Anda di halaman 1dari 22

WASIAT DALAM PERSPEKTIF HADIS

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hadis Maudhu’i pada

Program Pascasarjana Studi Hukum Keluarga Islam Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Bone

Oleh :

FITRI RAMADHANI
NIM.741302022034

SITTI NURFAIZAH
NIM. NIM.741302022035

PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2023

1
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
‫والصـالة والســالم على اشـرف اال نــبـيـاء والمرسـلـيـن سـيّـدنا‬, ‫رب العالمــيـن‬
ّ ‫الحـمدهلل‬
.‫محـمـد وعـلى اله وصـحـبـه اجـمـعـيـن‬
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah segala puji syukur kepada ALLAH SWT, atas segala rahmad
dan hidayah-Nya serta karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Sholawat dan salam semoga tercurahkan atas Rasulallah
Nabi Muhammad SAW, keluarga para sahabat dan pengikutnya yang setia hingga
akhir Zaman.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak banyak kekurangan karena pengalaman
yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesenmpurnaan makalah ini.
Semoga segala kebaikan yang diterima menjadi berkat tersendiri bagi penulis,
sehingga menjadi bekal yang sangat bermanfaat dikehidupan penulis nantinya.
Akhir kata apa yang telah penulis lakukan dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca dan pihak-pihak yang membutuhkan, kritik dan saran yang membangun
penulis terima untuk menyempurnakan dimasa mendatang.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bone, 24 Juni 2023

Penyusun

DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Hakikat/Pengertian Wasiat 3

B. Wujud Wasiat dalam Hadis 5

C. Takhrij Hadis 13

D. Fiqh Hadis (Pemahaman/Kandungan Hadis) 14

E. Pendapat Ulama 16

BAB III PENUTUP

A. Simpulan 17

B. Implikasi 17

DAFTAR PUSTAKA 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wasiat adalah pesan seseorang tentang perbuatan baik yang akan

dilaksanakan setelah orang yang berwasiat tersebut meninggal dunia.1 Wasiat

hukumnya adalah Sunnah. pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk

mewasiatkan hartanya kepada siapa saja yang dikehendakinya, akan tetapi dalam

mewasiatkan harta ada beberapa ketentuan atau syarat yang harus di penuhi.

dalam hal ini, orang yang berwasiat harus memiliki kemampuan untuk melepas

hak miliknya kepada orang lain.2

Pelaksanaan wasiat sebagai suatu proses peralihan harta sudah

berlansung cukup lama. Pada masa-masa sebelum kedatangan Islam pelaksanaan

wasiat kurang mengedepankan prinsip kebenaran dan keadilan. Hal ini dapat

dilihat pada masa romawi dan masa Arab Jahiliyah, wasiat dilakukan oleh

seseorang hanya untuk menunjukkan kemewahan. Sedangkan kerabat yang

dekat ditinggalkan dan dibiarkan dalam keadaan miskin. Keadaan seperti ini

kemudian berubah dengan datangnya Islam dan turunnya sebuah ayat dalam al-

Qur’an yang berkaitan dengan kewajiban seseorang berwasiat kepada orang tua

dan kerabatnya.3

Konsep wasiat tersebut telah disinggung dalam sumber utama agama

Islam, yaitu al-Qur’an, namun dalam penjelasan yang lebih detail mengenai

1
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Cet. 54; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), h. 371.
2
Fathurrahman, Ilmu Waris (Bandung: al- Ma’rif, 1984), h. 36-37.
3
Ahmad Faqihudin, “Wasiat Perspektif al- Qur’an dan Hadits”, Kajian Ilmu Al-Quran
dan Tafsir, Vol. 1, No. 2, September 2021, h. 86.
1
wasiat tersebut dituangkan dalam hadis. Oleh karena itu, penulis menganggap

perlu adanya pembahasan yang lebih mendalam terkait masalah wasiat yang

akan penulis bahas melalui hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. yang membahas

tentang tema wasiat.

Maka, penulis akan membahas beberapa hal terkait wasiat dalam

perspektif hadis, yaitu meliputi hakikat wasiat dan wujud wasiat,. Sehingga

dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat, khususnya umat Islam,

mengenai konsep wasiat dalam agama Islam melalui hadis-hadis Nabi

Muhammad Saw.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengangkat

beberapa rumusan masalah yang dijadikan sebagai sub bahasan. Adapun

rumusan masalahnya sebagai berikut.

1. Bagaimana hakikat atau pengertian wasiat ?

2. Bagaimana wujud wasiat dalam hadis ?

3. Bagaimana takhrij hadis wasiat ?

4. Bagaimana Fiqh Hadis (Pemahaman/Kandungan Hadis) ?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini berdasarkan rumusan masalah di atas adalah:

1. Untuk mengetahui hakikat atau pengertian wasiat.

2. Untuk mengetahui wujud wasiat dalam hadis.

3. Untuk mengetahui takhrij hadis wasiat.

4. Untuk mengetahui Fiqh Hadis (Pemahaman/Kandungan Hadis).

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Wasiat

Wasiat dari segi bahasa berarti menggabungkan. Kata wasiat berasal dari

bahasa Arab, yaitu (‫ )الوصية‬terambil dari ‫ الشي وصيت أصية‬yang berarti ‫أوصلت‬

(aku menyampaikan sesuatu.4 Wasiat juga berarti suatu ucapan atau pernyataan

dimulainnya suatu perbuatan. Perbuatan itu dimulai setelah orang yang

mengucapkan atau menyatakan tersebut meninggal dunia.5

Secara syara’ wasiat adalah suatu janji tertentu untuk mengelola harta

atau bersedekah setelah kematian.6

Hukum wasiat adalah Sunnah. Kadar wasiat yang diperbolehkan dalam

hadis hanya sepertiga harta pewarisan. Wasiat hanya ditujukan kepada orang

yang tidak termasuk ahli waris.7

Menurut istilah Fiqh, wasiat itu perbuatan sukarela yang dilakukan oleh

seseorang terhadap suatu harta yang pelaksanaannya setelah orang yang

berwasiat tersebut meninggal dunia. Wasiat merupakan sunnah yang

sangatdianjurkan dengan ijmak ulama.8

Secara terminologis, wasiat adalah pesan atau janji sesorang kepada

orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan baik ketika seseorang berwasiat
4
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Analisis Hukum Islam Bidang
Wasiat (Jakarta: Departemen Agama, 1998), h. 49.
5
Departemen Agama, Ilmu Fiqh (Cet. 2; Jakarta, 2008), h. 181.
6
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram
(Syarah Bulughul Maram), Terj. Thahirin Suparta, M. Faisal, dan Adis Aldizar (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006), Jilid. 5, h. 222.
7
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, h. 371.
8
Zainuddin bin Abdul Aziz, Terjemah Fathul Mu’in (Bandung: Huasaini, 2003), h. 349.
3
masih hidup maupun setelah wafat).9 Sedangkan wasiat dalam Kompilasi

