Disusun Oleh:
Yulida
Nim: 2006020146
Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan alam Nabi
Muhammad SAW.Makalah yang berjudul “Permikiran Kalam Masa Kini” ini disusun guna
memenuhi tugas dari mata kuliah Ilmu Kalam, tak lupa ucapan terimakasih kami ucapkan
kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga makalah kami dapat terselesaikan
dengan baik.
Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna baik
dalam segi bahasa,penyusunan, maupun pengetikannya, untuk itu kami mengharapkan kritik
dan saran untuk kami terkait makalah ini agar kami bisa menyusun makalah lebih baik lagi
kedepanya.
saya sadar bahwa apa yang telah saya peroleh tidak semata-mata hasil dari jerih payah
saya sendiri tetapi hasil dari semua sumber ilmu yang saya peroleh baik di internet, buku dan
dll. Oleh sebab itu, saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk membuat malakah ini. .
Yulida
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................i
Daftar isi.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1. Latar belakang.......................................................................................................1
2. Rumusan masaalah................................................................................................2
3. Tujuan.....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
a. Hasan Hanafi........................................................................................................3
b. Muhammad Rasidi..............................................................................................3
c. Ismail Al furiqi.....................................................................................................4
d. Harun Nasutions..................................................................................................6
e. KH. Ahmad dahlan..............................................................................................8
f. KH. Hasyim Asrary.............................................................................................10
Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki komitmen cukup
baik kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha
mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai
universalitas Islam tersebut. Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang
berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi
Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi
pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan
diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus
perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik
yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh
dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam
Sering dengan perkembangan zaman Ketika umat islam dalam kondisi yang oleh Sayyid
Qutub dapat digambarkan sebagai suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat
pintu ijtihad , mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau
mengistimbatkan hukum-hukum, karena mereka merasa telah cukup dengan hasil karya para
pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan
khurafat-khurafat. Dengan kondisi tersebut maka lahirlah para pembaharu-pembaharu Islam
seperti Syekh Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal.
Islam dalam pandangan Iqbal bersifat tidak statis, tetapi dapat disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan ciri
dinamika yang harus dilambangkan dalam Islam. Masih banyak lagi pemikiran-pemikiran
kalam para pembaharu tersebut. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak isi makalah
dibawah ini.
Ajaran Islam, yang sumber ajarannya berasal dari Al-qur’an dan sunnah Nabi,
diyakini oleh umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh
perputaran zaman. Pada dasarnya Islam itu satu, tetapi pada kenyataannya bahwa tampilan
Islam itu beragam, karena lokasi penampilannya mempunyai budaya yang beragam,
perubahan jaman telah membawa budaya dan teknologi yang berbeda-beda. Misalnya, ada
komunitas yang senang menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, ada pula yang
senang pemerintahan republik. Bahkan, ada yang ingin kembali ke pemerintah bentuk
khilafah Ada yang terikat dengan teks Al-Qur’an dan Hadis dalam memahami ajaran Islam.
Tidak bisa dihindari lagi, semua merasa pemikirannyalah yang paling benar antara sesama
Muslim yang terjadi dimana-mana dalam rangka menampilkan Islam. Tampaknya,
pemahaman itu utuh, pesan ketuhanan dapat ditangkap, fanatik buta dapat diredam, sejarah
tampilan ajaran Islam dari waktu ke waktu perlu dicermati. Dengan cara ini proses
terselengaranya syariat Islam di masa Nabi dan generasai-generasi berikutnya dapat
dipahami. Alasan kebijakan para tokoh Islam untuk maksud ini pun dapat dimengerti. Dalam
era kontemporer ini kemudian teraktualisasi perdebatan kalam dikalangan tokoh modernis.
Di antara tokoh yang ada di era kontemporer ini adalah Ismail Al-Faruqi, Hasan Hanafi,
H.M. Rasyidi dan Harun Nasution. Nurkhalis Majid, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asrary
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang ilmu kalam masa kini tentang pemikiran
tokoh yang telah disebutkan di atas.
a. HASAN HANAFI
Riwayat Singkat Hidup Hasan Hanafi
Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan
Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia
yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat
dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara
historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak
masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa
moderen.
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan
dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan
nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah
mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la
ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu
ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera
menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan. Ketika
masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri
bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan
para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai
pada akhir tahun 1940-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-
anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi
Ikhwanul MusliminSejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo
untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk
di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan
gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan
Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne;
Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara
metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia
sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir,
pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis
kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari
Profesor Masnion.
