Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH PERKEMBANGAN WARIS ISLAM, ASAS ASAS HUKUM

KEWARISAN ISLAM, HUKUM MEMPELAJARI DAN MEMBAGIKAN


WARIS BERDASARKAN HUKUM ISLAM

Makalah

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Fikih Mawarits

Dosen pengampu Dr. H. Mohamad Atoillah, M.Ag.

oleh :

Rahma Nurhaliza NIM 1213040105


Shela Nur Azizah NIM 1213040125
Zahra Nurkhaliza NIM 1213040138

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

BANDUNG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt. karena dengan rahmat, karunia, taufiq, serta
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
Perkembangan Waris Islam, Asas Asas Hukum Kewarisan Islam, Hukum
Mempelajari Dan Membagikan Waris Berdasarkan Hukum Islam”. Shalawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Dan
juga penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Mohamad Atoillah, M.Ag.
selaku dosen mata kuliah Perbandingan Fikih Mawarits UIN SGD yang telah
membimbing dalam penulisan makalah ini.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah


pengetahuan serta wawasan kita tentang sejarah perkembangan waris islam, asas asas
hukum kewarisan islam, hukum mempelajari dan membagikan waris berdasarkan
hukum islam. Oleh sebab itu, penting bagi penulis adanya kritik, saran dan usulan untuk
memperbaiki makalah yang penulis buat diwaktu yang akan datang.

Semoga makalah ini dapat dipahami dengan mudah bagi siapapun yang
membacanya dan juga dapat berguna bagi penulis. Demikian yang dapat penulis
sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata.

Bandung, 13 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
BAB I ............................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan............................................................................................... 1
D. Manfaat Penulisan ............................................................................................. 2
BAB II ........................................................................................................................... 3
A. Sejarah Hukum Waris Islam ............................................................................. 3
a. Sejarah Hukum Waris Pra Islam .................................................................... 3
b. Sejarah Kewarisan Setelah Kedatangan Islam ............................................... 4
c. Hukum kewarisan di Indonsia ........................................................................ 5
B. Asas- asas Hukum Waris Islam ........................................................................... 6
C. Hukum Mempelajari dan Membagikan Waris Berdasarkan Hukum Islam ...... 13
BAB III ........................................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala
sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta
kekayaan seseorangsetelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dengan
demikian, dalam hukum kewarisan ada tiga unsur pokok yang saling terkait yaitu
pewaris, harta peninggalan,dan ahli waris. Kewarisan pada dasarnya merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari
aspek ajaran Islam yang pokok.

Waris merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dikaji secara khusus
dalam lingkup fiqih mawaris. Pengkhususan pengkajian dalam hukum Islam
secara tidak langsung menunjukkan bahwa bidang waris merupakan salah satu
bidang kajian yangpenting dalam ajaran Islam. Bahkan dalam al-Qur’an,
permasalahan mengenai warisdibahas secara detail dan terperinci. Hal tersebut
tidak lain adalah untuk mencegahterjadinya sengketa antara anggota keluarga
terkait dengan harta peninggalan anggota keluarga yang telah meninggal.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut
1. Bagaimana sejarah hukum waris islam?
2. Apasaja asas-asas hukum kewarisan islam?
3. Bagaimana hukum mempelajari dan membagikan membagikan waris
berdasarkan hukum islam?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1. Untuk menjelaskan sejarah hukum waris islam

1
2. Untuk menjelaskan apasaja asas-asas hukum waris islam
3. Untuk menjelaskan bagaimana hukum mempelajari dan membagikan waris
berdasarkan hukum islam

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1. Mengetahui dan memahami sejarah hukum waris islam
2. Mengetahui dan memahami asas-asas hukum waris islam
3. Mengetahui dan memahami bagaimana hukum mempelajari dan
membagikam waris berdasarkan hukum islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Waris Islam


a. Sejarah Hukum Waris Pra Islam
Ada beberapa sistem pembagian warisn yang dikenal orang Arab sebelum
Islam datang yaitu: hukum kewarisan dengan sistem Yahudi, Romawi dan sistem
kewarisan adat. Dari hukum-hukum tersebut seorang wanita tidak mendapat
bagian warisan selama masih ada pewaris laki-laki1.

Pada sistem hukum waris Yahudi harta warisan yang sudah ditinggalkan
semuanya di wariskan kepada laki-laki dan bagian anak laki pertama mendapat
bagian dua kali dari bagian anak yang kaum adam yang lainnya. Sementara
wanita hanya mendapat uang belanja kehidupannya saja sampai nanti dia sudah
dewasa. Begitu juga dengan seorang ibu atau istri tidak mendapat bagian harta
warisan tersebut2.

