Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH FIQIH

Fiqih Jinaya Dan Sejarah Perkembangan Fiqih

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih


Dosen Pengampu : Dra Hj Denna Ritonga M.S.I
Kelompok 2 :
1.Siti Rouhatul Kamila : (231110144)
2.Cindi Retno Sumarni : (231110122)
3.Anisa Nursita : (231110133)
4.Muhammad Aushaf Nabil : (231110124)
5.Ahmad Afifuddin : (231110128)
6.Nazif Najmudin : (231110141)
7.Nur Azizah : (231110127)
8.Adhi Nugraha : (231110125)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA


HASANUDDIN BANTEN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadiran Allah Swt. Yang telah melimpahkan
Rahmatdan hidayah Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Fiqih. Atas
dukungan moral dan materi yang di berikan dalalam menyusun makalah ini, maka
penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu : Dra Hj Denna Ritonga M.S.I..
selaku dosen pembibing mata kuliah Fiqih,, yang telah memberikan arahan dan
kesempat untuk kami menyelesaikan makalah ini.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa di praktikan dalam kehidupan sehari – hari. Bagi kami
sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun
makalah ini karena pengalaman kami mebuat makalah masih kurang. Tidak lupa
Kami ucapkan terima kasih terhadap bantuan kerjasama dari kelompok dua yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun Dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Serang, Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR II
DAFTAR ISI III
BAB I PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 2
C. TUJUAN MAKALAH 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. PENGERTIAN FIQIH JINAYAH 4
B. DAN PENGERTIAN SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH 7
BAB III PENUTUP 22
A. KESIMPULAN 22
B. SARAN 23
DAFTAR PUSTAKA 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Fiqih berasal dari kata faqaha yang berarti “memahami” dan “mengerti”.
Sedangkan menurut istilah (Syar’i) yang digunakan para ahli fiqih (fuqaha) fiqih
ialah ilmu yang berbicara (menerangkan) tentang hukum-hukum syar’i

amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang


mendalam terhadap dalil-dalil yang terperinci.

Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syaria’at yang bersifat praktis,


yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf. Atau
fiqih adalah hukum-hukum itu sendiri.

Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting
kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul
pada masa awal berkembang agama islam. Sejarah fiqh telah dimulai sejak
diangkatnya Muhammad SAW Nabi dan rasul sampai wafatnya. Hal menjadi ini
disebabkan segala persoalan yang dihadapai ketika itu dijelaskan secara langsung
oleh Rasulullah Saw akibatnya ijtihad masih berada diantara benar atau salah
tidak diperlukan. Akan tetapi,benih- benih kaidah sebenarnya sudah ada semenjak
masa Nabi' yang

Pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan ilmu fiqh masa


Rasulullah inilah yang mewariskan sejumlah nash-nash hukum baik dari Al-
Qur'an maupun Al-Sunnah, mewariskan prinsip-prinsip hukum islam baik yang
tersurat dalam dalil-dalil kulli maupun yang tersirat dari semangat Al- Qur'an dan
Al-Sunnah.

Jinayah merupakan suatu perbuatan seseorang yang melanggar hukum


Islam dan suatu perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, baik itu laki-laki
maupun perempuan yang dapat mengakibatkan terjatuhnya sanksi kepada pelaku
tersebut. Banyak sekali perbuatan-perbuatan yang termasuk pada prilaku jinayah,
salah satunya yaitu perzinaan, pelaku zina dapat di kenakan sanksi jika perbuatan
tersebut dapat dibuktikan, salah satunya dengan ada orang yang menyaksikan

1
perbuatan pelaku jinayah memiliki arti secara luas dan sempit, yang mana jinayah
dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar
hukum syarat dan dapat mengakibatkan hukuman had atau ta’zir. Sedangkan
jinayah dalam arti sempit diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar
hukum syarat dan mengakibatkan hukuman had tapi bukan ta’zir.
Fiqih diarahkan untuk memperbaiki akidah, karena akidah yang benar
inilah yang menjadi pondasi dalam hidup. Oleh karena itu, dapat kita pahami
apabila Rasulullah pada masa itu memulai da'wahnya dengan mengubah
keyakinan masyarakat yang musyrik menuju masyarakat yang berakidah tauhid
membersihkan hati dan menghiasi diri dengan al-Akhlak al-Karimah, Masa
Mekkah ini dimulai diangkatnya Muhammad SAW menjadi Rasul.
Secara esensial, Fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi
sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul
waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi
permasalahan bisa terobati, dengan bersumber pada Al Qur’an. Baru sepeninggal
Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-
permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan
istimbat.
Penerus Nabi Muhammad SAW diteruskan oleh para sahabat,tabi’in dan
ulama’ hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih
bisa kita klasifikasikan secara periodik menurut masanya, yaitu: Masa Rosulullah
SAW, Masa Para Sahabat, Masa Tabi’in, Masa Imam Mujtahid (masa pembukuan
Fiqh), dan masa kontemporer.
Dalam makalah ini, kami mencoba menjelaskan perkembangan Ilmu Fiqh yang
teratur dalam beberapa perumusan masalah di bawah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan figih jinaya
2. Bagaimana sejarah perkembangan fiqih
C. TUJUAN MAKALAH
1. Tujuan Fiqih Jinayah ialah Kajian Ilmu Hukum Islam yang berbicara tentang
kriminalitar . Yang lebih ke kerasan fisik, terus seperti pembunuhan, jadi fiqih
jinayah untuk hukum yang sepantasnya dan sesuai aturan kepada orang yang telah

2
melakukannya , hukuman di tetapkan demikian untuk memperbaiki individu
dalam menciptakan masyarakat yang tertip dan aman.
2. Tujuan sejarah perkembangan fiqih demi kepentingan umat manusia , serta
menghindari mereka dari kerusakan dan bahaya di dunia dan akhirat.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FIQIH JINAYAH


fikih jinayah terdiri dari dua suku kata, yaitu fikih dan jinayah pengertian fikih
secara bahasa berasal dari lafal fagiha, yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti,
paham. Pengertian fikih secara istilah yang di kemukakan oleh Abdul Wahab
Khallaf adalah sebagai berikut:

Artinya: Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‟ praktis yang


diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fikih adalah himpunan hukum-
hukum syara‟ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Adapun jinayah menurut bahasa adalah.

