Anda di halaman 1dari 14

HADITS TENTANG HIBAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits Hukum
Keluarga

DOSEN PENGAMPU :
DEFEL FAKHYADI, M.A., Hk

Oleh :

Kelompok 12

1. Dewi Yanti
2. Riswan Efendi

PROGRAM STUDI HUKUM HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

MANDAILING NATAL

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
berkat hidayah dan taufiq-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami
dengan tepat waktu. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kesehatan dan
kesempatan kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya

Sholawat dan salam ke Ruh junjungan nabi Besar muhammad SAW yang
telah membawa risalah islam ke tengah-tengah ummatnya, guna mengeluarkan
ummatnya dari alam kebodohan menuju alam yang berilmu pengetahuan yang
disertai iman dan islam sebagaiman yang kita rasakan saat sekarang ini.

Akhirnya hanya kepada Allahlah kami berserah diri dan memohon ampun
atas kesalahan yang diperbuat, mudah-mudahan makalah ini dapat berguna bagi
penulis khususnya, pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Panyabungan, Maret 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................i

DAFTAR ISI ..................................................................................................ii

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................1


B. Rumusan Masalah ............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hibah .............................................................................3


B. Hadis-hadis tentang Hibah dan Ketentuannya.................................4
C. Ketentuan tentang Hibah..................................................................8
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis dan sunnah adalah dua kata yang oleh sebagian ulama dibedakan
maknanya namun sebagian yang lain menyamakannya. Arti umum dari kata
tersebut adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik
perkataan, perbuatan, maupun taqri>r atau persetujuan.1 Ditambahkan oleh
Muhammad Mustafa Azami, kesemuanya itu baik dilakukan sebelum atau
sesudah kenabian.2 Tradisi penulisan hadis pada zaman Nabi Muhammad SAW
sebenarnya sudah ada, tetapi jumlah sahabat yang menulis sangat terbatas. Pada
era ini periwayatan hadis diajarkan secara lisan karena sesuai dengan kondisi umat
saat itu yang memang memiliki daya ingat yang kuat.3
Al-Qur’an menekankan bahwa Rasulullah SAW berfungsi menjelaskan
maksud firman Allah SWT yang tercantum dalam Al-Qur’an.4 Dalam kaitan ini,
Zainal Arifin menegaskan bahwa hadis merupakan sumber ajaran kedua setelah
Al-Qur`an yang menjadi bagian penting pembinaan Hukum Islam. Hadis memiliki
fungsi untuk memperjelas apa saja yang terkandung dalam Al-Qur’an yang masih
global.5 Berkaitan dengan judul makalah ini, masalah hibah disebutkan dalam
berbagai ayat dalam Al-Qur`an dan Hadis-Hadis Nabi Muhammad dengan
berbagai kualitas periwayatan. Dari berbagai keterangan hadis Nabi, hibah telah
menjadi tradisi masyarakat Arab sejak Zaman Jahiliyah. Hal ini dikuatkan adanya
riwayat yang menceritakan Numan dan ayahnya yang menghadap nabi untuk

1
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushu>l al-Fiqh, Cet. XII (Beirut: Da>r al-Qalam, 1978).
2
Muhammad. Musttafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali
Mustafa Ya`kub, Cet. II (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).
3
M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet.I (Jakarta: Bulan Bintang, 1988).

4
Muhammad Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Cet. I (Bandung: Mizan, 2007).
5
Kasman, Hadis dalam Pandangan Muhammadiyah, Cet. I (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2012), XV.

