut. Ayah
mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ia
meninggalkan anak, maka ayah mendapatkan seperenam bagian.
Walaupun rumusan pasal ini konon telah mengalami perubahan tetapi
tidak mengubah secara subtansial. Bahwa ayat menerima seperenam dalam
keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas sesuai dengan Al-Qur’an,
maupun rumusannya dalam fiqih. Tetapi menetapkan ayah menerima
bagian (baca furudh) sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, tidak
terdapat dalam Al-Qur’an, tidak terdapat dalam fiqih mana pun, termasuk
Syi’ah. Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai Furudh. Itu
pun dalam kasus tertentu seperti bersama dengan ibu dan suami, dengan
31 | P a g e
3
2
Pasal 178 tentang bagian ibu dalam ketiga kemungkinannya dan pasal
179-180 tentang bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya telah
sesuai dengan Al-Qur’an dan rumusannya dalam fiqih.
Pasal 181 tentang bagian saudara seibu dan pasal 182 tentang bagian
saudara kandung dan seayah dalam segala kemungkinannya telah sejalan
dengan Al-Qur’an dan rumusannya.
Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk
mengurus hak warisnya, meskipun tidak dinyatakan dalam kitab-kitab
fiqih faraid, namun karena telah sejalan dengan kehendak Al-Qur’an Surat
An-Nisa ayat 5 pasal ini dapat diterima.
I. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tesebut pada pasal 173.
II. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
32 | P a g e
3
3
Pasal 186 tentang kewarisan anak yang lahir di luar nikah telah sesuai
dengan kewarisan anak zina dalam fiqih yang menempatkannya hanya
menjadi ahli waris bagi ibunya dan orang yang berkerabat dengan ibu itu.
Pasal 190 tentang hak istri atas bagian gono gini secara langsung tidak
menyangkut hak kewarisan dan dalam kedudukan sebagian yang menjadi
hak pewaris, tidak menyalahi ketentuan fiqih.
Pasal 191 tentang pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris atau ahli
warisnya tidak diketahui keadaannya diatur dalam fiqih faraid.
33 | P a g e
3
4
Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan di atas, jelas bagi kita
bahwa hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis
keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.Di samping sistem
kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum waris adat
terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang
diwariskan, hukum waris adat mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu :
34 | P a g e
3
5
35 | P a g e
3
6
36 | P a g e
3
7
37 | P a g e
3
8
oleh masyarakat Barat, namun Islam memberi ruang sosial yang menuntut
untuk dijalankan oleh seseorang. Tuntutan sosial ini ada yang bersifat tidak
mengikat dan tidak wajib dilaksanakan seperti infak, sadaqah, hibah dan
sebaliknya ada yang sifatnya mengikat secara hukum dan harus ditunaikan
seperti kewajiban mengeluarkan zakat, warisan dan lain sebagainya. Dalam
realitas sosial masyarakat terkadang ada orang-orang yang mengabaikan dan
tidak memperhatikan aturan-aturan dan rambu –rambu yang sudah ditentukan
bahkan melakukan pembangkangan terhadap nilai-nilai tersebut. Masyarakat
yang masih berpegang teguh terhadap local wisdom (nilai kearifan masyarakat
setempat) dalam melakukan pembagian warisan harta benda pada dasarnya
mengedepankan kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna
mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian di dalam hidup. Jika
dicermati sejatinya nilai-nilai local wisdom yang dipraktekkan masyarakat
sebagaimana disebutkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pada
masyarakat seperti ini kepentingan hidup yang rukun dan damai lebih
diutamakan dari sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Jika
belakangan ini Nampak kecenderungan keluarga-keluarga yang mementingkan
kebendaan dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan,
maka hal itu merupakan krisis akhlak. Keserakahan dan ketamakan serta mau
menang sendiri merupakan faktor penyebab munculnya kasus sengketa tanah
waris. Beragam cara dilakukan untuk menunjukkan sifat ini seperti mengklaim
secara sepihak bahwa tanah yang dimiliki adalah hibah dari pewaris (pemberi
waris) atau bersikeras mengklaim ukuran yang bukan haknya.
Kedua, kurangnya sosialisasi mengenai hukum waris Islam. Realitas
masyarakat menunjukkan bahwa sistem waris Islam sebagaimana termaktub
dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang lalu dijabarkan oleh para ulama dan
fuqaha dalam kitab-kitab fiqih ternyata tidak tersosialisasikan secara baik dan
merata. Ironisnya sekalipun masyarakat mayoritas –bahkan seluruhnya-
memeluk agama Islam namun dalam kehidupan sehari-hari menggunakan
hukum Adat untuk menyelesaikan pembagian harta waris.
38 | P a g e
3
9
39 | P a g e
4
0
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
40 | P a g e
4
1
41 | P a g e
4
2
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. Asas-Asas Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press: 1991.
Supriadi, L. Revitalisasi hukum waris Islam dalam penyelesaian kasus sengketa tanah
waris pada masyarakat Sasak.
42 | P a g e
4
3
Basri, S. (2020). Hukum Waris Islam (Fara’id) dan Penerapannya dalam Masyarakat
Islam. Jurnal Kepastian Hukum Dan Keadilan, 1(2).
43 | P a g e
4
4
MAKALAH
Kelompok 3 :
2021
44 | P a g e
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr.Wb
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris.
Makalah ini berisi tentang sebab-sebab terjadinya waris mewarisi.
Wassalamu’alaikumWr.Wb
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Naluriah manusia yang menyukai harta benda tidak jarang memotivasi seseorang untuk
menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk di dalamnya
terhadap harta pewarisnya sendiri. Disebutkan pengertian harta peninggalan menurut Pasal 171
d Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI) adalah harta yang ditinggalkan oleh
pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Harta waris
menurut Pasal 171 e KHI adalah harta bawaan ditambah bagian dan harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah (tajhiz), pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat.
Salah satu penghalang tidak saling mewarisi menurut hukum waris Islam adalah
perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris. Penghalang mewarisi ialah keberadaan
penghalang yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Namun
ketiadaan penghalang bukan berarti harus memberikan hak waris kepada seseorang. Dengan kata
lain, yang dimaksud dengan penghalang-penghalang mewarisi ialah tindakan atau hal-hal yang
dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-
sebab mewarisi.3
Ahli waris yang dilarang mendapatkan hak waris adalah seseorang (ahli waris) yang
mempunyai sebab mewarisi, tetapi ia melakukan tindakan yang dapat menggugurkan kelayakan
mewarisi. Seperti karena ia pembunuh atau sebab berbeda agama. Orang semacam ini disebut
sebagai orang yang diharamkan mendapatkan warisan, keberadaannya dianggap bagaikan tidak
ada, dan dia tidak dapat mengahalangi ahli waris yang lainnya. Yang telah disepakati para ulama
sebagai penghalang-penghalang mewarisi dimasukkan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: 1.
Berlainan agama; 2. Perbudakan; 3. Pembunuhan.
3
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar. (2000-2001). Ahkamul-Mawarist fil-Fiqhil-Islami. Mesir: Penerbit
Maktabah ar-Risalah ad Dauliyyah, h. 46.
mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang dari beberapa
penghalang mewarisi. Sehingga non muslim tidak bisa mewarisi harta muslim dan seorang
muslim tidak dapat mewarisi harta non muslim. Sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
“Orang Islam tidak punya hak waris atas orang kafir, dan orang kafir tidak punya hak waris atas
orang Islam”.4
B. Rumusan masalah
C. Tujuan masalah
4
Moh. Machfudin Aladip. Terjemah Bulughul Maram. Karya Besar Alhafizh Ibn Hajar Al-Asqoalani. Semarang: Karya
Toha Putra, h. 479.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sebab-sebab terjadinya saling mewarisi
Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga macam, yaitu :
3. Karena Wala’
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang
hamba sahaya, kemudian hamba sahaya (budak) itu menjadi kaya. Jika orang yang
dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak mendapatkan
5
warisan. Warisan ini dapat diperoleh jika orang yang dimerdekakan itu tidak mempunyai
ahli , dzawil arham, atau suami-isteri.5
Sebab-sebab kewarisan menurut hukum Islam ini berbeda dengan sebab-sebab kewarisan
menurut hukum adat yang meliputi :
1. Keturunan
Keturunan di sini yang diuatamakan ialah anak. Anak sebagai ahli waris utama
mempunyai ketentuan yang berbeda-beda mengingat perbedaan sifat kekeluargaan yang
berkembang di berbagai daerah.
a) Pada daerah yang sifat kekeluargaannya berdasarkan ”parental” (ibu-ayah), anak-
anak yang dilahirkan menjadi ahli waris.
b) Pada daerah yang sifat kekeluargaannya berdasarkan ”matrilineal” (garis ibu) atau
”patrilineal” (garis ayah), maka hak anak sebagai ahli waris menjadi dibatasi.
2. Perkawinan
Seorang isteri yang ditinggal mati suaminya atau seorang suami yang ditinggal
mati isterinya di kebanyakan daerah lingkungan hukum adat dianggap sebagai orang
asing. Seorang isteri yang ditinggal mati suaminya ia hanya dapat turut memiliki atau
mengambil hasil seumur hidup dari harta peninggalan suaminya.
3. Adopsi
Anak angkat mendapatkan warisan menurut hukum adat sebagaimana anak
kandungnya sendiri. Namun kadang-kadang, ia dianggap anak asing oleh kerabat-kerabat
si mati terhadap barang asal dari ayah/ibu angkatnya, sebab barang- barang tersebut tetap
dimiliki oleh kerabatkerabatnya. Jika anak yang diadopsi itu adalah kemenakannya
sendiri maka ia menjadi ahli waris orang tua yang sebenarnya, kecuali di Sumatera
Selatan, hubungan waris dengan orang tua dan kerabatnya sendiri terputus.
4. Masyarakat Daerah
Jika ahli waris tidak ada sama sekali, maka harta peninggalan tersebut jatuh
kepada masyarakat daerah tempat ia tinggal yang dikelola oleh kepala adat.
B. Syarat dan rukun kewarisan
5
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum waris, terj. Abdul Hamid Zarwan (Solo : Mantiq, 1994), hlm. 36.
6
Masalah harta orang yang meninggal seringkali menjadi sengketa bagi keluarga yang
ditinggalkan. Untuk itu, para ahli waris mesti mengetahui ketentuan-ketentuan pembagian
warisan sesuai aturan hukum syariah yang ditetapkan. Dalam Islam, pembagian harta waris
merupakan kewajiban yang dibebankan kepada ahli waris sesuai bagiannya masing-masing.
1. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum seperti orang yang
hilang yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia.
2. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukum, seperti anak
dalam kandungan.
3. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.6
1. Ahli waris, yaitu orang yang dihubungkan kepada si mati dengan salah satu sebab-sebab
pewarisan.
2. Pewaris, yaitu si mati, baik secara hakiki maupun secara hukum, seperti orang yang
hilang yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia.
3. Warisan, dinamakan juga dengan tirkah atau mirats, yaitu harta atau hak yang berpindah
dari si pewaris kepada ahli waris.7
C. Hal-hal yang dapat menghalangi untuk saling mewarisi
Yang dapat menghalangi kewarisan adalah hal-hal, keadaan, atau pekerjaan yang
menyebabkan seseorang yang seharusnya mendapat warisan menjadi tidak mendapatkannya.
Hal-hal yang dapat menggugurkan / menghilangkan hak seseorang tersebut ada tiga (3), yaitu :
1. Pembunuhan
Adapun dasar hukum yang melarang ahli waris yang membunuh untuk mewarisi
harta peninggalan si mati adalah sabda Rasulullah SAW, di antaranya adalah :
a. Riwayat an-Nasa’i
ليس لقاتل من املرياث شيئ )رواه النسائ: قال رسول هلال صلى هلال عليه وسلم
6
As-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Semarang : Toha Putera, 1972), jilid III, hlm. 426-427
7
As-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Semarang : Toha Putera, 1972), jilid III, hlm. 426.
7
“Rasulullah SAW. bersabda : “tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk
mewarisi.”
2. Berlainan agama
Apabila antara ahli waris dan pewaris, salah satunya beragama Islam, yang lain
tidak beragama Islam. Dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah SAW. Riwayat Bukhari
dan Muslim.
)عليه متفق )املسلم الكافر وال الكافر املسلم يرث ال
”Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta
orang Islam.”
3. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status
kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya
(budak). Mayoritas Ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima
warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II pasal 173, dijelaskan tentang terhalangnya
ahli waris mewarisi harta benda keluarganya bias karena ditetapkan oleh seorang Hakim yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu bila dia dihukum karena :
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.
D. Hal-hal yang harus didahulukan sebelum pembagian harta warisan
Tidak setiap harta yang ditinggalkan pewaris dapat langsung dibagikan kepada ahli waris.
Di sana masih ada hak-hak orang lain dan hak si mayit. Sebelum harta warisan dibagi kepada
ahli waris, ada tiga hal yang wajib dilakukan ahli waris.
8
Yang dimaksud dengan tajhizul janazah mulai dari pengurusan biaya sakit,
memandikan, mengkafani, menshalatkan dan terkahir menguburkan. Seluruh biaya yang
timbul dari pengurusan tersebut diambil dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris.
2. Melunasi utang
Kewajiban melunasi utang dilakukan oleh orang yang berhutang sendiri. Orang
lain tidak berkewajiban melunasi utang si mayit. Untuk itu, keluarga berkewajiban
sebatas pada melaksanakan pembayaran utang tersebut.
Pelunasan utang di atas diambil dari harta yang ditinggalkan pewaris. Jika harta
yang ditinggalkan kurang, keluarga tidak berkewajiban untuk melunasi utang si mayit.
Keluarga hanya memiliki kewajiban moral untuk melunasi. Untuk itu di Indonesia,
biasanya sebelum acara pemakaman selalu dari pihak keluarga menyampaikan kesiapan
untuk melunasi seluruh utang pewaris.
3. Mengeluarkan wasiat pewaris
Wasiat adalah pernyataan untuk melaksanakan sesuai setelah ia wafat. Besaran
wasiat yang diperbolehkan dalam Islam adalah maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta yang
ditinggalkan.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada 3 (tiga) sebab seseorang bisa mendapatkan bagian warisan dari sesorang yang telah
meninggal yaitu : 1. Pernikahan yang sah, wala’ (kekerabatan karena memerdekakan budak), dan
3. Hubungan nasab. Sedangkan hal-hal yang dapat menghalangi terjadinya saling mewarisi ada 3
(tiga), yaitu : 1. Pembunuhan, 2. Berlainan agama dan 3. Perbudakan.
B. Saran
Demikianlah makalah sebab-sebab terjadinya waris mewarisi yang kami susun. Kami
menyadari masih terdapat banayak kesalahan dalam makalah yang kami susun. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi terciptanya kesempurnaan makalah
ini.
