Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FIKIH MAWARIS

RUKUN, DASAR HUKUM DAN HUKUM MEMPELAJARI FIKIH MAWARIS

Dosen Pengampu : Dodi Sukma, SHI.,MA

Oleh

Andini Assiva (12020527562)

Ekonomi Syariah (3A)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYAI’AH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM

RIAU

PEKANBARU

1442 H/ 2021 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah, yang telah mencurahkan berbagai macam
nikmat-Nya, sehingga MAKALAH “Rukun, Dasar Hukum, dan Hukum mempelajari Fikih
Mawaris” telah selesai sebagaimana diharapkan.

Shalawat beriring salam kepada baginda Rasulullah saw. yang telah membawa risalah
yang begitu agung al-Qur‟ān al-karīm, sebagai petunjuk dalam mengarungi kehidupan yang
fana ini.

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris,
dimana bagian harta waris tidak akan didapatkan bila tidak ada rukunrukunnya.

Oleh karena itu, Allah telah mengatur hukum waris secara riqid dan detail diterangkan
oleh al-Qur‟an dengan ad nauseam (secara panjang lebar). Beberapa ahli hukum mengakui
bahwa tidak ada satu aspek hukumpun yang secara teknis menunjukkan keistimewaan hukum
Islam selain dari pada hukum waris, karena hukum waris di dalam al-Qur‟an telah
dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkrit dan realistis sehingga menutup
kemungkinan adanya multiinterpretasi.

Ahkir kata, penulis menyadari MAKALAH ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan masukan untuk memperbaiki MAKALAH
agar menjadi lebih baik lagi.