1
meminta nasihat perihal niat hibah yang hendak dilakukan oleh ayah Numan.
Hadis tentang hibah ini akan penulis cantumkan pada bab berikutnya.
Pada tataran praktis, para ulama sering menyandingkan pembahasan
masalah hibah dengan sedekah, hadiah,`umra>, dan ruqba>. Allah SWT
berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2) 177:
َّ ‫ب َوَأقَا َم ال‬
‫صاَل ةَ َوآتَى‬ ِ ‫َوآتَى ْال َما َل َعلَ ٰى ُحبِّ ِه َذ ِوي ْالقُرْ بَ ٰى َو ْاليَتَا َم ٰى َو ْال َم َسا ِكينَ َوا ْبنَ ال َّسبِي ِل َوالسَّاِئلِينَ َوفِي ال ِّرقَا‬
‫ۖ ال َّز َكاةَ َو ْال ُموفُونَ بِ َع ْه ِد ِه ْم ِإ َذا عَاهَدُوا‬
Artinya:
“....Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta...”.
Dalam Islam, sebagaimana sedikit disinggung di atas, hibah hanya
sebatas akad muamalah antar perorangan. Dalam sebuah hadis, yang nanti
pada bab berikutnya akan dicantumkan sebagai pokok bahasan, hibah dapat
terjadi antara orang tua terhadap anak atau dapat juga terjadi antar individu
yang bukan keluarga.

Dalam hukum tata negara kita juga dikenal dana hibah. Belakangan ini
masalah dana hibah menjadi sangat populer karena pada kenyataannya telah
menyeret banyak pejabat negara dan pengurus organisasi ke masalah hukum.
Fenomena ini sangat menarik untuk dijadikan pokok bahasan dalam makalah
ini agar menemukan pemahaman yang benar dan komprehensif tentang hibah
baik dalam pandangan Islam maupun peraturan kenegaraan yang berkaitan
dengan dana hibah. Pada tataran selanjutnya dapat dijadikan pedoman dalam
penerapan dana hibah baik secara tata aturan Islam dan kenegaraan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hadits tentang hibah?
2. Bagaimana hadis tentang ketentuan orang berhibah?

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Pengertian Hibah
Pada mulanya kata hibah itu diambil dari kata “hubuuburr riih” artinya
“nuruuruhaa” yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut
dipakai kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa
harta atau selainnya. Di dalam syariat islam, hibah berarti akad yang pokoknya
adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih
hidup tanpa imbalan apapun. Secara umum hibah mempunyai pengertian hal-hal
yang meliputi :
1. Ibraa, yakni menghibahkan utang kepada yang berhutang;
2. Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan
pahala di akhirat;
3. Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk
memberi imbalan.

Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak “pemberian” baik berupa


harta benda maupun yang lainnya. Menurut istilah syara’ ialah:

1. Menurut Mazhab Hanafi adalah memberikan suatu benda dengan


tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana
dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki
yang akan diberikan itu adalah sah milik si pemberi.
2. Menurut Mazhab Maliki, adalah memberikan suatu zat materi
tanpa mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang
yang diberinya tanpa mengharap imbalan dari Allah. Hibah
menurut Maliki ini sama dengan hadiah. Dan apabila pemberian itu
semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala
maka ini dinamakan sedekah.6
3. Menurut Madzhab Hambali, adalah memberikan hak memiliki
sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu
6
Al-Rajahi, Abdul Aziz Ibn Abdillah, Al-Afham Fi Syarh al-Bulugh al-Maram Min
Adillah al-Ahkam, Cet. I, Riyadh: Dar al-ashimah, 1425, Jilid II.

3
harta baik yang dapat diketahui atau, karena susah untuk
mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk diserahkan.
Pemberian yang mana tidak bersifat wajib, dan dilakukan pada
waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada imbalan.
Menurut Madzhab Syafii, hibah mengandung dua pengertian:
1. Pengertian khusus, yaitu pemberian hanya sifatnya sunnah yang
dilakukan dengan ijab qabul pada waktu si pemberi masih hidup.
Pemberian yang mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau
memuliakan seseorang dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan
pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang yang
diberikannya.
2. Pengertian umum, yaitu hibah dalam arti umum mencakup hadiah
dan sedekah.
B. Hadis-Hadis Tentang Hibah Dan Ketentuannya
Untuk menyederhanakan pembahasan, akan penyusun nukilkan
dua hadis yang menjadi dasar hukum hibah, yakni:
1. Hadis yang memerintahkan adil dalam memberikan hibah atau
`athiyyah terhadap anak-anak kandung.
‫حد ثنا عبد هللا بن يوسف اخبرنا مالك بن شها ب عن محمد بن عبد الرحما ن ومحمد بن النعمان بن‬
‫بشىر انهما حد ثه عن النمان بن بشىر ان اباه اتي به الى رسو ل هللا صلى هللا عليه وسلم فقل انى‬
‫نحلت ابنى هد ا غال م فقل اكل ولدك نحلت مثله قال ال فا رجعه‬

