Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu: Akmam Mutrofin,S.Sy.,M.H

Disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Studi Hukum Islam

i
Disusun Oleh:

M.Ikbal Sahansah Mesin 2094074048

Mohammad Rizqi Ilham Nugraha Mesin 2094074014

Exsel Ferdi Hansyah Mesin 2094074027

Tegar Wangsit Prabowo Mesin 2094074003

JURUSAN TEKNIK MESIN – FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI

2021

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat, berkah, dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Fiqh dan Ushul
Fiqh yang membahas tentang “Sejarah Perkembangan Hukum Islam” ini. Sholawat dan salam tak lupa juga kami haturkan kepada
baginda nabi Muhammad SAW.

Dalam penulisan makalah kali ini kami jadi mengetahui Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia. Meski hambatan
dan cobaan dalam pembuatan makalah ini kami rasakan juga, tapi berkat semangat dari teman-teman dan orang-orang terdekat,
Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Bapak Akmam Mutrofin,S.Sy.,M.H ,selaku dosen Studi Hukum Islam kami.


2. Spesial untuk anggota kelompok: Iqbal, Rizki, Tegar dan Exsel. Terima kasih untuk waktu kalian dan hasil kerja keras kalian,
semoga ilmu yang kita suguhkan ini bermanfaat.
Kami menyadari jika makalah yang kami sajikan ini belumlah sempurna. Untuk itu kami menerima kritik dan saran demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi siapa saja yang ingin belajar tentang filsafat ilmu.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.

iii
iv
DAFTAR ISI

MAKALAH.......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................................iii
BAB I................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................................1
A.  Latar Belakang Masalah......................................................................................................1
B.  Rumusan Masalah.................................................................................................................1
C.  Tujuan Penulisan..................................................................................................................1
D.  Metode Penulisan..................................................................................................................1
BAB II..............................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...............................................................................................................................2
A.  Perkembangan Hukum Islam di Masa Nabi Muhammad saw. (610 M – 632 M)............2
B.  Perkembangan Hukum Islam di Masa Khulafaur Rasyidin (632 M – 662 M).................4
1.    Abu Bakar Siddiq (632 M – 634 M).....................................................................................4
2.    Umar bin Khattab (634 M – 644 M)...................................................................................6
a.    Kasus Talak..........................................................................................................................6
b.    Tentang Adzan.....................................................................................................................7

v
3.    Utsman bin Affan (644 M – 656 M)....................................................................................8
4.    Ali bin Abi Thalib (656 M – 662 M)....................................................................................8
C.  Perkembangan Hukum Islam di Masa Imam Mazhab....................................................10
BAB III...........................................................................................................................................13
PENUTUP......................................................................................................................................13
A.  Kesimpulan..........................................................................................................................13
B.  Saran....................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................14
B.    INTERNET........................................................................................................................14

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam, sangatlah penting untuk kita ketahui. Selain untuk memperdalam
pengetahuan kita tentang sejarah hukum islam, namun yang paling penting adalah bagaimana kita bisa memahami betul sumber dan
dasar hukum islam itu sendiri, karena dengan mempelajari sejarah kita bisa merasakan betapa dekat dan besar perjuangan para ulama
dahulu terhadap  perkembangan hukum  islam sekarang dengan menggali ilmu-ilmu yang terkandung dalam al-qur’an maupun
sunnah. Kita tidak bisa menutup mata terhadap sejarah, kalau bukan karena ulama-ulama kita terdahulu yang mempelajari,
mengajarkan serta menulis buku-buku tentang islam atau sejarahnya, maka Mustahil bagi kita sekarang ini untuk merasakan
manisnya hukum islam itu sendiri.

B.  Rumusan Masalah

1.   Bagaimana perkembangan hukum Islam pada masa Nabi Muhammad saw.?
2.      Bagaimana perkembangan hukum Islam pada masa Khulafaur Rasyidin?
3.      Bagaimana perkembangan hukum Islam pada masa Imam Mazhab?

