Anda di halaman 1dari 10

5.

Hadits-Hadits yang Menjelaskan Pentingnya Ilmu

Hadits-hadits yang menjelaskan pentingnya ilmu sangat banyak,


dan tidak mungkin disebutkan semuanya dalam makalah ini. Para ulama
ahli hadits pada umumnya menuliskan bab tersendiri yang menjelaskan
pentingnya ilmu. Mereka bahkan menulis sebuah kitab yang khusus
menjelaskan betapa pentingnya ilmu bagi seluruh sendi kehidupan, baik
dalam kehidupan dunia maupun akhirat.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

(‫اَ ْل ُعلَ َما ُء َو َرثَةُ اأْل َ ْنبِيَا ِء (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وابن حبان‬
Artinya:      “Orang-orang yang berilmu adalah ahli waris para
nabi” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Tentu sudah diketahui, bahwa tidak ada kedudukan di atas


kenabian dan tidak ada kemuliaan di atas kemulian mewarisi kedudukan
kenabian tersebut.

Rasulullah Shallalahu ‘Alihi Wa Sallam bersabda:

‫هُ أَ ْغنَى‬MM‫اس ْال ُم ْؤ ِم ُن ْال َعالِ ُم الَّ ِذيْ إِ ِن احْ تِي َْج إِلَ ْي ِه نَفَ َع َوإِ ِن ا ْستُ ْغنِ َي َع ْن‬ َ ‫أَ ْف‬
ِ َّ‫ض ُل الن‬
‫نَ ْف َسهُ (رواه البيهقي‬

Artinya:  “Seutama-utama manusia ialah seorang mukmin yang


berilmu. Jika ia dibutuhkan, maka ia menberi manfaat. Dan jika ia tidak
dibutuhkan maka ia dapat memberi manfaat pada dirinya sendiri”.(HR.
Al-Baihaqi

Hadits ini menjelaskan bagaimana keutamaan ilmu bagi seseorang,


dimana ia akan memberikan manfaat dan dibutuhkan oleh orang-orang
disekitarnya. Bahkan jika seorang yang berilmu terangsingkan dari
kehidupan sekitarnya, ilmu yang ia miliki akan memberikan manfaat
kepada dirinya sendiri, dan menjadi penghibur dalam kesendiriannya.
Tentang pentingnya ilmu Rasulullah SAW bersabda:

(‫ومسلم‬ ‫َم ْن ي ُِر ِد هللاُ بِ ِه خَ ْيرًا يُفَقِّ ْههُ فِي الدِّي ِن (رواه البخاري‬
Artinya:  “Barang siapa dikehendaki bagi oleh Allah, maka Allah
memberi kepahaman untuknya tentang ilmu”, (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini adalah hadits yang urgen, dimana seolah-olah Allah


menggantungkan kebaikan seseorang terhadap kepahamannya terhadap
agama, dalam arti kwalitas dan kwantitas ilmunya dalam masalah agama.
Dari sini dapat diketahui bahwa ilmu adalah penting, karena ia menjadi
penentu baik dan buruk seseorang. Dengan ilmu ia akan membedakan
salah dan benar, baik dan buruk dan halal dan haram.

