Anda di halaman 1dari 35

Makalah Ilmu Kalam

PEMIKIRAN KALAM MASA KINI

Disusun Oleh:
Yulida
Nim: 2006020146

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL HIKMAH


PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
MEULABOH - ACEH BARAT
TAHUN ANGGARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah. Wabarakatu,


Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan hidayah-
Nya. Sehingga proses pembuatan Makalah ini tentang Konsep pendidikan Moral ini dapat
diselesaikan  tepat pada waktunya.

Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan alam Nabi
Muhammad SAW.Makalah yang berjudul “Permikiran Kalam Masa Kini” ini disusun guna
memenuhi tugas dari mata kuliah Ilmu Kalam, tak lupa ucapan terimakasih kami ucapkan
kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga makalah kami dapat terselesaikan
dengan baik.

Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna baik
dalam segi bahasa,penyusunan, maupun pengetikannya, untuk itu kami mengharapkan kritik
dan saran untuk kami terkait makalah ini agar kami bisa menyusun makalah lebih baik lagi
kedepanya.

saya sadar bahwa apa yang telah saya peroleh tidak semata-mata hasil dari jerih payah
saya sendiri tetapi hasil dari semua sumber ilmu yang saya peroleh baik di internet, buku dan
dll. Oleh sebab itu, saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk membuat malakah ini. .

Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatu,.


Meureubo, Juni 2021

Yulida
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................i
Daftar isi.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1. Latar belakang.......................................................................................................1
2. Rumusan masaalah................................................................................................2
3. Tujuan.....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
a. Hasan Hanafi........................................................................................................3
b. Muhammad Rasidi..............................................................................................3
c. Ismail Al furiqi.....................................................................................................4
d. Harun Nasutions..................................................................................................6
e. KH. Ahmad dahlan..............................................................................................8
f. KH. Hasyim Asrary.............................................................................................10

BAB III PENUTUP...........................................................................................................13


1. Kesimpulan.............................................................................................................13
2. Saran .............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang


Islamisasi merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup
(worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu
(epistemology) dan konsep Tuhan (Theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama
yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam
semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.

Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki komitmen cukup
baik kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha
mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai
universalitas Islam tersebut. Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang
berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi
Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi
pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan
diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus
perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik
yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh
dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam

Sering dengan  perkembangan zaman Ketika umat islam dalam kondisi yang oleh Sayyid
Qutub dapat digambarkan sebagai suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat
pintu ijtihad , mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau
mengistimbatkan hukum-hukum, karena mereka merasa telah cukup dengan hasil karya para
pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan
khurafat-khurafat. Dengan kondisi tersebut maka lahirlah para pembaharu-pembaharu Islam
seperti Syekh Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal.

Islam dalam pandangan Iqbal bersifat tidak statis, tetapi dapat disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan ciri
dinamika yang harus dilambangkan dalam Islam. Masih banyak lagi pemikiran-pemikiran
kalam para pembaharu tersebut. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak isi makalah
dibawah ini.
Ajaran Islam, yang sumber ajarannya berasal dari Al-qur’an dan sunnah Nabi,
diyakini oleh umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh
perputaran zaman. Pada dasarnya Islam itu satu, tetapi pada kenyataannya bahwa tampilan
Islam itu beragam, karena lokasi penampilannya mempunyai budaya yang beragam,
perubahan jaman telah membawa budaya dan teknologi yang berbeda-beda. Misalnya, ada
komunitas yang senang menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, ada pula yang
senang pemerintahan republik. Bahkan, ada yang ingin kembali ke pemerintah bentuk
khilafah Ada yang terikat dengan teks Al-Qur’an dan Hadis dalam memahami ajaran Islam.

Tidak bisa dihindari lagi, semua merasa pemikirannyalah yang paling benar antara sesama
Muslim yang terjadi dimana-mana dalam rangka menampilkan Islam. Tampaknya,
pemahaman itu utuh, pesan ketuhanan dapat ditangkap, fanatik buta dapat diredam, sejarah
tampilan ajaran Islam dari waktu ke waktu perlu dicermati. Dengan cara ini proses
terselengaranya syariat Islam di masa Nabi dan generasai-generasi berikutnya dapat
dipahami. Alasan kebijakan para tokoh Islam untuk maksud ini pun dapat dimengerti. Dalam
era kontemporer ini kemudian teraktualisasi perdebatan kalam dikalangan tokoh modernis.

Di antara tokoh yang ada di era kontemporer ini adalah Ismail Al-Faruqi, Hasan Hanafi,
H.M. Rasyidi dan Harun Nasution. Nurkhalis Majid, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asrary
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang ilmu kalam masa kini tentang pemikiran
tokoh yang telah disebutkan di atas.

B.  Rumusan Masalah


Ada beberapa permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini diantaranya:
1. Ilmu kalam masa kini dan Riwayat Hidup dan pemikiran ilmu kalam Hasan Hanafi,
M. Rasyidi, Ismail Al-Faruqi, Harun Nasution, Nurkhalis Majid, KH Ahmad Dahlan,
KH Hasyim Asrary

C.  Tujuan Penulisan


Adapun tujuan pembuatan makalah ini diantaranya adalah untuk memenuhi tugas
dosen Ilmu Kalam yang dibimbing oleh bapak Yusran Syah Putra, M.Ag serta untuk
menambah dan memperluas wawasan mahasiswa dalam ilmu mata kuliah dibidang Ilmu
Kalam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. ILMU KALAM MASA KINI

a. HASAN HANAFI
 Riwayat Singkat Hidup Hasan Hanafi
Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan
Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia
yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat
dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara
historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak
masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa
moderen.

Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan
dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan
nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah
mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la
ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu
ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera
menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan. Ketika
masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri
bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan
para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai
pada akhir tahun 1940-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-
anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi
Ikhwanul MusliminSejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo
untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk
di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan
gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan
Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne;
Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara
metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia
sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir,
pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis
kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari
Profesor Masnion.

Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di


luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970).
Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Temple, Amerika
Serikat.

Pengalaman dengan para pemikir besar dunia dalam berbagai pertemuan internasiona, baik di
kawasan Negara Negara arab, asia, eropa, dan amerika membantunya semakin paham
terhadap persolan besar yang sedang dihadapi dunia dan umat islam di berbagai Negara.
Hanafi berkali kali mengunjungi Negara Negara asing seperti belanda, swedia,
Portugal,spanyol, prancis,jepang India Indonesia, sudan, dan saudi Arabia antara tahun 1980-
1987.

 Pemikiran Kalam Hasan Hanafi


1. Kritik terhadap teologi tradisional
Dalam gagasannya tentang rekontruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya
mengubah orientnasi perangkat konseptual system kepercayaan (teologi) sesuai dengan
perubahan konteks-politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks
sejarah ketika inti keislaman system kepercayaann, yakni trandensi Tuhan, diserang oleh
wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi itu bermaksudkan untuk mempertahankan doktrin
utama dan memelihara kemurniannya.
Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan
kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik-konflik social politik. Oleh karena itu, kritik
teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran
manusia, teologi terbuka untuk kritik. Menurut Hanafi, teolgi sesungguhnya bukan ilmu
tentang Tuhan, yang secara etimologi berasal dari kata theos dan logos, melainkan ilmu
tentang kata (ilm al-kalam).
Hanafi juga menunjukan bahwa teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah “pandangan
yang benar-benar hidup” dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat
manusia. Secara praktis, teologi tradisional gagal menjadi semacam ideology yang sungguh-
sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teologi
tradisional disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara
keimanan teoritik dengan amal praktisnya di kalangan umat.

1. Rekontruksi teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekontruksi
teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang
bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekontruksi dan revisi, serta membangun
kembali epistimologi lama yang rancu dan palsu menuju epistimologi baru yang sahih dan
lebih signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar
dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang
social, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara actual
landasan etik dan motivasi manusia.

System kepercayaan sesungguhnya mengekpresikan bangunan social tertentu. Sistem


kepercayaan menjadikan gerakan social sebagi gerakan bagi kepentingan mayoritas yang
diam (al-aglabiyah as-sfimitah:the majority) sehingga kepercayaan memiliki fungsi visi.
Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekontruksi teologi tradisional adalah revolusi
social. Menilai revolusi dengan agama di masa sekarang sama halnya dengan mengaitkan
filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi tuntutan zaman saat itu.
Langkah melakukan rekontruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal
berikut:

1. Kebutuhan akan adanya sebuah ideology yang jelas di tengah-tengah pertarungan global
antara berbagai ideology
2. Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak
pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideology sebagai gerakan
dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem
pendudukan tanah di Negara-negara muslim
3. Kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata
diwujudkan dalam realitas melalui relitas tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki
adanya ‘teologi dunia’ yaitu teologi baru yang dapat mempersatuan umat muslim di
bawah satu orde.