1
C.  Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui perkembangan hukum Islam pada masa Nabi Muhammad saw.
2.      Mengetahui perkembangan hukum Islam pada masa Khulafaur Rasyidin.
3.      Mengetahui perkembangan hukum Islam pada masa Imam Mazhab.

D.  Metode Penulisan

Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara menelaah buku-buku kepustakaan sebagai
referensi dan menelusuri internet yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A.  Perkembangan Hukum Islam di Masa Nabi Muhammad saw. (610 M – 632 M)

Agama Islam sebagai induk hukum Islam muncul di Semenanjung Arab, di suatu daerah tandus yang dikelilingi oleh laut pada
ketiga sisinya dan lautan pasir pada sisi keempat. Daerah ini adalah daerah yang sangat panas, di tengah-tengah gurun pasir yang
amat sangat luas yang mempengaruhi cara hidup dan cara berfikir orang-orang Badui yang tinggal di tempat itu. Untuk memperoleh
air bagi makanan ternaknya, mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Alam yang begitu keras membentuk
manusia-manusia individualistis. Perjuangan memperoleh air dan padang rumput merupakan sumber-sumber perselisihan antar
mereka. Dan karena itu pula mereka hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan garis patrilineal, yang saling bertentangan.
Kedudukan anak laki-laki sangat penting dalam sebuah keluarga karena melalui anak laki-laki inilah garis keturunan ditarik dan
dia pulalah di dalam keluarga yang dianggap akan meneruskan keturunan dan membawa nama baik keluarganya. Dan karena
statusnya yang demikian, maka laki-laki mempunyai kekuasaan yang amat besar dibanding wanita. Kedudukan wanita dipandang
sangat rendah, wanita hanya dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama sekali. Karena itu pula, jika lahir anak perempuan dalam
satu rumah tangga, seluruh keluarga menjadi malu karena merasa tidak bisa mempertahankan keturunannya. Karena itu keluarga
bersangkutan, berusaha untuk melenyapkan nyawa bayi wanita atau membunuhnya kemudian setelah ia berumur beberapa tahun.

3
Pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah yang bertepatan dengan tanggal 20 April tahun 571 Masehi, lahirlah seorang bayi
yang oleh ibunya (Aminah) diberi nama Ahmad, dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan Muhammad. Kedua nama ini berasal
dari satu akar kata yang di dalam bahasa Arab berarti terpuji atau yang dipuji. Setelah ibunya meninggal Muhammad dipelihara oleh
kakeknya yang bernama Abdul Muthalib dan setelah kakeknya meninggal dunia pula, Muhammad masih diasuh oleh pamannya Abu
Thalib. Muhammad berasal dari keluarga terhormat tetapi tidak kaya dan sebagai seorang pemuda ia hidup di kalangan mereka yang
berkuasa di Mekah. Pada usia 25 tahun beliau kawin dengan seorang janda yang bernama Khadijah yang umurnya lima belas tahun
lebih tua dari beliau dan masih mempunyai hubungan kekerabatan.1[2]
Pada waktu masyarakat Arab dalam keadaan yang memprihatinkan Nabi Muhammad sering menyendiri di gua Hira selama
bulan Ramadhan. Ketika beliau mencapai umur 40 tahun, yakni pada tahun 610 Masehi, beliau menerima wahyu pertama. Pada
waktu itu beliau ditetapkan sebagai Rasul atau Utusan Allah. Tiga tahun kemudian, Malaikat Jibril membawa perintah Allah untuk
menyebarluaskan wahyu yang diterimanya kepada umat manusia. Menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, Guru Besar Hukum
Islam Universitas Kairo, ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah jumlahnya 140 ayat dalam Al Qur’an. Ayat-ayat ibadah ini
berkenaan dengan soal shalat, zakat dan haji. Sedangkan ayat-ayat hukum mengenai mu’amalah jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari
jumlah seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam l Qur’an. Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam Al Qur’an itu menurut
penelitian Prof. Abdul Wahhab Khallaf adalah sebagai berikut:
1.    Hukum Keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan kewarisan sebanyak 70 ayat.
2.    Hukum Perdata lainnya, di antaranya hukum perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat.
3.    Mengenai hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari 10 ayat.