10
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum waris, terj. Abdul Hamid Zarwan (Solo : Mantiq, 1994),
hlm. 36.
As-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Semarang : Toha Putera, 1972), jilid III, hlm. 426-427
https://tirto.id/syarat-dan-rukun-waris-dalam-islam-yang-wajib-dipenuhi-eywm
Moh. Machfudin Aladip. Terjemah Bulughul Maram. Karya Besar Alhafizh Ibn Hajar Al-
Asqoalani. Semarang: Karya Toha Putra, h. 479.
Cahyono, D. N., Kusuma, B. A., & Telussa, J. E. I. (2019). PEMBAGIAN HARTA WARISAN
ORANGTUA YANG BERBEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM. Perspektif, 24(1), 19-29.
11
TUGAS MATA KULIAH
FIQH MAWARIS
Kelompok 4 :
1. Uswatun Khasanah
2. Abdul Hadi Wijaya
Jln. Widarasari III Tuparev Cirebon, telepon (0231) 246215 Website : iaibbc.ac.id/
Email : staibbc.cirebon@gmail.com
12
13
KATA PENGANTAR
Assalamu”alaikumWr.Wb
Alhamdulillaahi rabbil’alamin, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena
hanya dengan hidyah-Nya, kami dapat menyelsaikan tugas kelompok ini. Shalawat serta salam
semoga Allah melimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Keluarga, sahabatnya serta para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris. Makalah ini
berisi tentang Memahami Pengertian Wasiat, Hibah dan Hal yang Berkaitan Dengan nya.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan Makalah ini masih banyak kekurangan dan
keterbatasan, untuk itu dengan kerendahan hati kami siap menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun dari teman-teman sekalian.
Mudah-mudahan Makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua sebagai pengetahuan.
Wassalamu”alaikumWr.Wb
xiv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
I. Latar Belakang.................................................................................................................................4
II. Rumusan Masalah...........................................................................................................................5
III. Tujuan Penulisan..........................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................6
A. Ta’rif Wasiat dan Hibah...................................................................................................................6
B. Hukum Wasiat.................................................................................................................................7
C. Hukum Hibah...................................................................................................................................8
D. Pembagian Wasiat.........................................................................................................................10
E. Pembagian Hibah...........................................................................................................................10
F. Batasan banyak harta yang diwasiatkan dan hibah.......................................................................11
G. Persamaan dan perbedaan wasiat dan hibah................................................................................12
H. Contoh kasus wasiat dan hibah.....................................................................................................14
BAB III........................................................................................................................................................15
xv
PENUTUP...................................................................................................................................................15
Kesimpulan............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................16
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Fiqh mawaris merupakan salah satu cabang ilmu fikih yang dibahas secara detail dalam Al-Qur’an.
Cabang ilmu fikih ini menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai petunjuk dan pedoman yang mendasari
penyelesaian suatu perkara. Fiqh mawaris berkembang seiring dengan berbagai persoalan sosial yang
dijumpai di lingkungan masyarakat. Persoalan-persoalan tersebut harus dapat diselesaikan berdasarkan
dalil yang sudah ada sejak Islam diturunkan yang kemudian dikaitkan dengan ilmu fiqh mawaris. Oleh
karena itu, pemahaman terhadap konsep-konsep dasar fiqh mawaris dianggap perlu agar dapat
digunakan sebagai pedoman untuk menjawab persoalan baru di waktu mendatang.
Menurut pandangan Islam, wasiat tidak sekadar menyangkut masalah harta benda. Dalam makna luas,
wasiat juga berkaitan dengan pesan-pesan moral kepada umat manusia. Di dalam Alquran, Allah SWT
sendiri telah mengingatkan agar orang-orang beriman senantiasa berwasiat dalam kebajikan dan
kesabaran (QS al-Ashar [103]: 3).
Dalam pengertian khusus, wasiat juga diartikan sebagai pesan yang disampaikan orang yang hendak
meninggal dunia. Pakar konsultasi syariah Aris Munandar, dalam tulisannya Serba Serbi Wasiat dalam
Islam menuturkan, wasiat jenis ini dibagi menjadi dua kategori. Yang pertama adalah permintaan orang
yang akan meninggal kepada orang-orang yang masih hidup untuk melakukan suatu pekerjaan.
“Misalnya, membayarkan utang, memulangkan barang-barang yang dipinjam atau merawat anak,” ujar
Munandar mencontohkan. Kedua, kata dia, wasiat bisa pula berbentuk harta benda yang ingin diberikan
kepada orang atau pihak tertentu. Wasiat semacam ini dilaksanakan setelah si pembuat wasiat
meninggal dunia.
Ada beberapa syarat sah dalam berwasiat. Pertama, orang yang diberi wasiat haruslah seorang Muslim
dan berakal sehat. Syarat ini penting agar amanah dalam wasiat bisa terlaksana dengan baik. Kedua,
orang yang berwasiat juga mesti berakal sehat dan memiliki harta yang akan diwasiatkan. Selanjutnya,
tidak boleh berwasiat dalam hal yang haram, misalnya, meminta agar sebagian hartanya diberikan
kepada gereja atau dipergunakan untuk membiayai kegiatan maksiat. “Keempat, orang yang diberi
wasiat bersedia menerima wasiat. Jika dia menolak maka wasiat itu batal dan setelah penolakan orang
tersebut tidak berhak atas apa yang diwasiatkan,” imbuh Munandar.
Dalam ketentuan hukum Islam, orang memiliki ahli waris dilarang mewasiatkan lebih dari sepertiga
harta yang dimilikinya. Sementara, orang yang sama sekali tidak memiliki ahli waris diperbolehkan untuk
berwasiat dengan seluruh hartanya.
Hibah dalam hukum Indonesia dapat dipermasalahkan apabila bentuk pemberian berupa uang dengan
jumlah yang banyak atau barang yang sangat bernilai. Karena itu, hibah harus disertai dengan bukti-
bukti ketetapan hukum yang berlaku secara perdata agar tidak digugat oleh pihak ketiga termasuk oleh
orang-orang yang termasuk ahli waris di kemudian hari.
Dalam hukum perdata pasal 166 dan pasal 1667 dijelaskan bahwa hibah atau pemberian kepada orang
lain secara sukarela tidak dapat ditarik kembali, baik berupa harta bergerak maupun harta tidak
bergerak saat pemberi hibah masih hidup.
Hibah adalah hadiah. Tapi menurut bahasa hibah adalah pemberian secara sukarela kepada orang lain.
Hadiah diberikan saat pemilik masih hidup dan bukan sesudah meninggal. Sehingga prinsip hibah
berbeda dengan warisan, sebab hibah merupakan pemberian yang tidak memandang hubungan
pernikahan ataupun pertalian darah. Masalah hibah, hukum Islam memiliki pandangan yang sama
dengan asumsi masyarakat umum selama ini, yaitu hibah atau hadiah dapat diberikan kepada orang lain
yang bukan saudara kandung atau suami/istri.
PEMBAHASAN
Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang meninggal dunia.
Wasiat berasal dari kata washa yang berarti menyampaikan atau memberi pesan atau pengampuan.
Dengan arti kata lain, wasiat adalah harta yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain setelah si
pemberi meninggal dunia. Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain. Arti kata washa
merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah, mencakup wasiat harta, sedang iishaa’, wishayaa dan
washiyyah dalam istilah ulama fiqih diartikan kepemilikkan yang disandarkan kepada keadaan atau masa
setelah kematian seseorang dengan cara tabbaru’ atau hibah, baik sesuatu yang akan dimiliki tersebut
berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang.
Menurut Madzhab Syafi’i, wasiat adalah pemberian suatu hak yang berkuatkuasa selepas berlakunya
kematian orang yang membuat wasiat sama ada dengan menggunakan perkataan atau sebaliknya.
Menurut Madzhab Hanbali, wasiat adalah pemberian harta yang terjadi setelah berlakunya kematian
sama ada dalam bentuk harta (‘ain) atau manfaat. Menurut madzhab Hanafi, wasiat adalah pemilikan
yang berlaku setelah kematian dengan cara sumbangan.
Menurut madzhab Maliki, wasiat adalah suatu akad yang menetapkan kadar 1/3 sahaja bagi tujuan
wasiat dan wasiat tersebut akan terlaksana setelah berlakunya kematian pewasiat. Muhammad Abu
Zahrah telah memberi ulasan mengenai definisi wasiat yang telah dikemukakan oleh para fuqaha di atas
dan berpendapat bahwa definisi tersebut tidak menyeluruh karena tidak merangkumi aspek pelepasan
hak seperti berwasiat melunaskan semua hutang, membuat pembagian harta pusaka kepada waris-
waris terhadap baki harta yang telah diwasiatkan dan sebagainya. Beliau berpandangan bahwa definisi
yang lebih tepat adalah seperti dalam undang-undang wasiat mesir no.71 1946 dalam perkara 1 yaitu
“menguruskan sesuatu peninggalan yang berkuatkuasa setelah berlaku kematian”. Definisi ini meliputi
semua jenis wasiat sama ada wasiat wajib atau sunat dan ia juga merangkumi semua bentuk
peninggalan si mati sama ada berbentuk harta atau lainnya karena lafaz “menguruskan” itu merangkumi
semuanya.
2. Pengertian Hibah
Kata hibah berasal dari bahasa Arab الِهَبُةyang memiliki arti pemberian yang dilakukan seseorang kepada
orang lain tanpa mengharapkan pamrih atau imbalan dalam bentuk apa pun. Pemberian ini dilakukan
saat seseorang masih hidup dan wujudnya dapat berupa harta secara fisik atau benda-benda lainnya
yang tidak tergolong sebagai harta atau benda berharga.
Pada dasarnya, Islam memiliki pemahaman yang serupa dengan asumsi masyarakat umum selama ini,
yaitu pengertian hibah adalah barang berharga yang dapat diberikan kepada orang lain yang mana
bukan saudara kandung atau suami/istri. Pihak penerima tidak diwajibkan memberikan imbalan jasa
atas hadiah yang diterima sehingga tidak ada ketetapan apa pun yang mengikat setelah harta atau
barang berharga diserah terima.
Dalam pandangan Islam, hibah adalah perbuatan untuk mendekatkan diri kepada sesama umat
sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Muhammad ﷺ, yaitu:
َتَهاُد ْو ا َتَحاَبْو ا
“Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR. Al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad no.
594].”
B. Hukum Wasiat
Dalam hukum Islam, sumber hukum yang mengatur tentang wasiat adalah QS. Al-Baqarah : 180
ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َح َض َر َأَحَد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِإْن َتَرَك َخ ْيًرا اْلَوِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَأْلْقَر ِبيَن ِباْلَم ْعُروِف ۖ َح ًّقا َع َلى اْلُم َّتِقيَن
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Sedangkan menurut pasal 195 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa wasiat kepada ahli
waris masih memungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari ahli waris yanhg lainnya.
a. Syarat Wasiat
Persoalan wasiat di Indonesia berpodoman pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dituangkan dalam
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Menurut KHI bahwa wasiat hanya dapat dilakukakan dengan
syarat – syarat sebagai berikut:
Oleh orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
Pemilikan terhadap harta benda baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Harta yang diwasiatkan tidak melebihi 1/3 dari harta warisan kecuali semua ahli waris
menyetujuainya.
Ketiga hal tersebut merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pemberian wasiat. Ketentuan
tentang jumlah harta yang boleh diwasiatkan atau legitime portie benar – benar harus diperhatikan.
Pada prinsipnya pewaris memiliki hak mutlak kepada siapa harta itu akan diberikan, tetapi menurut
hukum, baik KHI maupun KUH Perdata, pemberian tersebut tidak boleh melebihi 1/3 karena dalam harta
tersebut terdapat hak ahli waris yang tidak boleh diabaikan.
Selanjutnya terkait dengan pertanyaan anda tentang kemungkinan pembatalan wasiat. Menurut KHI
wasiat batal apabila:
Calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dihukum karena: dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat kepada pewasiat; dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat; dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman
mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan
calon penerima wasiat; dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan
surat wasiat dan pewasiat.
Orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: tidak mengetahui adanya wasiat tersebut
sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat; mengetahui adanya wasiat tersebut,
tapi ia menolak untuk menerimanya; mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah
menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
Barang yang diwasiatkan musnah.
Dengan demikian sangat jelas bahwa wasiat tidak batal karena banyaknya jumlah harta yang
diwasiatkan selama tidak melebihi legitime portie. Oleh karena itu kepada saudara penanya saya
sarankan untuk tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku, karena hukum telah menentukan hak anda
sebagai ahli waris dan hak pewaris untuk memberikan sebagian hartanya kepada orang lain yang
dikehendakinya.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur wasiat dalam Pasal 930-953. Pasal-pasal tersebut
sangat menekankan pada prosedur penyusunan wasiat yang sesuai dengan kehendak bebas dari pihak
yang membuat tanpa dipengaruhi orang lain, termasuk notaris. Ada 3 (tiga) jenis wasiat di Indonesia,
yaitu:
Wasiat Umum
Wasiat yang dibuat oleh seorang notaris. Caranya, orang yang akan meninggalkan warisan menyatakan
kehendaknya di hadapan notaris, dan memohon kepada notaris tersebut agar dibuatkan akta dengan
dihadiri oleh dua orang saksi. Pembuat surat wasiat harus menyampaikan sendiri kehendaknya itu di
hadapan saksi-saksi. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan perantara orang lain, baik anggota
keluarganya maupun notaris yang bersangkutan.
Wasiat Olografis
Wasiat yang seluruhnya ditulis sendiri oleh si pembuat, diberi tanggal dan ditandatangani olehnya,
kemudian harus disampaikan kepada notaris untuk disimpan dalam protokolnya, bisa dalam keadaan
terbuka atau tertutup. Selanjutnya, notaris akan membuat akta penyimpanan (akte van depot) dengan
dihadiri oleh dua orang saksi.
Wasiat Rahasia
Wasiat yang ditulis sendiri atau ditulis orang lain yang disuruhnya untuk menulis kehendak terakhirnya.
Kemudian ia harus menandatangani sendiri surat tersebut. Surat wasiat jenis ini harus disampul dan
disegel, kemudian diserahkan kepada notaris dengan dihadiri empat orang saksi. Penutupan dan
penyegelan dapat juga dilakukan di hadapan notaris dan empat orang saksi.
C. Hukum Hibah
Jika dilihat dari sudut pandang hukum bernegara, arti hibah dapat dipermasalahkan jika wujud
pemberiannya berupa uang dengan jumlah yang banyak atau barang yang sangat bernilai. Dalam hal
itu, maka pengertian prosedur hibah dan pemberiannya harus disertai dengan bukti-bukti ketetapan
hukum resmi secara perdata agar tidak digugat oleh pihak ketiga, termasuk oleh orang-orang yang
termasuk ahli waris di kemudian hari.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1666 dan pasal 1667 dijelaskan bahwa
hibah atau pemberian kepada orang lain secara cuma-cuma tidak dapat ditarik kembali, baik berupa
harta bergerak maupun harta tidak bergerak saat pemberi masih hidup.
Penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu
terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan dianggap tidak sah
atau batal.
b. Pemberi hibah
Hibah hanya dapat dilakukan di antara orang-orang yang masih hidup. Penghibah tidak boleh mengakui
ia tetap berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan. Anak-anak di bawah
umur tidak boleh menghibahkan sesuatu kecuali dalam hal yang ditetapkan pada Bab VII Buku Pertama
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Penghibahan antara suami istri selama perkawinan mereka masih berlangsung, dilarang. Tetapi
ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian berupa barang bergerak yang berwujud,
yang harganya tidak mahal kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan penghibah. Semua orang
pada dasarnya boleh memberikan dan menerima hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang
dinyatakan tidak mampu untuk itu.
c. Penerima hibah
Supaya dapat dikatakan sah untuk menikmati barang yang dihibahkan, orang yang diberi hibah
harus ada di dunia atau sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat penghibahan dilakukan.
Hibah yang diberikan kepada seorang wanita yang masih bersuami tidak dapat diterima selain
menurut ketentuan-ketentuan Bab V Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih berada di bawah kekuasaan orangtua,
harus diterima oleh orang yang menjalankan kekuasaan orangtua itu. Hibah kepada anak-anak
di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah
pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh
Pengadilan Negeri.
Hibah yang sah di mata hukum harus dilakukan dengan pembuatan akta notaris yang naskah aslinya
disimpan oleh notaris. Khusus untuk hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). Selain syarat hibah menurut hukum negara, hibah juga harus mengikuti
syarat yang sah menurut islam. Berikut syaratnya :
Pemberi hibah
Pemberi hibah perlu seorang ahliyyah yang sempurna akal,baligh dan rusyd. Mereka juga mestilah
memiliki harta yangdihibahkan dan berkuasa penuh ke atas hartanya.
Penerima hibah
Penerima hibah mestilah mempunyai keupayaan untuk memiliki harta sama ada mukalaf atau bukan
mukalaf. Sekiranya penerima hibah adalah bukan mukalaf seperti belum akil baligh atau kurang upaya,
maka hibah boleh diberikan kepada walinya atau pemegang amanah.
Harta yang hendak dihibahkan itu mestilah harta yang halal,bernilai di sisi syarak, di bawah pemilikan
pemberi hibah, mampu diserahkan kepada penerima hibah dan wujud ketika harta berkenaan
dihibahkan.
Lafaz ijab dan kabul merupakan lafaz atau perbuatan yang membawa makna pemberian dan
penerimaan hibah.
D. Pembagian Wasiat
Menurut ketentuan hukum Islam pewarisan hanya terjadi karena adanya orang yang meninggal.
Awalnya harus ditentukan dulu harta bawaan suami dan harta bawaan istri. Sedangkan yang dibagi
adalah harta bersama suami dan istri selama perkawinannya dahulu.
Dengan demikian karena pembuat wasiat adalah istri maka pembagiannya adalah istri ¼ (seperempat)
bagian dari harta bersama karena tidak adanya keturunan. Sedangkan selebihnya adalah bagian suami.
Jadi harta yang dapat diserahkan pada yayasan yang ditunjuk istri dalam wasiatnya adalah ¼
(seperempat) bagian dari harta bersama ditambah harta bawaan istri dan yang dibagi pada adik-adik
adalah sisanya ditambah harta bawaan suami. Meskipun demikian masih harus dilihat lagi apakah masih
ada ayah, ibu, atau saudara-saudara untuk menentukan besar bagian masing-masing suami dan istri.
Sementara pembagian warisan menurut ketentuan KUH Perdata dapat digunakan oleh yang siapapun
baik yang beragama Islam ataupun tidak. Menurut Pasal 830 KUHPerdata pewarisan hanya terjadi
karena kematian.Pasal 832 KUHPerdata menegaskan, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga
sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri
yang hidup terlama. Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pewarisan hanya terjadi karena
meninggalnya seseorang dan untuk menentukan siapa ahli warisnya harus dilihat dari 2 (dua) dasar
hubungan yakni hubungan darah dan hubungan perkawinan.
Pasal 128 KUHPerdata menegaskan, Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi
dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana
asal barang-barang itu. Sehingga penyelesaiannya adalah harta warisan pasangan suami istri itu
dipisahkan menjadi harta bawaan serta harta bersama suami istri. Harta bersama kemudian dibagi
menjadi 2 (dua) bagian yaitu ½ (setengah) bagian untuk suami dan ½ (setengah) bagian untuk istri.
Bagian suami ditambah harta bawaan suami inilah yang dibagikan pada adik-adik dan bagian harta
bersama istri ditambah harta bawaan istri diserahkan pada yayasan yang ditunjuk dalam wasiat istri.
E. Pembagian Hibah
Adapun macam-macam hibah itu adalah hibah barang dan hibah manfaat:
Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi
dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan)
apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang
yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah.
Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak
pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup
(al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat
jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
Dalam litelatur lain dapat dilihat macam-macam hibah itu sebagai hal di bawah ini:
Hibah Umra (kuberikan benda ini kepadamu selama kau masih hidup; kalua kau mati sebelum
saya, benda kembali kepada saya); jadi hibah untuk selama hidup pihak yang diberi.
Hibah Ruqba (kuberikan benda ini kepadamu dengan syarat, kalau kau mati sebelum saya,
benda ini tetap milikku, kalau mati lebih dulu menjadilah milikku).
Kedua macam hibah ini tidak diperkenankan, karena hak milik atas benda yang dihibahkan seharusnya
sudah berpindah bila sudah diucapkan kabul dan benda telah berada di tangan pihak yang diberi, jadi
hibah yang disertai syarat, syaratnya itu tidak sah, dianggap hibah tanpa syarat. Selain dua macam
tersebut masih ada bentuk lain yaitu hibah bersyarat. Dikatakan hibah bersyarat apabila hibah dikaikan
dengan sesuatu syarat, seperti syarat pembatasan penggunaan barang oleh pihak penghibah kepada
penerima hibah, maka syarat tersebut tidak sah, sekalipun hibahnya itu sendiri sah.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul sebab keduannya termasuk akad seperti
halnya jual-beli. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat :
Perkara yang menjadi syarat boleh dan sahnya wasiat secara syariah Islam adalah sbb:
a. Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Apabila lebih, maka untuk kelebihan dari 1/3 harus
atas seijin ahli waris.
b. Wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas seijin ahli waris lain.
c. Boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi wasiat buah dari pohon yang
belum berbuah.
d. Boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui seperti susu dalam perut sapi.
a. Akil baligh
b. Berakal sehat
Kalau wasiat bersifat umum, maka tidak boleh untuk hal yang mengandung dosa (maksiat). Contoh,
wasiat harta untuk pembangunan masjid boleh tetapi wasiat untuk membangun klab malam tidak boleh.
c) Dapat memiliki.
SYARAT-SYARAT HIBAH
6. Sah menerimanya
8. Menyempurnakan pemberian
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan
berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua
orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa
bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka
keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli
dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan
tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah
termasuk orang-orang yang berdosa"
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
H. Contoh kasus wasiat dan hibah
Pak Ali meninggal dengan para ahli waris sebagai berikut :
Satu orang istri (maemunah), satu orang anak perempuan (wati), dan satu orang anak laki-laki (budi).
Harta warisnya senilai 100jt. Bagaimanakah pembagian harta waris tersebut?
Jawab : dalam hukum islam, istri merupakan ash-habul furudh yaitu ahli waris yang mendapat bagian
harta waris dalam jumlah tertentu. Istri mendapat ¼ jika suami meninggal dan tidak mempunyai anak,
dan mendapat 1/8 jika mempunyai anak. Sedangkan, seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan dalam islam adalah ashabah yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris sisa nya
setelah diberikan kepada ash-habul furudh. Kedua anak tersebut mendapat harta sebanyak 7/8, berasal
dari harta asal dikurangi bagian ibu mereka (1-1/8) = 7/8. Selanjutnya, bagian 7/8 itu dibagi kepada
kedua anak tersebut dengan ketentuan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan.
Maka bagian wati = 1 bagian, dan bagian budi 2 bagian. Maka harta ashabah tadi 7/8 akan dibagi
menjadi 3 bagian.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Wasiat dibuat saat pemilik harta masih hidup dan harta diberikan saat ia telah meninggal dunia.
Sedangkan Hibah atau hadiah merupakan harta yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, baik
itu ahli waris atau bukan, dimana harta tersebut diberikan pada saat pemilik harta masih hidup.
Jika dilihat dari sudut pandang hukum bernegara, arti hibah dapat dipermasalahkan jika wujud
pemberiannya berupa uang dengan jumlah yang banyak atau barang yang sangat bernilai. Dalam hal
itu, maka pengertian prosedur hibah dan pemberiannya harus disertai dengan bukti-bukti ketetapan
hukum resmi secara perdata agar tidak digugat oleh pihak ketiga, termasuk oleh orang-orang yang
termasuk ahli waris di kemudian hari.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1666 dan pasal 1667 dijelaskan bahwa
hibah atau pemberian kepada orang lain secara cuma-cuma tidak dapat ditarik kembali, baik berupa
harta bergerak maupun harta tidak bergerak saat pemberi masih hidup.
DAFTAR PUSTAKA
https://suduthukum.com/2017/07/macam-macam-hibah.html
https://jogja.tribunnews.com/2014/05/14/berapa-presentase-pembagian-wasiat#:~:text=Menurut
%20ketentuan%20hukum%20Islam%20pewarisan,suami%20dan%20harta%20bawaan
%20istri.&text=Dengan%20demikian%20karena%20pembuat%20wasiat,bersama%20karena%20tidak
%20adanya%20keturunan.
https://www.academia.edu/22367277/CONTOH_CONTOH_KASUS_HUKUM_WARIS_ISLAM
MAKALAH
Fiqih Mawaris
Pengelompokan Ahli Waris
Dosen pengampu: Hajjin Mabrur .M.S.I
Kelompok 5:
Edi (2019.2.8.1.01308)
Ela Erlinda (2019.2.8.1.01311)
BANGSA CIREBON
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan bimbinganya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat dan
sebaik mungkin.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi nilai dan tugas dimata kuliah Fiqih Mawaris
membahas tentang." Pengelompokan Waris ".
Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang berarti dalam pengajaran
Fiqih Mawaris. Meskipun demikian, kami menyadari bahwa susunan dan materi yang
terkandung dalam makalah ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu, segala saran dan kritik
sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.
Cirebon...................
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Islam telah mengatur semua aspek dalam kehidupan manusia, termasuk harta warisan. Ilmu yang
mempelajari pembagian harta warisan disebut sebagai ilmu mawaris atau faraidh.Tidak hanya
mempelajari pembagiannya, ilmu mawaris juga mempelajari pengelompokan ahli waris. Bagian
masing-masing ahli waris ditentukan berdasarkan syariat Islam yang bersumber dari Alquran dan
hadist.Islam mengatur pembagian warisan secara adil lewat aturan-aturan yang ada dalam Al-
Qur’an. Ahli waris adalah orang-orang yang akan menerima hak pemilikan harta (tirkah)
peninggalan pewaris. Ahli waris merupakan salah satu syarat yang seseorang dikatakan pewaris.
Hal ini sangat logis, karena proses waris-mewarisi dapat terjadi apabila ada yang menerima
warisan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskan pengaturan pelaksanaan tiga persoalan
pokok dalam keperdataan Islam yang berkaitan dengan kondisi sosial yang sangat mendesak,
yaitu perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Ahli waris merupakan salah satu syarat yang seseorang dikatakan pewaris. Hal ini sangat logis,
karena proses waris-mewarisi dapat terjadi apabila ada yang menerima warisan. Tanpa ada ahli
waris, maka harta peninggalan pewaris tidak dapat didistribusikan karena ahli warislah yang
akan menerima harta peninggalan tersebut.
Kelompok ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbeda dengan kelompok ahli waris
dalam kitab-kitab dan buku-buku fikih kewarisan terdahulu. Apakah perbedaan ini termasuk
reformulasi system pegaturan kelompok ahli waris yang ada dalam kitab-kitab dan buku-buku
fikih kewarisan yang ada sekarang ini. Kalau ini merupakan reformasi system pengaturan
kelompok ahli waris yang ada dalam kitab-kitab dan buku-buku fikih kewarisan yang ada
sekarang ini, kenapa dipasal yang lain masih dirumuskan pengaturan kelompok ahli waris sama
dengan kelompok ahli waris yang ada dalam kitab-kitab dan buku-buku fikih kewarisan sekarang
ini.Dalam hal ini pemakalah hanya akan membahas "pengelompokan Ahli Waris" berdasarkan
fiqih mawaris.dan pemakalah membatasi pembahasan sekitar" 1. Ahli waris laki-laki dan
perempuan.2. Ahli waris Sababiya dan Nasabiyah.3. Ahli waris Dzwil furudl dan Ashobah.4.
Ahli waris Hajib dan Mahjub."
BAB II
PEMBAHASAN
Dilihat dari arah hubungan nasab antara orang yang meninggal dunia dengan orang
yang berhak memperoleh bagian harta peninggalan atau antara orang yang
mewariskan dengan orang yang mewarisi, maka ahli waris nasabiyah mennjadi tiga
macam yaitu: Furu’ul Mayit, Ushulul Mayit dan Al-Hawasyiy.
a) Furu’ul Mayit
Yang dimaksud yaitu anak keturunan orang yang meninggal dunia. Hubungan nasab antara
orang yang meninggal dunia dengan mereka itu adalah hubungan nasab menurut garis keturunan
lurus ke bawah (ahli waris terdekat).[5] Ahli waris yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
a. Anak Laki-laki
b. Anak Perempuan
c. Cucu Laki-Laki
d. Cucu Perempuan dari garis laki-laki
e. Ushulul Mayit
Yang dimaksud dengan ushulul mayit yaitu orang-orang yang menyebabkan adanya lahirnya
orang-orang yang meninggal dunia. Atau dapat dikatakan pula yaitu orang-orang yang
menurunkan orang yang meninggal dunia. Hubungan nasab orang yang meninggal dunia dengan
mereka itu (ahli waris) hubungan nasab menurut garis keturunan lurus ke atas. Adapun yang
termasuk dalam Ushulul Mayit:
1) Ayah
2) Ibu
c) Al-Hawasyiy
Al-Hawasyiy ialah saudara, paman beserta anak mereka masing-masing. Hubungan nasab antara
orang yang meninggal dunia dengan mereka itu adalah hubungan nasab ke arah menyamping.
