Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HUKUM PERDATA ISLAM


“KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA”

Dosen Pengampu :
Hatoli, S.,Sy, M.H

OLEH:

RHIEZKY FAHRIZAN
NIM 302.2019.037
SEMESTER : 2B

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN
SAMBAS
2020 M/ 1441 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam program studi Hukum Tata
Negara. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW beserta sahabat, keluarga maupun para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman. Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih
banyak terdapat kelemahan dan kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini menjadi
lebih baik lagi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hatoli,
S.Sy., MH selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata Islam yang telah
mempercayakan dan memberi penulis tugas makalah ini. Semoga makalah ini bisa
bermanfat bagi penulis dan pembaca.

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman :
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Waris Dalam Islam.............................................................3
B. Asas Hukum Kewarisan.......................................................................4
1. Asas Ijbari.......................................................................................4
2. Asas Bilateral..................................................................................4
3. Asas Individual...............................................................................4
4. Asas Keadilan Berimbang..............................................................4
5. Asas Semata Akibat Kematian.......................................................4
6. Asas Integrity (Ketulusan)..............................................................4
7. Asas Ta’abudi (Penghambaan Diri)................................................4
8. Asas Huququl Maliyah (Hak-Hak Kebendaan)..............................5
9. Asas Huququn Thaba’iyah (Hak-Hak Dasar).................................5
10. Asas Membagi Habis Harta Warisan..............................................5
C. Sebab – Sebab Dan Penghalang Waris.................................................5
1. Penghalang Kewarisan....................................................................5
2. Perbedaan Mahjub (Terhalang) Dan Mahrum (Dilarang)..............7
D. Kewajiban Ahli Waris..........................................................................8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................9
B. Saran.....................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati.
Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada
lingkungannya, terutama ,dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat
dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi
dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan
orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya.
Demikian jugadengan kematian seseorang membawa pengaruh dan
akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan
sekitarnya, selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang
lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungandengan pengurusan
jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara
otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para
keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu
hukum yang menyangkut bagaiman acara penyelesaian harta peninggalan
kepada keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam
syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama IlmuMawaris, Fiqih
Mawaris, atau Faraidh.
Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang
menjadi ahli waris, siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta
warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-masing bagaimana
ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang berhubungan
dengan soal pembagian harta warisan.
Hukum waris islam adalah salah satu dari obyek yang dibahas
dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia selain masalah munakahah dan
muamalah. Masalah hukum waris islam ini sangat penting sekali untuk

1
2

difahami oleh umat muslim. Akan tetapi seperti yang telah banyak kita
ketahui, hukum waris islam di Indonesia sudah mulai ditinggalkan oleh
umat muslim. Karena hukum waris islam itu sendiri dianggap sulit untuk
diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Semakin kompleknya hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat menjadi
salah satu faktor yang menjadi penyebab hukum waris islam mulai
ditinggalkan masyarakat, dan mayoritas umat muslim sekarang ini
menggunakan hukum waris yang umum digunakan dalam masyarakat
bukan hukum waris islam yang telah di atur dalam Al-Qur’an dan juga As-
sunnah.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Waris Dalam Islam?
2. Apa Asas Hukum Kewarisan?
3. Apa Sebab – Sebab dan Pengahalang Waris?
4. Apa saja Kewaijban Ahli Waris?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris Dalam Islam


Dalam beberapa literatur Hukum Islam ditemui beberapa istilah
untuk menamakan Hukum Waris Islam, seperti fiqh mawaris,
ilmu faraidh dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini trjadi
karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.
Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu
yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bgaimana proses
pemindahan, siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan /
peninggalan itu serta berapa masing-masing bagian harta waris
menurut hukum waris islam.
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang
berjudul fiqh mawaris (Hukum Waris Islam) telah memberikan
pemahaman tentang pengertian hukum waris menurut islam ialah:
"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi
ahli waris dalam islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan
menurut islam, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam
islam serta cara pengambilannya"1
Hukum Waris Islam  kadang-kadang disebut juga dengan istilah
Al-Faraidh bentuk jamak dari kata fardh, yg artinya kewajiban dan atau
bagian tertentu. Apabila dihubungkan dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh,
maksudnya ialah ilmu untuk mengetahui cara membagi harta waris orang
yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya
menurut hukum islam. Di dalam ketentuan Hukum Waris Menurut
Islam yang terdapat dalam Al-quran lebih banyak yang ditentukan
dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya.