4
4.    Hukum Pidana terdiri dari 30 ayat.
5.    Hukum Tata Negara terdapat 10 ayat.
6.    Hukum Internasional terdapat 25 ayat.
7.    Hukum Acara dan Peradilan terdapat 13 ayat.
Ayat-ayat tersebut pada umumnya berupa prinsip-prinsip yang harus dikembangkan lebih lanjut sewaktu Nabi Muhammad masih
hidup, tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat hukum ini terletak pada diri beliau sendiri melalui ucapan, perbuatan
dan sikap diam beliau yang disebut sunnah yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadis.2[3]

2[3]
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 42.

5
B.  Perkembangan Hukum Islam di Masa Khulafaur Rasyidin (632 M – 662 M)

Kata Khulafaur Rasyidin itu berasal dari bahasa arab yang terdiri dari kata khulafa’ dan rasyidin. khulafa’ itu menunjukkan
banyak khalifah, bila satu di sebut khalifah, yang mempunyai arti pemimpin dalam arti orang yang mengganti kedudukan rasullah
SAW sesudah wafat melindungi agama dan siasat (politik) keduniaan agar setiap orang menempati apa yang telah ditentukan oleh
batas-batanya dalam melaksanakan hukum-hukum syariat agama Islam. Adapun kata Arrasyidin itu berarti arif dan bijaksana. Jadi
Khulafaur Rasyidin mempunyai arti pemimpin yang bijaksana sesudah Nabi Muhammad wafat.3[4]
Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang Beliau terima melalui
malaikat Jibril baik waktu beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah,
berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah itu. Kedudukan Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak mungkin diganti, tetapi
tugas Beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh orang lain. 4[5]Untuk menggantikan
kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin ummat dan kepala negara, dipilihlah seorang pengganti dari kalangan sahabat Nabi
sendiri. Dari kalangan sahabat Nabi yang terkemuka pada waktu itu terpilih Abu Bakar Siddiq menjadi khalifah pertama. Setelah
beliau meninggal dunia, berturut-turut menjadi khalifah kedua, ketiga, dan keempat adalah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib.5[6]

3[4]
http://www.kompasiana.com/rahilazny89/khulafaur_rasyidin_ (diunduh, minggu, 2 april 2016, 14.30 wib)

4[5]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h. 153.
5[6]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 155.

6
1.    Abu Bakar Siddiq (632 M – 634 M)

Beliau adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Sebelum masuk Islam beliau terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani.
Beliau ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Dan karena hubungannya yang dekat Nabi Muhammad, beliau mempunyai
pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat
sekali.
Banyak tindakannya yang dicatat dalam sejarah Islam, namun yang penting adalah:
a. Pidato pelantikannya yang antara lain berbunyi: “Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala negara, tetapi aku bukannlah yang
terbaik diantara kita sekalian. Karena itu, jika aku melakukan sesuatu yang benar ikuti dan bantulah aku, tetapi jika aku melakukan
kesalahan, perbaikilah. Sebab, menurut pendapatku, menyatakan yang benar adalah amanat, membohongi rakyat adalah
pengkhianatan.” Selanjutnya beliau berkata, “ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, kalian berhak
untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut kepatuhan kalian. ” kata-kata Abu Bakar ini sangat penting artinya
dipandang dari suduh hukum ketatanegaraan dan pemikiran pollitik Islam, sebab kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam
menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintah dengan warga negara.
b.   Selain pidato pelantikannya, yang kedua adalah cara yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam memecahkan persoalan hukum yang
timbul dalam masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu Tuhan. Kalau tidak terdapat disana, dicarinya
dalam sunnah Nabi. Kalau dalam sunnah Nabi ini pemecahan masalah tidak diperoleh, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat
Nabi yang dikumpulkannya dalam satu majlis. Mereka yang duduk dalam majlis itu melakukan ijtihad bersama (jama’i). timbulah