Artinya: Nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang
diusahakan.
Pengertian jinayah secara istilah fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh
Abdul Qadir Audah adalah.

Artinya: Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara‟
baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.
Jarimah berasal dari kata yang sinonimnya artinya; berusaha
dan bekerja. hanya saja pengertian usaha di sini khusus untuk usaha yang tidak
baik atau yang dibenci oleh manusia. Dari depeni tersebut dapatlah ditarik suatu
defenisi yang jelas, bahwa jarimah itu adalah:

Artinya: Melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran


keadilan,dan jalan yang lurus(agama).

4
Jinayat jamak‟ dari kata jinayah yang berarti melakukan dosa, menggunakan
lafazh jama‟ -walaupun bentuk asalnya masdar- karna bentuk pidana itu
bermacam-macam; kadang berkaitan dengan nyawa(pembunuhan), bagian-bagian
tubuh, baik sengaja maupun tidak.
Dari keterangan ini jelas bahwa jarimah menurut arti bahasa adalah melakukan
perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik, dibenci oleh manusia
karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan jalan yang lurus (agama).
Pengertian jarimah tersebut diatas adalah pengertian umum, dimana jarimah itu
disamakan dengan (dosa) dan (kesalahan), karna pengertian kata-
kata tersebut adlah pelanggaran terhadap perintah dan larangan agama, baik
pelanggaran tersebut mengakibatkan hukuman duniawi maupun ukhrawi.
Fiqih Jinayah adalah mengetahui berbagai ketentuan hokum tentang
perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan orang-orang mukallaf, sebagai hasil
pemahaman atas dalil-dalil yang terinci. Yang di maksud dengan tindak criminal
menurut zarga adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman
umum serta tindakan melawan perundang-undangan. 17 Menurut istilah fiqih,
jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak Allah
atau larangan Allah, hak-hak manusia dan hak binatang dimana orang yang
melakukan wajib mendapat/diberi hukuman yang sesuai baik dunia maupun
akhirat. Dalam rumusan lain disebut bahwa, jinayat yaitu perbuatan dosa besar
atau kejahatan (pidana/kriminal) seperti membunuh, melukai seseorang, atau
membuat cacat anggota badan seseorang.
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata Fiqh Jinayah. Fiqh
jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan
kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani
kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci
dari Al-Quran dan hadits. Tindak kriminal yang dimaksud, adalah tindakan-
tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan
peraturn perundang-undangan yang bersumber dari Al-quran dan hadis.
Jinayah adalah bentuk jamak (plural) dari jinayah. Menurut bahasa, jinayah
bermaknakan penganiyaan terhadap badan, harta, atau jiwa. Sedangkan menurut
istilah, jinayah pelanggaran terhadap badan yang didalamnya diwajibkan qishash

5
atau diyat. Jinayah juga bermaknakan sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas
penganiyaan atas badan. Dengan demikian tindak penganiyaan itu sendiri dan
sanksi yang dijatuhkan atas penganiyaan badan disebut dengan jinayah.
Yang di maksud dengan jinayah meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh
orang, melukai, memotong anggota tubuh dan menghilangkan manfaat badan,
misalnya menghilangkan salah satu pancaindra. Membunuh orang adalah dosa
besar selain dari ingkar, karena kejinya perbuatan itu, juga untuk menjaga
keselamatan dan ketentraman umum.
Jinayah secara garis besar dibedakan menjadi dua kategori, yaitu sebagai
berikut:
1. Jinayat terhadap jiwa yaitu pelanggaran terhadap sesorang dengan
menghilangkan nyawa, baik sengaja maupun tidak sengaja.
2. Jinayah terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan
merusak salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu badannya baik
sengaja maupun tidak sengaja.
Para puqaha menyataan bahwa lafal jinayah sama artinya dengan jarimah.
Pengertian jinayah adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara‟, baik
perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lain-lainya.
Dalam kepustakaan islam, hukum pidana islam sering dijumpai istilah
“Jinayat” atau “Jarimah”. Kata jinayat sering kita temukan hampir pada semua
kitab-kitab fiqih, sedangkan ulama atau sarjana muslim di abad XX ini lebih suka
memilih istilah jarimah meskipun masih dapat dicarikan perbedaan antar
keduanya istilah itu.

Menurut bahasa, jarimah atau jinayat berarti:

Artinya: Nama bagi setiap sesuatu yang harus di jauhi oleh setiap orang dari
segala bentuk kejahatan dan usaha yang mengarah pada kejahatan.
Dalam istilah pengetian fiqh, jinayah berarti:

Artinya: Suatu nama bagi setiap perbuatan yang diharamkan syara‟ baik
menyangkut terhadap jiwa, harata benda, dan lain-lainya.