Pengalaman dengan para pemikir besar dunia dalam berbagai pertemuan internasiona, baik di
kawasan Negara Negara arab, asia, eropa, dan amerika membantunya semakin paham
terhadap persolan besar yang sedang dihadapi dunia dan umat islam di berbagai Negara.
Hanafi berkali kali mengunjungi Negara Negara asing seperti belanda, swedia,
Portugal,spanyol, prancis,jepang India Indonesia, sudan, dan saudi Arabia antara tahun 1980-
1987.
1. Rekontruksi teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekontruksi
teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang
bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekontruksi dan revisi, serta membangun
kembali epistimologi lama yang rancu dan palsu menuju epistimologi baru yang sahih dan
lebih signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar
dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang
social, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara actual
landasan etik dan motivasi manusia.
1. Kebutuhan akan adanya sebuah ideology yang jelas di tengah-tengah pertarungan global
antara berbagai ideology
2. Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak
pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideology sebagai gerakan
dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem
pendudukan tanah di Negara-negara muslim
3. Kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata
diwujudkan dalam realitas melalui relitas tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki
adanya ‘teologi dunia’ yaitu teologi baru yang dapat mempersatuan umat muslim di
bawah satu orde.
b. Muhammad Rasyidi
1. Sekilas tentang H.M. Rasyidi
Dalam konteks pertumbuhan kajian akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit
mengesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam
di Mesir yang melanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar di
Kanada. Lepas dari retorika-retorika anti baratnya, orang tak akan luput mendapati bahwa
hamper keseluruhan konstruksi akademiknya dibangun atas dasar unsure-unsur yang ia
dapatkan dari Barat. Tegasnya kaum orientalis darpada lainnya. Ia daalah intelektual
Indonesia yang paling banyak memperoleh tidak hanya perkenalan, tetapi juga penyerapan
ramuan-ramuan intelektual dari gudang orientalisme. Dialah yang berpengaruh dalam usaha
mengirimkan para lulusan IAIN atau sarjana lainnya ke Montreal sehingga banyak orang
yang benar-benar harus berterimakasih kepadanya. Dan apa yang telah dirintisnya itu
kemudian diteruskan dalam skala yang lebih besar dan penuh harapan oleh Munawir Sjadzali.
H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 - 30 Januari 2001) adalah mantan
Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat,
Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru pada
Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar
Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta Karya Koreksi terhadap
Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977,
Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979.
Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger
Garandy, Bulan Bintang, 1982.
2. Pemikiran Kalam H.M. Rasyidi
Pemikiran kalam Rasjidi dapat ditelusuri dari kritikan-kritikan yang dialamatkan kepada
Harun Nasution dan Nurcholis Madjid. Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari
beberapa tokoh seangkatannya. Tentang Ilmu kalam, ia membedakannya dengan teologi.
Menurutnya teologi berarti ilmu ketuhanan yang kemudian mengandung beberapa aspek
ajaran Kristen yang diluar kepercayaan sehingga teologi kristen tidak sama dengan tauhid
atau ilmu Kalam. Tentang akal, beliau berpendapat bahwa akal tidak mampu mengatahui baik
dan buruk, hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya aliran eksistensialisme sebagai reaksi
terhadap aliran rasionalisme dalam filsafat barat. Dengan menganggap akal dapat mengetahui
baik dan buruk berarti juga meremehkan ayat-ayat al Qur’an. Pemikiran H.M Rasydi ini
sedikit banyaknya mengarah kepada pemikiran Al Maturdiyah yang banyak dianut di
Indonesia.
Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut.
a) Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi
Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi Ilmu kalam adalah teologi Islam
dan teologi adalah ilmu kalam Kristen Kata teologi kemudian mengandung
beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar),
sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.
b) Tema-tema ilmu kalam
Deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi
umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Menonjolkan perbedaan
pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah akan melemahkan iman para
mahasiswa.
c) Hakikat iman
Iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat
dilihat dalam dimensi kontekstual atau hubungan manusia dengan manusia,
yaitu hidup dalam masyarakat.
c. Ismail Al-Faruqi
1. Riwayat Singkat Ismail Al-Faruqi
Ismail Raji Al-Faruqi, lahir pada tanggal 1 Januari 1921 di Jaffa Palestina. Pada tahun
1941, Al-Faruqi mengambil kuliah filsafat di American University, Beirut. Setelah tamat dan
meraih gelar Bachelor of Arts, ia kemudian bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada
pemerintahan Inggris- yang memegang mandate atas Palestina ketika itu-selama empat tahun.
Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24 tahun, ia diangkat menjadi Gubernur
Galilea.
