HARTA HARAM
Salah satu definisi harta haram, disebutkan oleh Syaikh Dr. Khalid al-Mushlih,
ْ
تحصلت أو اجتمعت من طريق ممنوع شرعًا هي األموال التي:المكاسب المحرمة
“Harta haram adalah semua harta yang didapatkan atau dikumpulkan dengan cara
yang melanggar syariat.” (at-Taubah minal Makasib al-Muharramah, Paper untuk
Jurnal Kementrian Keadilan, Arab Saudi)
Kita memahami hidup ini tidak ada yang sia-sia, karena semua akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُبَهT ِه ِم ْن َأ ْينَ ا ْكت ََسT ِل َوع َْن َمالTَ Tالَ تَ ُزو ُل قَ َد َما َع ْب ٍد يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َحتَّى يُ ْسَأ َل ع َْن ُع ْم ِر ِه فِي َما َأ ْفنَاهُ َوع َْن ِع ْل ِم ِه فِي َما فَ َع
َُوفِي َما َأ ْنفَقَهُ َوع َْن ِج ْس ِم ِه فِي َما َأ ْبالَه
“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia
ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah
ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana dia infakkan dan
(5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR.Tirmidzi 2417 dan
dishahihkan al-Albani).1
1
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Cet. II; Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017. Hal.
92
Apa yang kita miliki akan dihisab oleh Allah, dari mana didapatkan dan
untuk apa digunakan. Anda tidak boleh merasa aman -yang penting rizki di tangan
saya halal- tapi anda juga harus memikirkan bagaimana cara penggunaannya yang
benar.
َأ ِم ْن َحالَ ٍل َأ ْم ِم ْن َح َر ٍام، ان الَ يُبَالِى ْال َمرْ ُء بِ َما َأ َخ َذ ْال َما َل ْأ
ِ َّلَيَ تِيَ َّن َعلَى الن
ٌ اس زَ َم
“Sungguh akan datang satu zaman di tengah manusia, seseorang tidak lagi
peduli dengan harta yang dia ambil, apakah dari harta halal ataukah dari harta
haram.” (HR. Ahmad 9870 & Bukhari 2083).
Mengenal keburukan tentu bukan untuk diamalkan, namun agar kita bisa
lebih mudah menghindarinya. Orang bisa saja terjebak dalam keburukan ketika
dia tidak mengenalnya. Pepatah arab mengatakan,
ومن ال يعرف الشر من الخير يقع فيه، عرفت الشر ال للشر لكن لتوقيه
Bekerja mencari yang halal, merupakan hal yang terpuji dalam Islam.
Allah memerintahkan manusia agar bekerja dan berusaha untuk mencari yang
halal. Allah berfirman,
ي هللا دَا ُو َد – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ يَأ ُك ُل َّ َو، أن يَأ ُك َل ِم ْن َع َم ِل يَ ِده
َّ إن نَب ُّ ََما أ َك َل َأ َح ٌد طَ َعاما ً ق
ْ ط خَ يْراً ِم ْن
ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه
خَ ْي ٌر لَهُ ِم ْن َأ ْن يَ ْسَأ َل، ُف هَّللا ُ بِهَا َوجْ هَه ِ ََأل ْن يَْأ ُخ َذ َأ َح ُد ُك ْم َح ْبلَهُ فَيَْأتِ َى بِح ُْز َم ِة ْال َحط
َّ ب َعلَى ظَه ِْر ِه فَيَبِي َعهَا فَيَ ُك
ُاس َأ ْعطَوْ هُ َأوْ َمنَعُوه َ َّالن
Mencari harta halal dengan cara yang halal merupakan sifat mulia yang
telah dicerminkan oleh orang masa silam. Mereka, para ulama di masa silam, juga
saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam masalah makanan, minuman, dan
mata pencaharian.