7
keputusan atau konsensus bersama yang disebut ijma mengenai masalah tersebut. Dalam masa pemerintahan Abu Bakar inilah sering
dicapai apa yag disebut dalam kepustakaan sebagai ijma sahabat.
c.      Atas anjuran Umar, dibentuk panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Qur’an yang telah ditulis di zaman Nabi
pada bahan-bahan darurat seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta dan sebagainya dan menghimpunnya ke dalam satu
naskah. Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit salah seorang pencatat wahyu dan sekretaris Nabi Muhammad ketika Beliau masih
hidup. Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan naskah Al-Qur’an itu diuji dahulu ketepatan pencatatannya dengan hafalan
para penghafal Al-Qur’an yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah Abu Bakar meninggal dunia, naskah itu disimpan oleh Umar
bin Khattab dan sesudah Khalifah II ini meninggal dunia pula, naskah Al-Qur’an itu disimpan dan dipelihara oleh Hafsah, janda Nabi
Muhammad.6[7]

2.    Umar bin Khattab (634 M – 644 M)

Sebagai sahabat Nabi, Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Ia melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam
sampai ke Palestina, Sirya, Irak, dan Persia disebelah Utara seta ke Mesir di Barat Daya. Ia menetapkan hukum Islam yang terkenal
dengan tahun Hijriyah berdasarkan perederan bulan (Qamariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi (Maadiyah) yang didasarkan
pada perederan matahari atau Syamsiyah, tahun Hijriyah lebih pendek. Perbedaannya setiap tahun adalah 11 hari, sekian jam, sekian
menit. Penetapan tahun Hijriyah ini dilakukan Umar pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli ilmu hisab (hitung) pada waktu itu.
Selain itu, penetapan Umar yang diikuti oleh ummat Islam di seluruh dunia sampai sekarang (dan juga di masa yang akan datang)

6[7]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 156-157.

8
adalah membiasakan salat at-tarawih berjama’ah yaitu salat sunnat malam yang dilakukan sesudah salah Isya, selama bulan
Ramadhan. Disamping itu, Khalifah Umar ini mempunyai sikap toleran terhadap pemeluk agama yang lain. Ini terbukti ketika beliau
hendak mendirikan masjid (sekarang terkenal dengan masjid Umar, di Jerussalem, Palestina), yaitu tempat yang menurut keyakinan
beliau Nabi Muhammad dahulu mi’raj ke langit. Sebelum mendirikan masjid, Khalifah Umar terlebih dahulu memberitahukan
maksudnya dan meminta izin kepada pemimpin agama golongan Kristen dan Yahudi di tempat itu. Karena di dekat tempat itu telah
berdiri tempat ibadah orang Kristen dan Yahudi. Padahal, sebagai penguasa atas seluruh daerah baru tersebut, ia tidak wajib
melakukan hal itu. Namun, ia melakukan hal tersebut karena sikapnya yang toleran terhadap pemeluk agama lain.7[8]
Berikut contoh-contoh tentang ijtihad Umar.

a.    Kasus Talak

Pada pasal "talak tiga sekaligus" dari bab "thalak", kitab Shahih Muslim, juz 1 halaman 574, dirawikan dari Abdullah bin Abbas
melalui beberapa rangkaian sanad; pada masa kehidupan Rasulullah saw. Kekhalifahan Abu Bakar dan dua tahun pertama
kekhalifahan Umar perbuatan talak tiga sekaligus dianggap satu. Kemudian Umar bin Khattab berkata : "Banyak orang tergesa-gesa
dalam urusan talak yang seharusnya mereka berhati-hati dalam memutuskannya. Maka sebagai pencegah agar mereka tidak
tergesaa-gesa sebaiknya kita tetapkan saja seperti yang mereka ucapkan.” Sebab itu dilaksanakan kehendak Umar, Yakni
menjatuhkan thalak tiga sekaligus dianggap thalak terakhir sehingga tidak ada kesempatan untuk rujuk lagi (kecuali setelah wanta itu
kawin lagi dengan seorang pria lain lalu menceraikan lagi setelah itu).