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

ْ ‫اب أَرْ ضًا فَ َكان‬


‫َت‬ َ ‫ص‬ َ َ‫ث أ‬ٍ ‫ َو ْال ِع ْل ِم َك َمثَ ِل َغ ْي‬, ‫إن َمثَ َل َما بَ َعثَنِي هللاُ بِ ِه ِم ْن ْالهُدَى‬ َّ
‫ا‬MMَ‫ َو َكانَ ِم ْنه‬, ‫ب ْال َكثِي َر‬ َ ‫ َو ْال ُع ْش‬, َ ‫َت ْالكَاَل‬ ْ ‫ فَأ َ ْنبَت‬, ‫ت ْال َما َء‬ ْ َ‫ِم ْنهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِل‬
, ‫قَوْ ا‬MM‫ َو َس‬, ‫ا‬MMَ‫ ِربُوا ِم ْنه‬MM‫اس فَ َش‬ َ َّ‫ا الن‬MMَ‫ َع هللاُ بِه‬MMَ‫ فَنَف‬, ‫ا َء‬MM‫ت ْال َم‬ ْ ‫ َك‬MM‫ ا ِدبُ أَ ْم َس‬MM‫أَ َج‬
‫ َواَل‬, ‫ا َء‬MM‫ك ْال َم‬ ٌ ‫اب طَائِفَةً ِم ْنهَا أُ ْخ َرى إنَّ َما ِه َي قِي َع‬
ُ M ‫ان اَل تُ ْم ِس‬ َ ‫ص‬ َ َ‫ َوأ‬, ‫َوز ََر ُعوا‬
, ‫ فَ َعلِ َم‬, ‫ ِه‬M ِ‫ا بَ َعثَنِي هللاُ ب‬MM‫ َونَفَ َعهُ بِ َم‬, ِ‫ين هللا‬ ِ ‫ك َمثَ ُل َم ْن فَقُهَ فِي ِد‬ َ ِ‫ فَ َذل‬, ً ‫ت كَأَل‬
ُ ِ‫تُ ْنب‬
‫ ِه‬Mِ‫ت ب‬ ُ ‫ ْل‬M‫دَى هللاِ الَّ ِذي أُرْ ِس‬Mُ‫لْ ه‬MMَ‫ َولَ ْم يَ ْقب‬, ‫ك َر ْأسًا‬ َ ِ‫ َو َمثَ ُل َم ْن لَ ْم يَرْ فَ ْع بِ َذل‬, ‫َو َعلَّ َم‬
‫(رواه البخاري ومسلم‬
Artinya: “Perumpamaan apa yang dituliskan oleh Allah kepadaku
yakni petunjuk dan ilmu adalah seperti hujan lebat yang mengenai tanah.
Dari tanah itu ada yang gemburyang dapat menerima air lalutumbuhlah
padang rumput yang banyak. Dari panya ada yang keras dapat menahan
air dan tidak dapat menumbuhkan rumput. Demikian itu perumpamaan
orang yang tidak menolak kepadanya, dan mengajar, dan perumpamaan
orang yang pandai agama Allah dan apa yang dituliskan kepadaku
bermanfaat baginya, ia pandai dan mengajar, dan perumpamaan orang
yang tidak menolak kepadanya, dan ia tidak mau menerima petunjuk
Allah, yang mana saya di utus dengannya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

6. Pembelahan Bulan
Nabi Muhammad Shallallhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

ِ‫ق ْالقَ َم ِر َك َر َمةً لِ َرسُوْ ِل هللا‬


ُ ‫اِ ْن ِشقَا‬
Artinya:
“ Terbelahnya bulan merupakan karamah Rasulullah “. (HR. Imam Al-
Bukhori ).
Penjelasan ringkas:
Hadits ini diriwayatkan oleh oleh Imam Al Bukhori dalam
Shahihnya kitab Al-Maghazy. Maksud dari hadits ini adalah terbelahnya
bulan ini adalah peristiwa . ini merupakan representasi dari salah satu
kemukjizatan indrawi yang muncul sebagai penguat bagi Rasulullah dalam
menghadapi kaum kafir dan musyrik Mekah dan pengingkaran mereka atas
kenabian Nabi SAW.
Mukjizat adalah peristiwa adikodrati yang keluar dari ketentuan
Sunnatullah. Oleh karena itu, aturan-aturan duniawi tidak mungkin bisa
memahami terjadinya mukjizat. Seandainya mukjizat pembelahan bulan
menjadi dua ini tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan sejarah Rasulullah,
tentu kaum muslimin sekarang tidak akan mengimaninya. Jadi, fungsi hadits
di atas adalah untuk menguatkan bahwa Rasulullah benar-benar mempunyai
mukjizat yaitu salah satunya membelah bulan jadi dua.
7. Hadits tentang Bercocok Tanam

Dari Jabir bin Abdullah Rodhiyallohu ‘Anhu dia bercerita bahwa


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

ُ‫ه‬#َ‫هُ ل‬M‫ق ِم ْن‬َ ‫ص َدقَةً َو َما س ُِر‬ َ ُ‫َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يَ ْغ ِرسُ غَرْ سًا إِالَّ َكانَ َما أُ ِك َل ِم ْنهُ لَه‬
ُ‫ه‬M َ‫انَ ل‬MM‫ ٌد إِالَّ َك‬M‫رْ َز ُؤهُ أَ َح‬MMَ‫ َدقَةً َو الَ ي‬M ‫ص‬
َ ُ‫ه‬M َ‫ َو ل‬M ُ‫ ُر فَه‬M ‫ت الطَّ ْي‬
ِ َ‫ا أَ َكل‬MM‫ َدقَةً َو َم‬M ‫ص‬
َ
( ‫ص َدقَةً(رواه مسلم‬
َ

