Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FIKIH

WARIS DAN WASIAT DALAM


ISLAM

Disusun Oleh
 Ijar Fadilah Ahmad (18)
 M.Rizki hoerul Fadilah (20)
 Maulana Putra Al-Amin (23)
 Panji Pratama Ginaldi (27)

Kelas : XI IPA 2

MAN 8 JAKARTA

Jl. Balai Rakyat No.19, RT.15/RW.1, Cakung Tim., Kec. Cakung, Kota
Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1391
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah menciptakan, mengatur dan menguasai
seluruh makhluk di dunia dan akhirat. Semoga kita mendapatkan limpahan rahmat dan ridho-
Nya. Serta sholawat dan salam tak lupa kita sampaikan kepada Nabi kita, Muhammad saw. Yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang akan ilmu saperti saat ini.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat, atas bimbingan dan ilmu dari Ibu Maslina, S. P.d.I pada
Mata Pelajaran Fikih . Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
"Hukum Waris dalam Islam" bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Semoga Makalah ini bisa
seperti apa yang diharapkan bahkan bisa melebihi harapan yang ada.

Semoga materi yang kami susun dalam tugas makalah ini bisa memberikan manfaat dan
menambah wawasan kepada kami dan juga pembaca, dan dapat diterima dengan baik oleh Ibu
Guru dengan nilai yang memuaskan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bekasi, 05 Maret 2021

Penyusun kelompok 2

I
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR......................................................................................................................I
DAFTAR ISI...................................................................................................................................II
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A.Latar Belakang........................................................................................................................1
B.Rumusan Masalah...................................................................................................................2
C.Tujuan......................................................................................................................................2
BAB 2 ISI........................................................................................................................................3
A.Pengertian Waris.....................................................................................................................3
B.Sumber Hukum Warisan.........................................................................................................3
C.Sebab Mendapat Waris............................................................................................................3
D.Penggolongan Ahli Waris.......................................................................................................4
E.Pembagian...............................................................................................................................5
E.Penghalang Warisan................................................................................................................5
F.Pengertian Wasiat....................................................................................................................5
G.Sumber Hukum Wasiat...........................................................................................................6
H.Rukun Wasiat..........................................................................................................................6
I.Syarat Wasiat............................................................................................................................6
J.Lafadz Wasiat...........................................................................................................................7
BAB 3 PENUTUP...........................................................................................................................8
A.Kesimpulan.............................................................................................................................8
B.Saran........................................................................................................................................8

II
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama mempunyai ajaran yang mengatur segala urusan umatnya, baik yang
berkaitan dengan masalah ibadah, mu’amalah, maupun siyasah, dengan artian bahwa Islam tidak
hanya berbicara tentang hubungan manusia dengan tuhannya, tapi juga berbicara tentang
hubungan manusia dengan bangsa dan negaranya. Dalam aturan tersebut yang dijadikan acuan
utama oleh umat Islam adalah al-Qur’an dan Hadits, keduanya menjadi sumber yang paling
otentik dalam mencipatakan sebuah aturan yang kemudian kita dapat mengistilahkannya dengan
Hukum Islam.

Setelah Nabi Muhammad wafat yang hanya mewariskan al-Qur’an dan Hadits kepada
umatnya, permasalahan hukum yang dianggap tidak diatur secara jelas dalam kedua sumber
tersebut harus dipecahkan oleh para sahabat, mereka melakukan ijtihad sendiri untuk dapat
memberikan jawaban terhadap suatu permasalahan hukum yang ada. Meskipun demikian, dalam
melakukan ijtihad ini al-Qur’an dan Hadits tidak bisa ditinggalkan, keduanya tetap menjadi
sumber hukum utama dalam merumuskan suatu permasalahan hukum.

Karena dalam perkembangannya ijtihad ini tidak hanya dilakukan oleh satu orang saja,
maka produk hukum yang dihasilkannya tidak selalu sama, ia seringkali menghasilkan
keberagaman hukum meskipun berdasarkan pada sumber hukum yang sama. Hal ini terjadi
bukan hanya karena adanya perbedaan pemikiran manusia dan metode yang digunakannya, tapi
juga karena adanya faktor eksternal yang berupa kondisi sosial, ekonomi, bahkan politik yang
melingkupi sang mujtahid dalam proses melakukan ijtihad, yang mana beberapa kondisi tersebut
dapat mempengaruhi terhadap proses istinbath hukum yang dilakukan oleh mujtahid. Oleh
karena itu, menjadi wajar ketika terjadi perbedaan pendapat dalam permasalahan hukum Islam
antara Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia ini menyangkut banyak hal,
diantaranya adalah tentang waris dan wasiat. Di mana pada awalnya, pandangan ulama Indonesia
tentang waris dan wasiat ini tidak jauh berbeda dengan pandangan ulama terdahulu. Akan tetapi,
seiring dengan perkembangan zaman yang kemudian di Indonesia muncul Fiqh Indonesia,
Madzhab Nasional dan yang lainnya, hukum waris dan wasiat tersebut mulai mendapat sorotan
dari umat Islam Indonesia, khususnya dari pemerhati hukum Islam.