Hukum Islam yaitu pemberian suatu benda dari pewaris yang telah berumur

sekurang-kurangnya berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa ada paksaan

kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewasiat meninggal

dunia.10 Wasiat adalah suatu tashrruf (penjelasan) terhadap harta peninggalan

yang dilaksanakan sesudah meninggal dunia yang berwasiat. Asalnya wasiat

merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan

apapun.11

Menurut pemakalah dari defenisi di atas bahwa wasiat merupakan janji

sesorang kepada orang lain untuk melaksanakan perbuatan baik ketika seseorang

berwasiat masih hidup maupun setelah wafat.

Menurut pendapat pada fuqaha, wasiat merupakan akad yang boleh

dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak. Dalam hal ini adalah oleh pihak

pemberi wasiat itu sendiri. Para fuqaha sependapat bahwa barang wasiat menjadi

tetap bagi orang yang diberi wasiat setelah pewasiat meninggal dunia.12

Wasiat merupakan salah satu keindahan Islam karena pemilik harta diberi

kesempatan memberikan sebagian hartanya yang manfaat kembali kepadanya

setelah kematiannya. Di samping juga merupakan bukti kasih saying Allah swt.,

kepada para hamba-Nya.

9
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol. III (Mesir: Dar Al-Hadis), h. 250.
10
Instruksi Presiden R.I. Nomor I Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
(Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Binbaga Depag RI Tahun
1998/1999), h. 89.
11
Hasbi as Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Jakarta: Bulan Bintang, 1973, h 18.
12
Imam Ghazali Said, A. Zaidun, Terjemah Kitab Bidayatul Mujtahid Karya Ibnu
Rusd (Jakarta: Pusaka Amani, 1995), h. 9-10.
4
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis mengambil kesimpulan

bahwa yang dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan seseorang kepada orang

lain yang bukan ahli warisnya dengan memberikan hartanya secara sukarela

dalam kadar tertentu sesuai dengan yang telah di tentukan dan pelaksanaannya

setelah si pemberi atau dalam hal ini disebut pewasiat telah meninggal dunia.

B. Wujud Wasiat dalam Hadis

Nabi Muhammad Ssw. melalui hadis-hadis beliau telah memberikan

pengarahan kepada umat Islam mengenai hal-hal yang perlu di perhatikan dalam

berwasiat. Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan beberapa hadis yang

terkait dengan wasiat.

1. Wasiat Sepertiga
‫ ع َْن َس ْع ِد‬، ‫ ع َْن عَا ِم ِر ب ِْن َس ْع ٍد‬، ‫ ع َْن َس ْع ِد ْب ِن ِإب َْرا ِهي َم‬، ُ‫ َح َّدثَنَا ُس ْفيَان‬، ‫َح َّدثَنَا َأبُو نُ َعي ٍْم‬
‫ا‬mmَ‫ َوَأن‬m‫و ُدنِي‬mm‫لَّ َم يَ ُع‬m‫ ِه َو َس‬m‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬m‫ص‬
َ ‫ ا َء النَّبِ ُّي‬m‫ َج‬: ‫ا َل‬mmَ‫ ق‬،ُ‫ه‬m‫ي هَّللا ُ َع ْن‬ mَ m‫ض‬
ِ ‫ص َر‬ ٍ ‫ْب ِن َأبِي َوقَّا‬
." ‫ َرا َء‬m ‫رْ َح ُم هَّللا ُ ا ْبنَ َع ْف‬mmَ‫ " ي‬: ‫ال‬m َ mَ‫ ق‬،‫ض الَّتِي هَا َج َر ِم ْنهَا‬ ِ ْ‫ َوهُ َو يَ ْك َرهُ َأ ْن يَ ُموتَ بِاَأْلر‬،َ‫بِ َم َّكة‬
." ‫ " اَل‬: ‫ال‬m َ َ‫ر ؟ ق‬mُ ‫ط‬ ْ m‫الش‬
َّ َ‫ ف‬: ‫ت‬ ُ ‫ قُ ْل‬." ‫ " اَل‬: ‫ا َل‬mَ‫الِي ُكلِّ ِه ؟ ق‬m‫ي بِ َم‬m‫وص‬ ِ ‫ ُأ‬،ِ ‫ يَا َرسُو َل هَّللا‬: ‫ت‬ ُ ‫قُ ْل‬
‫ ٌر ِم ْن َأ ْن‬m‫ا َء خَ ْي‬mmَ‫كَ َأ ْغنِي‬mmَ‫ َد َع َو َرثَت‬mَ‫ك َأ ْن ت‬ َ َّ‫ ِإن‬،ٌ‫ير‬mmِ‫ث َكث‬ ُ ُ‫ َوالثُّل‬،‫ث‬ ُ ُ‫الثُّل‬mmَ‫ " ف‬: ‫ال‬m
َ mَ‫ث ؟ ق‬ ُ ُ‫ الثُّل‬: ‫ت‬ُ ‫قُ ْل‬
‫ َحتَّى‬،ٌ‫ َدقَة‬m ‫ص‬ َ m‫ا‬m َ‫ك َم ْه َما َأ ْنفَ ْقتَ ِم ْن نَفَقَ ٍة فَِإنَّه‬ َ َّ‫ َوِإن‬،‫اس فِي َأ ْي ِدي ِه ْم‬
َ َّ‫تَ َد َعهُ ْم عَالَةً يَتَ َكفَّفُونَ الن‬
َ ‫ َوي‬، ٌ‫اس‬mmَ‫كَ ن‬mmِ‫ َع ب‬mِ‫ َو َع َسى هَّللا ُ َأ ْن يَرْ فَ َعكَ فَيَ ْنتَف‬، َ‫ ِإلَى فِي ا ْم َرَأتِك‬m‫اللُّ ْق َمةُ الَّتِي تَرْ فَ ُعهَا‬
َ‫ك‬mmِ‫ َّر ب‬m‫ُض‬
13
)‫(البخاري‬." ٌ‫ َولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ يَوْ َمِئ ٍذ ِإاَّل ا ْبنَة‬، َ‫آ َخرُون‬
Terjemahannya:
“Telah bercerita kepada kami Abu Nu'aim telah bercerita
kepada kami Sufyan dari Sa'ad bin Ibrahim dari' Amir bin
Sa'ad dari Sa'ad bin Abi Waqash ra. berkata: Nabi saw. datang
menjengukku (saat aku sakit) ketika aku berada di Makkah. Dia
tidak suka bila meninggal dunia di negeri di mana dia sudah
berhijrah darinya. Beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati
Ibnu 'Afra'." Aku katakan: "Wahai Rasulullah, aku mau
berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku." Beliau
bersabda: "Jangan!" Aku katakan: "Setengahnya." Beliau
bersabda: "Jangan!" Aku katakan lagi: "Sepertiganya." Beliau
bersabda: "Ya, sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak.
13
Abu Abdullah bin al-Mughirah bin al-Bardizbah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhariy, Juz
IV, h. 3.
5
Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam
keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia
dengan menengadahkan tangan mereka. Sesungguhnya apa
saja yang kamu keluarkan berupa nafkah sesungguhnya itu
termasuk shadaqah sekalipun satu suapan yang kamu
masukkan ke dalam mulut istrimu. Dan semoga Allah
mengangkatmu di mana Allah memberi manfaat kepada
manusia melalui dirimu atau memberikan madharat
orangorang yang lainnya." Saat itu dia (Sa'ad) tidak memiliki
ahli waris kecuali seorang anak perempuan.”