b. Muhammad Rasyidi
1.      Sekilas tentang H.M. Rasyidi
Dalam konteks pertumbuhan kajian akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit
mengesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam
di Mesir yang melanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar di
Kanada. Lepas dari retorika-retorika anti baratnya, orang tak akan luput mendapati bahwa
hamper keseluruhan konstruksi akademiknya dibangun atas dasar unsure-unsur yang ia
dapatkan dari Barat. Tegasnya kaum orientalis darpada lainnya. Ia daalah intelektual
Indonesia yang paling banyak memperoleh tidak hanya perkenalan, tetapi juga penyerapan
ramuan-ramuan intelektual dari gudang orientalisme. Dialah yang berpengaruh dalam usaha
mengirimkan para lulusan IAIN atau sarjana lainnya ke Montreal sehingga banyak orang
yang benar-benar harus berterimakasih kepadanya. Dan apa yang telah dirintisnya itu
kemudian diteruskan dalam skala yang lebih besar dan penuh harapan oleh Munawir Sjadzali.
H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 - 30 Januari 2001) adalah mantan
Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat,
Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru pada
Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar
Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta Karya Koreksi terhadap
Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977,
Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979.
Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger
Garandy, Bulan Bintang, 1982.
2.      Pemikiran Kalam H.M. Rasyidi
Pemikiran kalam Rasjidi dapat ditelusuri dari kritikan-kritikan yang dialamatkan kepada
Harun Nasution dan Nurcholis Madjid. Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari
beberapa tokoh seangkatannya. Tentang Ilmu kalam, ia membedakannya dengan teologi.
Menurutnya teologi berarti ilmu ketuhanan yang kemudian mengandung beberapa aspek
ajaran Kristen yang diluar kepercayaan sehingga teologi kristen tidak sama dengan tauhid
atau ilmu Kalam. Tentang akal, beliau berpendapat bahwa akal tidak mampu mengatahui baik
dan buruk, hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya aliran eksistensialisme sebagai reaksi
terhadap aliran rasionalisme dalam filsafat barat. Dengan menganggap akal dapat mengetahui
baik dan buruk berarti juga meremehkan ayat-ayat al Qur’an. Pemikiran H.M Rasydi ini
sedikit banyaknya mengarah kepada pemikiran Al Maturdiyah yang banyak dianut di
Indonesia.
Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut.
a) Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi
Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi Ilmu kalam adalah teologi Islam
dan teologi adalah ilmu kalam Kristen Kata teologi kemudian mengandung
beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar),
sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.
b) Tema-tema ilmu kalam
Deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi
umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Menonjolkan perbedaan
pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah akan melemahkan iman para
mahasiswa.
c) Hakikat iman
Iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat
dilihat dalam dimensi kontekstual atau hubungan manusia dengan manusia,
yaitu hidup dalam masyarakat.

c. Ismail Al-Faruqi
1.      Riwayat Singkat Ismail Al-Faruqi
Ismail Raji Al-Faruqi, lahir pada tanggal 1 Januari 1921 di Jaffa Palestina. Pada tahun
1941, Al-Faruqi mengambil kuliah filsafat di American University, Beirut. Setelah tamat dan
meraih gelar Bachelor of Arts, ia kemudian bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada
pemerintahan Inggris- yang memegang mandate atas Palestina ketika itu-selama empat tahun.
Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24 tahun, ia diangkat menjadi Gubernur
Galilea.
Pada tahun 1949, Faruqi hijrah ke AS untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar
master filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian, gelar master filsafat kembali ia
raih dari Universitas Harvard.
Kesempatan untuk menjadi kaya semakin terbuka baginya. Akan tetapi, hasrat dan
bakat bisnis itu ditepisnya. Faruqi memilih kembali ke Universitas Indiana, dan pada tahun
1952 meraih Ph. D filsafat dengan disertasi berjudul On Justifiying the God: Metaphysics and
Epistemology of Value.
Merasa kurang pengetahuannya mengenai Islam, walaupun sudah bergelar doctor,
Faruqi lalu pergi ke Mesir. Selama tiga tahun, ia menyelesaikan pascasarjana di Universitas
Al-Azhar. Selama 2 tahun (1959-1961) ia mengajar dan juga mempelajari etika Yahudi dan
Kristen di Universitas McGill, Canada.
Pada tahun 1964, Faruqi kembali ke AS. Pertama-tama yang dia kerjakan adalah
menjadi guru besar tamu pada Universitas Chicago dan Associate Profesor bidang agama
pada Univesrsitas Syracuse. Lalu pada tahun 1968, hingga wafatnya, ia menjabat guru besar
agama pada Universitas Temple. Bersamaan itu juga ia menjabat sebagai professor studi
keislaman pada Central Institute of Islamic Research, Karachi.  
Faruqi tergolong pengajar yang humoris dan memiliki banyak cara untuk muridnya
tidak merasa jenuh. Kuliah-kuliahnya mengenai Islam menjadikan iman dan sejarah Islam
sebagai sesuatu yang hidup dikelas.
Sayyed Hussein Nasr, sarjana muslim yang juga mengajar diberbagai universitas di
AS, menyebutnya sebagai “Sarjana muslim pertama yang mendedikasikan sepanjang
hayatnya pada studi-studi Islam di AS dan menjadikan AS sebagai kediaman terakhirnya.”
Keaktifan Faruqi diberbagai kelompok studi Islam dan keterlibatannya dalam gerakan-
gerakan Islam amat menonjol. Ia adalah tokoh dibalik pembentukan MSA, ISNA, AJISS,
AMSS, IIIT, dan banyak lagi lembaga keislaman di AS.
Faruqi juga duduk sebagai penasihat diberbagai unversitas di dunia Islam dan ikut
mendesain program studi Islam di Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Libya, Saudi
Arabia, dan Mesir. Juga di tempat-tempat terpencil Mindanao State University, Filipina dan
Universitas Islam Kum, Teheran.
Dia menjadi dewan editorial pada sejumlah jurnal, menulis lebih dari 100 artikel
diberbagai jurnal ilmiah, disamping mengarag dua puluh lima judul buku. Adapun The
Cultural Atlas of Islam adalah salah satu karyanya yang merupakan hasil kerjasama dengan
Prof. Lamya, istrinya.

2.      Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi


Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tauhid.
Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa syahadat menempati posisi sentral
dalam kehidupan manusia baik dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap
muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan
waktu, sejarah manusia, dan takdir. Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat,
al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menentang etnisentrisme yakni
tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak
hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh
ummat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme,
yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia dalam artian Islam tidak
hanya menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut
aktivitas manusia disetiap masa dan tempat. Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang
kretivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam
menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya
yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
Pemikiran Al-Faruqi tentang kalam dapat ditelusuri melalui karyanya yang berjudul,
Tahwid: Its Implications for Thought and Life (Edisi Indonesianya berjudul Tauhid). Al-
Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut:
a)   Tauhid sebagai inti pengalaman agama
b)   Tauhid sebagai pandangan dunia
c)    Tauhid sebagai intisari Islam
d)   Tauhid sebagai prinsip sejarah
e)    Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
f)     Tauhid sebagai prinsip metafisika
g)   Tauhid sebagai prinsip etika
h)   Tauhid sebagai prinsip tata sosial
i)     Tauhid sebagai prinsip ummah
j)     Tauhid sebagai prinsip keluarga
k)    Tauhid sebagai prinsip tata politik
l)     Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
m) Tauhid sebagai prinsip estetika

d.      Harun Nasution


1.      Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada hari Selasa 23
September 1919. Ayahnya Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui
kitab-kitab Jawi. Pendidikan formalnya dimulai di sekolah Belanda HIS (Hollandsche
Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun 1937, lulus dari Moderne
Islamietische Kweekschool di bukit tinggi pada tahun 1934. Ia melanjutkan pendidikan di
Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana
muda di American University of Cairo.Harun Nasution menjadi pegawai Deplu RI di
Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar doktor di Universitas McGill di
Kanada pada tahun 1968. Selanjutnya, pada 1969 menjadi rektor di IAIN Syarif Hidayatullah
dan UNJ. Pada tahun 1973, menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah. Harun
Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998 di Jakarta. Harun Nasution dikenal sebagai
tokoh yang memuji aliran Muktazilah (rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam
kehidupan beragama. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim
Indonesia berpikir secara rasional. Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang
berpikiran terbuka. Ketika ramai dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975,
Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan pembentukan
wadah musyawarah antar agama, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga.
Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain : Akal dan Wahyu dalam
Islam (1981), Filsafat Agama (1973), Islam Rasional (1995) dan Sejarah Pemikiran dan
Gerakan (1975).