1 Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.hlm.45

3
4

B. Asas Hukum Kewarisan


Asas-asas hukum kewarisan Islam yaitu :
1. Asas Ijbari
Yaitu peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut
kehendak Allah tanpa tergantung kepeda kehendak dari
pewaris atau permintaan dari ahli warisnya.
2. Asas Bilateral
Yaitu harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah.
Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan
dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis
keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan
perempuan.
3. Asas Individual
Yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi yang dimiliki secara
perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya
secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris lainnya.
4. Asas Keadilan Berimbang
Yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban dan
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan
kegunaan
5. Asas Semata Akibat Kematian
Yaitu harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain
dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup
6. Asas Integrity (Ketulusan)
Yaitu dalam melaksanakan hukum kewarisan dalam Islam,
diperlukan ketulusan hati dan menaatinya karena terikat dengan
aturan yang diyakini kebenarannya.2
7. Asas Ta’abudi (Penghambaan Diri)

2 Wignyodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: CV. Haji Mas
Agung.hlm. 128
5

Melaksanakan pembagian warisan secara hukum Islam


adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah Swt
8. Asas Huququl Maliyah (Hak-Hak Kebendaan)
Hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan yang dapat
diwariskan kepada ahli waris. Sedangkan, hak dan kewajiban
dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan
kewajiban yang bersifat pribadi, seperti suami atau isteri,
jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan semacamnya tidak
dapat diwariskan.
9. Asas Huququn Thaba’iyah (Hak-Hak Dasar)
Hak-hak ahli waris sebagai manusia, meskipun ahli waris
itu seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah
sakit menghadapi kematian, sedangkan ia masih hidup ketika
pewaris meninggal dunia, begitu juga suami isteri yang belum
bercerai, walaupun telah berpisah tempat tinggal, maka
dipandang cakap mewarisi harta warisan tersebut.
10. Asas Membagi Habis Harta Warisan
Membagi semua harta peninggalan hingga tidak tersisa
adalah makna dari asas ini.3

C. Sebab – Sebab Dan Penghalang Waris


Penghalang kewarisan artinya suatu keadaan Yang menjadikan
tertutupnya peluang seseorang untuk mendapatkan warisan. Adapaun
orang yang terhalang mendapatkan warisan ini adalah orang yang
memenuhi sebab-sebab memperoleh warisan.
1. Penghalang Kewarisan
Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang tidak berhak
mewarisi harta peninggalan si pewaris, yaitu:
a. Perbudakan (hamba sahaya)

3 Wignyodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: CV. Haji Mas
Agung.hlm. 128
6

Hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta


peninggalan kerabatnya sebab kalau ia mewarisi berarti
harta warisan itu akan diminta oleh majikannya.
Padahal majikan adalah orang lain dari kerabat hamba
sahaya yang menerima warisan tersebut.
Para ulama sepakat bahwa perbudakan merupakan
suatu hal yang menjadi penghalang mewarisi
berdasarkan petunjuk umum dari nash sharih yang
menafikan kecakapan bertindak seorang hamba dalam
segala bidang, yaitu firman Allah SWT.Artinya:
“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan, dua
orang laki-laki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat
sesuatu pun dan dia menjadi beban atas
penanggungannya.” (QS. An-Nahl:76).
b. Pembunuhan
Perbuatan membunuh yang dilakukan oleh
seseorang ahli waris terhadap si pewaris menjadi
penghalang baginya (ahli waris yang membunuh
tersebut) untuk mendapatkan warisan dari pewaris.
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, ia
tidak boleh mewarisi harta peninggalan.
Pada dasarnya pembunuhan itu adalah merupakan
tindakan pidana kejahatan, namun dalam beberapa hal
tertentu pembunuhan tersebut tidak dipandang sebagai
tindak pidana dan oleh karena itu dipandang sebagai
dosa.4
c. Perbedaan agama
Yang dimaksud dengan perbedaan agama adalah
perbedanya agama yang dianut  antara pewaris dengan