Pada tahun 1949, Faruqi hijrah ke AS untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar
master filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian, gelar master filsafat kembali ia
raih dari Universitas Harvard.
Kesempatan untuk menjadi kaya semakin terbuka baginya. Akan tetapi, hasrat dan
bakat bisnis itu ditepisnya. Faruqi memilih kembali ke Universitas Indiana, dan pada tahun
1952 meraih Ph. D filsafat dengan disertasi berjudul On Justifiying the God: Metaphysics and
Epistemology of Value.
Merasa kurang pengetahuannya mengenai Islam, walaupun sudah bergelar doctor,
Faruqi lalu pergi ke Mesir. Selama tiga tahun, ia menyelesaikan pascasarjana di Universitas
Al-Azhar. Selama 2 tahun (1959-1961) ia mengajar dan juga mempelajari etika Yahudi dan
Kristen di Universitas McGill, Canada.
Pada tahun 1964, Faruqi kembali ke AS. Pertama-tama yang dia kerjakan adalah
menjadi guru besar tamu pada Universitas Chicago dan Associate Profesor bidang agama
pada Univesrsitas Syracuse. Lalu pada tahun 1968, hingga wafatnya, ia menjabat guru besar
agama pada Universitas Temple. Bersamaan itu juga ia menjabat sebagai professor studi
keislaman pada Central Institute of Islamic Research, Karachi.
Faruqi tergolong pengajar yang humoris dan memiliki banyak cara untuk muridnya
tidak merasa jenuh. Kuliah-kuliahnya mengenai Islam menjadikan iman dan sejarah Islam
sebagai sesuatu yang hidup dikelas.
Sayyed Hussein Nasr, sarjana muslim yang juga mengajar diberbagai universitas di
AS, menyebutnya sebagai “Sarjana muslim pertama yang mendedikasikan sepanjang
hayatnya pada studi-studi Islam di AS dan menjadikan AS sebagai kediaman terakhirnya.”
Keaktifan Faruqi diberbagai kelompok studi Islam dan keterlibatannya dalam gerakan-
gerakan Islam amat menonjol. Ia adalah tokoh dibalik pembentukan MSA, ISNA, AJISS,
AMSS, IIIT, dan banyak lagi lembaga keislaman di AS.
Faruqi juga duduk sebagai penasihat diberbagai unversitas di dunia Islam dan ikut
mendesain program studi Islam di Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Libya, Saudi
Arabia, dan Mesir. Juga di tempat-tempat terpencil Mindanao State University, Filipina dan
Universitas Islam Kum, Teheran.
Dia menjadi dewan editorial pada sejumlah jurnal, menulis lebih dari 100 artikel
diberbagai jurnal ilmiah, disamping mengarag dua puluh lima judul buku. Adapun The
Cultural Atlas of Islam adalah salah satu karyanya yang merupakan hasil kerjasama dengan
Prof. Lamya, istrinya.
1 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid,
Djohan Effendi, Ahmad
2 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal …, h. 72
3 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal…, h. 75.
ke Amerika Serikat telah semakin mematangkan petualangan intelektualitasnya. Pada saat-
saat itulah, Nurcholish Madjid melontarkan gagasan kontroversial, yang sangat menyengat
kalangan Masyumi yang waktu itu sedemikian getol memperjuangkan visi Islam Politik,
yakni jargon Islam Yes, Partai Islam No. 4
Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar philosophy Doctoral (Ph.D) di
Universitas Chicago dengan nilai cumlaude. Adapun disertasinya ia mengangkat pemikiran
Ibnu Taymiah dengan judul “Ibn Taymiyah dalam ilmu kalam dan filsafat: masalah akal dan
wahyu dalam Islam” (Ibn Taymiyah in Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and
Revelation in Islam). Disertasi doktoral yang dilakukan ini menunjukkan atas kekaguman
dirinya terhadap tokoh tersebut.
8 Madjid, Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Integrasi Umat Islam, dalam Nurcholis Madjid et.al,
Pembaharuan Pemikiran Islam, (Jakarta: Islamic Research Centre, 1970), hlm. 1-12.
9 (Junus Salam, 2009, hal. 56)
Bangkok), lahir 1907 wafat 1967, (6). Siti Zuhara (isteri H. Masykur Banjarmasin), lahir
1908 wafat 1967. 10
Muhammad Darwis atau yang sekarang disebut dengan Ahmad Dahlan merupakan
salah satu tokoh pembaharuan Islam di Indonesia, berbicara mengenai pembaharuan seorang
tokoh, pendidikan seorang tokoh sangat berperan penting terhadap pemikirannya di masa
yang akan mendatang. Darwis mengawali pendidikan di pangkuan ayahnya di rumah sendiri.