2.      Pemikiran Kalam Harun Nasution


a)        Peranan akal
Secara garis besar pemikiran Harun Nasution mengarah kepada pemikiran
Muktazillah yang menunut kepada peranan akal dalam kehidupan manusia. Berkenaan
dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian “Akal melambangkan kekuatan manusia.
Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk
lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk
mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah
pulalah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut”. Hal ini dasarkan ada
kenyataan bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi terhadap peranan akal dalam
kehiduapn manusia untuk perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan keagamaan
Islam.
Bukanlah secara kebutuhan bila Harun Nasution memilih problemtika akal dalam
teologi Muhammad Abduh sebagi bahan kajian di universitas McGill, Mentreal, Kanada..
Besar kecilnya peranan akal dalam system tologi suatu aliran sangat menentukan dinamis
atau tidaknya pemahamanan seseorang tentang ajaran Islam. Berkenana dengan akal ini,
Harun Nasution menulis demikian, “Akal melambangkan kekuatan manusia, Karena Akallah,
manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukan kekuatan makhluk lainsekitarnya.
Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan
makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah pulalah
kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
b)        Pembaharuan teologi
Pembaharuan teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun
diatas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduraj umat Islam Indonesia (juga dimana
saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini, serupa
dengan pandangan kaum modern lainnya pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
Al-Afgani, Sayid Amer Ali, dan lainnya) yang memandang perlu untuk kembali kepada
teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dalam
teologi yang berwaatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori moderenisasi
ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni
teologi Mu’tazilah.
Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi mereka menuju
teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini
selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni teologi
Mu’tazilah.
c)        Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia
menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi
keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an.
Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya.
Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai
untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi
interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi
interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal
dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks
wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama
tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
e. Nurkalis Majid
1. Riwayat Hidup Nurkalis Majid
Nurcholish Madjid atau yang biasa dipanggil Cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur,
17 Maret 1939,11 bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358 H. Nurcholish Madjid
adalah putra dari seorang petani Jombang yang bernama H. Abdul Madjid. Abdul Madjid
adalah seorang ayah yang rajin dan ulet dalam mendidik putranya dia adalah seorang figur
ayah yang alim1
Penanaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan oleh H. Abdul Madjid kepada
Nurcholish Madjid, bukan saja melalui penanaman aqidah, moral, etika, atau pun dengan
pembelajaran membaca Alquran saja, akan tetapi juga dengan arah pendidikan formal bagi
Nurcholish Madjid2. Pendidikan dasar yang ditempuhnya pada dua sekolah tingkat dasar,
yaitu di Madrasah al-Wathoniyah dikelola oleh ayahnya sendiri dan di Sekolah Rakyat (SR)
di Mojoanyar, Jombang.
Selepas menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) pada tahun 1952, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya pada
jenjang yang lebih tinggi. Pesantren Darul ‘Ulum Jombang menjadi pilihan ayahnya dan
dipatuhi oleh Nurcholish Madjid. Di pesantren ini Nurcholish Madjid hanya mampu
menjalani proses belajarnya selama dua tahun. Atas izin ayahnya, kemudian Nurcholish
Madjid pindah ke Pondok Pesantren Darussalam, KMI (Kulliyat Mu’alimien al Islamiah)
Gontor Ponorogo pada tahun 1955. Hal ini disebabkan penderitaan yang dialami Nurcholish
Madjid karena ejekan yang datang dari teman-temannya, terkait dengan pendirian politik
ayahnya yang terlibat di Masyumi.3
Perkembangan intelektual Nurcholish Madjid di Gontor berjalan seiring dengan
besarnya perhatian orang tuanya H. Abdul Madjid dalam mendidik. Untuk itulah akselerasi
belajar yang diperolehnya tersebut menghantarkannya sebagai santri berprestasi. Prestasi
belajar Cak Nur yang fenomenal itu, diperhatikan oleh KH. Zarkasyi, salah satu pengasuh
pesantren Gontor, dan ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud mengirimkannya
ke Universitas al-Azhar, Kairo Mesir.
Kepemimpinan Nurcholish Madjid pada organisasi mahasiswa tingkat Nasional
tersebut merupakan hal amat penting dalam jalur intelektualisme kehidupannya. Pada sisi
lain, keterlibatannya pada kegiatan Internasional yakni kunjungannya ke Timur Tengah dan

1 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid,
Djohan Effendi, Ahmad
2 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal …, h. 72
3 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal…, h. 75.
ke Amerika Serikat telah semakin mematangkan petualangan intelektualitasnya. Pada saat-
saat itulah, Nurcholish Madjid melontarkan gagasan kontroversial, yang sangat menyengat
kalangan Masyumi yang waktu itu sedemikian getol memperjuangkan visi Islam Politik,
yakni jargon Islam Yes, Partai Islam No. 4
Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar philosophy Doctoral (Ph.D) di
Universitas Chicago dengan nilai cumlaude. Adapun disertasinya ia mengangkat pemikiran
Ibnu Taymiah dengan judul “Ibn Taymiyah dalam ilmu kalam dan filsafat: masalah akal dan
wahyu dalam Islam” (Ibn Taymiyah in Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and
Revelation in Islam). Disertasi doktoral yang dilakukan ini menunjukkan atas kekaguman
dirinya terhadap tokoh tersebut.

2. Pemikiran Kalam Nurkhalis Majid


a. Keislaman, Keindonesiaan dan Kemoderenan
Pemikiran Cak Nur identik dengan keislaman, keindonesian dan kemoderenan, bahkan
beliau merupakan tokoh yang pertama kali mengungkapkan hal tersebut, hal ini diungkapkan
oleh Saifullah dalam Pena Almuslim “Mengawinkan keislaman, kemodernan. Gagasan ini
pertama kali dikemukan oleh Nurchalish Madjid pada era 70-an, dan sekarang ini dirasakan
pentingnya gagasan tersebut direaktualisasi dalam konteks pembangunan karakter bangsa”5
Kemudian mengenai corak pemikiran Cak Nur yang keislaman, keindonesian dan
kemoderenan bisa diketahui melalui karya tulis beliau yang identik dengan judul dan
pembahasannya dengan tiga hal tersebut, salah satu bukunya berjudul “Islam Kemoderenan
dan Keindonesiaan”.6
Karya ini tersusun sebagai respon terhadap berbagai persoalan dan isu-isu yang
berkembang di sekitar kemodernan, keislaman dan keindonesiaan. Karya ini juga mendapat
sambutan antusias dari pembaca, hal ini ditandai dengan beberapa kali cetak ulang.7
b. Sekularisasi Islam
Pada tanggal 2 Januari 1970, Nurchalis Madjid menyampaikan pidato pada pertemuan
gabungan empat organisasi Islam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam
Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Persatuan Sarjana Muslim
Indonesia (PERSAMI).Dalam makalahnya berjudul: Keharusan Pembaharuan Pemikiran
4 Siti Nadroh, Wacana Keagamaan ..., h. 37
5 Saifullah, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Islam, dalam Pena Almuslim, volume
2, nomor 2, hlm. 9
6 Madjid, Kehampaan, hlm. 510
7 Muhammad Haris Ritonga, Nurcholis Madjid Gerakan Intelektual Dan Karya-Karyanya, diakses
tanggal 27 Juli 2012, dari http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/20/nurcholis-majid.
Dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat, ia mengajukan pengamatan yang terus terang
bahwa kaum muslim Indonesia mengalami kemandekan dalam pemikiran keagaamaan dan
telah kehilangan “kekuatan daya gebrak psikologis” (psycological striking force) dalam
perjuangan mereka.8
f. KH. Ahmad Dahlan
1. Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan
Di kampung Kauman kota Yogyakarta, yang terletak di sekitar keraton, terkenal
penduduknya taat beragama. Pada abad ke-19 disana ada seorang alim bernama Kyai Haji
Abu Bakar bin K.H. Sulaiman yang menjabat sebagai khatib di Masjid Besar Kesultanan
Yogya. Pada tahun 1868 keluarga Haji Abu Bakar dikaruniai Tuhan seorang putra yang ke
empat. Kepada putra lelaki yang baru lahir itu diberi nama Darwisy (nama kecil K.H. Ahmad
Dahlan). Sayang sekali hari kelahirannya belum diketahui dengan pasti, selain hanya
tahunnya saja, yaitu pada tahun 1868 M. atau 1285 H. Adapun silsilah Muhammad Darwisy,
sepanjang diketahui ialah: Muhammad Darwisy (K.H Ahmad Dahlan) bin Kyai Haji Abu
Bakar bin Kyai Haji Sulaiman bin Kyai Murtadha bin Kyai Ilyas bin Demang Jurang Juru
Kapido bin Demang Juru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (jatinom) bin
Maulana Mohammad Fadlul’llah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin
Maulana Malik Ibrahim Waliyullah. Sedangkan ibunya, Nyai Abu Bakar adalah putri dari
Haji Ibrahim bin Kyai Haji Hasan, yang menjabat Penghulu kesultanan juga.9
K.H. Ahmad Dahlan adalah anak ke-empat dari tujuh bersaudara dengan urutannya
adalah; (1). Nyai Khotib Arum, (2). Nyai Muhsina (Nyai Nur), (3). Nyai Haji Soleh, (4). M.
Darwisy (K.H.Ahmad Dahlan), (5). Nyai Abdurrahaman, (6).Nyai Haji Muhammad Fekih
(ibu Haji Badawi) dan (7). Muhammad Basir. K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan Siti
Walidah (kemudian terkenal dengan sebutan Nyai Dahlan) binti Kyai Penghulu H. Fadhil.
Dalam perkawinannya ini beliau memperoleh putra: (1). Johana (isteri pertama dari H. Hilal,
ibu dari Drs. Wahban Hilal, lahir 1890 wafat tidak diketahui, (2). H. Siraj Dahlan (Direktur
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta), lahir 1898 wafat pada tahun 1948, (3).
Siti Busyro (isteri H.Isom Ja’far), lahir 1903 wafat tidak diketahui, (4). Hj. Siti Aisyah (isteri
kedua dari H. Hilal setelah Johanah meninggal dunia, terkenal dengan Aisyah Hilal),
lahir1905 wafat 10 Agustus 1968, (5). Irfan Dahlan, waktu kecil bernama Jumhan (berada di

8 Madjid, Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Integrasi Umat Islam, dalam Nurcholis Madjid et.al,
Pembaharuan Pemikiran Islam, (Jakarta: Islamic Research Centre, 1970), hlm. 1-12.
9 (Junus Salam, 2009, hal. 56)
Bangkok), lahir 1907 wafat 1967, (6). Siti Zuhara (isteri H. Masykur Banjarmasin), lahir
1908 wafat 1967. 10