2. Hadis tentang larangan menarik kembali hibah atau pemberian.

ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬ ِ ‫ب َر‬ ِ ‫ْت ُع َم َر ْبنَ ْالخَطَّا‬ ُ ‫ك ع َْن زَ ْي ِد ْب ِن َأ ْسلَ َم ع َْن َأبِي ِه َس ِمع‬ ٌ ِ‫َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ قَ َز َعةَ َح َّدثَنَا َمال‬
ُ‫ت َأنَّهُ بَاِئ ُعه‬ ُ ‫ت َأ ْن َأ ْشت َِريَهُ ِم ْنهُ َوظَنَ ْن‬
ُ ‫ضا َعهُ الَّ ِذي َكانَ ِع ْن َدهُ فََأ َر ْد‬
َ ‫س فِي َسبِي ِل هَّللا ِ فََأ‬ ٍ ‫ت َعلَى فَ َر‬ ُ ‫يَقُو ُل َح َم ْل‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل اَل تَ ْشت َِر ِه َوِإ ْن َأ ْعطَا َكهُ بِ ِدرْ ه ٍَم َوا ِح ٍد فَِإ َّن ْال َعاِئ َد‬
َ ‫ي‬ َّ ِ‫ك النَّب‬
َ ِ‫ت ع َْن َذل‬ ُ ‫ص فَ َسَأ ْل‬ٍ ‫بِر ُْخ‬
‫ب يَعُو ُد فِي قَ ْيِئ ِه‬ ِ ‫ص َدقَتِ ِه َك ْال َك ْل‬
َ ‫فِي‬

Penjelasan makna mufradat hadis


Pada hadis-hadis yang telah dicantumkan di atas ada kalimat atau kata
yang perlu untuk dijelaskan sebagai kunci untuk memahami makna yang

4
terkandung dalam hadis-hadis tersebut. Pada hadis tersebut yang merupakan
mufradat atau kata kunci adalah kalimat ‫ نحل‬yang dalam matan tersebut berbunyi
‫نحلت‬. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut berarti
“menguruskan”. Sedangkan hibah memiliki makna memberi sesuatu kepada
seseorang saat hidupnya dengan tidak mengharapkan imbalan apapun. Sedang
barang yang dihibahkan adalah barang yang syah untuk diperjualbelikan.
Kalimat ‫ غال م‬memiliki makna yang artinya budak baik masih kecil
ataupun sudah besar. Kalimat ‫ عبد‬dalam terminologi fiqih memiliki arti budak,
hamba sahaya atau seseorang yang kehilangan kemerdekaannya yang disebabkan
menjadi milik tuannya. Tradisi ini berlangsung sejak Jahiliyah, dan ketika Islam
datang dihapus secara bertahap.
Terjemahan matan hadis
Terjemah kedua matan hadis adalah sebagai berikut:
a. “Dari Nu`man Ibn Basyir Radhiyallahu `Anhu: bahwa ayahnya
menghadap Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersama dia, lalu
berkata:”Saya berikan seorang budak kepada anakku ini”. Maka
Rasulullah bersabda: “Apakah semua anakmu kau beri seperti ini?” ia
menjawab: “tidak”. Rasulullah bersabda: “Ambillah ia kembali”.
b. ‘’Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Qaza'ah telah
menceritakan kepada kami Malik dari Zaid bin Aslam dari bapaknya
aku mendengar 'Umar bin Al Khaththob radliallahu 'anhu berkata:
"Aku memberi (seseorang) kuda yang untuk tujuan digunakan
berperang di jalan Allah lalu orang itu tidak memanfaatkan
sebagaimana mestinya. Kemudian aku berniat membelinya kembali
darinya karena aku menganggap membelinya lagi adalah suatu hal
yang (diringankan) dibolehkan. Lalu aku tanyakan hal ini kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, maka Beliau bersabda: "Jangan kamu
membelinya sekalipun orang itu menjualnya dengan harga satu
dirham, karena orang yang mengambil kembali shadaqahnya seperti
anjing yang menjilat kembali ludahnya"”.