6
Abu zahrah dalam bukunya” Al- jarimah wal Uqubah fiqhil islami” dimana beliau
mengutip pendapat Al-Mawardi memberikan defenisi jarimah sebagai berikut:

Artinya: larangan-larangan syara‟ yang di ancam Allah dengan hukum had dan
ta‟zir.
Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil dari kedua istilah tersebut
adalah bahwa kedua istilah tersebut memiliki kesamaan dan perbedaannya. Secara
etimologis, kedua istilah tersebut bermakna tunggal,
B. DAN PENGERTIAN SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH
FIQIH MASA NABI SAW
Sejarah dan perkembangan Fiqh secara umum melewati empat fase
utama: 1) Era Nabi 2) Era Khalifah al Rasyidun 3) Era Tabi’in 4) Era
Kodifikasi.
Era Nabi dimulai dengan Muhammad saw diangkat sebagai utusan
terakhir tiga belas tahun sebelum Hijrah ke Madinah, dan berakhir
dengan meninggalkan dunia ini pada tahun ke-11 setelah Hijrah. Era
ini dianggap sebagai masa terpenting dalam perkembangan Fiqh
karena ini adalah era wahyu.
Hukum sebagaimana diturunkan oleh Allah dan dijelaskan oleh
Rasul- Nya diselesaikan selama masa hidup Nabi. Seperti yang
dikatakan Allah dalam Sūrah al-Mā'idah, "Hari ini aku telah
menyempurnakan untukmu agamamu dan melengkapi rahmat-Ku
kepadamu dan telah menyetujui bagimu Islam sebagai agama."
Landasan Fiqh sepanjang sejarah selalu dan akan selalu wahyu, yang
terdiri dari Al-Qur'an dan Sunnah. Hanya ada dua sumber hukum atau
perundang-undangan; Quran dan Sunnah.
Sifat hukum wahyu di Makkah sangat berbeda dengan hukum
wahyu di Madinah. Selama periode Makkah, 13 tahun pertama misi
Nabi, wahyu difokuskan terutama pada apa yang dikenal sebagai uṣūl

7
al-dīn, prinsip- prinsip agama. Ini adalah aspek fundamental dari
keyakinan; keyakinan pada keesaan Allah (tawḥīd), konsep kenabian,
dan kehidupan setelah kematian. Ini juga mencakup moral, nilai, dan
karakter. Misalnya keadilan, kejujuran, kesempurnaan, rasa syukur,
kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kesabaran, kesabaran, dan
integritas. Hukum Makkan berfokus pada pembangunan individu
dalam hal keimanan dan karakter. Selama ini hanya sedikit putusan
hukum praktis yang terungkap dan tidak terlalu terinci. Misalnya,
sholat dan zakāh diatur di Makkah tetapi peraturan khusus tentangnya
tidak dirinci.
Sifat wahyu berubah setelah Hijrah. Wahyu era Madinah sangat
menitikberatkan pada hukum rinci perbuatan manusia. Ayat-ayat
mengungkap tentang: amal ibadah seperti sholat, zakāt, puasa, dan
ḥajj. Disamping itu menyangkut muamalah seperti penjualan, sewa,
kontrak lainnya, dan larangan kejahatan kepentingan seperti pencurian
pembunuhan, perzinahan, dan tuduhan palsu.
Begitu pula tentang hukum keluarga seperti pernikahan, perceraian,
dan politik warisan seperti hubungan dan perjanjian internasional.
Alquran akan meletakkan prinsip-prinsip umum untuk semua
peraturan ini dan kemudian Nabi saw akan menjelaskan rincian
khusus melalui ucapan, tindakan, atau persetujuannya. Namun, Nabi
tidak akan menjelaskan setiap detail sebagaimana penjelasan dalam
kitab-kitab Fiqh. Nabi tidak akan mengatakan bahwa farā'iḍ dari wuḍū
'adalah enam dan ini adalah sunnah, sedangkan itu adalah
mustaḥabbāt. Sebaliknya, para Sahabat (ra) akan melihat Nabi dalam
melakukan wuḍū 'dan menirukannya persis seperti yang Nabi lakukan.
Para shahabat akan melakukan sholat sebagaimana Nabi melakukan.

8
Begitupun mereka melakukan ḥajj bersamanya dan mempelajari
ibadah sebagaimana yang mereka lihat dan amati.
Ciri menonjol dari fase ini adalah bahwa hukum tidak diwahyukan
sekaligus. Itu terungkap secara bertahap selama 23 tahun, mulai
terbentuk secara perlahan. Misalnya, awalnya shalat adalah kewajiban
pagi dan sore, kemudian diwajibkan lima kali sehari. Awalnya jumlah
zakāh tidak ditentukan; terserah individu untuk membayar seberapa
banyak mereka dapat atau ingin. Demikian pula, alkohol
tidak langsung dilarang; Sebaliknya, pelarangan tersebut melalui
proses bertahap. Beberapa hukum diturunkan sebagai tanggapan atas
hal-hal tertentu yang terjadi atau pertanyaan yang diajukan kepada
Nabi. Yang lainnya terungkap tanpa sebab atau pertanyaan khusus.
Hal utama yang perlu dicatat adalah bahwa sumber dari semua hukum
ini adalah wahyu; baik secara langsung melalui Al-Qur'an maupun
tidak langsung melalui Sunnah Nabi.
Selama waktu ini Nabi juga menjalankan ijtihādnya sendiri seperti
yang dilakukan oleh beberapa sahabatnya (ra). Muʿādh ibn Jabal (ra)
meriwayatkan bahwa ketika Nabi saw mengirimnya ke Yaman, Nabi
bertanya, Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman,
lebih dulu ditanyainya, "Apa yang menjadi pedomanmu dalam
mengadili sesuatu, hai Mu'adz?" "Kitabullah," jawab Mu'adz.
"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya
Rasulullah pula."Saya putuskan dengan Sunnah Rasul." "Jika tidak
kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?" "Saya pergunakan pikiranku
untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Muadz.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang
telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai
oleh Rasulullah," sabda beliau. Ijtihād pada periode ini masih