Nama K.H. Ahmad Dahlan begitu dikenal di masyarakat terutama dikalangan


Muhamadiyah sendiri, mendengar nama Muhammadiyah orang akan ingat Ahmad Dahlan
sang pencerah pendiri Organisasi besar Muhammadiyah itu. Tentu banyak yang belum
mengenal dan ingin mengetahui, seperti apakah kepribadian dan sosok dari seorang laki-laki
Pahlawan Pergerakan Nasional itu. K.H Mukhtar (1959) mengungkapkan secara mendetail
tentang sosok kepribadian K.H. Ahmad Dahlan seperti yang dikutip oleh Poespo Suwarno
dalam karyanya “Gerakan Islam Muhammadiyah” sebagai berikut:
K.H. Ahmad Dahlan adalah Seorang yang berperawakan sedang, tidak gemuk dan tidak
kurus, berkulit sawo matang agak kekuningan, berwajah ganteng, redup dalam pandangan
mata, tajam penuh kekhusu’an, senang berpakaian jas tutup, krach terusan berkain dan
bersorban, itulah pakaian yang menjadi kebiasaan semasa muda dalam perjuangannya, hal itu
juga dipakai kebanyakan orang. Dalam makan dan minum termasuk cicik (ngrifik. Jw),
nrima, makan dan minumnya sedang, senang minum teh (dekokan, teko. Jw), dibuat di
porongan kecil dan minum garet, hal itu dapat dimaklumi sebagi seorang yang banyak
berfikir, dan suka bekerja, rajin membantu dan menolong orang lain, suka bergerak dan
lincah, banyak kawan-kawan pada waktu itu mengikuti (suyud, Jw.) dan senang dengannya,
banyak orang menyenanginya, dia pandai membawakan massa, pemuda diajak bergaul,
berkumpul untuk bermain bersama, dia suka dan pandai kerajinan tangan, dalam pergaulan
hidup sehari hari tampak menonjol, baik kecerdasan, kepandaian, kecakapan, ke’aliman
maupun ketinggian ilmunya. Dialah Muhammad Darwisy nama asli kecilnya, nama dari
kedua orang tuanya. 11

Muhammad Darwis atau yang sekarang disebut dengan Ahmad Dahlan merupakan
salah satu tokoh pembaharuan Islam di Indonesia, berbicara mengenai pembaharuan seorang
tokoh, pendidikan seorang tokoh sangat berperan penting terhadap pemikirannya di masa
yang akan mendatang. Darwis mengawali pendidikan di pangkuan ayahnya di rumah sendiri.
Darwis mempunyai sifat yang baik, berbudi pekerti halus, dan berhati lunak, tetapi juga
berwatak cerdas. Tak heran jika kedua orangtuanya sangat sayang kepada Darwis. Sejak usia
balita, kedua orangtua Darwis sudah memberikan pendidikan agama. Ketika berusia delapan

10 Junus Salam, 2009, hal. 57, 60-61)


11 Margono Poespo Suwarno, 2005, hal.16
tahun, Darwis sudah bisa membaca Alquran dengan lancar sampai khatam. Darwis juga bisa
memengaruhi teman-teman sepermainan bersama teman-temannya. Menjelang dewasa,
Darwis mulai mengaji dan menuntut ilmu fiqih kepada K.H. Muhammad Saleh. Dia juga
menuntut ilmu nahwu kepada K.H. Muhsin. Kedua guru tersebut merupakan kakak ipar
sekaligus tetangganya di Kaumang. Selain itu, Darwis juga berguru kepada penghulu Hakim
K.H. Muhammad Noor bin K.H. Fadlil dan K.H. Abdulhamid di kampung Lempuyang
Wangi. Sejak kecil Darwis hidup dalam lingkungan yang tentram dan masyarakat yang
sejahtera. Dia selalu hidup berdampingan dengan kedua orangtua, kerabat, dan para alim
ulama yang menyejukkan. Tak heran jika Darwis mempunyai budi pekerti yang baik dan
akhlak yang suci.12
Ketika Darwis berusia 18 tahun, orangtuanya bermaksud menikahkannya dengan putri
dari K.H. Muhammad Fadlil yang bernama Siti Walidah, pada tahun1889, pernikahan
dilangsungkan dalam suasana yang tenang. Siti walidah kelak dikenal sebagai Nyai Ahmad
Dahlan, sosok pendiri Aisiyah dan pahlawan nasional. Dari pernikahannya dengan Siti
Walidah, Ahmad Dahlan memiliki enam orang anak. Selain Siti Walidah, Ahmad Dahlan
juga pernah menikah dengan wanita-wanita lain, yaitu, Nyai Abdullah janda H. Abdullah,
Nyai Rum adik K.H. Munawwir, Nyai Aisyah dan Nyai Yasin dari Pakualaman13.
Ahmad Dahlan adalah pribadi yang bertanggung jawab pada keluarga. Dia juga
dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dalam bisnis batik. Sebagai orang
yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, beliau
juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat. Hasilnya, dia
cepat mendapat tempat diorganisasi Jam‘iyatul Khair, Boedi Utomo, Sarekat Islam, dan
Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Proses pematangan keulamaannya diperkuat melalui kesempatannya mempelajari
ilmu agama di Makkah beberapa tahun, baik sewaktu menunaikan ibadah Hajinya yang
pertama pada tahun 1890, maupun yang kedua pada tahun 1902. Disana ia belajar agama
pada syeh Ahmad Khatib (1855-1916), seorang ulama pengikut mazhab Syafi‘i kelahiran
Bukit Tinggi, yang menetap di Mekah.14 Perkenalannya dengan Pemikir Modern Islam
diduga terjadi pada waktu ia belajar di Mekah melalui Kyai H. Baqir seorang ulama dari
12 Nugroho Adi, Biografi Singkat K.H.Ahmad Dahlan, h. 17-19.
13 Ibid., h. 18
14 Walaupun Ahmad Khatib pengikut Syafi‘i, ia memberikan kebebasan kepada muridmuridnya
untuk mengkaji karya-karya Muhammad Abduh seperti yang terdapat dalam al-Urwat al-Wutsqa
dan Tafsir al-Manar. Diantara murid-muridnya yang dikemudian hari menjadi ulama di Indonesia
ialah Muhammad Djamil Djabek, Abdul Malik Karim Abdullah, Abdullah Ahmad, K.H.Ahmad Dahlan
(pendiri Muhammadiyah), dan K.H. Hasyim Asy‘ari (pendiri NU). Periksa Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam di Indonesia (Jakarta:LP3ES, 1980), h.39
Kauman yang bermukim di Makah, yang memperkenalkannya dengan Rasyid Ridla. Terlepas
dari benar atau tidaknya informasi itu, Ahmad Surkati seorang ulama keturunan Arab yang
kemudian mendirikan perkumpulan Al-Irsyad menerangkan bahwa K.H. Ahmad Dahlan telah
berunding dengannya tentang pendirinya Muhammadiyah dan dia telah membaca karangan-
karangan ahli agama yang terbaru (reformis). Ia juga membaca karangan-karangan Ibn
Taimiyah (1263-1328), Ibn Qayyim alJauwziyah (1292-1350), Muhammad Abduh (1849-
1905), dan karangan-karangan lainnya yang senada. Dari informasi ini ditambah keterangan
H. Agus Salim tampaknya lebih menyakinkan G.F. Pijper-seorang penulis sejarah Belanda,
bahwa K.H.Ahmad Dahlan benar-benar mengetahui tentang reformisme Mesir itu.15
Selama bulan syawal, seusai Idul Fitri, jamaah haji biasa diantar oleh muthawwif-nya
masing-masing dan menemui para ulama untuk menganti nama dari nama Indonesia menjadi
nama arab dan ditambah kata Haji. Muhammad Darwis pun menemui Imam Syafi‘i Sayid
Bakri Syatha. Darwis mendapat nama Haji Ahmad Dahlan. Sejak pulang dari Makkah,
Dahlan turut mengajar anak-anak yang menjadi murid ayahnya. Anak-anak ini belajar
diwaktu siang dan sore di mushalah. Untuk orang dewasa pelajaran diberikan di sore hari
yang diberikan oleh ayahnya sendiri. Dahlan selalu ikut dalam pengajian tersebut, kemudian
jika ayahnya berhalangan hadir maka Dahlan yang menggantikannya. Tak heran jika
kemudian sebutan Kiai diletakkan pada Haji Ahmad Dahlan, dari situlah ia diberi nama K.H.
Ahmad Dahlan.
Setelah kedua orangtuanya meninggal dunia, Dahlan kembali ke Makkah untuk yang
kedua kalinya yaitu pada tahun 1903, disana Dahlan mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu
agama yang sudah dia dapatkan sebelumnya. Dia juga tercatat sebagai murid dari Syeikh
Ahman Khatib Minangkabau, berguru ilmu fiqh kepada Kiai Machful Tremas, Kiai
Muhtaram Banyumas, Syekh Saleh Bafadhal, Syekh Sa‘id Jamani, Syekh Sa‘id Babusyel.
Belajar ilmu hadis kepada Mufti Syafi‘i, belajar ilmu falak kepada Kiai Asy‘ari Baweyan,
dan berguru ilmu qiraat kepada Syekh Ali Mishri
Pada priode kedua kehadirannya di Makkah ini Dahlan juga mempelajari
pembaharuan Islam yang gencar-gencarnya dilakukan oleh tokoh-tokoh pembaharu seperti
Jamaluddin Al-Afghani, Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, dan juga Muhammad Rasyid
Ridha (pengarang tafsir Al-Manar). Dari tafsir AlManar pula gagasan–gagasan pembaharuan
itu memunculkan inisiatif untuk dikembangkan di Indonesia. Pada tahun 1906, Ahmad