Wassallamualaikum Wr.Wb

Pekanbaru, September 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………i

DAFTAR ISI………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………….........1

A. Latar Belakang…………………………….1
B. Rumus Masalah…………………………..1
C. Tujuan …………………………………….1

BAB II PEMBAHASAAN…………………………………2

A. RUKUN…………………………………………….2
B. DASAR HUKUM……………………………………….3
C. HUKUM MEMPELAJARI FIKIH MAWARIS……………5

BAB III PENUTUP…………………………………………………….9

KESIMPULAN………………………………………………….9

DAFTAR PUSTATAKA…………………………………………………10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, secara ringkas, mengalami pase yang cukup
panjang semenjak zaman kolonial Belanda hingga zaman perubahan ini. Sejarah
membuktikan bahwa aplikasi hukum Islam dalam tatanan keindonesiaan, baru
teraplikasikan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan dalam UU No. 7
tahun 1989 tentang peradilan, itu pun dengan perjuangan yang ―melelahkan‖
khususnya bagi umat Islam.1 Adapun sumber hukum yang dijadikan pedoman bagi
para penegak hukum (Hakim), Praktisi, dan sebagainya selain undang-undang tertulis
tersebut di atas adalah fatwa-fatwa ulama, baik yang tertulis dalam kitabkitab fiqh
klasik ataupun kitab-kitab fiqh modern. Sumber-sumber tersebut sampai hari ini
merupakan bahan pelengkap dalam proses pengalian Hukum Islam.
B. Rumus Masalah
- Apa yang dimakasud dengan rukun, dasar hukum, dan hukum mempelajari fikih
mawaris?
C. Tujuan
- Untuk mempelajari rukun, dasar hukum dan hukum mempelajari fikih mawaris
BAB II
PEMBAHASAAN
A. Rukun
Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta
waris, dimana bagian harta waris tidak akan didapatkan bila tidak ada
rukunrukunnya. Rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga yaitu:
1. Al-Muwarriṡ (pewaris), yaitu orang yang meninggal dunia baik secara hakiki
(sebenarnya) maupun ḥukmī (suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan
hakim) seperti mafqūd (orang yang hilang).
2. Al-Wāriṡ (ahli waris), yaitu orang yang hidup ketika pewaris meninggal dan
merupakan orang yang berhak mendapatkan warisan meskipun keberadaannya
masih dalam kandungan atau orang yang hilang.
3. Al-Maurūṡ (harta warisan), yaitu harta benda yang menjadi warisan. Termasuk
juga harta-harta atau hakhak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak qiṣaṣ
(perdata), hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak
menahan barang gadaian. Inilah tiga rukun waris. Jika salah satu dari rukun
tersebut tidak ada, waris mewarisi tidak dapat dilaksanakan. Jika seorang
meninggal dunia namun tidak memiliki ahli waris, atau ada ahli waris tapi tidak
ada harta yang ditinggalkan, maka waris mewarisi tidak bisa dilakukan, karena
tidak memenuhi rukun waris.
B. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam
1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam Hukum kewarisan Islam dalam bahasa
Arab disebut Al-mi|ras|, yaitu bentuk masdar (infinitif) dari kata waris|a –
yaris|u – miras|an. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain.
Secara terminologi, Mira|s| berarti warisan harta kekayaan yang dibagi dari
orang yang sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Mi|ra|s menurut
syariah adalah memberi undang-undang sebagai pedoman antara orang yang
sudah meninggal dunia dan ahli waris, dan apa saja yang berkaitan dengan
ahli waris tersebut. Jadi hukum waris adalah salah hukum kekeluargaan Islam
yang paling penting berkaitan dengan kewarisan. Kematian seseorang itu
membawa dampak kepada berpindahnya hak dan kewajiban kepada beberapa
orang lain yang ditinggalkannya, yang disebut dengan waras|ah, yakni ahli
waris dan wali.
Dalam beberapa literatur hukum Islam, ditemui beberapa istilah untuk
menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqih mawaris, ilmu faraid}, dan
hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan
arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.
2. Dasar Hukum Kewarisan Islam Dasar dan sumber utama dari hukum Islam
sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam Al-
Qur’an dan sunnah Nabi. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang secara
langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Ayat-ayat Al-Qur’an QS.
An-Nisa- ayat 7

Artinya: ‚Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan
Ketentuan dalam ayat diatas merupakan merupakan landasan utama yang
menunjukkan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-
sama mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam,
bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan
kewajiban. Tidak demikian halnya pada masa jahiliyah, dimana wanita
dipandang sebagai objek bagaikan benda biasa yang dapat diwariskan.
Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa Islam mengakui wanita sebagai
subjek hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai hak waris, sedikit ataupun
banyak yang telah dijelaskan dalam beberapa ayat alQur’an. Diantara nya
terdapat dalam srah An-Nisa| ayat 11:

“Allah mensyari'atkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anak kalian. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
b. Al-Hadis| Hadis| Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang
kewarisan adalah sebagai berikut.
1) Hadis| Nabi dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Sunan
Tirmidzi
2) Hadis| Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat Imam Muslim
c. Ijtihad Para Ulama Meskipun Al-Qur’an dan Al-Hadis| sudah memberikan
ketentuan terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal
masih diperlukan adanya ijtuhad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan
dalam al-Qur’an maupun al-Hadis|. Misalnya, mengenai waris banci (waria),
diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu
apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suami atau istri dan
sebagainya.
C. Hukum Mempelajari Fikih Mawaris
Nabi Muhammad SAW. Bersabda:

Artinya, “pelajarilah al-faraidh dan ajarkannlah ia kepada orang-orang.