Hal ini tidak lepas dari anggapan bahwa ulama klasik kurang tepat dalam memahami
aturan waris dan wasiat yang ada di al-Qur’an, sekaligus juga kurang tepat untuk diterapkan
dalam konteks keindonesiaan. Oleh karena itu, dintara pemerhati hukum Islam di Indonesia
berusaha merumuskan konsep waris dan wasiat yang menurut mereka sesuai dengan aturan yang
termaktub dalam al-Qur’an dan sekaligus juga sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat
Indonesia.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja hikmah dan manfaat dari pembagian harta warisan dan wasiat ?
2. Bagaimana ketentuan pembagian harta warisan dan wasiat ?
3. Bagaimana ketentuan hukum mawaris dan wasiat dalam Islam ?
4. Apakah hasil analisis praktik waris dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan
ketentuan hukum Islam ?

C. Tujuan
1. Mengetahui hikmah dan manfaat dari ketentuan syariat Islam tentang pembagian
harta warisan dan wasiat
2. Mengetahui tentang ketentuan pembagian harta warisan dan wasiat
3. Mengetahui ketentuan hukum mawaris dan wasiat dalam Islam
4. Mengetahui hasil analisis praktik waris dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan
ketentuan hukum Islam

2
BAB 2 ISI

A. Pengertian Waris
Waris berasal dari bahasa Arab warisa-yarisu-warsan atau irsan/turas yang berarti
mempusakai. Menurut Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah dalam Ahkamul Mawarits:
1.400 Mas’alah Miratsiyah, waris berarti berpindahnya harta dari orang yang meninggal
kepada yang masih hidup (ahli waris).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang berhak
menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Di dalam bahasa Arab kata waris
berasal dari kata ‫ورث‬-‫يرث‬-‫ ورثا‬yang artinya adalah Waris.

B. Sumber Hukum Warisan


Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 11, 12,
dan 176. hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui. siapa yang
berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap
ahli waris.

Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat bahayanya, paling tinggi
kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah
sendiri yang menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh
setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta
dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta
warisan adalah untuk pria dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat,
sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa
nafsu

C. Sebab Mendapat Waris


 Sebab nasab (hubungan keluarga) : Nasab yang dimaksud disini adalah nasab hakiki.
Artinya hubungan darah atau hubungan kerabat, baik dari garis atas atau leluhur si
mayit (ushul), garis keturunan (furu’), maupun hubungan kekerabatan garis
menyimpang (hawasyi), baik laki-laki maupun perempuan.
 Sebab pernikahan yang sah : Yang dimaksud dengan pernikahan yang sah adalah
berkumpulnya suami istri dalam ikatan pernikahan yang syah. Dari keduanya inilah
muncul istilahistilah baru dalam ilmu mawaris, seperti: dzawil furudh, ashobah, dan
furudh al muqaddarah.
 Sebab wala’ : sebab jalan memerdekakan budak. Seseorang yang memerdekakan
hamba sahaya, berhak mendapatkan warisan dari hamba sahaya tersebut kala ia
meninggal dunia.

3
 Sebab kesamaan agama : Ketika seorang muslim meninggal sedangkan ia tidak
memiliki ahli waris, baik ahli waris karena sebab nasab, nikah, ataupun wala
(memerdekakan budak) maka harta warisannya dipasrahkan kepada baitul mal untuk
maslahat umat Islam

D. Penggolongan Ahli Waris


Terdapat tiga golongan ahli waris menurut ajaran bilateral:
1. Dzul faraa-idh (biasa disebut juga sebagai ashabul furudh atau dzawil furudh)
Dzul faraa-idh ialah ahli waris yang telah mendapat bagian pasti, yang bagian-bagian
tersebut telah ditentukan dalam Alquran surat An-Nisa, atau sebagaimana pula telah
disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam bab ketiga, yang di antaranya:
 anak perempuan yang tidak didampingi laki-laki
 ibu
 bapak dalam hal ada anak
 duda
 janda
 saudara laki-laki dalam hal kalaalah
 saudara, laki-laki dan perempuan bergabung bersyirkah dalam hal kalaalah
 saudara perempuan dalam hal kalaalah