4 Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab Undang
– Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.hlm.20
7

ahli waris, artinya seseorang muslim tidaklah mewaris


dari yang bukan muslim, begitu pula sebaliknya
sesorang yang bukan muslim tidaklah mewaris dari
seseorang muslim.
Apabila pembunuhan dapat memutuskan hubungan
kekerabatan hingga mencabut hak kewarisan, maka
demikian jugalah halnya dengan perbedaan agama,
sebab wilayah hukum islam (khususnya hukum waris)
tidak mempunyai daya berlaku bagi orang-oraang non
muslim.
2. Perbedaan Mahjub (Terhalang) Dan Mahrum (Dilarang)
Dalam hukum kewarisan, terdapat perbedaan antara
terhalang (mahjub) dan (mahrum).
Seorang yang terkena larangan mewarisi, seperti karena
membunuh atau perbedaan agama dalam istilah disebut dicegah
dan dilarang. Keadaan ini membuat kberadaan orang
membunuh itu seolah-olah tidak ada bagi para ahli waris
lainnya sehingga tidak mempengaruhi mereka.
Adapun keadaan seorang ahli waris yang tidak dapat
mewarisi karena adanya ahli waris lainnya yang lebih dekat
atau lebih kuat kedudukannya dengan orang yang diwarisi,
disebut terhalang(mahjub).misalnya seorang kakek tidak dapat
mewarisi karena terhalang oleh kedudukan ayah, saudara laki-
laki seayah seibu.5
Dalam hal ini, tidak dapat dikatakan bahwa kakek dilarang
mendapatkan warisan karena ada ayah atau saudara laki-laki
seayah seibu. Kakek mempunyai peluang mendapatkan warisan
seandainya tidak ada ayah, begitu juga saudara laki-laki seayah
seibu. Tetapi karena masih ada mereka, yaitu orang-orang yang

5 Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab Undang
– Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.hlm.20
8

lebih dekat kedudukannya dengan orang yang mewarisi


(pemberi warisan), peluang tersebut menjadi tertutup (terhijab).
Dari uraian yang dikemukakan diatas, maka dapatlah
disimpulkan bahwa lembaga hijab ini adalah terhalangnya
sesorang ahli waris untuk menjadi ahli waris yang berhak,
disebabkan adanya ahli waris  (kelompok ahli waris ) yang
lebih utama dari padanya.
Hijab muqshon adalah bagian yang terkurangi karena ada
ahli waris yang berhak mendapatkan lebih banyak.Hijab
hirman adalah ahli waris yang karena ada penghalangnya maka
ia tidak medapatkan sama sekali.
Ghoiru waris adalah orang yang mutlak tidak memiliki
hubungan nasab dan bukan sebagai ahli waris seperti : mertua,
adik ipar, tetangga.

D. Kewajiban Ahli Waris


Sebelum harta dibagi, ahli waris punya kewajiban terhadap pewaris
yang wafat sebagai berikut:
a. Mengurus berbagai hal tentang pemakaman jenazah sampai
selesai
b. Menyelesaikan hutang-hutang mayit berupa pengobatan,
perawatan, kewajiban maupun piutang
c. Menyelesaikan wasiat pewaris 
d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Sedangkan mengenai tanggung jawab ahli waris terhadap hutang
atau kewajiban mayit hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta
peninggalannya. 6

6 Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.hlm.31


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa
ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak
mnerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana
cara penghitungannya.
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat
tunggal Faradha, yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan
tercatat 14 kali dalam Al-Quran, dalam berbagai konteks kata. Karena itu,
kata tersebut mengandung beberapa makna dasar, yakni suatu ketentuan
untuk maskawin, menurunkan Al-Quran, penjelasan, penghalalan,
ketetapan yang diwajibkan, ketetapan yang pasti, dan bahkan di lain ayat
ia mengandung makna tidak tua.
Bahwa sisa harta warisan baik setelah ahli waris mendapatkan
begiannya maupun karena tidak ada ahli waris, tidak boleh diselesaikan
dengan jalan Radd maupun diserahkan kepada Dzawil Arham, tetapi harus
diserahkan ke baitul Mal untuk kepentingan umat islam.

B. Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan makalah ini
meskipun penulisan ini jauh dari sempurna minimal kita
mengimplementasikan tulisan ini. Masih banyak kesalahan dari penulisan
makalah ini, karna kami manusia yang adalah tempat salah dan dosa:
dalam hadits “al insanu minal khotto’ wannisa’, dan kami juga butuh
saran/ kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih
baik daripada masa sebelumnya. Kami juga mengucapkan terima kasih
atas dosen pembimbing mata kuliah Piqih yang telah memberi kami tugas
individu demi kebaikan diri kita sendiri dan untuk negara dan bangsa.

9
DAFTAR PUSTAKA

Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika


Offset.hlm.45
Wignyodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: CV. Haji Mas
Agung.hlm. 128
Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.hlm.20
Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta.hlm.31
Subekti. 1987. Pokok – Pokok Hukum Perdata. PT. Intermasa : Jakarta.hlm.63

10

Anda mungkin juga menyukai