Anda di halaman 1dari 15

KEWARISAN DALAM SUDUT PANDANG

AL-QUR’AN, HADIST, DAN IJTIHAD

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Islam

Oleh :

Keisya Aulia W (10040018015)


Sherina Faiha Imanika (10040018035)
Suci Setiawati (10040018037)
Nabila Ratu Utami (10040018214)
Muhammad Ridzky Mulia (10040018232)
Lutvie Derialdi (10040019212)

JURUSAN ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kewarisan Dalam Al-Qur’an, Hadist, dan Ijtihad.................. 2


2.2 Asas-asas Dalam Kewarisan Hukum Islam.............................................. 3
2.3 Konsep Kewarisan Dalam Al-Qur’an, Hadist, dan Ijtihad……………...
2.4 Pembagian Harta Warisan dalam Al-Qur’an, Hadist, dan Ijtihad……...

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan....................................................................................... 6

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 7

i
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
sangat erat kaitannya ruang lingkup krhidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan
mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.1

Berdasarkan hukum Islam, prinsip-prinsip hukum waris memiliki sumber


tertinggi yaitu yang bersumber dari Al-Qur’an dengan sebagai pelengkap untuk
menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil-hasil Ijtihad atau upaya para ahli
hukum Islam terkemuka.

Wujud warisan atau harta peninggalan menurut Hukum Islam sangat berbeda
dengan wujud warisan menurut hukum waris Barat sebagaimana diatur dalam BW
maupun menurut Hukum Waris Adat. Warisan atau harta peninggalan menurut Hukum
Islam yaitu, sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam
keadaan bersih.2

1
H. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Refika, 2018), hlm. 1
2
Ibid., hlm. 13

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kewarisan Dalam Al-Qur’an, Hadist, dan Ijtihad


a) Kewarisan dalam pengertian Al-Qur’an
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan;
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta.
Lebih lanjutnya terdapat didalam ayat al-Qur’an surah An-Nisaa : 11, yang
berbunyi : (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

b) Kewarisan dalam pengertian Hadist


Dari Abu Ishaq Sa’ad bin Abi Waqqash Malik bin Uhaib bin ‘Abdi manaf bin
Zahrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ aiy al Quraisyiyyi az Zuhri
radhiyallahu „anhu, salah seorang di antara sepuluh orang yang dijamin masuk surga.
Ia berkata: Rasulullah pernah datang menjengukku pada tahun haji wada’, karena aku
sakit keras, kemudian aku berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya sakitku ini sangat
keras sebagaimana engkau saksikan. Sedang aku mempunyai harta yang cukup
banyak, sementara tidak ada seorangpun yang menjadi ahli warisku kecuali seorang
anak perempuanku. Apakah boleh aku sedekahkan dua per tiga hartaku?” Beliau
menjawab, “Tidak”, kemudian kutanyakan, “Bagaimana kalau setengahnya?” Beliau
menjawab “Tidak.” Lalu kutanyakan, “Bagaimana jika sepertiganya ya Rasulullah?
Selanjutnya beliau bersabda, “Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak atau besar.
Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, lebih
baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan kesusahan (miskin) seraya
meminta-minta kepada orang. Sesungguhnya engkau tidak sekalikali menafkahkan
hartamu dengan mengharapkan keridhaan Allah melainkan engkau akan diberikan
pahala atasnya bahkan pada apa yang engkau suapkan ke mulut istrimu.”
Lebih lanjut ia berkata, kemudian kukatakan, “Ya Rasulullah, apakah aku akan
ditinggalkan (di Mekah) setelah kepergian sahabat-sahabatku darinya?” Beliau
menjawab, “Sesungguhnya tidaklah engkau ditinggalkan, lalu kamu mengerjakan
suatu amalan yang engkau niatkan karena mencari ridha Allah, melainkan dengannya