Adapun yang termasuk dalam ahli waris Al-Hawasyiy adalah:
9) Paman sekandung
1. Sebab perkawinan.
Sebagai ahli waris sababiyah, mereka dapat menerima bagian warisan apabila
perkawinan suami isteri tersebut sah, baik menurut ketentuan hukum agama dan memiliki bukti-
bukti yuridis artinya perkawinan mereka dicatat menurut hukum yang berlaku. Demikian juga
memerdekakan hamba sahaya hendaknya dapat dibuktikan menurut hukum.[6] Jadi, dalam
pembagian ahli waris sababiyah yang menerima warisan adalah suami, istri, laki-laki yang
memerdekakan si mayit dari perbudakan dan perempuan yang memerdekakan si mayit dari
perbudakan[7]. Kedudukan mereka sebagai ahli waris ditetapkan oleh firman Allah QS. An-nisa’
ayat 12 :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”
1) Anak laki-laki
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki dari paman sekandung
b) Ashabah bi al-Ghair ialah ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama ahli
waris lain yang telah menerima bagian sisa. Mereka adalah:
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki bersama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki
Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang jauh hubungan kekerabatannya, dan terhalang untuk
mewarisi
KESIMPULAN
Dalam pembagian ahli waris sababiyah yang menerima warisan adalah suami, istri, laki-laki
yang memerdekakan si mayit dari perbudakan dan perempuan yang memerdekakan si mayit
dari perbudakan .
jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara
perempuan , Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Ahli
waris kelompok ini semuanya laki-laki kecuali mu’tiqah Kakek Saudara perempuan sekandung
bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki Saudara
perempuan seayah bersama dengan seorang perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-
laki .
DAFTAR PUSTAKA
Ade Fariz Fahrullah, Fiqh Mawaris, (Pekanbaru: Suska Press, t.t.), hlm. 27.
Hajar M, Polemik Hukum Waris, (Pekanbaru, Suska Press, 2014), hlm. 72.
Ade Fariz Fahrullah, Fiqh, hlm. 30.
MAKALAH FIQH MAWARIS
Nama kelompok 6 :
4. Cicih paramida
5. Salmah
6. Rodhotul Jannah
KELAS 5F
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu”alaikumWr.Wb
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris. Makalah
ini berisi tentang Furudul Muqaddaroh dari masing-masing ahli waris yang mendapat bagian
dengan ada atau tidaknya Washiat.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan Makalah ini masih banyak kekurangan dan
keterbatasan, untuk itu dengan kerendahan hati kami siap menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun dari teman-teman sekalian.
Mudah-mudahan Makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua sebagai
pengetahuan.
Wassalamu”alaikumWr.Wb
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Salah satu bentuk kesempurnaannya, Islam
mengatur kehidupan makhluk hidup terutama manusia dengan demikian detail,
diantaranya ialah mengenai hukum waris dalam keluarga yang dijelaskan oleh
alQur’an dan al-Hadits yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW sebagai
pedoman hidup. Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seorang
yang telah meninggal dunia kepada ahli warisannya. Dalam istilah lain waris disebut
juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam
kepada semua yang berhak menerimanya.1 Sedangkan menurut Amir Syarifudin
Hukum Kewarisan Islam dapat di artikan dengan “seperangkat peraturan tertulis
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau
berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang di akui dan di
posisi yakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.” 2 Sedangkan
waris diartikan sebagai “Berpindahnya hak atas kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa
harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal 1 Wirjono prodjodikoro,
Hukum Waris di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1991). Hlm: 8 2 Amir
Syarifudin. Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Prenada Media, 2004). Hlm: 6 2 secara
syarak. Di dalam hukum waris Islam yang dasar-dasar pokoknya terdapat di dalam
Al-Qur’an dan Hadis, tidak ditemukan adanya pasal tertentu yang memberikan
pengertian tentang hukum waris Islam.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana bagian Furudul Muqaddaroh dan Ash Habul fudhuhnya?
2. Bagaimana bagian ahli waris ashobah?
3. Bagaimana memprediksi hitungan harta tirkah menjadi harta waris setelah ada
wasiat?
C. Tujuan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah "fiqh mawaris" serta memberikan ilmu
pengetahuan tentang " Furudul Muqaddaroh dari masing-masing ahli waris yang
mendapat bagian dengan ada atau tidaknya Washiat".
BAB II
PEMBAHASAN
2. Ahli waris „ashhabul furudh yang berhak mendapatkan bagian seperempat adalah
a. Suami, dan
b. Isteri atau para isteri.
Suami dan isteri atau para isteri mendapatkan bagian seperempat dengan ketentuan
atau syarat sebagai berikut :
a. Suami mendapat bagian seperempat dengan ketentuan bahwa ia mewaris bersama
far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu
perempuan pancar laki-laki).
b. Isteri atau para isteri mendapat bagian seperempat dengan ketentuan bahwa ia atau
mereka tidak mewaris bersama far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu
laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki)
3. Ahli waris „ashhabul furudh yang berhak mendapatkan bagian dua pertiga : adalah
a. Dua orang anak perempuan atau lebih.
b. Dua orang cucu perempuan pancar laki-laki atau lebih.
c. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, dan
d. Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih.
Ahli waris berhak mendapatkan bagian tersebut dengan ketentuan dan syarat sebagai
berikut :
a. Dua orang anak perempuan atau lebih mendapatkan bagian dua pertiga dengan
ketentuan bahwa mereka tidak mewaris bersama anak laki-laki yang menjadikannya
sebagai penerima „sshhabah bil ghair.
b. Dua orang cucu perempuan pancar laki-laki atau lebih mendapat bagian dua pertiga
dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewarisi bersama cucu laki-laki pancar laki-
laki yang menjadikannya sebagai penerima „ashhabah bil ghair, serta tidak mewaris
bersama waladu shulbi yaitu anak laki-laki dan anak perempuan.
c. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih mendapat bagian dua pertiga
dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewaris bersama saudara laki-laki sekandung
yang menjadikannya sebagai penerima „ashhabah bil ghair, serta tidak mewaris
bersama bapak dan far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki
pancar laki-laki dan cucu perempuan pancar laki-laki).
d. Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih mendapat bagian dua pertiga
dengan ketentuan bahhwa mereka tidak mewaris bersama saudara laki-laki sebapak
yang menjadikannya sebagai penerima „ashhabah bil ghair, serta tidak mewaris
bersama bapak, far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar
laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki), serta saudara laki-laki atau
perempuan sekandung.
4. Ahli waris ahhabul-furudh yang berhak mendapatkan bagian sepertiga adalah:
a. Ibu
b. Dua orang saudara, baik laki-laki maupun perempuan, seibu atau lebih.
Mereka mendapatkan bagian tersebut dengan ketentuan atau syarat sebagai berikut :
a. Ibu mendapatkan bagian sepertiga dengan ketentuan bahwa ia tidak mewaris
bersama far‟ul waris (anak laki-laki, anak peremppuan, cucu laki-laki pancar laki-
laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki) atau beberapa (dua orang atau lebih)
saudara, baik laki-laki, perempuan, maupun campuran; baik sekandung, sebapak,
seibu, maupun campuran; baik mereka dalam keadaan mewaris maupun terhijab
(terhalang mewaris). Dalam hal mewaris bersama bapak dan salah seorang suami atau
istri, ibu mendapat bagian tsulutsul baqi (sepertiga dari sisa harta peninggalan serta
diambil bagian suami atau istri).
b. Dua orang saudara laki-laki/perempuan seibu, atau lebh mendapat bagian sepertiga
dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewaris bersama far‟ul waris (anak laki-laki,
anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-
laki) atau ashhlu-dzakarin yaitu bapak dan kakek.
5. Ahli waris ashhabul-furudh yang berhak mendpatkan bagian seperenam adalah:
a. Bapak
b. Ibu
c. Kakek
d. Nenek dari pihak bapak
e. Nenek dari pihak ibu
f. Saudara perempuan sebapak atau lebih
g. Saudara laki-laki atau perempuan seibu, dan cucu perepuan pancar laki-laki atau
lebih.
Mereka mendapat bagian tersebut dengan ketentuan atau syarat sebagai berikut:
a. Bapak mendapat bagian seperenam engan ketetuan bahwa ia mewaris bersama
far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu
perempuan pancar laki-laki).
b. Ibu medapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia mewaris bersama far‟ul
waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu
perempuan pancar laki-laki), atau beberapa (dua orang atau lebih) saudara, baik laki-
laki, perempuan, maupun campuran; baik sekandung, sbapak, seibu, maupun
cmpuran; mereka dalam keadaan mewaris atau terhijab.
c. Kakek mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia mewaris bersama
far‟ul waris(anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu
perempuan pancar laki-laki), tetapi tidak mewaris bersama bapak atau kakek yang
lebih dekat dengan si pewaris.
d. Nenek dari pihak bapak mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia
tidak mewaris bersama bapak, ibu, atau nenek yang lebih dekat dengan si pewaris,
baik dari pihak bapak maupun pihak ibu.
e. Nenek dari pihak ibu mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia tidak
mewaris bersama ibu atau nenek dari pihak ibu yang lebih dekat si pewaris.
f. Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) mendapat bagian seperenam
dengan ketentuan bahwa ia atau mereka mewaris bersama soranng saudara perempuan
sekandung yang mempunyai bagian setengah, yakni manakala ia tidak bersama bapak,
far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu
perempuan pancar laki-laki) dan saudara laki-laki sekandung, serta tidak bersama
saudara laki-laki sebapak yang menjadikannya sebagaimana menerima „ashhabah biil
ghair.
g. Saudara laki-laki atau perempuan seibu mendapat bagian seperenam dengan
ketentuan bahwa ia hanya seorang diri (tidak ada saudara selainnya), dan tidak
mewaris bersama far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar
laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki), atau bersama ashlu dzakarin (bapak
dan kakek).
h. Cucu perempuan pancar laki-laki (seorang atau lebih) mendapat bagian seperenam
dengan ketentuan bahwa ia tidak atau mereka tidak mewaris bersama seorang anak
perempuan yang mempunyai bagian setengah, yakni manakala tidak bersama anak
laki-laki; atau tidak bersama dengan cucu lakii-laki pancar laki-laki yang
menjadikannya sebagai penerima „ashhabah bil ghair.
4. Bagian ahli waris ashobah
Ashabah, adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan, kelompok ahli waris
dalam paham ahli sunnah, dikelompokkan tiga macam, yaitu Pertama, ahli waris
ashabah bin nafsi, yaitu ahli waris ashabah ahli waris yang tidak bersama-sama
dengan ahli waris yang lain, kelompok ahli waris ini adalah: (1). Anak laki-laki, (2)
cCucu, (3) Saudara kandung, (4) Saudara seayah, dan (5) Paman. Kedua, ahli waris
„ashabah bil ghair adalah seorang atau sekelompok anak perempuan bersama seorang
atau sekelompok anak laki-laki, dan seorang atau sekelompok saudara perempuan
dengan seorang atau sekelompok saudara laki-laki. Manakala kelompok laki-laki
tersebut menjadi ahli waris „ashabah bil nafsi. Ketiga, ahli waris „ashabah ma‟al
ghairadalah seorang atau sekelompok saudara perempuan, baik sekandung maupun
sebapak, yang mewaris bersama-sama dengan seorang atau sekelompok anak
perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, manakala tidak ada anak laki-laki,
cucu laki-laki pancar laki-laki, atau bapak, serta tidak ada saudaranya yang laki-laki
yang menjadikannya sebagai ahli waris „ashabah bil ghair.
5. Memprediksi hitungan harta tirkah menjadi harta waris setelah ada wasiat
Sedekah atau shadaqah adalah mengamalkan atau menginfakan harta di jalan Allah.
Namun, kegiatan ini bukan hanya semata-mata menginfakan harta di jalan Allah atau
menyisihkan sebagian uang pada fakir miskin, tetapi sedekah juga mencakup segala
macam dzikir (tasbih, tahmid, dan tahlil) dan segala macam perbuatan baik lainnya.
Pembagian Harta Waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan dari orang
kerabat-kerabatnya. Pembagian harta waris dalam Islam diatur dalam Al-Qur an,
yaitu pada An Nisa yang menyebutkan bahwa Pembagian harta waris dalam islam
telah ditetukan ada 6 tipe persentase pembagian harta waris, ada pihak yang
mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3),
sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
PENUTUP
E. Kesimpulan
Bagian Furudul Muqaddaroh dan Ash Habul furudhunnya Ahli waris Ashhabul
furudh ialah ahli waris yang mendapat bagian tertentu, bagian secara jelas telah
disebutkan dalam Al-qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 7, 11, 12, 33 dan 176.Ahli waris
yang tetap berkedudukan sebagai ashhabul furudh, diantaranya ialah ibu, duda, dan
janda. Sedangkan ahli waris pada kesempatan lain dapat berkedudukan bukan
ashhabul furudh, ialah, anak perempuan, ayah, saudara laki-laki dan saudara
perempuan.Ashabah, adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan, kelompok
ahli waris dalam paham ahli sunnah, dikelompokkan tiga macam, yaitu Pertama, ahli
waris ashabah bin nafsedua, kedua ahli waris „ashabah bil ghair Ketiga, ahli waris
„ashabah ma‟al emprediksi hitungan harta tirkah menjadi harta waris setelah ada
wasiat.
2. Saran
Kami sangat menyadari bahwa tulisan atau hasil karya kami masih banyak memiliki
kekurangan, untuk itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca
agar kami bisa terus memperbaiki kekurangan atau kesalahan yang ada di dalam
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://eki-blogger.blogspot.com/2012/03/tafsir-ayat-tentang-keuangan-publik.html?
m=1
2. https://blog.kitabisa.com/pengertian-infaq-dan-pembagian-dalam-islam/
3. https://www.wujudaksinyata.org/news/pengertian-sedekah-keutamaan-dan-macam-
macam-sedekah
4. https://rumaysho.com/83-sedekah-tidaklah-mesti-dengan-harta.html
5. https://rumaysho.com/83-sedekah-tidaklah-mesti-dengan-harta.html
MAKALAH FIQH MAWARIS
Cara Menghitung Pembagian Harta Waris
Dosen Pengampu : Hajjin Mabrur, M.S.I
Disusun Oleh :
Kelompok 7
1. Aghnal Ghina
2. Dani Daveto
3. Muhamad Syahrul
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Kebutuhan dengan pendekatan baru, prioritas
pembangunan”
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah
memberikan kesempatan dan membantu penulis dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyajian dan pembahasan masalah dalam
makalah ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf dan mengharapkan saran dan
kritik yang sifatnya membangun dari para pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I ........................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ............................................................................................................ 2
PENUTUP .................................................................................................................... 7
Kesimpulan ................................................................................................................. 7
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebaik-baiknya agama adalah agama Islam, kitab suci yang terindah adalah kitab suci
Al-qur’an, dan sebaik-baiknya akhlak manusia ada pada akhlak nabi kita junjungan
dan panutan seluruh umat Islam yakni Muhammad SAW. Dalam Islam segala yang
ada sudah terperinci, dari halal dan haram makanan, minuman, harta yang diperoleh,
bahkan harta peninggalan (warisan) telah dicantumkan dalam Al-qur’an
pembagiannya.