‫ك ب ِْن‬mِ mِ‫ ِد ْال َمل‬m‫ ع َْن َع ْب‬، َ‫ ع َْن َزاِئ َدة‬، ‫يْنُ بْنُ َعلِ ٍّي‬m‫ُس‬ َ ‫ َح َّدثَنَا ح‬، ‫ ْالقَا ِس ُم بْنُ َز َك ِريَّا َء‬m‫َو َح َّدثَنِي‬
َ ‫ا َدنِي النَّبِ ُّي‬mm‫ َع‬: ‫ا َل‬mmَ‫ ق‬، ‫ ِه‬m‫ ع َْن َأبِي‬، ‫ب ْب ِن َس ْع ٍد‬
،‫لَّ َم‬m‫ ِه َو َس‬m‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬m‫ص‬ ِ ‫ ع َْن ُمصْ َع‬، ‫ُع َمي ٍْر‬
ِ ُ‫الثُّل‬mmِ‫ َأب‬: ‫ت‬
‫ث‬ ُ ‫ فَقُ ْل‬." ‫ " اَل‬: ‫ فَالنِّصْ فُ ؟ قَا َل‬: ‫ت‬ ُ ‫ قُ ْل‬." ‫ " اَل‬: ‫ بِ َمالِي ُكلِّ ِه ؟ قَا َل‬m‫صي‬ ِ ‫ ُأو‬: ‫ت‬ ُ ‫فَقُ ْل‬
14
)‫ (المسلم‬." ‫ث َكثِي ٌر‬ ُ ُ‫ َوالثُّل‬،‫ " نَ َع ْم‬: ‫؟ فَقَا َل‬
Terjemahannya:
“Dan telah menceritakan kepadaku Al Qasim bin Zakaria telah
menceritakan kepada kami Hunain bin Ali dari Zaidah dari
Abdul Malik bin 'Umair dari Mush'ab bin Sa'd dari Ayahnya
dia berkata: "Nabi saw. datang menjengukku, maka saya pun
berkata: "Saya telah mewasiatkan hartaku semuanya." Beliau
bersabda: "Jangan." Saya berkata lagi, "Bagaimana jika
setengahnya?" beliau bersabda: "Jangan." Saya berkata lagi,
"Bagaimana jika sepertiganya?" beliau menjawab: "Ya, tidak
mengapa. Sepertiga itu sudah banyak"

‫ ع َْن َس ْع ِد‬، ُ‫ َح َّدثَنَا ُس ْفيَان‬: ‫ قَا َل‬، ‫ َح َّدثَنَا َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن‬: ‫ قَا َل‬، ‫ بْنُ َعلِ ٍّي‬m‫َأ ْخبَ َرنَا َع ْم ُرو‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ َكانَ النَّبِ ُّي‬: ‫ ع َْن َأبِي ِه قَا َل‬، ‫ ع َْن عَا ِم ِر ْب ِن َس ْع ٍد‬، ‫ْب ِن ِإب َْرا ِهي َم‬
ُ ‫صلَّى هَّللا‬ َ ‫ال النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ ق‬،‫َاج َر ِم ْنهَا‬ َ ‫ض الَّ ِذي ه‬ ِ ْ‫ َوهُ َو يَ ْك َرهُ َأ ْن يَ ُموتَ بِاَأْلر‬،َ‫يَعُو ُدهُ َوه َُو بِ َم َّكة‬
‫ َولَ ْم يَ ُك ْن‬." ‫ " يَرْ َح ُم هَّللا ُ َس ْع َد ا ْبنَ َع ْف َرا َء‬: ْ‫ َأو‬." ‫ " َر ِح َم هَّللا ُ َس ْع َد ا ْبنَ َع ْف َرا َء‬: ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
:‫ت‬ ُ ‫ قُ ْل‬." ‫ " اَل‬: ‫وصي بِ َمالِي ُكلِّ ِه ؟ قَا َل‬ ِ ‫ ُأ‬،ِ ‫ يَا َرسُو َل هَّللا‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬،ٌ‫اح َدة‬ ِ ‫لَهُ ِإاَّل ا ْبنَةٌ َو‬
‫ك َأ ْن تَ َد َع‬َ َّ‫ ِإن‬،ٌ‫ث َكثِير‬ ُ ُ‫ َوالثُّل‬،‫ث‬ َ ُ‫ " الثُّل‬: ‫ث ؟ قَا َل‬ َ ُ‫ فَالثُّل‬: ‫ت‬ُ ‫ قُ ْل‬." ‫ " اَل‬: ‫ال‬ َ َ‫النِّصْ فَ ؟ ق‬
‫َأ‬ ‫َأ‬
‫ ْخبَ َرنَا حْ َم ُد‬." ‫م‬mْ ‫اس َما فِي ْي ِدي ِه‬ ‫َأ‬ َ َّ‫ك َأ ْغنِيَا َء خَ ْي ٌر ِم ْن ْن تَ َد َعهُ ْم عَالَة يَتَ َكففونَ الن‬
ُ َّ ً ‫َأ‬ َ َ‫َو َرثَت‬
: ‫ال‬ َ َ‫ ع َْن َس ْع ِد ب ِْن ِإب َْرا ِهي َم ق‬، ‫ َح َّدثَنَا ِم ْس َع ٌر‬: ‫ال‬ ‫َأ‬
َ َ‫ ق‬، ‫ َح َّدثَنَا بُو نُ َعي ٍْم‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬، َ‫بْنُ ُسلَ ْي َمان‬
َّ
،‫صلى ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم‬ ‫هَّللا‬ َّ ‫هَّللا‬
َ ِ ‫ل‬mُ ‫ فَ َد َخ َل َرسُو‬، ‫ض َس ْع ٌد‬ َ ‫ َم ِر‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬، ‫َح َّدثَنِي بَعْضُ آ ِل َس ْع ٍد‬
) ‫ (النسائ‬.‫يث‬
15 ْ
َ ‫ق ال َح ِد‬ ِّ
mَ ‫ َو َسا‬." ‫ " اَل‬: ‫صي بِ َمالِي ُكل ِه ؟ قَا َل‬ ِ ‫ل هَّللا ِ ُأو‬mَ ‫ يَا َرسُو‬: ‫فَقَا َل‬
Terjemahannya:

14
Muslim bin Hajjaj al-Qusayriy al-Naisaburiy, Shahih Muslim, Juz III, h. 1252.
15
Abu Abudrrahman bin Syu’ayb Al-Nasaiy, Sunan al-Nasa’iy alMujtaba, Juz VI h. 242.
6
“Telah mengabarkan kepada kami' Amru bin Ali berkata: telah
menceritakan kepada kami' Abdurrahman berkata: telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Sa'd bin Ibrahim dari'
Amir bin Sa'd dari Ayahnya berkata: "Nabi saw. menjenguknya
dan saat beliau berada di Makkah. Dan ia tidak ingin
meninggal di tanah yang darinya ia berhijrah. Nabi saw. lalu
bersabda: 'Semoga Allah merahmati Sa'd bin 'Afra', dan ia
hanya memiliki satu anak wanita. Ia berkata: "Wahai
Rasulullah, bolehkah aku berwasiat dengan seluruh hartaku?"
Beliau menjawab: "Jangan." Aku tanyakan lagi: "Bagaimana
jika setengah?" Beliau menjawab: "Jangan." Aku tanyakan
lagi: "Bagaimana jika sepertiga?" Beliau menjawab:
"Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau
meninggalkan pewarismu dalam keadaan kaya lebih baik
daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin
dan meminta-minta kepada manusia apa yang ada di tangan
mereka." Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin
Sulaiman berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim
berkata: telah menceritakan kepada kami Mis'ar bin Ibrahim
berkata: telah menceritakan kepadaku sebagian keluarga Sa'd
ia berkata: "Saat Sa'd sakit, Rasulullah saw. masuk
menjenguknya, lalu Sa'd berkata: "Wahai Rasulullah, bolehkah
aku berwasiat dengan seluruh hartaku?" Beliau menjawab:
'Jangan.' Lalu ia menyebutkan hadis tersebut.

‫ ع َْن‬، َ‫رْ َوة‬mُ‫ا ُم بْنُ ع‬m‫ َّدثَنَا ِه َش‬m‫ َح‬: ‫ا َل‬mَ‫ ق‬، ‫ ٌع‬m‫ َّدثَنَا َو ِكي‬m‫ َح‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬، ‫ق بْنُ ِإ ْب َرا ِهي َم‬ ُ ‫َأ ْخبَ َرنَا ِإ ْس َحا‬
،ِ ‫ول هَّللا‬
َ m‫ا َر ُس‬mmَ‫ ي‬: ‫ال‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم عَا َدهُ فِي َم َر‬
َ َ‫ فَق‬،‫ض ِه‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ َأ َّن النَّب‬، ‫ ع َْن َس ْع ٍد‬، ‫َأبِي ِه‬
" : ‫ال‬m َ mَ‫ث ؟ ق‬َ ُ‫الثُّل‬mmَ‫ ف‬: ‫ قَا َل‬." ‫ " اَل‬: ‫ط َر ؟ قَا َل‬ ْ ‫ فَال َّش‬: ‫ قَا َل‬." ‫ " اَل‬: ‫ بِ َمالِي ُكلِّ ِه ؟ قَا َل‬m‫صي‬ ِ ‫ُأو‬
16
)‫ (النسائي‬." ‫ َكبِي ٌر‬." ْ‫ َأو‬." ‫ث َكثِي ٌر‬ ُ ُ‫ َوالثُّل‬،‫ث‬
َ ُ‫الثُّل‬

Terjemahannya:
“Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim berkata:
telah menceritakan kepada kami Waki 'berkata: telah
menceritakan kepada kami Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya
dari Sa'd ,bahwa Nabi saw. mengunjunginya ketika ia sedang
sakit. Ia lalu berkata: "Wahai Rasulullah, bolehkah aku
berwasiat dengan seluruh hartaku?" Beliau menjawab:
"Tidak." Ia berkata lagi" Bagaimana jika setengah?" Beliau
menjawab: "Tidak." Ia berkata lagi, "Bagaimana jika
sepertiga?" Beliau menjawab: "Sepertiga, dan sepertiga itu
banyak atau besar "