3
engkau akan bertambah derajat dan ketinggian. Barangkali engkau akan dipanjangkan
umur, sehingga orang-orang dapat mengambil manfaat darimu, disamping ada juga
orang lain yang merasa dirugikan olehmu. Ya Allah, biarkanlah hijrah sahabat-
sahabatku terus berlangsung, dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke tempat
semula. Tetapi, yang kasihan Sa’ad bin Khaulah.” Rasulullah sangat menyayangkan
ia meninggal di Mekkah. (Mutafaquh’alaihi) (HR. Bukhori dan Muslim)3

c) Kewarisan dalam pengertian Ijtihad


Dalam pengertian Ijtihad ialah berasal dari kata Jahada yang sekarang berubah
menjadi 2 masdar yakni Aljuhdu yang artinya kesungguhan, sepenuh hati dan serius
dan Al-juhdu yang berarti sulit, berat, atau susah.4
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwasannya secara etimologi ijtihad
berarti kesanggupan atau kesungguhan. Didalam kamus besar bahasa Indonesia
ijtihad didefinisikan sebagai usaha penyelidikan tentang suatu hal, pengerahan segala
tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan menggali hukum yang terkandung dari al-
qur’an dengan syarat-syarat tertentu.5
Ijma’ dan ijtihad para sahabat dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai
peranan dan sumbangsih yang tidak kecil terhadap pemecahan-pemecahan masalah
mawaris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang shahih. Diperlukan usaha
dengan mencurahkan segala kemampuan berpikir guna mengeluarkan hukum dari
dalil al-Qur’an maupun sunnah dan hasil ijtihad tersebut dinamakan ijtihad oleh para
mujtahid (pelaku ijtihad). Hasil ijtihad inilah yang dijadikan sebagai sumber dasar
hukum oleh umat Islam dalam menghadapi persoalan-persoalan yang tidak
disebutkan dalam al-Qur’an maupun sunnah, khususnya persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan kewarisan.6
Misalnya status saudara-saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek. Di
dalam al-Qur’an tidak dijelaskan, namun yang dijelaskan adalah status saudara-
saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki yang
dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapatkan apa-apa lantaran terhijab, kecuali
dalam masalah kalalah, mereka mendapat bagian. Menurut pendapat kebanyakan
sahabat dan imam-imam mazhab yang menutup pendapat Zaid bin Tsabit, saudara
tersebut bisa mendapat pusaka secara muqasamah dengan kakek.7

3
Abu Hasan Nuruddin Muhammad Bin ‘Abd Al-Hadi As-Sindi, Shahih Al-Bukhari Bihasiyat Al-Imam As-Sindi (Beirut-
Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2003), Cet II, Jilid III, 453.
4
Abdul Fatah Idris, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim. Pustaka Zaman. Semarang. 2007.
5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. IJakarta : Balai Pustaka, 1989), hlm.
321
6
Ahmad Rofiq, op. cit, hlm.382.
7
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib, Semarang: Dina Utama, 1994,
hlm. 40

4
B. Asas-asas Dalam Kewarisan Hukum Islam

A. Asas Ijbari

Secara etimologi “Ijbari” mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu di luar
kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang
yang telah meninggal kepada yang masih hidup terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa
adanya perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain
adanya kematian pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya. Asas
Ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: 1. dari peralihan harta; 2. dari segi jumlah
harta yang beralih; 3 dari segi kepada siapa harta itu akan beralih. Ketentuan asas Ijbari
ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Al-Qur’an, surat An-Nisa ayat 7 yang
menyelaskan bahwa: bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta
peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnya, kata nasib dalam ayat tersebut
dalam arti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan si pewaris.

B. . Asas Bilateral

Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang
menerima hak kewarisan bersumber dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis
keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Asas bilateral ini secara tegas dapat
ditemui dalam ketentuan Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176, antara lain
dalam ayat 7 dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari
pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari
kedua belah pihak orang tuanya. Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis
ke samping (yaitu melalui ayah dan ibu).

C. Asas Individual

Pengertian asas individual ini adalah: setiap ahli waris (secara individu) berhak atas
bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian bagian

5
yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang
telah menjadi bagiannya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Al-Qur’an surat
An-Nisa ayat 7 yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan
secara individu.