2. Dzul Qarabat Atau Ashabah


Dzul qarabat ialah ahli waris yang mendapat bagian sisa atau tidak ditentukan, di
antaranya:
 Anak laki-laki
 Anak perempuan yang didampingi laki-laki
 bapak
 saudara laki-laki dalam hal kalaalah
 saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki dalam hal kalaalah

3. Mawali
Mawali adalah ahli waris pengganti yang menggantikan seseorang untuk memeroleh
bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu. Mawali ialah
keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, atau keturunan orang yang
mengadakan semacam perjanjian mewaris (misalnya wasiat) dengan pewaris

4
E. Pembagian
 Setengah
Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah Ibu, Saudari
seayah dan Suami jika tanpa anak.
 Seperempat
Suami bersama anak atau cucu, Istri tanpa anak atau cucu dari anak laki-laki.
 Seperdelapan
Istri bersama Anak atau cucu dari anak laki-laki
 Sepertiga
Ibu tanpa ada anak, Saudari seibu 2 orang atau lebih.
 Duapertiga
Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah ibu, Saudari
seayah
 Seperenam
Ibu bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Nenek, Saudari seayah bersama
Saudari seayah ibu, Ayah bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Kakek.

E. Penghalang Warisan
Penghalang yang dimaksud di sini adalah hal-hal tertentu yang menyebabkan seseorang
tidak mendapatkan warisan, padahal pada awal mulanya ia merupakan orang-orang yang
semestinya mendapatkan harta waris. Orang yang terhalang mendapatkan warisan disebut
dengan mamnu’ al-irs atau mahjub bil washϔi (terhalang karena adanya sifat tertentu).
Berikut penjelasan singkat kelompok manusia yang masuk dalam kategori mamnu’ al-irs
tersebut :

1. Pembunuh : Orang yang membunuh salah satu anggota keluarganya maka ia tidak
berhak mendapatkan harta warisan dari yang terbunuh
2. Budak : Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak berhak mendapatkan harta
warisan dari tuannya. Demikian juga sebaliknya, tuannya tidak berhak mendapatkan
warisan dari budaknya karena ia memang orang yang tidak mempunyai hak milik
sama sekali
3. Murtad : Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang murtad tidak berhak
mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam
4. Perbedaan agama : Orang Islam tidak dapat mewarisi harta warisan orang kaϐir
meskipun masih kerabat keluarganya

F. Pengertian Wasiat
Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang
meninggal dunia. Wasiat berasal dari kata washa yang berarti menyampaikan atau memberi
pesan atau pengampuan. Dengan arti kata lain, wasiat adalah harta yang diberikan oleh
pemiliknya kepada orang lain setelah si pemberi meninggal dunia. Wasiat juga diartikan
menjadikan harta untuk orang lain.

5
G. Sumber Hukum Wasiat
Setiap hukum Islam mestilah didasari oleh dalil naqli atau juga dalil akli. Hukum
berwasiat adalah dibolehkan. Di antara sumber-sumber hukum wasiat adalah melalui dalil
Al-Quran, Sunnah, amal para sahabat dan ijmak ulama.
H. Rukun Wasiat
 redaksi wasiat (shighat),
 pemberi wasiat (mushiy),
 penerima wasiat (mushan lahu),
 barang yang diwasiatkan (mushan bihi).

I. Syarat Wasiat

1. Pemberi Wasiat
Pemberi wasiat adalah seorang yang memberi harta warisannya kepada orang yang
tidak mendapat bagian dari harta warisannya akibat dari halangan tertentu. Ada beberapa
krateria bagi pemberi wasiat. Antaranya ialah :
 Berakal
 Baligh
 Merdeka
 Kemauan sendiri

2. Penerima Wasiat
Penerima wasiat adalah orang atau badan yang mendapat harta warisan dari pemberi
wasiat. Penerima wasiat haruslah mempunyai kriteria untuk menerima wasiat. Antaranya
ialah :
 Penerima wasiat bukan ahli waris pemberi wasiat.
 Penerima wasiat hendaklah diketahuai dan wujud ketika wasiat dibuat. Tidak sah
mewasiatkan kepada bayi yang belum lahir atau kepada badan yang belum
ditubuhkan (masjid yang akan dibangunkan).
 Penerima wasiat hendaklah bukan seorang pembunuh.
 Penerima wasiat hendaklah bukan kafir harbi (pendapat fuqaha’ madzhab
Maliki), bukannya kafir harbi di dar (pendapat fuqaha’ madzhab Hanafi) dan
tidak boleh mewasiatkan senjata kepada ahli harbi (pendapat fuqaha madzhab
Syafie)

