Anda di halaman 1dari 163

1

BUKU FIQIH MAWARIS

Di ajukan untuk memenuhi tugas akhir

Mata Kuliah : fiqih mawaris

Dosen pengampu : Hajjin Mabrur, M.S.I

PRODI EKONOMI SYARI’AH 5F

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON

2021

jl. widarasari III,Sutawinangun kedawung. No. telp : 0231246215 Cirebon 45153

1
2

MAKALAH

“ SEJARAH PUSAKA MEMPUSAKAI DALAM ISLAM.”

Di ajukan untuk memenuhi tugas terstruktur

Mata Kuliah : fiqih mawaris

Dosen pengampu : Hajjin Mabrur, M.S.I

Pencipta

1. Slamet Riyadi

PRODI EKONOMI SYARI’AH 5F

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON

2021

jl. widarasari III,Sutawinangun kedawung. No. telp : 0231246215 Cirebon 45153

2
3

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dari mata kuliah fiqih mawaris ini dengan
judul “sejarah pusaka mempusakai dalam islam” Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada selaku dosen mata kuliah fiqih mawaris bapak Hajjin Mabrur, M.S.I
dan pihak-pihak yang telah memberikan kesempatan dan membantu penulis dalam proses
penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyajian dan pembahasan masalah dalam
makalah ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf dan mengharapkan saran
dan kritik yang sifatnya membangun dari para pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan
makalah ini.

Cirebon, 20 juli 2021

3
4

Daftar isi

Kata Pengantar..............................................................................................................................2
Daftar isi.........................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
1.1 Latar belakang.........................................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah....................................................................................................................6
1.3 Tujuan.......................................................................................................................................6
BAB II.............................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.............................................................................................................................7
A. Fase Jahiliyah............................................................................................................................8
1. Keturunan dan kerabat..........................................................................................................8
2. Anak angkat...............................................................................................................................8
3. Perjanjian setia kawan dan persahabatan..............................................................................9
B. Fase Pasca- Islam...............................................................................................................10
1. Peringkat pertama...............................................................................................................10
2. Peringkat kedua..................................................................................................................10
3. Peringkat ketiga..................................................................................................................11
4. Peringkat keempat..............................................................................................................11
2.3 Sebab-sebab adanya pusaka mempusakai dalam islam....................................................11
2.4 Perkembangan pusaka mempusakai dan pengetrapannya................................................12
1. menuju kesempurnaan........................................................................................................12
2. keistimewan aturan pusaka mempusakai islam..................................................................13
3. Kodifikasi hukum pusaka mempusakai..............................................................................13
4. Pusaka Mempusakai di Indonesia.......................................................................................13
2.5 Sumber hukum yang menjelaskan tentang pusaka pembagian harta pusaka...................14
BAB III..........................................................................................................................................17
PENUTUP.....................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................18

BAB I

4
5

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Harta waris menjadi harta yang diberikan dari seseorang yang sudah meninggal
pada orang terdekat seperti keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Untuk pembagian
harta waris di dalam hukum Islam sudah diatur dengan sangat jelas pada Al Quran. Allah
SWT dengan segala rahmat-Nya juga sudah memberikan bimbingan untuk mengarahkan
manusia dalam urusan pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan ini memiliki
tujuan supaya diantara manusia yang sudah ditinggalkan tidak menimbulkan
pertengkaran dan perselisihan.

Hukum kewarisan pada intinya adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak dan kepemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing. Dari pengertian ini dapat
diketahui bahwa substansi hukum kewarisan termasuk kewarisan Islam ialah mengatur
peralihan hak milik dari simayit kepada ahli waris. Dalam literatur fiqih Islam, hukum
waris Islam dikenal dengan beberapa nama atau sebutan yaitu hukum waris, hukum
faraid dan hukum al-mirats.

Telah di wujudkan pula dalam Undang-undang pusaka dalam Islam agar


memastikan pengurusan dan pembahagian harta pusaka dilaksanakan mengikut hukum
Syarak. Kegagalan melaksanakan ketetapan syariat menyebabkan implikasi yang
tidak sihat dalam kehidupan sosial masyarakat antaranya perselisihan faham,
mengambil harta secara tidak sah, memakan harta anak yatim dan hak si mati tidak
disempurnakan.Dalam hal ini, ilmu undang-undang pusaka Islam atau lebih dikenali
dengan ilmu Faraid perlu difahami secara holistik bukan hanya tentang perkara asas
sahaja seperti pengertian ilmu tersebut, faktor-faktor yang membolehkan harta pusaka
diwarisi oleh waris dan halangan-alangannya, ahli waris yang berhak menerima
pusaka secara fardudan asobah,waris-waris yang terhalang menerima pusaka dan
kaedah pengiraan dan sebagainya perlu diberi perhatian.

5
6

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana dasar, rukun dan syarat pusaka mempusakai dalam islam ?
2. Bagaimana sejarah pusaka mempusakai dalam islam ?
3. Bagaimana penjelasan mengenai sebab-sebab mempusakai pada zaman awal-awal
islam ?
4. Bagaimana perkembangan pusaka mempusakai dan pengetrapannya ?
5. Apa saja sumber-sumber hukum yang menjelaskan tentang pembagian harta pusaka ?

1.3 Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Mawaris
2. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi para pembaca

6|P a g e
7

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar,rukun dan syarat pusaka mempusakai dalam islam

Islam merupakan agama yang di bawa oleh Rasulullah Saw dalam keadaan yang
sempurna, oleh karena itu islam juga mengatur masalah mengenai hukum pusaka
mempusakai dalam islam. Pusaka mempusakai biasanya di kenal juga dengan istilah
waris mewarisi yaitu suatu hukum yang membicarakan segala sesuatu yang berkaitan
atau berkenaan dengan tirkah ( harta peninggalan orang yang meninggal).

Dan berikut ini merupakan rukun pusaka mempusakai dalam islam di antaranya yaitu sbb
:
a. Adanya muwaris (pewaris) :yaitu orang yang mewariskan dan telah meninggal dunia.
b. Adanya waris (ahli waris) : yaitu orang yang menerima harta pusaka (dari muwaris
yang telah meninggal)
c. Adanya mawrus (harta) : yaitu harta yang di tinggalkan oleh sang muwaris yang telah
meninggal dunia.

Selain itu hukum pusaka mempusakai juga memiliki syarat-syarat tertentu di antaranya
yaitu sbb :
a. Kematian muwaris telah jelas di yakini (benar-benar sudah wafat).
b. Yakin atas hidupnya ahli waris sesudah kematian sang muwaris.
c. Dapat di ketahui jalinan pertalian di antara keduanya (antara muwaris dan ahli waris).
d. Dan dapat pula di ketahui tentang bagian untuk ahli waris menurut syara’.

2.2 sejarah pusaka mempusakai dalam islam

7|P a g e
8

Dalam sejarah Pusaka mempusakai, adanya pusaka mempusakai terjadi pada 2 fase di
antaranya fase pertama yaitu : fase zaman jahiliah, dan fase yang kedua yaitu fase pasca
islam.

A. Fase Jahiliyah
Zaman Jahiliah merupakan suatu zaman yang penuh dengan kegelapan, penindasan
dan kezaliman. kalangan yang lemah ditindas dan kalangan berkuasa bebas
melakukan apa sahaja mengikut kehendak hawa nafsu tanpa dibimbing dengan akal
fikiran dan panduan agama. Oleh sebab itu, dalam konteks hak pewarisan pusaka
pada zaman tersebut, golongan yang layak menerima harta yaitu :

1. Keturunan dan kerabat


Penetapan hak pewarisan harta pusaka oleh orang-orang arab jahiliyah dahulu,
hanya di khususkan kepada keturunan anak laki-laki yang sudah dewasa saja dan
mengabaikan hak anak-anak perempuan serta anak laki-laki yang masih kecil
(anak yatim). Hal tersebut mereka lakukan karena mereka menganggap bahwa
anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil memiliki kelemahan dalam aspek
fisikal dan belum dapat menerima harta waris tersebut dengan baik.

Mereka juga tidak mampu menunggang kuda dan melawan musuh. Dalam hal ini,
mereka tidak mampu membantu keluarga memiliki harta yang kebiasaannya
diperoleh melalui peperangan dan peperangan ialah suatu sumber pendapatan
pada saat itu. Sekiranya mana saja orang dapat mengalahkan musuh, mereka akan
memperoleh harta rampasan perang atau ghanimah. Selain itu, mereka juga tidak
berupaya mempertahankan maruah keluarga dan kabilah sendiri . Fenomena ini
sudah menjadi adat kebiasaan dalam kehidupan orang-orang jahiliyah
2. Anak angkat

Pada zaman Jahiliah, anak angkat dianggap seperti anak kandung dengan
dinasabkan kepada bapak angkat tersebut. Fakta ini merujuk kepada pandangan
Muhammad al-Tahir bin A’syur dan Wahbah alZuhaili yang menyatakan bahawa
anak angkat dianggap sebagai anak kandung kepada bapa angkatnya. Tindakan
8|P a g e
9

tersebut bertujuan untuk membolehkan mereka dan anak angkat mereka saling
mempusakai antara satu sama lain.

Namun dalam hal ini, pengkaji mendapati tokoh-tokoh sarjana terdahulu tidak
menyatakan dengan jelas hak pewarisan pusaka termasuk anak angkat perempuan
atau sebaliknya. Namun, pengkaji berkeyakinan hak pewarisan pusaka dalam fase
ini hanya dikhususkan untuk anak angkat lelaki dewasa saja dan tidak termasuk
anak angkat perempuan dewasa atau anak angkat lelaki yang masih kecil.
Pandangan ini bersandarkan kenyataan Muhammad al-Zuhaili bahawa hak
pewarisan pusaka dari aspek keturunan untuk anak lelaki dewasa saja dimana
anak perempuan dan anak lelaki yang masih kecil tidak berhak mewarisi sesuatu
pun daripada harta pusaka bapaknya untuk selamanya.

3. Perjanjian setia kawan dan persahabatan.

Perjanjian persahabatan dan setiakawan iaitu ikatan janji setia yang disepakati
antara dua orang lelaki yang tidak mempunyai hubungan kerabat. Pada zaman
Jahiliah, perjanjian tersebut dimeterai melalui kaedah bersumpah iaitu:
Maksudnya:

“Darahku adalah darahmu, kamu menolongku dan aku menolong kamu, kamu
mewarisiku dan aku pula akan mewarisimu, engkau menuntut bela ke atasku dan
aku pula akan menuntut bela ke atas kamu” .

Dapat difahami daripada kaedah tersebut, wujud perjanjian persahabatan antara


dua sahabat. Sekiranya berlaku kematian salah seorang daripada mereka, sahabat
yang masih hidup secara langsung berhak mewarisi ke atas harta sahabatnya yang
meninggal dunia itu. Sumpah yang dilafazkan atas dasar persahabatan dianggap
sebagai suatu ikatan yang amat kuat dan hampir setanding dengan keturunan.
Lebih-lebih lagi, kehidupan “susah senang” yang dilalui bersama sejak sekian
lama dan saling sumbang-menyumbang dan tolong-menolong antara satu sama
lain. Oleh sebab itu, hak pewarisan pusaka pada zaman tersebut lebih
9|P a g e
1
0

mementingkan pihak yang banyak menyumbang dalam memperoleh harta


kekayaan. Sementara pihak yang lemah dan tidak berkemampuan membantu
memperoleh harta kekayaan tidak mempunyai hak dalam pewarisan pusaka
meskipun mempunyai pertalian nasab dengan si mati.

B. Fase Pasca- Islam

Hijrah Nabi SAW dari Mekah ke Madinah ialah fase transformasi untuk
memartabatkan umat. Penghijrahan tersebut disebabkan orang Arab Jahiliah masih
bertuhankan hawa nafsu dalam kehidupan. Maka “Islam” yang dibawa oleh Nabi
SAW ialah agama yang mementingkan hak dan keadilan serta menghapuskan segala
bentuk kezaliman dan penindasan. Metodologi yang dilaksanakan oleh Nabi SAW
dalam memperkenalkan Islam secara berhikmah dan berperingkat-peringkat supaya
orang Islam yang menerima kedatangan Islam tidak merasa keberatan untuk
melaksanakan perubahan tersebut.

Hak pewarisan pusaka pasca Islam bermula peringkat awal kemunculan Islam iaitu
pada saat-saat Islam mempunyai pengikut yang amat sedikit dan masih lemah
sehinggalah Islam menjadi agama yang amat kuat dan digeruni musuh. Dalam
pengkajian isu ini, pengkaji merujuk pandangan Ahmad Mustafa al-Maraghiy yang
mengkategorikan pensyariatan hak pewarisan pusaka kepada empat peringkat yaitu di
antaranya sbb :

1. Peringkat pertama

 Anak kandung dari orang yang meninggalkan harta pusaka seluruhnya


mendapatkan hak baik itu laki-laiki ataupun perempuan dan baik itu anak-
anak maupun dewasa.
 Perjanjiaan setiakawan / persahabatan yang terjalin semasa zaman Jahiliah
diiktiraf namun untuk menjalinkan ikatan perjanjian persahabatan yang baru
tidak dibenarkan.
 Anak angkat tidak berhak mewarisi harta pusaka bapak angkatnya.
10 | P a g e
1
1

2. Peringkat kedua
 Anak keturunan dari orang yang mati berhak mendapatkan harta waris tanpa
memandang laki-laki ataupun perempuan dan baik itu kuat maupun lemah .
 Perjanjiaan setiakawan / persahabatan atas faktor penghijrahan dari Mekah ke
Madinah saja. Walau bagaimanapun, golongan Muhajirin dibenarkan
mengecap perjanjian sesama mereka atas dasar setiakawan dalam mewarisi
harta pusaka masing-masing jika salah seorang meninggal dunia.

3. Peringkat ketiga

 Anak keturunan dari orang yang mati berhak mendapatkan harta waris tanpa
memandang laki-laki ataupun perempuan dan baik itu kuat maupun lemah
 Wasiat wajib diharuskan kepada kerabat yang tidak mendapat hak dalam
pewarisan pusaka.
 Perjanjiaan setiakawan/persahabatan atas faktor penghijrahan di hapuskan
atau di tiadakan.

4. Peringkat keempat

 Keturunan
 Perkawinan yang sah
 Hamba sahaya
 Beragama Islam

2.3 Sebab-sebab adanya pusaka mempusakai dalam islam

Sebab-sebab pusaka mempusakai pada zaman awal-awal islam di antaranya


yaitu :

1. Sebab pertalian nasab dan hubungan kerabat


11 | P a g e
1
2

2. Hijrah dari mekkah ke madinah


3. Pengangkatan anak/adopsi
4. Persaudaraan (al muakhkhah ) antara kaum muhajirin dan anshar

a. Adopsi
Dahulu konon katanya Nabi muhammad SAW, sebelum di angkat menjadi
rasul pernah mengadopsi seorang anak yang bernaman zaid bin haritsah, setelah ia
bebas dari perbudakan. Karena status anak angkat pada saat itu identik dengan
anak keturunannya sendiri, para sahabat nabi memanggilnya zaid bin muhammad.
Lembaga adopsi beserta akibat hukumnya tidak bertahan lama pada zaman awal-
awal islam. Lembaga ini di tutup setelah di turunkan surat al-ahzab : 45 dan 40
yang berisikan larangan menggunakan panggilan anak angkat seperti panggilan
anak turunannya sendiri.

b. Hijrah dan muakhkhah


Kekuatan kaum muslimin pada saat itu masih sangat lemah, lantaran
jumlah nereka yang masih sedikit sekali. Untuk menghadapi kaum kafir quraisy
yang sangat banyak pengikutnya serta sangat kuat. Tidak ada jalan lain yang di
tempuh Rasulullah beserta pengikut-pengikutnya selain meminta bantuan kepada
penduduk luar kota yang sepaham dan simpatik terhadap perjuangan beliau dan
kaum muslimin dalam memberantas kemusyrikan. Untuk memoerkuat serta
mengabdikan persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshar ,Rasulullah
menjadikan ikatan persaudaraan tersebut sebagai salah satu sebab saling dapat
pusaka mempusakai satu sama lain.

2.4 Perkembangan pusaka mempusakai dan pengetrapannya.

1. menuju kesempurnaan

Yaitu perkembangan pada saat masa jahiliyah yang tidak hanya


menjadikan orang-orang yang satu darah sebagai ahli waris melainkan menjalin
ikatan juga dengan orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah contoh
12 | P a g e
1
3

seperti ikatan kesetiakawanan dan persahabatan pada masa itu. selain itu keluarga
atau keturunan yang berhak mendapat waris hanya seorang laki-laki dewasa yang
kuat berjuang, yang pada akhirnya hukum tersebut segera di hapuskan.

2. keistimewan aturan pusaka mempusakai islam

antara lain ialah sbb :


a. tidak menyerahkan sepenuhnya kepada orang yang mewariskan seluruh harta
peninggalannya, baik dari kerabat yang jauh maupun kerabat yang sudah tidak
ada pertalian nasab sama sekali. Tetapi syariat islam mengizinkan kepada kepada
orang yang mewariskan memberikan wasiat maksimal seperempat harta
peninggalan, dengan maksud untuk tidak merugikan ahli waris yang lain.
b. Islam mulai menetapkan bahwa baik istri,bapak/leluhur serta anak memiliki hak
atas harta waris dari sang muwaris yang telah meninggal.
c. Tidak mengkhusukan dalam pemberian harta peninggalan hanya kepada satu
macam pewaris saja.
d. Tidak menolak anak-anak angkat yang belum dewasa dan kaum perempuan untuk
menerima harta peninggalannya.

2. Kodifikasi hukum pusaka mempusakai

Sebagian besar dari pada fuqaha mutaqaddim dan mutakhirin


mengkodifisir hukum pusaka-mempusakai kedalam kodek-fiqhi-islamy pada bab
Ahwalusy-syakhiyah. Tetapi oleh karena pengetahuan tentang pembagian harta
pusaka itu sangat penting dan mempunyai sigat-sifat yang sangat khusus dari pada
sifat-sifat hukum kebendaan yang lain, maka sebagian fuqaha memisahkan
kodifikasi pembagian harta pusaka dari kodek-fiqhi islamy pada umumnya.

3. Pusaka Mempusakai di Indonesia

1. Bagi warga golongan Indonesia asli, pada prinsipnya berlaku hukum adat. Yang
dalam hal ini sudah barang tentu terdapat perbedaan antara satu daerah lingkungan
13 | P a g e
1
4

hukum adat di satu pihak dengan daerah lingkungan hukum adat di lingkungan lain.
Daerah hukum lindungan adat yang susunan keluarganya bersifat patriachaat
(kebapakan), berbeda dengan lingkungan hukum adat yang susunan kekeluargaannya
bersifat matriarchaat (keibuan) dan berbeda pula dengan daerah lingkungan hukum
adat yang susunan kekeluargaannya bersifat parental (keibu-kebakpaan).
2. Bagi warga negara golongan Indonesia asli yang beragama islam di berbagai
daerah, hukum islam sangat berpengaruh dan berlaku padanya.
3. Bagi orang-orang Arab pada umumnya seluruh hukum islam berlaku bagi mereka.
4. Bagi orang Tionghoa dan Eropa berlaku hukum warisan dari Burgerlijik Wetboek.
5. Peradilan di Indonesia yang berwewenang ,menyelesaikan perkara-perkara warisan
umat islam.

Pada umumnya perkara-perkara yang menjadi tugas wewenangnya ialah:


a. Perkara-perkara yang berhubungan dengan pernikahan, segala jenis perceraian dan
mahar , nafkah dan perwalian.
b. Warisan
c. Waqaf
Adalah merupakan suatu keganjilan di dalam dunia peradilan bahwa keputusan
pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan untuk di paksakan. Kalaupun hendak
memaksakannya harus dimintakan kekuatan Pengadilan Negri.

2.5.1 Sumber hukum yang menjelaskan tentang pusaka pembagian harta pusaka.

1. Surah an-nisa ayat 11 Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

 ۗ ‫ُيْو ِص ْيُك ُم ُهّٰللا ِفْۤي َاْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْل ْنَثَيْيِن ۚ  َفِا ْن ُك َّن ِنَس ٓاًء َفْو َق اْثَنَتْيِن َفَلُهَّن ُثُلَثا َم ا َتَر َك ۚ  َوِا ْن َك ا َنْت َو ا ِح َد ًة َفَلَها الِّنْص ُف‬
‫َو َاِل‬ ‫َب ْيِه ِلُك ِّل ا ِحٍد ْنُه ا الُّسُد ُس ِمَّم ا َتَر َك ِاْن َك ا َن َلٗه َلٌد ۚ  َفِا ْن َّلْم َيُك ْن َّلٗه َلٌد َّو َث ۤٗه َاَب ٰو ُه َفُاِل ِه الُّثُلُث ۗ  َف ِا ْن َك ا َن َل ۤٗه‬
‫ِّم‬ ‫َو َو ِر‬ ‫َو‬ ‫ِّم َم‬ ‫َو‬ ‫َو‬

14 | P a g e
1
5

‫ِاْخ َو ٌة َفُاِل ِّمِه الُّسُد ُس ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِصْي ِبَهۤا َاْو َد ْيٍن ۗ  ٰا َبٓا ُؤ ُك ْم َو َا ْبَنٓا ُؤ ُك ْم ۚ  اَل َتْد ُرْو َن َاُّيُهْم َاْقَر ُب َلـُك ْم َنْفًعاۗ  َفِرْيَض ًة ِّم َن ِهّٰللاۗ  ِاَّن َهّٰللا‬
‫َك ا َن َع ِلْيًم ا َحِكْيًم ا‬

Artinya : "Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan


untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua,
maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan)
itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk
kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia
(yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak
dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika
dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau
(dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. An-Nisa' 4:
Ayat 11

2. Surah an-nisa ayat 12 Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

 ۗ ‫َو َلـُك ْم ِنْص ُف َم ا َتَر َك َاْز َو ا ُج ُك ْم ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلُهَّن َو َلٌد ۚ  َفِا ْن َك ا َن َلُهَّن َو َلٌد َفَلـُك ُم الُّر ُبُع ِمَّم ا َتَر ْك َن ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِص ْيَن ِبَهۤا َاْو َد ْيٍن‬
‫َو َلُهَّن الُّر ُبُع ِمَّم ا َتَر ْكُتْم ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلُك ْم َو َلٌد ۚ  َفِا ْن َك ا َن َلـُك ْم َو َلٌد َفَلُهَّن الُّثُم ُن ِمَّم ا َتَر ْكُتْم ِّم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُتْو ُصْو َن ِبَهۤا َاْو َد ْيٍن ۗ  َو ِا ْن َك ا‬
‫َن َر ُجٌل ُّيْو َر ُث َك ٰل َلًة َاِو اْمَر َا ٌة َّو َلۤٗه َاٌخ َاْو ُاْخ ٌت َفِلُك ِّل َو ا ِحٍد ِّم ْنُهَم ا الُّسُد ُس ۚ  َفِا ْن َك ا ُنْۤو ا َاْكَثَر ِم ْن ٰذ ِلَك َفُهْم ُش َر َك ٓاُء ِفى الُّثُلِث ِم ْۢن َبْع ِد‬
‫ۗ َو ِص َّيٍة ُّيْو ٰص ى ِبَهۤا َاْو َد ْيٍن ۙ  َغْيَر ُمَض ٓا ٍّرۚ  َوِص َّيًة ِّم َن ِهّٰللاۗ  َو ا ُهّٰلل َع ِلْيٌم َحِلْيٌم‬

Artinya : "Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu
15 | P a g e
1
6

mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar)
utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi
wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan
(kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha
Penyantun." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 12)

3. Surah an-nisa ayat 176 Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫َيْسَتْفُتْو َنَكۗ  ُقِل ُهّٰللا ُيْفِتْيُك ْم ِفى اْلـَك ٰل َلِةۗ  ِاِن اْم ُر ٌؤ ا َهَلَك َلـْيَس َلٗه َو َلٌد َّو َلۤٗه ُاْخ ٌت َفَلَها ِنْص ُف َم ا َتَر َكۚ  َو ُهَو َيِر ُثَهۤا ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلَها َو َلٌد ۗ  َف ِا ْن‬
‫َك ا َنـَتا اْثَنَتْيِن َفَلُهَم ا الُّثُلٰث ِن ِمَّم ا َتَر َك ۗ  َو ِا ْن َك ا ُنْۤو ا ِاْخ َو ًة ِّر َج ا اًل َّوِنَس ٓاًء َفِللَّذ َك ِر ِم ْثُل َح ِّظ اُاْل ْنَثَيْيِن ۗ  ُيَبِّيُن ُهّٰللا َلـُك ْم َاْن َتِض ُّلْو اۗ  َو ا ُهّٰلل ِبُك ِّل‬
‫َش ْي ٍء َع ِلْيٌم‬

Artunya : "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, Allah


memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seseorang mati dan dia tidak
mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara
perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi
jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara
16 | P a g e
1
7

perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu agar kamu tidak sesat. Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 176)

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Islam merupakan agama yang di bawa oleh Rasulullah Saw dalam keadaan yang
sempurna, oleh karena itu islam juga mengatur masalah mengenai hukum pusaka
mempusakai dalam islam. Pusaka mempusakai biasanya di kenal juga dengan istilah
waris mewarisi yaitu suatu hukum yang membicarakan segala sesuatu yang berkaitan
atau berkenaan dengan tirkah . Yakin atas hidupnya ahli waris sesudah kematian sang
muwaris. Dan dapat pula di ketahui tentang bagian untuk ahli waris menurut syara’.

Zaman Jahiliah merupakan suatu zaman yang penuh dengan kegelapan, penindasan dan
kezaliman. kalangan yang lemah ditindas dan kalangan berkuasa bebas melakukan apa
sahaja mengikut kehendak hawa nafsu tanpa dibimbing dengan akal fikiran dan panduan
agama.

Anak keturunan dari orang yang mati berhak mendapatkan harta waris tanpa
memandang laki-laki ataupun perempuan dan baik itu kuat maupun lemah .

Wasiat wajib diharuskan kepada kerabat yang tidak mendapat hak dalam pewarisan
pusaka.

Dahulu konon katanya Nabi muhammad SAW, sebelum di angkat menjadi rasul pernah
mengadopsi seorang anak yang bernaman zaid bin haritsah, setelah ia bebas dari
perbudakan. Kekuatan kaum muslimin pada saat itu masih sangat lemah, lantaran jumlah
nereka yang masih sedikit sekali. Untuk menghadapi kaum kafir quraisy yang sangat

17 | P a g e
1
8

banyak pengikutnya serta sangat kuat. Tidak ada jalan lain yang di tempuh Rasulullah
beserta pengikut-pengikutnya selain meminta bantuan kepada penduduk luar kota yang
sepaham dan simpatik terhadap perjuangan beliau dan kaum muslimin dalam
memberantas kemusyrikan.

18 | P a g e
1
9

DAFTAR PUSTAKA

http://repository.uin-suska.ac.id/16295/6/6.%20BAB%20I__2018311AH.pdf

https://www.scribd.com/doc/60624997/Rangkuman-Waris-Islam

Ahmad, F., Noor, F. M., & Azhar, A. (2017). Sejarah pelaksanaan hak pewarisan pusaka di
zaman Jahiliyyah dan zaman pasca Islam: Kajian perbandingan. UUM Journal of Legal
Studies, 8, 133-132.