9
dianggap sebagai bagian dari wahyu. Kapanpun Nabi saw
menjalankan penilaiannya sendiri, Allah akan menegaskan atau
membimbingnya ke sesuatu yang lebih baik. Allah akan
mengungkapkan bahwa solusi yang lebih baik adalah selain dari yang
telah Nabi putuskan.
Adapun para sahabat (ra), mereka akan melakukan ijtihād sebagai
tanggapan atas situasi yang mereka hadapi tanpa kehadiran
Nabi saw. Kemudian, ketika mereka bertemu Nabi saw mereka akan
menjelaskan apa yang terjadi dan memberi tahu dia apa yang telah
mereka putuskan. Kadang-kadang Nabi saw menyetujui kesimpulan
mereka, dalam hal ini mereka akan menjadi bagian dari Sunnah. Jika
dia tidak menyetujui kesimpulan mereka, dia akan menjelaskan apa
yang lebih baik dan itu akan menjadi bagian dari Sunnah.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa hukum Islam bergantung
pada dua bentuk wahyu ketuhanan: 1) Wahyu yang diucapkan (Al-
Qur'an) dan 2) Wahyu yang tidak dibaca (Sunnah).
Dalam hal kodifikasi, Al-Qur'an tercatat secara utuh selama masa
hidup Nabi saw; Namun, itu tidak disusun menjadi satu buku.
Beberapa sahabat (ra) biasa menulis aḥādīth Nabi saw, tetapi itu akan
menjadi catatan atau koleksi pribadi mereka sendiri.
FIQIH MASA KHALIFAH AL-RAYIDUN
Zaman ini dimulai setelah Nabi saw wafat pada tahun 11 H dan
berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, hingga 40 H. Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, wahyu ilahi lengkap pada masa Nabi saw
dalam bentuk Al-Qur'an dan Sunnah. dan mereka berfungsi sebagai
sumber utama untuk penilaian hukum dan keputusan para ahli hukum
di antara para Sahabat. Selama era ini sumber utama Hukum Islam

10
adalah: 1) Al-Qur'an, 2) Sunnah, 3) Ijmāʿ (Konsensus) dan 4) Ijtihād
(Pendapat Pribadi).
Selama era ini dua sumber baru Hukum Islam secara alamiah
berkembang dan berkembang. Seiring dengan kemajuan dan
perkembangan masyarakat Muslim, para sahabat menghadapi situasi
dan masalah yang tidak mereka hadapi selama masa Nabi saw dan
penting bagi mereka untuk menentukan aturan hukum bagi mereka.
Para ahli hukum (fuqahāʾa) di antara para sahabat mengambil
tanggung jawab untuk menentukan putusan dari masalah dan kejadian
baru ini, menggunakan keterampilan nalar mereka dalam terang Al-
Qur'an dan Sunnah.
Metodologi mereka dibangun di atas metodologi yang disetujui
Nabi untuk Muʿādh (ra) ketika dia mengirimnya ke Yaman. Jika
sesuatu yang baru muncul, mereka pertama-tama akan melihat Al-
Qur'an. Jika mereka tidak dapat menemukan hukum dalam Al-Qur'an,
mereka akan beralih ke Sunnah Nabi saw. Jika mereka tidak dapat
menemukan hukum di aḥādīth maka mereka akan mengumpulkan para
sahabat dan mencoba untuk mengambil keputusan bersama. Jika tidak
ada keputusan kolektif yang dicapai, pendamping ahli hukum akan
memberikan pendapatnya sendiri.
Metodologi ini ditangkap oleh Maymūn ibn Mahrān ketika dia
meringkas metodologi Abū Bakr (ra) untuk sampai pada penilaian
hukum. “Setiap kali ada perselisihan yang dirujuk padanya, Abū Bakr
selalu membaca Al-Qur'an; jika dia menemukan sesuatu yang
menurutnya bisa dia putuskan, dia melakukannya. Jika dia tidak dapat
menemukan solusi dalam Al-Qur'an, tetapi mengingat beberapa aspek
yang relevan dari Sunnah Nabi, dia akan menilai sesuai dengan itu.
Jika dia tidak dapat menemukan apapun dalam Sunnah, dia akan pergi

11
dan berkata kepada Muslim: 'Sengketa ini dan itu telah merujuk pada
saya. Apakah ada di antara kalian yang mengetahui sesuatu dalam
Sunnah Nabi yang menurut penilaian mana dapat dijatuhkan? ' Jika
seseorang mampu menjawab pertanyaannya dan memberikan
informasi yang relevan, Abū Bakr akan berkata: 'Puji bagi Allah Yang
telah memungkinkan sebagian dari kita untuk mengingat apa yang
telah mereka pelajari dari Nabi kita. 'Jika dia tidak dapat menemukan
solusi apapun dalam Sunnah, maka dia akan mengumpulkan para
pemimpin dan elit rakyat dan berkonsultasi dengan mereka. Jika
mereka menyetujui suatu masalah maka dia memberikan penilaian
atas dasar itu. Jika tidak ada jawaban yang memuaskan maka dia akan
melakukan ijtihad dan membentuk pendapatnya sendiri. Ketika Abu
Bakar (ra) akan membentuk pendapatnya sendiri, dia akan berkata, 'Ini
adalah pendapat saya. Jika benar maka itu dari Allah dan jika itu salah
maka itu dari saya dan saya memohon ampunan dari Allah. '”Dari
kutipan ini kita dapat melihat bahwa metodologinya adalah Al-Qur'an,
Sunnah, Ijmāʿ, dan mengamalkan pendapat pribadi. (raʾy) berdasarkan
penalaran hukum (qiyās) atau manfaat (maṣlaḥah). Jika tidak ada
jawaban yang memuaskan maka dia akan melakukan ijtihad dan
membentuk pendapatnya sendiri. Ketika Abu Bakar (ra) akan
membentuk pendapatnya sendiri, dia akan berkata, 'Ini adalah
pendapat saya. Jika benar maka itu dari Allah dan jika itu salah maka
itu dari saya dan saya memohon ampunan dari Allah. '”Dari kutipan
ini kita dapat melihat bahwa metodologinya adalah Al- Qur'an,
Sunnah, Ijmāʿ, dan mengamalkan pendapat pribadi. (raʾy) berdasarkan
penalaran hukum (qiyās) atau manfaat (maṣlaḥah). Jika tidak ada
jawaban yang memuaskan maka dia akan melakukan ijtihad dan
membentuk pendapatnya sendiri. Ketika Abu Bakar (ra) akan

