Anda di halaman 1dari 13

Nama : Siti Marwah

Judul : Harta Haram

Dosen : Jannus Tambunan, M.H.I

HARTA HARAM

A. Pengertian Harta Haram

Salah satu definisi harta haram, disebutkan oleh Syaikh Dr. Khalid al-Mushlih,

ْ
‫تحصلت أو اجتمعت من طريق ممنوع شرعًا‬ ‫ هي األموال التي‬:‫المكاسب المحرمة‬

“Harta haram adalah semua harta yang didapatkan atau dikumpulkan dengan cara
yang melanggar syariat.” (at-Taubah minal Makasib al-Muharramah, Paper untuk
Jurnal Kementrian Keadilan, Arab Saudi)

B. Urgensi Memahami Harta Haram

Kita memahami hidup ini tidak ada yang sia-sia, karena semua akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫بَه‬T ‫ ِه ِم ْن َأ ْينَ ا ْكت ََس‬T ِ‫ل َوع َْن َمال‬Tَ T‫الَ تَ ُزو ُل قَ َد َما َع ْب ٍد يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َحتَّى يُ ْسَأ َل ع َْن ُع ْم ِر ِه فِي َما َأ ْفنَاهُ َوع َْن ِع ْل ِم ِه فِي َما فَ َع‬
ُ‫َوفِي َما َأ ْنفَقَهُ َوع َْن ِج ْس ِم ِه فِي َما َأ ْبالَه‬

“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia
ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah
ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana dia infakkan dan
(5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR.Tirmidzi 2417 dan
dishahihkan al-Albani).1

1
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Cet. II; Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017. Hal.
92
Apa yang kita miliki akan dihisab oleh Allah, dari mana didapatkan dan
untuk apa digunakan. Anda tidak boleh merasa aman -yang penting rizki di tangan
saya halal- tapi anda juga harus memikirkan bagaimana cara penggunaannya yang
benar.

Terlebih di akhir zaman ketika manusia semakin rakus dengan harta. Di


beberapa kota, materialis menjadi karakter yang ada pada setiap orang. Manusia
lebih mengejar fasilitas dunia sekalipun belum waktunya untuk memilikinya,
sehingga harus nekat utang riba.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,

‫ َأ ِم ْن َحالَ ٍل َأ ْم ِم ْن َح َر ٍام‬، ‫ان الَ يُبَالِى ْال َمرْ ُء بِ َما َأ َخ َذ ْال َما َل‬ ‫ْأ‬
ِ َّ‫لَيَ تِيَ َّن َعلَى الن‬
ٌ ‫اس زَ َم‬

“Sungguh akan datang satu zaman di tengah manusia, seseorang tidak lagi
peduli dengan harta yang dia ambil, apakah dari harta halal ataukah dari harta
haram.” (HR. Ahmad 9870 & Bukhari 2083).

Mengenal keburukan tentu bukan untuk diamalkan, namun agar kita bisa
lebih mudah menghindarinya. Orang bisa saja terjebak dalam keburukan ketika
dia tidak mengenalnya. Pepatah arab mengatakan,

‫ ومن ال يعرف الشر من الخير يقع فيه‬، ‫عرفت الشر ال للشر لكن لتوقيه‬

“Saya mengenali keburukan bukan untuk diamalkan, tapi untuk


menghindarinya. Siapa yang tidak mengetahui keburukan, diantara kebaikan,
maka dia akan terjerumus ke dalamnya.”

C. Perjuangan Mencari yang Halal

Bekerja mencari yang halal, merupakan hal yang terpuji dalam Islam.
Allah memerintahkan manusia agar bekerja dan berusaha untuk mencari yang
halal. Allah berfirman,

َ ْ‫ه َُو الَّ ِذي َج َع َل لَ ُك ُم اَأْلر‬


‫ض َذلُواًل فَا ْم ُشوا فِي َمنَا ِكبِهَا َو ُكلُوا ِم ْن ِر ْزقِ ِه ۖ َوِإلَ ْي ِه النُّ ُشو ُر‬
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-
Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. al-Mulk:15).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memuji harta yang baik


karena diperoleh dengan cara halal. Beliau berkata kepada Amr bin al-Ash,
“Wahai Amr, sebaik-baik harta adalah harta yang shalih yang dimiliki laki-laki
yang shalih.” (HR. Ahmad 17763, Ibnu Hibban 3210 dan dishahihkan Syuaib al-
Arnauth).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memuji orang yang


mendapatkan harta dari jerih payahnya. Beliau bersabda,

‫ي هللا دَا ُو َد – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ يَأ ُك ُل‬ َّ ‫ َو‬، ‫أن يَأ ُك َل ِم ْن َع َم ِل يَ ِده‬
َّ ‫إن نَب‬ ُّ َ‫َما أ َك َل َأ َح ٌد طَ َعاما ً ق‬
ْ ‫ط خَ يْراً ِم ْن‬
‫ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه‬