Hasanudin. (2020). Fiqih mawaris.Jakarta: prenadamedia group. Hal 17-18

Hikmatullah.(2021). Fiqih mawaris.Serang: A-empat Anggota IKAPI. Hal 10-12

19 | P a g e
2
0

20 | P a g e
2
1

MAKALAH FIQH MAWARIS


“PUSAKA MEMPUSAKAI DI INDONESIA DAN
PERADILANNYA”

Dosen pengampu : Hajin Mabrur, M.S.I

Kelompok 2 :

C. Tia Listiani (2019.2.8.1.01487)


D. Dhea Eka Wulandari (2019.2.8.1.01301)

KELAS 5F
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
2021

21 | P a g e
2
2

KATA PENGANTAR

Assalamu”alaikumWr.Wb

Alhamdulillaahi rabbil’alamin, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah

SWT karena hanya dengan hidyah-Nya, kami dapat menyelsaikan tugas kelompok

ini. Shalawat serta salam semoga Allah melimpahkan kepada Nabi Muhammad

SAW, Keluarga, sahabatnya serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Fiqh

Mawaris. Makalah ini berisi tentang Pusaka mempusakai di Indonesia dan

peradilanya

Kami menyadari bahwa dalam penulisan Makalah ini masih banyak

kekurangan dan keterbatasan, untuk itu dengan kerendahan hati kami siap

menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari teman-teman sekalian.

Mudah-mudahan Makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua

sebagai pengetahuan.

Wassalamu”alaikumWr.Wb

Cirebon, 27 Juli 2021

22 | P a g e
2
3

Tim penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
1. Latar Belakang.................................................................................................................................3
BAB II.........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
1. Pengertian Ekonomi Islam................................................................................................................5
2. Perekonomian Islam para Masa Khulafa’ al-Rasyidin.......................................................................6
A. Masa Abu Bakara.........................................................................................................................6
B. Masa Umar bin Khattab...............................................................................................................8
BAB III.....................................................................................................................................................11
PENUTUP................................................................................................................................................11
Kesimpulan............................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................12

23 | P a g e
2
4

BAB I

PENDAHULUAN

e. Latar Belakang

Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, secara ringkas, mengalami fase


yang cukup panjang semenjak zaman kolonial Belanda hingga zaman
perubahan ini. Sejarah membuktikan bahwa aplikasi hukum Islam dalam
tatanan keindonesiaan baru teraplikasikan dalam UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan itu
pun dengan perjuangan yang ―melelahkan‖ khususnya bagi umat Islam1.

Adapun sumber hukum yang dijadikan pedoman bagi para penegak hukum
(Hakim), Praktisi, dan sebagainya selain undang-undang tertulis tersebut
di atas adalah fatwa-fatwa ulama, baik yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh
klasik ataupun kitab-kitab fiqh modern. Sumber-sumber tersebut sampai
hari ini merupakan bahan pelengkap dalam proses pengalian Hukum
Islam.

Dengan demikian, hukum mengalami pertumbuhan dan perkembangan


tanpa dapat dihindari, karena secara internal hukum menuntut dirinya
untuk diinterpretasi walau dengan varian-varian dan tingkat yang berbeda.

Walaupun disebutkan oleh Baqir S. Manan2 bahwa interpretasi legislatif


dan eksekutif. Hal ini untuk menghindari kerancuan interpretasi akibat
perbedaan pemikiran dan kemampuan masing-masing penegak hukum.
Namun kondisi dimana tidak adanya pedoman hukum yang baku dan
komprehensif bagi para praktisi hukum (baik formal maupun nonformal)
1
Abdul Gani Abdullah, 1992, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum

Indonesia,Gema Insani Press, Jakarta, h. 35.

2
Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,

Mandar Maju Bandung, h. 10.

24 | P a g e
2
5

selain kedua undang-undang diatas, dengan sendirinya akan melahirkan


berbagai penafsiran dan pemahaman yang berbeda bahkan kontroversial.
Upaya pembaruan dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi hukum itu,
khususya hukum keperdataan seperti waris, munakahat, dan lain
sebagainya muncul ketika lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Hukumhukum tersebut telah mengalami perubahan baik status hukum
ataupun dalam prakteknya.

2. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Pusaka Mempusakai Menurut Hukum Islam Dan

Peradilannya?

2. Bagaimna Pembagian Waris Di Indonesia ?

3. Bagaimana Praktik Penerapan Dan Cara Pembagianya Di Masyarakat

3. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Pengertian Pusaka Mempusakai Menurut Hukum

Islam Dan Peradilannya.

2. Untuk Mengetahui Pembagian Waris Di Indonesia

3. Untuk Mengetahui Praktik Penerapan Dan Cara Pembagianya Di

Masyarakat.

25 | P a g e
2
6

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Pusaka Mempusakai Menurut Islam.


Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur masalah mengenai pusaka
mempusakai atau waris mewarisi. Dan berikut beberapa pembahasan tentang
permasalahan waris dalam hukum Islam.

1. Rukun Pusaka
Ada tiga macam, yaitu :
a) Adanya Muwaris, orang yang diwarisi, yaitu si orang yang mati.
b) Adanya Waris, orang yang menerima pusaka.
c) Adanya Haqqun Maurus, harta peninggalan, yang menjadi pusaka.
2. Syarat-Syarat Pusaka
Syarat-syarat pusaka ada empat, yaitu :
a) Yakin akan kematian yang diwarisi (muwaris).
b) Yakin akan hidupnya ahli waris sesudah mati muwaris.
c) Diketahui jalan pertalian di antara keduanya.
d) Diketahui bagian untuk ahli waris menurut syara’
3. Muwaris

26 | P a g e
2
7

Muwaris adalah orang yang diwarisi harta. Sebab-sebab mewarisi ada


beberapa sebab, yaitu :
a) Nasab (keluarga), sebagaimana firman Allah swt dalam QS. An-
Nisa ayat 7 :

Terjemahannya :

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang
tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-
Nisa : 7)

a. Mushaharah (perkawinan).
b. Dengan jalan memerdekakan dari perbudakan (wala’).
Sabda Rasulullah Saw :

)‫ِإَّنَم ا اْلَو َالُء ِلَم ْن َاْعَتَق (متفق عليه‬

Artinya : “Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membe-
baskan budaknya.” (Muttafaqun ‘Alaih)

jika seseorang meninggal dunia sedang ahli warisnya tidak ada, maka harta
warisannya (peninggalannya) diserahkan kepada Baitul Mal
(Perbendaharaan Negara), untuk umat Islam dengan jalan pusaka.

4. Ahli Waris

Orang-orang yang mungkin atau boleh mendapat pusaka dari orang yang
meninggal dunia ada 25 orang, 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang
dari pihak perempuan, yaitu :

1) Dari pihak laki-laki :


a) Anak laki-laki dari yang meninggal.
b) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) dan
seterusnya ke bawah.
27 | P a g e
2
8

c) Bapak dari yang meninggal.


d) Bapak dari bapak (datuk) dan seterusnya ke atas.
e) Saudara laki-laki seibu sebapak.
f) Saudara laki-laki sebapak.
g) Saudara laki-laki seibu.
h) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak.
i) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
j) Saudara laki-laki dari bapak (paman) seibu sebapak.
k) Saudara laki-laki dari bapak yang sebapak.
l) Anak laki-laki dari saudara bapak yang seibu sebapak.
m) Anak laki-laki dari saudara bapak yang sebapak.
n) Suami.
o) Laki-laki yang memerdekakan hamba (walah), sudah tidak
ada.
2) Dari pihak perempuan :
a) Anak perempuan.
b) Anak perempuan dari anak laki-laki, dan seterusnya asal
pertaliannya tetap laki-laki.
c) Ibu.
d) Ibu dari bapak.
e) Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-
laki.
f) Saudara perempuan yang seibu sebapak.
g) Saudara perempuan yang sebapak.
h) Saudara perempuan yang seibu.
i) Istri.
j) Perempuan yang memerdekakan hamba (maulah), sudah
tidak ada.

28 | P a g e
2
9

Jika 25 orang dari pihak laki-laki dan perempuan semua ada, yang tetap
pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami istri, ibu dan bapak,
anak laki-laki dan anak perempuan.

Anak yang dalam kandungan ibunya juga mendapat pusaka dari


keluarganya yang meninggal dunia, apabila anak itu lahir hidup.

5. Sebab-Sebab Tidak Mendapat Pusaka


a) Hamba.
b) Pembunuh.
c) Murtad.
d) Haqqun Maurus

Haqqun maurus ialah harta pusaka yang akan dibagi. Penerima pusaka
itu ada dua macam :

a) Asabah. Asabah ada tiga macam, yaitu :


I. Asabah bi nafsihi (dia sendiri menjadi asabah).
Misalnya : anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, dan
lain-lain.
II. Asabah bil ghairi (karena orang lain menjadi asabah).
Misalnya : anak perempuan menjadi asabah jika
bersama anak laki-laki, cucu perempuan menjadi
asabah jika bersama cucu laki-laki.
III. Asabah ma’al ghairi (asabah karena tertarik orang lain).
Misalnya : saudara laki-laki seibu sebapak menarik
saudaranya yang perempuan.
b) Fardhu.
Pembagian fardhu ialah pembagian menurut kadar yang
tertentu (furudhul muqaddarah), yaitu 1/2 , 1/4, 1/8, 1/3, 2/3,
1/6. Pembagian fardhu ini ialah yang tidak termasuk bagian
asabah umumnya pihak perempuan.

29 | P a g e
3
0

2. Pusaka Mempusakai Dalam Kompilasi Hukum Islam


Kompilasi Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari
pasal 171 sampai dengan pasal 193. Sekedar perbandingan antara fiqih faraid
menurut apa adanya dengan Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat dilihat
dalam penjelasan berikut :

Pasal 171 tentang Ketentuan Umum. Anak pasal a)menjelaskan tentang


Hukum Kewarisan sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab fiqih
dengan rumusan yang berbeda. Anak pasal b) membicarakan tentang
pewaris dengan syarat beragama Islam, dan anak pasal c) membicarakan
tentang ahli waris yag di samping mensyaratkan adanya hubungan
kekerabatan dengan pewaris juga harus beragama Islam. Hal ini serupa
dengan yang dibicarakan dalam fiqih sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Anak pasal d) dan e) juga tidak berbeda dengan fiqih. Dengan demikian
keseluruhan pasal ini telah sejalan dengan fiqih.

Pasal 172 yang membicarakan identitas keislaman seseorang hanya hal


yang bersifat administratif, yang walaupun tidak disinggung dalam fiqih,
tetapi tidak menyalahi substansi fiqih itu.

Pasal 173 membicarakan tentang halangan kewarisan yang format dan


substansinya sedikit berbeda dengan fiqih, dengan rumusan : Seseorang
terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena Dipersalahkan
telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris dan Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Dinyatakannya pembunuh
sebagai penghalang kewarisan dalam anak pasal a. telah sejalan dengan
fiqih. Namun dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi
memfitnah sebagai halangan, jelas tidak sejalan dengan fiqih madzhab
mana pun. Dalam fiqih hanya pembunuhan yang menyebabkan kematian

30 | P a g e
3
1

yang dijadikan penghalang kewarisan, itu pun pembunuhan sengaja,


sedangkan yang tidak disengaja masih merupakan perdebatan yang
berujung pada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Fiqih beranggapan
bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam Al-
Qur’an dan tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti hadits
Nabi Saw. Dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan
pembunuhan atau penganiayaan, apalagi memfitnah meskipun ini
merupakan kejahatan namun tidak menghilangkan hak yang pasti, apalagi
bila pewaris sebelum meninggal telah memberikan maaf. Oleh karena itu,
pasal ini masih perlu diperkatakan.

Pasal 174 tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau perkawinan,
telah sejalan dengan fiqih Faraid.

Pasal 175 tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum


dibagikannya harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fiqih
mawaris.

Pasal 176 tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam keadaan
sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat Al-Qur’an dan rumusannya
dalam fiqih Faraid.

Pasal 177 tentang bagian ayah telah dirumuskan sebagai berikut. Ayah
mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ia
meninggalkan anak, maka ayah mendapatkan seperenam bagian.
Walaupun rumusan pasal ini konon telah mengalami perubahan tetapi
tidak mengubah secara subtansial. Bahwa ayat menerima seperenam dalam
keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas sesuai dengan Al-Qur’an,
maupun rumusannya dalam fiqih. Tetapi menetapkan ayah menerima
bagian (baca furudh) sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, tidak
terdapat dalam Al-Qur’an, tidak terdapat dalam fiqih mana pun, termasuk
Syi’ah. Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai Furudh. Itu
pun dalam kasus tertentu seperti bersama dengan ibu dan suami, dengan

31 | P a g e
3
2

cacatan ibu menerima sepertiga harta, sebagaimana yang lazim berlaku


dalam madzhab jumhur Ahlu Sunnah. Namun bukan bagian sepertiga
untuk ayah yang disebutkan. Kalau Al-Qur’an dan Fiqih yang dijadikan
ukuran, pasal ini jelas salah secara subtansial.

Pasal 178 tentang bagian ibu dalam ketiga kemungkinannya dan pasal
179-180 tentang bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya telah
sesuai dengan Al-Qur’an dan rumusannya dalam fiqih.

Pasal 181 tentang bagian saudara seibu dan pasal 182 tentang bagian
saudara kandung dan seayah dalam segala kemungkinannya telah sejalan
dengan Al-Qur’an dan rumusannya.

Pasal 183 tentang usaha perdamaian yang menghasilakan pembagian yang


berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan bersama, memang dalam
kitab-kitab fiqih pada umumnya tidak dijelaskan dalam waktu membahas
kewarisan. Meskipun secara formal menyalahi ketentuan fiqih, namun
dapat diterima dengan mengunakan pendekatan pemahaman takharuj yang
dibenarkan dalam madzhab Hanafi.

Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk
mengurus hak warisnya, meskipun tidak dinyatakan dalam kitab-kitab
fiqih faraid, namun karena telah sejalan dengan kehendak Al-Qur’an Surat
An-Nisa ayat 5 pasal ini dapat diterima.

Pasal 185 tentang ahli waris pengganti dirumuskan :

I. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tesebut pada pasal 173.
II. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

32 | P a g e
3
3

Pasal 186 tentang kewarisan anak yang lahir di luar nikah telah sesuai
dengan kewarisan anak zina dalam fiqih yang menempatkannya hanya
menjadi ahli waris bagi ibunya dan orang yang berkerabat dengan ibu itu.

Pasal 187 tentang pelaksana pembagian warisan, pasal 188 berkenaan


dengan pengajuan permintaan untuk pembagian harta warisan, dan pasal
189 berkenaan dengan pewarisan tanah pertanian, walaupun tidak diatur
dalam fiqih, namun karena hal-hal ini hanya menyangkut masalah
administratif dan sesuai pula dengan prinsip maslahat, pasal-pasal ini
dapat diterima.

Pasal 190 tentang hak istri atas bagian gono gini secara langsung tidak
menyangkut hak kewarisan dan dalam kedudukan sebagian yang menjadi
hak pewaris, tidak menyalahi ketentuan fiqih.

Pasal 191 tentang pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris atau ahli
warisnya tidak diketahui keadaannya diatur dalam fiqih faraid.

3. Pusaka Mempusakai Dalam Hukum Adat


Pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk
masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut
sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat
Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama
lain berbeda-beda, yaitu :

A. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis


keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan
dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol,
contohnya pada masyarakat Batak. Yang menjadi ahli waris hanya anak
laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara “kawin
jujur” yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami,
selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal
dunia.

33 | P a g e
3
4

B. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis


keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan
ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak
menjadi ahli waris dari garis perempuan atau garis ibu karena anak-anak
mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih
merupakan anggota keluarganya sendiri, contoh sistem ini terdapat pada
masyarakat Minangkabau. Namun demikian, bagi masyarakat
Minangkabau yang sudah merantau ke luar tanah aslinya, kondisi tersebut
sudah banyak berubah.
C. Sistem Parental Atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis
keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di
dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum
waris sama dan sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak
perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.

Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan di atas, jelas bagi kita
bahwa hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis
keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.Di samping sistem
kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum waris adat
terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang
diwariskan, hukum waris adat mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu :

I. Sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan


bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan, misalnya di Jawa,
Batak, Sulawesi, dan lain-lain.
II. Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli
waris mewarisi harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab
harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya
kepada masing-masing ahli waris. Contohnya “harta pusaka” di
Minangkabau dan “tanah dati” di Semenanjung Hitu Ambon.

34 | P a g e
3
5

III. Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan


bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak.
Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu :
a) Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua atau
sulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal
dari si pewaris, misalnya di Lampung.
b) Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua
merupakan ahli waris tunggal dari pewaris misalnya pada
masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.

Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap


pengaturan hukum waris adat terutama terhadap penetapan ahli waris dan
bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum waris adat mengenal
tiga sistem kewarisan, yaitu :

a) Sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan yang


menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan,
misalnya di Jawa, Batak, Sulawesi, dan lain-lain.
b) Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa
para ahli waris mewarisi harta peninggalan secara bersama-sama
(kolektif) sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat
dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris.
Contohnya “harta pusaka” di Minangkabau dan “tanah dati” di
Semenanjung Hitu Ambon.
c) Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang
menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh
seorang anak. Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu :Mayorat
laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua atau sulung atau
keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris,
misalnya di Lampung. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak
perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari pewaris
misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.

35 | P a g e
3
6

4. Praktik pembagian harta waris


Diskursus mengenai pembagian harta waris baik secara konsep maupun
praktik menjadi sangat penting untuk didiskusikan bukan saja dilihat dari
sudut pandang agama, namun juga karena problematika sosial budaya,
hukum dan ekonomi yang dihadapi oleh semua orang, tak terkecuali
orang-orang yang berhak menerima warisan (ahli waris), Secara umum
pembagian harta waris mengikuti hukum waris adat yang dalam
prakteknya memberikan hak penuh kepada anak laki-laki untuk menerima
dan mengatur harta warisan dari orang tuanya yang meninggal dunia.
Anak perempuan akan menerima bagian jika sang anak laki-laki mau
‘’berbaik hati’’ membagi secara suka rela harta warisan yang diterimanya.
Secara ringkas ditemukan bahwa masyarakat menganut tiga cara dalam
pembagian warisan:
A. hibah yaitu pemberian harta waris dari pewaris kepada ahli waris
sebelum pewaris meninggal dunia. Argumen yang dibangun adalah
agar setelah pewaris meninggal dunia maka ahli waris (anak-anak, cucu
dan ahli waris lainnya) tetap hidup rukun, damai dan penuh
persaudaraan. Menurut hukum Adat, sebelum pewaris meninggal dunia
sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan
kepada ahli waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari
pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris meninggal dunia dapat
terjadi dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau
penyerahan kepemikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.
Jika dilihat dari sudut pandang ini maka menurut hukum Adat, praktek
pembagian harta warisan dengan cara hibah diperbolehkan. Berbeda
dengan hukum Barat BW dan hukum Islam yang membolehkan harta
warisan dibagi jika pewaris telah meninggal dunia.
B. Musyawarah yaitu pembagian harta warisan dengan cara musyawarah
dan mufakat dengan mempertimbangkan asas kemaslahatan antar para
ahli waris. Argumen yang dibangun adalah kemashlahatan dan
keutuhan sebuah keluarga dianggap lebih bijaksana. Sejalan dengan itu

36 | P a g e
3
7

Kompilasi Hukum Islam menempatkan musyawarah dan mediasi


sebagai sarana penting dalam penyelesaian kasus sengketa tanah.
Dalam KHI pasal 193 disebutkan: “para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian hartawarisan setelah
masing-masing menyadari bagiannya”. Praktek ini tidak selalu berjalan
mulus karena dalam pembagian harta waris misalnya bagian warisan
yang semestinya diperoleh perempuan tidak diberikan secara langsung
kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Namun “dititipkan”
pengelolaannya kepada saudaranya yang laki sampai batas waktu yang
tidak jelas, bahkan terkadang sampai penerima waris meninggal dunia.
Alasan yang dikemukakan untuk melegalkan praktek tersebut adalah
“penitipan” harta waris kepada pihak laki-laki setelah pemberi waris
meninggal dunia adalah sebagai salah satu bentuk upaya untuk
mendamaikan (shulhu) pihak ahli waris yang mungkin saja bersengketa
(Komari n.d.:471).
C. Hukum Waris Islam (faraidh), yaitu pembagian harta warisan
berdasarkan aturan-aturan yang termuat dalam al-Qur’an dan hadits.
Sistem pembagian ini diselesaikan melalui kesadaran diri dari para ahli
waris dengan meminta pendapat dari para tokoh agama. Jika tidak ada
kesadaran diri dan menimbulkan konflik antara ahli waris, maka jalan
yang ditempuh melalui jalur Pengadilan Agama dan ditetapkan melalui
KHI. Argumen yang dibangun untuk menggunakan sistem ini adalah
bahwa ketentuan hukum waris sebagaimana tertuang dalam al-Qu’an
dan hadits, lebih aman, dan menjanjikan balasannya di akhirat kelak.
5. Faktor penyebab kasus sengketa tanah waris
Beberapa faktor penyebab terjadinya kasus sengketa tanah warisan:
Pertama, keserakahan dan ketamakan. Dalam konsep Islam, harta benda
yang dimiliki seseorang adalah titipan Allah yang akan diminta pertanggung
jawabannya kelak pada hari kiamat; bagaimana ia memperolehnya dan
bagaimana ia membelanjakannya. Kepemilikan atas harta benda tersebut bukan
bersifat individual dan mutlak sebagaimana paham individualistik yang dianut

37 | P a g e
3
8

oleh masyarakat Barat, namun Islam memberi ruang sosial yang menuntut
untuk dijalankan oleh seseorang. Tuntutan sosial ini ada yang bersifat tidak
mengikat dan tidak wajib dilaksanakan seperti infak, sadaqah, hibah dan
sebaliknya ada yang sifatnya mengikat secara hukum dan harus ditunaikan
seperti kewajiban mengeluarkan zakat, warisan dan lain sebagainya. Dalam
realitas sosial masyarakat terkadang ada orang-orang yang mengabaikan dan
tidak memperhatikan aturan-aturan dan rambu –rambu yang sudah ditentukan
bahkan melakukan pembangkangan terhadap nilai-nilai tersebut. Masyarakat
yang masih berpegang teguh terhadap local wisdom (nilai kearifan masyarakat
setempat) dalam melakukan pembagian warisan harta benda pada dasarnya
mengedepankan kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna
mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian di dalam hidup. Jika
dicermati sejatinya nilai-nilai local wisdom yang dipraktekkan masyarakat
sebagaimana disebutkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pada
masyarakat seperti ini kepentingan hidup yang rukun dan damai lebih
diutamakan dari sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Jika
belakangan ini Nampak kecenderungan keluarga-keluarga yang mementingkan
kebendaan dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan,
maka hal itu merupakan krisis akhlak. Keserakahan dan ketamakan serta mau
menang sendiri merupakan faktor penyebab munculnya kasus sengketa tanah
waris. Beragam cara dilakukan untuk menunjukkan sifat ini seperti mengklaim
secara sepihak bahwa tanah yang dimiliki adalah hibah dari pewaris (pemberi
waris) atau bersikeras mengklaim ukuran yang bukan haknya.
Kedua, kurangnya sosialisasi mengenai hukum waris Islam. Realitas
masyarakat menunjukkan bahwa sistem waris Islam sebagaimana termaktub
dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang lalu dijabarkan oleh para ulama dan
fuqaha dalam kitab-kitab fiqih ternyata tidak tersosialisasikan secara baik dan
merata. Ironisnya sekalipun masyarakat mayoritas –bahkan seluruhnya-
memeluk agama Islam namun dalam kehidupan sehari-hari menggunakan
hukum Adat untuk menyelesaikan pembagian harta waris.

38 | P a g e
3
9

Ketiga, ketidaktahuan masyarakat terhadap hukum waris Islam.


Permasalahan sengketa tanah waris juga muncul karena faktor ketidaktahuan
tentang hukum waris Islam, di mana ketika pewaris meninggal dunia muncul
anggota ahli waris yang mengklaim bahwa harta benda tersebut sudah
dihibahkan kepadanya. Akibatnya ahli waris yang juga berhak menerima,
menjadi tidak memperoleh bagian yang semestinya. Dalam pengelolaan dan
pemilikan tanah-tanah pertanian, masyarakat berpegang pada adat kebiasaan
dan tradisi yang dilandasi oleh kejujuran. Di satu sisi semua bentuk mu’amalah
seperti jual beli, sewa menyewa, pembagian warisan, wakaf dan lain
sebagainya yang berlaku pada masa lampau disampaikan oleh leluhur
masyarakat secara lisan dari mulut ke mulut dengan disertai saksi namun kini
banyak saksi-saksi tersebut yang sudah meninggal dunia. Sementara di sisi lain
saat ini agar hak milik seseorang memiliki legalitas hukum maka semua bentuk
transaksi harus tercatat secara resmi di badan hukum yang diakui oleh negara
seperti Akta Notaris dan Pencatat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai bukti-
bukti otentik administrtif atas klaim suatu perbuatan hukum. Banyak kasus di
pengadilan seputar harta warisan dapat dihindari jika pewaris dan ahli waris
memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum waris.
Opsi untuk mengatur pembagian warisan melalui wasiat atau berdasarkan
hukum yang berlaku, seharusnya sudah menjadi pemikiran ketika pewaris
masih hidup guna menghindari timbulnya masalah bagi para ahli waris setelah
pewaris meninggal. Bagi para ahli waris, pemahaman yang memadai tentang
hukum waris juga sangat penting untuk menyadari hak dan kewajiban mereka
sebagai ahli waris, dan opsi apa yang mereka miliki jika masalah ini sudah
sampai pada tahap pengadilan. Banyak anggota masyarakat belum memahami
tentang hukum waris Islam sehingga sering salah persepsi. Akibatnya terjadi
konflik atau sengketa antara sesama ahli waris tersebut karena merasa
pembagian tidak merata dan tidak sesuai dengan kaidah dan ajaran Islam

39 | P a g e
4
0

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hukum waris sebagai suatu sistem hukum dalam perkembangannya sangat


dipengaruhi
oleh dinamika sejarah yang panjang. Setiap fase memiliki corak dan warna yang
kemudian membentuk jati dirinya sebagai hukum waris Islam, hukum waris Adat
dan peradilanya. Ironisnya masyarakat yang secara mayoritas beragama Islam

40 | P a g e
4
1

justru dalam praktek pembagian


harta waris, sebagian besar menggunakan hukum waris Adat.

Demi menghindari terjadinya sengketa dan konflik akibat perbedaan dalam


memahami
keputusan tentang harta warits, maka sudah sepatutnya bagi pihak-pihak terkait
baik unsur
pemerintah maupun masyarakat sipil untuk mensosialisasikan secara massif
hukum waris
Islam kepada semua pihak. Menerapkan konsep hukum waris Islam dalam segala
hal yang
berkaitan dengan sengketa tanah waris sudah semestinya menjadi pilihan utama
agar tercipta
rasa aman, damai, tenang dalam menjalankan ajaran Islam juga sebagai bentuk
dambaaan
akan terciptanya keadilan hukum sekaligus keberpihakan terhadap ketegasan
hukum.

41 | P a g e
4
2

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud. Asas-Asas Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press: 1991.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Cet. ke-1.


Jakarta: Rineka
Cipta, 1998.
Darmawan. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Cet.I. Surabaya: UIN Sunan
Ampel Press,
2014.
Fauzan, Shalih. al-Tahqiqat al-Mardhiyah Fi al-Mabahits al-Fardhiyah. Riyadh:
Maktabah alMa’arif, 1419 H.

Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Ilmu Sejarah.


Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1999.
Khisni, H.A. Hukum Waris Islam. Cet. ke-6. Semarang: UNISSULA Press. 2017

Rahman, Fathur. Ilmu Waris. Cet. 2. Bandung: Alma’rif, 1981

Sarmadi, A. Sukris. Hukum Waris Islam di Indonesia: Perbandingan Kompilasi


Hukum Islam dan Fiqh Sunni. Ngaglik, Sleman, Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2013.

Wahyuni, Afidah. ‘Sistem Waris Dalam Perspektif Islam dan Peraturan


Perundangundangan Di Indonesia’. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i,
Vo. 5, No. 2, 2018.