12
membentuk pendapatnya sendiri, dia akan berkata, 'Ini adalah
pendapat saya. Jika benar maka itu dari Allah dan jika itu salah maka
itu dari saya dan saya memohon ampunan dari Allah. '”Dari kutipan
ini kita dapat melihat bahwa metodologinya adalah Al-Qur'an,
Sunnah, Ijmāʿ, dan mengamalkan pendapat pribadi. (raʾy) berdasarkan
penalaran hukum (qiyās) atau manfaat (maṣlaḥah).
ʿUmar ibn al-Khaṭṭāb (ra) mengikuti metodologi yang hampir sama
dalam sampai pada keputusan dan penilaian. Dia menulis kepada salah
satu hakimnya, Syurayḥ, “Jika kamu menemukan sesuatu di dalam
kitab Allah, maka menilai sesuai dengan itu dan jangan berpaling
kepada yang lain. Jika sesuatu datang kepada Anda yang tidak ada
dalam kitab Allah, maka menilai sesuai dengan apa yang Rasulullah
tetapkan sebagai Sunnah. Jika sesuatu datang kepada Anda yang tidak
ada dalam kitab Allah atau Sunnah Rasulullah saw maka menilai
sesuai dengan apa yang telah disepakati orang. Jika sesuatu datang
kepada Anda yang tidak ada dalam kitab Allah, atau dalam Sunnah
Rasulullah saw dan tidak ada yang membicarakannya sebelum Anda,
maka jika Anda ingin melakukan penilaian Anda sendiri, lakukanlah
dan jika Anda ingin menahannya maka menahan diri. Dan menahan
diri lebih baik untukmu.
Dapat dilihat dari riwayat-riwayat ini bahwa fuqaha’ di antara para
sahabat Nabi saw cukup banyak mengikuti metodologi yang sama
dalam mengambil keputusan untuk masalah-masalah baru yang
mereka hadapi.
Di sini penting untuk memahami apa sebenarnya yang dimaksud
dengan ra'y, atau pendapat pribadi mereka. Ra'y termasuk banyak hal
yang kemudian diberi nama teknis yang sangat spesifik seperti

13
penalaran analogis (qiyās), kepentingan umum (maṣlaḥah) dan menutu
jalan kerusakana (sad al- dharāʿi).
Para sahabat Nabi saw memiliki metodologi yang sangat jelas yang
mereka adopsi untuk mengeluarkan putusan hukum (fatāwā). Kadang-
kadang hal itu didasarkan pada kepentingan umum atau mengambil
tindakan pencegahan untuk mencegah perbuatan salah.
Tidak semua Sahabat Nabi dianggap ahli hukum atau mumpuni
untuk memberikan putusan hukum. Ada sekitar 130 Sahabat, baik pria
maupun wanita, yang diketahui telah memberikan fatwā. Ada tujuh
yang memberi fatāwā lebih banyak dari yang lain: 1) ʿUmar ibn al-
Khaṭṭāb, 2) ʿAlī ibn Abī Ṭālib, 3) ʿAbdullāhibn Masʿūd, 4) ʿĀ'isyah,
5) Zaid ibn Thābit, 6) ʿAbdullāh ibn ʿAbbbās dan 7 ʿUmar (ra).
Kemudian ada orang lain yang memberi lebih sedikit seperti Abū
Bakr, ʿUthmān ibn ʿAffān, dan Abū Mūsā al-Ashʿarī (ra). Di antara
para sahabat (ra) ada dua kecenderungan dalam
menggunakan ra'y; mereka yang sering menggunakannya dan mereka
yang menggunakannya dengan hemat. Dapat dikatakan bahwa inilah
landasan awal dari dua mazhab utama pemikiran atau metodologi
hukum yang muncul pada era ketiga, Mazhab Hadits dan Mazhab
Ra'y. Sikap ini tidak serta merta terkait dengan cara pandang mereka
terhadap ra'y, lebih merupakan pilihan pribadi.
Perbedaan pendekatan ini bahkan terlihat pada masa Nabi saw. Ada
Hadits Bani Qurayẓah yang terkenal. Nabi saw mengatakan kepada
para sahabatnya, "Jangan sholat ʿaṣr sampai Anda mencapai Banū
Qurayẓah [sebuah desa dekat Madinah]." Sekelompok dari mereka
terlambat dalam perjalanan dan waktu shalat asar hampir selesai.
Beberapa dari mereka memutuskan untuk tidak berdoa sampai mereka
tiba, menerima perkataan Nabi secara harfiah. Yang lainnya dari