7[8]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 158.

9
b.    Tentang Adzan

Umar tidak hanya menghapus atau mengurangi satu baris kalimat adzan Hayya 'ala Khayr al 'amal, tetapi ia juga menambahkan
sebaris kalimat untuk adzan subuh Ashalatu khairun minan naum, suatu kalimat adzan yang tidak pernah didengar pada masa
Rasulullah masih hidup dan masa kekhalifahan Abu Bakar. Riwayat ini bisa dilihat dalam kitabb Al Muwaththa Imam Malik, Pada
bab tentang seruan sholat, "bahwa muadzin mendatangi Umar bin Khattab untuk memberi tahu tentang tibanya waktu shalat subuh.
Ketika dijumpai Umar masih tidur, si muadzin berkata; "Ash-Shalatu Khairun min an-Naum (sholat lebih utama dari tidur), maka
Umar memerintahkan agar kalimat itu dimasukkan kedalam adzan subuh." Lain lagi motifnya Umar menghapus kalimat adzan
Hayya 'ala Khayr al 'amal. disini persoalanya lebih serius, berhubungan langsung dengan kepentingan politik di masa pemerintahan
Umar dengan penakluknya. Seperti diungkapkan oleh sejarawan, masa kekhalifahan Umar adalah satu kurun waktu bersejarah
dimana tentara kaum muslimin bergerak melakukan penaklukan-penaklukan penting ke berbagai penjuru, situasi seperti ini
memerlukan semangat untuk membangkitkan gairah perjuangan. sementara Umar bin Khattab tahu betul peranan "jihad fi sabilillah"
dan ingin meletakkanya pada prioritas istimewa agar jihad itu terkesan paling utama ketimbang yang lain, termasuk diantaranya lebih
penting dan lebih utama dari shalat. Untuk itu khalifah Umar memerintahkan kalimat "marilah mengerjakan sebaik-baiknya amal"
yakni shalat, sebagai satu perbuatan utama dan sebaik-baiknya dihapuskan, karena dianggap mengganggu dan menghambat misi
ekspansi.8[9]

8[9]
http://mahrusali611.blogspot.co.id/2013/03/penegakan-hukum-islam-dizaman-umar-bin.html (diunduh, minggu, 2 april 2016, 14.30
wib)

10
3.    Utsman bin Affan (644 M – 656 M)

Di masa pemerintahannya perluasan daerah Islam diteruskan, ke Barat sampai ke Maroko, ke Timur menuju India ke Utara
bergerak ke arah Konstantinopel. Banyak juga jasa-jasa Utsman, namun yang relevan untuk diuraikan adalah tindakannya untuk
menyalin dan membuat Al-Qur’an standar, yang di dalam kepustakaan disebut dengan kodifikasi Al-Qur’an atau peresmian Al-
Qur’an.
Standardisasi Al-Qur’an perlu diadakan, karena pada masa pemerintahannya wilayah Islam telah sangat luas dan didiami oleh
berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan dialek yang tidak sama. Perbedaan cara mengucapkan itu menimbulkan perbedaan
arti. Untuk itu, Utsman membentuk panitia yang kembali dipimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin naskah Al-Qur’an yang telah
dihimpun di masa Khalifah Abu Bakar dahulu, yang disimpan oleh Hafsah, janda Nabi Muhammad. Panitia ini bekerja dengan satu
disiplin tertentu, menyalin naskah Al-Qur’an ke dalam lima mus-haf, untuk dijadikan standar dalam penulisan dan bacaan Qur’an di
wilayah kekuasaan Islam pada waktu itu. Semua naskah yang dikirim ke ibukota provinsi (Makkah, Kairo, Damaskus, Baghdad) itu
disimpan dalam masjid besarnya masing-masing dan satu naskah tinggal di Madinah untuk mengenang jasa Utsman. Naskah yang
disalin di masa pemerintahannya itu disebut Mus-haf Usmani atau al-Imam karena ia menjadi standar bagi Qur’an yang lain.
Kemudian disalin dan diberi tanda-tanda bacaan di Mesir seperti yang kita lihat sekarang ini.9[11]

4.    Ali bin Abi Thalib (656 M – 662 M)

9[11]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 162-163.