Husien, S. (2018). Hukum Waris Islam di Indonesia (Studi Perkembangan Hukum


Kewarisan dalam Kompilasi hukum Islam dan Praktek di Pengadilan Agama) (Doctoral
dissertation, Fakultas Hukum UNISSULA)

Supriadi, L. Revitalisasi hukum waris Islam dalam penyelesaian kasus sengketa tanah
waris pada masyarakat Sasak.

42 | P a g e
4
3

Basri, S. (2020). Hukum Waris Islam (Fara’id) dan Penerapannya dalam Masyarakat
Islam. Jurnal Kepastian Hukum Dan Keadilan, 1(2).

Pratiwi, R. A. (2009). Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Waris Islam


Kaitannya Dengan Pelaksanaan Catur Tertib Bidang Pertanahan (Studi Kasus Di
Pengadilan Agama Surakarta) (Doctoral Dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).

43 | P a g e
4
4

MAKALAH

“SEBAB-SEBAB TERJADINYA WARIS MEWARISI”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur


Mata Kuliah : Fiqh Mawaris
Dosen Pengampu : Bapak Hajjin Mabrur, M.S.I

Kelompok 3 :

1. Nuriyatus Salamah( 2019.2.8.1.01418 )


2. Aneke Dwi

PRODI EKONOMI SYARIAH (5F)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON

2021

Jl. Widarasari III, Sutawinangun Kedawung  0231246215 Cirebon 45153

44 | P a g e
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr.Wb

Alhamdulillaahi rabbil’alamin, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah


SWT karena hanya dengan hidyah-Nya, kami dapat menyelsaikan tugas kelompok
ini. Shalawat serta salam semoga Allah melimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, Keluarga, sahabatnya serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris.
Makalah ini berisi tentang sebab-sebab terjadinya waris mewarisi.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan Makalah ini masih banyak


kekurangan dan keterbatasan, untuk itu dengan kerendahan hati kami siap
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari teman-teman sekalian.

Mudah-mudahan Makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua


sebagai pengetahuan.

Wassalamu’alaikumWr.Wb

Cirebon, 26 Juli 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan ................................................................................................. 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Sebab-sebab terjadinya saling mewarisi ............................................. 3
B. Syarat dan rukun kewarisan................................................................. 5
C. Hal-hal yang dapat menghalangi untuk saling mewarisi..................... 6
D. Hal-hal yang harus didahulukan sebelum pembagian harta warisan... 7

BAB III: PENUTUP


A. Kesimpulan.................................................................................................... 9
B. Saran.............................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 10

ii
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Naluriah manusia yang menyukai harta benda tidak jarang memotivasi seseorang untuk
menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut, termasuk di dalamnya
terhadap harta pewarisnya sendiri. Disebutkan pengertian harta peninggalan menurut Pasal 171
d Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI) adalah harta yang ditinggalkan oleh
pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Harta waris
menurut Pasal 171 e KHI adalah harta bawaan ditambah bagian dan harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah (tajhiz), pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat.

Salah satu penghalang tidak saling mewarisi menurut hukum waris Islam adalah
perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris. Penghalang mewarisi ialah keberadaan
penghalang yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Namun
ketiadaan penghalang bukan berarti harus memberikan hak waris kepada seseorang. Dengan kata
lain, yang dimaksud dengan penghalang-penghalang mewarisi ialah tindakan atau hal-hal yang
dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-
sebab mewarisi.3

Ahli waris yang dilarang mendapatkan hak waris adalah seseorang (ahli waris) yang
mempunyai sebab mewarisi, tetapi ia melakukan tindakan yang dapat menggugurkan kelayakan
mewarisi. Seperti karena ia pembunuh atau sebab berbeda agama. Orang semacam ini disebut
sebagai orang yang diharamkan mendapatkan warisan, keberadaannya dianggap bagaikan tidak
ada, dan dia tidak dapat mengahalangi ahli waris yang lainnya. Yang telah disepakati para ulama
sebagai penghalang-penghalang mewarisi dimasukkan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: 1.
Berlainan agama; 2. Perbudakan; 3. Pembunuhan.

Banyaknya permasalahan apabila seseorang yang berbeda agama mendapatkan harta


warisan dari orang muslim, para ahli fikih telah bersepakat berlainan agama antara orang yang

3
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar. (2000-2001). Ahkamul-Mawarist fil-Fiqhil-Islami. Mesir: Penerbit
Maktabah ar-Risalah ad Dauliyyah, h. 46.
mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang dari beberapa
penghalang mewarisi. Sehingga non muslim tidak bisa mewarisi harta muslim dan seorang
muslim tidak dapat mewarisi harta non muslim. Sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
“Orang Islam tidak punya hak waris atas orang kafir, dan orang kafir tidak punya hak waris atas
orang Islam”.4

B. Rumusan masalah

1. Apa saja sebab-sebab terjadinya saling mewarisi ?


2. Apa saja syarat dan rukun kewarisan ?
3. Apa saja hal-hal yang dapat menghalangi untuk saling mewarisi ?

C. Tujuan masalah

1. Mengetahui sebab-sebab terjadinya saling mewarisi


2. Mengetahui syarat dan rukun kewarisan
3. Mengetahui hal-hal yang dapat menghalangi untuk saling mewarisi

4
Moh. Machfudin Aladip. Terjemah Bulughul Maram. Karya Besar Alhafizh Ibn Hajar Al-Asqoalani. Semarang: Karya
Toha Putra, h. 479.
4
BAB II

PEMBAHASAN
A. Sebab-sebab terjadinya saling mewarisi

Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga macam, yaitu :

1. Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab


Seperti kedua orang tua (ibu-bapak), anak, cucu, dan saudara, serta paman dan
bibi. Singkatnya adalah kedua orang tua, anak, dan orang yang bernasab dengan mereka.
Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang mewarisi dengan orang
yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan unsur kausalitas
adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang diwarisi dengan yang
mewarisi, kerabat dapat digolongkan menjadi tiga (3), yaitu :
a) Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si pewaris.
b) Ushul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris.
c) Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui garis
menyamping, seperti saudara, paman, bibi, dan anak turunannya tanpa membeda-
bedakan antara laki-laki dan perempuan.
2. Karena hubungan Pernikahan
Perkawinan yang menyebabkan dapat mewarisi memerlukan dua syarat, yaitu :
a) Akad nikah itu sah menurut syari’at Islam, baik keduanya telah berkumpul
maupun belum.
b) Ikatan perkawinan antara suami-isteri itu masih utuh atau masih dianggap utuh.

3. Karena Wala’
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang
hamba sahaya, kemudian hamba sahaya (budak) itu menjadi kaya. Jika orang yang
dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak mendapatkan

5
warisan. Warisan ini dapat diperoleh jika orang yang dimerdekakan itu tidak mempunyai
ahli , dzawil arham, atau suami-isteri.5

Sebab-sebab kewarisan menurut hukum Islam ini berbeda dengan sebab-sebab kewarisan
menurut hukum adat yang meliputi :

1. Keturunan
Keturunan di sini yang diuatamakan ialah anak. Anak sebagai ahli waris utama
mempunyai ketentuan yang berbeda-beda mengingat perbedaan sifat kekeluargaan yang
berkembang di berbagai daerah.
a) Pada daerah yang sifat kekeluargaannya berdasarkan ”parental” (ibu-ayah), anak-
anak yang dilahirkan menjadi ahli waris.
b) Pada daerah yang sifat kekeluargaannya berdasarkan ”matrilineal” (garis ibu) atau
”patrilineal” (garis ayah), maka hak anak sebagai ahli waris menjadi dibatasi.
2. Perkawinan
Seorang isteri yang ditinggal mati suaminya atau seorang suami yang ditinggal
mati isterinya di kebanyakan daerah lingkungan hukum adat dianggap sebagai orang
asing. Seorang isteri yang ditinggal mati suaminya ia hanya dapat turut memiliki atau
mengambil hasil seumur hidup dari harta peninggalan suaminya.
3. Adopsi
Anak angkat mendapatkan warisan menurut hukum adat sebagaimana anak
kandungnya sendiri. Namun kadang-kadang, ia dianggap anak asing oleh kerabat-kerabat
si mati terhadap barang asal dari ayah/ibu angkatnya, sebab barang- barang tersebut tetap
dimiliki oleh kerabatkerabatnya. Jika anak yang diadopsi itu adalah kemenakannya
sendiri maka ia menjadi ahli waris orang tua yang sebenarnya, kecuali di Sumatera
Selatan, hubungan waris dengan orang tua dan kerabatnya sendiri terputus.
4. Masyarakat Daerah
Jika ahli waris tidak ada sama sekali, maka harta peninggalan tersebut jatuh
kepada masyarakat daerah tempat ia tinggal yang dikelola oleh kepala adat.
B. Syarat dan rukun kewarisan

5
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum waris, terj. Abdul Hamid Zarwan (Solo : Mantiq, 1994), hlm. 36.
6
Masalah harta orang yang meninggal seringkali menjadi sengketa bagi keluarga yang
ditinggalkan. Untuk itu, para ahli waris mesti mengetahui ketentuan-ketentuan pembagian
warisan sesuai aturan hukum syariah yang ditetapkan. Dalam Islam, pembagian harta waris
merupakan kewajiban yang dibebankan kepada ahli waris sesuai bagiannya masing-masing.

Syarat kewarisan ada 3, yaitu :

1. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum seperti orang yang
hilang yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia.
2. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukum, seperti anak
dalam kandungan.
3. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.6

Rukun kewarisan ada tiga (3), yaitu :

1. Ahli waris, yaitu orang yang dihubungkan kepada si mati dengan salah satu sebab-sebab
pewarisan.
2. Pewaris, yaitu si mati, baik secara hakiki maupun secara hukum, seperti orang yang
hilang yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia.
3. Warisan, dinamakan juga dengan tirkah atau mirats, yaitu harta atau hak yang berpindah
dari si pewaris kepada ahli waris.7
C. Hal-hal yang dapat menghalangi untuk saling mewarisi
Yang dapat menghalangi kewarisan adalah hal-hal, keadaan, atau pekerjaan yang
menyebabkan seseorang yang seharusnya mendapat warisan menjadi tidak mendapatkannya.
Hal-hal yang dapat menggugurkan / menghilangkan hak seseorang tersebut ada tiga (3), yaitu :
1. Pembunuhan
Adapun dasar hukum yang melarang ahli waris yang membunuh untuk mewarisi
harta peninggalan si mati adalah sabda Rasulullah SAW, di antaranya adalah :
a. Riwayat an-Nasa’i
‫ ليس لقاتل من املرياث شيئ )رواه النسائ‬: ‫قال رسول هلال صلى هلال عليه وسلم‬

6
As-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Semarang : Toha Putera, 1972), jilid III, hlm. 426-427
7
As-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Semarang : Toha Putera, 1972), jilid III, hlm. 426.
7
“Rasulullah SAW. bersabda : “tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk
mewarisi.”
2. Berlainan agama
Apabila antara ahli waris dan pewaris, salah satunya beragama Islam, yang lain
tidak beragama Islam. Dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah SAW. Riwayat Bukhari
dan Muslim.
)‫عليه متفق )املسلم الكافر وال الكافر املسلم يرث ال‬
”Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta
orang Islam.”
3. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status
kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya
(budak). Mayoritas Ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima
warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II pasal 173, dijelaskan tentang terhalangnya
ahli waris mewarisi harta benda keluarganya bias karena ditetapkan oleh seorang Hakim yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu bila dia dihukum karena :

1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.
D. Hal-hal yang harus didahulukan sebelum pembagian harta warisan

Tidak setiap harta yang ditinggalkan pewaris dapat langsung dibagikan kepada ahli waris.
Di sana masih ada hak-hak orang lain dan hak si mayit. Sebelum harta warisan dibagi kepada
ahli waris, ada tiga hal yang wajib dilakukan ahli waris.

1. mengeluarkan biaya untuk pengurusan si mayit atau disebut tajhizul janazah

8
Yang dimaksud dengan tajhizul janazah mulai dari pengurusan biaya sakit,
memandikan, mengkafani, menshalatkan dan terkahir menguburkan. Seluruh biaya yang
timbul dari pengurusan tersebut diambil dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris.
2. Melunasi utang
Kewajiban melunasi utang dilakukan oleh orang yang berhutang sendiri. Orang
lain tidak berkewajiban melunasi utang si mayit. Untuk itu, keluarga berkewajiban
sebatas pada melaksanakan pembayaran utang tersebut.
Pelunasan utang di atas diambil dari harta yang ditinggalkan pewaris. Jika harta
yang ditinggalkan kurang, keluarga tidak berkewajiban untuk melunasi utang si mayit.
Keluarga hanya memiliki kewajiban moral untuk melunasi. Untuk itu di Indonesia,
biasanya sebelum acara pemakaman selalu dari pihak keluarga menyampaikan kesiapan
untuk melunasi seluruh utang pewaris.
3. Mengeluarkan wasiat pewaris
Wasiat adalah pernyataan untuk melaksanakan sesuai setelah ia wafat. Besaran
wasiat yang diperbolehkan dalam Islam adalah maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta yang
ditinggalkan.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada 3 (tiga) sebab seseorang bisa mendapatkan bagian warisan dari sesorang yang telah
meninggal yaitu : 1. Pernikahan yang sah, wala’ (kekerabatan karena memerdekakan budak), dan
3. Hubungan nasab. Sedangkan hal-hal yang dapat menghalangi terjadinya saling mewarisi ada 3
(tiga), yaitu : 1. Pembunuhan, 2. Berlainan agama dan 3. Perbudakan.

B. Saran

Demikianlah makalah sebab-sebab terjadinya waris mewarisi yang kami susun. Kami
menyadari masih terdapat banayak kesalahan dalam makalah yang kami susun. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi terciptanya kesempurnaan makalah
ini.

10
DAFTAR PUSTAKA

Haries, A. (2019). Hukum Kewarisan Islam. Ar-Ruzz Media.

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum waris, terj. Abdul Hamid Zarwan (Solo : Mantiq, 1994),
hlm. 36.

As-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Semarang : Toha Putera, 1972), jilid III, hlm. 426-427

https://tirto.id/syarat-dan-rukun-waris-dalam-islam-yang-wajib-dipenuhi-eywm

Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar. (2000-2001). Ahkamul-Mawarist fil-Fiqhil-


Islami. Mesir: Penerbit Maktabah ar-Risalah ad Dauliyyah, h. 46.

Moh. Machfudin Aladip. Terjemah Bulughul Maram. Karya Besar Alhafizh Ibn Hajar Al-
Asqoalani. Semarang: Karya Toha Putra, h. 479.

Cahyono, D. N., Kusuma, B. A., & Telussa, J. E. I. (2019). PEMBAGIAN HARTA WARISAN
ORANGTUA YANG BERBEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM. Perspektif, 24(1), 19-29.

11
TUGAS MATA KULIAH

FIQH MAWARIS

“Memahami Pengertian Wasiat, Hibah, dan Hal yang Berkaitan”

Dosen Pengampu : Hajjin Mabrur, M.S.I

Kelompok 4 :

1. Uswatun Khasanah
2. Abdul Hadi Wijaya

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH INSTITUTE AGAMA ISLAM

BUNGA BANGSA CIREBON

Jln. Widarasari III Tuparev Cirebon, telepon (0231) 246215 Website : iaibbc.ac.id/

Email : staibbc.cirebon@gmail.com

12
13
KATA PENGANTAR

Assalamu”alaikumWr.Wb

Alhamdulillaahi rabbil’alamin, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena
hanya dengan hidyah-Nya, kami dapat menyelsaikan tugas kelompok ini. Shalawat serta salam
semoga Allah melimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Keluarga, sahabatnya serta para
pengikutnya hingga akhir zaman.

Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris. Makalah ini
berisi tentang Memahami Pengertian Wasiat, Hibah dan Hal yang Berkaitan Dengan nya.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan Makalah ini masih banyak kekurangan dan
keterbatasan, untuk itu dengan kerendahan hati kami siap menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun dari teman-teman sekalian.

Mudah-mudahan Makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua sebagai pengetahuan.

Wassalamu”alaikumWr.Wb

Cirebon, 18 Juli 2021

xiv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
I. Latar Belakang.................................................................................................................................4
II. Rumusan Masalah...........................................................................................................................5
III. Tujuan Penulisan..........................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................6
A. Ta’rif Wasiat dan Hibah...................................................................................................................6
B. Hukum Wasiat.................................................................................................................................7
C. Hukum Hibah...................................................................................................................................8
D. Pembagian Wasiat.........................................................................................................................10
E. Pembagian Hibah...........................................................................................................................10
F. Batasan banyak harta yang diwasiatkan dan hibah.......................................................................11
G. Persamaan dan perbedaan wasiat dan hibah................................................................................12
H. Contoh kasus wasiat dan hibah.....................................................................................................14
BAB III........................................................................................................................................................15

xv
PENUTUP...................................................................................................................................................15
Kesimpulan............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................16

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Fiqh mawaris merupakan salah satu cabang ilmu fikih yang dibahas secara detail dalam Al-Qur’an.
Cabang ilmu fikih ini menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai petunjuk dan pedoman yang mendasari
penyelesaian suatu perkara. Fiqh mawaris berkembang seiring dengan berbagai persoalan sosial yang
dijumpai di lingkungan masyarakat. Persoalan-persoalan tersebut harus dapat diselesaikan berdasarkan
dalil yang sudah ada sejak Islam diturunkan yang kemudian dikaitkan dengan ilmu fiqh mawaris. Oleh
karena itu, pemahaman terhadap konsep-konsep dasar fiqh mawaris dianggap perlu agar dapat
digunakan sebagai pedoman untuk menjawab persoalan baru di waktu mendatang.

Menurut pandangan Islam, wasiat tidak sekadar menyangkut masalah harta benda. Dalam makna luas,
wasiat juga berkaitan dengan pesan-pesan moral kepada umat manusia. Di dalam Alquran, Allah SWT
sendiri telah mengingatkan agar orang-orang beriman senantiasa berwasiat dalam kebajikan dan
kesabaran (QS al-Ashar [103]: 3).

Dalam pengertian khusus, wasiat juga diartikan sebagai pesan yang disampaikan orang yang hendak
meninggal dunia. Pakar konsultasi syariah Aris Munandar, dalam tulisannya Serba Serbi Wasiat dalam
Islam menuturkan, wasiat jenis ini dibagi menjadi dua kategori. Yang pertama adalah permintaan orang
yang akan meninggal kepada orang-orang yang masih hidup untuk melakukan suatu pekerjaan.
“Misalnya, membayarkan utang, memulangkan barang-barang yang dipinjam atau merawat anak,” ujar
Munandar mencontohkan. Kedua, kata dia, wasiat bisa pula berbentuk harta benda yang ingin diberikan
kepada orang atau pihak tertentu. Wasiat semacam ini dilaksanakan setelah si pembuat wasiat
meninggal dunia.

Ada beberapa syarat sah dalam berwasiat. Pertama, orang yang diberi wasiat haruslah seorang Muslim
dan berakal sehat. Syarat ini penting agar amanah dalam wasiat bisa terlaksana dengan baik. Kedua,
orang yang berwasiat juga mesti berakal sehat dan memiliki harta yang akan diwasiatkan. Selanjutnya,
tidak boleh berwasiat dalam hal yang haram, misalnya, meminta agar sebagian hartanya diberikan
kepada gereja atau dipergunakan untuk membiayai kegiatan maksiat. “Keempat, orang yang diberi
wasiat bersedia menerima wasiat. Jika dia menolak maka wasiat itu batal dan setelah penolakan orang
tersebut tidak berhak atas apa yang diwasiatkan,” imbuh Munandar.
Dalam ketentuan hukum Islam, orang memiliki ahli waris dilarang mewasiatkan lebih dari sepertiga
harta yang dimilikinya. Sementara, orang yang sama sekali tidak memiliki ahli waris diperbolehkan untuk
berwasiat dengan seluruh hartanya.

Hibah dalam hukum Indonesia dapat dipermasalahkan apabila bentuk pemberian berupa uang dengan
jumlah yang banyak atau barang yang sangat bernilai. Karena itu, hibah harus disertai dengan bukti-
bukti ketetapan hukum yang berlaku secara perdata agar tidak digugat oleh pihak ketiga termasuk oleh
orang-orang yang termasuk ahli waris di kemudian hari.

Dalam hukum perdata pasal 166 dan pasal 1667 dijelaskan bahwa hibah atau pemberian kepada orang
lain secara sukarela tidak dapat ditarik kembali, baik berupa harta bergerak maupun harta tidak
bergerak saat pemberi hibah masih hidup.

Hibah adalah hadiah. Tapi menurut bahasa hibah adalah pemberian secara sukarela kepada orang lain.
Hadiah diberikan saat pemilik masih hidup dan bukan sesudah meninggal. Sehingga prinsip hibah
berbeda dengan warisan, sebab hibah merupakan pemberian yang tidak memandang hubungan
pernikahan ataupun pertalian darah. Masalah hibah, hukum Islam memiliki pandangan yang sama
dengan asumsi masyarakat umum selama ini, yaitu hibah atau hadiah dapat diberikan kepada orang lain
yang bukan saudara kandung atau suami/istri.

II. Rumusan Masalah


a. Bagaimana pandangan islam tentang wasiat?
b. Bagaimana pandangan islam tentang hibah?
c. Bagaimana pandangan islam tentang hal yang berhubungan dengan wasiat dan hibah?

III. Tujuan Penulisan


a. Mengetahui pandangan islam tentang wasiat
b. Mengetahui pandangan islam tentang hibah
c. Mengetahui pandangan islam tentang hal yang berkaitan dengan wasiat dan hibah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ta’rif Wasiat dan Hibah


1. Pengertian Wasiat

Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang meninggal dunia.
Wasiat berasal dari kata washa yang berarti menyampaikan atau memberi pesan atau pengampuan.
Dengan arti kata lain, wasiat adalah harta yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain setelah si
pemberi meninggal dunia. Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain. Arti kata washa
merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah, mencakup wasiat harta, sedang iishaa’, wishayaa dan
washiyyah dalam istilah ulama fiqih diartikan kepemilikkan yang disandarkan kepada keadaan atau masa
setelah kematian seseorang dengan cara tabbaru’ atau hibah, baik sesuatu yang akan dimiliki tersebut
berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang.
Menurut Madzhab Syafi’i, wasiat adalah pemberian suatu hak yang berkuatkuasa selepas berlakunya
kematian orang yang membuat wasiat sama ada dengan menggunakan perkataan atau sebaliknya.
Menurut Madzhab Hanbali, wasiat adalah pemberian harta yang terjadi setelah berlakunya kematian
sama ada dalam bentuk harta (‘ain) atau manfaat. Menurut madzhab Hanafi, wasiat adalah pemilikan
yang berlaku setelah kematian dengan cara sumbangan.

Menurut madzhab Maliki, wasiat adalah suatu akad yang menetapkan kadar 1/3 sahaja bagi tujuan
wasiat dan wasiat tersebut akan terlaksana setelah berlakunya kematian pewasiat. Muhammad Abu
Zahrah telah memberi ulasan mengenai definisi wasiat yang telah dikemukakan oleh para fuqaha di atas
dan berpendapat bahwa definisi tersebut tidak menyeluruh karena tidak merangkumi aspek pelepasan
hak seperti berwasiat melunaskan semua hutang, membuat pembagian harta pusaka kepada waris-
waris terhadap baki harta yang telah diwasiatkan dan sebagainya. Beliau berpandangan bahwa definisi
yang lebih tepat adalah seperti dalam undang-undang wasiat mesir no.71 1946 dalam perkara 1 yaitu
“menguruskan sesuatu peninggalan yang berkuatkuasa setelah berlaku kematian”. Definisi ini meliputi
semua jenis wasiat sama ada wasiat wajib atau sunat dan ia juga merangkumi semua bentuk
peninggalan si mati sama ada berbentuk harta atau lainnya karena lafaz “menguruskan” itu merangkumi
semuanya.

2. Pengertian Hibah

Kata hibah berasal dari bahasa Arab ‫ الِهَبُة‬yang memiliki arti pemberian yang dilakukan seseorang kepada
orang lain tanpa mengharapkan pamrih atau imbalan dalam bentuk apa pun. Pemberian ini dilakukan
saat seseorang masih hidup dan wujudnya dapat berupa harta secara fisik atau benda-benda lainnya
yang tidak tergolong sebagai harta atau benda berharga.

Pada dasarnya, Islam memiliki pemahaman yang serupa dengan asumsi masyarakat umum selama ini,
yaitu pengertian hibah adalah barang berharga yang dapat diberikan kepada orang lain yang mana
bukan saudara kandung atau suami/istri. Pihak penerima tidak diwajibkan memberikan imbalan jasa
atas hadiah yang diterima sehingga tidak ada ketetapan apa pun yang mengikat setelah harta atau
barang berharga diserah terima.

Dalam pandangan Islam, hibah adalah perbuatan untuk mendekatkan diri kepada sesama umat
sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, yaitu:

‫َتَهاُد ْو ا َتَحاَبْو ا‬

“Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR. Al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad no.
594].”

B. Hukum Wasiat
Dalam hukum Islam, sumber hukum yang mengatur tentang wasiat adalah QS. Al-Baqarah : 180
‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َح َض َر َأَحَد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِإْن َتَرَك َخ ْيًرا اْلَوِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَأْلْقَر ِبيَن ِباْلَم ْعُروِف ۖ َح ًّقا َع َلى اْلُم َّتِقيَن‬

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Sedangkan menurut pasal 195 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa wasiat kepada ahli
waris masih memungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari ahli waris yanhg lainnya.

a. Syarat Wasiat

Persoalan wasiat di Indonesia berpodoman pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dituangkan dalam
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Menurut KHI bahwa wasiat hanya dapat dilakukakan dengan
syarat – syarat sebagai berikut:

 Oleh orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
 Pemilikan terhadap harta benda baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
 Harta yang diwasiatkan tidak melebihi 1/3 dari harta warisan kecuali semua ahli waris
menyetujuainya.

Ketiga hal tersebut merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pemberian wasiat. Ketentuan
tentang jumlah harta yang boleh diwasiatkan atau legitime portie benar – benar harus diperhatikan.
Pada prinsipnya pewaris memiliki hak mutlak kepada siapa harta itu akan diberikan, tetapi menurut
hukum, baik KHI maupun KUH Perdata, pemberian tersebut tidak boleh melebihi 1/3 karena dalam harta
tersebut terdapat hak ahli waris yang tidak boleh diabaikan.

Selanjutnya terkait dengan pertanyaan anda tentang kemungkinan pembatalan wasiat. Menurut KHI
wasiat batal apabila:

 Calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dihukum karena: dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat kepada pewasiat; dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat; dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman
mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan
calon penerima wasiat; dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan
surat wasiat dan pewasiat.
 Orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: tidak mengetahui adanya wasiat tersebut
sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat; mengetahui adanya wasiat tersebut,
tapi ia menolak untuk menerimanya; mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah
menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
 Barang yang diwasiatkan musnah.

Dengan demikian sangat jelas bahwa wasiat tidak batal karena banyaknya jumlah harta yang
diwasiatkan selama tidak melebihi legitime portie. Oleh karena itu kepada saudara penanya saya
sarankan untuk tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku, karena hukum telah menentukan hak anda
sebagai ahli waris dan hak pewaris untuk memberikan sebagian hartanya kepada orang lain yang
dikehendakinya.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur wasiat dalam Pasal 930-953. Pasal-pasal tersebut
sangat menekankan pada prosedur penyusunan wasiat yang sesuai dengan kehendak bebas dari pihak
yang membuat tanpa dipengaruhi orang lain, termasuk notaris. Ada 3 (tiga) jenis wasiat di Indonesia,
yaitu:

 Wasiat Umum

Wasiat yang dibuat oleh seorang notaris. Caranya, orang yang akan meninggalkan warisan menyatakan
kehendaknya di hadapan notaris, dan memohon kepada notaris tersebut agar dibuatkan akta dengan
dihadiri oleh dua orang saksi. Pembuat surat wasiat harus menyampaikan sendiri kehendaknya itu di
hadapan saksi-saksi. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan perantara orang lain, baik anggota
keluarganya maupun notaris yang bersangkutan.