Sengketa harta warisan masih sering terjadi. Bahkan seseorang tidak segan untuk
memutus tali silaturahmi karena masalah ini. Jika setiap Muslim mengetahui hukum
pembagian harta warisan dalam Islam, niscaya hal ini dapat dihindari.
Berdasarkan Pasal 171 huruf Kompilasi Hukum Islam huruf e, yang dimaksud harta
waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan
untuk keperluan pewaris selama sakit hingga meninggal, biaya pengurusan jenazah,
pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat.
B. Rumusan masalah:
1. Bagaimana menghitung pembagian harta waris jika muwaris tidak meninggalkan ahli
waris?
2. Bagaimana menghitung pembagian harta waris jika muwaris memiliki seluruh ahli
waris laki-laki tanpa ahli waris perempuan begitupun sebaliknya?
3. Bagaimana menghitung pembagian harta waris jika muwaris memiliki seluruh ahli
waris baik laki-laki maupun perempuan?
C. Tujuan Penulisan :
1. Agar mengetahui pembagian harta waris jika muwaris tidak meninggalkan ahli waris
2. Agar mengetahui pembagian harta waris jika muwaris memiliki seluruh ahli waris
laki-laki tanpa ahli waris perempuan begitupun sebaliknya
3. Agar mengetahui pembagian harta waris jika muwaris memiliki seluruh ahli waris
baik laki-laki maupun perempuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Kematian adalah hal yang sangat pasti akan kedatangannya, bahkan seluruh takdir yang
telah dicantum di lauh-ul-mahfudz seperti jodoh dan kekayaan tidak akan didapatkan
kedatangannya jika kematian telah mendahuluinya. Bila telah datang ajalnya maka
kemanakah kita akan lari?. Bahkan tembok yang tinggi dan tebal pun tidak akan melindungi
kita dari kematian.
Jika ada orang yang meninggal dan dia tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan
Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan
kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
2. Semua kelompok ahli waris laki-laki ada tanpa ahli waris perempuan atau sebaliknya.
Harta warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta
maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang
masih hidup.
ِذ ِل
ا َتَر َك ا ْل َو ا ٰد ِن َو ا َاْل ْقَر ُبْو َن ۗ َو ا َّل ْي َن َع َق َد ْت َو ِل ُك ٍّل َج َع ْل َن ا َم َو ا ِل َي ِم َّم
ال ّٰل َه َك ا َن َع ٰل ى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِه ْي ًد ا َا ْي َم ا ُنُك ْم َف ٰا ُتْو ُه ْم َن ِص ْي َبُه ْم ۗ ِا َّن
“Dan untuk tiap orang kami adakan ahli waris dari peninggalan ibu bapak dan karib
kerabat yang terdekat dan orang-orang yang telah terikat janji setia dengan kamu,
maka barikanlah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan
sesuatu.” (QS. 4/An Nisa’:33)
Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan
manusia, termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang
2
pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan
bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Dalam kehidupan di masyarakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan
pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan.
Pembagian harta warisan di dalam Islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-
adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan.
Dengan adanya system pembagian harta warisan tersebut menunjukkan bahwa Islam
adalah agama yang tertib, teratur dan damai.
Karena sensitif atau rawannya masalah harta warisan itu, maka dalam agama islam
ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang warisan dan perhitungannya.
Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.
ُيْو ِص ْيُك ُم الّٰل ُه ِف َاْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْث ُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيِنْي ۚ َفِاْن ُكَّن ِنَس ۤاًء َفْو َق اْثَنَتِنْي َفَلُه َّن ُثُلَثا َم ا َتَر َك ۚ َو ِاْن
ِا ِا ِح ٍد ِه ِل ِح
َك اَنْت َو ا َد ًة َفَلَه ا الِّنْص ُف ۗ َو َاِلَبَو ْي ُك ِّل َو ا ِّم ْنُه َم ا الُّس ُد ُس َّمِما َتَر َك ْن َك اَن َلهٗ َو َلٌد ۚ َف ْن ْمَّل َيُك ْن
ۗ َّل ٗه َو َلٌد َّو َو ِر َثهٓٗ َاَبٰو ُه َفُاِلِّم ِه الُّثُلُث ۚ َفِاْن َك اَن َلهٓٗ ِاْخ َو ٌة َفُاِلِّم ِه الُّس ُد ُس ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِص ْي َهِبٓا َاْو َدْيٍن
ٰاَبۤاُؤ ُك ْم َو َاْبَنۤاُؤ ُك ْۚم اَل َتْد ُرْو َن َاُّيُه ْم َاْقَر ُب َلُك ْم َنْف ًعاۗ َفِر ْيَض ًة ِّم َن الّٰلِهۗ ِاَّن الّٰل َه َك اَن َعِلْيًم ا َح ِكْيًم ا
3
ِد ِم ْۢن ِا ِا ِن
۞ َو َلُك ْم ْصُف َم ا َتَر َك َاْز َو اُج ُك ْم ْن ْمَّل َيُك ْن ُهَّلَّن َو َلٌد ۚ َف ْن َك اَن ُهَلَّن َو َلٌد َفَلُك ُم الُّر ُبُع َّمِما َتَر ْك َن َبْع
ِا َّل ِا ِص ٍة ِص
َو َّي ُّيْو َنْي َهِبٓا َاْو َد ْيٍن ۗ َو ُهَلَّن الُّر ُبُع َّمِما َتَر ْك ُتْم ْن ْمَّل َيُك ْن ُك ْم َو َل ٌد ۚ َف ْن َك اَن َلُك ْم َو َل ٌد َفَلُه َّن الُّثُمُن
ِا ْۢن ِد ِص ٍة
َّمِما َتَر ْك ُتْم ِّم َبْع َو َّي ُتْو ُص ْو َن َهِبٓا َاْو َدْيٍن ۗ َو ْن َك اَن َر ُج ٌل ُّيْو َر ُث َك ٰل َل ًة َاِو اْم َر َاٌة َّو َل هٓٗ َاٌخ َاْو ُاْخٌت
َفِلُك ِّل َو اِح ٍد ِّم ْنُه َم ا الُّس ُد ُۚس َفِاْن َك اُنْٓو ا َاْك َثَر ِم ْن ٰذ ِلَك َفُه ْم ُش َر َك ۤاُء ىِف الُّثُلِث ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ٰص ى
ٓا َا َد ٍۙن َغ َض ۤاٍّر ۚ ِص َّيًة ِّم الّٰلِهۗ الّٰل َعِلْي ِلْيٌۗم
َو ُه ٌم َح َن َو َهِب ْو ْي ْيَر ُم
Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang
mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi)
wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan
(seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian
yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar)
utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah
Maha Mengetahui, Maha Penyantun. (An-nisa: 12)
5
Jika seluruh ahli waris yang ada hanya laki-laki atau ke lima belas ahli waris itu ada,
maka yang dapat menerima warisan hanya tiga, yaitu suami, anak laki-laki, dan
bapak.
Dengan pembagian sebagai berikut:
Suami
½ jika tidak memiliki anak
¼ jika mempunyai anak
Anak laki-laki
Dapat memiliki seluruh harta peninggalan yang mewarisi, dengan
syarat dia anak tunggal, dan harta warisannya telah dibagi kepada
orang-orang yang berhak menerimanya dalam al-quran.
Bapak
1/6 jika yang mewarisi memiliki anak.
Jika sepuluh orang ahli waris perempuan itu ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya lima orang yaitu, Istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan, dan
saudara perempuan kandung.
Istri
¼ jika yang mewarisi tidak memiliki anak
1/8 jika yang mewarisi memiliki anak
Anak perempuan
½ apabila dia anak tunggal
2/3 apabila anak perempuan lebih dari dua
Ibu
1/3 jika yang mewarisi tidak memiliki anak dan tidak memiliki saudara
kandung
1/6 jika yang mewarisi memiliki anak, cucu, atau saudara kandung
Cucu perempuan
½ jika dia sendirian dan pewaris tidak memiliki pewaris lainnya
2/3 apabila pewaris tidak memiliki anak laki-laki dan tidak ada
pewaris lain
6
1/6 apabila yang mewarisi hanya memiliki satu anak perempuan yang
mendapat bagian 2/3 dan tidak ada pewaris lainnya
Dan jika kedua puluh lima ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya
lima orang saja yaitu, suami atau istri, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak
perempuan.
7
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit hingga meninggal, biaya pengurusan
jenazah, pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat.
Pembagian harta warisan dalam Islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya
agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan. Dengan
adanya system pembagian harta warisan tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah
agama yang tertib, teratur dan damai.
8
MAKALAH FIQH MAWARIS
Disusun Oleh :
Kelompok 8
2021
Jl. Widarasari III, Sutawinangun Kedawung 0231246215 Cirebon 45153
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Kebutuhan dengan
pendekatan baru, prioritas pembangunan”
10
Cirebon, 15 September 2021
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I ...........................................................................................................................4
11
PENDAHULUAN ..........................................................................................................4
PEMBAHASAN ............................................................................................................5
PENUTUP ....................................................................................................................10
Kesimpulan .................................................................................................................11
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembagian warisan dalam Islam mendapat perhatian besar karena pembagian warisan sering
menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya.
Hal ini tidak lepas dari kesalahan dalam menghitung pembagian harta waris yang disebabkan oleh
ketidak telitian dan kurangnya pemahaman masyarakat dalam menghitung harta waris.
Dalam kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi pemicu pertikaian yang
menimbulkan keretakan hubungan keluarga. Pertikaian tersebut bisa jadi disebabkan oleh keserakahan
manusia atas harta warisan yang ditinggalkan, namun bisa karena kekurang tahuan pihak-pihak yang
bertikai tentang hukum pembagian harta warisan. Dikarenakan banyak orang Islam yang tidak
menggunakan lagi sistem pembagian waris menurut syari’at Islam.
Hal yang melandasi penulisan makalah ini adalah untuk memperkenalkan metode pembagian waris yang
sesuai dengan syariat islam agar tidak ada kekliruan lagi dalam masyarakat khususnya dalam proses
pembagian waris
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Cara memilih metode perhitungan yang tepat dalah ahli waris?
b. Bagaimana Metode perhitungan biasa dalam pembagian harta waris?
c. Bagaimana Metode perhitungan Aul dalam pembagian harta waris?
d. Bagaimana Metode perhitungan Rad dalam pembagian harta waris ?
C. Tujuan Masalah
a) Untuk mengetahui Cara memilih metode perhitungan yang tepat dalah ahli
waris
b) Untuk mengetahui Metode perhitungan biasa dalam pembagian harta waris
c) Untuk mengetahui Metode perhitungan Aul dalam pembagian harta waris
d) Untuk mengetahui Metode perhitungan Rad dalam pembagian harta waris
BAB II
PEMBAHASAN
F. Satrio Wicaksono, S.H. dalam buku Hukum Waris: Cara Mudah & Tepat Membagi Harta
Warisan (hal.23) memaparkan bahwa ahli waris dalam KHI dapat dibedakan menjadi dzul faraid, asabah,
dan dzul arham, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Asabah adalah ahli waris yang memperoleh sisa bagian warisan setelah ahli waris dzul
faraid mengambil bagiannya.
2. Dzul arham adalah ahli waris yang mewaris jika tidak ada ahli waris dzul faraid dan ahli waris asabah,
atau apabila hanya ada janda atau duda selaku ahli waris dzul faraid.
3. Dzul faraid adalah ahli waris yang bagian warisnya telah ditentukan di dalam Al Qur’an.
Anak perempuan bersama anak laki-laki maka bagian anak laki-laki adalah 2:1 dengan anak
perempuan.
Anak Perempuan yang cuman seorang diri berhak dapat warisan separuh bagian
Anak perempuan berjumlah dua atau lebih berhak dapat dua pertiga bagian
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tak meninggalkan anak, namun jika pewaris
meninggalkan anak ayah mendapat seperenam bagian.
Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih, akan tetapi bila tidak
ada anak atau dua orang saudara atau lebih ibu mendapat sepertiga bagian.
Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisi sesudah diambil janda atau duda kalau bersama-sama
dengan ayah.
Duda mendapat separuh bagian jika pewaris tak meninggalkan anak dan bila pewaris
meninggalkan anak, duda mendapat seperempat bagian.
Janda mendapat seperempat bagian jika pewaris tak meninggalkan anak, dan jika pewaris
meninggalkan anak janda mendapat seperdelapan bagian.
Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian.
Jika mereka ada dua orang atau lebih, mereka bersama-sama dapat sepertiga bagian.
Kalau seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah yang mana ia mempunyai satu
saudara perempuan kandung atau seayah, ia mendapat separuh bagian.
Kalau saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau
seayah dua orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
Kalau saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah,
bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
Contoh perhitungan biasa dalam pembagian harta waris
jika mayit meninggalkan harta Rp 220 juta, meninggalkan ahli waris 3 anak laki-laki (LK) dan 5 Anak
perempuan (PR) Berapakah Bagian masing-masing?
Maka penyelesaianya :
Anak lk dan Anak pr dapat asobah semuanya, klo yang laki-laki dapat ashobah binafsi (dapat bagian sisa
karena dirinya sendiri) klo prempuan dapat ashobah bil ghoiri (dapat bagian sisa karena bersama
saudara laki-laki) untuk bagiannya lk = 2 dan pr 1 jadi 2 : 1 karenanya untuk menyelesaikannya:
Anak Lk : 2 X 3 = 6
Anak PR : 1 X 5 = 5
Pengertian Aul
Secara harfiyah, aul artinya bertambah atau meningkat. Kata aul ini terkadang juga berarti,
‘cenderung pada berbuat aniaya (zalim). Dalam pengertian istilah fiqh, aul adalah jumlah bagian ahli
waris yang berhak mendapat warisan lebih banyak dari pada harta peninggalan.
Dikatakan aul, karena dalam praktek pembagian warisan, angka asal masalah harus ditingkatkan
atau dinaikkan sebesar angka bagian yang diterima oleh ahli warisan yang ada. Langkah ini diambil,
karena apabila pembagian warisan diselesaikan menurut ketentuan baku secara semestinya, maka akan
terjadi kekurangan harta. Adanya kelebihan jumlah bagian para ahli waris dari jumlah harta yang
tersedia (asal masalah) akan mengakibatkan ahli waris menerima warisan lebih kecil dari yang
seharusnya.