15 G.F.Pijper, Studien Over De Geschiendenis van De Islam in Indonesia 1900-1950 (Leiden E.J.
Brill,1977), p. 107. Periksa pula G.F.Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Indonesia 1900-
1950, terj. Tujimah dan Yessi Augusdin (Jakarta: UI Press, 1984), h. 112.
Dahlan kembali ke Yogyakarta dan menjadi guru agama di Kauman. Selain itu ia juga
mengajar di sekolah Kweekscool di Yogyakarta dan Opleidingscool voor Inlandsche
Ambtenaren sebuah sekolah untuk pegawai pribumi di Magelang. Pihak kraton juga
mengangkat Ahmad Dahlan sebagai khatib tetap di Masjid Agung.16
Dari kitab-kitab yang banyak dipelajari dan diajarkan oleh Ahamad Dahlan, terlihat
keluasan wawasan keagamaannya yang meliputi wawasan klasik dan modern. Seperti yang
dituturkan oleh K.R.H. Hadjid, kitab-kitab yang dikaji meliputi kitab-kitab klasik (kuning),
misalnya dalam ilmu aqidah berupa kitabkitab yang beraliran Ahlu al-Sunnah wa al-jama‟ah,
dalam ilmu-ilmu fiqh berupa kitab-kitab fiqh mazhab al-Syafi‟iyyah, dan dalam ilmu tasawuf
berupa kitab-kitab Imam al-Ghazali. Selain itu beliau juga mempelajari dan mengajarkan
kitab-kitab modern seperti tafsir al-Manar, majalah al-Manar, Tafsir Juz „Amma
(Muhammad Abduh), dan majalah al-Urat al-Wutsqa (Jamaluddin al-Afghani).
Sebagaimana ulama sezamannya yang hanya belajar agama, Ahmad Dahlan juga
hanya belajar agama dan tidak pernah memperoleh pendidikan Barat. Akan tetapi berbeda
dengan ulama dan kyai sezamannya, disamping alim dalam ilmu agama ia berfikir modern
dan berorientasi ke masa depan, yang ditunjukkan dengan kemampuannya menempatkan diri
di tengah-tengah kelompok intelektual yang berpendidikan Barat baik yang berada di Budi
Utomo maupun Syarekat Islam. 17
Pamor Ahmad Dahlan memang terliahat karena pintar berdakwah, berwawasan luas,
dan jujur. Namanya menjadi Khatib Amin Haji Ahmad Dahlan, dengan pengangkatan itu
K.H.Ahmad Dahlan mengalami hidup baru sebagai pegawai, tetapi walaupun demikian dia
tidak mengubah sikapnya terhadap orang lain dalam masyarakat. Tugas-tugas itu digunakan
oleh Dahlan untuk mengamalkan ilmunya. Dia juga mengunakan serambi Masji Agung untuk
memberi pelajaran kepada orang-orang yang tidak dapat belajar di surau-surau tempat
pengajian yang berjadwal tetap.
Ahmad Dahlan juga membangun asrama untuk menerima murid-murid dari luar kota
dan luar daerah seperti dari Pekalongan, Batang, Magelang, Solo, dan sekitarnya. Ahmad
Dahlan merasa bahwa saat itu umat Islam mengalami kemerosotan. Umat Islam melakukan
shalat lima karena mengikuti adat istiadat orang-orang tua di masa lalu sehingga kehilangan
etos keagamaannya. Sebagai bukti Ahmad Dahlan mencontohkan pembangunan masjid di
tanah Jawa yang pembangunannya tidak didasarkan untuk kepentingan agama, tetapi untuk

16 Adi Nugroho, Biografi Singkat K.H. Ahamad Dahlan 1869-1923, h. 24.


17 6 A.R. Facruddin, Menuju Muhammadiyah (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, Majlis Tabligh,
1984), h.5.
ketertiban pembangunan negara. Akibatnya, masjid-masjid itu kiblatnya tidak tepat ke arah
Masjidil Haram di Makkah.
2. Pemikiran Kalam KH. Ahmad Dahlan
Setiap tokoh yang dikatakan sebagai seorang pembaharu Islam, pasti memiliki corak
dalam pemikirannaya, sebagaimana diketahui corak merupakan paham, macam atau bentuk.
Sebagaimana Prof. Syahrin Harahap mengatakan, bahwa seorang tokoh selalu memiliki corak
dalam pemikirannya. Ada tiga corak yang paling mendasar dalam pemikiran seorang tokoh
yaitu, natural, tradisional dan rasional. 18
Ahmad Dahlan merupakan salah satu tokoh
pembaharu Islam Indonesia, oleh sebab itu corak pemikiran Ahmad Dahlan bisa mengarah
kepada rasional ataupun tradisional.
Oleh karena itu, lebih tepat dikatakan bahwa Kiai Dahlan hanya menyerap semangat
pembaharuan para pembaharu Timur Tengah khususnya Muhammad Abduh, dengan
menggalakkan ijtihad, menghilangkan taqlid, dan kembali kepada Alquran dan sunnah 19.
Dilihat dari materi pendidikan agama dan falsafah ajaran Kiai Dahlan yang diajarkan kepada
murid-muridnya, yang terekam dalam tulisan K.R.H. Hadjid, ajaran Kiai Dahlan dengan 17
kelompok ayat Alquran dan Falsafah ajaran Kiai Dahlan, tidak banyak memperdebatkan
masalah teologi/ kalam klasik, bahkan secara eksplisit dikemukakan ketidak senangannya
mengungkit perdebatan antara aliran teologi. Pemikirannya lebih bertuju pada masalah-
masalah fungsi agama dalam konteks sosio-kultural dan berdampak langsung bagi
pemberdayaan umat20. Sesuai dengan sumber dan bahan yang ada, pokok-pokok pikiran dan
pandangan Ahmad Dahlan ialah sebagai berikut. Ada pun ayat-ayat Alquran yang sering
digunakan Kiai Dahlan yaitu: al-Jaatsiyah: 23, Artinya: Maka pernahkah kamu melihat orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?(QS: al-
Jatsiyah:23).21. Selain surah al-Jaatsiyah, yang sering digunakan oleh Kiai Dahlan yaitu al-
Fajr: 16-23, Artinya: Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia
berkata: "Tuhanku menghinakanku, sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak

18 Syahrin Harahap, dalam Tesis Maria Ulfa Siregar, Pemikiran Teologis Badiuzzaman Said Nursi, h.
116.
19 Arbiyan Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 187.
20 K.H.R. Hadjid, Falsafah Ajaran, h. 10-1, dan K.H.R. Hadjid, Ajaran K.H.Ahmad Dahlan dengan 17
Kelompok Ayat-ayat Alquran (Semarang: PWM Jawa Tengah, 1996), h. 20- 21,27-28.
21 2 QS. Al-Jatsiyah: 23
memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi Makan orang miskin,dan
kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil),
dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan, jangan (berbuat
demikian). apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang
Malaikat berbarisbaris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu
ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. (QS. AlFajr:16-23).22
a. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan Tentang Iman
Iman merupakan bagian dari teologi, yang ruang lingkupnya berbicara mengenai
Tuhan, Alquran dan manusia. Ahmad Dahlan sendiri tidak mengklaim dirinya sebagai salah
satu pengikut dari aliran kalam tertentu, tetapi jika dilihat dari corak pemikirannya, Kiai
Dahlan lebih mendekati teologi Asy‘ari dan alMaturidi (ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah), tetapi
aqidahnya berdasarkan ajaran ―Sifat Duapuluh‖, terutama menurut uraian Imam al-Sanusi
dalam, kitabnya ―Ummul al-Barahin”, bukannya menurut kalam al-Asy‘ari.23
Sepanjang sejarah, Ahmad Dahlan selalu meluruskan tauhid, peng-Esaan kepada
Allah Subhanahu wata‘ala. Hanya Allah yang wajib disembah, hanya Allah yang wajib
ditaati perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya. Hanya Allah Yang Maha Besar, Maha Kuasa,
Maha Mengetahui, Maha Pandai, ringkasnya hanya Allah Yang Maha Sempurna. Selain itu
Ahmad Dahlan juga menyebutkan bahwa hanya Allah yang Al-Khaliq dan selain Allah
semua makhluk. Karenanya semua pasti hancur dan hanya Allah yang abadi. Sebagai ayat
pendukung, Kiai Dahlan mengemukakan ayat Alquran yang menurutnya pas untuk
mendukung pikirannya yaitu QS. Ali-Imran:1-2. Artinya: Alif laam miim Allah, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus
mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali-Imran: 1-2). 24
Hubungan kita, manusia langsung kepada Allah, tanpa perantaraan siapapun, karenanya
yang kita mohoni hanya Allah sendiri. Menyekutukan, menduakan Allah adalah dosa yang
paling besar, dosa yang tak dapat diampuni, kalau tidak benar-benar bertaubat kepada Allah
dengan taubatan nasuha, taubat yang sungguh-sungguh. Meluruskan cara-cara beribadah
menurut contoh ataupun yang diperintahkan oleh Rasulullah Nabi Muhammad saw. Ibadah
itu haruslah ada perintah dari Allah, conto-contoh dan perintah Rasulullah, ibadah tidak

22 QS. Al-Fajr:16-23
23 Abdurrahman Haji Abdullah , Pemikiran Umat Islam di Nusantara (Kuala Lumpur : Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementrian P&K Malaysia, 1990), h. 115
24 QS. Ali-Imran: 1-2.
dibenarkan kalau hanya diperintahkan oleh seseorang, walaupun yang memerintahkan itu
Guru, atau penguasa, ataupun seorang yang kaya raya sekalipun25.
Dalam bidang aqidah, pandangan Ahmad Dahlan sejalan dengan pandangan dan
pemikiran ulama Salaf, dalam akidah Salaf tidak ditemukan kata ikhtiar dan kasb yang
dipahami dengan makna usaha manusia dalam perbuatannya. Al-Asy‘ari pun kelihatannya
tidak mengemukakan istilah yang demikian. Barangkali kata-kata yang demikian muncul
dalam perkembangan paham Asy‘ariah.26 menurut Ahmad Dahlan beragama itu adalah
beramal; artinya berkarya dan berbuat sesuatu, melakukan tindakan sesuai dengan isi
pedoman Alquran dan Sunnah.
b. Pemikiran Ahmad Dahlan Tentang Islam
Berbicara mengenai Islam, tentunya tidak terlepas dari hukum-hukum syari‘ah (al-
syari‟ah) secara literal, diartikan dengan peraturan-peraturan, undangundang atau
hukum,27yaitu peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang ditetapkan Allah yang terdapat di
dalam Alquran dan sunnah28. Hukum-hukum tersebut seperti kata Mahmud Syaltut, berupa
ketentuan-ketentuan dasar yang ada kalanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, yang
disebut dengan ibadah, dan ada kalanya dengan sesama manusia yang disebut dengan
mu‟amalat. 29