 Wasiat Olografis

Wasiat yang seluruhnya ditulis sendiri oleh si pembuat, diberi tanggal dan ditandatangani olehnya,
kemudian harus disampaikan kepada notaris untuk disimpan dalam protokolnya, bisa dalam keadaan
terbuka atau tertutup. Selanjutnya, notaris akan membuat akta penyimpanan (akte van depot) dengan
dihadiri oleh dua orang saksi.

 Wasiat Rahasia

Wasiat yang ditulis sendiri atau ditulis orang lain yang disuruhnya untuk menulis kehendak terakhirnya.
Kemudian ia harus menandatangani sendiri surat tersebut. Surat wasiat jenis ini harus disampul dan
disegel, kemudian diserahkan kepada notaris dengan dihadiri empat orang saksi. Penutupan dan
penyegelan dapat juga dilakukan di hadapan notaris dan empat orang saksi.

C. Hukum Hibah
Jika dilihat dari sudut pandang hukum bernegara, arti hibah dapat dipermasalahkan jika wujud
pemberiannya berupa uang dengan jumlah yang banyak atau barang yang sangat bernilai. Dalam hal
itu, maka pengertian prosedur hibah dan pemberiannya harus disertai dengan bukti-bukti ketetapan
hukum resmi secara perdata agar tidak digugat oleh pihak ketiga, termasuk oleh orang-orang yang
termasuk ahli waris di kemudian hari.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1666 dan pasal 1667 dijelaskan bahwa
hibah atau pemberian kepada orang lain secara cuma-cuma tidak dapat ditarik kembali, baik berupa
harta bergerak maupun harta tidak bergerak saat pemberi masih hidup.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata syarat hibah meliputi :


a. Objek hibah

Penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu
terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan dianggap tidak sah
atau batal.

b. Pemberi hibah

Hibah hanya dapat dilakukan di antara orang-orang yang masih hidup. Penghibah tidak boleh mengakui
ia tetap berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan. Anak-anak di bawah
umur tidak boleh menghibahkan sesuatu kecuali dalam hal yang ditetapkan pada Bab VII Buku Pertama
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Penghibahan antara suami istri selama perkawinan mereka masih berlangsung, dilarang. Tetapi
ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian berupa barang bergerak yang berwujud,
yang harganya tidak mahal kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan penghibah. Semua orang
pada dasarnya boleh memberikan dan menerima hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang
dinyatakan tidak mampu untuk itu.

c. Penerima hibah
 Supaya dapat dikatakan sah untuk menikmati barang yang dihibahkan, orang yang diberi hibah
harus ada di dunia atau sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat penghibahan dilakukan.
 Hibah yang diberikan kepada seorang wanita yang masih bersuami tidak dapat diterima selain
menurut ketentuan-ketentuan Bab V Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
 Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih berada di bawah kekuasaan orangtua,
harus diterima oleh orang yang menjalankan kekuasaan orangtua itu. Hibah kepada anak-anak
di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah
pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh
Pengadilan Negeri.

d. Dilakukan dengan Akta Notaris atau PPAT

Hibah yang sah di mata hukum harus dilakukan dengan pembuatan akta notaris yang naskah aslinya
disimpan oleh notaris. Khusus untuk hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). Selain syarat hibah menurut hukum negara, hibah juga harus mengikuti
syarat yang sah menurut islam. Berikut syaratnya :

 Pemberi hibah

Pemberi hibah perlu seorang ahliyyah yang sempurna akal,baligh dan rusyd. Mereka juga mestilah
memiliki harta yangdihibahkan dan berkuasa penuh ke atas hartanya.

 Penerima hibah
Penerima hibah mestilah mempunyai keupayaan untuk memiliki harta sama ada mukalaf atau bukan
mukalaf. Sekiranya penerima hibah adalah bukan mukalaf seperti belum akil baligh atau kurang upaya,
maka hibah boleh diberikan kepada walinya atau pemegang amanah.

 Harta yang dihibahkan

Harta yang hendak dihibahkan itu mestilah harta yang halal,bernilai di sisi syarak, di bawah pemilikan
pemberi hibah, mampu diserahkan kepada penerima hibah dan wujud ketika harta berkenaan
dihibahkan.

 Lafaz ijab dan kabul

Lafaz ijab dan kabul merupakan lafaz atau perbuatan yang membawa makna pemberian dan
penerimaan hibah.

D. Pembagian Wasiat
Menurut ketentuan hukum Islam pewarisan hanya terjadi karena adanya orang yang meninggal.
Awalnya harus ditentukan dulu harta bawaan suami dan harta bawaan istri. Sedangkan yang dibagi
adalah harta bersama suami dan istri selama perkawinannya dahulu.

Dengan demikian karena pembuat wasiat adalah istri maka pembagiannya adalah istri ¼ (seperempat)
bagian dari harta bersama karena tidak adanya keturunan. Sedangkan selebihnya adalah bagian suami.
Jadi harta yang dapat diserahkan pada yayasan yang ditunjuk istri dalam wasiatnya adalah ¼
(seperempat) bagian dari harta bersama ditambah harta bawaan istri dan yang dibagi pada adik-adik
adalah sisanya ditambah harta bawaan suami. Meskipun demikian masih harus dilihat lagi apakah masih
ada ayah, ibu, atau saudara-saudara untuk menentukan besar bagian masing-masing suami dan istri.

Sementara pembagian warisan menurut ketentuan KUH Perdata dapat digunakan oleh yang siapapun
baik yang beragama Islam ataupun tidak. Menurut Pasal 830 KUHPerdata pewarisan hanya terjadi
karena kematian.Pasal 832 KUHPerdata menegaskan, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga
sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri
yang hidup terlama. Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pewarisan hanya terjadi karena
meninggalnya seseorang dan untuk menentukan siapa ahli warisnya harus dilihat dari 2 (dua) dasar
hubungan yakni hubungan darah dan hubungan perkawinan.

Pasal 128 KUHPerdata menegaskan, Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi
dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana
asal barang-barang itu. Sehingga penyelesaiannya adalah harta warisan pasangan suami istri itu
dipisahkan menjadi harta bawaan serta harta bersama suami istri. Harta bersama kemudian dibagi
menjadi 2 (dua) bagian yaitu ½ (setengah) bagian untuk suami dan ½ (setengah) bagian untuk istri.
Bagian suami ditambah harta bawaan suami inilah yang dibagikan pada adik-adik dan bagian harta
bersama istri ditambah harta bawaan istri diserahkan pada yayasan yang ditunjuk dalam wasiat istri.
E. Pembagian Hibah
Adapun macam-macam hibah itu adalah hibah barang dan hibah manfaat:

 Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi
dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan)
apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
 Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang
yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah.
Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak
pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup
(al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat
jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.

Dalam litelatur lain dapat dilihat macam-macam hibah itu sebagai hal di bawah ini:

 Hibah Umra (kuberikan benda ini kepadamu selama kau masih hidup; kalua kau mati sebelum
saya, benda kembali kepada saya); jadi hibah untuk selama hidup pihak yang diberi.
 Hibah Ruqba (kuberikan benda ini kepadamu dengan syarat, kalau kau mati sebelum saya,
benda ini tetap milikku, kalau mati lebih dulu menjadilah milikku).

Kedua macam hibah ini tidak diperkenankan, karena hak milik atas benda yang dihibahkan seharusnya
sudah berpindah bila sudah diucapkan kabul dan benda telah berada di tangan pihak yang diberi, jadi
hibah yang disertai syarat, syaratnya itu tidak sah, dianggap hibah tanpa syarat. Selain dua macam
tersebut masih ada bentuk lain yaitu hibah bersyarat. Dikatakan hibah bersyarat apabila hibah dikaikan
dengan sesuatu syarat, seperti syarat pembatasan penggunaan barang oleh pihak penghibah kepada
penerima hibah, maka syarat tersebut tidak sah, sekalipun hibahnya itu sendiri sah.

F. Batasan banyak harta yang diwasiatkan dan hibah


Wasiat merupakan persoalan yang hampir ada pada semua masyarakat. Perbedaan yang ada terkait
bentuk kalimat wasiat, waktu pengucapan wasiat, jumlah wasiat, dan siapa yang mendapatkan wasiat.
Dalam hukum Barat, terdapat wasiat yang diberikan oleh pewasiat kepada seseorang atau lembaga
dengan jumlah keseluruhan harta. Hal ini membuat keluarga atau ahli waris tidak mendapat harta
warisan, sehingga hubungan kekeluargaan menjadi tidak harmonis. Dalam masyarakat adat Indonesia,
tidak ada batasan berapa jumlah wasiat yang diperbolehkan. Orang tua biasanya membagi harta kepada
anak-anaknya ketika masih hidup agar nantinya tidak terjadi perpecahan dalam keluarga. Dalam Islam,
wasiat diperbolehkan untuk orang lain atau untuk anggota keluarga. Batasan maksimal wasiat secara
umum adalah 1/3 dari harta peninggalan. Wasiat untuk orang lain tidak harus dengan izin ahli waris. Hal
ini berbeda dengan wasiat untuk ahli waris, baru diperbolehkan apabila ahli waris lain mengizinkan.
Adapun ahli waris yang terhalang, maka bisa mendapatkan bagian dari harta peninggalan dengan cara
wasiat wajibah. Ketentuan ini menunjukkan pentingnya hubungan keluarga dan terwujudnya keadilan
karena semuanya bisa mendapatkan harta dari peninggalan pewasiat/pewaris.
Hibah di dalam Hukum Islam terdapat batasan, sesuai dengan pasal 210 ayat (1) KHI yaitu maksimal
sepertiga (1/3) bagian dari harta yang dimiliki si penghibah. Hibah yang diberikan oleh orang tua kepada
anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan dan dapat ditarik kembali apabila dalam memberikan
hibah tersebut ternyata dirasa kurang adil. Hibah yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan sakit
dibatasi hanya sepertiga (1/3) bagian saja dan harus dengan persetujuan ahli warisnya, sama halnya
seperti pemberian hibah apabila si penghibah dalam keadaan sehat. Di dalam Hukum Islam anak angkat
bukanlah ahli waris, tetapi berhak diberi bagian harta warisan orang tua angkatnya melalui wasiat
wajibah. Hal ini tertera di dalam pasal 209 ayat (2) KHI mengenai pemberian wasiat wajibah kepada anak
angkat maksimal sepertiga (1/3) bagian dari harta yang dimiliki. Demikian juga yang diatur di dalam
pasal 210 KHI, bahwa pemberian hibah dibatasi sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) bagian dari harta
benda. Baik dalam Hukum Adat maupun Hukum Islam, keduanya menyatakan bahwa hak anak angkat
tidak boleh melebihi hak anak kandung. Hal ini semata-mata demi keadilan dan menghindari terjadinya
sengketa.

G. Persamaan dan perbedaan wasiat dan hibah


Persamaan Antara Hibah dan Wasiat dari segi pengertian disini adalah sama-sama memberikan harta
benda secara sukarela. Perbedaannya adalah jikalau wasiat harta benda itu diberikan ketika pewasiat
telah meninggal. Sedangkan hibah diberikan ketika pemberi hibah dan yang menerima masih hidup
pada saat itu pula.

Adapun rukun wasiat itu ada empat, yaitu:

1) redaksi wasiat (shighat),

2) pemberi wasiat (mushiy),

3) penerima wasiat (mushan lahu),

4) barang yang diwasiatkan (mushan bihi).

5) Kalimat wasiat (lafadz)

Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul sebab keduannya termasuk akad seperti
halnya jual-beli. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat :

1) pemberi hibah (al-Wahib)

2) penerima hibah (al-Mauhud lahu)

3) barang atau harta yang dihibahkan (Mauhud)

4) Ijab dan qabul


Yang menjadi perbedaan rukun hibah dan wasiat adalah dari shigat wasiat dan kalimat wasiat,
sedangkan hibah menggunakan ijab qabul.

Perkara yang menjadi syarat boleh dan sahnya wasiat secara syariah Islam adalah sbb:

1. Syarat benda yang diwasiatkan

a. Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga). Apabila lebih, maka untuk kelebihan dari 1/3 harus
atas seijin ahli waris.

b. Wasiat tidak boleh diberikan pada salah satu ahli waris kecuali atas seijin ahli waris lain.

c. Boleh berupa benda yang sudah ada atau yang belum ada seperi wasiat buah dari pohon yang
belum berbuah.

d. Boleh berupa benda yang sudah diketahui atau tidak diketahui seperti susu dalam perut sapi.

e. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

2. Syarat Pewasiat / Pemberi Wasiat (Al-Washi)

a. Akil baligh

b. Berakal sehat

c. Atas kemauan sendiri.

d. Boleh orang kafir asal yang diwasiatkan perkara halal.

3. Syarat Penerima Wasiat (Al-Musho Lah ‫)الموصى له‬

Penerima wasiat ada dua macam.

a) Wasiat umum seperti wasiat pembangunan masjid;

b) Wasiat khusus yaitu wasiat kepada orang/benda tertentu.

Kalau wasiat bersifat umum, maka tidak boleh untuk hal yang mengandung dosa (maksiat). Contoh,
wasiat harta untuk pembangunan masjid boleh tetapi wasiat untuk membangun klab malam tidak boleh.

Untuk wasiat khusus maka syaratnya adalah sbb:

a) Penerima wasiat hidup (orang mati tidak bisa menerima wasiat)

b) Penerima wasiat diketahui (jelas identitas oragnya).

c) Dapat memiliki.

d) Penerima wasiat tidak membunuh pewasiat.


e) Penerima wasiat menerima (qabul) pemberian wasiat dari pewasiat. Kalau menolak, maka wasiat
batal.

SYARAT-SYARAT HIBAH

Syarat hibah menurut ulama Hanabilah ada 11 :

1. Hibah dari harta yang boleh di tasharrufkan

2. Terpilih dan sungguh-sungguh

3. Harta yang diperjual belikan

4. Tanpa adanya pengganti

5. Orang yang sah memilikinya

6. Sah menerimanya

7. Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu

8. Menyempurnakan pemberian

9. Tidak disertai syarat waktu

10. Pemberi sudah dipandang mampu tasharruf (merdeka, dan mukallaf)

11. Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan.

DASAR HUKUM WASIAT

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan
berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua
orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa
bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka
keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli
dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan
tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah
termasuk orang-orang yang berdosa"

DASAR HUKUM HIBAH

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
H. Contoh kasus wasiat dan hibah
Pak Ali meninggal dengan para ahli waris sebagai berikut :

Satu orang istri (maemunah), satu orang anak perempuan (wati), dan satu orang anak laki-laki (budi).
Harta warisnya senilai 100jt. Bagaimanakah pembagian harta waris tersebut?

Jawab : dalam hukum islam, istri merupakan ash-habul furudh yaitu ahli waris yang mendapat bagian
harta waris dalam jumlah tertentu. Istri mendapat ¼ jika suami meninggal dan tidak mempunyai anak,
dan mendapat 1/8 jika mempunyai anak. Sedangkan, seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan dalam islam adalah ashabah yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris sisa nya
setelah diberikan kepada ash-habul furudh. Kedua anak tersebut mendapat harta sebanyak 7/8, berasal
dari harta asal dikurangi bagian ibu mereka (1-1/8) = 7/8. Selanjutnya, bagian 7/8 itu dibagi kepada
kedua anak tersebut dengan ketentuan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan.

Maka bagian wati = 1 bagian, dan bagian budi 2 bagian. Maka harta ashabah tadi 7/8 akan dibagi
menjadi 3 bagian.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Wasiat dibuat saat pemilik harta masih hidup dan harta diberikan saat ia telah meninggal dunia.
Sedangkan Hibah atau hadiah merupakan harta yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, baik
itu ahli waris atau bukan, dimana harta tersebut diberikan pada saat pemilik harta masih hidup.

Jika dilihat dari sudut pandang hukum bernegara, arti hibah dapat dipermasalahkan jika wujud
pemberiannya berupa uang dengan jumlah yang banyak atau barang yang sangat bernilai. Dalam hal
itu, maka pengertian prosedur hibah dan pemberiannya harus disertai dengan bukti-bukti ketetapan
hukum resmi secara perdata agar tidak digugat oleh pihak ketiga, termasuk oleh orang-orang yang
termasuk ahli waris di kemudian hari.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1666 dan pasal 1667 dijelaskan bahwa
hibah atau pemberian kepada orang lain secara cuma-cuma tidak dapat ditarik kembali, baik berupa
harta bergerak maupun harta tidak bergerak saat pemberi masih hidup.
DAFTAR PUSTAKA

https://suduthukum.com/2017/07/macam-macam-hibah.html

https://jogja.tribunnews.com/2014/05/14/berapa-presentase-pembagian-wasiat#:~:text=Menurut
%20ketentuan%20hukum%20Islam%20pewarisan,suami%20dan%20harta%20bawaan
%20istri.&text=Dengan%20demikian%20karena%20pembuat%20wasiat,bersama%20karena%20tidak
%20adanya%20keturunan.

https://www.academia.edu/22367277/CONTOH_CONTOH_KASUS_HUKUM_WARIS_ISLAM
MAKALAH
Fiqih Mawaris
Pengelompokan Ahli Waris
Dosen pengampu: Hajjin Mabrur .M.S.I

Kelompok 5:
Edi (2019.2.8.1.01308)
Ela Erlinda (2019.2.8.1.01311)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA

BANGSA CIREBON

Jln. Widarasari III Tuparev Cirebon, telepon (0231)246215 Website:iaibbc.ac.id/


email: staicbbc.cirebon@gmail.com

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan bimbinganya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat dan
sebaik mungkin.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi nilai dan tugas dimata kuliah Fiqih Mawaris
membahas tentang." Pengelompokan Waris ".

Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang berarti dalam pengajaran
Fiqih Mawaris. Meskipun demikian, kami menyadari bahwa susunan dan materi yang
terkandung dalam makalah ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu, segala saran dan kritik
sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.

Cirebon...................

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengelompokan Ahli Waris

1. Ahli waris laki-laki dan perempuan

2. Ahli waris Sababiya dan Nasabiyah

3. Ahli waris Dzwil furudl dan Ashobah

4. Ahli waris Hajib dan Mahjub

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Islam telah mengatur semua aspek dalam kehidupan manusia, termasuk harta warisan. Ilmu yang
mempelajari pembagian harta warisan disebut sebagai ilmu mawaris atau faraidh.Tidak hanya
mempelajari pembagiannya, ilmu mawaris juga mempelajari pengelompokan ahli waris. Bagian
masing-masing ahli waris ditentukan berdasarkan syariat Islam yang bersumber dari Alquran dan
hadist.Islam mengatur pembagian warisan secara adil lewat aturan-aturan yang ada dalam Al-
Qur’an. Ahli waris adalah orang-orang yang akan menerima hak pemilikan harta (tirkah)
peninggalan pewaris. Ahli waris merupakan salah satu syarat yang seseorang dikatakan pewaris.
Hal ini sangat logis, karena proses waris-mewarisi dapat terjadi apabila ada yang menerima
warisan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskan pengaturan pelaksanaan tiga persoalan
pokok dalam keperdataan Islam yang berkaitan dengan kondisi sosial yang sangat mendesak,
yaitu perkawinan, kewarisan dan perwakafan.

Ahli waris merupakan salah satu syarat yang seseorang dikatakan pewaris. Hal ini sangat logis,
karena proses waris-mewarisi dapat terjadi apabila ada yang menerima warisan. Tanpa ada ahli
waris, maka harta peninggalan pewaris tidak dapat didistribusikan karena ahli warislah yang
akan menerima harta peninggalan tersebut.

Kelompok ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbeda dengan kelompok ahli waris
dalam kitab-kitab dan buku-buku fikih kewarisan terdahulu. Apakah perbedaan ini termasuk
reformulasi system pegaturan kelompok ahli waris yang ada dalam kitab-kitab dan buku-buku
fikih kewarisan yang ada sekarang ini. Kalau ini merupakan reformasi system pengaturan
kelompok ahli waris yang ada dalam kitab-kitab dan buku-buku fikih kewarisan yang ada
sekarang ini, kenapa dipasal yang lain masih dirumuskan pengaturan kelompok ahli waris sama
dengan kelompok ahli waris yang ada dalam kitab-kitab dan buku-buku fikih kewarisan sekarang
ini.Dalam hal ini pemakalah hanya akan membahas "pengelompokan Ahli Waris" berdasarkan
fiqih mawaris.dan pemakalah membatasi pembahasan sekitar" 1. Ahli waris laki-laki dan
perempuan.2. Ahli waris Sababiya dan Nasabiyah.3. Ahli waris Dzwil furudl dan Ashobah.4.
Ahli waris Hajib dan Mahjub."
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ahli Waris Laki-Laki dan Perempuan

Orang-orang yang berkemungkinan mendapat bagian dari harta peninggalan


seseorang jumlahnya sangat banyak 25 orang: 15 dari pihak laki-laki 10 dari pihak perempuan.

1) Para ahli waris dari pihak laki-laki


a. Anak laki-laki
b. Anak laki-laki dari laki-laki (yakni cucu dari pihak anak laki-laki, terus dalam garis
ke bawah, sepanjang pertaliannya melalui keturunan laki-laki).
c. Ayah
d. Kakek (ayah dari ayah), terus dalam garis ke atas sepanjang pertaliannya melalui
keturunan laki-laki).
e. Saudara laki-laki (seibu sebapak).
f. Saudara laki-laki (sebapak saja).
g. Saudara laki-laki (seibu saja).
h. Kemanakan (anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak).
i. Kemanakan (anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja).
j. Paman (saudara laki-laki Bapak yang seibu sebapak)
k. Paman (seydara laki-laki Bapak yang ssebapak saja).
l. Sepupu (anak laki-laki dari paman ayah yang seibu sebapak).
m. Sepupu (anak laki-laki dari paman ayah yang sebapak saja).
n. Suami.
o. Laki-laki yang memerdekakan si mayit dari perbidakan (yakni mantan majikannya),
jika si mayit tidak meninggalkan ahli waris.
2) Para ahli waris dari pihak perempuan
a. anak perempuan
b. anak permpuan dari anak laki laki dan seterusnya dalam garis ke bawah, sepanjang
pertalianya dengan si mayit masih melalui kerabat laki laki saja.
c. Ibu.
d. Nenek (ibu dari bapak).
e. Nenek (ibu dari ibu).
f. Saudara perempuan yang seibu sebapak
g. Saudara perempuan yang sebapak saja
h. Saudara perempuan yang seibu saja.
i. Istri.
j. Perempuan yang memerdekakan si mayit (yang mantan budaknya), jika si mayit tidak
meninggalkan ahli waris.
B. Ahli Waris Nasabiyah dan Sababiya
a. AHLI WARIS NASABIYAH
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada al-
muwarris didasarkan pada hubungan darah.Secara umum dapat dikatakan bahwasanya
ahli waris nasabiyah itu seluruhnya ada 21 yang terdiri dari 13 kelompok laki- laki dan 8
kelompok perempuan.
 Ahli waris laki-laki didasarkan urutan kelompoknya sebagai berikut:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki sampai seterusnya kebawah yaitu cicit laki- laki
buyut laki- laki dan seterusnya.
3) Bapak.
4) Kakek dari garis bapak.
5) Saudara laki-laki sekandung.
6) Saudara laki-laki seayah saja.
7) Saudara laki-laki seibu saja.
8) Anak laki-laki dari saudara laki- laki kandung.
9) Anak laki-laki dari saudara seayah.
10) Saudara laki-laki bapak yang seibu sebapak (kandung).
11) Saudara laki-laki bapak (dari bapak) yang sebapak saja.
12) Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak (paman) yang seibu sebapak
( kandung).
13) Anak laki-laki paman yang seayah.
 Adapun Ahli waris perempuan didasarkan kelompoknya ada 8 orang yaitu:
1) Anak perempuan.
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah, yaitu cicit
perempuan dari cucu laki- lak, puit perempuan dari cicit laki-laki dan sererusnya.
3) Ibu.
4) Nenek dari ibu.
5) Nenek dari bapak.
6) Saudara perempuan sekandung.
7) Saudara perempuan sebapak saja.
8) Saudara perempuan seibu saja.

Dilihat dari arah hubungan nasab antara orang yang meninggal dunia dengan orang
yang berhak memperoleh bagian harta peninggalan atau antara orang yang
mewariskan dengan orang yang mewarisi, maka ahli waris nasabiyah mennjadi tiga
macam yaitu: Furu’ul Mayit, Ushulul Mayit dan Al-Hawasyiy.

a) Furu’ul Mayit

Yang dimaksud yaitu anak keturunan orang yang meninggal dunia. Hubungan nasab antara
orang yang meninggal dunia dengan mereka itu adalah hubungan nasab menurut garis keturunan
lurus ke bawah (ahli waris terdekat).[5] Ahli waris yang termasuk dalam kelompok ini adalah:

a. Anak Laki-laki
b. Anak Perempuan
c. Cucu Laki-Laki
d. Cucu Perempuan dari garis laki-laki
e. Ushulul Mayit

Yang dimaksud dengan ushulul mayit yaitu orang-orang yang menyebabkan adanya lahirnya
orang-orang yang meninggal dunia. Atau dapat dikatakan pula yaitu orang-orang yang
menurunkan orang yang meninggal dunia. Hubungan nasab orang yang meninggal dunia dengan
mereka itu (ahli waris) hubungan nasab menurut garis keturunan lurus ke atas. Adapun yang
termasuk dalam Ushulul Mayit:
1) Ayah

2) Ibu

3) Kakek dari garis ayah

4) Nenek dari garis ibu

c) Al-Hawasyiy

Al-Hawasyiy ialah saudara, paman beserta anak mereka masing-masing. Hubungan nasab antara
orang yang meninggal dunia dengan mereka itu adalah hubungan nasab ke arah menyamping.
Adapun yang termasuk dalam ahli waris Al-Hawasyiy adalah:

1) Saudara Laki-Laki yang sekandung

2) Saudara Perempuan yang sekandung

3) Saudara Laki-Laki seayah

4) Saudara Perempuan yang seayah

5) Saudara Laki-Laki seibu

6) Saudara Perempuan seibu

7) Anak Laki-Laki dari saudara laki-laki sekandung

8) Anak Laki-Laki dari saudara laki-laki yang seayah

9) Paman sekandung

10) Paman sebapak

11) Anak laki-laki dari paman sekandung

12) Anak laki-laki dari paman seayah

b. AHLI WARIS SABABIYAH


Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan kewarisannya timbul karena
sebab-sebab tetentu, yaitu:

1. Sebab perkawinan.

2. Sebab memerdekakan hamba sahaya.

Sebagai ahli waris sababiyah, mereka dapat menerima bagian warisan apabila
perkawinan suami isteri tersebut sah, baik menurut ketentuan hukum agama dan memiliki bukti-
bukti yuridis artinya perkawinan mereka dicatat menurut hukum yang berlaku. Demikian juga
memerdekakan hamba sahaya hendaknya dapat dibuktikan menurut hukum.[6] Jadi, dalam
pembagian ahli waris sababiyah yang menerima warisan adalah suami, istri, laki-laki yang
memerdekakan si mayit dari perbudakan dan perempuan yang memerdekakan si mayit dari
perbudakan[7]. Kedudukan mereka sebagai ahli waris ditetapkan oleh firman Allah QS. An-nisa’
ayat 12 :

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”

C. Ahli waris Dzwil furudl dan Ashobah


a. Zawil Furudh
Zawil Furudh adalah kelompok ahli waris yang menerima bagian tertentu. Besarnya
bagian yang diterima ditentukan dalam Alquran dan hadist.
Yang termasuk ke dalam kelompok zawil furudh adalah ahli waris perempuan dan laki-
laki. Ada enam pembagian yang ditentukan, yaitu ½, ¼, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Adapun
ahli waris laki-laki dan perempuan adalah:
1) Ahli waris laki-laki:
6. Anak laki-laki
7. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah
8. Ayah
9. Kakek dari ayah dan terus ke atas
10. Saudara laki-laki kandung
11. Saudara laki-laki seayah
12. Saudara laki-laki seibu
13. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
14. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
15. Paman yang sekandung dengan ayah
16. Paman yang seayah dengan ayah
17. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
18. Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
19. Suami
20. Orang laki-laki yang memerdekakan budak
b. Ahli Waris Ashabah
Ahli waris ashabah adalah ahli waris yang tidak mendapatkan bagian tertentu yang
dijelaskan dalam al-Qur`an dan hadis atau bias juga disebut sebagai ahli waris yang
memperoleh bagian sisa. Sebagai ahli waris ashabah, terkadang ia memperoleh bagian
banyak, terkadang sedikit atau bahkan tidak memperoleh sama sekali karena telah habis
dibagikan kepada ahli waris Dzawu al-Furudh.