14
kelompok itu bersikeras: “Kami akan berdoa. Nabi saw tidak
bermaksud bahwa kita harus melewatkan salat. ” Setelah mereka
tiba, mereka memberi tahu Nabi apa yang telah terjadi, dan dia tidak
mengkritik salah satu dari mereka atas apa yang mereka lakukan.
Kapanpun ada ijtihād, wajar jika ada perselisihan. Ahli hukum lain
akan setuju dengan kesimpulan tersebut atau tidak setuju dengannya.
Tidak mengherankan jika ada perbedaan pendapat di antara para
sahabat (ra), namun perbedaan mereka sedikit dan jarang.
Selama periode ini, Al-Qur'an disusun menjadi satu buku dan
salinannya dikirim ke seluruh dunia Muslim, yang telah berkembang
jauh di luar Jazirah Arab. Hādīth Nabi saw masih belum secara resmi
dikodifikasi dan disusun pada saat ini.
ERA TABI’IN
Era ini dimulai setelah masa Khalifah yang Bertindak Benar, sekitar
tahun 41 H dan berlangsung hingga awal abad kedua H, tepat sebelum
jatuhnya Dinasti Umayyah. Peraturan perundang-undangan pada
periode ini sangat mirip dengan pada masa para Sahabat (ra). Artinya,
metodologi para Sahabat (ra) dan murid-muridnya, para Tābiʿūn (r),
dalam memperoleh putusan-putusan hukum sangat mirip. Pertama-
tama mereka akan melihat Al-Qur'an, lalu Sunnah, lalu Ijmāʿ dan
terakhir Qiyās.
Dalam kurun waktu tersebut masyarakat Muslim semakin maju dan
berkembang sehingga menimbulkan banyak persoalan dan kasus yang
belum pernah terjadi sebelumnya yang membutuhkan putusan hukum.
Dengan pertumbuhan dan perluasan tanah Islam, ada kebutuhan bagi
individu untuk pergi ke tempat-tempat baru ini untuk mengajari
orang-orang agama baru mereka.

15
Selama dan setelah masa ʿUthmān (ra) banyak ahli hukum di antara
para Sahabat Nabi saw dikirim ke berbagai belahan dunia Islam
sebagai guru dan hakim. Ada enam pusat utama dunia Islam:
1) Makkah: ʿAbdullāh ibn ʿAbbās (ra)
2) Madinah: ʿAbdullāh ibn ʿUmar (ra), Mujāhid ibn Jabr (r),
ʿAṭā 'ibn Abī Rabāḥ (r), dan Ṭāwūs ibn Kaysān (r).
3) Kufah: ʿAbdullāh ibn Masʿūd (ra), ʿAlqamah al-Nakhaʿī
(r), al-Aswad ibn Yazīd (r) dan Ibrāhīm al-Nakhaʿī (r).
4) Basra: Abū Mūsā al-Ashʿarī (ra), Anas ibn Mālik (ra),
Muḥammad ibn Sīrīn (r).
5) Syam: Muʿādh ibn Jabal (ra), ʿUbādah ibn al-Ṣāmit (ra),
Abū Idrīs al- Khawlānī (r) dan ʿUmar ibn ʿAbd al-ʿAzīz (r).
6) Misr: ʿAbdullāh ibn ʿAmr ibn al-ʿĀṣ.
Perkembangan fikih dan perundang-undangan serta ekspansinya
selama era ini dapat dikaitkan dengan tiga faktor utama:
1) Meluasnya ruang lingkup dan penerapan fikih serta
meningkatnya ketidaksepakatan. Ruang lingkup fikih
berkembang dan tumbuh dengan terjadinya peristiwa, kejadian,
dan keadaan baru dan ini terus berubah tergantung pada waktu
dan tempat. Selain itu Islam telah menyebar ke luar negeri yang
memiliki adat istiadat, tradisi, kemasyarakatan, dan praktek
ekonomi yang unik. Setiap ahli hukum mempertimbangkan
keadaan dan masyarakat tempat mereka tinggal saat
memberikan keputusan selama tidak bertentangan dengan
Syariat. 1) Penyebaran Fuqaha 2) Sulit Menetapkan Ijma '3)
Setiap kota belajar fiqh dari Faqihnya.
2) Penyebaran Narasi Hadis

16
Pada masa Nabi saw dan Khalifah yang Dibimbing dengan Benar,
riwayat aḥādīth dibatasi karena tidak ada kebutuhan yang besar untuk
itu. Ketika para sahabat (ra) menyebar ke seluruh dunia Muslim,
begitu pula narasi aḥādīth. Tidak setiap Sahabat setara dalam hal
aḥādī, beberapa telah menghafal lebih dari yang lain. Beberapa telah
mendengar lebih dari yang lain dan beberapa menceritakan lebih dari
yang lain. Peningkatan narasi hadits memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap fiqh. Narasi lebih sering digunakan untuk mendapatkan
dan menetapkan putusan.
3) Munculnya kaum Tradisionalis dan Rasionalis
Seperti disebutkan sebelumnya, para ahli hukum di antara para
Sahabat (ra) dapat dibagi menjadi dua kategori besar; mereka yang
sangat ragu- ragu dalam melakukan ijtihād mereka sendiri dan
mengungkapkan pendapat pribadi mereka sehingga menggunakannya
dengan hemat dan mereka yang akan melakukan ijtihād mereka
sendiri kapan pun diperlukan. Kelompok pertama khawatir akan
kontradiksi dengan surat Al-Qur'an dan Sunnah sehingga mereka
ragu-ragu untuk melampaui apa yang dikatakan teks tersebut.
Selama periode ini, kedua kecenderungan ini menjadi lebih jelas
dan metodologi mereka mulai menjadi lebih halus. Hal ini
menyebabkan munculnya dua mazhab informal pemikiran hukum atau
metodologi, Rasionalis (Ahl al-Ra'y) dan Tradisionalis (Ahl al-
Hadits). Ada perbedaan di antara mereka mengenai metodologi
sumber dan masalah hukum kasus. Kedua mazhab ini berawal dari
pendekatan para sahabat (ra), namun pada masa inilah perbedaan
mereka dalam masalah fikih menjadi jelas. Perlahan-lahan,
masyarakat mulai mengelompokkan diri atas dasar perbedaan mereka
dalam memperoleh aturan hukum dari sumbernya.