5
Makna hadis secara umum ( ijmali)
1. Hadis yang pertama yang bersumber dari al-Numan dan ayahnya
memiliki makna bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk
berbuat adil terhadap anak-anaknya. Dalam beberapa kitab hadis,
hadis ini diklasifikasikan ke dalam bab khusus al-Adl baina al-
Auld fî al-Athiyyah yakni berbuat adil terhadap anak dalam
memberikan sesuatu. Mafhum mukha>lafah dari makna ini adalah
orang tua dilarang membeda-bedakan antara anak yang satu
dengan anak yang lain.
2. Makna hadis yang kedua yang bersumber dari Umar bin Khattab
memiliki arti bahwa seseorang dituntut ikhlas dalam beramal
termasuk dalam memberikan hadiah, sedekah, infak, maupun
hibah. Implementasi makna ikhlas dibuktikan dengan tidak
menarik kembali harta atau barang yang telah diberikan kepada
orang lain. Menarik kembali harta yang telah disedekahkan atau
dihibahkan digambarkan seperti anjing yang menjilat lagi
muntahannya bahkan lebih kotor dan hina.7
Latar belakang turunya hadis (asbab al-wurud)
Sebab musabab turunnya hadis nomer satu,yan diriwayatkan dari al-
Nu’man Ibn Basyir dan ayahnya tergambar dengan jelas dengan alur cerita yang
dapat dipahami pada matan hadis tersebut.Diskusi antara Nabi dengan ayah
Nu’man tejadi ketika Nu’man diajak ayahnya menghadap nabi untuk meminta
nasihat berkaitan dengan niat ayah Nu’man yang hendak memberikan seorang
budak sahaya kepada Nu’man . Nabi Muhammad melarang ayah Nu’man
memberikan budak kepada Nu’man .Larangan Nabi yang demikian atas dasar
bahwa ayah Nu’man tidak memberikan budak atau hamba sahaya juga kepada
anak-anak yang lain. Hal ini diketahui oleh Nabi ketika Nabi bertanya kepada
ayah Nu’man mendengar jawaban ayah Nu’man.Nabi langsung mengambil
kesimpulan bahwa kebijakan ayah Nu’man ini menurut Rasuluallah dianggap
7
Shihab, Muhammad Quraisy, Membumikan Al-Qur ‘an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. I, Bandung: Mizan, 2007. Hal. 150

6
tidak adil terhadap anak-anaknya.Perbuatan adil adalah perintah agama islam
termasuk adil dalam kehidupan keluarga.

Keterangan hadis (syarh )