Ada tiga macam ahli waris ashabah, yaitu:


a) Ashabah bi Nafsih adalah ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima
bagian ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki kecuali mu’tiqah (perempuanyang
memerdekakan budak), mereka adalah:

1) Anak laki-laki

2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki


3) Ayah
4) Kakek (dari garis ayah)
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah

7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung


8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki dari paman sekandung

b) Ashabah bi al-Ghair ialah ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama ahli
waris lain yang telah menerima bagian sisa. Mereka adalah:

1) Anak perempuan bersama anak laki-laki

2) Cucu perempuan dari anak laki-laki bersama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki

3) Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung


4) Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah
c) Ashabah ma’a al-Ghair ialah ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama ahli waris
lain yang tidak menerima bagian sisa. Mereka adalah:
1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau
cucu perempuan dari anak laki-laki (seorang atau lebih).
2) Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan seorang perempuan atau cucu
perempuan dari anak laki-laki (seorang atau lebih).

D. Ahli waris Hajib dan Mahjub


Dari segi hubungan jauh dekatnya kekerabatan, ahli waris dapat dibedakan menjadi 2, yaitu
ahli waris hajib dan ahli waris mahjub :
a. Ahli waris hajib
Secara bahasa hijab artinya dinding atau penutup atau penghalang dari mendapatkan
bagian warisan menjadi tidak mendapat atau berkurang karena masih ada ahli waris yang
lebih dekat.Maka ahli waris hajib adalah ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya
menghalangi hak waris ahli waris yang jauh hubungan kekerabatannya. Perbuatan
menutupnya disebut hijab.
Contoh: Bapak menjadi penghalang bagi saudara perempuan. Hijab (penghalang
mendapatkan warisan) ada dua macam, yaitu :
o Hijab Nuqson, yaitu: mengurangi bagian ahli waris tertentu yang seharusnya diterima
ahli waris karena adanya ahli waris lain yang lebih dekat.
Contoh: Bagian suami menjadi berkurang karena ada anak. Suami berhak
mendapatkan setengah dari harta almarhum istrinya, akan tetapi karena adanya anak
yang ditinggalkan bersama, maka bagian suami berkurang menjadi seperempat bagian
saja.
o Hijab Hirman (menghalangi secara total), yaitu: dinding yang menyebabkan ahli
waris tidak mendapat bagian sama sekali karena ada ahli waris yang lebih dekat.
Contoh: Cucu laki-laki tidak mendapatkan bagian sama sekali karena ada anak laki-
laki.

b. Ahli waris mahjub

Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang jauh hubungan kekerabatannya, dan terhalang untuk
mewarisi
KESIMPULAN

Dalam pembagian ahli waris sababiyah yang menerima warisan adalah suami, istri, laki-laki
yang memerdekakan si mayit dari perbudakan dan perempuan yang memerdekakan si mayit
dari perbudakan .

jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara
perempuan , Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Ahli
waris kelompok ini semuanya laki-laki kecuali mu’tiqah Kakek Saudara perempuan sekandung
bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki Saudara
perempuan seayah bersama dengan seorang perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-
laki .
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris

Ade Fariz Fahrullah, Fiqh Mawaris, (Pekanbaru: Suska Press, t.t.), hlm. 27.

Hajar M, Polemik Hukum Waris, (Pekanbaru, Suska Press, 2014), hlm. 72.
Ade Fariz Fahrullah, Fiqh, hlm. 30.
MAKALAH FIQH MAWARIS

“FURUDUl MUQADDAROH DARI MASING-MASING AHLI WARIS YANG


MENDAPAT BAGIAN DENGAN ADA ATAU TIDAKNYA WASHIAT”

Dosen pengampu : Hajin Mabrur, M.S.I

Nama kelompok 6 :

4. Cicih paramida
5. Salmah
6. Rodhotul Jannah

KELAS 5F
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu”alaikumWr.Wb

Alhamdulillaahi rabbil’alamin, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT


karena hanya dengan hidyah-Nya, kami dapat menyelsaikan tugas kelompok ini. Shalawat
serta salam semoga Allah melimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Keluarga,
sahabatnya serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris. Makalah
ini berisi tentang Furudul Muqaddaroh dari masing-masing ahli waris yang mendapat bagian
dengan ada atau tidaknya Washiat.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan Makalah ini masih banyak kekurangan dan
keterbatasan, untuk itu dengan kerendahan hati kami siap menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun dari teman-teman sekalian.

Mudah-mudahan Makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua sebagai
pengetahuan.

Wassalamu”alaikumWr.Wb

Cirebon, 29 Agustus 2021


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................
1
C. Tujuan ......................................................................................................................
1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Bagian Furudul Muqaddaroh dan Ash Habul furuduhnya................................. 2
B. Bagian ahli waris ashobah ........................................................................................
3
C. Memprediksi hitungan harta tirkah menjadi harta waris setelah ada wasiat.. 4
BAB III: PENUTUP............................................................................................ 13
A. Kesimpulan......................................................................................... 13
B. Saran.................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Salah satu bentuk kesempurnaannya, Islam
mengatur kehidupan makhluk hidup terutama manusia dengan demikian detail,
diantaranya ialah mengenai hukum waris dalam keluarga yang dijelaskan oleh
alQur’an dan al-Hadits yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW sebagai
pedoman hidup. Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seorang
yang telah meninggal dunia kepada ahli warisannya. Dalam istilah lain waris disebut
juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam
kepada semua yang berhak menerimanya.1 Sedangkan menurut Amir Syarifudin
Hukum Kewarisan Islam dapat di artikan dengan “seperangkat peraturan tertulis
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau
berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang di akui dan di
posisi yakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.” 2 Sedangkan
waris diartikan sebagai “Berpindahnya hak atas kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa
harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal 1 Wirjono prodjodikoro,
Hukum Waris di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1991). Hlm: 8 2 Amir
Syarifudin. Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Prenada Media, 2004). Hlm: 6 2 secara
syarak. Di dalam hukum waris Islam yang dasar-dasar pokoknya terdapat di dalam
Al-Qur’an dan Hadis, tidak ditemukan adanya pasal tertentu yang memberikan
pengertian tentang hukum waris Islam.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana bagian Furudul Muqaddaroh dan Ash Habul fudhuhnya?
2. Bagaimana bagian ahli waris ashobah?
3. Bagaimana memprediksi hitungan harta tirkah menjadi harta waris setelah ada
wasiat?
C. Tujuan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah "fiqh mawaris" serta memberikan ilmu
pengetahuan tentang " Furudul Muqaddaroh dari masing-masing ahli waris yang
mendapat bagian dengan ada atau tidaknya Washiat".
BAB II

PEMBAHASAN

3. Bagian Furudul Muqaddaroh dan Ash Habul furudhunya


Ahli waris Ashhabul furudh ialah ahli waris yang mendapat bagian tertentu, bagian
secara jelas telah disebutkan dalam Al-qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 7, 11, 12, 33 dan
176. Bagian-bagian itu adalah, ½ (setengah), ¼ (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 1/3
(sepertiga), 2/3 (dua pertiga) dan 1/6 (seperenam). Adapun mereka yang mendapat
yang mendapat bagian ini adalah : (a) Anak perempuan, (b) Ayah, (c) Ibu, (d) Saudara
laki-laki dan saudara perempuan, baik saudara kandung, seayah maupun seibu, (e)
Duda, dan (f) janda.
Diantara ahli waris ini pada kesempatan tertentu tetap sebagai ahli waris
ashhabul furudh, tetapi pada kesempatan lain bukan berkedudukan sebagai ahli waris
ashhabul furudh, ahli waris yang tetap berkedudukan sebagai ashhabul furudh,
diantaranya ialah ibu, duda, dan janda. Sedangkan ahli waris pada kesempatan lain
dapat berkedudukan bukan ashhabul furudh, ialah, anak perempuan, ayah, saudara
laki-laki dan saudara perempuan.
Ahli waris tersebut mendapatkan bagian setengah dengan ketentuan atau syarat
sebagai berikut :
a. Suami mendapat bagian setengah dengan ketentuan bahwa ia tidak mewarisi
bersama far‟ul warits yaitu keturunan pewaris yang berhak mendapatkan bagian,
seperti : anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu
perempuan pancar laki-laki.
b. Anak perempuan mendapat bagian setengah dengan ketentuan bahwa ia seorang
diri (tidak ada anak perempuan selainnya) dan tidak mewarisi bersama anak laki-laki
yang menjadikannya sebagai penerima „ashabah bil ghair.
c. Cucu perempuan pancar laki-laki mendapat bagian setengah dengan ketentuan
bahwa ia seorang seorang diri (tidak ada cucu perempuan pancar laki-laki selainnya)
dan tidak mewarisi bersama cucu laki-laki pancar laki-laki yang menjadikannya
sebagai penerima „ashabah bil ghair, serta tidak mewaris bersama waladu shulbi yaitu
anak laki-laki dan anak perempuan.
d. Saudara prempuan sekandung mendapat bagian setengah dengan ketentuan bahwa
ia seorang diri (tidak ada saudara perempuan sekandung selainnya) dan tidak mewaris
bersama saudara laki-laki sekandung yang menjadikannya sebagai penerima „ashabah
bil ghair, serta tidak mewaris bersama bersamma dan far‟ul waris, yaitu anak laki-
laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar
laki-laki.
e. Saudara perempuan sebapak mendapat bagian setengah dengan ketentuan bahwa ia
seorang diri (tidak ada saudara perempuan sebapak selainnya) dan tidak mewaris
bersama saudara laki-laki sebapak yang menjadikannya sebagai penerima „ashabah
bil ghair, serta tidak mewaris bersama bapak, far‟ul waris (anak laki-laki, anak
perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki), dan
saudara laki-laki atausaudara perempuan sekandung.

2. Ahli waris „ashhabul furudh yang berhak mendapatkan bagian seperempat adalah
a. Suami, dan
b. Isteri atau para isteri.
Suami dan isteri atau para isteri mendapatkan bagian seperempat dengan ketentuan
atau syarat sebagai berikut :
a. Suami mendapat bagian seperempat dengan ketentuan bahwa ia mewaris bersama
far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu
perempuan pancar laki-laki).
b. Isteri atau para isteri mendapat bagian seperempat dengan ketentuan bahwa ia atau
mereka tidak mewaris bersama far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu
laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki)
3. Ahli waris „ashhabul furudh yang berhak mendapatkan bagian dua pertiga : adalah
a. Dua orang anak perempuan atau lebih.
b. Dua orang cucu perempuan pancar laki-laki atau lebih.
c. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, dan
d. Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih.
Ahli waris berhak mendapatkan bagian tersebut dengan ketentuan dan syarat sebagai
berikut :
a. Dua orang anak perempuan atau lebih mendapatkan bagian dua pertiga dengan
ketentuan bahwa mereka tidak mewaris bersama anak laki-laki yang menjadikannya
sebagai penerima „sshhabah bil ghair.
b. Dua orang cucu perempuan pancar laki-laki atau lebih mendapat bagian dua pertiga
dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewarisi bersama cucu laki-laki pancar laki-
laki yang menjadikannya sebagai penerima „ashhabah bil ghair, serta tidak mewaris
bersama waladu shulbi yaitu anak laki-laki dan anak perempuan.
c. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih mendapat bagian dua pertiga
dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewaris bersama saudara laki-laki sekandung
yang menjadikannya sebagai penerima „ashhabah bil ghair, serta tidak mewaris
bersama bapak dan far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki
pancar laki-laki dan cucu perempuan pancar laki-laki).
d. Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih mendapat bagian dua pertiga
dengan ketentuan bahhwa mereka tidak mewaris bersama saudara laki-laki sebapak
yang menjadikannya sebagai penerima „ashhabah bil ghair, serta tidak mewaris
bersama bapak, far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar
laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki), serta saudara laki-laki atau
perempuan sekandung.
4. Ahli waris ahhabul-furudh yang berhak mendapatkan bagian sepertiga adalah:
a. Ibu
b. Dua orang saudara, baik laki-laki maupun perempuan, seibu atau lebih.
Mereka mendapatkan bagian tersebut dengan ketentuan atau syarat sebagai berikut :
a. Ibu mendapatkan bagian sepertiga dengan ketentuan bahwa ia tidak mewaris
bersama far‟ul waris (anak laki-laki, anak peremppuan, cucu laki-laki pancar laki-
laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki) atau beberapa (dua orang atau lebih)
saudara, baik laki-laki, perempuan, maupun campuran; baik sekandung, sebapak,
seibu, maupun campuran; baik mereka dalam keadaan mewaris maupun terhijab
(terhalang mewaris). Dalam hal mewaris bersama bapak dan salah seorang suami atau
istri, ibu mendapat bagian tsulutsul baqi (sepertiga dari sisa harta peninggalan serta
diambil bagian suami atau istri).
b. Dua orang saudara laki-laki/perempuan seibu, atau lebh mendapat bagian sepertiga
dengan ketentuan bahwa mereka tidak mewaris bersama far‟ul waris (anak laki-laki,
anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-
laki) atau ashhlu-dzakarin yaitu bapak dan kakek.
5. Ahli waris ashhabul-furudh yang berhak mendpatkan bagian seperenam adalah:
a. Bapak
b. Ibu
c. Kakek
d. Nenek dari pihak bapak
e. Nenek dari pihak ibu
f. Saudara perempuan sebapak atau lebih
g. Saudara laki-laki atau perempuan seibu, dan cucu perepuan pancar laki-laki atau
lebih.
Mereka mendapat bagian tersebut dengan ketentuan atau syarat sebagai berikut:
a. Bapak mendapat bagian seperenam engan ketetuan bahwa ia mewaris bersama
far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu
perempuan pancar laki-laki).
b. Ibu medapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia mewaris bersama far‟ul
waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu
perempuan pancar laki-laki), atau beberapa (dua orang atau lebih) saudara, baik laki-
laki, perempuan, maupun campuran; baik sekandung, sbapak, seibu, maupun
cmpuran; mereka dalam keadaan mewaris atau terhijab.
c. Kakek mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia mewaris bersama
far‟ul waris(anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu
perempuan pancar laki-laki), tetapi tidak mewaris bersama bapak atau kakek yang
lebih dekat dengan si pewaris.
d. Nenek dari pihak bapak mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia
tidak mewaris bersama bapak, ibu, atau nenek yang lebih dekat dengan si pewaris,
baik dari pihak bapak maupun pihak ibu.
e. Nenek dari pihak ibu mendapat bagian seperenam dengan ketentuan bahwa ia tidak
mewaris bersama ibu atau nenek dari pihak ibu yang lebih dekat si pewaris.
f. Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) mendapat bagian seperenam
dengan ketentuan bahwa ia atau mereka mewaris bersama soranng saudara perempuan
sekandung yang mempunyai bagian setengah, yakni manakala ia tidak bersama bapak,
far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu
perempuan pancar laki-laki) dan saudara laki-laki sekandung, serta tidak bersama
saudara laki-laki sebapak yang menjadikannya sebagaimana menerima „ashhabah biil
ghair.
g. Saudara laki-laki atau perempuan seibu mendapat bagian seperenam dengan
ketentuan bahwa ia hanya seorang diri (tidak ada saudara selainnya), dan tidak
mewaris bersama far‟ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar
laki-laki, dan cucu perempuan pancar laki-laki), atau bersama ashlu dzakarin (bapak
dan kakek).
h. Cucu perempuan pancar laki-laki (seorang atau lebih) mendapat bagian seperenam
dengan ketentuan bahwa ia tidak atau mereka tidak mewaris bersama seorang anak
perempuan yang mempunyai bagian setengah, yakni manakala tidak bersama anak
laki-laki; atau tidak bersama dengan cucu lakii-laki pancar laki-laki yang
menjadikannya sebagai penerima „ashhabah bil ghair.
4. Bagian ahli waris ashobah
Ashabah, adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan, kelompok ahli waris
dalam paham ahli sunnah, dikelompokkan tiga macam, yaitu Pertama, ahli waris
ashabah bin nafsi, yaitu ahli waris ashabah ahli waris yang tidak bersama-sama
dengan ahli waris yang lain, kelompok ahli waris ini adalah: (1). Anak laki-laki, (2)
cCucu, (3) Saudara kandung, (4) Saudara seayah, dan (5) Paman. Kedua, ahli waris
„ashabah bil ghair adalah seorang atau sekelompok anak perempuan bersama seorang
atau sekelompok anak laki-laki, dan seorang atau sekelompok saudara perempuan
dengan seorang atau sekelompok saudara laki-laki. Manakala kelompok laki-laki
tersebut menjadi ahli waris „ashabah bil nafsi. Ketiga, ahli waris „ashabah ma‟al
ghairadalah seorang atau sekelompok saudara perempuan, baik sekandung maupun
sebapak, yang mewaris bersama-sama dengan seorang atau sekelompok anak
perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, manakala tidak ada anak laki-laki,
cucu laki-laki pancar laki-laki, atau bapak, serta tidak ada saudaranya yang laki-laki
yang menjadikannya sebagai ahli waris „ashabah bil ghair.
5. Memprediksi hitungan harta tirkah menjadi harta waris setelah ada wasiat
Sedekah atau shadaqah adalah mengamalkan atau menginfakan harta di jalan Allah.
Namun, kegiatan ini bukan hanya semata-mata menginfakan harta di jalan Allah atau
menyisihkan sebagian uang pada fakir miskin, tetapi sedekah juga mencakup segala
macam dzikir (tasbih, tahmid, dan tahlil) dan segala macam perbuatan baik lainnya.
Pembagian Harta Waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan dari orang

yang telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan

kerabat-kerabatnya. Pembagian harta waris dalam Islam diatur dalam Al-Qur an,
yaitu pada An Nisa yang menyebutkan bahwa Pembagian harta waris dalam islam
telah ditetukan ada 6 tipe persentase pembagian harta waris, ada pihak yang
mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3),
sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

 Penentuan ahli waris yang ada dan berhak menerima warisan


 Penentuan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri 1/4, Ibu 1/6, anak
laki-laki sisa (ashabah) dan seterusnya.
 Penentuan Asal Masalah, contoh dari penyebut 4 dan 6 Asal Masalahnya
24
 Penentuan Siham masing-masing ahli waris, contoh istri 24 x 1/4 = 6 dan
seterusnya

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam hukum kewarisan dijelaskan sebagai


hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan


Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta
peninggalan.Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
BAB III

PENUTUP

E. Kesimpulan
Bagian Furudul Muqaddaroh dan Ash Habul furudhunnya Ahli waris Ashhabul
furudh ialah ahli waris yang mendapat bagian tertentu, bagian secara jelas telah
disebutkan dalam Al-qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 7, 11, 12, 33 dan 176.Ahli waris
yang tetap berkedudukan sebagai ashhabul furudh, diantaranya ialah ibu, duda, dan
janda. Sedangkan ahli waris pada kesempatan lain dapat berkedudukan bukan
ashhabul furudh, ialah, anak perempuan, ayah, saudara laki-laki dan saudara
perempuan.Ashabah, adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan, kelompok
ahli waris dalam paham ahli sunnah, dikelompokkan tiga macam, yaitu Pertama, ahli
waris ashabah bin nafsedua, kedua ahli waris „ashabah bil ghair Ketiga, ahli waris
„ashabah ma‟al emprediksi hitungan harta tirkah menjadi harta waris setelah ada
wasiat.

2. Saran

Kami sangat menyadari bahwa tulisan atau hasil karya kami masih banyak memiliki
kekurangan, untuk itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca
agar kami bisa terus memperbaiki kekurangan atau kesalahan yang ada di dalam
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://eki-blogger.blogspot.com/2012/03/tafsir-ayat-tentang-keuangan-publik.html?
m=1
2. https://blog.kitabisa.com/pengertian-infaq-dan-pembagian-dalam-islam/
3. https://www.wujudaksinyata.org/news/pengertian-sedekah-keutamaan-dan-macam-
macam-sedekah
4. https://rumaysho.com/83-sedekah-tidaklah-mesti-dengan-harta.html
5. https://rumaysho.com/83-sedekah-tidaklah-mesti-dengan-harta.html
MAKALAH FIQH MAWARIS
Cara Menghitung Pembagian Harta Waris
Dosen Pengampu : Hajjin Mabrur, M.S.I

Disusun Oleh :

Kelompok 7

1. Aghnal Ghina
2. Dani Daveto
3. Muhamad Syahrul

Program Studi Ekonomi Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA


CIREBON
2021
Jl. Widarasari III, Sutawinangun Kedawung  0231246215 Cirebon 45153
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga

kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Kebutuhan dengan pendekatan baru, prioritas

pembangunan”

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah

memberikan kesempatan dan membantu penulis dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyajian dan pembahasan masalah dalam

makalah ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf dan mengharapkan saran dan

kritik yang sifatnya membangun dari para pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Cirebon, 04 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii

BAB I ........................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................... 1
BAB II .......................................................................................................................... 2

PEMBAHASAN ............................................................................................................ 2

A. Cara Menghitung Pembagian Harta Waris .................................................... 2


1. Muwaris Tidak Meninggalkan Ahli Waris ................................................ 2
2. Semua Kelompok Ahli Waris Laki-laki ada tanpa Ahli Waris Perempuan atau
Sebaliknya ............................................................................................... 2
3. Semua Ahli Waris Laki-laki maupun Perempuan Ada ............................. 6
BAB III ......................................................................................................................... 7

PENUTUP .................................................................................................................... 7

Kesimpulan ................................................................................................................. 7

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 8


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sebaik-baiknya agama adalah agama Islam, kitab suci yang terindah adalah kitab suci
Al-qur’an, dan sebaik-baiknya akhlak manusia ada pada akhlak nabi kita junjungan
dan panutan seluruh umat Islam yakni Muhammad SAW. Dalam Islam segala yang
ada sudah terperinci, dari halal dan haram makanan, minuman, harta yang diperoleh,
bahkan harta peninggalan (warisan) telah dicantumkan dalam Al-qur’an
pembagiannya.

Sengketa harta warisan masih sering terjadi. Bahkan seseorang tidak segan untuk
memutus tali silaturahmi karena masalah ini. Jika setiap Muslim mengetahui hukum
pembagian harta warisan dalam Islam, niscaya hal ini dapat dihindari.

Berdasarkan Pasal 171 huruf Kompilasi Hukum Islam huruf e, yang dimaksud harta
waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan
untuk keperluan pewaris selama sakit hingga meninggal, biaya pengurusan jenazah,
pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat.

B. Rumusan masalah:
1. Bagaimana menghitung pembagian harta waris jika muwaris tidak meninggalkan ahli
waris?
2. Bagaimana menghitung pembagian harta waris jika muwaris memiliki seluruh ahli
waris laki-laki tanpa ahli waris perempuan begitupun sebaliknya?
3. Bagaimana menghitung pembagian harta waris jika muwaris memiliki seluruh ahli
waris baik laki-laki maupun perempuan?

C. Tujuan Penulisan :
1. Agar mengetahui pembagian harta waris jika muwaris tidak meninggalkan ahli waris
2. Agar mengetahui pembagian harta waris jika muwaris memiliki seluruh ahli waris
laki-laki tanpa ahli waris perempuan begitupun sebaliknya
3. Agar mengetahui pembagian harta waris jika muwaris memiliki seluruh ahli waris
baik laki-laki maupun perempuan

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Cara Menghitung Pembagian Harta Waris


1. Muwaris tidak meninggalkan ahli waris.

Kematian adalah hal yang sangat pasti akan kedatangannya, bahkan seluruh takdir yang
telah dicantum di lauh-ul-mahfudz seperti jodoh dan kekayaan tidak akan didapatkan
kedatangannya jika kematian telah mendahuluinya. Bila telah datang ajalnya maka
kemanakah kita akan lari?. Bahkan tembok yang tinggi dan tebal pun tidak akan melindungi
kita dari kematian.

Jika ada orang yang meninggal dan dia tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan
Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan
kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).

Dalam Al-quran telah ditetapkan tentang kepatuhan masyarakat kepada pemimpinnya,


apabila ada hukum yang berlaku maka dia harus melaksanakannya, selagi hukum yang ada
tidak menyimpang dari kewajiban kita sebagai umat muslim dan tidak melakukan larangan
Allah dan rasul-Nya.

2. Semua kelompok ahli waris laki-laki ada tanpa ahli waris perempuan atau sebaliknya.

‫ َفَم ا َأْبَقِت الَفراِئُض َفَأِلْو لى َر ُج ٍل َذ َك ٍر‬،‫َأْلِح ُقوا الَفراِئَض بَأْهِلها‬


“Berikan warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan sisanya untuk orang
laki-laki yang paling berhak.” (Muttafakun alaih)

Harta warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta
maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang
masih hidup.

‫ِذ‬ ‫ِل‬
‫ا َتَر َك ا ْل َو ا ٰد ِن َو ا َاْل ْقَر ُبْو َن ۗ َو ا َّل ْي َن َع َق َد ْت‬ ‫َو ِل ُك ٍّل َج َع ْل َن ا َم َو ا ِل َي ِم َّم‬
‫ال ّٰل َه َك ا َن َع ٰل ى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِه ْي ًد ا‬ ‫َا ْي َم ا ُنُك ْم َف ٰا ُتْو ُه ْم َن ِص ْي َبُه ْم ۗ ِا َّن‬
“Dan untuk tiap orang kami adakan ahli waris dari peninggalan ibu bapak dan karib
kerabat yang terdekat dan orang-orang yang telah terikat janji setia dengan kamu,
maka barikanlah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan
sesuatu.” (QS. 4/An Nisa’:33)

Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan
manusia, termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang
2
pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan
bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Dalam kehidupan di masyarakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan
pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan.
Pembagian harta warisan di dalam Islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-
adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan.
Dengan adanya system pembagian harta warisan tersebut menunjukkan bahwa Islam
adalah agama yang tertib, teratur dan damai.
Karena sensitif atau rawannya masalah harta warisan itu, maka dalam agama islam
ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang warisan dan perhitungannya.
Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.