3. Barang Yang Diwasiatkan


Adapun syarat-syarat bagi barang atau benda yang diwasiatkan adalah:

6
 Barang itu dikira sebagai harta dan ia boleh diwarisi.

6
 Barang tersebut dari harta yang boleh dinilai atau mempunyai nilai kewangan
sama ada melibatkan benda atau manfaat dari susut syarak.
 Barang tersebut boleh dipindahmilik sekalipun tiada pada waktu berwasiat.
 Barang itu dimiliki oleh pemberi wasiat ketika berwasiat jika zatnya ditentukan.
 Barang itu bukanlah sesuatu yang maksiat seperti mewasiatkan rumah untuk
dijadikan gereja, pusat judi dan sebagainya.
 Harta atau barang tersebut hendaklah tidak melebihi kadar 1/3 harta pewasiat

J. Lafadz Wasiat
Ahli-ahli fiqh dari madzhab Hanafi memandang bahwa rukun wasiat adalah memadai
dengan sighah sahaja, yaitu meliputi penyerahan dan penerimaan, sedangkan benda wasiat
yang diberikan kepada penerima wasiat terdapat dalam aqad (perjanjian) itu. Sebagian fuqaha’
yang lain termasuk fuqaha’ madzhab Syafie berpendapat sighah merupakan rukun wasiat
yang keempat. Adapun syarat-syarat bagi lafaz ijab dan qabul adalah :
 Hendaklah wasiat tersebut dilafazkan dengan jelas ataupun kabur. Lafaz yang jelas
seperti : “Saya mewasiatkan untuknya seribu ringgit” atau “serahkanlah seribu
ringgit kepadanya setelah kematian saya” atau berikan kepadanya setelah kematian
saya” atau “harta itu menjadi miliknya setelah kematian saya”. Lafaz wasiat yang
jelas ini diterima sebagai suatu wasiat yang sah dilaksanakan menurut lafaz tersebut.
Jika orang yang berkata tersebut menafikan ia berniat wasiat, katanya itu tidak
diterima. Sementara lafaz yang kabur pula perlu disertakan dengan niat. Terdapat
kemungkinan lafaz itu tidak berarti wasiat. Maka ia perlu diikuti dengan niat.
Contohnya : “buku saya ini untuk Zaid”.
 Hendaklah wasiat ini diterima oleh penerima wasiat jika wasiat ini ditujukan kepada
orang yang tertentu. Jikalau wasiat ini ditujukan kepada pihak yang umum seperti
fakir miskin atau ulama’, persetujuan mereka tidak diperlukan karena ini
menyukarkan.
 Hendaklah persetujuan tersebut diambil setelah kematian pewasiat. Tanpa harus
memperhatikan apakah penerima wasiat setuju atau menolak wasiat sebelum
pewasiat meninggal.

7
BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan
 Waris berasal dari bahasa Arab warisa-yarisu-warsan atau irsan/turas yang berarti
mempusakai
 Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 11,
12, dan 176
 Sebab mendapat waris karna nasab, pernikahan yang sah, wala’, dan kesamaan
agama
 Golongan ahli waris dzul qarabath, dzul faraa’id, dan mawali
 Pembagian ahli waris ada yang seperempat, setengah, seperdelapan, dua pertiga,
sepertiga, dan seperenam
 Orang yang terhalang mendapatkan warisan disebut dengan mamnu’ al-irs atau
mahjub bil washϔi (pembunuh, budak, murtad, perbedaan agama)
 wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang
meninggal dunia.
 sumber-sumber hukum wasiat adalah melalui dalil Al-Quran, Sunnah, amal para
sahabat dan ijmak ulama
 rukun dan syarat wasiat : redaksi wasiat, pemberi wasiat, penerima wasiat dan barang
yang diwasiatkan

B. Saran
Penulis berharap agar kedepannya semua umat islam akan menerapkan hak waris dan
wasiat sesuai dengan ajaran yang telah diajarkan oleh agama sesuai dengan al quran dan
sunnah.

8
8

Anda mungkin juga menyukai