Sesungguhnya faraidh itu separuh ilmu, dan ia pun akan dilupakan serta ia pun
merupakan ilmu yang pertama kali akan di cabut dikalangan ummat ku”. (HR.
Ibnu Majah dan Ad-Daruquthniy).”
Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah artinya, bila sudah ada
yang mempelajarinya, gugurlah kewajiban itu bagi orang lain.
Dan ada juga yang mewajibkan mempelajari dan mengajarkannya. Bagi seorang
muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak
memahami atau mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya
(dilaksanakan mendapat pahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk
mempelajarinya. Dan sebaliknya bagi barang siapa yang telah memahami dan
menguasai hukum waris Islam maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya
kepada orang lain.
Kewajiban belajar dan mengajarkan tersebut dimaksudkan agar dikalangan kaum
muslimin (khususnya dalam keluarga) tidak terjadi perselisihan-perselisihan
disebabkan masalah pembagian harta warisan yang pada gilirannya akan
melahirkan perpecahan/ keretakan dalam hubungan kekeluargaan kaum muslim.
Adapun perintah belajar dan mengajarkan hukum waris Islam dijumpai dalam
Tekas hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa`I dan
Ad-Daruqthniy yang artinya berbunyi sebagai berikut:
“Pelajarilah Al-Quran dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajarilah faraidh dan
ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya adalah yang bakal direnggut (mati),
sedangkan ilmu itu akan diangkat. Hampir-hampir dua orang yang bertengkar
tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun
yang sanggup memfatwakannya kepada mereka.” (Fathur Rahman, 1987 : 35).
Perintah wajib tersebut didasarkan kepada perintah tekstual “pelajarilah”, yang
dalam kaidah hukum disebutkan “asalnya dari setiap perintah itu adalah wajib”,
maka dapat disimpulkan belajar ilmu hukum waris bagi siapa saja (khususnya
bagi bagi kaum muslimin yang belum pandai) adalah wajib.
Namun demikian perlu dicatat menuerut Ali bin Qasim sebagaiman dikonstatir
Fathur Rahman kewajiban dan mengajarkan hukum waris gugur apabila ada
sebagian orang yang melaksanakannya (belajar dan mengajarkan hukum waris).
Seluruh kaum Muslimin akan menanggung dosanya lantarkan mengabaikan atau
melalaikan perintah, tak ubahnya seperti meniggalkan fardhu kifayah (kewajiban-
kewajiban masyarakat secara kolektif) seperti menyelenggarakan penguerusan
jenazah.
Begitu pentingnya Ilmu Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW.,
sebagai separuh ilmu. Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang
pertama kali di cabut. Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak
banyak orang yang mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Bukankah
karena itu ilmu ini lama-lama akan lenyap juga, karena sedikit yang
mempelajarinya?. Lebih-lebih apabila orang akan membagi harta warisan
berdasarkan kebijaksanaan-kebujaksanaan dan tidak berdasar hukum Allah SWT.
Demikianlah, ilmu faraid merupakan pengetahuan dan kajian para sahabat dan
orang-orang shaleh dahulu, sehingga menjadi jelas bahwasanya ilmu faraid
termasuk ilmu yang mulia dan perkara-perkara yang penting di mana sandaran
utama ilmu ini ialah dari Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya.
Masalah harta peninggalan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga.
Terutama apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak
menerima. Dan juga seberapa banyak haknya. Hal ini mnimbulkan perselisihan
dan akhirnya menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-
adilnya, tetepi belum tentu orang lain menganggap adil. Oleh karena itu, didalam
Islam memberikan ketentuan-ketentuan yang konkret mengenai hak waris.
Sehingga apabila dilandasi ketaqwaan kepada Allah SWT semuanya akan berjalan
lancar dan tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan keluargapun
akan tercapai. Ketentuan dari Allah SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari siapa
yang mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah
dari Allah SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui
ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Allah SWT. Nabi Muhammad
SAW bersabda : ”Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut Kitabullah.
(HR. Muslim Dan Abu Dawud).
Disamping itu Allah berfirman : “ Dan siapa yang melanggar Allah dan Rasul-
Nya melampaui batas ketentuannya, Allah akan memasukannya kedalam api
neraka, ia kekal disitu, dan iapun mendapatkan siksa yang menghinakan.” (QS.
An-Nisa : 14).
Dengan demikian semuanya termasuk apabila terdapat perselisihan, di kembalikan
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Sehingga tidak ada celah-celah untuk saling
sengketa dan bertengkar. Dan karena itu kekeluargaan dan hubungan kefamilian
tetap terbina dengan baik serta rukun dan tenteram. Di dalam hal ini, Islam
memberikan prinsip-prinsip antara lain : 
1.      Kepentingan dan keinginan orang yang meninggal (yang semula memiliki
harta benda) diperhatikan selayaknya, dengan memberikan hak wasiat, biaya
pemakaman dan sebagainya.
2.      kepentingan keluargayang ditinggal. Terutama anak cucu mendapatkan
perhatian lebih banyak, juga ayah ibu, disamping anggota keluarga yang lain.
Seimbang dengan jauh dekatnya hubungan keluarga.
3.      Keseimbangan kebutuhan nyata dan rata-rata dari tiap-tiap ahli waris
mendapat perhatian yang seimbang pula, ahli waris pria yang nyatanya
memerlukan lebih banyak biaya hidup bagi diri dan keluarganya mendapat bagian
lebih banyak dari ahli waris wanita.
 Beberapa hal yang berhubungan dengan kesalahan-kesalahan ahli waris dan yang
berhubungan dengan itikad keagamaan, bisa menimbulkan akibat hilangnya hak
waris, umpamanya pembunuhan, perbedaan agama dan sebagainya.
Prinsip-prinsip tersebut dibuat dengan maksud :
a)      Harta benda yang merupakan Rahmat Allah itu diatur menurut ajaran-Nya.
b)       Harta benda yang didapat dengan susah payah oleh almarhum tidak
menimbulkan percekcokan keluarga yang hanya tinggal menerima saja.
c)      Harta benda itu dapat dimanfaatkan dengan tenang, tenteram, sesuai dengan
tuntunan Allah SWT.