Dari Abi Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
َو ِعفَّةٌ فِى طُعْمة، َو ُحسْنُ خَ لِيقَ ٍة،ث ِ َو، ِح ْفظُ َأ َمانَ ٍة:ك ِمنَ ال ُّد ْنيَا
ُ ص ْد
ٍ ق َح ِدي َ فَالَ َعلَ ْي،ََأرْ بَ ٌع ِإ َذا ُك َّن فِيك
َ َك َما فَات
“Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan
dunia yang luput darimu tidak akan membahayakanmu: menjaga amanah, berkata
benar, akhlak baik, dan menjaga urusan makanan.” (HR. Ahmad 6652).
Suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu makanan dan Abu Bakar
as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memakannya. Lalu hamba sahaya itu berkata,
“Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?”
Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar
(dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya.
Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku.
Makanan yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut.”
Mendengar hal itu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu langsung memasukkan
jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan semua makanan yang baru
beliau makan.
Suatu ketika Umar radhiyallahu ‘anhu diberi minum susu dan beliau
radhiyallahu ‘anhu begitu senang. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu bertanya
kepada orang yang memberinya minum, “Dari manakah engkau mendapatkan
susu ini?” Orang itu menjawab,”Saya berjalan melewati seekor onta sedekah,
sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu saya mengambil
air susunya.”. Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar radhiyallahu
‘anhu memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru
diminumnya.
ان اَل يُبَالِي ْال َمرْ ُء بِ َما َأ َخ َذ ْال َما َل َأ ِم ْن َحاَل ٍل َأ ْم ِم ْن َح َر ٍام ْأ
ِ َّلَيَ تِيَ َّن َعلَى الن
ٌ اس زَ َم
“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak
peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang
haram.” (HR. Bukhari 2083).
Rajin Ibadah, Tapi Meremehkan Masalah Kehalalan Harta
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah ta’ala baik dan Dia tidak akan
menerima kecuali yang baik…
Karena itulah, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak
diterima. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Allah tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudhu (bersuci), dan tidak
akan menerima sedekah dengan harta ghulul (khianat).” (HR. Muslim 557)
ُق ِم ْنهُ لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ فِي ِه َأجْ ٌر َو َكانَ ِإصْ ُره َ َ َو َم ْن َج َم َع َمااًل َح َرا ًما ثُ َّم ت،ك
َ ص َّد َ َِإ َذا َأ َّديْتَ َز َكاةَ َمالِكَ فَقَ ْد ق
َ ضيْتَ َما َعلَ ْي
َعلَ ْي ِه
“Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu, maka engkau telah
melaksanakan kewajiban. Barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang
haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan
memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya.” (HR. Ibn Hibban 3367 dan
dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Orang yang bertaqwa, memiliki sifat taqwa, wara’ (menahan dari yang
haram), ‘iffah (menjaga kehormatan). Sehingga dia akan selalu memikirkan
kondisinya ketika di akhirat. Dia sadar untuk lebih memilih kenikmatan di akhirat,
meskipun harus melepaskan sebagian kenikmatan dunia.
“Katakanlah! Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.”
(QS. an-Nisa’: 7).
Barang siapa yang mendapatkan harta dari cara yang haram, seperti zina,
suap atau upah penyanyi, kemudian ia bertaubat, jika dia sudah membelanjakan
hartanya maka tidak ada masalah. Namun jika harta tersebut masih berada di
tangannya, maka ia wajib melepaskannya dengan cara menginfakkannya untuk
jalan kebaikan, memberikannya kepada fakir dan miskin. Kecuali jika dia masih
membutuhkannya, maka ia boleh mengambilnya sesuai kebutuhannya dan
melepaskan sisanya.
Syeikh Islam berkata: “Jika seorang wanita bertaubat dari perbuatan zina
dan seorang laki-laki dari minum khamr, sedangkan mereka dalam kondisi fakir,
maka mereka dibolehkan mengambil dari harta tersebut sesuai dengan
kebutuhannya.