Asal Masalah Aul
Asal masalah dalam menghitung pembagian warisan ada 7 (tujuh) yang dihasilkan dari 6 (enam)
bagian pasti yang telah ditentukan. Ketujuh asal masalah tersebut adalah bilangan 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan
24. Menurut dua bait nadham di atas dari ketujuh asal masalah tersebut 3 di antaranya bisa terjadi ‘aul
dan 4 sisanya tidak akan pernah terjadi ‘aul. Menurut Wahbah Az-Zuhaili ketiga asal masalah yang bisa
terjadi ‘aul adalah asal masalah 6, 12, dan 24. Sedangkan 4 asal masalah yang tak akan pernah terjadi
‘aul adalah asal masalah 2, 3, 4 dan 8
Suami ½ 3
2 Saudara 2/3 4
perempuan
sekandung
Majmu Siham 7
Pada tabel di atas diketahui bahwa asal masalahnya adalah 6. Setelah bagian (siham) masing-masing
ahli waris ditetapkan ternyata jumlah keseluruhan siham ada 7 yang berarti melebihi asal masalah.
Padahal semestinya jumlah keseluruhan siham harus sama dengan asal masalahnya. Itu berarti terdapat
kekurangan siham untuk ahli waris yang juga berarti pada akhir pembagiannya nanti akan terjadi
kekurangan harta yang dibagi kepada ahli waris. Kasus di mana jumlah siham melebihi asal masalah
inilah yang disebut dengan ‘aul.
Agar lebih jelas lagi mari kita gambarkan contoh kasus di atas dengan memasukkan nominal harta
warisan, umpamanya Rp. 420.000.000. Dengan asal masalah 6 maka jumlah harta waris yang ada dibagi
menjadi 6 bagian di mana masing-masing bagian sebesar Rp. 70.000.000. Dengan demikian maka
perolehan harta waris masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut:
Dari uraian di atas jelas bahwa dengan asal masalah 6 dan jumlah siham 7 maka harta waris yang dibagi
ternyata kurang Rp. 70.000.000. Maka perhitungan yang demikian jelas tidak bisa diterima.
Para ulama faraidl mengajarkan bila terjadi masalah ‘aul maka asal masalah yang ada tidak dipakai
untuk membagi nominal harta waris yang akan dibagi. Sebagai gantinya jumlah siham (majmû’ sihâm)
lah yang digunakan untuk membagi nominal harta waris tersebut.
Maka pada kasus di atas harta warisan yang sejumlah Rp. 420.000.000 dibagi menjadi 7 bagian di mana
masing-masing bagian sebesar Rp. 60.000.000. dengan demikian maka perolehan harta warisan masing-
masing ahli waris adalah sebagai berikut:
Pengertian Rad
Secara etimologis, radd merupakan bahasa Arab yang berartikembali/mengembalikan, atau juga
berarti berpaling/memalingkan.14 Selaras dengan ayat al-Qur’an surat al-Ahzab: 25 yang berbunyi: wa
radda Allahu al-lazīna kafarū bi ghoiżihim lam yanālū khoiran. Adapun secara terminologis, radd
menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya sihām dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian
aṣḥāb al-furūḍ Disebutkan juga bahwa radd adalah kekurangan saham/pokok masalah dan kelebihan
jumlah harta.
Jika dari antara ahli ash habul furudh itu tidak terdapat seorangpun yang ditolak menerima tambahan
sisa dari harta warisan tersebut maka penyelesaiannya dapat ditempuh melalui cara sebagai berikut
dibawah ini:
Adapun cara penyelesaiannya adalah mencari saham-saham para ahli waris ash habul furudh, lalu
saham-saham itu dijumlahkan, kemudian jumlah saham-saham itu dijadikan asal masalah baru sebagai
pengganti asal masalah lama, dengan kata lain asal masalah yang lama itu ditasbihkan dengan
menguranginya, sehingga sesuai dengan jumlah saham-saham ahli waris.
Seseorang Meninggal dengan meninggalkan harta warisan sebuah rumah seharga Rp. 6.000.000,- dan
ahli warisnya terdiri dari Nenek shohihah dan Saudara Seibu
Majmu Siham 2
1. Nenek Shohiha
= 1 x 6.000.000,- : 2 = Rp. 3.000.000
Saudara ibu :
= 1 x 6.000.000,- : 2 = Rp. 3.000.000
Kasus diatas ini dapat diselesaikan dengan cara lain seperti perhitungan di bawah ini:
Cara kedua ini jumlah sisa lebih dari harta warisan, setelah terlebih dahulu diambil untuk memenuhi
bagian masing-masing asg furudh diberikan lagi kepada mereka menurut perbandingan ketentuan
bagian mereka masing-masing. Seperti contoh dibawah ini:
3. Rp. 3.000.000
Jelaslah bahwa hasil akhir dari dua perhitungan dalam contoh diatas sama saja, hanya cara atau
jalan penyelesaiannya berlainan namun demikian cara pertama dalam contoh pertama diatas lebih
muda dan praktis dari lainnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perhitungan Aul terjadi karena adanya kelebihan jumlah bagian para ahli waris dari jumlah harta
yang tersedia (asal masalah) akan mengakibatkan ahli waris menerima warisan lebih kecil dari
yang seharusnya, Asal masalah yang bisa terjadi ‘aul adalah asal masalah yaitu Asal masalah 6,
12, dan 24, Asal masalah yang tak akan pernah terjadi ‘aul adalah asal masalah 2, 3, 4 dan 8.
Sedangkan perhitungan Radd itu kebalikan dari Aul dimana ada kekurangan jumlah bagian para
ahli waris dari jumlah harta yang tersedia ( asal masalah ).
SARAN
Saya sebagai penulis menyadari jika makalah ini banyak sekali memiliki kekurangan yang jauh
dari kata sempurna. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu kepada
sumber yang busa dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh sebab itu, penulis sangat
mengharapkan adanya kritik serta saran mengenai pembahasan makalah di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Maulana, Ryan Triana. Belajar Autodidak Menghitung Waris Islam. Elex Media Komputindo, 2013.
Muayyat, Muayyat. Konsep ahli waris penerima radd menurut Muhammad Alî al-Shâbûnî dan Kompilasi Hukum
Islam. Diss. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2010.
Kelompok 9 :
1. Firdaus
2. Frida Eka Rahmatunnisa
3. Saeful Rokhman.
KELAS 5F
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
2021
A. Latar Belakang Masalah
Hukum kewarisan Islam menjelaskan tentang prosedur beserta substansi dalam hal
pembagian waris. Zaman yang semakin berkembang menjadi sebuah fenomena yang perlu
dikaji oleh hukum waris Islam. Problematika baru yang belum pernah ada di masa lalu
sekarang muncul bergantian. Konsep dasar dalam hukum waris tentunya menjadi hal pokok
sebagai landasan guna penyelesaian masalah di masyarakat.
Kasus kelebihan harta waris (radd) dan kasus kekurangan harta waris (aul) bukanlah
yang pertama kali. Sudah sekian lama kasus ini terjadi di dalam masyarakat. Sejauh ini
hukum Islam mencoba memberikan solusi terkait masalah ini. Sehingga jelas bahwa Hukum
Waris Islam senantiasa mengikuti perkembangan zaman. Karena hukum itu bersifat dinamis
sesuai dengan keadaan sosial masyarakat yang ada.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang masalah diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah,
diantaranya:
1. Bagaimana cara menyelesaikan kasus Aul sesuai hukum Islam yang berkeadilan prosedural dan
substansial ?
2. Bagaimana cara penyelesaian kasus Radd sesuai hukum Islam yang berkeadilan prosedural dan
substansial ?
C. Pembahasan
1. Kasus I (Aul)
Ibu Reni dan Bapak Aldi menikah pada tahun 2007. Ibu Reni yang berprofesi sebagai
guru di sebuah sekolah SMA dan Bapak Aldi yang berprofesi sebagai anggota POLRI di
Polres. Selama menikah keduanya tidak dikaruniai seorang anak pun. Pada tahun 2012 bu
Reni menderita sakit kanker kandungan sehingga ia pun meninggal pada tahun 2013
Bu Reni meninggalkan beberapa harta mulai dari tanah, tabungan, dan warisan dari
almarhumah bapaknya yang jika dikalkulasikan sebesar Rp. 900.000.000,- . Ibu Reni
meninggalkan seorang suami, dua orang sdri kandung yang bernama Rini dan Luna, dan
seorang ibu yang sudah tua. Bagaimanakah pembagian harta waris masing-masing sesuai
hukum kewarisan Islam yang memiliki keadilan secara prosedural dan secara substansial.
a. Ashabul furudh
xxv
1. Dua sdri kandung (bagian 2/3 tanpa anak)
Dalil Naqli dalam QS. An-Nisa’ ayat 176.[2]
Artinya: Jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua
orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal.
Berdasarkan dalil Aqli disini jelas bahwa jika si mati tidak mempunyai anak
dan tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung, bagian dua orang sdr
perempuannya adalah 2/3 yang ketika dibagi masing-masing mendapat 1/3.
Karena pada dasarnya saudara sekandung adalah ahli waris pengganti disaat
pengganti utama tidak ada.
xxvi
Tidak Mempunyai Anak
Ket:
: sdri sekandung (2 orang: 2/3 bagian) : Suami (1/2 bagian)
: Bapak (mati) : Ibu (1/3 bagian)
: Istri (mati)
Berdasarkan tabel diatas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan asal masalah
yang pertama maka harta akan mengalami kekurangan sebesar Rp. 450.000.000,- karena bagian
ahli waris total sebanyak Rp. 1.350.000.000,- sementara harta waris hanya sebesar Rp.
900.000.000,-. Akan tetapi setelah di-aul-kan, jumlah masing-masing harta waris yang diterima
ahli waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni suami mendapatkan Rp.
300.000.000,-, Ibu mendapatkan Rp. 200.000.000,-, dan dua saudari kandung mendapatkan Rp.
400.000.000,-
Secara istilah menurut Ulama Faradiyun aul adalah bertambahnya jumlah bagian dzawil
furudh atau berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Sehingga jelas bahwa hal ini dapat
terjadi apabila terdapat banyak ahli waris yang berhak memperoleh warisan sehingga
menghabiskan harta warisan, tetapi masih ada ahli waris lainnya yang belum mendapat bagian. [7]
Secara keadilan prosedural telah memenuhi syarat karena diselesaikan dengan prosedur
hukum yang berlaku dan secara keadilan substansial telah memenuhi syarat juga karena masing-
masing ahli waris mendapat bagian yang semestinya.
2. Kasus II (Radd)
xxvii
Pak Romi adalah seorang pemborong sawah. Ia mempunyai seorang istri dan seorang
anak perempuan. Istri pak Romi meninggal sebulan yang lalu karena terkena serangan
jantung. Sehingga Pak Romi kehilangan istri yang dicintainya.
Akhir-akhir ini kesehatan pak Romi mengalami penurunan akibat penyakit paru-paru
yang dideritanya. Rokok yang merupakan sesuatu yang digandrungi pak Romi telah
merenggut nyawanya tahun ini. Pak Romi meninggalkan, seorang anak perempuan, dan
empat orang cucu perempuan dari anak perempuan.
Pak Romi tergolong Jutawan yang sukses karena ketika dikalkulasikan hartanya sebesar
Rp. 6.000.000.000,-. Bagaimanakah pembagian harta waris yang sesuai dengan perspektif
konsep hukum waris Islam yang berkeadilan prosedural dan berkeadilan substansial.
a. Ashabul Furudh
Berdasarkan tabel diatas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan asal masalah
yang pertama maka harta akan mengalami kelebihan sebesar Rp. 2.000.000.000,- karena bagian
ahli waris total sebanyak Rp. 4.000.000.000,- sedangkan harta waris sebesar Rp. 6.000.000.000,-.
Akan tetapi setelah di-radd-kan, jumlah masing-masing harta waris yang diterima ahli waris
adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni anak perempuan mendapatkan Rp.
4.500.000.000,- dan keempat cucu perempuan mendapatkan Rp. 1.500.000.000,-
Secara definitif yang dimaksud dengan radd menurut ulama faradiyun adalah pengembalian
bagian yang tersisa dari bagian zawil furudh nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar-
kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak menerimanya. [10]
Secara keadilan prosedural telah memenuhi syarat karena diselesaikan dengan prosedur
hukum yang berlaku dan secara keadilan substansial telah memenuhi syarat juga karena masing-
masing ahli waris mendapat bagian yang semestinya.
D. Kesimpulan
Berdasarkan data diatas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan asal masalah
yang pertama maka harta akan mengalami kekurangan sebesar Rp. 450.000.000,- karena
bagian ahli waris total sebanyak Rp. 1.350.000.000,- sementara harta waris hanya sebesar
Rp. 900.000.000,-. Akan tetapi setelah di-aul-kan, jumlah masing-masing harta waris yang
diterima ahli waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni suami
mendapatkan Rp. 300.000.000,-, Ibu mendapatkan Rp. 200.000.000,-, dan kedua saudari
kandung mendapatkan Rp. 400.000.000,-
Secara istilah menurut Ulama Faradiyun aul adalah bertambahnya jumlah bagian dzawil
furudh atau berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Sehingga jelas bahwa hal ini
dapat terjadi apabila terdapat banyak ahli waris yang berhak memperoleh warisan sehingga
menghabiskan harta warisan, tetapi masih ada ahli waris lainnya yang belum mendapat
bagian.
Berdasarkan data diatas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan asal masalah
yang pertama maka harta akan mengalami kelebihan sebesar Rp. 2.000.000.000,- karena
bagian ahli waris total sebanyak Rp. 4.000.000.000,- sedangkan harta waris sebesar Rp.
xxix
6.000.000.000,-. Akan tetapi setelah di-radd-kan, jumlah masing-masing harta waris yang
diterima ahli waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni anak perempuan
mendapatkan Rp. 4.500.000.000,- dan keempat cucu perempuan mendapatkan Rp.
1.500.000.000,-
Secara definitif yang dimaksud dengan radd menurut ulama faradiyun adalah
pengembalian bagian yang tersisa dari bagian zawil furudh nasabiyah kepada mereka, sesuai
dengan besar-kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak
menerimanya.