Untuk sistem waris Romawi hampir mirip dengan hukum Yahudi yaitu
untuk mendapat bagian harta warisan ada dua ketentuan agar mendapat harta
peninggalan. Diantara ketentuan tesebut yaitu: adanya hubungan darah dan
hubungan bekas budak3. Sedangkan dalam hukum warisan adat untuk mendapat
sebuah harta warisan adalah harus adanya hubungan darah, adopsi, dan adanya
sumpah setia atau baiat. Berbicara tentang hubungan darah maksudnya adalah
hanya seorang laki-laki yang berhak mendapat bagian itupun kaum adam yang
telah baligh dan bisa berperang, dan seorang wanita tidak berhak pada bagian

1
Ajuz, Ahmad Muhyiddin Al, Al Mirats Al ’Adil Fi Al Islam Baina Al Mawarits Al Qadimah Wa Al
Haditsah (Beirut: Muassasah Al Ma’arif, 1986)

2
Ajuz, Ahmad Muhyiddin Al, Al Mirats Al ’Adil Fi Al Islam Baina Al Mawarits Al Qadimah Wa Al
Haditsah (Beirut: Muassasah Al Ma’arif, 1986)

3
Ibid

3
warisan tersebut. Dari ketiga hukum tersebut bisa kita lihat bahwa yang mendapat
harta warisan hanya seorang laki- laki saja.

b. Sejarah Kewarisan Setelah Kedatangan Islam


Setelah Islam datang yang di ajarkan Nabi Muhammad SAW, hukum
kewarisan tidak berubah sedikitpun pada awal mula kedatangan Islam. Hal itu
mungkin karena ajaran Islam masih lemah dan masih sedikit orang yang
menerimanya.

Setelah lambat laun akhirnya ada perubahan tentang pewarisan, hal itu
berawal dari kejadian Nabi Muhammad SAW berpindah dari Mekkah menuju
madinah bersama para muslim lainnya. Orang-orang yang datang dari Mekkah
disebut dengan Muhajirin sedangkan penduduk madina disebut dengan anshor.
Pada saat muhajirin datang ke Madinah mereka tidak membawa perbekalan
apapun untuk mencukupi hidupnya nanti di Madinah nanti. Untuk megikat dan
memperkuat tali persaudaraan, masyarakat yang merupakan Anshor memberikan
harta mereka kepada masyarakat muslim muhajirin4.

Setelah turunnya Alquran secara berangsur-angsur, kemudian perubahan


tentang pewarisan itupun terjadi yaitu sesuai yang ditetapkan dalam Alquran.
Kewarisan yang awalnya hanya bisa diberikan pada kaum dan anak laki-laki saja
kemudian berubah tidak hanya kepada kekerabat dan anak laki-laki saja tetapi
semua laki-laki dan perempuan dan juga anak-anak yang belum dewasapun ikut
bahagiaia. Hal tersebut tertadapat di alquran surah annisa ayat 7 dan ayat 127
yang berisikan tentang pewarisan5.

Kemudian perubahan yang lain adalah perubahan yang persaudaran antar


mayarakat Mekkah dan Madinah, lalu berubah bahwa yang berhak mendapat

4
Ajuz, Ahmad Muhyiddin Al, Al Mirats Al ’Adil Fi Al Islam Baina Al Mawarits Al Qadimah Wa Al
Haditsah (Beirut: Muassasah Al Ma’arif, 1986)

5
ibid

4
warisan harus berupa ikatan persaudaraan kandung atau adanya hubungan darah.
Hal itu di tetapkan dalan Alquran surah Al-Azhab ayat ke enam6.

Selain itu perubahnpun terjadi pada pewarisan mengenai anak adopsi yang
dilakukan pada sebelum Islam ada, kemudian dikatakan dalam Alquran Surah Al
ahzhab ayat empat, lima dan ayat ke empat puluh. Dalam ayat itu dijelaskaan
bahwa warisan sebaiknya diberikan kepada anak kandung daripada anak anak
adopsi7.