11
Semasa pemerintahannya Ali tidak banyak dapat berbuat untuk mengebangkan hukum Islam, karena keadaan negara tidak stabil.
Di sana-sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh ummat Islam yang bermuara pada perang saudara yang kemudian
menimbulkan kelompok-kelompok, diantaranya dua kelompok besar ummat Islam sekarang ini yakni ahlus sunnah wal jama’ah
(Sunni) yaitu kelompok atau jamaah ummat Islam yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muhammad dan Syi’ah yaitu pengikut
Ali bin Abi Thalib. Perpecahan kedua kelompok ini dimulai dengan perbedaan pendapat mengenai masalah politik, yakni siapa yang
berhak menjadi Khalifah, kemudian disusul dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan
kekeluargaan.10[12]
Pengaruh hukum yang ditinggalkan oleh periode sahabat ini ada tiga hal, yaitu:
1.    Penyerahan perundang-undangan bagi nash-nash hukum dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Setelah para pemuka sahabat membahas
nash-nash untuk diterapkan pada kejadian-kejadian yang dihadapi, maka tersusunlah beberapa pendapat dalam memahami nash-nash
tersebut serta apa yang dikehendaki oleh nash-nash tersebut. Dalam menetapkan pendapatnya, para sahabat bersandar kepada
kemampuan bahasa serta bakat hukum mereka, dan mereka berpegang kepada hikmah hukum, sebab-sebab turun ayat Al-Qur’an dan
sebab-sebab turunnya teks al-Sunnah.
2.    Bermacam-macamnya ijtihad sahabat pada kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Jika tidak menjumpai suatu nash dalam
Al-Qur’an al-Sunnah tentang hukum kejadian yang dihadapi, maka para sahabat berijtihad untuk mengistinbatkan hukum dengan
memakai salah satu dari beberapa metode istinbath yang ada.11[13] Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu
pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi. Fatwa-fatwa yang diungkapkan para sahabat mempunyai pengaruh

10[12]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 164.
11[13]
Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: TERAS, 2009, h. 66-67.

12
terhadap perkembangan hukum islam. Banyak para ulama dan imam madzhab merujuk pada pendapat para sahabat besar dan
mengembangkan lagi ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum Islam, bahkan masalah yang
belum dihadapi.
3.    Sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan kasus yang dihadapi. Thuruq al-Istinbath tersebut digunakan
dalam rangka menyelesaikan kasus yang dihadapi. Sehingga generasi sahabat kecil dan tabiin mengikuti jejak sahabat besar dalam
menyelesaikan suatu perkara.12[14]

12[14]
https://lailynurarifa.wordpress.com/2011/10/10/tarikh-tasyri%E2%80%99-masa-khulafaur-rasyidin/ (diunduh, minggu, 2 april 2016,
14.30 wib)