Darwis mempunyai sifat yang baik, berbudi pekerti halus, dan berhati lunak, tetapi juga
berwatak cerdas. Tak heran jika kedua orangtuanya sangat sayang kepada Darwis. Sejak usia
balita, kedua orangtua Darwis sudah memberikan pendidikan agama. Ketika berusia delapan
15 G.F.Pijper, Studien Over De Geschiendenis van De Islam in Indonesia 1900-1950 (Leiden E.J.
Brill,1977), p. 107. Periksa pula G.F.Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Indonesia 1900-
1950, terj. Tujimah dan Yessi Augusdin (Jakarta: UI Press, 1984), h. 112.
Dahlan kembali ke Yogyakarta dan menjadi guru agama di Kauman. Selain itu ia juga
mengajar di sekolah Kweekscool di Yogyakarta dan Opleidingscool voor Inlandsche
Ambtenaren sebuah sekolah untuk pegawai pribumi di Magelang. Pihak kraton juga
mengangkat Ahmad Dahlan sebagai khatib tetap di Masjid Agung.16
Dari kitab-kitab yang banyak dipelajari dan diajarkan oleh Ahamad Dahlan, terlihat
keluasan wawasan keagamaannya yang meliputi wawasan klasik dan modern. Seperti yang
dituturkan oleh K.R.H. Hadjid, kitab-kitab yang dikaji meliputi kitab-kitab klasik (kuning),
misalnya dalam ilmu aqidah berupa kitabkitab yang beraliran Ahlu al-Sunnah wa al-jama‟ah,
dalam ilmu-ilmu fiqh berupa kitab-kitab fiqh mazhab al-Syafi‟iyyah, dan dalam ilmu tasawuf
berupa kitab-kitab Imam al-Ghazali. Selain itu beliau juga mempelajari dan mengajarkan
kitab-kitab modern seperti tafsir al-Manar, majalah al-Manar, Tafsir Juz „Amma
(Muhammad Abduh), dan majalah al-Urat al-Wutsqa (Jamaluddin al-Afghani).
Sebagaimana ulama sezamannya yang hanya belajar agama, Ahmad Dahlan juga
hanya belajar agama dan tidak pernah memperoleh pendidikan Barat. Akan tetapi berbeda
dengan ulama dan kyai sezamannya, disamping alim dalam ilmu agama ia berfikir modern
dan berorientasi ke masa depan, yang ditunjukkan dengan kemampuannya menempatkan diri
di tengah-tengah kelompok intelektual yang berpendidikan Barat baik yang berada di Budi
Utomo maupun Syarekat Islam. 17
Pamor Ahmad Dahlan memang terliahat karena pintar berdakwah, berwawasan luas,
dan jujur. Namanya menjadi Khatib Amin Haji Ahmad Dahlan, dengan pengangkatan itu
K.H.Ahmad Dahlan mengalami hidup baru sebagai pegawai, tetapi walaupun demikian dia
tidak mengubah sikapnya terhadap orang lain dalam masyarakat. Tugas-tugas itu digunakan
oleh Dahlan untuk mengamalkan ilmunya. Dia juga mengunakan serambi Masji Agung untuk
memberi pelajaran kepada orang-orang yang tidak dapat belajar di surau-surau tempat
pengajian yang berjadwal tetap.
Ahmad Dahlan juga membangun asrama untuk menerima murid-murid dari luar kota
dan luar daerah seperti dari Pekalongan, Batang, Magelang, Solo, dan sekitarnya. Ahmad
Dahlan merasa bahwa saat itu umat Islam mengalami kemerosotan. Umat Islam melakukan
shalat lima karena mengikuti adat istiadat orang-orang tua di masa lalu sehingga kehilangan
etos keagamaannya. Sebagai bukti Ahmad Dahlan mencontohkan pembangunan masjid di
tanah Jawa yang pembangunannya tidak didasarkan untuk kepentingan agama, tetapi untuk
18 Syahrin Harahap, dalam Tesis Maria Ulfa Siregar, Pemikiran Teologis Badiuzzaman Said Nursi, h.
116.
19 Arbiyan Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 187.
20 K.H.R. Hadjid, Falsafah Ajaran, h. 10-1, dan K.H.R. Hadjid, Ajaran K.H.Ahmad Dahlan dengan 17
Kelompok Ayat-ayat Alquran (Semarang: PWM Jawa Tengah, 1996), h. 20- 21,27-28.