17
Para sejarawan menulis bahwa aliran Tradisionalis adalah
kelanjutan dari para sahabat yang ketakutannya akan kontradiksi
dengan surat Al-Qur'an dan Sunnah membuat mereka berhati-hati
hingga mereka sangat jarang melampaui teks itu sendiri. Misalnya,
ʿAbdullāh ibn ʿUmar (ra) dan ʿAbdullāh ibn ʿAbbās (ra). Sekolah
Tradisionalis tersebar luas di ḥijāz dan khususnya Madīnah. Dapat
dikatakan bahwa Sekolah Tradisionalis berkembang secara organik
dan berkembang menjadi Sekolah Madīnah, yang kemudian
berkembang menjadi Sekolah Imām Mālik. Salah satu alasan mengapa
hal itu tersebar luas di Madinah adalah karena melimpahnya aḥādīth
dan keakraban dengan fatāwā sejumlah Sahabat.
Sarjana terkemuka dari kamp ini adalah al-Imām Saʿīd ibn al-
Musayyab (r) (94). Ada tujuh penerus yang dianggap sebagai tujuh
ahli hukum Madinah yang menjalankan ajaran para sahabat dari
daerah itu: 1) ʿUrwah ibn Zubair
(94) 2) Saʿīd ibn al-Musayyab (94) 3) al-Qasim ibn Muḥammad (94)
4) Abū Bakr ibn ʿAbd al-Raḥmān ibn al-Ḥārith (94) 5) ʿUbaydullāh
ibn ʿAbdillah ibn ʿUtbah ibn Masʿūd (98) 6) Khārijah ibn Zaid (99)
dan 7) Sulaiman ibn Yasār (107). Yasār (107). Mereka dikenal sebagai
Tujuh Ahli Hukum (al- Fuqahāʾa al-Sabʿah). Seperti disebutkan di
atas, metodologi dan pendekatan mereka terus berkembang dan
berpuncak pada Mazhab Imām Mālik (r). Sekolah Rasionalis adalah
perpanjangan dari sekolah ʿUmar dan ʿAbdullāh ibn Masʿūd (ra), yang
paling luas dalam penggunaan ijtihād. ʿAlqamah ibn Qays al-Nakhaʿī
(62) dipengaruhi oleh mereka, paman dan guru dari Ibrahim al-
Nakhaʿī, yang mengajar Ḥammād ibn Abī Sulaymān, yang merupakan
guru dari Imām Abū Ḥanīfah (r). Sekolah rasionalis
mendapatkan popularitas di Irak dan secara organik berkembang

18
menjadi apa yang dikenal sebagai Sekolah Kūfah. Sekolah Kūfah
adalah dasar untuk Sekolah Imām Abū Ḥanīfah (r).
Para ahli hukum di kubu ini merasa bahwa penafsiran hukum tidak
hanya terbatas pada huruf teks tetapi juga ruh. Mereka merasa itu
adalah tanggung jawab mereka untuk mengungkap makna dan
kebijaksanaan yang lebih tinggi di balik hukum dan membuat
hubungan di antara mereka. Alasan mengapa metodologi ini menjadi
populer di Irak adalah karena banyaknya sahabat yang dipengaruhi
oleh ʿUmar (ra).
Kedua sekolah informal ini sepakat tentang pentingnya dan status
aḥādīth dalam kerangka hukum Islam dan menerima bahwa itu adalah
sumber hukum terpenting setelah Al-Qur'an. Pada saat yang sama,
kaum tradisionalis juga setuju dengan kaum rasionalis tentang
perlunya menggunakan nalar dan ijtihād untuk masalah-masalah yang
tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadits.
ERA IMAM MADZHAB
Era ini dimulai pada awal abad kedua H dan berlangsung hingga
sekitar pertengahan abad ke-4 H. Selama periode ini Fiqh sebagai
suatu disiplin mengalami pertumbuhan dan pemurnian yang ekspansif.
Itu berkembang dan berkembang menjadi disiplin independen. Ini
adalah era ahli hukum, para mujtahid besar, yang meletakkan dasar
mazhab pemikiran mereka masing-masing. Setiap aliran pemikiran
pada kenyataannya adalah metodologi yuristik untuk mendekati Al-
Qur'an dan Sunnah dan mengekstraksi aturan darinya. Ini juga
merupakan era ulama besar Hadits. Baik studi fiqh dan ḥadīth
dikodifikasi dan menjadi disiplin yang diajarkan dan dipelajari. Buku
disusun dan ditulis. Karena semua kemajuan di bidang Studi Islam

19
inilah jaman ini dikenal dengan Zaman Keemasan Fiqih, Era
Kodifikasi,
Pertumbuhan dan perkembangan yang ekspansif ini dapat dikaitkan
dengan sejumlah faktor berbeda:
1) Khalifah ʿAbbāsid memberikan banyak perhatian dan
kepentingan untuk fiqh dan fuqahā '.
Para Khalifah ʿAbbāsid menyukai ahli hukum dan sering
berkonsultasi dengan mereka. Misalnya, Khalifah Rasyid telah
meminta Imām Abū Yūsuf (r), murid terkenal dari Imām Abū
Ḥanīfah (r), untuk menetapkan sistem hukum untuk urusan
keuangan negara. Sebagai tanggapan dia menulis bukunya
yang terkenal al-Kharaj. Khalifah Manṣūr mencoba meyakinkan
Imam Mālik RA untuk menjadikan Muwaṭṭa 'buku hukum
resmi untuk Khilafah seperti yang dilakukan Hārūn al-Rashīd
setelahnya. Perhatian dan kepentingan dari tingkat pemerintah
ini memungkinkan para ahli hukum berkembang.
2) Luasnya Negara Muslim
Aturan Muslim membentang dari Spanyol hingga Cina. Ini
menambah banyak kekayaan pada fikih. Setiap daerah
menghadapi keadaan, masalah, kondisi, dan budaya uniknya
sendiri yang berperan dalam perkembangan dan kemajuan Fiqh.
3) Karya para Mujtahid Imam besar; Imām Abū Ḥanīfah,
Imām Mālik, Imām al-Shāfiʿī, dan Imām Aḥmad (r).
4) Kodifikasi Ḥadīth
Pada saat ini sejumlah koleksi paling terkenal dari Hadits telah
disusun dan ditulis. Salah satu karya sebelumnya adalah Muwaṭṭaʾ
dari Imām Mālik (r). Era ini menandai babak baru dalam
pengembangan dan pendokumentasian ḥadīth. Salah satu ciri paling