Selain ayat tersebut ada perkataan Nabi atau Hadis tentang pembagian
warisan yang memiliki ketentuan atau dasar pembagiannya. Seperti riwayat
Bukhari dan Muslim yang menjelaskan bahwa tidak boleh mewariskan kekayaan
kepada orang yang tidak muslim. Begitupun sebaliknya orang yang tidak
beragama islam atau bukan muslim, tidak boleh memberikan kekayaannya
kepada orang yang muslim.

c. Hukum kewarisan di Indonsia


Pada dasarnya sudah dikenal sejak zaman kerajaan, terbukti dengan
banyaknya kerajan-kerajan Islam yang sudah menerapkan hukum kewarisan di
daerah masing-masing. Ketika masa penjajahan datang, Indonesia sudah
melaksanakan hukum agama Islam8, yang kemudian tetap dilanjutkan dan diakui
kewenangan hukumnya, terbukti mereka membuat aturan agar rakyat Indonesia
tetap memakai hukum yang sudah berlaku dilingkunganya, hanya saja ketika
datang Snouck Hourgranje yang mereka angkat sebagai konsultan hukum
mereka9, munculkan ide agar hukum Islam (kewrisan) direceptie (disesuaikan)
dengan hukum adat10. Setelah masa kemerdekaan teori receptie ini di rubah oleh

6
Washil, Naser Farid Muhammad, Fiqhu Al Mawarits Wa Al Wasiyah (Kairo: Dar Al Salam,1995)
7
ibid
8
A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, op.cit., hlm. 76
9
Imam Syaukani, op.cit., hlm. 71
10
A. Rahmad Rassyadi dan M. Rais Ahmad, Formulasi Syariat Islam Dalam Persepektif Tata Hukum
Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006)

5
Hazairin dengan teori receptie exit menurutnya teori ini adalah teori Iblis11, yang
dilanjutkan oleh Muridnya Sayuti Thalib dengan melanjutkan teori Teori receptie
a cotrario yang berarati bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Selanjutnya
hukum Islam di Indonesia melahirkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang
mana tema utama penyusunan KHI ialah mempositifkan hukum Islam di
Indonesia, yang dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan
tugasnya sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.

B. Asas- asas Hukum Waris Islam


Azas-azas Hukum waris dalam Islamyang bersumber dan pendapat para
ulama' dan pakar hukum Islam termasuk yang diambil dari berbagai Undang-undang
yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan hukum waris Islam seperti Hukum
Kewarisan yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. I tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991), adanya ketentuan hak opsi yang dipergunakan dalam
menyelesaikan pembagian warisan sebagaimana kita jumpai dalam Penjelasan
Umum Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama angka 2
alinea keenam, “ sehubungan dengan hal tebut, para pihak yang berperkaradapat
mempertimbangakanuntuk memilih ukumapa yang akan dipergunakan dalam
pembagian warisan” dinyatakan dihapus oleh UU No. 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Dalam penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris
dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan
atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Dari hal-hal tersebut di atas maka dalam pelaksanaan pembagian waris tidak
dapat dipisahkan dengan azas-azas hukum waris Islam yang meliputi :

11
A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, loc.cit

6
1. Azas Integrity : Ketulusan Integrity artinya : Ketulusan hati, kejujuran,
keutuhan. Azas ini mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan
Hukum Kewarisan dalam Islam diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya
karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya. Hal ini juga dapat
dilihat dari keimanan seseorang untuk mentaati hukum Allan SWT, apalagi
penjelasan umum angka 2 alinea keenam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
Tentang Peradilan Agama memberi hak opsi kepada para pihak untuk bebas
menentukan pilihan hukum waris mana yang akan dipergunakan- dalam
menyelesaikan pembagian waris, telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 3
Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama. Penghapusan tersebut berarti telah membuka pintu bagi orang Islam
untuk melaksanakan hukum waris Islam dengan kaffah yang pada ahirnya
ketulusan hati untuk mentaati hukum waris secara Islam adalah pilihan yang
terbaik, landasan kesadarannya adalah firman Allah SWT surat Ali Imran ayat
85 : ”Barang siapa menuntut agama selain Islam, maka tiadalah diterima dari
padanya, sedang dia di akhirat termasuk orang-orang merugi”
2. Azas Ta' abbudi : Penghambaan diri Yang dimaksud azas Ta'abbudi adalah
melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam adalah merupakan bagian
dari ibadah kepada Allah SWT, yang akan berpahala bila ditaati seperti
layaknya mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya. Ketentuan
demikian dapat kita lihat, setelah Allah SWT menjelaskan tentang hukum waris
secara Islam sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nisa' ayat 11 dan 12,
kemudian dikunci dengan ayat 13 dan 14 : ”Demikianlah Batas-Batas
(peraturan) Allah. Barangsiapa mengikut (perintah) Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkan dia ke dalam surga yang mengalir air sungai di
bawahnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang
besar" (an-Nisa'-13). “Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melampaui Batas-Batas (larangan)-Nya, niscaya Allah memasukkan dia ke
dalam neraka, serta kekal di dalamnya, dan untuknya siksaan yang
menghinakan" (an-Nisa'- 14).