21 2 QS. Al-Jatsiyah: 23
memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi Makan orang miskin,dan
kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil),
dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan, jangan (berbuat
demikian). apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu; sedang
Malaikat berbarisbaris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu
ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. (QS. AlFajr:16-23).22
a. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan Tentang Iman
Iman merupakan bagian dari teologi, yang ruang lingkupnya berbicara mengenai
Tuhan, Alquran dan manusia. Ahmad Dahlan sendiri tidak mengklaim dirinya sebagai salah
satu pengikut dari aliran kalam tertentu, tetapi jika dilihat dari corak pemikirannya, Kiai
Dahlan lebih mendekati teologi Asy‘ari dan alMaturidi (ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah), tetapi
aqidahnya berdasarkan ajaran ―Sifat Duapuluh‖, terutama menurut uraian Imam al-Sanusi
dalam, kitabnya ―Ummul al-Barahin”, bukannya menurut kalam al-Asy‘ari.23
Sepanjang sejarah, Ahmad Dahlan selalu meluruskan tauhid, peng-Esaan kepada
Allah Subhanahu wata‘ala. Hanya Allah yang wajib disembah, hanya Allah yang wajib
ditaati perintah-Nya dan dijauhi larangan-Nya. Hanya Allah Yang Maha Besar, Maha Kuasa,
Maha Mengetahui, Maha Pandai, ringkasnya hanya Allah Yang Maha Sempurna. Selain itu
Ahmad Dahlan juga menyebutkan bahwa hanya Allah yang Al-Khaliq dan selain Allah
semua makhluk. Karenanya semua pasti hancur dan hanya Allah yang abadi. Sebagai ayat
pendukung, Kiai Dahlan mengemukakan ayat Alquran yang menurutnya pas untuk
mendukung pikirannya yaitu QS. Ali-Imran:1-2. Artinya: Alif laam miim Allah, tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus
mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali-Imran: 1-2). 24
Hubungan kita, manusia langsung kepada Allah, tanpa perantaraan siapapun, karenanya
yang kita mohoni hanya Allah sendiri. Menyekutukan, menduakan Allah adalah dosa yang
paling besar, dosa yang tak dapat diampuni, kalau tidak benar-benar bertaubat kepada Allah
dengan taubatan nasuha, taubat yang sungguh-sungguh. Meluruskan cara-cara beribadah
menurut contoh ataupun yang diperintahkan oleh Rasulullah Nabi Muhammad saw. Ibadah
itu haruslah ada perintah dari Allah, conto-contoh dan perintah Rasulullah, ibadah tidak
22 QS. Al-Fajr:16-23
23 Abdurrahman Haji Abdullah , Pemikiran Umat Islam di Nusantara (Kuala Lumpur : Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementrian P&K Malaysia, 1990), h. 115
24 QS. Ali-Imran: 1-2.
dibenarkan kalau hanya diperintahkan oleh seseorang, walaupun yang memerintahkan itu
Guru, atau penguasa, ataupun seorang yang kaya raya sekalipun25.
Dalam bidang aqidah, pandangan Ahmad Dahlan sejalan dengan pandangan dan
pemikiran ulama Salaf, dalam akidah Salaf tidak ditemukan kata ikhtiar dan kasb yang
dipahami dengan makna usaha manusia dalam perbuatannya. Al-Asy‘ari pun kelihatannya
tidak mengemukakan istilah yang demikian. Barangkali kata-kata yang demikian muncul
dalam perkembangan paham Asy‘ariah.26 menurut Ahmad Dahlan beragama itu adalah
beramal; artinya berkarya dan berbuat sesuatu, melakukan tindakan sesuai dengan isi
pedoman Alquran dan Sunnah.
b. Pemikiran Ahmad Dahlan Tentang Islam
Berbicara mengenai Islam, tentunya tidak terlepas dari hukum-hukum syari‘ah (al-
syari‟ah) secara literal, diartikan dengan peraturan-peraturan, undangundang atau
hukum,27yaitu peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang ditetapkan Allah yang terdapat di
dalam Alquran dan sunnah28. Hukum-hukum tersebut seperti kata Mahmud Syaltut, berupa
ketentuan-ketentuan dasar yang ada kalanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, yang
disebut dengan ibadah, dan ada kalanya dengan sesama manusia yang disebut dengan
mu‟amalat. 29
25 Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, h. 10.
26 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang,
1989), h. 44.
