Nim : 06051282025019
Hadits 1
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan
oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh
Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul
Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak
berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu
dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap
sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits 2
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana
dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Dimana yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka,
sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana
penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum
waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur
karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai
ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan
bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-
malasan.
Hadits 3
ال تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء هللا تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah
dengan ‘Bulan Ramadhan.'”
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar
adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41)
bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al
Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani
dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768). Dimana yang
benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena
banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
Hadits 4
أن شهر رمضان متعلق بين السماء واألرض ال يرفع إال بزكاة الفطر
“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya
kecuali zakat fithri.”
Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani
mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).Dimana
yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak
diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat
fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat
dosa tersendiri.
Hadits 5
“Barangsiapa yang beri’tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Ramadhân, maka dia seperti
telah menunaikan haji dan umrah dua kali“.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dalam kitab beliau Syu’abul Imân dari
Husain bin Ali bin Thâlib Radhiyallahu ‘anhuma. hadits ini Maudhû’.Syaikh al-Albâni
rahimahullah dalam kitab beliau Dha’if Jami’ish Shaghiir, no. 5460, mengatakan ,”Maudhû.’
Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan penyebab kepalsuan hadits ini dalam kitab beliau
rahimahullah Silsilah ad-Dha’ifah, no. 518.