7
3. Azas Hukukul Maliyah : Hak-hak Kebendaan Yang dimaksud dengan Hukukul
Maliyah adalah hak-hak kebendaan, dalam arti bahwa hanya hak dan kewajiban
terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan
hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan
kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam
suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris
terhadap pewaris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 175 yang
berbunyi : a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang; c. Menyelesaikan wasiat pewaris;
d. Membagi harta warisan diantara anti waris yang berhak
4. Azas Hukukun Thabi’iyah : Hak-Hak Dasar Pengertian hukukun thabi’iyah
adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai manusia, artinya meskipun ahli
waris itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit
menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika pewaris meninggal
dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat
tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. Hak-hak dari kewarisan ini
ada empat macam penyebab seorang mendapat warisan, yakni : hubungan
keluarga, perkawinan, wala dan seagama. Hubungan keluarga yaitu hubungan
antar orang yang mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis
keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping
(saudara).. Kebalikan dari ketentuan tersebut, hukum Islam menentukan
beberapa macam penghalang kewarisan yaitu Murtad, membunuh dan hamba
sahaya, sedangkan dalam Kompilasi Hukurn Islam penghalang kewarisan kita
jumpai pada pasal 173 yang berbunyi: “Seseorang terhalang menjadi ahli waris
apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dihukum karena : a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat pada pewaris; b. dipersalahkan secara
memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu

8
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang
lebih berat”.
5. Azas Ijbari : Keharusan, kewajiban Yang dimaksud Ijbari adalah bahwa dalam
hukum kewarisan Islam secara otomatis peralihan harta dari seseorang yang
telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan
Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris
maupun ahli waris. Unsur keharusannya (ijbari/compulsory) terutama terlihat
dari segi di mana ahli waris (tidak boleh tidak) menerima berpindahnya harta
pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah.
Oleh karena itu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu
merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak, karena
dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli
warisnya dengan bagian yang sudah dipastikan. Azas Ijbari ini dapat juga
dilihat dari segi yang lain yaitu a. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah
orang meninggal dunia. b. Jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing
ahli waris. c. Orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah
ditentukan dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan
perkawinan.
6. 6. Azas Bilateral Azas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak
kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari
kerabat keturunan perempuan. Azas bilateral ini dapat dilihat dalam al-Qur'an
surat an-Nisa' ayat 7 : ”Untuk laki-laki ada bagian dari peninggalan ibu bapak
dan karib kerabat yang terdekat, dan untuk perempuan-perempuan ada bagian
pula dari peninggalan ibu bapak dan karib yang terdekat, baik sedikit ataupun
banyak, sebagai bagian yang telah ditetapkan” (an-Nisa'-7).
Dalam surat an-Nisa' ayat 11 : ”Allah mewasiatkan kepadamu tentang (bagian)
anak-anakmu, untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan.
Kalau anak-anak itu perempuan saja lebih dari dua orang, untuk mereka dua
pertiga dari peninggalan, dan kalau perempuan itu seorang saja, maka untuknya
seperdua. Untuk dua orang ibu bapak, untuk musing-masingnya seperenam dari