1. Hadis nomor satu (1) memiliki makna tentang perintah berbuat adil dan
seimbang yang wajib dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya dalam
memberikan sesuatu. Dalam mengomentari hadis ini ,Syaikh Abdul Aziz Ibn
‘Abdillah al- Rajahi dalam karya mengomenmtari sebagai berikut;
“Hadis ini adalah dalil yang memerintahkan berbuat adil dalam
memberikan sesuatu kepada anak-anak. Para ulama berbeda pendapat
dalam teknis keadilan di antara mereka; sebagian berpendapat bahwa wajib
adil terhadap anak laki-laki maupun perempuan. Pendapat ini mengacu pada
hadis “berbuat adillah terhadap anak-anakmu”, dan juga makna lahir dari
sebagian hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Nasai dalam kitab musnad-
nya (6/241); “Apakah kamu telah menyamakan di antara mereka?”, dan juga
hadis yang diriwayatkan Ibnu Hibban “Samakan di antara mereka”. Akan
tetapi sebagian ulama yang lain memiliki pandangan yang berbeda, yakni
memberikan secara proporsional antara laki-laki dan perempuan dengan
mengacu 2:1 sebagaimana dalam pembagian warisan. Dalam masalah ini
jumhur ulama berpendapat bahwa berbuat adil bukanlah kewajiban tetapi
sebatas anjuran. Akan tetapi yang kuat argumen dalam masalah ini adalah
wajib berbuat adil di antara anak-anak. Hadis ini secara tegas menyuruh
berbuat adil terhadap mereka.”.
Dapat disimpulkan dari keterangan atau syarah hadis yang telah
dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz di atas bahwa berbuat adil dan seimbang
dalam pemberian atau hibah terhadap anak-anak adalah sebuah kewajiban
agama yang harus ditunaikan oleh setiap orang tua. Perbedaan terjadi pada
tataran praktis; apakah seimbang di sini diartikan sama nilainya untuk anak
laki-laki dan perempuan, atau adil seimbang secara proporsional dengan
berbanding 2:1 sebagaimana aturan yang telah digariskan oleh Islam dalam
pembagian warisan.

7
Penafsiran dua ulama hadis terkemuka ini cukup representatif untuk
dijadikan pedoman dalam menerapkan ajaran hibah dalam Islam. asas
persamaan dan keadilan mutlak dilakukan oleh orang tua terhadap anak-
anaknya dalam pemberian hibah atau athiyah. Hadis yang dicantumkan dalam
makalah ini merupakan dalil yang kuat untuk dijadikan dasar melakukan
ajaran hibah ini. teknis rasa keadilan yang telah dipaparkan para ulama
termasuk kedua ulama hadis di atas adalah pilihan yang menurut penulis
sama-sama memiliki dasar yang kuat dalam Hukum Islam. Menyikapi dua
pendapat ini, penulis lebih memilih untuk menguatkan pendapat yang
menyatakan bahwa adil adalah memberikan sesuatu dengan nilai sama kepada
anak-anak baik laki-laki maupun perempuan. Status hibah tidak sama dengan
harta warisan, menganalogikan (qiya>s) antara hibah dengan warisan kurang
tepat dalam masalah ini walaupun sama-sama harta benda. Berpegang pada
makna umum lahir hadis di atas lebih kuat ketimbang qiya>s.
2. Hadis nomor dua (2) pada bab sebelumnya memiliki makna barang atau harta
yang telah dihibahkan oleh seseorang tidak diperbolehkan ditarik kembali.
Akan tetapi hadis ini tidak berlaku mutlak untuk penarikan kembali oleh
orang tua atas anaknya, berdasarkan hadis nomor satu di atas dan juga hadis-
hadis lain yang semakna dengannya.
C. Ketentuan-Ketentuan Tentang Hibah
Para ulama sepakat bahwa akan terwujud apabila terpenuhi beberapa hal
yakni ada yang memberi (al-wahib),ada yang diberi(al-mauhub lahu),ada ijab
kabul,dan ada barang yang dihibahkan.8

1. Pemberi (al-wa>hib) syaratnya adalah berhak mengedarkan harta miliknya


dan memiliki harta yang akan diberikan dengan kata lain memiliki hak
penuh atas hartanya. Dengan batasan ini berarti orang gila, anak kecil dan
orang yang boros tidak syah memberikan hibah kepada orang lain. Adapun
8
Sulaiman Rasyid, Fiqih, 327. Untuk perbandingan silahkan Ibnu Rusydi, Bidãyah al-
Mujtahid, Jilid II, 245, lihat juga kitab bermazhab Syafi`iyyah di antaranya Syaikh Muhammad
Amin Qurdî al-Irbilî al-Syãfi`Î,Tanwîr al-Qulûb Fî Mu`malah `Allãm al-Ghuyûb, (Semarang:
Thaha Putera, tt), 274. Dalam kitab kitab yang terakhir disebut, hibah dibahas secara ringkas
sekedar untuk pedoman.