E. Saran
Penulis sadar dalam tulisan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu Penulis memohon
kritik dan saran dari Pembaca sekalian yang Budiman.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahannya Kementerian Agama Republik Indonesia
Salman S, Otje & Mustofa Haffas. 2002. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama
Umam, Dian Khairul. 1999. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia
xxx
//
FIQH MAWARIS
Kelompok 10 :
1. Mayang Fuji A.
2. Julfa Alfiah
xxxi
2021
Jl. Widarasari III, Sutawinangun Kedawung 0231246215 Cirebon 45153
xxxii
33
BAB I
PENDAHULUAN
Dia meninggalkan satu istri bernama Ummu Kahlah dan tiga anak perempuan. Semua harta
peninggalan Aws diambil oleh dua orang saudara laki-laki sedatuknya (anak pamannya) yang
bernama Suwaidun dan Arfathah. Untuk mencari keadilan, Ummu Kahlah menemui Rasul di
masjid al-Fadhiih untuk mengadukan peristiwa tersebut; bahwa suaminya Aws bin Shamit telah
meninggal dunia dan meninggalkan 3 orang anak perempuan yang tidak dapat di biayainya
karena tidak ada hartanya. Seluruh harta peninggalan suaminya diambil oleh 2 orang saudara
laki-laki sedatuknya. Kemudian Rasullulah memanggil kedua laki-laki itu dan menanyainya
tentang pengaduan Ummu Kahlah tadi. Mereka menjawab “Benar ya Rasullulah, anak-anak itu
tidak sanggup mengendarai kuda, tidak sanggup memanggul barang-barang, tidak sanggup
memerangi musuh, kami yang berusaha atasnya, sedangkan perempuan itu tidak mengusahakan
harta”. Kemudian turunlah ayat kewarisan yaitu Q.S.IV:7.
Dengan ini, tetaplah bahwa wanita-wanita yaitu anak perempuan dari istri Aws bin Shamit
berhak mendapat bagian warisan. Namun, pada waktu itu belum ditentukan berapa besar jumlah
bagiannya. Nabi Muhammad langsung berkata “Jangan kamu pisahkan sesuatupun dari harta
Aws itu”, Allah SWT telah menjadikan bagi anak-anak perempuannya itu bagian dari
warisannya, tetapi belum dijelaskan berapa jumlahnya.
Kasus Aws ini membuat perubahan fundamental, baik dari segi harkat dan martabat maupun
segi kedudukan wanita dalam sistem hukum kewarisan islam menjadi lebih baik. Q.S.IV:7
merupakan perubahan mendasar bagi ahli waris, yang isinya “ Bagi laki-laki ada bagian warisan
dari harta peninggalan ibu bapak dan aqrabunnya (keluarga dekat). Dan bagi wanita ada bagian
warisan dari harta peninggalan ibu bapak dan aqrabunnya (keluarga dekat), ada yang mendapat
sedikit ada yang mendapat banyakan bagian yang diwajibkan.”
33
34
istri. Keluarga merupakan unit terkecil yang memegang peranan sangat penting bagi masyarakat
dimana mereka diikat dengan suatu akad nikah dengan tujuan membangun keluarga bahagia
sesuai syariat Islam.[5] Mengenai hukum kewarisannya, siapa saja yang berhak dan berapa
bagian setiap ahli waris serta bagaimana harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris
semua diatur di al-Qur’an karena setiap orang pasti akan mengalami kematian dan menimbulkan
peristiwa kewarisan sepanjang rukun kewarisannya dipenuhi. Kewarisan juga menyangkut harta
benda yang bila tidak diberikan ketentuan akan mudah menimbulkan sengketa antara para ahli
waris. Disimpulkan hukum kewarisan punya kedudukan yang sangat penting, bahkan para ulama
menjadikan pembagian harta warisan menjadi satu cabang ilmu yang dinamakan ilmu faraidh.
telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada
perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa
hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalangi-halangi terjadi peralihan tersebut.” Perolehan
harta dari orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan otomatis menurut
ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur paksaan
terlihat dari segi ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpidahan harta kepada dirinya sesuai
yang telah ditentukan. Unsur Ijbari tidak akan memberatkan ahli waris, karena ahli waris hanya
berhak menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul utang yang
ditinggalkan oleh pewaris. Kewajibannya hanya sekedar menolong membayarkan utang pewaris
dengan harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban melunasi utang itu dari hartanya ahli
waris. Asas ijbari dalam hukum islam dapat dilihat dari beberapa segi:
a. Segi cara peralihan harta mengandung arti bahwa harta orang mati itu beralih dengan sendirinya,
bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Jadi pewaris tidak perlu menjanjikan
sesuatu sebelum ia meninggal, begitu pula ahli waris tidak perlu meminta haknya.
b. Segi jumlah berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan
oleh Allah SWT, sehingga pewaris atau ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau
mengurangi apa yang telah ditentukan.
c. Segi penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu
sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusiapun dapat
mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak, sesuai
dengan Firman Allah SWT dalam Q.S.IV : 11, 12, dan 176.
2. Asas bilateral
Mengandung arti bahwa harta warisan beralih melalui 2 arah, maksudnya adalah setiap orang
menerima hak kewarisan dari ke dua belah pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak
garis keturunan perempuan. Dapat dilihat dalam Firman Allah SWT surat al-Nisa ayat 7, 11, 12
dan 176. Dari keempat ayat tersebut terlihat jelas bahwa kewarisan itu beralih kebawah (anak-
anak), ke atas (ayah dan ibu), dan ke samping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis
keluarga yaitu laki-laki dan perempuan dan menerima warisan dari dua garis keluarga yaitu garis
laki-laki- dan garis perempuan.
3. Asas Individual
Harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perseorangan. Masing-masing ahli waris
berhak menerima bagiannya secara tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Ini
didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk
menerima hak dan kewajiban, yang dalam istilah Usul Figh disebut “ahliyatu al wujub”.
[16] Pembagian secara individual ini adalah ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh
setiap muslim dengan sanksi berat diakhirat bagi yang melanggarnya sebagaimana dinyatakan
dalam Firman Allah SWT surat al-Nisa ayat 13 dan 14.
4. Asas Keadilan berimbang
Keadilan dalam hukum kewarisan dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan
kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Juga berarti
keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.
Laki-laki dan perempuan misalnya mendapat hak yang sama sebanding dengan kewajiban yang
35
36
dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Jadi, bagian yang diterima
oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing
terhadap keluarganya.
5. Asas kematian
Peralihan harta seseorang kepada orang lain hanya berlaku setelah orang yang mempunyai harta
meninggal dunia. Maksudnya adalah hukum kewarisan Islam hanya mengenal suatu bentuk
kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau kewarisan abintestato (dalam BW) dan
tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan karena diangkat atau ditunjuk dengan
surat wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup atau yang disebut kewarisan secara testamen.
36
37
BAB II
BERLAKUNYA HUBUNGAN KEWARISAN
B. Penghalang Kewarisan
Dalam hukum kewarisan Islam seseorang dapat terhalang untuk menerima warisan atau menjadi
ahli waris:
1. Karena berlainan agama. Artinya agama pewaris dengan ahli waris berbeda, ini didasarkan pada
hadits Rasul, Rowahu Buchori dan Muslim.
2. Karena pembunuhan. Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewaris menyebabkannya
tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya. Hal ini sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW, Riwayat Ahmad.
37
38
38
39
BAB III
WARISAN AHLI WARIS YANG STATUS DIRAGUKAN / KASUS
TERTENTU
Ahli waris yang statusnya diragukan, maksudnya adalah ahli waris yang pada saat harta
warisan terbuka (pada saat pewaris meninggal dunia) status hukumnya sebagai “subjek hukum”
atau “sebagai pendukung hak dan kewajiban masih diragukan. Ada beberapa kasus tertentu yang
menimbulkan permasalahan terhadap persoalan kewarisan. Ahli waris yang statusnya diragukan
serta ahli waris dalam kasus-kasus terntentu adalah sebagai berikut:
1. Anak yang masih dalam kandungan
2. Orang yang hilang (mafqud)
3. Orang yang mati serentak
4. Orang yang tertawan (asir)
5. Khuntsa
6. Zawul Al-arham
2. Hanya mewarisi dengan salah satu atau dua kemungkinan, yaitu sebagai laki-laki atau
perempuan, dan tidak mewarisi dengan kemungkinan yang lainnya.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia, dan meninggalkan istri, saudara bapak kandung
(paman) dan seorang istri dari saudara kandung yang sedang hamil. Bila kondisi seperti ini, maka
bagian istri diberi bagian ¼, sedangkan sisanya ¼ ditangguhkan pembagiannya sampai bayi
tersebut lahir. Bila bayi tersebut laki-laki akan mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut
dan ia lebih utama menghalang paman, bila perempuan maka pamanlah yang berhak, sebab anak
perempuan dari saudara laki-laki kandung bukanlah ahli waris.
3. Dapat mewarisi dengan segala kemungkinan, baik ia sebagai laki-laki atau sebagai
perempuan.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia, dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ayah
dan ibu.
4. Dapat mewarisi, dan tidak pula berbeda jumlah bagiannya, baik ia sebagai laki-laki
atau perempuan.
Misalnya: Seseorang mati meninggalkan seorang saudara perempuan kandung, saudara
perempuan seayah, dan seorang ibu yang sedang hamil dari suami yang bukan ayah si
meninggal, kalau ia lahir statusnya hanya sebagai saudara seibu, apabila saudara seibu, bagian
laki-laki dan perempuan sama besarnya.
5. Tidak bersama dengan ahli waris yang pokok, atau bersama dengan ahli waris yang
terhalang olehnya.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan menantu (istri dari anaknya)
yang sedang hamil dan saudara seibu. Dalam hal ini, pembagian harta warisan harus
ditangguhkan sampai anak yang dalam kandungan tersebut dilahirkan.
40
41
harus terlewati 90 tahun. Pendapat ini sama dengan pendapat ulama Syafi’iyah, tetapi penetapan
matinya seseorang hanya dapat dilakukan oleh keputusan lembaga pengadilan.
2. Seseorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila telah terlewati
tenggan waktu 70 tahun. Pendapat ini didasarkan kepada hadis yang mana merupakan pendapat
ulama Malikiyah. Sedangkan menurut riwayat Imam Maliki, bahwa bila ada laki-laki yang
hilang di Negara Islam dan terputus beritanya, maka istrinya harus melapor kepada Hakim. Bila
hakim tidak mampu untuk mendapatkannya, maka istrinya diberi waktu menunggu selama 4
tahun, setelah lewat dari itu istrinya beridah sebagaimana lazimnya seorang istri yang ditinggal
mati oleh suaminya, dan setelah itu diperkenankan kawin dengan laki-laki lain.
3. Orang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa (seperti waktu
peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat udara jatuh dan temannya ada yang
selamat), maka orang yang hilang tersebut harus diselidiki selama empat tahun, jika tidak ada
kabar beritanya, maka hartanya sudah dapat dibagi (pendapat yang dipegang ulama-ulama
Hanabilah). Sedangkan apabila kehilangan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang
membawa kematian (seperti berdagang atau merantau), ulama hnabilah berbeda pendapat:
a. Menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan
b. Diserahkan kepada ijtihad hakim.
Tentang kewarisan orang yang hilang hanya terdapat dua kemungkinan, yaitu:
1. Apabila orang yang hilang tersebut menghijab atau menghalang ahli waris yang
lainnya secara hijab hirman, maka pembagian harta warisan harus ditangguhkan sampai status
hukum orang yang hilang tersebut pasti.
2. Apabila tidak menghijab ahli waris yang ada, bahkan ia bersekutu untuk mewarisi
bersama ahli waris yang tinggal, mana yang tidak terhalang pembagiannya dapat diberikan
terlebih dahulu (secara sempurna), sedangkan jika bagiannya tidak sama andainya orang yang
hilang tersebut dalam keadaan hidup atau mati, maka kepadanya diberikan bagian terkecil,
sedangkan bagi ahli warisnya yang bagiannya tergantung kepada kematian orang yang hilang,
maka bagiannya ditangguhkan.
Contoh kasus: Dua orang bersaudara (B dan C) mengadakan perjalan dengan pesawat udara
bersama dengan Bapaknya(A), kemudian pesawatnya mengalami kecelakaan. Dua orang
41
42
bersaudara serta bapaknya meninggal dunia. B meninggalkan istri dan seorang anak perempuan.
C meninggalkan dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki kandung.
Penyelesaian persoalan warisan A tidak sebagaimana lazimnya, yaitu bagian B menjadi warisan
istri dan anak perempuannya (D dan E) dan seluruh bagian C menjadi bagian dari 2 orang anak
perempuan serta seorang anak laki-lakinya (F,G, dan H). Dalam kasus ini, B dan C haruslah
tidak dilihat atau dipandang sebagai ahli waris dari A, sebab antara A, B, dan C tidak diketahui
siapa yang meninggal lebih dulu, sehingga tidak diketahui siapa yang menjadi ahli waris siapa.
Jadi, yang menjadi ahli waris langsung dari A adalah E , F, G, H dengan kedudukan sebagai cucu
laki-laki dan cucu perempuan, sedangkan D (istri B) bukan sebagai ahli waris.
Dengan demikian bagian laki-laki adalah 2 kali bagian perempuan, dan bagian masing-masing
adalah sebagai berikut:
- E memperoleh 1/5 bagian
- F memperoleh 1/5 bagian
- G memperoleh 1/5 bagian
- H memperoleh 2/5 bagian
6. Warisan Khuntsa
Khuntsa adalah orang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan secara seklaigus, atau
tidak memiliki alat kelamin sama sekali. Dalamistilah hukum Islam disebut “Khuntsa Al-
Musykil”, dalam istilah sehari-hari sering disebut “wadam” (Hawa-Adam), “waria” (wanita-
pria).
7. Zawul Al-arham
Dzawil Arham terdiri dari duat kata yaitu dzawil dan arham, Dzawil secara bahasa ialah orang
yang mempunyai hubungan kerabat secara mutlak. Arham adalah jamak dari rahim, rahim
42
43
bermakna tempat anak di dalam perut ibu. Menurut istilah dzawil arham memiliki pengertian
golongan kerabat yang tidak termasuk golongan ashabul furud dan ashobah.
Menurut Hanafi dan Syafi’i dzawil arham adalah para kerabat yang mempunyai hubungan darah
dengan si mati tetapi bukan kerabat dzawil furudh dan bukan kerabat ‘Asabah yaitu semua
anggota keluarga di garis ibu, lelaki maupun perempuan dan semua anggota keluarga yang
perempuan di garis bapak kecuali empat perempuan yang ditentukan bagiannya di dalam al-
Qur`an anak perempuan, anak perempuan dari anak lelaki, saudara perempuan kandung, dan
saudara perempuan sebapak.
Menurut Ulama Sunni kelompok dzawil arham adalah semua orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan pewaris tetapi tidak menerima warisan karena terhijab oleh ahli waris dzawil
furudh dan ashabah. Antara lain:
1. Cucu dari keturunan anak perempuan dan seterusnya ke bawah (laki-laki maupun
perempuan).
2. Anak dari cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya ke bawah (laiki-
laki maupun perempuan).
3. Anak-anak dari saudara perempuan kandung, seayah, seibu, baik laki-laki maupun
perempuan.
4. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, seayah, seibu, dan seterusnya ke
bawah.
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan seterusnya ke bawah.