9
peninggalan, jika ia (mayat) mempunyai anak. Kalau mayat tiada mempunyai
anak dan yang mempusakai hanya ibu bapak saja, maka untuk ibunya sepertiga,
tetapi jika mayat mempunyai beberapa orang saudara, maka untuk ibunya
seperenam, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau
hutanghutangnya. Bapak-bapakmu dan anak-anakmu tiadalah kamu ketahui,
siapakah di antara mereka yang terlebih dekat manfa'atnya kepadamu. Inilah
suatu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (an-Nisa'-11 ).
7. Azas Individual : Perorangan Azas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat
dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.
Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu
yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya
menurut kadar bagian masing-masing. Azas Individual ini dapat dilihat dalam
al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 7 : “Untuk laki-laki ada bagian dari peninggalan
ibu bapak dan karib kerabat yang terdekat, dan untuk perempuan-perempuan
ada bagian pula dari peninggalan ibu bapak dan karib yang terdekat, baik sedikit
ataupun banyak, sebagai bagian yang telah ditetapkan” (an-Nisa'-7). Dalam
surat an-Nisa ayat 8 : “Apabila datang waktu pembagian pusaka, karib kerabat
(yang tidak mendapat bagian), anak-anak yatim dan orang orang miskin, berilah
mereka itu sekedamya dan katakanlah kepada mereka perkataan yang baik (an-
Nisa'- 8) Kemudian surat an-Nisa' ayat 33 : “Untuk masing-masing (laki-laki
dan perempuan) kami adakan ahli waris dari peninggalan ibu dan bapak dan
karib kerabat yang terdekat dan orang-orang yang telah bersumpah setia kepada
kamu, maka hendaklah kamu berikan kepada mereka bagiannya masing-
masing. Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas tiatiap sesuatu” (an-Nisa'-33).
Begitu juga surat an-Nisa' ayat 11 : ”Allah mewasiatkan kepadamu tentang
(bagian) anak-anakmu, untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang
perempuan. Kalau anak-anak itu perempuan saja lebih dari dua orang, untuk
mereka dua pertiga dari peninggalan, dan kalau perempuan itu seorang saja,
maka untuknya seperdua. Untuk dua orang ibu bapak, untuk masing-masingnya

10
seperenam dari peninggalan, jika ia (mayat) mempunyai anak. Kalau mayat
tiada mempunyai anak dan yang mempusakai hanya ibu bapak saja, maka untuk
ibunya sepertiga, tetapi jika mayat mempunyai beberapa orang saudara, maka
untuk ibunya seperenam, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau
hutanghutangnya. Bapak-bapakmu dan anak-anakmu tiadalah kamu ketahui,
siapakah di antara mereka yang terlebih dekat manfa'atnya kepadamu. Inilah
suatu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menngetahui lagi Maha
Bijaksana (an-Nisa'-11 )
8. Azas Keadilan yang Berimbang Azas ini mengandung pengertian bahwa harus
ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan
dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-
laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan
kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga
dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan
keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya sesuai (QS.2:233)
dengan kemampuannya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 233 : “Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan pernyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang itu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan” (Qs. 2:233) Tanggung jawab tersebut merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakan, terlepas dari persoalan apakah isterinya
mampu atau tidak, anak-anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Berdasarkan
keseimbangan antara hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan,

11
sesungguhnya apa yang diperoleh seseorang laki-laki dan seorang perempuan
dari harta warisan manfaatnya akan sama mereka rasakan.
9. Azas Kematian Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada
yang meninggal dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari
kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum Kewarisan Islam, peralihan
harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang
yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat
beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang
mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta
seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang
akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam
kategori kewarisan menurut hukum Islam. Dengan demikian, kewarisan Islam
adalah kewarisan yang menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata (BW)
disebut kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat
yang disebut testamen.
10. Azas Membagi Habis Harta Warisan Membagi habis semua harta peninggalan
sehingga tidak tersisa adalah azas dari penyelesaian pembagian harta warisan.
Dari menghitung dan menyelesaikan pembagian dengan cara : Menentukan
siapa yang menjadi Ahli waris dengan bagiannya masingmasing,
membersihkan/memurnikan harta warisan seperti hutang dan Wasiat, sampai
dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas. Begitu juga apabila terjadi
suatu keadaan dimana jumlah bagian dari semua ahli waris lebih besar dari
masalah yang ditetapkan, atau sebaliknya terjadi suatu keadaan dimana jumlah
bagian dari semua ahli waris yang ada lebih kecil dari asal masalah yang
ditetapkan, telah diatur hingga harta warisan habis terbagi sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam tentang Aul dan
Rad pasal 192 berbunyi : Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para
ahli waris Dzawil Furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari
pada angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru
sesudah itu harta warisan dibagi secara aul menurut angka pembilang. Pada

12
pasal 193 berbunyi : Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli
waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih.kecil dari pada
angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka angka pembagian
harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-
masing ahli waris sedangkan sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka.