B. Asas Keadilan Berimbang

Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak dengan kewajiban
dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan. Dengan
perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam
hak kewarisan. Dasar hukum asas ini adalah dalam ketentuan Al-Qur’an surat An-Nisa
ayat 7, 11, 12 dan 179.

E. Kewarisan Akibat Kematian

Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata
karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih
apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak
dapat dilakukan dengan pewarisan.

C. Konsep Kewarisan Dalam Al-Qur’an, Hadist, dan Ijtihad

a. Dalam Al-Quran

Al-Quran adalah suatu kitab yang berisikan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi
Muhammad S.A.W. Salah satu perihal yang diatur dalam Al-Qur’an adalah mengenai
hukum waris. Terdapat cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjuk hukum
kewarisan, diantarnya yaitu:
a. Ayat-Ayat Al-Qur’an

1.) QS. An-Nisâ’ (4): 7

6
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Garis hukum kewarisan pada ayat diatas (Q.S al-Nisa: 7) adalah sebagai berikut:
1.) Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
2.) Bagi aqrabu>n (keluarga dekat) laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan
aqrabu>n (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya).
3.) Bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
4.) Bagi aqrabun (keluarga dekat) perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan
aqrabu>n (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)
5.) Ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada pula yang banyak.
Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh Allah SWT.

Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa ayat ke-7 surat al-Nisa masih bersifat universal
walaupun ini ayat pertama yang menyebut-nyebut adanya harta peninggalan. Harta
peninggalan disebut dalam ayat ini dengan sebutan “ma taraka”. Sesuai dengan sistem
ilmu hukum pada umumnya, dimana ditemui perincian nantinya maka perincian yang
khusus itulah yang mudah memperlakukannya dan yang akan diperlakukan dalam kasus-
kasus yang akan diselesaikan.

2.) QS. An-Nisâ’ (4): 8

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat,anak yatim dan orang miskin, Maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang
baik”

3.) QS. An-Nisâ’ (4): 11

7
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan20dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana”

Ayat diatas menjelaskan bahwa setiap ahli waris baik laki-laki maupun perempuan
berhak atas harta peninggalan yang ditinggalkan oleh karib kerabatnya (pewaris) dengan
ketentuan bagian yang telah disebutkan oleh hukum faraidh. Dalam al-Qur’an telah
menjelaskan bahwa bagian anak laki-laki sama dengan dua banding satu yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan.

b. Dalam Hadist Nabi

Sunnah bersumber dari hadist, yaitu petunjuk atau anjuran yang pernah disampaikan atau
dilakukan oleh Nabi Muhammad. Imam al-Bukhari menghimpun tidak kurang dari 46
hadis yang memberi ketentuan mengenai kewarisan, sementara Imam Muslim menyebut
hadist-hadist kewarisan yang diriwayatkan sejumlah kurang lebih 20 hadist, antara lain
yaitu:

1.) Dari Ibnu Abbas r.a Nabi SAW, berkata ia: berikanlah faraidh (bagian yang telah
ditentukan dalam al-Qur’an) kepada yang berhak dan sisanya berikanlah kepada keluarga
laki-laki.

8
2.) Dari Qubaishah bin Zueb yang berkata : seseorang nenek mendatangi abu bakar yang
meminta warisan kepada cucunya. Berkata kepadanya Abu Bakar: “saya tidak
menemukan sesuatu untukmu dalam kitab Allah dan saya tidak mengetahui ada hakmu
dalam sunah Nabi. Kembalilah dulu, nanti saya akan bertanya kepada orang lain tentang
hal ini” Maghirah dan Su’bah berkata :” saya pernah menghadiri Nabi memberikan nenek
sebanyak seperenam (1/6)”. Berkata Abu Bakar:”Apakah ada orang lain selain kamu
yang mengetahuinya.” Muhammad bin Maslamah dan berkata seperti yang dikatakan
Maghirah. Maka akhirnya Abu Bakar memberikan hak kewarisan nenek itu.