43
44
Disusun Oleh :
Kelompok 11
Ruaya Ningsih
Gita Komala
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat allah swt. Yang telahmemberikan nikmat
kepada kami. Sehinga kami manpu menyelesaikanmakalah fiqih mawaris sesuai dengan waktu
yang telah direncanakan.makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat
penilaian matakuliah fiqih mawaris. Yang meliputi tugas nilai kelompok. Kami sebagai
mahasiswa tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula dalam penyusunan makalah ini, yang
memiliki banyak kekurangan.oleh karena itu, kami mohon maaf atas segala kekurangannya. Oleh
karena itu,untuk kesempurnaan penulisan ini, baik dalam penyajian maupun tata bahasa
yangdigunakan, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifatmembangun dan
berguna untuk perbaikan makalah kami dan semoga makalahkami dapat bermanfaat bagi semua
pihak, aamiin allahumma aamiin
45
46
BAB 1
PENDAHULUAN
A. latar belakang
Kematian atau meninggal dunia adalah suatu peristiwa yang pasti akan dialami oleh
setiap manusia, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang
manusia. Namun yang menjadi permasalahan adalah jika orang tersebut meninggal dunia
dengan meninggalkan harta yang lazim disebut harta warisan ataupun tirkah, dengan cara apa
kita hendak menyelesaikan atau membagi harta warisan tersebut, hukum apa yang akan kita
terapkan dalam penyelesaian harta warisan itu. Sebagai agama yang sempurna, Islam
mengatur segala sisi kehidupan manusia, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan peralihan
harta yang ditinggalkan seorang manusia, setelah manusia tersebut meninggal dunia. Hukum
yang membahas tentangperalihan harta tersebut dalam ilmu hukum disebut hukum
kewarisan, atau dikenal juga dengan hukum faraid Idris Djakfar dan Taufik Yahya
mendefinisikan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-
cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih
hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam
al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah Arab
disebut Faraidl.i (Idris Djakfar dan Taufik Yahya, 1995: 3-4). Pasal 171 huruf (a) Kompilasi
Hukum Islam mendefinisikan: "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris ". Dari kedua definisi tersebut
dapat diketahui bahwa hukum kewarisan Islam merupakan hukum yang mengatur tentang
peralihan kepemilikan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih
hidup (yang berhak menerimanya), yang mencakup apa saja yang menjadi harta warisan,
siapa-siapa saja yang berhak menerima, berapa besar forsi atau bagian masing-masing ahli
waris, kapan dan bagaimana tata cara pengalihannya. Warisan menurut sebagian besar ahli
hukum Islam ialah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal
dunia baik berupa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan
juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang
digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.(Masjfuk
Zuhdi,1993:57). Allah Swt. memerintahkan agar setiap orang yang beriman mengikuti
46
47
B. RUMUSAN MASALAH
47
48
48
49
BAB III
PEMBAHASAN
penambahan dari mahar yang akan didapatkannya apabila kelak ia menikah, selanjutnya setelah
menikah ia (pada dasarnya) tidak dibebankan kewajiban menafkahi keluarganya, bahkan
sebaliknya dia akan menerima nafkah dari suaminya, kondisi umum ini tidak menafikan keadaan
sebaliknya, tapi jumlahnya tidak banyak. Dari penjelasan tersebut, jika dicontohkan secara
konkret adalah seorang anak laki-laki memperoleh harta warisan bernilai uang Rp.20.000.000,-
(dua puluh juta), sedangkan saudara perempuannya memperoleh Rp. 10.000.000; (sepuluh juta)
berdasarkan ketentuan 2 : 1 , maka Ketika laki-laki tersebut akan menikah, ia akan mengeluarkan
biaya keperluan mahar sekitar Rp.5.000.000,-(lima juta rupiah), jadi sisa harta dari bagian
warisan yang ada pada laki-laki tersebut berjumlah Rp. 15.000.000; (lima belas juta rupiah).
Sebaliknya saudara perempuannya yang memperoleh bagian warisan Rp. 10.000.000; (sepuluh
juta rupiah) tersebut akan memperoleh tambahan Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) disebabkan
mahar yang diperolehnya dari laki-laki yang menikah dengannya. Dengan demikian maka kedua-
duanya (laki-laki dan perempuan) yang memperoleh bagian warisan tersebut sama-sama
memperoleh Rp. 15.000.000,-(lima belas juta rupiah). Dengan demikian maka perempuan selain
pemilik penuh dari kekayaan yang diwarisi dari orang tuanya dan tidak ada
pemaksaan/kewajiban untuk dibelanjakan, juga akan mendapatkan tambahan dari mahar yang
diberikan laki-laki yang akan menjadi suaminya serta mendapatkan hak nafkah dari suaminya
tersebut. Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris Islam bukan saja
keadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya forsi berdasarkan
kewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan tetapi juga bersifat commulatif, yakni bagian
warisan juga diberikan kepada wanita dan anak-anak. Hal tersebut berbeda dengan hukum
warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang
masih berlaku. Jika dalam satu kasus seorang anak (juga saudara) perempuan mendapat separuh
dari harta peninggalan, pada hakikatnya jauh lebih besar dari perolehan laki-laki, sebab kekayaan
laki-laki (termasuk dari bagian warisan) pada akhirnya akan pindah ke tangan wanita dalam
bentuk pangan, sandang dan papan, sehingga bahagian laki-laki tersebut akan lebih dahulu habis.
Sebaliknya kekayaan perempuan (dari pembagian warisan tersebut) akan tetap utuh tak
berkurang, jika diinginkannya,24 karena pada hakikatnya perempuan mengambil bagian
(warisan, harta laki-laki) dan tidak memberi apa-apa, la mendapat bagian warisan dan
memperoleh nafkah, tidak sebaliknya. Perbedaan yang berdasarkan besar kecilnya beban dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagaimana diuraikan di atas, berdasar hukum
50
51
kausalitas imbalan dan tanggung jawab, bukan mengandung unsur diskriminasi. Forsi perempuan
yang ditentukan tersebut seimbang dengan kewajibannya. Sebab dalam Islam, kaum wanita pada
dasarnya dibebaskan dari memikul tanggung jawab ekonomi keluarga. Oleh karena itu, jika
seseorang menerima bagian waris tinggi, berarti hal itu merupakan manifestasi dari tingkat
kewajibannya, yang merupakan konsep perbedaan secara sosiologis dalam masyarakat Islam. Di
Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2 : 1 bukan ketentuan
yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, di antaranya Zainuddin Sardar
yang menyatakan bahwa setiap rumusan hukum yang terdapat pada nash Al-Qur' an dan Hadits
terdiri dan unsur-unsur: a. Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk
semua tempat dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah. b. Unsur Hudud yang
bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan kondisi sebagaimana kaidah: Artinya:
Perubahan hukum (dapat terjadi) berdasarkan perubahan masa, tempat dan keadaan26 Oleh
karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam di antaranya norma tentang
hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua.
Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam
segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan. Meski
demikian, pada kenyataannya rumusan Pasal 176 KHI yang dijadikan hukum materiil di
lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2 : 1 tidak bergeser. Ketentuan 176 KHI yang tetap
mempertahankan forsi 2 : 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dilatarbelakangi para
penyusun ataupun ahli hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 KHI meyakini
ketentuan ayat tersebut bersifat Sarih/tafsil dan gath'i, berdasarkan pada teori standar
konvensional yang menyebutkan "perbedaan jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-
laki berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab", seperti yang telah diuraikan di atas.
Dalam hukum waris Islam juga ditentukan bagian Ibu dan bapak yang berhak mewarisi bersama
anak dengan keturunannya, dalam arti Ibu dan bapak sama-sama mewarisi dengan forsi yang
berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari harta warisan, apabila pewaris meninggalkan
anak laki-laki. Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karma bapak
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah untuk ibu. Walaupun dalam hukum
waris Islam ditentukan forsi 1 : 1 (satu banding satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni
sama-sama memperoleh 1/6 bagian, akan tetapi dalam pelaksanaannya/penerapannya masih
memperhatikan keadilan atas dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan tanggung jawab laki-
51
52
laki lebih besar dibanding perempuan. Oleh karena itu akan dinilai adil jika bagian ayah lebih
besar dibandingkan bagian ibu, seperti dalam kasus apabila pewaris meninggalkan ahli waris :
suami, ibu dan bapak. Dalam kasus demikian, asal masalah adalah enam, dimana suami
memperoleh ½ (3 bagian), ibu memperoleh 1/3 dari sisa (1 bagian) dan ayah mendapat sisa (2
bagian).
Jika dirinci, sebenarnya banyak sekali hikmah dan faedah yang terkandung dalam hukum
waris. Terutama jika dikaitkan dalam beberapa ketentuannya sebagai berikut: Hikmah
Allah telah menciptakan mahluknya yang bernama manusia secara berpasang pasangan.
Allah juga mensyariatkan adanya pernikahan antara laki-laki dan perempuan sebagai upaya
legalisasi hubungan antara keduanya. Allah juga menjadikan hubungan perkawinan sebagai
salah satu sebab seseorang memperoleh hak waris. Di antara hikmahnya adalah bahwa
masing-masing dari suami maupun istri merupakan penolong antara satu dengan yang lain
dalam menjalani dinamika kehidupan, mulai dari mengatur rumah, mendidik anak dan apa
yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, tidak pantas bagi mereka untuk tidak
mendapat bagian dari harta warisan. Hikmah lainnya adalah ketika ada seorang suami yang
wafat meninggalkan istri yang sudah tua dan tidak mungkin untuk menikah lagi dengan
seseorang yang dapat memberinya nafkah untuk kehidupan selanjutnya, maka dia dapat
hidup dengan harta waris dari suaminya. Atau ketika seorang suami meninggalkan istri yang
miskin, paling tidak harta waris dari suaminya bisa menjadi nafkah bagi istri tersebut hingga
selesai masa iddahnya.
52
53
terikat dengan beberapa penghalang. Tidak ada aktivitas lain bagi mereka kecuali mengatur
rumah, sedang yang memberi uang belanja untuk urusan itu adalah suaminya, sebagai suatu
kewajiban syar’i. Seorang istri tetap akan mendapatkan bagian meskipun istri dalam keadaan
cukup baik dari segi harta dan kenikmatan hidup.
Hikmah lain yang terkandung dalam ketentuan 2 banding 1 ialah, karena laki-laki itu
dibebani dengan masalah hidup yang tidak mampu dijalankan oleh kaum wanita. Laki-laki
cenderung dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaan berat dan kasar yang tentunya sangat
menguras tenaga dan fikiran. Bahkan dalam Islam, hanya kaum laki-laki lah yang
diwajibkan untuk berperang di jalan Allah. Meski dalam kasus tertentu, perempuan juga
terkadang bekerja keras, namun jika dilihat dari sisi besarnya tanggung jawab kamu lelaki,
maka pantaslah jika mereka mendapatkan bagian lebih.
Sebagaimana telah disebutkan dalam sejarah hukum waris, bahwa pada masa jahiliyyah,
kaum perempuan dilarang mendapatkan waris. Bahkan lebih tragis lagi, mereka yang
ditinggal mati suaminya, menjadi ‘harta’ warisan yang juga dapat diwaris oleh anaknya.
Kemudian Islam datang dengan serta merta menghapus tradisi tersebut dan bahkan
memberikan bagian waris pada kaum perempuan. Hikmahnya, bahwa Islam juga
memperhatikan kaum perempuan. Bagi orang tua, tentunya kasih sayang tidak hanya
diberikan kepada anak laki-laki saja. perempuan juga mendapatkan kasih sayang yang sama.
Oleh karena itulah, Islam mensyariatkan pembagian harta waris juga untuk anak perempuan.
Tidak hanya itu, bahkan bagian anak perempuan termasuk dalam bagian-bagian pasti (al-
furu>d al-muqaddarah), sedangkan anak laki-laki hanya mendapatkan sisa. Beberapa
hikmah lain yang terkandung dalam hukum waris adalah ketika ayah dan ibu mendapatkan
hak waris. Tidak hanya hubungan nasab ke bawah saja yang mendapatkan warisan,
melainkan hubungan nasab ke atas juga mendapatkan hak waris, mengingat betapa besar
jasa ayah dan ibu kepada pewaris. Meskipun keduanya tidak pernah mengharapkan balasan
atas jasa-jasanya kepada pewaris, yang notebene anaknya, namun Islam memerintahkan
untuk tetap memberikan harta waris tersebut. Tidak hanya itu, Islam juga memerintahkan
untuk membagi hak waris kepada saudara pewaris. Hal ini sebagai wujud terjalinnya kasih
sayang persaudaraan antara keduanya.Hikmah lain dalam hukum waris adalah bahwa sistem
53
54
hukum Islam sangatlah sistematis dalam mengatur bagian-bagian waris serta keterhalangan
beberapa ahli waris oleh ahli waris lain. Dalam hal hija} b > (terhalang mendapatkan waris),
baik itu h}ija>b nuqs}a>n (pengurangan) maupun h}Irma>n (peniadaan), dapat ditemukan
ketentuan tentang faktor skala prioritas hak waris, yakni yang paling utama tentunya ahli
waris anak dan hubungan perkawinan (suami atau istri). Mereka sama sekali tidak bisa
terhalang oleh siapapun.
Selain hikmah-hikmah hukum waris yang telah disebutkan, terdapat pula hikmah-hikmah
lain terutama yang berhubungan dengan ranah sosial. Berikut
ini beberapa hikmah yang berkaitan dengan hukum waris 45, sebagai berikut:
pertama, Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (hifdz al maal). Kedua,
mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga, serta kehidupan bermasyarakat
dalam skala luas. Ketiga, menjalin tali silaturahmi antar anggota keluarga dan
memeliharanya agar tetap utuh. Keempat, merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau
tanggung jawab dari seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah
Allah SWT yang harus dipelihara dan tentunya harus dipertanggungjawabkan kelak. Kelima,
mewujudkan kemaslahatan umat Islam dengan menjadikan kesamaan agama sebagai salah
satu sebab pendukung hubungan waris. Dan keenam, ketentuan hukum waris menjamin
perlindungan bagi keluarga dan mendukung kemajuan dari generasi ke generasi dalam
bermasyarakat. Hal ini karena waris merupakan bagian dari hukum keluarga dalam kajian
keislaman.
54
55
KESIMPULAN
1. Azas" Keadilan berimbang", dalam hukum waris Islam menentukan laki-laki dan
perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, dengan forsi yang berbeda.
2. Berdasarkan nash yang gath'i, maka adil dan berimbang yang dimaksudkan dalam hukum
waris Islam adalah bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan
(forsi 2 :1 antara laki-laki dan perempuan).
3. Perbedaan forsi tersebut tidak disebabkan persoalan gender, melainkan atas perbedaan
tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada laki-laki lebih besar dibandingkan
dengan yang dibebankan kepada perempuan dalam konteks masyarakat Islam,
sesuai teori standar konvensional yang menyebutkan:"Semakin besar dan
55
56
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofik. 1998.. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia. 2009.
56