Berikut adalah surat-surat yang menjelaskan pembagian harta warisan ;

‫ِم‬ ‫ِل ِن‬ ‫َۖن ِل ِء ِص‬ ‫ِل ِن‬ ‫ِل ِل ِص‬


‫لِّر َج ا َن ْيٌب َّمِّما َتَر َك اْلَو ا ٰد َو اَاْلْقَر ُبْو َو لِّنَس ۤا َن ْيٌب َّمِّما َتَر َك اْلَو ا ٰد َو اَاْلْقَر ُبْو َن َّمِما َق َّل ْن ُه َاْو‬
‫َك ُثَر ۗ َنِص ْيًبا َّم ْف ُر ْو ًض ا‬
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya,
dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-nisa :
7)

‫ُيْو ِص ْيُك ُم الّٰل ُه ِف َاْو اَل ِد ُك ْم ِللَّذ َك ِر ِم ْث ُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيِنْي ۚ َفِاْن ُكَّن ِنَس ۤاًء َفْو َق اْثَنَتِنْي َفَلُه َّن ُثُلَثا َم ا َتَر َك ۚ َو ِاْن‬
‫ِا‬ ‫ِا‬ ‫ِح ٍد‬ ‫ِه ِل‬ ‫ِح‬
‫َك اَنْت َو ا َد ًة َفَلَه ا الِّنْص ُف ۗ َو َاِلَبَو ْي ُك ِّل َو ا ِّم ْنُه َم ا الُّس ُد ُس َّمِما َتَر َك ْن َك اَن َلهٗ َو َلٌد ۚ َف ْن ْمَّل َيُك ْن‬
ۗ ‫َّل ٗه َو َلٌد َّو َو ِر َثهٓٗ َاَبٰو ُه َفُاِلِّم ِه الُّثُلُث ۚ َفِاْن َك اَن َلهٓٗ ِاْخ َو ٌة َفُاِلِّم ِه الُّس ُد ُس ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ِص ْي َهِبٓا َاْو َدْيٍن‬
‫ٰاَبۤاُؤ ُك ْم َو َاْبَنۤاُؤ ُك ْۚم اَل َتْد ُرْو َن َاُّيُه ْم َاْقَر ُب َلُك ْم َنْف ًعاۗ َفِر ْيَض ًة ِّم َن الّٰلِهۗ ِاَّن الّٰل َه َك اَن َعِلْيًم ا َح ِكْيًم ا‬

Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-


anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka
bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua
ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang
meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (An-nisa 11)

3
‫ِد‬ ‫ِم ْۢن‬ ‫ِا‬ ‫ِا‬ ‫ِن‬
‫۞ َو َلُك ْم ْصُف َم ا َتَر َك َاْز َو اُج ُك ْم ْن ْمَّل َيُك ْن ُهَّلَّن َو َلٌد ۚ َف ْن َك اَن ُهَلَّن َو َلٌد َفَلُك ُم الُّر ُبُع َّمِما َتَر ْك َن َبْع‬
‫ِا‬ ‫َّل‬ ‫ِا‬ ‫ِص ٍة ِص‬
‫َو َّي ُّيْو َنْي َهِبٓا َاْو َد ْيٍن ۗ َو ُهَلَّن الُّر ُبُع َّمِما َتَر ْك ُتْم ْن ْمَّل َيُك ْن ُك ْم َو َل ٌد ۚ َف ْن َك اَن َلُك ْم َو َل ٌد َفَلُه َّن الُّثُمُن‬
‫ِا‬ ‫ْۢن ِد ِص ٍة‬
‫َّمِما َتَر ْك ُتْم ِّم َبْع َو َّي ُتْو ُص ْو َن َهِبٓا َاْو َدْيٍن ۗ َو ْن َك اَن َر ُج ٌل ُّيْو َر ُث َك ٰل َل ًة َاِو اْم َر َاٌة َّو َل هٓٗ َاٌخ َاْو ُاْخٌت‬
‫َفِلُك ِّل َو اِح ٍد ِّم ْنُه َم ا الُّس ُد ُۚس َفِاْن َك اُنْٓو ا َاْك َثَر ِم ْن ٰذ ِلَك َفُه ْم ُش َر َك ۤاُء ىِف الُّثُلِث ِم ْۢن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُّيْو ٰص ى‬
‫ٓا َا َد ٍۙن َغ َض ۤاٍّر ۚ ِص َّيًة ِّم الّٰلِهۗ الّٰل َعِلْي ِلْيٌۗم‬
‫َو ُه ٌم َح‬ ‫َن‬ ‫َو‬ ‫َهِب ْو ْي ْيَر ُم‬
Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang
mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi)
wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan
(seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian
yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar)
utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah
Maha Mengetahui, Maha Penyantun. (An-nisa: 12)

Dengan ringkasan pembagian itu adalah, ½ (setengah), ¼ (seperempat), 1/8 (seperdelapan),


1/3 (sepertiga), 2/3 (dua pertiga) dan 1/6 (seperenam).

Dan pembagian pihak-pihak yang berhak menerima warisan di antaranya :

 Ahli waris laki-laki ada 15 orang, yaitu sebagai berikut:


a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah
c. Bapak
d. Kakak dari bapak dan terus keatas
e. Saudara laki-laki sekandung
f. Saudara laki-laki sebapak
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
i. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
j. Paman yang sekandung dengan bapak
k. Paman yang sebapak dengan bapak
l. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak
4
m. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan si pewaris

5
Jika seluruh ahli waris yang ada hanya laki-laki atau ke lima belas ahli waris itu ada,
maka yang dapat menerima warisan hanya tiga, yaitu suami, anak laki-laki, dan
bapak.
Dengan pembagian sebagai berikut:
 Suami
½ jika tidak memiliki anak
¼ jika mempunyai anak
 Anak laki-laki
Dapat memiliki seluruh harta peninggalan yang mewarisi, dengan
syarat dia anak tunggal, dan harta warisannya telah dibagi kepada
orang-orang yang berhak menerimanya dalam al-quran.
 Bapak
1/6 jika yang mewarisi memiliki anak.

 Ahli waris perempuan ada 10, yaitu sebagai berikut:


a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki
c. Ibu
d. Nenek dari ibu
e. Nenek dari bapak
f. Saudara perempuan kandung
g. Saudara perempuan bapak
h. Saudara perempuan seibu
i. Istri
j. Wanita yang memerdekakan si pewaris

Jika sepuluh orang ahli waris perempuan itu ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya lima orang yaitu, Istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan, dan
saudara perempuan kandung.
 Istri
¼ jika yang mewarisi tidak memiliki anak
1/8 jika yang mewarisi memiliki anak
 Anak perempuan
½ apabila dia anak tunggal
2/3 apabila anak perempuan lebih dari dua
 Ibu
1/3 jika yang mewarisi tidak memiliki anak dan tidak memiliki saudara
kandung
1/6 jika yang mewarisi memiliki anak, cucu, atau saudara kandung
 Cucu perempuan
½ jika dia sendirian dan pewaris tidak memiliki pewaris lainnya
2/3 apabila pewaris tidak memiliki anak laki-laki dan tidak ada
pewaris lain
6
1/6 apabila yang mewarisi hanya memiliki satu anak perempuan yang
mendapat bagian 2/3 dan tidak ada pewaris lainnya

3. Semua ahli waris baik laki-laki maupun perempuan ada

Dan jika kedua puluh lima ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya
lima orang saja yaitu, suami atau istri, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak
perempuan.

7
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit hingga meninggal, biaya pengurusan
jenazah, pembayaran utang, dan pemberian untuk kerabat.

Pembagian harta warisan dalam Islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya
agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan. Dengan
adanya system pembagian harta warisan tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah
agama yang tertib, teratur dan damai.

8
MAKALAH FIQH MAWARIS

Cara Menghitung Pembagian Harta Waris

Dosen Pengampu : Hajjin Mabrur, M.S.I

Disusun Oleh :

Kelompok 8

4. Eltania Nur Inaya


5. Nur Fauzziyah

Program Studi Ekonomi Syariah


9
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON

2021
Jl. Widarasari III, Sutawinangun Kedawung  0231246215 Cirebon 45153

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Kebutuhan dengan
pendekatan baru, prioritas pembangunan”

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang


telah memberikan kesempatan dan membantu penulis dalam proses penyusunan makalah
ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyajian dan pembahasan masalah


dalam makalah ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu penulis mohon maaf dan
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari para pembaca untuk
perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

10
Cirebon, 15 September 2021

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................2

DAFTAR ISI ..................................................................................................................3

BAB I ...........................................................................................................................4

11
PENDAHULUAN ..........................................................................................................4

D. Latar Belakang ...............................................................................................4


E. Rumusan Masalah .........................................................................................4
F. Tujuan Penulisan ...........................................................................................4
BAB II ..........................................................................................................................5

PEMBAHASAN ............................................................................................................5

B. Cara Menghitung Pembagian Harta Warisan.................................................5


4. Cara memilih metode perhitungan yang tepat dalah ahli waris…...6
5. Metode perhitungan biasa dalam pembagian harta waris…………6
6. Metode perhitungan Aul dalam pembagian harta waris…………..8
7. Metode perhitungan Rad dalam pembagian harta waris ………… 9

BAB III .........................................................................................................................10

PENUTUP ....................................................................................................................10

Kesimpulan .................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 12

12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembagian warisan dalam Islam mendapat perhatian besar karena pembagian warisan sering
menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya.
Hal ini tidak lepas dari kesalahan dalam menghitung pembagian harta waris yang disebabkan oleh
ketidak telitian dan kurangnya pemahaman masyarakat dalam menghitung harta waris.

Dalam kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi pemicu pertikaian yang
menimbulkan keretakan hubungan keluarga. Pertikaian tersebut bisa jadi disebabkan oleh keserakahan
manusia atas harta warisan yang ditinggalkan, namun bisa karena kekurang tahuan pihak-pihak yang
bertikai tentang hukum pembagian harta warisan. Dikarenakan banyak orang Islam yang tidak
menggunakan lagi sistem pembagian waris menurut syari’at Islam.

Hal yang melandasi penulisan makalah ini adalah untuk memperkenalkan metode pembagian waris yang
sesuai dengan syariat islam agar tidak ada kekliruan lagi dalam masyarakat khususnya dalam proses
pembagian waris

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Cara memilih metode perhitungan yang tepat dalah ahli waris?
b. Bagaimana Metode perhitungan biasa dalam pembagian harta waris?
c. Bagaimana Metode perhitungan Aul dalam pembagian harta waris?
d. Bagaimana Metode perhitungan Rad dalam pembagian harta waris ?

C. Tujuan Masalah
a) Untuk mengetahui Cara memilih metode perhitungan yang tepat dalah ahli
waris
b) Untuk mengetahui Metode perhitungan biasa dalam pembagian harta waris
c) Untuk mengetahui Metode perhitungan Aul dalam pembagian harta waris
d) Untuk mengetahui Metode perhitungan Rad dalam pembagian harta waris

BAB II
PEMBAHASAN

A. Cara memilih metode perhitungan yang tepat dalam ahli waris

F. Satrio Wicaksono, S.H. dalam buku Hukum Waris: Cara Mudah & Tepat Membagi Harta
Warisan (hal.23) memaparkan bahwa ahli waris dalam KHI dapat dibedakan menjadi dzul faraid, asabah,
dan dzul arham, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Asabah adalah ahli waris yang memperoleh sisa bagian warisan setelah ahli waris dzul
faraid mengambil bagiannya.

2. Dzul arham adalah ahli waris yang mewaris jika tidak ada ahli waris dzul faraid dan ahli waris asabah,
atau apabila hanya ada janda atau duda selaku ahli waris dzul faraid.

3. Dzul faraid adalah ahli waris yang bagian warisnya telah ditentukan di dalam Al Qur’an.

Tata Cara pembagian Harta Waris

 Penentuan ahli waris yang ada dan berhak menerima warisan


 Penentuan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri 1/4, Ibu 1/6, anak laki-laki sisa
(ashabah) dan seterusnya.
 Penentuan Asal Masalah, contoh dari penyebut 4 dan 6 Asal Masalahnya 24
 Penentuan Siham masing-masing ahli waris, contoh istri 24 x 1/4 = 6 dan seterusnya

Langkah-langkah untuk menghitung bagian masing-masing ahli waris

1. Hitung Total Harta Waris yang Ditinggalkan


2. Hitung Bagian Harta Waris yang Diperoleh Setiap Ahli Waris
B. Metode perhitungan biasa dalam pembagian harta waris

Cara menghitung bagian harta waris

 Anak perempuan bersama anak laki-laki maka bagian anak laki-laki adalah 2:1 dengan anak
perempuan.
 Anak Perempuan yang cuman seorang diri berhak dapat warisan separuh bagian
 Anak perempuan berjumlah dua atau lebih berhak dapat dua pertiga bagian
 Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tak meninggalkan anak, namun jika pewaris
meninggalkan anak ayah mendapat seperenam bagian.
 Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih, akan tetapi bila tidak
ada anak atau dua orang saudara atau lebih ibu mendapat sepertiga bagian.
 Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisi sesudah diambil janda atau duda kalau bersama-sama
dengan ayah.
 Duda mendapat separuh bagian jika pewaris tak meninggalkan anak dan bila pewaris
meninggalkan anak, duda mendapat seperempat bagian.
 Janda mendapat seperempat bagian jika pewaris tak meninggalkan anak, dan jika pewaris
meninggalkan anak janda mendapat seperdelapan bagian.
 Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian.
 Jika mereka ada dua orang atau lebih, mereka bersama-sama dapat sepertiga bagian.
 Kalau seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah yang mana ia mempunyai satu
saudara perempuan kandung atau seayah, ia mendapat separuh bagian.
 Kalau saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau
seayah dua orang atau lebih, mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
 Kalau saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah,
bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
Contoh perhitungan biasa dalam pembagian harta waris

jika mayit meninggalkan harta Rp 220 juta, meninggalkan ahli waris 3 anak laki-laki (LK) dan 5 Anak
perempuan (PR) Berapakah Bagian masing-masing?

Maka penyelesaianya :

Anak lk dan Anak pr dapat asobah semuanya, klo yang laki-laki dapat ashobah binafsi (dapat bagian sisa
karena dirinya sendiri) klo prempuan dapat ashobah bil ghoiri (dapat bagian sisa karena bersama
saudara laki-laki) untuk bagiannya lk = 2 dan pr 1 jadi 2 : 1 karenanya untuk menyelesaikannya:

Anak Lk : 2 X 3 = 6
Anak PR : 1 X 5 = 5

Jadi jumlahnya 11 (6+5) karenanya tinggal harta 220 JT : 11 = 20JT

Jadi masing-masing anak Lk (6 X 20 JT) dapat bagian 120 JT : 3 = 40 JT

Dan anak Pr nya sisa dari (5 X 20 JT) dapat bagian 100 JT : 5 = 20 JT

C. Metode perhitungan Aul dalam pembagian harta waris

Pengertian Aul

Secara harfiyah, aul artinya bertambah atau meningkat. Kata aul ini terkadang juga berarti,
‘cenderung pada berbuat aniaya (zalim). Dalam pengertian istilah fiqh, aul adalah jumlah bagian ahli
waris yang berhak mendapat warisan lebih banyak dari pada harta peninggalan.

Dikatakan aul, karena dalam praktek pembagian warisan, angka asal masalah harus ditingkatkan
atau dinaikkan sebesar angka bagian yang diterima oleh ahli warisan yang ada. Langkah ini diambil,
karena apabila pembagian warisan diselesaikan menurut ketentuan baku secara semestinya, maka akan
terjadi kekurangan harta. Adanya kelebihan jumlah bagian para ahli waris dari jumlah harta yang
tersedia (asal masalah) akan mengakibatkan ahli waris menerima warisan lebih kecil dari yang
seharusnya.
Asal Masalah Aul

Asal masalah dalam menghitung pembagian warisan ada 7 (tujuh) yang dihasilkan dari 6 (enam)
bagian pasti yang telah ditentukan. Ketujuh asal masalah tersebut adalah bilangan 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan
24. Menurut dua bait nadham di atas dari ketujuh asal masalah tersebut 3 di antaranya bisa terjadi ‘aul
dan 4 sisanya tidak akan pernah terjadi ‘aul. Menurut Wahbah Az-Zuhaili ketiga asal masalah yang bisa
terjadi ‘aul adalah asal masalah 6, 12, dan 24. Sedangkan 4 asal masalah yang tak akan pernah terjadi
‘aul adalah asal masalah 2, 3, 4 dan 8

Contoh pembagian Aul pada harta waris

Ahli waris Bagian 6 Aul

Suami ½ 3

2 Saudara 2/3 4
perempuan
sekandung

Majmu Siham 7

Pada tabel di atas diketahui bahwa asal masalahnya adalah 6. Setelah bagian (siham) masing-masing
ahli waris ditetapkan ternyata jumlah keseluruhan siham ada 7 yang berarti melebihi asal masalah.
Padahal semestinya jumlah keseluruhan siham harus sama dengan asal masalahnya. Itu berarti terdapat
kekurangan siham untuk ahli waris yang juga berarti pada akhir pembagiannya nanti akan terjadi
kekurangan harta yang dibagi kepada ahli waris. Kasus di mana jumlah siham melebihi asal masalah
inilah yang disebut dengan ‘aul.

Agar lebih jelas lagi mari kita gambarkan contoh kasus di atas dengan memasukkan nominal harta
warisan, umpamanya Rp. 420.000.000. Dengan asal masalah 6 maka jumlah harta waris yang ada dibagi
menjadi 6 bagian di mana masing-masing bagian sebesar Rp. 70.000.000. Dengan demikian maka
perolehan harta waris masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut:

Suami : 3 x Rp. 70.000.000 = Rp. 210.000.000

2saudara perempuan sekandung : 4 x Rp. 70.000.000 = Rp. 280.000.000

Jumlah harta dibagi Rp. 490.000.000

Dari uraian di atas jelas bahwa dengan asal masalah 6 dan jumlah siham 7 maka harta waris yang dibagi
ternyata kurang Rp. 70.000.000. Maka perhitungan yang demikian jelas tidak bisa diterima.

Lalu bagaimana solusi agar masalah ‘aul ini terselesaikan?

Para ulama faraidl mengajarkan bila terjadi masalah ‘aul maka asal masalah yang ada tidak dipakai
untuk membagi nominal harta waris yang akan dibagi. Sebagai gantinya jumlah siham (majmû’ sihâm)
lah yang digunakan untuk membagi nominal harta waris tersebut.

Maka pada kasus di atas harta warisan yang sejumlah Rp. 420.000.000 dibagi menjadi 7 bagian di mana
masing-masing bagian sebesar Rp. 60.000.000. dengan demikian maka perolehan harta warisan masing-
masing ahli waris adalah sebagai berikut:

Suami : 3 x Rp. 60.000.000 = Rp. 180.000.000

2 saudara perempuan sekandung : 4 x Rp. 60.000.000 = Rp. 240.000.000

Jumlah harta dibagi Rp. 420.000.000


Dengan demikian maka harta warisan bisa mencukupi dan terbagi habis tanpa ada kekurangan asal
masalah yang terjadi.

D. Metode perhitungan Rad dalam pembagian harta waris

Pengertian Rad

Secara etimologis, radd merupakan bahasa Arab yang berartikembali/mengembalikan, atau juga
berarti berpaling/memalingkan.14 Selaras dengan ayat al-Qur’an surat al-Ahzab: 25 yang berbunyi: wa
radda Allahu al-lazīna kafarū bi ghoiżihim lam yanālū khoiran. Adapun secara terminologis, radd
menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya sihām dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian
aṣḥāb al-furūḍ Disebutkan juga bahwa radd adalah kekurangan saham/pokok masalah dan kelebihan
jumlah harta.

Jika dari antara ahli ash habul furudh itu tidak terdapat seorangpun yang ditolak menerima tambahan
sisa dari harta warisan tersebut maka penyelesaiannya dapat ditempuh melalui cara sebagai berikut
dibawah ini:

Adapun cara penyelesaiannya adalah mencari saham-saham para ahli waris ash habul furudh, lalu
saham-saham itu dijumlahkan, kemudian jumlah saham-saham itu dijadikan asal masalah baru sebagai
pengganti asal masalah lama, dengan kata lain asal masalah yang lama itu ditasbihkan dengan
menguranginya, sehingga sesuai dengan jumlah saham-saham ahli waris.

Contoh Perhitungan Rad dalam pembagian harta waris

Seseorang Meninggal dengan meninggalkan harta warisan sebuah rumah seharga Rp. 6.000.000,- dan
ahli warisnya terdiri dari Nenek shohihah dan Saudara Seibu

Cara penyelesaiannya sebagai berikut di bawah ini:


Ahli Waris Bagian Pasti Siham Bagian Warisan

Nenek Shohiha 1/6 1 3.000.000

Saudara seibu 1/6 1 3.000.000

Majmu Siham 2

Dengan demikian maka bagian masing-masing adalah:

1. Nenek Shohiha
= 1 x 6.000.000,- : 2 = Rp. 3.000.000

 Saudara ibu :
= 1 x 6.000.000,- : 2 = Rp. 3.000.000

Jumlah harta keseluruhan = Rp. 6.000.000,-

Kasus diatas ini dapat diselesaikan dengan cara lain seperti perhitungan di bawah ini:

Cara kedua ini jumlah sisa lebih dari harta warisan, setelah terlebih dahulu diambil untuk memenuhi
bagian masing-masing asg furudh diberikan lagi kepada mereka menurut perbandingan ketentuan
bagian mereka masing-masing. Seperti contoh dibawah ini:

1. Nenek Shohiha mendapat 1/6 x Rp. 6.000.000,- = Rp. 1.000.000,-

2. Saudara seibu mendapat 1/6 x Rp. 6.000.000,- = Rp. 1.000.000,-


Jumlah = Rp. 2.000.000,-

Jadi sisanya adalah Rp. 6.000.000 – Rp. 1.000.000 = Rp. 5.000.000


Sisa atau lebih ini diberikan kepada masing-masing ahli waris ash habul furudh, menurut besar
kecilnya perbandingan saham yaitu : 1/6 : 1/6 = 1:1

Jumlah perbandingan adalah 1 + 1 = 2 = 4.000.000,-

Dengan demikian setelah ditashihkan, perolehan masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Nenek Shohiha = Rp. 1.000.000 + 1/2 x Rp.5.000.000 = Rp. 3.000.000

2. Saudara seibu = Rp. 1.000.000 + 1/2 x Rp. 5.000.000 =

3. Rp. 3.000.000

Jumlah keseluruhannya adalah = Rp. 6.000.000

Jelaslah bahwa hasil akhir dari dua perhitungan dalam contoh diatas sama saja, hanya cara atau
jalan penyelesaiannya berlainan namun demikian cara pertama dalam contoh pertama diatas lebih
muda dan praktis dari lainnya.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Perhitungan Aul terjadi karena adanya kelebihan jumlah bagian para ahli waris dari jumlah harta
yang tersedia (asal masalah) akan mengakibatkan ahli waris menerima warisan lebih kecil dari
yang seharusnya, Asal masalah yang bisa terjadi ‘aul adalah asal masalah yaitu Asal masalah 6,
12, dan 24, Asal masalah yang tak akan pernah terjadi ‘aul adalah asal masalah 2, 3, 4 dan 8.

Sedangkan perhitungan Radd itu kebalikan dari Aul dimana ada kekurangan jumlah bagian para
ahli waris dari jumlah harta yang tersedia ( asal masalah ).

SARAN

Saya sebagai penulis menyadari jika makalah ini banyak sekali memiliki kekurangan yang jauh
dari kata sempurna. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu kepada
sumber yang busa dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh sebab itu, penulis sangat
mengharapkan adanya kritik serta saran mengenai pembahasan makalah di atas.
DAFTAR PUSTAKA

Maulana, Ryan Triana. Belajar Autodidak Menghitung Waris Islam. Elex Media Komputindo, 2013.

Muayyat, Muayyat. Konsep ahli waris penerima radd menurut Muhammad Alî al-Shâbûnî dan Kompilasi Hukum
Islam. Diss. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2010.

Haries, Akhmad. Hukum Kewarisan Islam. Ar-Ruzz Media, 2019.


Perhitungan Harta Waris Jika Ahli Waris Hanya Terdiri Dari
Ayah,Ibu Dan Suami Atau Istri

Dosen pengampu : Bapak Hajjin Mabrur,M.S.I

Kelompok 9 :

1. Firdaus
2. Frida Eka Rahmatunnisa
3. Saeful Rokhman.

KELAS 5F
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON
2021
A. Latar Belakang Masalah
Hukum kewarisan Islam menjelaskan tentang prosedur beserta substansi dalam hal
pembagian waris. Zaman yang semakin berkembang menjadi sebuah fenomena yang perlu
dikaji oleh hukum waris Islam. Problematika baru yang belum pernah ada di masa lalu
sekarang muncul bergantian. Konsep dasar dalam hukum waris tentunya menjadi hal pokok
sebagai landasan guna penyelesaian masalah di masyarakat.
Kasus kelebihan harta waris (radd) dan kasus kekurangan harta waris (aul) bukanlah
yang pertama kali. Sudah sekian lama kasus ini terjadi di dalam masyarakat. Sejauh ini
hukum Islam mencoba memberikan solusi terkait masalah ini. Sehingga jelas bahwa Hukum
Waris Islam senantiasa mengikuti perkembangan zaman. Karena hukum itu bersifat dinamis
sesuai dengan keadaan sosial masyarakat yang ada.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang masalah diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah,
diantaranya:

1. Bagaimana cara menyelesaikan kasus Aul sesuai hukum Islam yang berkeadilan prosedural dan
substansial ?
2. Bagaimana cara penyelesaian kasus Radd sesuai hukum Islam yang berkeadilan prosedural dan
substansial ?
C. Pembahasan
1. Kasus I (Aul)
Ibu Reni dan Bapak Aldi menikah pada tahun 2007. Ibu Reni yang berprofesi sebagai
guru di sebuah sekolah SMA dan Bapak Aldi yang berprofesi sebagai anggota POLRI di
Polres. Selama menikah keduanya tidak dikaruniai seorang anak pun. Pada tahun 2012 bu
Reni menderita sakit kanker kandungan sehingga ia pun meninggal pada tahun 2013
Bu Reni meninggalkan beberapa harta mulai dari tanah, tabungan, dan warisan dari
almarhumah bapaknya yang jika dikalkulasikan sebesar Rp. 900.000.000,- . Ibu Reni
meninggalkan seorang suami, dua orang sdri kandung yang bernama Rini dan Luna, dan
seorang ibu yang sudah tua. Bagaimanakah pembagian harta waris masing-masing sesuai
hukum kewarisan Islam yang memiliki keadilan secara prosedural dan secara substansial.

1. Kedudukan dan posisi ahli waris

a. Ashabul furudh

 Dzawil furudh nasabiyah:

xxv
1. Dua sdri kandung (bagian 2/3 tanpa anak)
Dalil Naqli dalam QS. An-Nisa’ ayat 176.[2]
Artinya: Jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua
orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal.
Berdasarkan dalil Aqli disini jelas bahwa jika si mati tidak mempunyai anak
dan tidak mempunyai saudara laki-laki sekandung, bagian dua orang sdr
perempuannya adalah 2/3 yang ketika dibagi masing-masing mendapat 1/3.
Karena pada dasarnya saudara sekandung adalah ahli waris pengganti disaat
pengganti utama tidak ada.

1. Ibu (bagian 1/3 karena pewaris tidak punya anak)[3]


Dalil Naqli dalam QS. An-Nisa’ ayat 11.[4]
Artinya: jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
Berdasarkan dalil aqli tampak bahwa jumlah warisan yang diterima ibu lebih
besar karena pewaris tidak mempunyai anak. Anak disini adalah ahli waris
utama yang telah tergantikan oleh Ibu

 Dzawil furudh sababiyah:

1. Suami (bagian ½ pewaris tidak mempunyai anak)[5]


Dalil naqli QS. An-Nisa’ ayat 12.[6]
Artinya: dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Berdasarkan dalil aqli suami mendapatkan bagian waris sebesar ½ karena
pewaris tak mempunyai anak. Dimana suami memiliki hubungan terdekat
dengan si mati melalui sebab perkawinan.