13
C.  Perkembangan Hukum Islam di Masa Imam Mazhab

Setelah kuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam dilanjutkan oleh dinasti Abbasiah. Periode ini dikenal sebagai
zaman keemasan dalam sejarah pemikiran hukum Islam, atau fase fikih menjadi ilmu yang mandiri atau fase kesempurnaan. Faktor-
faktor yang mendorong perkembangan pemikiran dalam hukum Islam pada periode ini, adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di
dunia Islam. Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di dunia Islam itu disebabkan oleh:
a.    Banyaknya mawali yang masuk Islam. Mereka dimanfaatkan untuk menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab,
termasuk filsafat karya Aristoteles, Plato dan Galen.
b.     Berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan.
c.    Adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Alquran dengan dua cara; dicatat (dikumpulkan dalam satu mushaf), dan dihafal.
Pelestarian Alquran melalui hafalan dilakukan dengan mengembangkan cara membacanya sehingga saat itu dikenal corak bacaan
Alquran (qira’at). Adanya perbedaan qira’at (bacaan) tentunya akan mengakibatkan munculnya perbedaan dalam mengistinbatkan
hukum Islam.
Pada dinasti Abbasiah ini, pesatnya perkembangan pemikiran hukum Islam melahirkan beberapa mazhab yang masih eksis
hingga sekarang, di antaranya Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah yang dikemukakan secara ringkas dalam uraian
selanjutnya.
a.    Mazhab Hanafiah dirintis oleh imam Abu Hanifah. Di antara hasil pemikiran hukum Islam yang dikembangkan Abu Hanifah,
adalah:

14
1)   benda wakaf masih tetap milik wāqif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘ariyah (pinjam meminjam). Karena itu benda
wakaf dapat dijual, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada orang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan
berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas, bahwa wakaf itu terus dilanjutkan meskipun
wāqif telah meninggal.
2)   wanita boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Karena wanita
tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, ia hanya boleh menjadi saksi perkara perdata.
3)   shalat gerhana (matahari dan bulan) dilakukan dua rakaat seperti salat ‘Id, tidak dilakukan dua kali ruku dalam satu rakaat.
b.    Mazhab Malikiah dirintis oleh imam Malik bin Anas. Di antara pemikiran hukum Islam yang dikembangkan oleh imam Malik,
adalah:
1)   kesucian mustahadah. Menurut imam Malik, wanita yang mengalami istihadah diwajibkan satu kali mandi, kesuciannya setelah itu
cukup dengan berwudu, berdasarkan amal ulama Madinah.
2)   berjimak dengan wanita mustahadah. Laki-laki diharamkan berjima dengan isterinya yang sedang haid dan nifas. Tetapi boleh
berjima dengan isterinya yang sedang istihadah.
3)   qamat salat, dilakukan satu kali satu kali.
4)   bacaan salat di belakang imam, makmum disunatkan membaca bacaan salat saat bacaan salat imam tidak terdengar.
5)   takbir zawa’id dalam salat hari raya idul fitri dan idul adha, adalah 6 kali takbir, selain tabiratul ihram pada rakaat pertama,
sedangkan pada rakaat kedua adalah 5 kali takbir, selain takbir bangkit dari sujud.
c.    Mazhab Syafi’iah dirintis oleh Imam Syafi’i. Hasil pemikiran Imam Syafi’i berkembang dalam dua model; qaul al-qadīm dan qaul
al-jadīd, diantaranya:

15
1)   Qaul qadim
a)    Orang yang wudunya tidak tertib karena lupa adalah sah.
b)   Berturut-turut dalam memba-suh anggota badan yang wajib dibasuh dalam berwudu adalah wajib.
c)    Menyentuh dubur tidak membatalkan wudhu.
d)   Seseorang dibolehkan tayamum dengan pasir.
e)    Salat isya lebih utama dilaksanakan dengan segera.
f)    Ibadah umrah adalah sunnah.
2)   Qaul jadid
a)    Orang yg wudunya tidak tertib, meskipun lupa, adalah tidak sah.
b)   Berturut-turut dalam membasuh anggota badan yang wajib dibasuh dalam berwudhu adalah sunat.
c)    Menyentuh dubur membatalkan wudhu.
d)   Seseorang tidak dibolehkan tayamum dengan pasir.
e)    Salat isya lebih utama dilaksanakan dengan diakhirkan.
f)    Ibadah umrah adalah wajib
Selain itu imam Syafi’i juga mengembangkan pemikiran hukum Islam di antaranya:
a)    masalah imamah termasuk masalah agama, karena itu mendirikan imamah merupakan kewajiban agama. Pemimpin umat Islam
harus beragama Islam, dan dari kalangan Quraisy serta orang-orang non muslim terlindungi.
b)   wanita tidak boleh menjadi hakim secara mutlak.