Ketentuan-ketentuan yang tercakup dalam syariah tersebut sifatnya global, dan


perinciannya secara oprasional disebut fiqih. Syariah adalah ketentuan yang mencakup semua
aspek kehidupan, dari masalah akhlak sampai kepada soal-soal pemerintahan. Sedangkan
fiqih hanya menyangkut masalah hukum. Asaf A.A. Fyzee memisalkan syariah dengan
sebuah lingkaran besar yang mencakup dalam orbitnya semua prilaku dan perbuatan manusia.
Fiqih semisal lingkaran kecil yang mengurus apa yang biasanya dikenal dengan tindakan
hukum. Akan tetapi keduanya dihubungkan oleh dalil-dalil yang datangnya dari syariah30.
Dalam perjalanan sejarahnya, sebagai hasil pemahaman terhadap syariah yang bersifat
global, telah muncul beberapa mazhab fiqih, empat diantaranya Mazhab Malikiah, Mazhab
Hanafiah, Mazhab Hanabilah dan Mazhab Syafi‘iyah, dari keempat Mazhab ini, yang
berkembang dan dianut oleh hampir seluruh masyarakat Nusantara ialah madzhab Syafi‘i,

25 Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, h. 10.
26 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang,
1989), h. 44.
27 Lihat, Elias Anton Elias, al-Ashri (Beirut: Dar al-Jil, 1982), h. 341. Lihat juga, Joseph Schacht,
―Law and the State‖, dalam Joseph Schacht (ed.), The Legacy of Islam (Great Britain: Oxford at the
Clarendon Press, 1974), h. 392
28 Lihat, Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidat wa al-Syariat (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), h.
29 4 Mahmud Syaltut, ibid.
30 Asaf A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law (Bombay: Oxford University Press), h. 16-17
namun tokoh yang menjadi sumber rujukan bagi ulama Indonesia adalah ulama-ulama
Syafi‘iyah dari zaman taqlid. Ciri-ciri utama karya mereka adalah bersifat syarh, hasyiah,
atau hamisy. Diantaranya ialah kitab tuhfah, karangan Ibn Hadjar al-Haitami, Nihayah,
karangan Syams al- Din al-Ramli, al-Mughni karangan Khatib as-Syarbani. Kitab –kitab
diatas pada hakikatnya merupakan syarh matan Minhaj al-Thalibin karangan al-Nawawi 31.
Setiap mazhab mempunyai metode istinbath tersendiri yang menggambarkan pola pemikiran
mereka dalam mencari kepastian hukum. Jika hal ini dihubungkan dengan dua persyaratan
yang harus ada pada sebuah mazhab, yaitu mujtahid, hasil ijtihad, para pengikut yang
memelihara dan melestarikan hasil ijtihad, jika persyaratan yang demikian terpenuhi, maka
hasil ijtihad atau seorang atau sekelompok mujtahid bisa saja diangkat menjadi sebuah
mazhab dan para pengikutnya disebut penganut mazhab.
Masalah syari‘ah dalam organisasi Muhammadiyah dikelola oleh sebuah Majlis Tarjih.
Kalau dilihat dari segi bentuk kata, yaitu majlis dan tarjih. Kata ―majlis‖ oleh
Poerwadarminta diartikan dengan ―dewan‖.32 Jadi merupakan badan yang mempunyai
anggota tertentu . sedangkan tarjih, merupakan istilah yang terdapat dalam ilmu ushul fikih
yang secara harfiah diartikan dengan ―pengukuhan‖, yaitu membuat sesuatu menjadi
kukuh33. Dengan demikian tarjih hanya dilakukan pada dalil-dalil yang kelihatannya
bertentangan, baik yang bersifat qath‟i maupun zhanni. Khudari Beik mengatakan, bahwa
melakukan tarjih dalam pengertian yang demikian adalah juga suatu ijtihad34.
Kiai Dahlan selalu merujuk kepada hukum Syariah Islam dalam memecahkan sebuah
permasalahan yaitu kembali kepada Alquran dan sunnah Rasul, selain itu Dahlan juga
mengunakan metode tarjih, dalam menyelesaikan permasalah, tarjih ini merupakan hukum
yang berkembang di Muhammadiyah setelah merujuk kepada Alquran dan sunnah, mengapa
penulis mengatakan bahwa Kiai Dahlan juga mengunakan metode tarjih, karena biasanya
ajaran atau aturan yang digunakan oleh sebuah organisasi, tidak jauh dari hasil yang
digunakan pendirinya terdahulu, disamping itu hukum syariah itu mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia ( Hablum minallah wa
hablumminannas). Dengan kata lain, dalam membicarakan Islam atau hukum syari‘ah Kiai
Dahlan terlihat mengunakan dua corak pemikiran yaitu rasional dan tradisional. Terlihat dari

31 Ibid., h. 141. Selanjutnya mengenai kitab-kitab syarh sebagai model zaman kemunduran Islam,
periksa Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), h. 277.
32 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN, Balai Pustaka, 1987), h.
621
33 Muhammad Abu Jawwad Mu‘niyyah, ‗Ilm Ushul al-Fiqh fi Saubih al- Jadid (Beirut: Dar al-Ilm lil
al-Malayin, 1978), h. 441.
34 Ibid., h. 367
cara Ahmad Dahlan mengunakan Alquran dan sunnah sebagai sumber hukum, dan tanpa
mengabaikan akal.
c. Pemikiran Ahmad Dahlan Tentang Ihsan
Berbicara mengenai Ihsan, selalu dikaitkan dengan tasawuf, Salah satu ajaran yang
dapat mendekatkan diri manusia kepada Tuhan, adala tasawuf. Sebagai salah satu disiplin
keagamaan, tasawuf merupakan bidang yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai
disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya35.
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam,
mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga
disadari benar bahwa seseorang berada dikhadirat Tuhan. 36 Intisari dari mistisisme, termasuk
di dalamnya tasawuf, adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh
manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi37.
Dalam tasawuf pun terdapat berbagai istilah yang mewarnai pengertian tasawuf itu
sendiri. Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada masa Nabi maupun Khulafaur
Rasyidin, karena pada masa itu para pengikut Nabi saw diberi panggilan sahabat. Panggilan
ini adalah yang paling berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada
masa sahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabi‟in, dan
seterusnya disebut tabi‟it tabi‟in38.Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan
abad III hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w 250 H) dengan meletakkan al-sufi dibelakang
namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah
ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal, dan dalam mahabbah, akan tetapi
dia yang pertama kali diberi nama al-sufi.39
Secara keseluruhan ilmu tasawuf bisa dikelompokkan menjadi dua,yakni tasawuf ilmi
atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Tasawuf yang tercakup dalam bagian ini
ialah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma menjadi ilmu yang
berdiri sendiri. Termasuk di dalamnya adalah teri-teori tasawuf menurut berbagai tokoh
tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis.40
Bagian kedua ialah tasawuf Amali atau tathbiqi yaitu tasawuf terapan, yakni ajaran
tasawuf yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam
35 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah Atas Pemikiran Psikologi
Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 1.
36 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),h. 56.
37 Harun Nasutian, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 2002),h. 68.
38 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1986),
h. 35
39 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 7.
40 HM. Amin Syukur, Pengantar Study Islam (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996), h.
rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini akan mendapat
keseimbangan dalam kehidupannya, antara material dan spiritual, dunia dan akhirat41.
Tasawuf Amali ialah tasawuf yang menitik berat pada amalan lahiriyah yang didorong oleh
qalb (hati), dalam bentuk wirid, hizib, dan doa.
Selanjutnya tasawuf ini dikenal dengan tariqat, jalan menuju Allah, yang selanjutnya
menjelma menjadi organisasi ketasawufan yang diikat dalam sebuah organisasi yang
dilengkapi dengan aturan-aturan yang ketat dengan mengkaitkan diri kepada seorang guru
(mursyid). Pengikut tariqat harus berguru, sebab yang bertariqat tanpa guru, maka gurunya
adalah syaitan.Organisasi ini dihimpun dalam suatu wadah yang namanya disesuaikan
dengan nama perintisnya, seperti tariqat qadiriyah naqsabandiyah, alawiyah dan sebagainya.
Tasawuf falsafi dan tareka lebih besar pengaruhnya di Nusantara dibandingkan dengan
tasawuf dari generasi pertama seperti Imam al-Ghazali yang menekankan adab dan akhlak.
Demikian itu karena Islam datang ke Indonesia berwajah mistik yang sealiran dengan
pandangan hidup mistik setempat.42

g. KH. Hasyim Asrary


1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asrary
KH. Hasyim asy’ari lahir 14 februari 1871 M (24 Dzulkaidah 1287 H) di Desa gedang.
Sekitar dua km dari sebelah timur jombang, jjawa timur. Muhammad Hasyim, demikian ia di
beri nama oleh ayahnya, kyai asy’ari,, pendiri pesantren keras, 8 KM dari jombang. Kakek
Hasyim Asy’ari bernama kyai Usman, pendiri pesantren Gedang di jombang yang didirikan
pada 1850-an. Sementara buyutnya, kyai Sihah adalah pendiri pesantren Tembak Beras di
jombang. Dilihat dari silsilah ini dapat di ketahui bahwa Hasyim Asy’ari berasal dari
keluarga dan keturunan pesantren yang terkenal. Di akui Zamakhsyari Dhofier, secara
antropologi social, para kyai jawa terikat dalam ikatan kekerabatan yang intensitasnya sangat
kuat. Oleh karena itu, tak mengherankan bila kepemimpinan pesantren menjadi hak terbatas,
yang di peruntukkan hanya bagi keluarga-keluarga kyai43