C. Hukum Mempelajari dan Membagikan Waris Berdasarkan Hukum Islam


Agama Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci dalam al-Qur’an
agar tidak terjadi Perselisihan antara sesama ahli waris. agama Islam menghendaki
dan meletakkan prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembentukan
dan pembinaan masyarakat dapat ditegakkan Ketentuan teresebut tidak dapat
berjalan dengan baik dan efektif, apabila tidak ditunjang oleh tenaga para ahli yang
memahami secara mendalam dan dapat melaksanakan ketentua-ketentuan
teresebut dengan baik. Untuk itu keberadaan orang-orang yang mempelajari
hukum waris merupakan keniscayaan. Para ulama berpendapat mempelajari dan
mengajarkan fiqih mawaris adalah wajib kifayah artinya suatu kewajiban yang
apabila telah ada sebagian orang yang mempelajarinya, maka dapat menggugurkan
kewajiban semua orang. Akan tetapi apabila tidak ada seorang pun yang
mempelajarinya maka semua orang dalam lingkungan itu akan menanggung dosa
ini sejalan dengan perintah Rasulullah Saw, agar ummatnya mempelajari dan
mengajarkan ilmu waris, sebagaimana perintah untuk mempelajari dan
mengajarkan al-Qur’an.12
Artinya:“ pelajarilah oleh kalian al-Qur‟an, dan ajarkanlah kepada orang lain, dan
pelajarila pula ilmu faraid, dan ajarkan kepada orang lain. Karena aku adalah orang
yang akan terenggut(mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang
yang bersengketa tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang
memberikan fatwa, kepada mereka.”(HR. Ahmad, al-Nasa’i dan al-Daruqtny13

12
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.6
13
Imam Abi Abdurahman Ahmad Bin Syu’aib An-Nasa’i, Kitab AsSunan Al-Kubra

13
Hadis di atas menempatkan perintah untuk mempelajari dan mengajarkan
ilmu waris sejalan dengan perintah untuk mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an.
Ini tidak lain dimaksudkan, untuk menunjukan bahwa ilmu tentang waris
merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dalam rangka mewujudkan
keadilan dalam masyarakat. Naluri manusia memiliki kecendrungan materialistik,
serakah, tidak adil, dan kadang memetingkan diri sendiri, maka mempelajari ilmu
faraid, sangatlah perlu. Oleh karena itu mempelajari dan mengajarkan Fiqih
mawaris yang semula fardu kifayah karena alasan tertentu menjadi fardu „ain,
terutama bagi orang –orang yang bagi masyarakat dipandang sebagai pemimpin
atau panutan, terutama pemimpin keagamaan.14

14
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.7

14
BAB III
SIMPULAN

Hukum Kewarisan di Indonesia pada dasarnya sudah dikenal sejak zaman


kerajaan, terbukti dengan banyaknya kerajan-kerajan Islam yang sudah menerapkan
hukum kewarisan di daerah masing-masing. Ketika masa penjajahan datang, Indonesia
sudah melaksanakan hukum agama Islam. Selanjutnya hukum Islam di Indonesia
melahirkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mana tema utama penyusunan KHI
ialah mempositifkan hukum Islam di Indonesia, yang dijadikan pedoman oleh para
hakim dalam melaksanakan tugasnya sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian
hukum.

Azas-azas Hukum waris dalam Islam yang bersumber dan pendapat para ulama'
dan pakar hukum Islam termasuk yang diambil dari berbagai Undang-undang yang
berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan hukum waris Islam seperti Hukum
Kewarisan yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam.Dalam penjelasan pasal 49
huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Waris adalah
penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta
peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Dari hal-hal tersebut di atas maka dalam pelaksanaan pembagian waris tidak dapat
dipisahkan dengan azas-azas hukum waris Islam.

Para ulama berpendapat mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris adalah


wajib kifayah artinya suatu kewajiban yang apabila telah ada sebagian orang yang
mempelajarinya, maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Akan tetapi
apabila tidak ada seorang pun yang mempelajarinya maka semua orang dalam
lingkungan itu akan menanggung dosa ini sejalan dengan perintah Rasulullah Saw,
agar ummatnya mempelajari dan mengajarkan ilmu waris, sebagaimana perintah untuk
mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ajuz, Ahmad Muhyiddin Al, Al Mirats Al ’Adil Fi Al Islam Baina Al Mawarits Al


Qadimah Wa Al Haditsah (Beirut: Muassasah Al Ma’arif, 1986)
A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahmad, 2006, Formulasi Syari’at Islam Dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006)
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005)
C. Rasyid (2008), Azas-Azas Hukum Waris Dalam Islam. Ketua Pengadilan Tinggi
Agama Yogyakarta
Imam Abi Abdurahman Ahmad Bin Syu’aib An-Nasa’i, Kitab AsSunan Al-Kubra
Washil, Naser Farid Muhammad, Fiqhu Al Mawarits Wa Al Wasiyah (Kairo: Dar Al
Salam,1995)

16

Anda mungkin juga menyukai