16
d.   Mazhab Hanabilah dirintis oleh imam Ahmad bin Hanbal. Di antara hasil pemikiran hukum Islam yang dikembangkan imam Ahmad,
adalah:
1)   Pencuri yang dapat dipotong tangannya, harus mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan bukan pemilik walau pun syubhat. Nisab harta
yang dicuri minimal ¼ dinar atau 3 dirham.
2)   khalifah harus dari kalangan Quraisy. Ketaatan kepada khalifah adalah mutlak.
Dengan demikian dapat diungkapkan, bahwa pemikiran dalam hukum Islam mencapai kemajuan pesat di zaman dinasti
Abbasiah, ditandai oleh: (1) lahirnya para ahli hukum Islam serta (2) munculnya berbagai teori hukum Islam yang masih dianut
hingga sekarang. Jadi pada periode ini pemikiran hukum Islam terkristali-sasi oleh para imam mazhab, Hanafi, Malik, Syafi’i, dan
Hanbali. Jika masa-masa sebelumnya metodologi formulasi hukum Islam belum jelas, maka pada masa imam mazhab, telah
diformulasikan secara jelas. Di samping itu di zaman ini dihasilkan pula berbagai kitab hadis mu’tabar yang dikenal dengan kutub al-
sittah. Dengan demikian perkembangan pemikiran dalam hukum Islam mencapai kejayaannya di zaman dinasti Abbasiah.13[15]

13[15]
http://abdulkhaliklatuconsina.blogspot.co.id/2010/01/perkembangan-pemikiran-hukum-islam.html diunduh pada hari Minggu, 3 April
2016.

17
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

1.Pada waktu masyarakat Arab dalam keadaan yang memprihatinkan Nabi Muhammad sering menyendiri di gua Hira selama bulan
Ramadhan. Ketika beliau mencapai umur 40 tahun, yakni pada tahun 610 Masehi, beliau menerima wahyu pertama. Pada waktu itu
beliau ditetapkan sebagai Rasul atau Utusan Allah. Tiga tahun kemudian, Malaikat Jibril membawa perintah Allah untuk
menyebarluaskan wahyu yang diterimanya kepada umat manusia. Wahyu tersebut adalah Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum
pertama dalam Islam. Menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo, ayat-ayat hukum
mengenai soal-soal ibadah jumlahnya 140 ayat dalam Al Qur’an. Ayat-ayat ibadah ini berkenaan dengan soal shalat, zakat dan haji.
Sedangkan ayat-ayat hukum mengenai mu’amalah jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat yang terdapat
dalam l Qur’an.
2.Pada masa sahabat cara menetapkan hukum dengan cara: 1) menelaah Qur’an, 2) melihat pada sunnah Nabi, baik perkataan
maupun perbuatan beliau, 3) jikalau belum ditemukan para sahabat melakukan ijtihad bersama, 4) jikalau belum ditemukan juga
hukumnya, maka para sahabat melakukan Qiyas.
3.Pada masa imam mazhabpun, cara pentepannya hampir sama dengan yang dilakukan pada masa sahabat. Namun, imam mazhab
sering melakukan ijtihad sendiri, sehingga menghasilkan fatwa yang berbeda-beda.

18
Saran

Kami menyadari, masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun.

19
DAFTAR PUSTAKA

INTERNET

[3]
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 42.
[4]
http://www.kompasiana.com/rahilazny89/khulafaur_rasyidin_ (diunduh, minggu, 2 april 2016, 14.30 wib)

[5]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h. 153.
[6]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 155.
[11]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 162-163.
[12]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 164.

[13]
Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: TERAS, 2009, h. 66-67.
[14]
https://lailynurarifa.wordpress.com/2011/10/10/tarikh-tasyri%E2%80%99-masa-khulafaur-rasyidin/ (diunduh, minggu, 2 april 2016,
14.30 wib)

20

Anda mungkin juga menyukai