27 Lihat, Elias Anton Elias, al-Ashri (Beirut: Dar al-Jil, 1982), h. 341. Lihat juga, Joseph Schacht,
―Law and the State‖, dalam Joseph Schacht (ed.), The Legacy of Islam (Great Britain: Oxford at the
Clarendon Press, 1974), h. 392
28 Lihat, Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidat wa al-Syariat (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), h.
29 4 Mahmud Syaltut, ibid.
30 Asaf A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law (Bombay: Oxford University Press), h. 16-17
namun tokoh yang menjadi sumber rujukan bagi ulama Indonesia adalah ulama-ulama
Syafi‘iyah dari zaman taqlid. Ciri-ciri utama karya mereka adalah bersifat syarh, hasyiah,
atau hamisy. Diantaranya ialah kitab tuhfah, karangan Ibn Hadjar al-Haitami, Nihayah,
karangan Syams al- Din al-Ramli, al-Mughni karangan Khatib as-Syarbani. Kitab –kitab
diatas pada hakikatnya merupakan syarh matan Minhaj al-Thalibin karangan al-Nawawi 31.
Setiap mazhab mempunyai metode istinbath tersendiri yang menggambarkan pola pemikiran
mereka dalam mencari kepastian hukum. Jika hal ini dihubungkan dengan dua persyaratan
yang harus ada pada sebuah mazhab, yaitu mujtahid, hasil ijtihad, para pengikut yang
memelihara dan melestarikan hasil ijtihad, jika persyaratan yang demikian terpenuhi, maka
hasil ijtihad atau seorang atau sekelompok mujtahid bisa saja diangkat menjadi sebuah
mazhab dan para pengikutnya disebut penganut mazhab.
Masalah syari‘ah dalam organisasi Muhammadiyah dikelola oleh sebuah Majlis Tarjih.
Kalau dilihat dari segi bentuk kata, yaitu majlis dan tarjih. Kata ―majlis‖ oleh
Poerwadarminta diartikan dengan ―dewan‖.32 Jadi merupakan badan yang mempunyai
anggota tertentu . sedangkan tarjih, merupakan istilah yang terdapat dalam ilmu ushul fikih
yang secara harfiah diartikan dengan ―pengukuhan‖, yaitu membuat sesuatu menjadi
kukuh33. Dengan demikian tarjih hanya dilakukan pada dalil-dalil yang kelihatannya
bertentangan, baik yang bersifat qath‟i maupun zhanni. Khudari Beik mengatakan, bahwa
melakukan tarjih dalam pengertian yang demikian adalah juga suatu ijtihad34.
Kiai Dahlan selalu merujuk kepada hukum Syariah Islam dalam memecahkan sebuah
permasalahan yaitu kembali kepada Alquran dan sunnah Rasul, selain itu Dahlan juga
mengunakan metode tarjih, dalam menyelesaikan permasalah, tarjih ini merupakan hukum
yang berkembang di Muhammadiyah setelah merujuk kepada Alquran dan sunnah, mengapa
penulis mengatakan bahwa Kiai Dahlan juga mengunakan metode tarjih, karena biasanya
ajaran atau aturan yang digunakan oleh sebuah organisasi, tidak jauh dari hasil yang
digunakan pendirinya terdahulu, disamping itu hukum syariah itu mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan manusia ( Hablum minallah wa
hablumminannas). Dengan kata lain, dalam membicarakan Islam atau hukum syari‘ah Kiai
Dahlan terlihat mengunakan dua corak pemikiran yaitu rasional dan tradisional. Terlihat dari
31 Ibid., h. 141. Selanjutnya mengenai kitab-kitab syarh sebagai model zaman kemunduran Islam,
periksa Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), h. 277.
32 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN, Balai Pustaka, 1987), h.
621
33 Muhammad Abu Jawwad Mu‘niyyah, ‗Ilm Ushul al-Fiqh fi Saubih al- Jadid (Beirut: Dar al-Ilm lil
al-Malayin, 1978), h. 441.
34 Ibid., h. 367
cara Ahmad Dahlan mengunakan Alquran dan sunnah sebagai sumber hukum, dan tanpa
mengabaikan akal.
c. Pemikiran Ahmad Dahlan Tentang Ihsan
Berbicara mengenai Ihsan, selalu dikaitkan dengan tasawuf, Salah satu ajaran yang
dapat mendekatkan diri manusia kepada Tuhan, adala tasawuf. Sebagai salah satu disiplin
keagamaan, tasawuf merupakan bidang yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai
disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya35.
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam,
mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga
disadari benar bahwa seseorang berada dikhadirat Tuhan. 36 Intisari dari mistisisme, termasuk
di dalamnya tasawuf, adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh
manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi37.