“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik dari


memakan hasil jerih payahnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud shallallahu
‘alaihi wa sallam makan dari hasil jerih payahnya sendiri.” (HR. al-Bukhari 2072)

Demikian juga disebutkan dalam hadis dari Zubair bin Awwam


radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ خَ ْي ٌر لَهُ ِم ْن َأ ْن يَ ْسَأ َل‬، ُ‫ف هَّللا ُ بِهَا َوجْ هَه‬ ِ َ‫َأل ْن يَْأ ُخ َذ َأ َح ُد ُك ْم َح ْبلَهُ فَيَْأتِ َى بِح ُْز َم ِة ْال َحط‬
َّ ‫ب َعلَى ظَه ِْر ِه فَيَبِي َعهَا فَيَ ُك‬
ُ‫اس َأ ْعطَوْ هُ َأوْ َمنَعُوه‬ َ َّ‫الن‬

“Kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan


kembali dengan memikul seikat kayu bakar di punggungnya lalu menjualnya,
kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik
daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun
tidak.” (HR. Ahmad 1407 & Bukhari 1471).

Mencari harta halal dengan cara yang halal merupakan sifat mulia yang
telah dicerminkan oleh orang masa silam. Mereka, para ulama di masa silam, juga
saling mengingatkan untuk berhati-hati dalam masalah makanan, minuman, dan
mata pencaharian.

Dari Abi Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

َ‫َخَل ْال َجنَّة‬


َ ‫ د‬، ُ‫ َوَأ ِمنَ الناسُ بَ َواِئقَه‬، ‫ و َع ِم َل فِي ُسنَّ ٍة‬، ‫َم ْن أ َك َل طَيِّبًا‬

“Barang siapa mengkonsumsi sesuatu yang baik, melaksanakan sunnah,


dan masyarakat sekitarnya tidak terganggu dengan keburukannya, maka dia
masuk surga.” (HR. Tirmidzi 2711).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

‫ َو ِعفَّةٌ فِى طُعْمة‬،‫ َو ُحسْنُ خَ لِيقَ ٍة‬،‫ث‬ ِ ‫ َو‬،‫ ِح ْفظُ َأ َمانَ ٍة‬:‫ك ِمنَ ال ُّد ْنيَا‬
ُ ‫ص ْد‬
ٍ ‫ق َح ِدي‬ َ ‫ فَالَ َعلَ ْي‬،َ‫َأرْ بَ ٌع ِإ َذا ُك َّن فِيك‬
َ َ‫ك َما فَات‬

“Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan
dunia yang luput darimu tidak akan membahayakanmu: menjaga amanah, berkata
benar, akhlak baik, dan menjaga urusan makanan.” (HR. Ahmad 6652).

Banyak sekali orang-orang shalih terdahulu, yang selalu mengedepankan


sikap kehati-hatian dan kewaspadaan mereka dalam mencari harta halal.

Diantaranya, Wara’nya Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu

Suatu ketika hamba sahayanya membawa sesuatu makanan dan Abu Bakar
as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memakannya. Lalu hamba sahaya itu berkata,
“Wahai tuanku, tahukah Anda dari mana makanan ini?”

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Dari mana engkau dapat


makanan ini?”

Budak itu menjawab, “Dahulu saya pernah berlagak seperti orang pintar
(dukun), padahal saya tidak pandai ilmu perdukunan. Saya hanya menipunya.
Lalu (di kemudian hari) dia menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku.
Makanan yang tadi Anda makan adalah bagian pemberian tersebut.”
Mendengar hal itu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu langsung memasukkan
jari-jarinya ke mulutnya sampai ia memuntahkan semua makanan yang baru
beliau makan.