41 HM. Amin Syukur dan Hj. Fatimah Ustman, Insan Kamil Paket Pelatihan Seni Menata Hati
(SMH), Bekerja Sama dengan Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMKOTA) dan Yayasan al-
Muhsinun(Semarang: CV Bima Sejati, 2004), h. 5.
42 Abdurrahman Haji Abdullah, Pemikiran, h. 188. Hal ini merupakan kesinambungan dari awal
Islamisasi Indonesia yang bercorak mistik dan tidak dapat dipisahkan dari pengaruh situasi dunia
Islam yang waktu itu sedang dilanda kemunduran. Kehidupan mistik dengan aliranaliran
tarekatnya yang toleran terhadap ajaran mistik dari agama lain (Hindu dan Budha) mewarnai
kehidupan umat Islam . periksa Fazlur Rahman, Islam, h. 241-286.
43 Zamakhsyri dhofier,tradisi pesantren: studi tentang pandangan hidup
kyai (Jakarta:LP3ES) hlm.92
Sejak masih sangat muda Hasyim Asy’ari yang di beri gelar “Hadratus syaikh” oleh
para kyai di kenal sangat pandai, penuh ketekunan, dan rajin belajar. Pada usia enam tahun ia
mulai belajar agama di bawah bimbingan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, di Desa Keras,
tempat ayhnya pindah dari Demak pada  1876. Bidang-bidang yang di pelajari dari ayahnya
antara lain tauhid, hukum islam, bahasa arab, tafsir dan hadits. Dia sedemikian cerdas
sehingga pada usia ke 13 tahun sudah dapat membantu ayahnyamrngajar para santri yang
jauh lebih tua daripada dirinya. Pendidikan ke berbagai pesantren di tempuh Hasyim Asy’ari
mulai usia 15 tahun. Dia berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain di jawa timur
dan Madura.
Pada tahun 1891, ia belajar di pesantren terkenal milik Kyai Ya’kub, siwalan panji
sidoarjo, Jawa Timur. Baru setahun di pesantren ini, ia menikah dengan putrid gurunya,
Khadijah. Pernikahan ini merupakan penghargaan dan kesan seorang guru terhadap
muridnya. Kedua suami-istri ini kemudian pada tahun 1892 di berangkatkan oleh Kyai
Ya’kub ke makkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar. Tujuh bulan disana istri
Hasyim Asy’ari meninggal dan iapun kembali ke Indonesia. Tiga bulam kemudian ia
berangkat lagi ke arab Saudi untuk belajar. Dari berbagai perjalanannya menuntut ilmu dari
pesanttren ke pesantren, baik di Indonesia maupun luar negeri, kiranya pengetahuan Hasyi
Asy’ari semakin luas dan bertambah. Oleh karena itu, Mahmud Yunus, sepulang dari
Makkah, dada hasyim Asy’ari di penuhi ilmu agama sehingga ia mendapat gelar Kyai.
Pada saat Hasyi Asy’ari di makkah, Muhammad Abduh sedang gencar-gencarnya
melakukan gerakan pembaruan pemikiran islam. Menurut Deliar Noer, ide-ide reformasi
islam yang dilakukan Muhammad Abduh dari Mesir telah menarik perhatianpelajar-pelajar
Indonesia yang sedang belajar di makkah. Murid-murid syaikh Ahmad Khatib , seperti KH.
Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari kiranya juga tertarik dengan pemikiran Muhammad
abduh. Syaihk Ahmad Khatib mempelajari tulisan Muhammad Abduh yang di muat dalam
majalah Al Urwah al Wusqa dan tafsir al Mannar. Syaikh Ahmad Khatib sendiri merupakan
seorang tokoh yang controversial. Disatu sisi ia menolak pemikiran Muhammad abduh agar
umat islam melepaskan diri dari anutan-anutan mazhab yang empat, tapi di lain pihak iapun
menyetujui adanya gerakan Muhammad Abduh yang bermaksud melenyapkan segala bentuk
praktik tarekat.
Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, jombang, sepulangnya dari makkah,
yang akan di jelaskan lebih lanjut pada bagian pembahasan mengenai pemikirannya tentang
pendidikan. Pesantren ini memiliki kontribusi yang besar bagi golongan tradisonalis islam di
Indonesia, terutama karena ia menjadi cikal bakal berdirinya organisasi islam terbesar di
Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Perlu di jelaskan bahwa arus pemabaruan masuk ke
indonesia di antaranya melalui kontak langsung para jamaah haji yang belajar di
makkah  dengan tokoh-tokoh pembaru seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin al
Afgani, dan Muhammad Abduh, maupun melalui hubungan tidak langsung yang terjlin lewat
tulisan-tulisan para pembaru yang di pelajari para pelajar Indonesia.

2. Pemikiran Kalam KH. Hasyim Asrary


Mengapa KH. Hasyim Asy’ari menjadi pemimpin dan ulama yang berhaluan islam
tradisional? Apa itu tardisionalisme? Bagaimana corak pemikiran keagamaan KH. Hasyim
Asy’ari? Tradisionalisme di ambil dari kata “tradisional” dan “isme” yang secara sederrhana
mengandung arti sebuah paham yang mementingkan pemeliharaan unsur tradisonal.
Tradisional meupakan derivasi dari akar kata tradisi. Menurut Steenbrink, kata tardisi bersifat
elastic, dapat di artikan secara berbeda-beda dan penuh perdebatan.
Dalam konteks studi islam, tradisional memiliki pengertian yang berlawanan denagn
modernism. Menurut Sayyed Hossein Nasr, islam tradisional di pahami sebagai faset islam
dengan beberapa karakteristik:
1.      Islam tradisional menerima al-qur’an sebagai kalam tuhan, baik kandungan
maupun bentuknya.
2.      Islam tradisional menerima koleksi ortodoks, yaitu shihah yang enam dari
kalangan sunni dan empat buku dari kalangan syi’ah.
3.      Islam tradisional mempertahankan syari’ah sebagai hukum ilahi selama
berabad-abad, di samping menerima kemungkinan pandangan-pandangan segar
lainnya melalui qiyas, ijma’ dan istihsan.
4.      Islam tradisional memendang sufisme sebagai dimensi batin atau jantung wahyu
islam.
5.      Islam tradisional mempertahankan islamisitas seni islam sebagai hal yang
berkaitan dengan Spiritual islam.
6.      Islam tradisional mnerima system khilafah dan pranata-pranata lain semisal
kesultanan, yang berkembang dalam sinaran syariah sesuai kebutuhan umat.
Dengan beberapa karasteristik tersebut, islam tradisonal sebenarnya adalah islam
murni, yaitu islam yang berupaya melaksanakan islam sesuai warisan atau tradisi yang di
terima dari generasi pendahulunya. Akan tetapi, permasalahan akan menjadi lain apabila
yang di laksanakan atau yang di lestarikan itu merupakan tradisi yang berasal dari agama
lain, yang islam sendiri tidak menoleransi kebenarannya.
Dalam konteks keindonesiaan, Menurut fachri ali dan Bahtiar Effendi, tradisionalisme
islam lahir karena adanya kelompok masyarakat yang berupaya mepertahankan tradisi dalam
kehidupan beragama mereka. Mereka adalah masyarakat petani yang tinggal di pedesaan.
Islam berkembang dikalangan mereka lebih menekankan aspek loyalitas terhadap pemuka
agama daripada kepada substansi ajaran islam yang bersifat rasionalistis. Dengan ini, yang
berkembang adalah sikap taqlid dan taat kepada para ulama. Sementara itu, ajaran yang di
sampaikan para ulama lebih banyak berpusat kepada bidang ritual, sesuai dengan tradisi
masyarakat indonesiapada waktu itu. Mengingat adanya kesesuaian antara sufisme islam dan
msitik hindu, yang telah di kenal masyarakat Indonesia, terutama masyarakat jawa, pemikiran
tardisionalisme islam kiranya berhasil dapat di galang oleh penduduk pedesaan. Kelompok
santri tradisional ini oleh Clifford Geertz di sebut sebagai kelompok kolot (tradisional).
Masyarakat jawa secara antropologis adalah orang-orang yang dalam kesehariannya
berkomunikasi menggunakan bahasa jawa denagn beebagai ragam dialeknya secara turun
temurun. Sementara geografis, masyarakat jaw adalah mereka yang bertempat tinggal di
daerah jawa tengah dan jawa timur, serta mereka yang berasal dari dua daerah tersebut.
Daerah ini meliputi wilayah Banumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, maalang, dan
Kediri, yang biasa di sebut dengan tanah jawa. Sementara masyarakat jawa yang tinggal di
luar wilayah-wilayah ini di namakan pesisir dan Ujung jawa. Surakarta dan Yogyakarta yang
meruapakan bekas kerajaan mataram adalah pusat kebudayaan masyarakat jawa.
Masuknya Islam ke tanah Jawa secara historis tidak dapat dipisahkan dari proses
masuknya Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Ada tiga teori yangmuncul ke permukaan
mengenai proses masuknya Islam ke Indonesia. Pertama, teori arab yang menyebutkan bahwa
islam dating ke nusantara langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ni di
kemukakan Crawfurd, Keyzer,  Niemann, DE Hollander, Veth, dan Hamka. “orang Arab”
pelopor pertama dari Islam, telah datng ke negeri-negeri melayu pada abad ke 7 Masehi,
artinya ababd pertama dari islam (tahun Hijrah di mulai pada tahun 622 Masehi dan Nabi
Muhammad wafat pada tahun 632 Masehi), demikian tulis Hamka. Kedua, inidia yang
manyatakan bahwa islam masuk ke nusantara dari india pada abad ke 13 Masehi. Teori ini
untuk kali pertama di kemikakan oleh Pijnapel tahun 1872, yang kemudian di ikuti oleh
Snouck Hurgronye dam Marrison. Ketiag teori iran mengatakan bahwa islam dating ke
Nusantara dari Iran (Persia) pada abad ke 13 M. TEori ini di kemukakan oleh Hossein
Djajaningrat. Menurutnya, “Meruapakan bagian penting dari pembuktian kemungkinan
bahwa islam, seperti yang di kenal di jawa, datangnya melalui Iran dan dari sana melalui
India Barat dan emudian Sumatra”.
Dalam konteks Sosial-Budaya masyarakat Jawa seperti itulah KH. Hasyim Asy’ari
hidup dan melakukan dakwah Islam. Jadi, wajar kalau ia memiliki corak pandanagn
keagamaan tradisional. Dengan pendekatan kompromi dan harmoni, KH. Hasyi Asy’ari
dengan NU-nya beruasaha menerapkan kaidah “memelihara nilai-nilai terdahuluyang sudah
baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”. Menurut Nurcholis Madjid, kaidah ini
merupakan pegangan terbaik dalam berijtihad, yang ssering dipandang sebagai semangat
klasik yang diungkapkan kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah. Kehadiran Islam pada
prinsipnya menganut kaidah ini, yaitu nilai-nilai masa lalu yang baik di pertahankan, dengan
memperkenalkan syariat islam sebagai nilai baru yang lebih baik.
KH. Hasyim Asy’ari secara intelektual, sebagaimana disebutka Dhofier, sangat
dipengaruhi oleh guru-gurunya. Sebagaimana Syaikh Mahfudz Al-tarmisi, KH. Hasyim
Asy’ari memiliki pandangan yang tegas untuk memperahankan  ajaran-ajaran madzhab dan
pentingnya praktik-praktik tarekat. KH. Haasyim Asy’ari sebenarnya menerima juga ide-ide
Muhammad Abduh untuk menyemangatkan kembali api Islam. Namun ia menolak
pandangan Abduh agar kaum muslim melepaskan diri dari ketertarikannya dengan madzhab.
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai bermadzhab ini kiranya seirama dengan pemikiran
gurunya, Syaikh Ahad Khatib, dalam Qanun al qasasi Nahdlatul Ulama yang di tulisnya, KH.
Hasyim Asy’ari berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin memahami maksud yang
sebenarnya dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah tanpa mempelajari pendapat-pendapat ulama besar
yang tergabung dalam sistemmadzhab. Menafsirkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tanpa
mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama madzhab hanya akan melahirkan
pemutarbalikan islam dari ajran yang sebenarnya.
Demikianlah dalam beragama, KH. Hasyim Asy’ari selalu berupaya melestarikan
kondisi masa lalu, sambil mencipatakn hal baruyang sesuai dengan kondisi social yang
dihadapinya. Untuk meletarikan pemikiran-pemikiran keagamaannya, KH. Hasyim Asy’ari
menulisa banyak karya. Diantaranya adalah adab al alim al muta’alim, Ziyadah At-talikat, al
tanbihat al wajibah, al Risalah al Jami’ah dan masih banyak lagi.Dari beberapa karya di
atas, karya yang disebutkan pertama merupakan pemikirannya dalm bidang pendidikan.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Ilmu kalam masa kini
1.  Hasan Hanafi
 Kritik terhadap teologi tradisional yaitu Dalam gagasannya tentang rekonstruksi
teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat
konseptual system kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks-politik
yang terjadi.
 Hanafi juga menwarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam
teologi Islam yaitu: analisis bahasa dan analisis realitas.
3. H.M. Rasyidi
 Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu
kalam dan teologi. Menurutnya teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau
ilmu kalam. Dia juga mengkritik salah satu tema-tema ilmu kalam Harun Nasution.
Dia berpendapat bahwa menonjolkan perbedaan pendapat anatara Asy’ariyah dan
Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para
mahasiswa. Karena pemikiran kalam Harun Nasution terlalu mengagung-agungkan
akal sehingga menganggap remeh ayat-ayat Al-Qur’an.
 Menurutnya iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi
dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia,
yakni hidup dalam masyarakat.
3.  Ismail Al-Faruqi
Pemikiran Al-Faruqi tentang kalam melalui karyanya yang berjudul : Its
Implications for Thought and Life (Edisi Indonesianya berjudul Tauhid yang
mengupas hakikat tauhid secara mendalam. Diantaranya yaitu: tauhid sebagai inti
pengalaman agama, tauhid seabagai pandangan dunia, tauhid sebagai intisari Islam
dan lain sebagainya.