Dalam tasawuf pun terdapat berbagai istilah yang mewarnai pengertian tasawuf itu
sendiri. Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada masa Nabi maupun Khulafaur
Rasyidin, karena pada masa itu para pengikut Nabi saw diberi panggilan sahabat. Panggilan
ini adalah yang paling berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada
masa sahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabi‟in, dan
seterusnya disebut tabi‟it tabi‟in38.Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan
abad III hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w 250 H) dengan meletakkan al-sufi dibelakang
namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah
ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal, dan dalam mahabbah, akan tetapi
dia yang pertama kali diberi nama al-sufi.39
Secara keseluruhan ilmu tasawuf bisa dikelompokkan menjadi dua,yakni tasawuf ilmi
atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Tasawuf yang tercakup dalam bagian ini
ialah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma menjadi ilmu yang
berdiri sendiri. Termasuk di dalamnya adalah teri-teori tasawuf menurut berbagai tokoh
tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis.40
Bagian kedua ialah tasawuf Amali atau tathbiqi yaitu tasawuf terapan, yakni ajaran
tasawuf yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam
35 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah Atas Pemikiran Psikologi
Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 1.
36 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),h. 56.
37 Harun Nasutian, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 2002),h. 68.
38 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1986),
h. 35
39 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 7.
40 HM. Amin Syukur, Pengantar Study Islam (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996), h.
rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini akan mendapat
keseimbangan dalam kehidupannya, antara material dan spiritual, dunia dan akhirat41.
Tasawuf Amali ialah tasawuf yang menitik berat pada amalan lahiriyah yang didorong oleh
qalb (hati), dalam bentuk wirid, hizib, dan doa.
Selanjutnya tasawuf ini dikenal dengan tariqat, jalan menuju Allah, yang selanjutnya
menjelma menjadi organisasi ketasawufan yang diikat dalam sebuah organisasi yang
dilengkapi dengan aturan-aturan yang ketat dengan mengkaitkan diri kepada seorang guru
(mursyid). Pengikut tariqat harus berguru, sebab yang bertariqat tanpa guru, maka gurunya
adalah syaitan.Organisasi ini dihimpun dalam suatu wadah yang namanya disesuaikan
dengan nama perintisnya, seperti tariqat qadiriyah naqsabandiyah, alawiyah dan sebagainya.
Tasawuf falsafi dan tareka lebih besar pengaruhnya di Nusantara dibandingkan dengan
tasawuf dari generasi pertama seperti Imam al-Ghazali yang menekankan adab dan akhlak.
Demikian itu karena Islam datang ke Indonesia berwajah mistik yang sealiran dengan
pandangan hidup mistik setempat.42
41 HM. Amin Syukur dan Hj. Fatimah Ustman, Insan Kamil Paket Pelatihan Seni Menata Hati
(SMH), Bekerja Sama dengan Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf (LEMKOTA) dan Yayasan al-
Muhsinun(Semarang: CV Bima Sejati, 2004), h. 5.
42 Abdurrahman Haji Abdullah, Pemikiran, h. 188. Hal ini merupakan kesinambungan dari awal
Islamisasi Indonesia yang bercorak mistik dan tidak dapat dipisahkan dari pengaruh situasi dunia
Islam yang waktu itu sedang dilanda kemunduran. Kehidupan mistik dengan aliranaliran
tarekatnya yang toleran terhadap ajaran mistik dari agama lain (Hindu dan Budha) mewarnai
kehidupan umat Islam . periksa Fazlur Rahman, Islam, h. 241-286.
43 Zamakhsyri dhofier,tradisi pesantren: studi tentang pandangan hidup
kyai (Jakarta:LP3ES) hlm.92
Sejak masih sangat muda Hasyim Asy’ari yang di beri gelar “Hadratus syaikh” oleh
para kyai di kenal sangat pandai, penuh ketekunan, dan rajin belajar. Pada usia enam tahun ia
mulai belajar agama di bawah bimbingan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, di Desa Keras,
tempat ayhnya pindah dari Demak pada 1876. Bidang-bidang yang di pelajari dari ayahnya
antara lain tauhid, hukum islam, bahasa arab, tafsir dan hadits. Dia sedemikian cerdas
sehingga pada usia ke 13 tahun sudah dapat membantu ayahnyamrngajar para santri yang
jauh lebih tua daripada dirinya. Pendidikan ke berbagai pesantren di tempuh Hasyim Asy’ari
mulai usia 15 tahun. Dia berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain di jawa timur
dan Madura.