20
khas dari periode ini adalah untuk memisahkan hadits Nabi saw dari
ucapan Sahabat dan Penerus. Para penyusun Hadits era ini secara
keseluruhan mengamati prinsip-prinsip Uṣul al-Hadits yang telah
mendapatkan pengakuan dan pedoman metodologis yang
dikembangkan. Ini adalah era di mana Studi ke-Hadits berkembang
pesat dan buku-buku tentang berbagai disiplin ilmu ditulis.
Pada paruh kedua abad ini, enam buku Hadits yang paling terkenal
dan terkenal disusun: Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ Muslim, Jāmiʿ al-
Tirmidhī, Sunan Abī Dāwūd, Sunan ibn Mājah, dan Sunan al-Nasāʾī .
Buku-buku ini membentuk enam kitab kanonik dari Hadits yang
dikenal sebagai al-Ṣiḥaḥ al-Sittah (Enam Buku Otentik) atau al-Kutub
al-Sittah (Enam Buku).
Melalui upaya tak kenal lelah dari tokoh-tokoh dari tiga abad
pertama Islam, Sunnah Nabi saw dikumpulkan, dianalisis, diatur,
dikodifikasi, dan dilestarikan untuk generasi mendatang. Banyak dari
karya ini telah diwariskan dari generasi ke generasi dan masih dibaca,
dipelajari, dijelaskan, dan dikomentari di seminari dan universitas di
seluruh dunia.

21
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Persekuensi munurut fiqih jinayyah adalah perbuatan menyakiti
orang lain yang mengenai badanya, tetapi tidak sampai
menghilangkan nyawanya di dalam fiqih jinayah di sebut ( Ja’aim ).
Hukuman bagi pelaku penganiaayan persekusi tersebut adalah
hukuman Qiras dan Dayat atau Denda.
Sabagai sebuah ilmu. maka fiqh mangalami perkembangan dari
masa Rasul SAW hingga sekarang, walaupun sebagian orang kurang
memahami dan terkadang menganggap orang yang berpendapat
damikian disebut dengan pembaharu agama. Namun tidak dapat
dibantah, bahwa fiqh tetap berkembang sesua/ dengan kebutuhan
manusia pada zamannya. Ini sesuai dengan fitrah islam sendiri yang
memiliki konsep islam menjadi rahmat sekakian alam. Jika fiqh tidak
berkembang, maka akan ditinggalkan orang. Perjalanannya dari masa
Rasul SAW sampai sekarang mangalami pasang-surut, dimana hal ini
sangat dipengaruhi kondisi social masyarakatsaat tersebut, sehingga
para Faqih dalam mengeluarkan hukum fiqhnya senantiasa
dipengaruhi sejumlah faktor sosial, kultur budaya dan ekonomi
masyarakat setempat. Oleh karena itu perkembangan ilmu fiqh itu
mutlak tarjadi karena perkembangan manusia tidak pernah yang
berpendapat demikian disebut dengan pembeharu agama. Namun
tidek dapat dibantah, bahwa fiqh tetap berkembang sesuai dengan
kebutuhan menusia pada zamannya. ini sesuai dengan fitrah Islam
sendiri, yang memiliki konsep Islam menjadi rahmat sekalian alam.
Jika fiqh tidak berkembang, maka akan ditinggalkan orang.

22
Perjalananya dari masa Rasul SAW sampai sekarang mengalami
pasang-surut, dimana hal ini sengat dipengeruhi kondisi sosial
masyarakat saat tersebut, sehingga para Faqih dalam mengeluarkan
hukum fiqihnye senantiasa dipengaruhi sejumlah faktor sosial kultur
budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Oleh karena itu
perkembangan ilmu fiqh itu mutlak terjadi karena perkembengen
manusia tidak pernah berhenti. ini bearti bahwa selama kehidupan
manusia ada, maka selama itu pula fiqh akan terus berkembang hingga
akhir kehidupen manusia di dunia.
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan
dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah
tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggung jawabkan. Saran kami dalam makalah ini adalah untuk
menambah wawasan bagi para pembaca agar kita sebagai bang
Indonesia mampu menjunjung tinggi dan mengamalkan setiap sila –
sila pancasila.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hasan, Konsep Ijma’ Dalam Islam, terj. Rahmani Astuti, Pustaka,
Bandung, 1985.
——, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, terj. Agah Garnadi, Pustaka, Bandung,
Cet.II, 1994.
Al-Alwani, Taha Jabir, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, terj. Yusdaini,
UII-Press, Yogyakarta, 2001.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali
Press, Jakarta, 2004.
A. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqih Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1995.
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, Rajawali,
Jakarta, Cet.I, 1996.
Azizy, A. Qodri, Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar menuju Ijtihad sesuai
Santik-Modern, Terjau-Mizan, Bandung, 2003.
Azhar, Muhammad, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neo-Modernisme
Islam,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Al-Bayuni, Memahami Hakikat Hukum Islam Studi Masalah Kontroversial, terj.
Ali Mustofa Ya’kub, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997.
Al-Qardhawy, Yusuf, Konsep dan Praktek Fatwa Kontemporer antara Prinsip
dan Penyimpangannya, terj. Setiawan B. Utomo, Pustaka al-Kautsar, 1996.

24

Anda mungkin juga menyukai