8
berkaitan dengan orang yang sedang sakit dan bangkrut para ulama
berselisih paham dalam masalah ini. Dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) di Indonesia, ketentuan tentang pemberi hibah yang sedang sakit
mendekati kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
a. Ada yang diberi (al-mauhu>b lahu).
Syarat rukun kedua ini adalah berhak memiliki. Tidak syah
memberikan hibah kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya
dan pada binatang, karena keduanya tidak dapat memiliki.
b. Ada ijab dan kabul.
Ijab dan kabul ini sangat penting dalam setiap akad muamalah. Namun
dikecualikan untuk hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan tidak
melalui akad, seperti misalnya seorang istri menghibahkan gilirannya
kepada madunya.
c. Ada barang yang diberikan (hibbah)..
Syarat dari barang ini adalah barang yang syah untuk diperjualbelikan.
Beberapa hal yang telah diuraikan di atas adalah hasil ijtihad ulama dari masa ke
masa, yang pasti ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hibah ada yang
disepakati ada juga yang tidak disepakati.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan materi hibah pada bab sebelumnya dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:

9
1. Hadis pertama secara eksplisit memerintahkan kepada orang tua untuk
berbuat adil terhadap anak-anaknya dalam hal pemberian. Dalam memahami
hadis ini mayoritas ulama memahami sebagai perintah berbuat adil sebagai
anjuran bukan kewajiban, sementara sebagian ulama yang lain memahami
sebagai kewajiban . menurut hemat penulis, yang ra>jih dalam masalah ini
adalah pendapat yang mewajibkan, hal ini mengacu pada makna dhahir hadis
tersebut. Riwayat hadis tentang kewajiban berbuat adil terhadap anak-anak ini
jumlahnya sangat banyak dan saling menguatkan antara satu dengan yang
lain. Para ulama juga berbeda dalam memaknai adil. Secara teknis ada yang
memahami menyamakan nilainya antara anak laki-laki dan perempuan,
namun sebagian yang lain memaknai secara proporsional 2:1 sebagaimana
dalam pembagian waris.
2. Hadis kedua dalam bab di atas secara eksplisit melarang menarik kembali
barang yang telah dihibahkan kepada orang lain. Secara analogi, menarik
kembali hibah sama dengan anjing menjilat muntahannya. Secara umum para
ulama berpendapat sama dalam hal ini, mereka hanya berbeda dalam status
apakah haram ataukah makruh. Ketentuan ini tidak berlaku pada orang tua
terhadap anaknya, mengingat pada hadis yang pertama di atas dan semakna
dengan hadis tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddîn Abi Bakar Ibn Muhammad al-Hushnî al-


Dimsyaqi al-Syafi. Kifayah al-Akhyar Fi Jalli Ghayah al-Ikhtish>r,
Semarang: Thaha Putera, tt, Jilid I.

10
Al-Irbili, Syaikh Muhammad Amin Qurdi al-Syafil, Tanwir al-Qulub FiMumalah
Allam al-Ghuyub, Semarang: Thaha Putera.
Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, Cet. XIV, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Al-Nawawi, al- Ima>m Abi> Zakariyya> Yahya> Bin Syaraf, al-Dimsyaqi>,
Riyadh al-Shalihin,
Cet. I Jeddah:Jami manshur As-Shabi, 2002.
Al-Rajahi, Abdul Aziz Ibn Abdillah, Al-Afham Fi Syarh al-Bulugh al-Maram Min
Adillah al-Ahkam, Cet. I, Riyadh: Dar al-ashimah, 1425, Jilid II.
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah-Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet.I, Jakarta: Bulan Bintang,
1988.
Mujib, M. Abdul, et al, Kamus Istilah Fiqih, Cet. IV, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2010.
Shihab, Muhammad Quraisy, Membumikan Al-Qur ‘an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. I, Bandung: Mizan, 2007

11

Anda mungkin juga menyukai