Wara’nya Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu

Suatu ketika Umar radhiyallahu ‘anhu diberi minum susu dan beliau
radhiyallahu ‘anhu begitu senang. Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu bertanya
kepada orang yang memberinya minum, “Dari manakah engkau mendapatkan
susu ini?” Orang itu menjawab,”Saya berjalan melewati seekor onta sedekah,
sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air. Lalu saya mengambil
air susunya.”. Mendengar cerita orang itu, seketika itu pula Umar radhiyallahu
‘anhu memasukkan jari ke mulutnya agar ia memuntahkan susu yang baru
diminumnya.

Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya

Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya dengan


ucapannya, “Wahai suamiku! Bertakwalah engkau kepada Allah saat mencari
rezeki untuk kami! Karena sesungguhnya kami mampu menahan lapar dan
dahaga, akan tetapi kami tak akan mampu menahan panasnya api neraka.”
Begitulah sikap kehati-hatian orang-orang shalih dalam rangka menjaga agama
mereka. Dalam rangka merealisasikan ketakwaan mereka serta menjauhkan diri-
diri mereka dari perkara-perkara syubhat (yang tidak jelas).

Lalu bagaimanakah nasib mereka yang dengan sengaja mencari yang


haram untuk mengisi perutnya sendiri dan memenuhi kebutuhan keluarganya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ان اَل يُبَالِي ْال َمرْ ُء بِ َما َأ َخ َذ ْال َما َل َأ ِم ْن َحاَل ٍل َأ ْم ِم ْن َح َر ٍام‬ ‫ْأ‬
ِ َّ‫لَيَ تِيَ َّن َعلَى الن‬
ٌ ‫اس زَ َم‬

“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak
peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal ataukah yang
haram.” (HR. Bukhari 2083).
Rajin Ibadah, Tapi Meremehkan Masalah Kehalalan Harta

Adakalanya seorang muslim yang rajin beribadah, namun dia memandang


remeh dan kurang peduli dengan masalah harta haram. Bisa jadi amal ibadahnya
tertolak, doanya tidak diijabah, dan usahanya tidak diberkahi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,

‫َأيُّهَا النَّاسُ ِإ َّن هَّللا َ طَيِّبٌ الَ يَ ْقبَ ُل ِإالَّ طَيِّبًا‬

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah ta’ala baik dan Dia tidak akan
menerima kecuali yang baik…

Di akhir hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ada


seorang lelaki yang sedang melakukan safar, rambutnya kusut, kusam, dan
berdebu. Dia mengangkat tangannya ke langit lalu berdoa, “Wahai Rabbku!
Wahai Rabbku!… Sementara makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram, dan dia kenyang dengan yang haram, bagaimana mungkin
doanya dikabulkan?” (HR. Muslim 2393).

Karena itulah, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak
diterima. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ص َدقَةً ِم ْن ُغلُو ٍل‬


َ َ‫ َوال‬، ‫ُور‬
ٍ ‫طه‬ َ ُ ‫الَ يَ ْقبَ ُل هَّللا‬
َ ‫صالةً بِ َغي ِْر‬

“Allah tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudhu (bersuci), dan tidak
akan menerima sedekah dengan harta ghulul (khianat).” (HR. Muslim 557)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

ُ‫ق ِم ْنهُ لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ فِي ِه َأجْ ٌر َو َكانَ ِإصْ ُره‬ َ َ‫ َو َم ْن َج َم َع َمااًل َح َرا ًما ثُ َّم ت‬،‫ك‬
َ ‫ص َّد‬ َ َ‫ِإ َذا َأ َّديْتَ َز َكاةَ َمالِكَ فَقَ ْد ق‬
َ ‫ضيْتَ َما َعلَ ْي‬
‫َعلَ ْي ِه‬
“Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu, maka engkau telah
melaksanakan kewajiban. Barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang
haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan
memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya.” (HR. Ibn Hibban 3367 dan
dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Orang yang bertaqwa, memiliki sifat taqwa, wara’ (menahan dari yang
haram), ‘iffah (menjaga kehormatan). Sehingga dia akan selalu memikirkan
kondisinya ketika di akhirat. Dia sadar untuk lebih memilih kenikmatan di akhirat,
meskipun harus melepaskan sebagian kenikmatan dunia.

Allah ta’ala berfirman,

ْ ُ‫ع ال ُّد ْنيَا قَلِي ٌل َواآْل ِخ َرةُ خَ ْي ٌر لِ َم ِن اتَّقَ ٰى َواَل ت‬


‫ظلَ ُمونَ فَتِياًل‬ ُ ‫قُلْ َمتَا‬

“Katakanlah! Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.”
(QS. an-Nisa’: 7).