Artinya:

“Tidaklah seorang muslim menanam suatu pohon melainkan apa


yang dimakan dari tanaman itu sebagai sedekah baginya, dan apa yang
dicuri dari tanaman tersebut sebagai sedekah baginya dan tidaklah
kepunyaan seorang itu dikurangi melainkan menjadi sedekah
baginya.” (HR. Imam Muslim Hadits no.1552)

Dari Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

ْ‫ان أَو‬ َ M‫ا فَيَأْ ُك‬MM‫ع زَرْ ًع‬


ٌ M ‫ ٌر أَوْ إِ ْن َس‬M‫هُ طَ ْي‬M‫ل ِم ْن‬M ُ ‫ أَوْ يَ ْز َر‬,‫َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يَ ْغ ِرسُ غَرْ سًا‬
( ‫ص َدقَةٌ) رواه البخاري‬ َ ‫بَ ِه ْي َمة ٌ إِالَّ َكانَ لَهُ بِ ِه‬

Artinya:

“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, tidak pula menanam


tanaman kemudian pohon/ tanaman tersebut dimakan oleh  burung,
manusia atau binatang melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Imam
Bukhari hadits no.2321)
Dari Jabir bin Abdullah Rodhiyallohu ‘Anhu dia berkata, telah
bersabda Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam:

ٌ M‫فَالَ يَ ْغ ِرسُ ْال ُم ْسلِ ُم غَرْ سًا فَيَأْ ُك َل ِم ْنهُ إِ ْن َس‬


ُ‫ه‬Mَ‫انَ ل‬MM‫ ٌر إِالَّ َك‬M‫ان َو الَ دَابَّةٌ َو الَ طَ ْي‬
( ‫ص َدقَةً إِلَى يَوْ ِم ْالقِيَا َم ِة) رواه مسلم‬ َ

Artinya:

“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu tanaman itu


dimakan manusia, binatang ataupun burung melainkan tanaman itu
menjadi sedekah baginya sampai hari kiamat.” (HR. Imam Muslim hadits
no.1552(10))

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa hadits-


hadits tersebut merupakan dalil-dalil yang jelas mengenai anjuran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bercocok tanam, karena di dalam
bercocok tanam terdapat 2 manfaat yaitu manfaat dunia dan manfaat
agama.

Pertama: Manfaat yang bersifat Dunia (dunyawiyah) dari bercocok


tanam adalah menghasilkan produksi (menyediakan bahan makanan).
Karena dalam bercocok tanam, yang bisa mengambil manfaatnya, selain
petani itu sendiri juga masyarakat dan negerinya. Lihatlah setiap orang
mengkonsumsi hasil-hasil pertanian baik sayuran dan buah-buahan, biji-
bijian maupun palawija yang kesemuanya merupakan kebutuhan mereka.
Mereka rela mengeluarkan uang karena mereka butuh kepada hasil-hasil
pertaniannya. Maka orang-orang yang bercocok tanam telah memberikan
manfaat dengan menyediakan hal-hal yang dibutuhkan manusia. Sehingga
hasil tanamannya menjadi manfaat untuk masyarakat dan memperbanyak
kebaikan-kebaikannya.
Kedua: Manfaat yang bersifat agama (diniyyah) yaitu berupa
pahala atau ganjaran. Sesungguhnya tanaman yang kita tanam apabila
dimakan oleh manusia, binatang baik berupa burung ataupun yang lainnya
meskipun satu biji saja, sesungguhnya itu adalah merupakan sedekah bagi
penanamnya, sama saja apakah dia kehendaki ataupun tidak, bahkan
seandainya ditakdirkan bahwa seseorang itu ketika menanamnya tidak
memperdulikan perkara ini (perkara tentang apa yang dimakan dari
tanamannya merupakan sedekah) kemudian apabila terjadi tanamannya
dimakan maka itu tetap merupakan sedekah baginya.