16
Abu Abudrrahman bin Syu’ayb Al-Nasaiy, Sunan al-Nasa’iy alMujtaba, Juz VI, h.
243.
7
‫لَّ َم‬m ‫ ِه َو َس‬m‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬m ‫ص‬
َ ‫ي‬ َّ ِ‫ َأ َّن النَّب‬،3/ ‫ ع َْن َس ْع ٍد‬، ‫ ع َْن َأبِي ِه‬، ‫ َح َّدثَنَا ِه َشا ٌم‬، ‫َح َّدثَنَا َو ِكي ٌع‬
‫ " اَل‬: ‫ال‬m َ mَ‫الِي ُكلِّ ِه ؟ ق‬mm‫ بِ َم‬m‫وصي‬ ِ ‫ َأاَل ُأ‬،ِ ‫ يَا َرسُو َل هَّللا‬: ‫ال‬ َ َ‫ فَق‬، ٌ‫َد َخ َل َعلَ ْي ِه يَعُو ُدهُ َوه َُو َم ِريض‬
‫َأ‬
‫ي ٌر‬mmِ‫ وْ َكب‬- ‫ي ٌر‬mmِ‫ث َكث‬ ُّ
ُ ُ‫ َوالثل‬،‫ث‬ ُّ
ُ ُ‫ " الثل‬: ‫ث ؟ قَا َل‬ ُّ ْ ‫ فَبِال َّش‬: ‫ قَا َل‬."
ِ ُ‫ فَبِالثل‬: ‫ قَا َل‬." ‫ " اَل‬: ‫ قَا َل‬m،‫ط ِر‬
17
)‫ (احمد‬."
Terjemahannya:
“Telah menceritakan kepada kami Waki 'telah menceritakan
kepada kami Hisyam dari Bapaknya dari Sa'd ,bahwa Nabi
saw. menjenguknya pada saat dia sakit. Dia bertanya: "Wahai
Rasulullah, bolehkah aku mewasiatkan hartaku semuanya?"
Beliau menjawab: "Jangan" Sa'd bertanya lagi: "Bagaimana
kalau setengah?" Beliau menjawab: "Jangan" Sa'd bertanya
lagi: "Bagaimana jika sepertiga?" Rasulullah saw. menjawab:
"Sepertiga. Ya sepertiga, tapi itu banyak." Atau "Besar".
2. Wasiat Yang Diperintahkan
، ‫ ْع ٍد‬m‫ا ِم ِر ب ِْن َس‬mm‫ ع َْن َع‬، ‫ َرا ِهي َم‬m‫ ْع ِد ب ِْن ِإ ْب‬m‫ ع َْن َس‬، ُ‫ َأ ْخبَ َرنَا ُس ْفيَان‬، ‫ير‬ ٍ ِ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َكث‬
ٌ‫ريض‬m ‫َأ‬ َّ ‫هَّللا‬
ِ m‫ا َم‬mmَ‫ َو ن‬m‫و ُدنِي‬mm‫ل َم يَ ُع‬m‫ ِه َو َس‬m‫لى ُ َعلَ ْي‬m‫ص‬ َّ َ ‫ َكانَ النَّبِ ُّي‬: ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِ ‫ع َْن َس ْع ٍد َر‬
." ‫ " اَل‬: ‫ال‬mm ْ
َ َ‫ فَال َّشط ُر ؟ ق‬: ‫ت‬ ْ ُ
ُ ‫ قل‬." ‫ " اَل‬: ‫ال‬ ِّ
َ َ‫ بِ َمالِي ُكل ِه ؟ ق‬m‫صي‬ ‫ُأ‬
ِ ‫ و‬،ٌ‫ لِي َمال‬: ‫ت‬ ُ ‫ فَقُ ْل‬،َ‫بِ َم َّكة‬
‫ َد َعهُ ْم‬mَ‫ ٌر ِم ْن َأ ْن ت‬m‫ا َء خَ ْي‬mmَ‫ك َأ ْغنِي‬َ mَ‫ َد َع َو َرثَت‬mَ‫ َأ ْن ت‬،ٌ‫ث َكثِير‬ ُ ُ‫ َوالثُّل‬،‫ث‬ ُ ُ‫ " الثُّل‬: ‫ قَا َل‬.‫ث‬ ُ ُ‫ فَالثُّل‬: ‫ت‬ ُ ‫قُ ْل‬
‫ا فِي‬mmَ‫ ةَ تَرْ فَ ُعه‬m‫ َحتَّى اللُّ ْق َم‬،ٌ‫ َدقَة‬m‫ص‬ َ ‫ك‬ َ َ‫ َو َم ْه َما َأ ْنفَ ْقتَ فَه َُو ل‬،‫اس فِي َأ ْي ِدي ِه ْم‬ َ َّ‫عَالَةً يَتَ َكفَّفُونَ الن‬
18
) ‫ك آ َخرُون(البخارى‬ َ ِ‫ضرُّ ب‬ َ ُ‫ َوي‬، ٌ‫ يَ ْنتَفِ ُع بِكَ نَاس‬،‫ك‬ َ ‫ َولَ َع َّل هَّللا َ يَرْ فَ ُع‬،‫ك‬ َ ِ‫فِي ا ْم َرَأت‬
Terjemahannya:
Dari Abdullah putra Umar dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda, “Tidak layak bagi seorang muslim yang
memiliki sesuatu yang (harus) diwasiatkan untuk
bermalam selama dua hari, kecuali wasiat ditulis
disisinya”. (Sahih: Muttafaq A’laih).19
Hadis tersebut di atas memberikan penjelasan bahwa wasiat yang

tertulis dan selalu berada di sisi orang yang berwasiat merupakan suatu

kehati-hatian, sebab kematian seseorang tidak ada yang dapat mengetahui.

Rasulullah saw., menganjurkan umatnya agar merealisasikan niat

17
Abdullah Muhammad bin Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz.III, h.
77.
Abu Dawud al- Sijistani, Sunan Abi Dawud (Lebanon: Dar Al-Kotob Al- Ilmiyah,
18

2011), Jilid. 2, h. 320.


19
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan Abu Daud, Terj. Abd. Mufid
Ihsan dan M. Soban Rohman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 324.
8
baiknya secepat mungkin, salah satunya dengan cara berwasiat sebelum

kesempatan itu hilang (sebab kematian). Untuk itu, beliau memberi petunjuk

bahwa tidak layak bagi mereka yang ingin berwasiat memperlambat

realisasinya hingga waktu yang cukup lama, sebaliknya ia sebaiknya segera

menulis wasiatnya. Jika pun ingin menundanya maka diberi toleransi satu

atau dua malam. Seseorang tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi

pada kehidupan selanjutnya.20

Dalam hal ini, al-Syafi’i memberikan komentarnya bahwa orang

Islam yang berwasiat sebaiknya wasiat tersebut ditulis dan berada di sisinya,

sebab hal tersebut dapat menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Bila

tidak berhati-hati dalam berwasiat, bisa jadi cita-cita si pewasiat tidak

tercapai karena kematian seseorang hanya Allah swt., yang mengetahui.

Ibnu Daqiq mengatakan bahwa izin penundaan penulisan wasiat

hingga dua atau tiga malam ditetapkan untuk menghindari kesulitan

tertentu.21 Menyimpan wasiat setelah ditulis agar tetap berada pada pewasiat

dan tidak mengabaikannya.