D. Cara Membersihkan Harta Haram

Barang siapa yang mendapatkan harta dari cara yang haram, seperti zina,
suap atau upah penyanyi, kemudian ia bertaubat, jika dia sudah membelanjakan
hartanya maka tidak ada masalah. Namun jika harta tersebut masih berada di
tangannya, maka ia wajib melepaskannya dengan cara menginfakkannya untuk
jalan kebaikan, memberikannya kepada fakir dan miskin. Kecuali jika dia masih
membutuhkannya, maka ia boleh mengambilnya sesuai kebutuhannya dan
melepaskan sisanya.

Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata: “Masalah yang kedua: jika


seseorang telah melakukan barter (transaksi) dengan orang lain dengan cara yang
haram, ia pun telah menerima imbalannya, seperti; pezina, penyanyi, penjual
khomr, persaksian palsu, dan lain sebagainya, kemudian bertaubat dan hasil
transaksi itu masih berada di tangannya, maka:
Sebagian ulama berkata: “Dikembalikan kepada pemiliknya, karena
hartanya itu diterima tanpa adanya izin dari pembuat syari’at (Allah), tidak juga
dengan menerimanya mendatangkan manfaat yang mubah”.

Sebagian lainnya mengatakan: Akan tetapi taubatnya dengan cara


mensedekahkannya, dan tidak membayarkannya kepada orang yang memberinya.
Inilah pendapat syeikh Ibnu Taimiyah dan inilah yang lebih tepat dari kedua
pendapat di atas. 

(Madarikus Salikin: 1/389)

Ibnu Qayyim telah membahasnya dengan panjang lebar tentang masalah


ini di dalam Zaadul Ma’ad (5/778) dan beliau menentukan bahwa cara untuk
membebaskan diri dari harta tersebut dan sebagai bentuk kesempurnaan
taubatnya, hanya dengan cara mensedekahkannya. Namun jika masih
membutuhkannya, maka ia boleh mengambilnya sesuai dengan kebutuhannya dan
mensedekahkan sisanya.

Syeikh Islam berkata: “Jika seorang wanita bertaubat dari perbuatan zina
dan seorang laki-laki dari minum khamr, sedangkan mereka dalam kondisi fakir,
maka mereka dibolehkan mengambil dari harta tersebut sesuai dengan
kebutuhannya.

Jika dia mampu untuk berdagang atau memproduksi sesuatu, seperti;


merajut, memintal benang, maka diberikan harta pokoknya saja. Dan jika mereka
mengambil dengan akad hutang untuk dijadikan modal berdagang, maka dengan
akad hutang lebih baik”.(Majmu’ Fatawa: 29/308)

Atas dasar itulah maka: Maka dibolehkan bagi laki-laki tersebut untuk
mengambil dari harta haramnya sesuai dengan kebutuhannya, untuk keperluan
operasi atau untuk belanja harian. Atau mengambil sebagian untuk dijadikan
modal usaha sebagai bekal hidupnya. Kemudian mensedekahkan harta pokok
yang ia pinjam, kapan saja setelah dia mampu. Atau sejak awal dia berakad untuk
meminjam harta tersebut, dan berniat untuk mengembalikannya jika sudah
mampu nantinya. Tidak masalah jika gedung dan laundrynya dijadikan sebagai
harta pokok untuk usaha dengan mengambil sebagian harta yang ia butuhkan dan
membebaskan diri dari sisanya.

Tidak boleh menyimpan harta di bank-bank ribawi, kecuali dengan niatan


untuk menjaga keamanan dan hanya menyimpannya sebatas pada rekening
berjalan bukan untuk simpanan penuh. Tidak ada kebutuhan dalam hal ini untuk
menjaga harta, akan tetapi sebaiknya segera membebaskan diri dari harta haram
tersebut dengan cara diberikan kepada fakir miskin, membangun sekolah-sekolah
dan rumah sakit-rumah sakit, dan lain sebagainya untuk kemaslahatan kaum
muslimin.2