8. Hadits Tentang Alat Musik

Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiallahu anhu bahwa dia mendengar


Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ْ َ‫لَيَ ُك ْونَنَّ ِمنْ أُ َّمتِي أَ ْقوا ٌم ي‬


َ‫ست َِحلُّ ْونَ ا ْل ِح َر َوا ْل َح ِر ْي َر َوا ْل َخ ْم َر َوا ْل َمعا ِزف‬

Artinya:

“Kelak akan ada sekelompok kaum dari umatku yang akan


menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khamar, dan alat-alat musik.”
(HR. Al-Bukhari no. 5590)

Kalimat ‘akan menghalalkan’ menunjukkan bahwa keempat hal ini


asalnya adalah haram, lalu mereka menghalalkannya.
Lihat pembahasan lengkap mengenai keshahihan hadits ini serta
sanggahan bagi mereka yang menyatakannya sebagai hadits yang lemah,
di dalam kitab Fath Al-Bari: 10/52 karya Al-Hafizh dan kitab Tahrim Alat
Ath-Tharb karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Penjelasanringkas:
Nyanyian secara mutlak adalah hal yang diharamkan, baik disertai
dengan musik maupun tanpa alat musik, baik liriknya berbau maksiat
maupun yang sifatnya religi (nasyid). Hal itu karena dalil-dalil di atas
bersifat umum dan tidak ada satupun dalil yang mengecualikan nasyid atau
nyanyian tanpa musik.
Jadi nyanyian dan musik ini adalah dua hal yang mempunyai
hukum tersendiri. Di dalam Surah Al Luqman dijelaskan tentang
keharaman nyanyian,

Allah Ta’ala berfirman:

‫ُض َّل عَن َسبِي ِل هَّللا ِ بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم‬ ِ ‫اس َمن يَ ْشت َِري لَ ْه َو ْال َح ِدي‬
ِ ‫ث لِي‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
Artinya:

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan


yang tidak berguna sehingga dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah
tanpa pengetahuan.” (QS. Luqman: 6)

Abdullah bin Mas’ud berkata menafsirkan ‘perkataan yang tidak


berguna’, “Dia -demi Allah- adalah nyanyian.” Dalam riwayat lain beliau
berkata, “Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tidak ada sembahan yang
berhak disembah selain-Nya,” beliau mengulanginya sebanyak 3 kali.
Ini juga merupakan penafsiran dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdillah dari
kalangan sahabat. Dan dari kalangan tabi’in: Ikrimah, Said bin Jubair,
Mujahid, Mak-hul, Al-Hasan Al-Bashri, dan selainnya. (Lihat
selengkapnya dalam Tafsir Ibnu Katsir: 3/460) . Sementara itu hadits di
atas mengharamkan alat musik. Jadi sebagaimana musik tanpa nyanyian
itu haram, maka demikian pula nyanyian tanpa musik juga haram, karena
keduanya mempunyai dalil tersendiri yang mengharamkannya.

Sebagai pelengkap, berikut kami membawakan beberapa ucapan


dari keempat mazhab mengenai haramnya musik dan nyanyian:

A.   Al-Hanafiah.
Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Nyanyian itu adalah haram
dalam semua agama.” (Ruh Al-Ma’ani: 21/67 karya Al-Alusi)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari berkata, “Abu Hanifah membenci nyanyian
dan menghukumi perbuatan mendengar nyanyian adalah dosa.” (Talbis
Iblis hal. 282 karya Ibnu Al-Jauzi)

B. Al-Malikiah
Ishaq bin Isa Ath-Thabba’ berkata, “Aku bertanya kepada Malik
bin Anas mengenai nyanyian yang dilakukan oleh sebagian penduduk
Madinah. Maka beliau menjawab, “Tidak ada yang melakukukan hal itu
(menyanyi) di negeri kami ini kecuali orang-orang yang fasik.” (Riwayat
Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Munkar hal. 142,
Ibnu Al-Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 282, dan sanadnya dinyatakan shahih
oleh Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 98)
Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari berkata, “Adapun Malik bin Anas, maka
beliau telah melarang dari menyanyi dan mendengarkan nyanyian. Dan ini
adalah mazhab semua penduduk Madinah.” (Talbis Iblis hal. 282)