3. Kadar Wasiat Yang Diperbolehkan Yaitu Dengan Sepertiga Harta

Kadar wasiat yang diperbolehkan adalah sepertiga sebagaimana

bunyi hadis berikut:


‫و‬mmُ‫ َّدثَنَا َأب‬m‫ َح‬: ‫ااَل‬mَ‫ ق‬- ‫ َد‬m‫ظُ َأِلحْ َم‬m‫ َواللَّ ْف‬- َ‫لَ ْي َمان‬m‫ ُد بْنُ ُس‬m‫ور َوَأحْ َم‬ mٍ m‫ص‬ُ ‫ بْنُ َم ْن‬m‫ ُرو‬m‫َأ ْخبَ َرنَا َع ْم‬
َ َ‫ ع َْن َس ْع ٍد ق‬، ‫ ع َْن عَا ِم ِر ب ِْن َس ْع ٍد‬، ‫ ع َْن َس ْع ِد ْب ِن ِإب َْرا ِهي َم‬، ُ‫ َح َّدثَنَا ُس ْفيَان‬: ‫ال‬
‫ال‬ َ َ‫ ق‬، ‫نُ َعي ٍْم‬
m‫ي‬m‫وص‬ ِ ‫ُأ‬ ‫هَّللا‬
،ِ ‫ول‬ mَ m‫ا َر ُس‬mmَ‫ ي‬: ‫ت‬ ْ ‫َأ‬ َّ ‫هَّللا‬
ُ ‫ قُل‬،َ‫ا بِ َم َّكة‬mmَ‫و ُدنِي َو ن‬mm‫ل َم يَ ُع‬m‫ ِه َو َس‬m‫صلى ُ َعلَ ْي‬ َّ َ ‫ َجا َءنِي النَّبِ ُّي‬:
،‫ث‬ َ ُ‫ " الثُّل‬: ‫ال‬mm َ َ‫ث ؟ ق‬ َ ُ‫ فَالثُّل‬: ‫ت‬ ْ
ُ ‫ قُل‬." ‫ " اَل‬: ‫ال‬ ْ
َ َ‫ر ؟ ق‬mَ ‫ فَال َّشط‬: ‫ت‬ ْ
ُ ‫ قُل‬." ‫ " اَل‬: ‫بِ َمالِي ُكلِّ ِه ؟ قَا َل‬

20
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram
(Syarah Bulughul Maram), Terj. Thahirin Suparta, M. Faisal, dan Adis Aldizar, Jilid. 5, h. 224.
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram
21

(Syarah Bulughul Maram), Terj. Thahirin Suparta, M. Faisal, dan Adis Aldizar, Jilid. 5, h. 226.
9
َ َّ‫ونَ الن‬mmُ‫ةً يَتَ َكفَّف‬mَ‫ َد َعهُ ْم عَال‬mَ‫ ٌر ِم ْن َأ ْن ت‬m‫ا َء خَ ْي‬mmَ‫ك َأ ْغنِي‬
،‫اس‬ mَ mَ‫ك َأ ْن تَ َد َع َو َرثَت‬ ُ ُ‫َوالثُّل‬
َ َّ‫ ِإن‬،ٌ‫ث َكثِير‬
22
)‫ (النسائ‬." ‫يَتَ َكفَّفُونَ فِي َأ ْي ِدي ِه ْم‬
Terjemahannya:
“Telah mengabarkan kepada kami' Amru bin Manshur
dan Ahmad bin Sulaiman dan lafazhnya adalah lafazh
Ahmad. Mereka berkata: telah menceritakan kepada kami
Abu Nu'aim berkata: telah menceritakan kepada kami
Sufyan dari Sa'd bin Ibrahim dari' Amir bin Sa'd dari Sa'd
ia berkata: "Nabi saw. datang menjengukku saat aku di
Makkah, lalu aku katakan, "Wahai Rasulullah, bolehkah
aku berwasiat dengan seluruh hartaku?" Beliau
menjawab: "Jangan." Aku tanyakan lagi, "Bagaimana jika
setengah?" Beliau menjawab: "Jangan." Aku tanyakan
lagi, "Bagaimana jika sepertiga?" Beliau menjawab:
"Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya
engkau meninggalkan pewarismu dalam keadaan kaya
lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia
dengan tangan mereka"
Hadis di atas menjelaskan sebuah dialog antara Rasulullah dengan

Sa’ad bin Abi Waqash mengenai wasiat ketika Rasulullah saw.

menjenguknya pada saat pelaksanaan haji Wada’. Ketika itu Sa’ad dalam

keadaan sakit parah dan menurutnya ia segera meninggal dunia. Sa’ad bin

Abi Waqash adalah salah seorang kongomerat dan juga termasuk salah

seorang sahabat Rasulullah saw., menurutnya kekayaan yang ia miliki dapat

mengantarkannya untuk mendapat banyak pahala di sisi Allah swt., karena

itu ia ingin mewasiatkan seluruh hartanya.23

Sa’ad bin Abi Waqash adalah seorang agniya dan hanya mempunyai

seorang anak perempuan sebagai ahli warisnya. Kondisi inilah yang

22
Abu Abudrrahman bin Syu’ayb Al-Nasaiy, Sunan al-Nasa’iy alMujtaba, Juz VI, h.
247.
23
Bahdar “Hadis Sa’ad Ibn Abi Waqash tentang Wasiat Sepertiga Harta Kekayaan”,
Jurnal Hunafa, Vol. 2, No. 1 April 2005, h. 1.
10
ditanyakan kepada Rasulullah saw., Apakah ia bisa mewasiatkan seluruh

hartanya? Rasulullah saw., bersabda: Itu tidak boleh wahai Sa’ad. Kemudian

Sa’ad bertanya lagi, bagaimana kalau dua pertiga? Rasulullah saw.,: Tidak

boleh! Sa’ad pun bertanya kembali kepada Rasulullah saw., kalau begitu

bagaimana kalau hanya setengahnya saja? Rasulullah saw., bersabda: Tetap

saja tidak boleh wahai Sa’ad. Kemudian Rasulullah saw., menjelaskan:

Engkau boleh saja mewasiatkan hartamu dengan jumlah sepertiga dan

sepertiga itu sesungguhnya sudah banyak.24

Dalam dialog tersebut diketahui bahwa Rasulullah tidak menyetujui

maksud Sa’ad tersebut, sehingga terjadilah tawar-menawar yang pada

akhirnya Rasulullah membolehkan Sa’ad untuk berwasiat sebanyak

sepertiga dari hartanya. Kemudian Rasulullah saw. menerangkan

meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya lebih baik daripada

meninggalkan mereka dalam keadaan fikir miskin, meminta-minta kepada

orang lain dan hidup menggantungkan diri pada mereka.