Pada tahun 1891, ia belajar di pesantren terkenal milik Kyai Ya’kub, siwalan panji
sidoarjo, Jawa Timur. Baru setahun di pesantren ini, ia menikah dengan putrid gurunya,
Khadijah. Pernikahan ini merupakan penghargaan dan kesan seorang guru terhadap
muridnya. Kedua suami-istri ini kemudian pada tahun 1892 di berangkatkan oleh Kyai
Ya’kub ke makkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar. Tujuh bulan disana istri
Hasyim Asy’ari meninggal dan iapun kembali ke Indonesia. Tiga bulam kemudian ia
berangkat lagi ke arab Saudi untuk belajar. Dari berbagai perjalanannya menuntut ilmu dari
pesanttren ke pesantren, baik di Indonesia maupun luar negeri, kiranya pengetahuan Hasyi
Asy’ari semakin luas dan bertambah. Oleh karena itu, Mahmud Yunus, sepulang dari
Makkah, dada hasyim Asy’ari di penuhi ilmu agama sehingga ia mendapat gelar Kyai.
Pada saat Hasyi Asy’ari di makkah, Muhammad Abduh sedang gencar-gencarnya
melakukan gerakan pembaruan pemikiran islam. Menurut Deliar Noer, ide-ide reformasi
islam yang dilakukan Muhammad Abduh dari Mesir telah menarik perhatianpelajar-pelajar
Indonesia yang sedang belajar di makkah. Murid-murid syaikh Ahmad Khatib , seperti KH.
Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari kiranya juga tertarik dengan pemikiran Muhammad
abduh. Syaihk Ahmad Khatib mempelajari tulisan Muhammad Abduh yang di muat dalam
majalah Al Urwah al Wusqa dan tafsir al Mannar. Syaikh Ahmad Khatib sendiri merupakan
seorang tokoh yang controversial. Disatu sisi ia menolak pemikiran Muhammad abduh agar
umat islam melepaskan diri dari anutan-anutan mazhab yang empat, tapi di lain pihak iapun
menyetujui adanya gerakan Muhammad Abduh yang bermaksud melenyapkan segala bentuk
praktik tarekat.
Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, jombang, sepulangnya dari makkah,
yang akan di jelaskan lebih lanjut pada bagian pembahasan mengenai pemikirannya tentang
pendidikan. Pesantren ini memiliki kontribusi yang besar bagi golongan tradisonalis islam di
Indonesia, terutama karena ia menjadi cikal bakal berdirinya organisasi islam terbesar di
Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Perlu di jelaskan bahwa arus pemabaruan masuk ke
indonesia di antaranya melalui kontak langsung para jamaah haji yang belajar di
makkah dengan tokoh-tokoh pembaru seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin al
Afgani, dan Muhammad Abduh, maupun melalui hubungan tidak langsung yang terjlin lewat
tulisan-tulisan para pembaru yang di pelajari para pelajar Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu kalam masa kini
1. Hasan Hanafi
Kritik terhadap teologi tradisional yaitu Dalam gagasannya tentang rekonstruksi
teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat
konseptual system kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks-politik
yang terjadi.
Hanafi juga menwarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam
teologi Islam yaitu: analisis bahasa dan analisis realitas.
3. H.M. Rasyidi
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu
kalam dan teologi. Menurutnya teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau
ilmu kalam. Dia juga mengkritik salah satu tema-tema ilmu kalam Harun Nasution.
Dia berpendapat bahwa menonjolkan perbedaan pendapat anatara Asy’ariyah dan
Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para
mahasiswa. Karena pemikiran kalam Harun Nasution terlalu mengagung-agungkan
akal sehingga menganggap remeh ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurutnya iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi
dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia,
yakni hidup dalam masyarakat.
3. Ismail Al-Faruqi
Pemikiran Al-Faruqi tentang kalam melalui karyanya yang berjudul : Its
Implications for Thought and Life (Edisi Indonesianya berjudul Tauhid yang
mengupas hakikat tauhid secara mendalam. Diantaranya yaitu: tauhid sebagai inti
pengalaman agama, tauhid seabagai pandangan dunia, tauhid sebagai intisari Islam
dan lain sebagainya.
B. Saran
Demikian pembahasan makalah yang penulis uraikan. Saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi terciptanya pengetahuan-pengetahuan baru
khususnya mengenai ilmu kalam. Sekian dan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon Anwar, dan Drs Abdul Rozak, 2003, Ilmu Kalam, Bandung:Pustaka Setia.
KH. Sirajudin Abbas, 1978, I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, Jakarta:Pustaka Tarbiyah.