E. Dampak Harta Halal Haram Dalam Kehidupan


Harta haram yang dihasilkan oleh dua kelompok di atas akan berdampak
buruk terhadap pribadi pelakunya secara khusus dan umat manusia secara umum.
Dampak buruk tersebut adalah:
Pertama, memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti
langkah syaitan. Dr Erwandi Tarmizi, MA menjelaskan, bahwa melanggar
perintah Allah Swt dalam surat Al Baqarah ayat 168 adalah salah satu bentuk
perbuatan durhaka kepada Allah Swt sekaligus menempuh jalan (cara) yang
dirintis oleh syaitan.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’Al-Fawaid (3:381-385),
mengatakan, ada beberapa langkah syaitan dalam menyesatkan manusia yaitu,
mengajak kepada kekafiran, kesyirikan, dan memusuhi Allah Swt dan Rasul-Nya,
mengajak kepada amalan yang tidak ada tuntunan (bid’ah), mengajak kepada dosa
besar (al-kabair), mengajak kepada dosa-dosa kecil (ash-shaghair), menyibukkan
dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi

2
Cahyani, Andi Intan. Fiqhi Muamalah. Cet. I; Makassar: Alauddin University Press,
2013. Hal. 83
di dalamnya) hingga berlebihan, menyibukkan dalam amalan yang kurang afdal,
padahal ada amalan yang lebih afdal.
Kedua, kurang semangat dalam beramal saleh. Tafsir Ibnu Katsir ketika
menafsirkan surat Al-Mu’minun ayat 51, “Hai rasul-rasul, makanlah dari
makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Menjelaskan
bahwa makan yang thayyib di sini adalah makanan yang halal dan Allah Swt pada
ayat ini memerintahkan para rasul untuk memakan makanan yang halal dan
beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal
akan memberikan dampak positif, yaitu semangat dalam melakukan amal saleh.
Ketiga, memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi. Ibnu
Katsir menjelaskan ketika menafsirkan surat An-Nisaa’ ayat 160-161 yang
membicarakan kebiasaan orang Yahudi dalam praktek riba, “Maka disebabkan
kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba,
Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”3
Ibnu Katsir mengatakan, Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi,
namun mereka menerjangnya dan terus melakukan riba tersebut, bahkan mereka
melakukan pengelabuan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal.
Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan
supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan
inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi saw: Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi
hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal,

3
https://mediadakwah.id/dampak-harta-haram-dalam-kehidupan/ diakses pada 25
februari 2023
sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?”
Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR Bukhari).
Keempat, daging yang tumbuh dari harta haram tempatnya api neraka.
Seorang sahabat dinasihati oleh Nabi saw Ka’ab bin ‘Ujroh dengan sebuah sabda
beliau, “Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh
berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.”
(HR. Tirmidzi)
Kelima, doa tidak dikabulkan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik
(thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah
memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada
para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan
yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah
Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang
baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172).
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan
kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’
Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia
dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR.
Muslim, no. 1015).4
Ibnu Rajab Alhambali dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam ketika
mensyarah hadist di atas, menjelaskan beberapa kondisi terkabulnya doa dengan
cepat, yaitu keadaan dalam perjalanan jauh (safar), meminta dalam keadaan
sangat butuh (genting), menengadahkan tangan ke langit, memanggil Allah
dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan
menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai

4
https://pengusahamuslim.com/7211-mengenal-harta-haram-bagian-01.html diakses pada
25 februari 2023
Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai
Rabb yang mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.
Ketika orang sudah memenuhi kondisi di atas, semetara dia memakan dan
memiliki harta yang haram, maka doanya tidak akan dikabulkan oleh Allah Swt.
Di samping itu, karena doa adalah inti dari ibadah shalat, maka bila doa tertolak
dikhawatirkan shalat pemakan harta haram juga tertolak. Hal ini didukung oleh
ungkapan sahabat Ibnu Abbas r.a, “Allah Swt tidak menerima shalat seseorang
yang di dalam perutnya ada makan yang haram.”
Keenam, harta haram akan menenempatkan kaum muslimin dalam
kemunduran dan kehinanaan. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, Rasulullah saw
bersabda, “Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba),
mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan
bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad
(yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian.
Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama
kalian.” (HR. Abu Daud)
Ketujuh, karena harta haram mengundang musibah dan bencana di muka
bumi. Dari Ibnu ‘Abbas r.a, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh
penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh
Allah.” (HR. Al-Hakim).
DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Cet. II; Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017.
Cahyani, Andi Intan. Fiqhi Muamalah. Cet. I; Makassar: Alauddin University
Press, 2013.
https://mediadakwah.id/dampak-harta-haram-dalam-kehidupan/
https://pengusahamuslim.com/7211-mengenal-harta-haram-bagian-01.html

Anda mungkin juga menyukai