4.    Harun Nasution.


 Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian “Akal melambangkan
kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk
menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia,
bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah
lemah kekuatan akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupannya
menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut”.
 Hubungan akal dan wahyu: Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-
Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung
segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
5. Nurkholis Majid
Dilihat dari implikasi pemikiran-pemikirannya, Nurcholish Madjid adalah seorang
yang mampu membangunkan gerak dimanis tradisi berfikir kritis ditengah mandegnya
dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Namun layaknya sebuah pemikiran, ia selalu
menimbulkan pro dan kontra, demikian juga Nurcholish Madjid. Oleh karena itu,
apresiasi dan penghargaan yang tulus dan tinggi layak dialamatkan oleh umat Islam
terhadap segala kontribusinya tanpa harus umat kehilangan daya kritis nya
sebagaimana yang telah diajarkan sendiri oleh beliau, sehingga pemikirannya dapat
dilanjutkan, diaktualisasikan dan bahkan dibaharukan sesuai situasi dan kondisi, agar
umat Islam tidak lagi mengalami stagnasi
6. KH Ahmad Dahlan
Corak pemikiran teologi Kiai Haji Ahmad Dahlan meliputi dua bagian yakni, corak
yang bersifat rasional dan tradisional. Misalnya ketika Ahmad Dahlan berbicara
mengenai duniawi. Beliau lebih berpaham rasional, seperti dalam bidang pendidikan.
Ahmad Dahlan lebih rasional, bisa dilihat melalui terobosan-terobosan yang
dibuatnya, seperti mulai menggabungkan antara ilmu agama dengan ilmu umum.
Selain bidang pendidikan, dalam bidang sosial Ahmad Dahlan juga lebih kepada
paham rasional, terlihat dari gerakan-gerakan yang di bawanya seperti mendirikan
rumah-rumah sakit, pembinaan kesejahteraan umat, semua hal ini sudah terlebih
dahulu dilakukan oleh para missionaris Kristen saat itu. Selain berfikir rasional,
Ahmad Dahlan dalam berbicara mengenai teologi, beliau selalu bersifat
tradisional,sebagaimana yang diketahui bahwa teologi dibagi kepada tiga bagian,
pertama, Iman, yang berbicara mengenai ketuhanan terlihat dari pemikirannya tidak
terlalu suka memperdebatkan masalah teologi,baginya cukup meyakin Allah sebagai
yang Maha Kuasa. Kedua, Islam, Ahmad Dahlan selalu merujuk kepada Alquran dan
sunnah bagi Ahmad Dahlan tidak ada sumber hukum yang paling otentik selain
Alquran, disamping itu Ahmad Dahlan tidak mengabaikan rasio. Ketiga, Ihsan,
Ahmad Dahlan lebih kepada tasawuf amali, terlihat dari amalanamalan yang
dilakukannya. Dapat disimpulkan bahwa corak pemikiran Ahmad Dahlan dalam
bidang teologi lebih kepada Asy‘ariyah.
7. KH. Hasyim asy’ari
Corak pemikiran keagamaan KH. Hasyim Asy’ari adalah Islam tradisional yaitu islam
murni, islam yang berupaya melaksanakan islam sesuai dengan warisan atau tradisi
yang diterima dari generasi pendahulunya. Akan tetapi permasalahan akan menjadi
lain apabila yang dilaksanakan atau yang dilestarikan itu merupakan tradisi yang
berasal dari agama lain, yang islam sendiri tidak menoleransi keberadaannya.

B.  Saran
Demikian pembahasan makalah yang penulis uraikan. Saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi terciptanya pengetahuan-pengetahuan baru
khususnya mengenai ilmu kalam. Sekian dan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
Rosihon Anwar, dan Drs Abdul Rozak, 2003, Ilmu Kalam, Bandung:Pustaka Setia.

Nurcholis Madjid, 1997, Kaki Langit Peradaban Islam, Paramadina: Jakarta.

KH. Sirajudin Abbas, 1978, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, Jakarta:Pustaka Tarbiyah.

Harun Nasution, 1983, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI


Press:Jakarta.
Pedi Ahmad, 2011, Islamisasi Ilmu  Pengetahuan Al-Faruqi (http://pediahmad.
wordpress.com/2011/07/02/islamisasi-ilmu-pengetahuan-al-faruqi/ diakses 28
Juni2021)
https://pesantrenkalangsari.wordpress.com/2019/04/22/pemikiran-ilmu-kalam-masa-kini/
diakases (diakse 28 juni 2021)
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=638868&val=10955&title=NURCHOLISH%20MADJID%20DAN
%20HARUN%20NASUTION%20SERTA%20PENGARUH%20PEMIKIRAN
%20FILSAFATNYA (diakses 28 Juni2021)
http://repository.radenfatah.ac.id/6318/1/NAMILAH%20ABD.%20RA%27UF.pdf ( diakses
27 Juni 2021)
http://repository.uinsu.ac.id/1378/1/PMIKIRAN%20TEOLOGI%20KH.%20AHMAD
%20DAHLAN.pdf ( 27 Juni 2021)
http://mediaabelajar.blogspot.com/2017/01/makalah-konsep-pemikiran-kh-hasyim.html
(akses 28 juni 2021)

Anda mungkin juga menyukai