1. Diagram Pohon Ahli Waris

xxvi
Tidak Mempunyai Anak
Ket:
: sdri sekandung (2 orang: 2/3 bagian) : Suami (1/2 bagian)
: Bapak (mati) : Ibu (1/3 bagian)
: Istri (mati)

1. Penyelesaian kasus Melalui Aul

Ahli Waris Fard Asal Masalah: 6 Penerimaan (di-Aul-kan)


Sahamnya
Penyebut jadi 9 (3+2+4)

Suami ½ ½x6=3 3/9x Rp. 900.000.000,-=


Rp. 300.000.000,-

Ibu 1/3 1/3x 6 = 2 2/9 x Rp 900.000.000,-=


Rp. 200.000.000,-

2 sdri kandung 2/3 2/3 x 6 = 4 4/9xRp. 900.000.000,-= Rp.


400.000.000,-

Berdasarkan tabel diatas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan asal masalah
yang pertama maka harta akan mengalami kekurangan sebesar Rp. 450.000.000,- karena bagian
ahli waris total sebanyak Rp. 1.350.000.000,- sementara harta waris hanya sebesar Rp.
900.000.000,-. Akan tetapi setelah di-aul-kan, jumlah masing-masing harta waris yang diterima
ahli waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni suami mendapatkan Rp.
300.000.000,-, Ibu mendapatkan Rp. 200.000.000,-, dan dua saudari kandung mendapatkan Rp.
400.000.000,-
Secara istilah menurut Ulama Faradiyun aul adalah bertambahnya jumlah bagian dzawil
furudh atau berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Sehingga jelas bahwa hal ini dapat
terjadi apabila terdapat banyak ahli waris yang berhak memperoleh warisan sehingga
menghabiskan harta warisan, tetapi masih ada ahli waris lainnya yang belum mendapat bagian. [7]
Secara keadilan prosedural telah memenuhi syarat karena diselesaikan dengan prosedur
hukum yang berlaku dan secara keadilan substansial telah memenuhi syarat juga karena masing-
masing ahli waris mendapat bagian yang semestinya.
2. Kasus II (Radd)
xxvii
Pak Romi adalah seorang pemborong sawah. Ia mempunyai seorang istri dan seorang
anak perempuan. Istri pak Romi meninggal sebulan yang lalu karena terkena serangan
jantung. Sehingga Pak Romi kehilangan istri yang dicintainya.
Akhir-akhir ini kesehatan pak Romi mengalami penurunan akibat penyakit paru-paru
yang dideritanya. Rokok yang merupakan sesuatu yang digandrungi pak Romi telah
merenggut nyawanya tahun ini. Pak Romi meninggalkan, seorang anak perempuan, dan
empat orang cucu perempuan dari anak perempuan.
Pak Romi tergolong Jutawan yang sukses karena ketika dikalkulasikan hartanya sebesar
Rp. 6.000.000.000,-. Bagaimanakah pembagian harta waris yang sesuai dengan perspektif
konsep hukum waris Islam yang berkeadilan prosedural dan berkeadilan substansial.

1. Kedudukan dan Posisi Ahli Waris

a. Ashabul Furudh

 Dzawil Furudh Nasabiyah

1. Seorang anak perempuan (bagian 1/2 harta waris)[8]


Dalil Naqli dalam QS. An-Nisa’ ayat 11.
Artinya: jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta.
Berdasarkan dalil aqli jika seorang suami istri hanya memiliki seorang anak
perempuan secara otomatis harta tersebut akan jatuh di tangan anak perempuan
tersebut. Akan tetapi islam memberikan bagian bagi anak perempuan tunggal
sebesar ½ bagian.

1. Empat orang cucu perempuan (bagian 1/6 harta waris)[9]


Berdasarkan dalil aqli jelas bahwa cucu perempuan berhak mendapatkan 1/6
bagian harta waris karena mereka termasuk dzawil furudh nasabiyah.

1. Diagram Pohon Ahli Waris


Ket:
: Istri (mati) : Menantu laki-laki
: Suami (mati) : Cucu Perempuan (4 orang: 1/6 bagian
: Anak Perempun (1/2 bagian)

1. Penyelesaian kasus Melalui Radd


xxviii
Ahli Fard Asal Masalah: Penerimaannya (di-Radd-kan)
Waris 6, sahamnya
Penyebut jadi 4 (3+1)

Anak Pr ½ ½x6=3 ¾ x Rp. 6.000.000.000,- =


Rp.4.500.000.000,-

Cucu pr 1/6 1/6 x 6 = 1 ¼ x Rp. 6.000.000.000,- = Rp.


dari anak 1.500.000.000,-
pr

Berdasarkan tabel diatas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan asal masalah
yang pertama maka harta akan mengalami kelebihan sebesar Rp. 2.000.000.000,- karena bagian
ahli waris total sebanyak Rp. 4.000.000.000,- sedangkan harta waris sebesar Rp. 6.000.000.000,-.
Akan tetapi setelah di-radd-kan, jumlah masing-masing harta waris yang diterima ahli waris
adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni anak perempuan mendapatkan Rp.
4.500.000.000,- dan keempat cucu perempuan mendapatkan Rp. 1.500.000.000,-
Secara definitif yang dimaksud dengan radd menurut ulama faradiyun adalah pengembalian
bagian yang tersisa dari bagian zawil furudh nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar-
kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak menerimanya. [10]
Secara keadilan prosedural telah memenuhi syarat karena diselesaikan dengan prosedur
hukum yang berlaku dan secara keadilan substansial telah memenuhi syarat juga karena masing-
masing ahli waris mendapat bagian yang semestinya.
D. Kesimpulan
Berdasarkan data diatas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan asal masalah
yang pertama maka harta akan mengalami kekurangan sebesar Rp. 450.000.000,- karena
bagian ahli waris total sebanyak Rp. 1.350.000.000,- sementara harta waris hanya sebesar
Rp. 900.000.000,-. Akan tetapi setelah di-aul-kan, jumlah masing-masing harta waris yang
diterima ahli waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni suami
mendapatkan Rp. 300.000.000,-, Ibu mendapatkan Rp. 200.000.000,-, dan kedua saudari
kandung mendapatkan Rp. 400.000.000,-
Secara istilah menurut Ulama Faradiyun aul adalah bertambahnya jumlah bagian dzawil
furudh atau berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Sehingga jelas bahwa hal ini
dapat terjadi apabila terdapat banyak ahli waris yang berhak memperoleh warisan sehingga
menghabiskan harta warisan, tetapi masih ada ahli waris lainnya yang belum mendapat
bagian.
Berdasarkan data diatas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan asal masalah
yang pertama maka harta akan mengalami kelebihan sebesar Rp. 2.000.000.000,- karena
bagian ahli waris total sebanyak Rp. 4.000.000.000,- sedangkan harta waris sebesar Rp.
xxix
6.000.000.000,-. Akan tetapi setelah di-radd-kan, jumlah masing-masing harta waris yang
diterima ahli waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan. Yakni anak perempuan
mendapatkan Rp. 4.500.000.000,- dan keempat cucu perempuan mendapatkan Rp.
1.500.000.000,-
Secara definitif yang dimaksud dengan radd menurut ulama faradiyun adalah
pengembalian bagian yang tersisa dari bagian zawil furudh nasabiyah kepada mereka, sesuai
dengan besar-kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak
menerimanya.
E. Saran
Penulis sadar dalam tulisan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu Penulis memohon
kritik dan saran dari Pembaca sekalian yang Budiman.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahannya Kementerian Agama Republik Indonesia
Salman S, Otje & Mustofa Haffas. 2002. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama
Umam, Dian Khairul. 1999. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia

xxx
//

FIQH MAWARIS

AHLI WARIS YANG STATUSNYA “DIRAGUKAN” DAN CARA


PERHITUNGAN PEMBAGIAN WARISANNYA

Dosen Pengampu : Hajjin Mabrur, M.S.I

Kelompok 10 :

1. Mayang Fuji A.

2. Julfa Alfiah

Program Studi Ekonomi Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON

xxxi
2021
Jl. Widarasari III, Sutawinangun Kedawung  0231246215 Cirebon 45153

xxxii
33

BAB I
PENDAHULUAN

A. Hukum Kewarisan Pra Islam


Hukum Kewarisan Pra Islam disebut zaman jahiliah, yaitu zaman yang penuh kegelapan dan
ketidakadilan, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tidak mengenal harkat martabat
manusia serta diskriminatif. Saat itu, seorang perempuan dan anak laki-laki yang masih kecil
tidak berhak tampil sebagai ahli waris, yang berhak hanya laki-laki dewasa. Namun setelah
Turunnya ayat (al-Qur’an surah an-Nisa ayat 7) yang terjadi karena peristiwa meninggalnya
sahabat Rasul, yaitu Aws bin Shamit al-Ansyaari, terjadi perubahan di sistem hukum kewarisan.

Dia meninggalkan satu istri bernama Ummu Kahlah dan tiga anak perempuan. Semua harta
peninggalan Aws diambil oleh dua orang saudara laki-laki sedatuknya (anak pamannya) yang
bernama Suwaidun dan Arfathah. Untuk mencari keadilan, Ummu Kahlah menemui Rasul di
masjid al-Fadhiih untuk mengadukan peristiwa tersebut; bahwa suaminya Aws bin Shamit telah
meninggal dunia dan meninggalkan 3 orang anak perempuan yang tidak dapat di biayainya
karena tidak ada hartanya. Seluruh harta peninggalan suaminya diambil oleh 2 orang saudara
laki-laki sedatuknya. Kemudian Rasullulah memanggil kedua laki-laki itu dan menanyainya
tentang pengaduan Ummu Kahlah tadi. Mereka menjawab “Benar ya Rasullulah, anak-anak itu
tidak sanggup mengendarai kuda, tidak sanggup memanggul barang-barang, tidak sanggup
memerangi musuh, kami yang berusaha atasnya, sedangkan perempuan itu tidak mengusahakan
harta”. Kemudian turunlah ayat kewarisan yaitu Q.S.IV:7.

Dengan ini, tetaplah bahwa wanita-wanita yaitu anak perempuan dari istri Aws bin Shamit
berhak mendapat bagian warisan. Namun, pada waktu itu belum ditentukan berapa besar jumlah
bagiannya. Nabi Muhammad langsung berkata “Jangan kamu pisahkan sesuatupun dari harta
Aws itu”, Allah SWT telah menjadikan bagi anak-anak perempuannya itu bagian dari
warisannya, tetapi belum dijelaskan berapa jumlahnya.
Kasus Aws ini membuat perubahan fundamental, baik dari segi harkat dan martabat maupun
segi kedudukan wanita dalam sistem hukum kewarisan islam menjadi lebih baik. Q.S.IV:7
merupakan perubahan mendasar bagi ahli waris, yang isinya “ Bagi laki-laki ada bagian warisan
dari harta peninggalan ibu bapak dan aqrabunnya (keluarga dekat). Dan bagi wanita ada bagian
warisan dari harta peninggalan ibu bapak dan aqrabunnya (keluarga dekat), ada yang mendapat
sedikit ada yang mendapat banyakan bagian yang diwajibkan.”

B. Kedudukan Hukum Kewarisan Dalam Sistem Hukum Islam


Hukum Islam mengatur beberapa bidang, antara lain bidang hukum kekeluargaan yang
meliputi hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Bidang hukum kekeluargaan biasanya diatur
dalam al-Qur’an surat an-Nisa (Q.S.IV). Setiap orang Islam yang akan melakukan perkawinan
tentunya akan mematuhi aturan hukum perkawinan yang diatur dalam al-Qur’an. Adanya
perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami

33
34

istri. Keluarga merupakan unit terkecil yang memegang peranan sangat penting bagi masyarakat
dimana mereka diikat dengan suatu akad nikah dengan tujuan membangun keluarga bahagia
sesuai syariat Islam.[5] Mengenai hukum kewarisannya, siapa saja yang berhak dan berapa
bagian setiap ahli waris serta bagaimana harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris
semua diatur di al-Qur’an karena setiap orang pasti akan mengalami kematian dan menimbulkan
peristiwa kewarisan sepanjang rukun kewarisannya dipenuhi. Kewarisan juga menyangkut harta
benda yang bila tidak diberikan ketentuan akan mudah menimbulkan sengketa antara para ahli
waris. Disimpulkan hukum kewarisan punya kedudukan yang sangat penting, bahkan para ulama
menjadikan pembagian harta warisan menjadi satu cabang ilmu yang dinamakan ilmu faraidh.

C. Hubungan Hukum Perkawinan Dengan Hukum Kewarisan


Salah satu prinsip di hukum perkawinan Islam adalah timbul hak kewarisan antara lain karena
hubungan semenda yang menimbulkan hubungan kewarisan antara suami istri. Sebelum lahirnya
hukum kewarisan Islam tidak dikenal karena menurut hukum adat, suami atau istri yang
ditinggal mati istri tau suaminya tidak mendapat warisan. Dilihat teori Prof. Dr. Hazairin, S.H,
mengenai larangan perkawinan yang terdapat dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 22,23,24
terutama di penghujung ayat 24 itu yang berbunyi: “Wa uhilla lakum maa warooa
dzalikum”. Yang artinya dihalalkan bagi kamu wanita-wanita selain yang telah disebutkan dalam
larangan-larangan perkawinan. Disini dijelaskan bahwa semua wanita diluar larangan-larangan
itu boleh atau halal dikawini oleh setiap laki-laki. Tetapi sepanjang mengenai perkawinan antara
saudara sepupu yang cross cousin marriage maupun yang paralel cousin marriage dilarang.
Larangan seperti ini hanya dijumpai dalam masyarakat yang patrilineal seperti di Tapanuli, di
mana menurut adat masyarakat ini ada larangan mengawini saudara sepupu (larangan
perkawinan endogami).Kalau bentuk masyarakat yang bilateral, maka secara otomatis sistem
kewarisannyapun bilateral, oleh karena itu menurut Prof. Dr. Hazairin, S.H, sistem hukum
kewarisan islam adalah bilateral individual. Hal ini dijelaskan dalam:
1. Q.S.IV : 11 Menjadikan semua laki-laki maupun perempuan menjadi ahli waris bagi orang
tuanya. Demikian pula menjadikan ayah dan ibu menjadi ahli waris bagi anaknya.
2. Q.S.IV : 12 dan 176 Menjadikan Saudara ahli waris bagi saudaranya yang punah, tidak peduli
apakah si mati itu laki-laki atau perempuan, demikian pula tidak peduli apakah saudaranya yang
mewarisi itu laki-laki atau perempuan.
3. Q.S.IV : 7 dan 33 Mengandung prinsip-prinsip bagi sistem kewarisan yang individual, yaitu ada
ahli waris yang masing-masing berhak atas suatu bagian yang pasti, dan bahwa bagian-bagian itu
wajib diberikan pada mereka (nasiban mafrudan, faatuhum nasibahum).
Bilateral artinya bahkan ahli waris dapat menarik garis keturunan baik melalui pihak laki-laki
maupun pihak perempuan. Sedangkan Individual berarti bahwa bagian-bagian yang diperoleh
oleh ahli waris dapat dimiliki secara individu.

D. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam


1. Asas ijbari (memaksa)
Secara etimologis, kata ijbari mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu di luar
kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti “terjadinya peralihan harta seseorang yang
34
35

telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada
perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa
hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalangi-halangi terjadi peralihan tersebut.” Perolehan
harta dari orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan otomatis menurut
ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur paksaan
terlihat dari segi ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpidahan harta kepada dirinya sesuai
yang telah ditentukan. Unsur Ijbari tidak akan memberatkan ahli waris, karena ahli waris hanya
berhak menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul utang yang
ditinggalkan oleh pewaris. Kewajibannya hanya sekedar menolong membayarkan utang pewaris
dengan harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban melunasi utang itu dari hartanya ahli
waris. Asas ijbari dalam hukum islam dapat dilihat dari beberapa segi:
a. Segi cara peralihan harta mengandung arti bahwa harta orang mati itu beralih dengan sendirinya,
bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Jadi pewaris tidak perlu menjanjikan
sesuatu sebelum ia meninggal, begitu pula ahli waris tidak perlu meminta haknya.
b. Segi jumlah berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan
oleh Allah SWT, sehingga pewaris atau ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau
mengurangi apa yang telah ditentukan.
c. Segi penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu
sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusiapun dapat
mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak, sesuai
dengan Firman Allah SWT dalam Q.S.IV : 11, 12, dan 176.
2. Asas bilateral
Mengandung arti bahwa harta warisan beralih melalui 2 arah, maksudnya adalah setiap orang
menerima hak kewarisan dari ke dua belah pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak
garis keturunan perempuan. Dapat dilihat dalam Firman Allah SWT surat al-Nisa ayat 7, 11, 12
dan 176. Dari keempat ayat tersebut terlihat jelas bahwa kewarisan itu beralih kebawah (anak-
anak), ke atas (ayah dan ibu), dan ke samping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis
keluarga yaitu laki-laki dan perempuan dan menerima warisan dari dua garis keluarga yaitu garis
laki-laki- dan garis perempuan.
3. Asas Individual
Harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perseorangan. Masing-masing ahli waris
berhak menerima bagiannya secara tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Ini
didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk
menerima hak dan kewajiban, yang dalam istilah Usul Figh disebut “ahliyatu al wujub”.
[16] Pembagian secara individual ini adalah ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh
setiap muslim dengan sanksi berat diakhirat bagi yang melanggarnya sebagaimana dinyatakan
dalam Firman Allah SWT surat al-Nisa ayat 13 dan 14.
4. Asas Keadilan berimbang
Keadilan dalam hukum kewarisan dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan
kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Juga berarti
keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.
Laki-laki dan perempuan misalnya mendapat hak yang sama sebanding dengan kewajiban yang
35
36

dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Jadi, bagian yang diterima
oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing
terhadap keluarganya.
5. Asas kematian
Peralihan harta seseorang kepada orang lain hanya berlaku setelah orang yang mempunyai harta
meninggal dunia. Maksudnya adalah hukum kewarisan Islam hanya mengenal suatu bentuk
kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau kewarisan abintestato (dalam BW) dan
tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan karena diangkat atau ditunjuk dengan
surat wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup atau yang disebut kewarisan secara testamen.

E. Faktor-Faktor Lahirnya Hukum Kewarisan Islam


Menurut Prof.Dr.H.T.Azhari, S.H, faktor-faktor yang melahirkan hak kewarisan Islam adalah:
1. Faktor seiman
Antara pewaris dan ahli waros harus seiman, jika keduanya berbeda agama maka tidak akan
menimbulkan hak kewarisan sesuai dengan hadits dari Abdullah bin Umar yang menyampaikan
perkataan Rasullulah SAW bahwa “Tidak saling mewaris antara dua pemeluk agama yang
berbeda”.
2. Faktor hubungan darah (geneologis)
Ini adalah factor yang dominan dalam hukum kewarisan Islam terutama menurut pandangan
Syafi’I dan ahi-ahli fiqih, karena orang yang hubungan darahnya lebih dekat dengan pewaris
akan menutup (menghijab) orang yang hubungan darahnya lebih jauh. Misalnya antara pewaris
dengan anak, cucu, dan saudara.
3. Faktor hubungan perkawinan / hubungan semenda
Seorang suami akan memperoleh warisan dari istrinya karena berdasarkan hubungan perkawinan
demikian pula sebaliknya. Jadi, karena hubungan perkawinan akan menimbulkan hak kewarisan
antara suami dan istri.

36
37

BAB II
BERLAKUNYA HUBUNGAN KEWARISAN

A. Sebab-sebab adanya kewarisan


Masalah kewarisan baru timbul apabila memenuhi rukun-rukunnya sebagai berikut:
1. Harus ada muwarrits
Yaitu orang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan. Syaratnya adalah bahwa
muwarrits itu benar-benar telah meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki (mati sejati yang
dapat dibuktikan dengan panca indra / ilmu kedokteran), hukmi (dianggap sudah meninggal
sejak ada putusan pengadilan oleh hakim), ataupun secara taqdiri (diduga kuat mati karena
sesuatu sebab, seperti minum racun, dibunuh, bunuh diri atau terbunuh).
2. Harus ada al-waris atau ahli waris
Yaitu orang yang akan mewarisi harta warisan si mati karena memiliki dasar / sebab kewarisan
seperti karena adanya hubungan darah (nasab) atau perkawinan dengan si mati.
3. Harus ada al-mauruts atau al-mirats
Yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan
utang, dan pelaksanaan wasiat.
Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi asas fundamental
(rukun) terjadinya kewarisan. Jika salah satunya tidak ada, mengakibatkan tidak berlakunya
suatu kewarisan.

Adapun 3 syarat pewarisan, yaitu:


1. Adanya orang yang meninggal dunia baik secara hakiki atau secara hukumnya.
2. Ahli Waris masih hidup secara jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Maksudnya
disini, ahli warisnya harus benar-benar hidup sesudah pewaris meninggal dunia. Termasuk bayi
dalam kandungan (al-haml). Meskipun masih berupa janin, bila dipastikan hidup, baginya berhak
mendapat warisan. Perlu diketahui batasan yang tegas mengenai paling sedikit dan paling lama
usia kandungan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.
3. Mengetahui golongan ahli waris. Hubungan antara pewaris dengan ahli waris harus jelas,
apakah sebagai anak kandung, suami atau istri, saudara, dan sebagainya sehingga dapat
ditentukan bagian masing-masing ahli waris.

B. Penghalang Kewarisan
Dalam hukum kewarisan Islam seseorang dapat terhalang untuk menerima warisan atau menjadi
ahli waris:
1. Karena berlainan agama. Artinya agama pewaris dengan ahli waris berbeda, ini didasarkan pada
hadits Rasul, Rowahu Buchori dan Muslim.
2. Karena pembunuhan. Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewaris menyebabkannya
tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya. Hal ini sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW, Riwayat Ahmad.

37
38

3. Karena perbudakan. Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status


kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak).
Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena ia
dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Selain itu juga sseorang budak
dipandang tidak cakap menguasai harta benda dan status keluarganya terhadap kerabat-
kerabatnya sudah putus, karena ia menjadi keluarga asing. Sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surat al-Nahl : 75. Namun pada masa sekarang perbudakan sudah dihapuskan.

38
39

BAB III
WARISAN AHLI WARIS YANG STATUS DIRAGUKAN / KASUS
TERTENTU

Ahli waris yang statusnya diragukan, maksudnya adalah ahli waris yang pada saat harta
warisan terbuka (pada saat pewaris meninggal dunia) status hukumnya sebagai “subjek hukum”
atau “sebagai pendukung hak dan kewajiban masih diragukan. Ada beberapa kasus tertentu yang
menimbulkan permasalahan terhadap persoalan kewarisan. Ahli waris yang statusnya diragukan
serta ahli waris dalam kasus-kasus terntentu adalah sebagai berikut:
1. Anak yang masih dalam kandungan
2. Orang yang hilang (mafqud)
3. Orang yang mati serentak
4. Orang yang tertawan (asir)
5. Khuntsa
6. Zawul Al-arham

1. Warisan Anak Dalam Kandungan


Dalam syarat-syarat kewarisan dijelaskan bahwa seseorang yang dapat menjadi ahli waris
haruslah seseorang yang pada saat si pewaris meninggal dunia jelas hidupnya. Ini membuat
persoalan terhadap hak mewarisi bagi seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya, karena
belum dapat dipastikan/masih kabur apakah anak yang masih dalam kandungan tersebut saat
dilahirkan nantinya dalam keadaan hidup atau tidak. Belum dapat dipastikan juga apakah anak
yang masih dalam kandungan tersebut berjenis kelamin perempuan atau laki-laki yang mana
sangat penting artinya dalam pembagian harta warisan, termasuk berapa porsi / bagiannya.
Namun persoalan ini dapat diatasi dengan cara pembagian sementara dan sesudah anak dalam
kandungan itu lahir barulah diadakan pembagian yang sebenarnya.
Kewarisan anak yang masih dalam kandungan ini harus dipenuhi dua syarat:
1. Dapat diyakini bahwa anak itu telah ada dalam kandungan ibunya, pada saat si pewaris
meninggal dunia.
2. Bayi yang ada dalam kandungan tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup, sebab hanya
orang (ahli waris) yang hidup (pada saat kematian si pewaris) yang berhak mendapatkan harta
warisan.
Menyangkut kemungkinan pendapatan/bagian anak yang masih dalam kandungan ibunya ada
beberapa kemungkinan, yaitu:
1. Tidak menerima warisan sama sekali, baik ia sebagai laki-laki atau perempuan.
Misalnya: Seorang suami meninggal dunia meninggalkan istri, ayah, dan seorang ibu yang
sedang hamil (anak dari suaminya yang kedua). Dalam hal seperti ini, anak yang masih dalam
kandungan ibunya tersebut tidak perlu dihiraukan, sebab kalaupun dia ahli waris (baik laki-laki
atau perempuan) keberadaannya sebagai ahli waris terhalang oleh ayah si mayat.
39
40

2. Hanya mewarisi dengan salah satu atau dua kemungkinan, yaitu sebagai laki-laki atau
perempuan, dan tidak mewarisi dengan kemungkinan yang lainnya.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia, dan meninggalkan istri, saudara bapak kandung
(paman) dan seorang istri dari saudara kandung yang sedang hamil. Bila kondisi seperti ini, maka
bagian istri diberi bagian ¼, sedangkan sisanya ¼ ditangguhkan pembagiannya sampai bayi
tersebut lahir. Bila bayi tersebut laki-laki akan mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut
dan ia lebih utama menghalang paman, bila perempuan maka pamanlah yang berhak, sebab anak
perempuan dari saudara laki-laki kandung bukanlah ahli waris.
3. Dapat mewarisi dengan segala kemungkinan, baik ia sebagai laki-laki atau sebagai
perempuan.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia, dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ayah
dan ibu.
4. Dapat mewarisi, dan tidak pula berbeda jumlah bagiannya, baik ia sebagai laki-laki
atau perempuan.
Misalnya: Seseorang mati meninggalkan seorang saudara perempuan kandung, saudara
perempuan seayah, dan seorang ibu yang sedang hamil dari suami yang bukan ayah si
meninggal, kalau ia lahir statusnya hanya sebagai saudara seibu, apabila saudara seibu, bagian
laki-laki dan perempuan sama besarnya.
5. Tidak bersama dengan ahli waris yang pokok, atau bersama dengan ahli waris yang
terhalang olehnya.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan menantu (istri dari anaknya)
yang sedang hamil dan saudara seibu. Dalam hal ini, pembagian harta warisan harus
ditangguhkan sampai anak yang dalam kandungan tersebut dilahirkan.