Jadi, hukum waris harus dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat
dengan sukarela untuk membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-
kebijaksanaan tidak dengan maksud untuk menentang hukum Allah SWT, tetapi
ada sebab-sebab lain, misalnya : harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua
dengan bagian terbanyak, dan sebagainya. Meskipun demikian, Islam tidak
menutup pintu perdamaian antara seluruh ahli waris yang secara sepakat untuk
mengatur pembagian harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan.
Juga setiap ahli waris berhak meminta atau menerima pembagian harta waris
karena kesukarelaannya sendiri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta
waris, dimana bagian harta waris tidak akan didapatkan bila tidak ada
rukunrukunnya.
Pengertian Hukum Kewarisan Islam Hukum kewarisan Islam dalam bahasa Arab
disebut Al-mi|ras|, yaitu bentuk masdar (infinitif) dari kata waris|a – yaris|u –
miras|an. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang
kepada orang lain.
Secara terminologi, Mira|s| berarti warisan harta kekayaan yang dibagi dari orang
yang sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Mi|ra|s menurut syariah adalah
memberi undang-undang sebagai pedoman antara orang yang sudah meninggal
dunia dan ahli waris, dan apa saja yang berkaitan dengan ahli waris tersebut.
Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang
berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-
bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
·         Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan
yang berarti. Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih
bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya
adalah, untuk merangsang persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi
Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat
lemah baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan
ajarannya, yang masih dalam dinamika perubahan.
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.uinsby.ac.id/1365/5/Bab%202.pdf.
http://repository.radenintan.ac.id/1598/3/BAB_II.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/1365/5/Bab%202.pdf
http://repository.unissula.ac.id/9580/4/BAB%20I_1.pdf
http://repository.uinsu.ac.id/8802/1/BUKU%20FIKIH%20MAWARIS.pdf
Rofiq, Ahmad, Dr., MA., Fiqih Mawaris Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Jakarta :
Senayan Abadi Publishing, 2004.
Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Quran (Suatu Kajian Hukum Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik), Jakarta : PT. Raja grafindo Persada, 1995.
Daradjat, Zakiah, Prof., Dr., Ilmu Fiqh, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995, Jilid III.
Lubis, Suhrawardi K., S.H., Simanjuntak, Komis, S.H, Hukum Waris Islam
(Lengkap & Praktis), Jakarta : Sinar Grafika, 1995, Cet. I.

Anda mungkin juga menyukai