Kendati demikian, dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat

dikalangan ulama. Di antaranya ada yang memperbolehkan kadar wasiat

lebih dari sepertiga dan ada pula yang tidak memperbolehkan. Wasiat hanya

berlaku dalam kadar sepertiga dari harta peninggalan apabila terdapat ahli

waris. Adapun jika melebihi sepertiga harta peninggalan, maka

membutuhkan izin dari para ahli waris.25

Wasiat melebihi sepertiga harta warisan, menurut kesepakatan

24
Bahdar “Hadis Sa’ad Ibn Abi Waqash tentang Wasiat Sepertiga Harta Kekayaan”, h. 2.
25
M. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Cet. 11; Jakarta: PT. Lentera Basritama,
2004), h. 513.
11
seluruh mazhab, membutuhkan izin dari para ahli waris. Jika semua

mengizinkan, wasiat itu berlaku. Tapi jika mereka menolak, maka batallah

wasiat tersebut. Tapi jika sebagian mengizinkan, sedang sebagian lainnya

tidak, maka kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari harta yang

mengizinkan.26

Mazhab Imamiyah mengatakan : jika para ahli waris telah memberi

izin, maka mereka tidak berhak menarik kembali izin mereka, baik izin itu

diberikan pada saat pemberi wasiat masih hidup ataupun sudah

meninggalnya.27 Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan :

“Penolakan ataupun izin hanya berlaku sesudah meninggalnya pemberi

wasiat maka jika mereka memberi izin ketika dia masih hidup, kemudian

berbalik pikiran dan menolak melakukannya setelah pemberi wasiat

meninggal, maka berhak melakukan itu, baik izin itu mereka berikan ketika

pemberi wasiat berada dalam keadaan sehat ataupun ketika sakitnya.”.28

Mazhab Maliki mengatakan: “Jika mereka mengizinkan ketika

pemberi wasiat berada dalam keadaan sakit, mereka boleh menolak

melakukannya. Tapi jika mereka memberi izin ketika ia sehat, maka

kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari hak waris mereka, dan mereka

tidak boleh menolak.” Mazhab Imamiyah, Hanafi, dan Maliki mengatakan :

“Izin yang diberikan oleh ahli waris bagi kelebihan dari sepertiga harta

warisan merupakan persetujuan atas tindakan si pemberi wasiat, bukan

26
Rusli Halil Nasution, “Wasiat Dalam Perspektif Hadits Ahkam”, Jurnal Ilmiah Al –
Hadi Vol. 7, No. 2, Januari-Juni 2022, h. 52.
27
M. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, h. 513.
28
Rusli Halil Nasution, “Wasiat Dalam Perspektif Hadits Ahkam”, h. 52.
12
sebagai hibah dari ahli waris kepada sipenerima wasiat.29

Selain hadis yang mengatur terkait kadar wasiat yang diperbolehkan,

ketentuan terkait penerima wasiat juga diatur dalam sebuah hadis. Dalam

hadis dimaksud tidak diperbolehkan wasiat kepada ahli waris sebagai mana

hadis yang diuraikan selanjutnya.

C. Takhrij Hadis

Penelusuranini dilakukan dengan menggunakan Kitab Mu’jam al-

Mufahras li Alfazh Al-Hadis karya A. J. Wensinck. Selain itu, penelusuranini

juga dibantu dengan aplikasi hadis CD ROM Lidwa Hadis 9 Imam, CD ROM

Gawami Alkalem dan juga maktabah samilah. Dengan term-key ‫ صــيو أ‬maka

didapati sebagai berikut:

3.1 Bukhari 2 riwayat nomor hadis 2742, dan 5354.

3.2 Ahmad bin Hanbal 6 riwayat nomor hadis 1479, 1480, 1483, 1488, 1599,

dan 1615.

3.3 Muslim 1 riwayat nomor hadis 7.

3.4 Nasa’I 4 riwayat nomor hadis 3627, 3628, 3629, 3630 dan 3632

3.1 Ahmad bin Hanbal 5 riwayat nomor hadis 17663, 17665, 18082, 18083, dan

22294.

3.2 Darami 1 riwayat nomor hadis 3303.

3.3 Ibnu Majah 2 riwayat nomor hadis 2713 dan 2714.

3.4 Abu Daud 2 riwayat nomor hadis 2870, dan 3565.

3.5 Turmidzi 1 riwayat nomor hadis 2121.

3.6 Nasa’i Muslim 1 riwayat nomor hadis 3641 dan 3643 .

29
Rusli Halil Nasution, “Wasiat Dalam Perspektif Hadits Ahkam”, h. 52
13
D. Fiqh Hadis (Pemahaman/Kandungan Hadis)

Berdasarkan hadis di atas dapat dipahami bahwa, perintah Rasul saw.

untuk berwasiat sebanyak 1/3 dari harta kekayaan adalah guna melindungi ahli

waris, supaya mereka tidak dalam keadaan miskin setelah ditinggalkan pewaris.

Namun harta yang diwasiatkan tidak boleh melebihi dari sepertiga dari seluruh

harta yang ditinggalkan. Hal ini dilakukan untuk melindungi ahli waris dari

kemiskinan.30

Wajib melaksankan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah

yang ditetapkan yaitu 1/3 dari seluruh harta peninggalannya. Jika wasiat tersebut

diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, dan tidak ada keberatan dari

salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun pelaksanaan wasiat

pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai

semua keperluan pemakaman, dan membayar utang.

Jika wasiat pewaris melebihi yang telah ditentukan yaitu sepertiga dari

jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib dilaksankaan

kecuali jika ada kesepakatan semua ahli warisnya. ini berlandaskan sabda

Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash ra. sakit dan

berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah

saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila

engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik

daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta

kepada orang."