3.) Dari Jabir bin Abdullah berkata ia: Janda Saat ibn Rabi’ datang kepada Rasulullah
SAW bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata: Ya Rasulullah, ini dua
orang anak perempuan Sa’ad yang telah gugur dalam peperangan Uhud bersama kamu.
Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka, dan tidak memberikan apa-
apa untuk mereka. Keduanya tidak mengkin menikah tanpa harta. Nabi berkata: Allah
akan menetapkan hukum dalam kasus ini. Sesudah itu turunlah ayat-ayat tentang hukum
kewarisan. Kemudian Rasul memanggil paman dari kedua anak perempuan itu, dan
berkata: seperdelapan (1/8) untuk jandanya dan sisanya untuk kamu.

c. Dalam Ijtihad

Ijtihad adalah menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi yaitu Al-Qur’an
dan hadist kemudian menarik garis hukum dari padanya dalam suatu masalah tertentu,
misalnya berijtihad dari Al-Qur’an kemudian mengalirkan garisgaris hukum kewarisan
Islam dari padanya.11Dalam definisi lainnya, ijtihad yaitu pemikiran para sahabat atau
ulama’ yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab
persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian harta warisan. Yang dimaksud disini
ijtihad dalam menerapkan hukum, bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan
yang telah ada. Meskipun alQur’an dan Hadist telah memberi ketentuan terperinci
tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya
ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut.

9
Misalnya mengenai bagian warisan bagi orang banci atau dalam ilmu faraidh disebut
khunsta>, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian
ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah atau duda atau janda.

D. Pembagian Harta Warisan dalam Al-Qur’an, Hadist, dan Ijtihad

1. Pembagian Harta Warisan dalam Al-Qur’an

Pembagian Harta Waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan dari orang yang
telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-
kerabatnya. Pembagian harta waris dalam Islam diatur dalam Al-Qur an, yaitu pada An
Nisa yang menyebutkan bahwa Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan ada 6
tipe persentase pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2),
seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam
(1/6).8

1. Setengah

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separuh dari harta waris peninggalan
pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima
ashhabul furudh tersebut adalah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah.

2. Seperempat

Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta


peninggalannya hanya ada dua yaitu suami dan istri.

3. Seperdelapan

Dari sederet ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian warisan seperdelapan
(1/8) yaitu istri. Istri baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari
harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut
lahir dari rahimnya atau rahim istri yang lain.

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

8
https://leosiregar.com/tata-cara-pembagian-harta-warisan-menurut-hukum-islam/

10
"Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau )dan) sesudah
dibayar utang-utangmu." (an-Nisa: 12)

4. Dua per Tiga

Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga dari harta peninggalan pewaris
ada empat dan semuanya terdiri dari wanita:

- Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.

- Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.

- Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.

- Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

5. Sepertiga

Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapat warisan sepertiga bagian hanya dua
yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.

6. Seperenam

Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam, ada tujuh orang.
Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-
laki dan perempuan seibu.9

2. Pembagian Harta Warisan dalam Hadist

Hadist riwayat al-Bukhari yang menerangkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari


ditanya tentang hak waris seorang anak perempuan yang mewarisi bersama dengan
cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan saudara perempuan kandung. Abu
9
"Pembagian Warisan Menurut Islam,” Muhammad Ali Ash-Shabuni

11
Musa menjawab :” Bagian anak perempuan setengah, bagian saudara perempuan
sisanya (setengah). Merasa tidak puas dengan jawaban Abu Musa, orang tersebut
bertanya Ibnu Mas’ud. Beliau menjawab :” Saya akan menjawab persoalan tersebut
berdasarkan ketentuan Rasulullah, bagi anak perempuan setengah, cucu perempuan
seperenam sebagai pelengkap bagian dua pertiga, dan sisanya diberikan kepada
saudara kandung perempuan sekandung.10

3. Pembagian Warisan dalam Ijtihad

10
Universitas Islam Bandung, Muamalah, hal. 112

12
BAB III

PENUTUP

13
DAFTAR PUSTAKA

14

Anda mungkin juga menyukai