Atas dasar itulah maka: Maka dibolehkan bagi laki-laki tersebut untuk
mengambil dari harta haramnya sesuai dengan kebutuhannya, untuk keperluan
operasi atau untuk belanja harian. Atau mengambil sebagian untuk dijadikan
modal usaha sebagai bekal hidupnya. Kemudian mensedekahkan harta pokok
yang ia pinjam, kapan saja setelah dia mampu. Atau sejak awal dia berakad untuk
meminjam harta tersebut, dan berniat untuk mengembalikannya jika sudah
mampu nantinya. Tidak masalah jika gedung dan laundrynya dijadikan sebagai
harta pokok untuk usaha dengan mengambil sebagian harta yang ia butuhkan dan
membebaskan diri dari sisanya.
2
Cahyani, Andi Intan. Fiqhi Muamalah. Cet. I; Makassar: Alauddin University Press,
2013. Hal. 83
di dalamnya) hingga berlebihan, menyibukkan dalam amalan yang kurang afdal,
padahal ada amalan yang lebih afdal.
Kedua, kurang semangat dalam beramal saleh. Tafsir Ibnu Katsir ketika
menafsirkan surat Al-Mu’minun ayat 51, “Hai rasul-rasul, makanlah dari
makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Menjelaskan
bahwa makan yang thayyib di sini adalah makanan yang halal dan Allah Swt pada
ayat ini memerintahkan para rasul untuk memakan makanan yang halal dan
beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal
akan memberikan dampak positif, yaitu semangat dalam melakukan amal saleh.
Ketiga, memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi. Ibnu
Katsir menjelaskan ketika menafsirkan surat An-Nisaa’ ayat 160-161 yang
membicarakan kebiasaan orang Yahudi dalam praktek riba, “Maka disebabkan
kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba,
Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”3
Ibnu Katsir mengatakan, Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi,
namun mereka menerjangnya dan terus melakukan riba tersebut, bahkan mereka
melakukan pengelabuan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal.
Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan
supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan
inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi saw: Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi
hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal,
3
https://mediadakwah.id/dampak-harta-haram-dalam-kehidupan/ diakses pada 25
februari 2023
sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?”
Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR Bukhari).
Keempat, daging yang tumbuh dari harta haram tempatnya api neraka.
Seorang sahabat dinasihati oleh Nabi saw Ka’ab bin ‘Ujroh dengan sebuah sabda
beliau, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh
berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.”
(HR. Tirmidzi)
Kelima, doa tidak dikabulkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik
(thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah
memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada
para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan
yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah
Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang
baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172).
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan
kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’
Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia
dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR.
Muslim, no. 1015).4
Ibnu Rajab Alhambali dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam ketika
mensyarah hadist di atas, menjelaskan beberapa kondisi terkabulnya doa dengan
cepat, yaitu keadaan dalam perjalanan jauh (safar), meminta dalam keadaan
sangat butuh (genting), menengadahkan tangan ke langit, memanggil Allah
dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan
menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai
4
https://pengusahamuslim.com/7211-mengenal-harta-haram-bagian-01.html diakses pada
25 februari 2023
Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai
Rabb yang mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.
Ketika orang sudah memenuhi kondisi di atas, semetara dia memakan dan
memiliki harta yang haram, maka doanya tidak akan dikabulkan oleh Allah Swt.
Di samping itu, karena doa adalah inti dari ibadah shalat, maka bila doa tertolak
dikhawatirkan shalat pemakan harta haram juga tertolak. Hal ini didukung oleh
ungkapan sahabat Ibnu Abbas r.a, “Allah Swt tidak menerima shalat seseorang
yang di dalam perutnya ada makan yang haram.”
Keenam, harta haram akan menenempatkan kaum muslimin dalam
kemunduran dan kehinanaan. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, Rasulullah saw
bersabda, “Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba),
mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan
bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad
(yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian.
Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama
kalian.” (HR. Abu Daud)
Ketujuh, karena harta haram mengundang musibah dan bencana di muka
bumi. Dari Ibnu ‘Abbas r.a, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh
penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh
Allah.” (HR. Al-Hakim).
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Cet. II; Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017.
Cahyani, Andi Intan. Fiqhi Muamalah. Cet. I; Makassar: Alauddin University
Press, 2013.
https://mediadakwah.id/dampak-harta-haram-dalam-kehidupan/
https://pengusahamuslim.com/7211-mengenal-harta-haram-bagian-01.html