Anak angkat dalam hukum Islam tidak boleh menerima warisan tetapi

30
Moh. Muhibbin Abdul Wahid, Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.148.
14
bisa mendapatkan wasiat, wasiat itu namanya wasiat wajibah. Pemberlakuan

wasiat wajibah mempengaruhi peralihan nilai hak warisan dari ahli waris yang

lain. Wasiat merupakan produk ijtihad ulama di Indonesia yang secara substansi

menurut pendapat ulama di timur tengah yang berlakukan wasiat wajibah. Di

Indonesia ditujukan untuk anak angkat sedangkan di dunia Islam ditujukan

untuk cucu pancar perempuan.31

Hukum wasiat adalah wajib apabila berkaitan dengan penunaian hak-hak

Allah swt. seperti zakat, fidyah dan kafarat. Demikian juga halnya apabila

berkaitan dengan penunaian hak-hak pribadi seseorang hanya bisa diketahui

melalui wasiat, seperti mengembalikan harta pinjaman, titipan dan utang.

Pewaris dapat memberikan sebagian hartanya pada orang lain dengan adanya

pesan terakhir, apalagi jika pesan tersebut berkaitan dengan pembagian warisan

telah sesuai dengan keadilan. Dalam hal ini hukum perlu mengaturnya. Wasiat

adalah menyerahkan pemilikan sesuatu kepada seseorang sesudah meninggal

dunia, diperbolehkan dalam Islam, tetapi tidak diwajibkan. Demikian memurut

ijma’ para imam mazhab.

E. Pendapat Ulama

1. Wasiat yang dihukumkan wajib, yakni seseorang diwajibkan melakukan

wasiat sebelum meninggal dunia. Wasiat ini bertujuan untuk membayar

utang dan menunaikan kewajiban.

2. Wasiat yang hukumnya dianjurkan (mustahabbah) supaya dilakukan oleh

31
Fahmi Al Amruzi, Rekonstruksi Wasiat Wajibah dalam kompilasi Hukum Islam
(Yogyakarta: Aswaja Pressidon, 2014), h. 85.
15
seseorang sebelum ia meninggal dunia.

3. Wasiat yang sifat dan hukumnya boleh dilakukan oleh seorang sebelum ia

wafat, seperti berwasiat untuk orang-orang kaya, baik ia termasuk kaum

keluarganya yang tidak menerima harta warisan ataupun orang asing.

4. Wasiat yang karahah tahrim, sebagaimana yang dikemukakan oleh Mazhab

Hanafi. Berwasiat untuk ahl al-fusuq dan ahli maksiat. Para ulama

sependapat bahwa berwasiat untuk ahli waris hukumnya adalah makruh,

kecuali kalau ahli waris yang diberi wasiat itu seorang miskin sedangkan

ahli waris yang lain bersamanya tidak tergolong miskin.

5. Wasiat yang hukumnya haram, yakni wasiat yang tidak boleh dilakukan

oleh seorang Muslim, seperti berwasiat untuk maksiat. Berwasiat juga

dihukumkan haram apabila wasiat itu akan menyebabkan mudhorot

terhadap pihak lain, seperti merugikan ahli waris.32

32
Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo, 1997), h. 90-92.
16
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Wasiat adalah perbuatan seseorang kepada orang lain yang bukan ahli

warisnya dengan memberikan hartanya secara sukarela dalam kadar tertentu

sesuai dengan yang telah di tentukan dan pelaksanaannya setelah si pemberi atau

dalam hal ini disebut pewasiat telah meninggal dunia.

Rasulullah saw., melalui hadis-hadis menjelaskan mengenai ketentuan

dalam melakukan wasiat. Dalam hal melaksanakan wasiat Rasulullah menjelaskan

terkait kadar yang diperbolehkan adalah hanya sepertiga dari harta si pemberi

wasiat dan yang kedua menjelaskan terkait yang tidak mendapat wasiat yaitu ahli

waris karena ahli waris telah ditentukan bagiannya masing-masing melalui hukum

waris.

B. Implikasi

Penulis berharap, makalah ini dapat memberikan manfaat bagi

masyarakat luas, khususnya umat Islam, untuk lebih memahami mengenai wasiat

dalam perspektif hadis.

17
DAFTAR RUJUKAN

Al Albani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Sunan Abu Daud, Terj. Abd. Mufid

Ihsan dan M. Soban Rohman. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

-------. Shahih Sunan An- Nasa’i, Terj. Fathurahman dan Zuhdi. Jakarta: Pustaka

Azzam, 2006.

Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram

(Syarah Bulughul Maram), Terj. Thahirin Suparta, M. Faisal, dan Adis

Aldizar. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Bahdar. “Hadis Sa’ad Ibn Abi Waqash tentang Wasiat Sepertiga Harta Kekayaan”.

Jurnal Hunafa. Vol. 2, No. 1 April 2005. Departemen Agama. Ilmu Fiqh. Jakarta,

2008.

Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Analisis Hukum Islam Bidang

Wasiat. Jakarta: Departemen Agama, 1998.

Faqihudin, Ahmad. “Wasiat Perspektif al- Qur’an dan Hadits”. Kajian Ilmu Al-

Quran dan Tafsir. Vol. 1, No. 2, September 2021.

Fathurrahman. Ilmu Waris. Bandung: al- Ma’rif, 1984.

Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris. Mukhtasar Kitab Al Umm Fi Al

Fiqh. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Kementerian Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Cet. I; Jakarta: Lajnah

Pentaṣḥῑḥan Musḥaf al-Qur’an, 2019.

Mughniyah, M. Jawad. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2004.

al- Nasa’i, Imam, Al- Hafiz al- Sayuti dan Imam al- Sindi. Sunan al- Nasa’i bisarh al

18
Sayuti wahasiyat al Sindi. Lebanon: Dar Al-Kotob Al- Ilmiyah, 2010.

Nasution, Rusli Halil. “Wasiat Dalam Perspektif Hadits Ahkam”. Jurnal Ilmiah Al –

Hadi. Vol. 7, No. 2, Januari-Juni 2022.

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012.

Said, Imam Ghazali dan A. Zaidun. Terjemah Kitab Bidayatul Mujtahid Karya Ibnu

Rusd. Jakarta: Pusaka Amani, 1995.

al- Sijistani, Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. Lebanon: Dar Al-Kotob Al- Ilmiyah,

2011.

Zahrah, Muhammad Abu. Al-Miras ‘Inda al-Ja’fariyah. Beyrut: Dar al-Fikr, 1995.

Zainuddin bin Abdul Aziz. Terjemah Fathul Mu’in. Bandung: Huasaini,

2003.

Zein, Setria Effendi M. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana,

2004.

19

Anda mungkin juga menyukai