3. Warisan Orang yang Hilang


Orang yang hilang dalam istilah bahasa Arab adalah “Mafqud”, yaitu orang yang tidak diketahui
kabar beritanya, dalam hal ini termasuk tempat tinggal dan keadaannya apakah masih hidup atau
sudah meninggal dunia. Para ahli hukum Islam menetapkan mengenai status hukum orang yang
hilang:
1. Istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan
2. Harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan
3. Hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan.
Ketidakbolehan ketiga hal diatas sampai orang yang hilang tersebut sudah jelas statusnya. Bila
masih diragukan maka statusnya harus dianggap masih hidup sesuai dengan keadaan semula.
Dan yang berhak untuk menentukan seseorang yang hilang sudah meninggal hanyalah hakim.
Mengenai tenggang waktu untuk menentukan seseorang yang hilang masih dalam keadaan hidup
atau sudah mati masih belum ada persesuaian pendapat dari para ahli hukum, yang akhirnya
melahirkan beberapa pendapat:
1. Seseorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila teman-teman
sebayanya yang ada di tempat itu sudah meninggal (pendapat yang dipegang oleh ulama
Hanafiyah), sedangkan bila diukur dengan jangka waktu Imam Abu Hanifah mengemukakan

40
41

harus terlewati 90 tahun. Pendapat ini sama dengan pendapat ulama Syafi’iyah, tetapi penetapan
matinya seseorang hanya dapat dilakukan oleh keputusan lembaga pengadilan.
2. Seseorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila telah terlewati
tenggan waktu 70 tahun. Pendapat ini didasarkan kepada hadis yang mana merupakan pendapat
ulama Malikiyah. Sedangkan menurut riwayat Imam Maliki, bahwa bila ada laki-laki yang
hilang di Negara Islam dan terputus beritanya, maka istrinya harus melapor kepada Hakim. Bila
hakim tidak mampu untuk mendapatkannya, maka istrinya diberi waktu menunggu selama 4
tahun, setelah lewat dari itu istrinya beridah sebagaimana lazimnya seorang istri yang ditinggal
mati oleh suaminya, dan setelah itu diperkenankan kawin dengan laki-laki lain.
3. Orang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa (seperti waktu
peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat udara jatuh dan temannya ada yang
selamat), maka orang yang hilang tersebut harus diselidiki selama empat tahun, jika tidak ada
kabar beritanya, maka hartanya sudah dapat dibagi (pendapat yang dipegang ulama-ulama
Hanabilah). Sedangkan apabila kehilangan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang
membawa kematian (seperti berdagang atau merantau), ulama hnabilah berbeda pendapat:
a. Menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan
b. Diserahkan kepada ijtihad hakim.
Tentang kewarisan orang yang hilang hanya terdapat dua kemungkinan, yaitu:
1. Apabila orang yang hilang tersebut menghijab atau menghalang ahli waris yang
lainnya secara hijab hirman, maka pembagian harta warisan harus ditangguhkan sampai status
hukum orang yang hilang tersebut pasti.
2. Apabila tidak menghijab ahli waris yang ada, bahkan ia bersekutu untuk mewarisi
bersama ahli waris yang tinggal, mana yang tidak terhalang pembagiannya dapat diberikan
terlebih dahulu (secara sempurna), sedangkan jika bagiannya tidak sama andainya orang yang
hilang tersebut dalam keadaan hidup atau mati, maka kepadanya diberikan bagian terkecil,
sedangkan bagi ahli warisnya yang bagiannya tergantung kepada kematian orang yang hilang,
maka bagiannya ditangguhkan.

4. Warisan Orang yang Mati Serentak


Sering terjadi peristiwa seperti bencana alam dan kecelakaan misalnya, dimana itu
mengakibatkan beberapa orang mati secara serentak. Tidak jarang pula orang yang mati
serenntak tersebut adalah orang yang saling waris-mewarisi, seperti dalam kecelakaan pesawat
udara, yang mana seorang bapak meninggal dunia bersama dengan ankanya, dengan perkataan
lain tidak diketahui sama sekali siapa diantara mereka yang meninggal dunia terlebih dahulu.
Dalam kasus mati serentak, para ahli hukum islam berpendapat bahwa diantara mereka tidak
boleh saling waris-mewarisi. Alasannya disebabkan syarat-syarat bahwa pewaris dan ahli waris
tidak terpenuhi (tidak jelas), dengan demikian harta warisan mereka hanya dapat diberikan
kepada ahli waris mereka masing-masing yang masih hidup.

Contoh kasus: Dua orang bersaudara (B dan C) mengadakan perjalan dengan pesawat udara
bersama dengan Bapaknya(A), kemudian pesawatnya mengalami kecelakaan. Dua orang

41
42

bersaudara serta bapaknya meninggal dunia. B meninggalkan istri dan seorang anak perempuan.
C meninggalkan dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki kandung.

Penyelesaian persoalan warisan A tidak sebagaimana lazimnya, yaitu bagian B menjadi warisan
istri dan anak perempuannya (D dan E) dan seluruh bagian C menjadi bagian dari 2 orang anak
perempuan serta seorang anak laki-lakinya (F,G, dan H). Dalam kasus ini, B dan C haruslah
tidak dilihat atau dipandang sebagai ahli waris dari A, sebab antara A, B, dan C tidak diketahui
siapa yang meninggal lebih dulu, sehingga tidak diketahui siapa yang menjadi ahli waris siapa.
Jadi, yang menjadi ahli waris langsung dari A adalah E , F, G, H dengan kedudukan sebagai cucu
laki-laki dan cucu perempuan, sedangkan D (istri B) bukan sebagai ahli waris.
Dengan demikian bagian laki-laki adalah 2 kali bagian perempuan, dan bagian masing-masing
adalah sebagai berikut:
- E memperoleh 1/5 bagian
- F memperoleh 1/5 bagian
- G memperoleh 1/5 bagian
- H memperoleh 2/5 bagian

5. Warisan Orang yang Tertawan ( Asir)


Orang yang tertawan adalah orang yang ditawan karena ditangkap atau kalah dalam suatu
peperangan. Bila seseorang tawanan diketahui dengan jelas alamat atau domisili tempat
penawanannya dan status hidup atau matinya jelas maka tidak akan menimbulkan persoalan
terhadap masalah pewarisan. Yang menjadi persoalan apabila yang terjadi sebaliknya, dengan
kata lain ketidakjelasan status tersebut (baik domisili, hidup dan matinya) akan menimbulkan
persoalan. Kebanyakan ahli hukkum menganalogikan seseorang tawanan yang statusnya tidak
diketahui dengan pasti, kepada orang yang hilang (mafqud) sebagaimana dibicarakan
sebelumnya,baik dalam kedudukannya sebagai pewaris maupun sebagai ahli waris. Adapun yang
menjadi illat hukumnya (dianalogikan kepada orang yang hilang) adalah terletak kepada sama-
sama tidak diketahui kabar beritanya. Sehingga, peran hakim sangat menentukan untuk
penyelesaian warisan orang yang dalam tawanan, tentunya setelah terlebih dahulu ditempuh
upaya untuk mendapatkan informasi perihal orang yang tertawan.

6. Warisan Khuntsa
Khuntsa adalah orang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan secara seklaigus, atau
tidak memiliki alat kelamin sama sekali. Dalamistilah hukum Islam disebut “Khuntsa Al-
Musykil”, dalam istilah sehari-hari sering disebut “wadam” (Hawa-Adam), “waria” (wanita-
pria).

7. Zawul Al-arham
Dzawil Arham terdiri dari duat kata yaitu dzawil dan arham, Dzawil secara bahasa ialah orang
yang mempunyai hubungan kerabat secara mutlak. Arham adalah jamak dari rahim, rahim

42
43

bermakna tempat anak di dalam perut ibu. Menurut istilah dzawil arham memiliki pengertian
golongan kerabat yang tidak termasuk golongan ashabul furud dan ashobah.
Menurut Hanafi dan Syafi’i dzawil arham adalah para kerabat yang mempunyai hubungan darah
dengan si mati tetapi bukan kerabat dzawil furudh dan bukan kerabat ‘Asabah yaitu semua
anggota keluarga di garis ibu, lelaki maupun perempuan dan semua anggota keluarga yang
perempuan di garis bapak kecuali empat perempuan yang ditentukan bagiannya di dalam al-
Qur`an anak perempuan, anak perempuan dari anak lelaki, saudara perempuan kandung, dan
saudara perempuan sebapak.
Menurut Ulama Sunni kelompok dzawil arham adalah semua orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan dengan pewaris tetapi tidak menerima warisan karena terhijab oleh ahli waris dzawil
furudh dan ashabah. Antara lain:

1. Cucu dari keturunan anak perempuan dan seterusnya ke bawah (laki-laki maupun
perempuan).
2. Anak dari cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya ke bawah (laiki-
laki maupun perempuan).
3. Anak-anak dari saudara perempuan kandung, seayah, seibu, baik laki-laki maupun
perempuan.
4. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, seayah, seibu, dan seterusnya ke
bawah.
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan seterusnya ke bawah.

43
44

MAKALAH FIQH MAWARIS

”Memahami keadilan dalam fiqh mawaris dan hikmahnya"

Dosen Pengampu : Hajjin Mabrur, M.S.I

Disusun Oleh :

Kelompok 11

Ruaya Ningsih

Gita Komala

Program studi ekonomi syariah

Institut agama islam bunga bangsa cirebon 2021

Jl. Widarasari iii, sutawinangun kedawung ( 0231246215 cirebon 45153


44
45

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat allah swt. Yang telahmemberikan nikmat
kepada kami. Sehinga kami manpu menyelesaikanmakalah fiqih mawaris sesuai dengan waktu
yang telah direncanakan.makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat
penilaian matakuliah fiqih mawaris. Yang meliputi tugas nilai kelompok. Kami sebagai
mahasiswa tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula dalam penyusunan makalah ini, yang
memiliki banyak kekurangan.oleh karena itu, kami mohon maaf atas segala kekurangannya. Oleh
karena itu,untuk kesempurnaan penulisan ini, baik dalam penyajian maupun tata bahasa
yangdigunakan, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifatmembangun dan
berguna untuk perbaikan makalah kami dan semoga makalahkami dapat bermanfaat bagi semua
pihak, aamiin allahumma aamiin

45
46

BAB 1

PENDAHULUAN

A. latar belakang
Kematian atau meninggal dunia adalah suatu peristiwa yang pasti akan dialami oleh
setiap manusia, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang
manusia. Namun yang menjadi permasalahan adalah jika orang tersebut meninggal dunia
dengan meninggalkan harta yang lazim disebut harta warisan ataupun tirkah, dengan cara apa
kita hendak menyelesaikan atau membagi harta warisan tersebut, hukum apa yang akan kita
terapkan dalam penyelesaian harta warisan itu. Sebagai agama yang sempurna, Islam
mengatur segala sisi kehidupan manusia, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan peralihan
harta yang ditinggalkan seorang manusia, setelah manusia tersebut meninggal dunia. Hukum
yang membahas tentangperalihan harta tersebut dalam ilmu hukum disebut hukum
kewarisan, atau dikenal juga dengan hukum faraid Idris Djakfar dan Taufik Yahya
mendefinisikan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-
cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih
hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam
al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah Arab
disebut Faraidl.i (Idris Djakfar dan Taufik Yahya, 1995: 3-4). Pasal 171 huruf (a) Kompilasi
Hukum Islam mendefinisikan: "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris ". Dari kedua definisi tersebut
dapat diketahui bahwa hukum kewarisan Islam merupakan hukum yang mengatur tentang
peralihan kepemilikan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih
hidup (yang berhak menerimanya), yang mencakup apa saja yang menjadi harta warisan,
siapa-siapa saja yang berhak menerima, berapa besar forsi atau bagian masing-masing ahli
waris, kapan dan bagaimana tata cara pengalihannya. Warisan menurut sebagian besar ahli
hukum Islam ialah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal
dunia baik berupa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan
juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang
digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.(Masjfuk
Zuhdi,1993:57). Allah Swt. memerintahkan agar setiap orang yang beriman mengikuti

46
47

ketentuan-ketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub


dalam kitab suci Al-Qur'an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar
peraturan ini.( Mahmud Yunus, 1989: 5). Dalam Q.S. An-Nisa' ayat 13 dan 14 Allah
berfirman: Artinya : Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang
siapa yang taat pada (hukum-hukum) Allah dan RasulNya, niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka
(akan) kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar.
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, serta melanggar ketentuan
(hukum-hukum) Allah dan Rasul-Nya, Niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api
neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat
menghinakan. Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum Allah
menyangkut penentuan para ahli waris, tahapan pembagian warisan serta forsi masing-
masing ahli waris, yang menekankan kewajiban melaksanakan pembagian warisan
sebagaimana yang ditentukan Allah, yang disertai ancaman bagi yang melanggar ketentuan
tersebut. Sebaliknya bagi hamba yang mengikuti ketentuan-Nya, Allah menjanjikan surga.
Rasulullah Saw. bersabda: Artinya : Barang siapa yang tidak menerapkan hukum waris yang
telah diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan surga, (muttafak alaih) Dalam
tradisi Arab pra Islam, hukum yang diberlakukan menyangkut ahli waris mereka menetapkan
bahwa wanita dan anak-anak tidak memperoleh bagian warisan, dengan alas an mereka tidak
atau belum dapat berperang guna mempertahankan diri, suku atau kelompoknya, oleh karena
itu yang berhak mewarisi adalah laki-laki yang berfisik kuat dan dapat memanggul senjata
untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan. (Rofik, 1998:6)
Konsekuensinya perempuan, anak-anak dan orang tua renta tidak berhak mewarisi
harta peninggalan kerabatnya. Islam datang membawa panji keadilan persamaan kedudukan
laki-laki dan perempuan, anak-anak, orang dewasa, orang yang tua renta, suami, isteri
saudara laki-laki dan saudara perempuan sesuai tingkatan masing-masing. Dari berbagai
ketentuan dalam hukum kewarisan Islam, setidaknya ada lima azas (doktrin) yang disepakati
sebagai sesuatu yang dianggap menyifati hukum kewarisan Islam, yaitu bersifat Ijbari,
bilateral, individual, keadilan yang berimbang dan akibat kematian. ( Syarifuddin, 1984:24)

B. RUMUSAN MASALAH
47
48

1. Apa pengwrtian adil dalam islam ?


2. Apa pengertian sisi keadilan dalam fiqh mawaris ?
3. Apa hikmah menjalankan keadilan dalam fiqh mawaris ?

48
49

BAB III
PEMBAHASAN

1. Pengertian Adil Dalam Islam


Kata keadilan berasal dari kata "'adala",( Parman, 1995: 73). yang dalam Al-Quran
terkadang disebutkan dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat berita. Kata "'adala"
dalam Al-Qur'an disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 28 kali dalam berbagai bentuknya,
untuk menyebutkan suatu keadaan yang lurus. Disebut lurus karena secara khusus kata tersebut
bermakna penetapan hukum dengan benar. Pada pokoknya, syari'ah bertujuan untuk menegakkan
perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua
orang. Jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagi syari'ah. (Muslehuddin,
1991: 77).
Dalam bahasa Indonesia, keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan,
perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang kepada kebenaran, proporsional
dll. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:6-7) Dalam hubungannya dengan hak yang
menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan hukum kewarisan, dapat diartikan
bahwa keadilan merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan
berdasarkan perolehan dan kewajiban/keperluan. Dengan demikian keadilan dalam hukum waris
Islam merupakan ketentuan hukum Islam mengenai peralihan harta warisan dari pewaris
(pemilik harta yang meninggal dunia) kepada para ahli waris yang bersifat proporsional dan
berimbang.

2. Sisi keadilan dalam fiqh mawaris


Keadilan Dalam Hukum Waris Islam Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu
bahwa keadilan merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang
disimpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum
tentang kewarisan. Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut
hukum Kewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi antara laki-laki dan
perempuan serta perbandingan 2 :1 (baca 2 banding 1) antara forsi laki-laki dan perempuan.
Sebaliknya anak perempuan, dengan forsi yang diperolehnya tersebut akan mendapat
49
50

penambahan dari mahar yang akan didapatkannya apabila kelak ia menikah, selanjutnya setelah
menikah ia (pada dasarnya) tidak dibebankan kewajiban menafkahi keluarganya, bahkan
sebaliknya dia akan menerima nafkah dari suaminya, kondisi umum ini tidak menafikan keadaan
sebaliknya, tapi jumlahnya tidak banyak. Dari penjelasan tersebut, jika dicontohkan secara
konkret adalah seorang anak laki-laki memperoleh harta warisan bernilai uang Rp.20.000.000,-
(dua puluh juta), sedangkan saudara perempuannya memperoleh Rp. 10.000.000; (sepuluh juta)
berdasarkan ketentuan 2 : 1 , maka Ketika laki-laki tersebut akan menikah, ia akan mengeluarkan
biaya keperluan mahar sekitar Rp.5.000.000,-(lima juta rupiah), jadi sisa harta dari bagian
warisan yang ada pada laki-laki tersebut berjumlah Rp. 15.000.000; (lima belas juta rupiah).
Sebaliknya saudara perempuannya yang memperoleh bagian warisan Rp. 10.000.000; (sepuluh
juta rupiah) tersebut akan memperoleh tambahan Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) disebabkan
mahar yang diperolehnya dari laki-laki yang menikah dengannya. Dengan demikian maka kedua-
duanya (laki-laki dan perempuan) yang memperoleh bagian warisan tersebut sama-sama
memperoleh Rp. 15.000.000,-(lima belas juta rupiah). Dengan demikian maka perempuan selain
pemilik penuh dari kekayaan yang diwarisi dari orang tuanya dan tidak ada
pemaksaan/kewajiban untuk dibelanjakan, juga akan mendapatkan tambahan dari mahar yang
diberikan laki-laki yang akan menjadi suaminya serta mendapatkan hak nafkah dari suaminya
tersebut. Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris Islam bukan saja
keadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya forsi berdasarkan
kewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan tetapi juga bersifat commulatif, yakni bagian
warisan juga diberikan kepada wanita dan anak-anak. Hal tersebut berbeda dengan hukum
warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang
masih berlaku. Jika dalam satu kasus seorang anak (juga saudara) perempuan mendapat separuh
dari harta peninggalan, pada hakikatnya jauh lebih besar dari perolehan laki-laki, sebab kekayaan
laki-laki (termasuk dari bagian warisan) pada akhirnya akan pindah ke tangan wanita dalam
bentuk pangan, sandang dan papan, sehingga bahagian laki-laki tersebut akan lebih dahulu habis.
Sebaliknya kekayaan perempuan (dari pembagian warisan tersebut) akan tetap utuh tak
berkurang, jika diinginkannya,24 karena pada hakikatnya perempuan mengambil bagian
(warisan, harta laki-laki) dan tidak memberi apa-apa, la mendapat bagian warisan dan
memperoleh nafkah, tidak sebaliknya. Perbedaan yang berdasarkan besar kecilnya beban dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagaimana diuraikan di atas, berdasar hukum
50
51

kausalitas imbalan dan tanggung jawab, bukan mengandung unsur diskriminasi. Forsi perempuan
yang ditentukan tersebut seimbang dengan kewajibannya. Sebab dalam Islam, kaum wanita pada
dasarnya dibebaskan dari memikul tanggung jawab ekonomi keluarga. Oleh karena itu, jika
seseorang menerima bagian waris tinggi, berarti hal itu merupakan manifestasi dari tingkat
kewajibannya, yang merupakan konsep perbedaan secara sosiologis dalam masyarakat Islam. Di
Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2 : 1 bukan ketentuan
yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, di antaranya Zainuddin Sardar
yang menyatakan bahwa setiap rumusan hukum yang terdapat pada nash Al-Qur' an dan Hadits
terdiri dan unsur-unsur: a. Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk
semua tempat dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah. b. Unsur Hudud yang
bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan kondisi sebagaimana kaidah: Artinya:
Perubahan hukum (dapat terjadi) berdasarkan perubahan masa, tempat dan keadaan26 Oleh
karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam di antaranya norma tentang
hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua.
Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam
segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan. Meski
demikian, pada kenyataannya rumusan Pasal 176 KHI yang dijadikan hukum materiil di
lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2 : 1 tidak bergeser. Ketentuan 176 KHI yang tetap
mempertahankan forsi 2 : 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dilatarbelakangi para
penyusun ataupun ahli hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 KHI meyakini
ketentuan ayat tersebut bersifat Sarih/tafsil dan gath'i, berdasarkan pada teori standar
konvensional yang menyebutkan "perbedaan jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-
laki berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab", seperti yang telah diuraikan di atas.
Dalam hukum waris Islam juga ditentukan bagian Ibu dan bapak yang berhak mewarisi bersama
anak dengan keturunannya, dalam arti Ibu dan bapak sama-sama mewarisi dengan forsi yang
berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari harta warisan, apabila pewaris meninggalkan
anak laki-laki. Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karma bapak
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah untuk ibu. Walaupun dalam hukum
waris Islam ditentukan forsi 1 : 1 (satu banding satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni
sama-sama memperoleh 1/6 bagian, akan tetapi dalam pelaksanaannya/penerapannya masih
memperhatikan keadilan atas dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan tanggung jawab laki-
51
52

laki lebih besar dibanding perempuan. Oleh karena itu akan dinilai adil jika bagian ayah lebih
besar dibandingkan bagian ibu, seperti dalam kasus apabila pewaris meninggalkan ahli waris :
suami, ibu dan bapak. Dalam kasus demikian, asal masalah adalah enam, dimana suami
memperoleh ½ (3 bagian), ibu memperoleh 1/3 dari sisa (1 bagian) dan ayah mendapat sisa (2
bagian).

3. Apa hikmah menjalankan keadilan dalam fiqh mawaris

Jika dirinci, sebenarnya banyak sekali hikmah dan faedah yang terkandung dalam hukum
waris. Terutama jika dikaitkan dalam beberapa ketentuannya sebagai berikut: Hikmah

a. hukum waris sebab perkawinan

Allah telah menciptakan mahluknya yang bernama manusia secara berpasang pasangan.
Allah juga mensyariatkan adanya pernikahan antara laki-laki dan perempuan sebagai upaya
legalisasi hubungan antara keduanya. Allah juga menjadikan hubungan perkawinan sebagai
salah satu sebab seseorang memperoleh hak waris. Di antara hikmahnya adalah bahwa
masing-masing dari suami maupun istri merupakan penolong antara satu dengan yang lain
dalam menjalani dinamika kehidupan, mulai dari mengatur rumah, mendidik anak dan apa
yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, tidak pantas bagi mereka untuk tidak
mendapat bagian dari harta warisan. Hikmah lainnya adalah ketika ada seorang suami yang
wafat meninggalkan istri yang sudah tua dan tidak mungkin untuk menikah lagi dengan
seseorang yang dapat memberinya nafkah untuk kehidupan selanjutnya, maka dia dapat
hidup dengan harta waris dari suaminya. Atau ketika seorang suami meninggalkan istri yang
miskin, paling tidak harta waris dari suaminya bisa menjadi nafkah bagi istri tersebut hingga
selesai masa iddahnya.

b. Hikmah bagian 2 banding 1 antara laki-laki dan perempuan

Adapun hikmah pensyariatan bagian 2 banding 1 antara anak laki-laki dengan


perempuan, karena laki-laki lebih berat tanggungannya daripada perempuan. Seperti
mencari nafkah untuk belanja kehidupan keluarganya, anak-anaknya serta orang-orang yang
menjadi tanggungannya secara syar’i. Bahkan laki-laki bertanggung jawab atas segala
pengaturan masalah yang khusus maupun umum. Berbeda dengan perempuan yang selalu

52
53

terikat dengan beberapa penghalang. Tidak ada aktivitas lain bagi mereka kecuali mengatur
rumah, sedang yang memberi uang belanja untuk urusan itu adalah suaminya, sebagai suatu
kewajiban syar’i. Seorang istri tetap akan mendapatkan bagian meskipun istri dalam keadaan
cukup baik dari segi harta dan kenikmatan hidup.

Hikmah lain yang terkandung dalam ketentuan 2 banding 1 ialah, karena laki-laki itu
dibebani dengan masalah hidup yang tidak mampu dijalankan oleh kaum wanita. Laki-laki
cenderung dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaan berat dan kasar yang tentunya sangat
menguras tenaga dan fikiran. Bahkan dalam Islam, hanya kaum laki-laki lah yang
diwajibkan untuk berperang di jalan Allah. Meski dalam kasus tertentu, perempuan juga
terkadang bekerja keras, namun jika dilihat dari sisi besarnya tanggung jawab kamu lelaki,
maka pantaslah jika mereka mendapatkan bagian lebih.

c. Hikmah pemberian hak waris kepada perempuan

Sebagaimana telah disebutkan dalam sejarah hukum waris, bahwa pada masa jahiliyyah,
kaum perempuan dilarang mendapatkan waris. Bahkan lebih tragis lagi, mereka yang
ditinggal mati suaminya, menjadi ‘harta’ warisan yang juga dapat diwaris oleh anaknya.
Kemudian Islam datang dengan serta merta menghapus tradisi tersebut dan bahkan
memberikan bagian waris pada kaum perempuan. Hikmahnya, bahwa Islam juga
memperhatikan kaum perempuan. Bagi orang tua, tentunya kasih sayang tidak hanya
diberikan kepada anak laki-laki saja. perempuan juga mendapatkan kasih sayang yang sama.
Oleh karena itulah, Islam mensyariatkan pembagian harta waris juga untuk anak perempuan.
Tidak hanya itu, bahkan bagian anak perempuan termasuk dalam bagian-bagian pasti (al-
furu>d al-muqaddarah), sedangkan anak laki-laki hanya mendapatkan sisa. Beberapa
hikmah lain yang terkandung dalam hukum waris adalah ketika ayah dan ibu mendapatkan
hak waris. Tidak hanya hubungan nasab ke bawah saja yang mendapatkan warisan,
melainkan hubungan nasab ke atas juga mendapatkan hak waris, mengingat betapa besar
jasa ayah dan ibu kepada pewaris. Meskipun keduanya tidak pernah mengharapkan balasan
atas jasa-jasanya kepada pewaris, yang notebene anaknya, namun Islam memerintahkan
untuk tetap memberikan harta waris tersebut. Tidak hanya itu, Islam juga memerintahkan
untuk membagi hak waris kepada saudara pewaris. Hal ini sebagai wujud terjalinnya kasih
sayang persaudaraan antara keduanya.Hikmah lain dalam hukum waris adalah bahwa sistem
53
54

hukum Islam sangatlah sistematis dalam mengatur bagian-bagian waris serta keterhalangan
beberapa ahli waris oleh ahli waris lain. Dalam hal hija} b > (terhalang mendapatkan waris),
baik itu h}ija>b nuqs}a>n (pengurangan) maupun h}Irma>n (peniadaan), dapat ditemukan
ketentuan tentang faktor skala prioritas hak waris, yakni yang paling utama tentunya ahli
waris anak dan hubungan perkawinan (suami atau istri). Mereka sama sekali tidak bisa
terhalang oleh siapapun.

d. Hikmah Hukum Waris dalam Ranah Sosial

Selain hikmah-hikmah hukum waris yang telah disebutkan, terdapat pula hikmah-hikmah
lain terutama yang berhubungan dengan ranah sosial. Berikut

ini beberapa hikmah yang berkaitan dengan hukum waris 45, sebagai berikut:

pertama, Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (hifdz al maal). Kedua,
mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga, serta kehidupan bermasyarakat
dalam skala luas. Ketiga, menjalin tali silaturahmi antar anggota keluarga dan
memeliharanya agar tetap utuh. Keempat, merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau
tanggung jawab dari seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah
Allah SWT yang harus dipelihara dan tentunya harus dipertanggungjawabkan kelak. Kelima,
mewujudkan kemaslahatan umat Islam dengan menjadikan kesamaan agama sebagai salah
satu sebab pendukung hubungan waris. Dan keenam, ketentuan hukum waris menjamin
perlindungan bagi keluarga dan mendukung kemajuan dari generasi ke generasi dalam
bermasyarakat. Hal ini karena waris merupakan bagian dari hukum keluarga dalam kajian
keislaman.

54
55

KESIMPULAN

1. Azas" Keadilan berimbang", dalam hukum waris Islam menentukan laki-laki dan
perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, dengan forsi yang berbeda.
2. Berdasarkan nash yang gath'i, maka adil dan berimbang yang dimaksudkan dalam hukum
waris Islam adalah bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan
(forsi 2 :1 antara laki-laki dan perempuan).
3. Perbedaan forsi tersebut tidak disebabkan persoalan gender, melainkan atas perbedaan
tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada laki-laki lebih besar dibandingkan
dengan yang dibebankan kepada perempuan dalam konteks masyarakat Islam,
sesuai teori standar konvensional yang menyebutkan:"Semakin besar dan

55
56

DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, Niswatul. “Rekontruksi Hukum Waris Islam: Makna Kalalah David S.

Power”, Muslim Heritage, Vol. 5, No.1, 2017.

Muhibbin, Mohammad dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai

Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.

Ahmad Rofik. 1998.. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia. 2009.

56

Anda mungkin juga menyukai