C.  Asy-Syafi’iyah.
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku mendapati di Iraq sesuatu
yang bernama taghbir, yang dimunculkan oleh orang-orang zindiq guna
menghalangi orang-orang dari membaca AL-Qur`an.” (Riwayat Abu
Nuaim dalam Al-Hilyah: 9/146 dan Ibnu Al-Jauzi dalam Talbis Iblis hal.
283 dengan sanad yang shahih)
Taghbir adalah kumpulan bait syair yang berisi anjuran untuk zuhud
terhadap dunia, yang dilantunkan oleh seorang penyanyi sementara yang
hadir memukul rebana mengiringinya.
Kami katakan: Kalau lirik taghbir ini seperti itu (anjuran zuhur terhadap
dunia) dan hanya diiringi dengan satu alat musik sederhana, tapi tetap saja
dibenci oleh Imam Asy-Syafi’i, maka bagaimana lagi kira-kira jika beliau
melihat nasyid yang ada sekarang, apalagi jika melihat nyanyian non religi
sekarang?!
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah berkata mengomentari ucapan Asy-Syafi’i
di atas, “Apa yang disebutkan oleh Asy-Syafi’i bahwa taghbir ini
dimunculkan oleh orang-orang zindiq adalah ucapan dari seorang imam
yang mengetahui betul tentang landasan-landasan Islam. Karena
mendengar taghbir ini, pada dasarnya tidak ada yang senang dan tidak ada
yang mengajak untuk mendengarnya kecuali orang yang tertuduh sebagai
zindiq.” (Majmu’ Al-Fatawa: 11/507)
Ibnu Al-Jauzi berkata, “Murid-murid senior Asy-Syafi’i radhiallahu
anhum mengingkari perbuatan mendengar (nyanyian).” (Talbis Iblis hal.
283)
Ibnu Al-Qayyim juga berkata dalam Ighatsah Al-Luhfan hal. 350, “Asy-
Syafi’i dan murid-murid seniornya serta orang-orang yang mengetahui
mazhabnya, termasuk dari ulama yang paling keras ibaratnya dalam hal ini
(pengharaman nyanyian).”
Karenanya Ibnu Al-Jauzi berkata dalam Talbi Iblis hal. 283, “Maka inilah
ucapan para ulama Syafi’iyah dan orang-orang yang baik agamanya di
antara mereka (yakni pengharaman nyanyian). Tidak ada yang
memberikan keringanan mendengarkan musik kecuali orang-orang
belakangan dalam mazhabnya, mereka yang minim ilmunya dan telah
dikuasai oleh hawa nafsunya.”

D.  Al-Hanabilah
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku bertanya kepada
ayahku tentang nyanyian, maka beliau menjawab, “Nyanyian itu
menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, saya tidak menyukainya.”
(Riwayat Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf hal. 142)
Ibnu Al-Jauzi berkata dalam Talbis Iblis hal. 284, “Adapun nyanyian yang
ada di zaman ini, maka terlarang di sisi beliau (Imam Ahmad), maka
bagaimana lagi jika beliau mengetahui tambahan-tambahan yang
dilakukan orang-orang di zaman ini.”
Kami katakan: Itu di zaman Ibnu Al-Jauzi, maka bagaimana lagi jika Ibnu
Al-Jauzi dan Imam Ahmad mengetahui bentuk alat musik dan lirik
nyanyian di zaman modern seperti ini?!
Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Imam Empat, mereka telah
bersepakat mengharamkan alat-alat musik yang merupakan alat-alat
permainan yang tidak berguna.” (Minhaj As-Sunnah: 3/439)
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, “Hendaknya diketahui bahwa jika
rebana, penyanyi wanita, dan nyanyian sudah berkumpul maka
mendengarnya adalah haram menurut semua imam mazhab dan selain
mereka dari para ulama kaum muslimin.” (Ighatsah Al-Luhfan: 1/350)
Al-Albani rahimahullah berkata dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 105
berkata, “Para ulama dan fuqaha -dan di antara mereka ada Imam Empat-
telah bersepakat mengharamkan alat-alat musik, guna mengikuti hadits-
hadits nabawiah dan atsar-atsar dari para ulama salaf.”

Anda mungkin juga menyukai