Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HADIST AHKAM MUAMALAT

HADIST TENTANG LUQATAH DAN IHYA AL-AWAT


Dosen Pengampu: Zulaika,.S.Ud,.M.Ag

Disusun Oleh:
Kelompok 11

 Sholihatun Ni’mah
 Shelfi Nadia Hadi Putri

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF
JAMBI
2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kepada allah SWT, karena dengan Rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai syarat untuk mengetahui isi dari makalah yang berjudul
“Hadist tentang luqatah dan ihya al-mawat’’

Melalui penulisan ini, penulis berharap dapat membantu dalam pemecahan


masalah yang sedang dihadapi oleh makalah ini. dengan cara menerapkan teori teori
yang penulis terima. Dengan kemampuan terbatas, tentunya penulis dengan rendah
hati menerima saran atau kritikan yang bersifat positif guna perbaikan yang dapat
menuju kesempurnaan, disamping itu pula penulis mengucapkan terima kasih
kepada ibu zulaika,.S.Ud,.M.Ag selaku dosen mata kuliah hadist ahkam muamalat

Diharapkan semoga segala bantuan dan bimbingannya mendapat imbalan dari


Allah dan semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya para pembaca makalah
ini.

Jambi. Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Hadist tentang luqatah dan ihya al-mawat ....................................................................... 2
B. Pengertian luqatah dan ihya al-mawat ............................................................................. 4
C. Dasar hukum dan pendapat ulama .................................................................................. 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 11
B. Saran ........................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Secara tidak sengaja sering kali kita menemukan barang dijalan dan kita
bingung harus berbuat apa terhadap barang tersebut, mau diambil atau dibiarkan
saja. Kalau mau mengambil apa diperbolehkan dalam Islam, dan kalau barang
tersebut dibiarkan saja apakah tidak mubadhir. Hal ini terjadi karena kita tidak
mengetahui hukum menemukan barang temuan (Luqathah).
Tanah yang tidak nampak dimiliki oleh seseorang, serta tidak nampak ada
bekas-bekas apapun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lain.
Menghidupkan tanah mati (ihya’ul mawat) itu artinya mengelola tanah tersebut,
atau menjadikan tanah tersebut layak untuk ditanami dengan seketika. Tiap tanah
mati, apabila telah dihidupkan oleh orang, maka tanah tersebut telah menjadi milik
orang yang bersangkutan.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas dua materi yaitu
Ihya al Mawat dan Luqathah. Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu
hikmah yang sangat besar untuk kehidupan sosial.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Hadist Tentang Luqhatah dan Ihya al mawat?
2. Apa yang dimaksud dengan Luqhatah dan Ihya al-mawat?
3. Bagaimana Hukum dan pendapat para ulama tentang Luqhatah dan Ihya al
Mawat?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami hadist tentang luqatah dan ihya al mawat
2. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari Luqhatah dan ihya al-mawat
3. Untuk mengetahui dan memahami hukum dan pendapat para ulama tentang
Luqhatah dan Ihya al Mawat

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadist tentang luqatah dan ihya al-mawat

1. Hadist tentang luqatah

Ada beberapa ketentuan terkait mengambil barang temuan salah satunya


sebagaimana uraian berikut ini :

1. Tidak boleh memungut barang temuan di tanah haram (Mekah).

Berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhu, bahwa


Rasulullah bersa bda:

‫طتَهُ ِإ ََّل َمنْ ع ََّرفَ َها‬


َ َ‫ َو ََل يَلْت َ ِقطُ لُق‬،ُ‫ص ْي ُده‬
َ ‫ َو ََل يُنَفَّ ُر‬،ُ‫ضدُ ش َْوكُه‬ َّ ُ‫ِإنَّ َهذَا الْبَلَ َد َح َّر َمه‬
َ ‫َّللاُ ََل يُ ْع‬
“Sesungguhnya negeri ini telah dimuliakan oleh Allah, tidak boleh dicabut
durinya, tidak boleh diusir hewan-hewannya dan tidak boleh dipungut
barang temuannya, kecuali bagi orang yang ingin mengumumkannya.” (HR.
Bukhari no. 1587).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Apabila


barang temuan itu di Mekah, maka tidak boleh diambil kecuali jika ingin
mengumumkan selama-lamanya, maka ia sendiri mengumumkannya,
kemudian anggota keluarga sepeninggalnya, kemudian orang-orang setelah
itu sampai hari kiamat.” [HR. Bukhari no. 1587.
Demikian pula, tidak boleh mengambil barang yang tercecer dari jama’ah
haji, meskipun di luar tanah haram. Berdasarkan hadits :

ِ‫ط ِة ا ْل َحاج‬
َ َ‫عنْ لُق‬
َ ‫سلَّ َم نَ َهى‬
َ ‫َّللاُ عَلَ ْي ِه َو‬
َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫ أ َ َّن َرسُ ْو َل‬،ِ‫الر ْح َم ِن ب ِْن عُثْ َما َن الت َّ ْيمِي‬
َ ِ‫َّللا‬ َ ْ‫عن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ َ

Dari ‘Abdurrahman bin ‘Utsman At-Taimiy, sesungguhnya


Rasulullah melarang dari memungut barang yang tercecer dari jama’ah
haji. HR. Muslim no. 1724.

2
Adapun di masa sekarang, ketika jama’ah haji semakin banyak dan sulit
mengumumkan barang temuan di pasar-pasar maupun di tempat-tempat
berkumpulnya manusia, maka merupakan suatu kebaikan jika barang yang
tercecer dari jama’ah haji diserahkan kepada bagian keamanan di tanah haram
yang akan mengurusi barang-barang tersebut. Demikian pula karena
umumnya manusia telah memaklumi bahwa barang-barang hilang biasanya
disimpan oleh bagian kea manan. Hal itu akan lebih menjaga supaya barang
itu tidak rusak dan akan lebih mudah ditemukan oleh pemiliknya.

2. Hadist tentang ihya almawat

Hadits yang berkenaan dengan ihya’ al-mawat adalah


.‫ من أعمر أرضا ليست أل حد فهو احق‬: ‫ ان النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬,‫عن عائشة رضي هللا عنها‬
)‫ قضى به عمر رضي هللا عنه فى خال فته (رواه البخارى‬: ‫قال عروة‬

Artinya : Dari Aisyah r.a : Nabi SAW. pernah bersabda, “ orang yang mengolah
lahan yang tidak dimiliki siapa pun lebih berhak untuk memilikinya. “Urwah
berkata”, Umar r.a memberi keputusan demikian pada masa kekhalifahannya (H.R
Bukhari)

)‫ قال من أحياأرضا ميتة فهي له (رواه أحمد والترمذى‬,‫ ان النبي صلى هللا عليه وسلم‬,‫عن جابر رضى هللا‬

Artinya: Dari Jabir r.a, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : Barang siapa
yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi
miliknya (H.R. Ahmad dan At-Turmudzy)
Hadits di atas menunjukkan kebolehan menghidupkan tanah mati yang
tidak ada pemiliknya, dan tidak sedang dimanfaatkan orang lain. Dengan
demikian siapapun boleh menghidupkannya dengan menyiram, mengolah,
dan menanamnya, atau mendirikan bangunan di atasnya, atau membuat pagar
di sekitar tanah tersebut. Hadits ini juga menjelaskan bahwa syara’
mendorong untuk menghidupkan lahan tidur karena manusia sangat
membutuhkannya. Hal tersebut untuk pertanian, perindustrian, dan lapangan
perekonomian lainnya.

3
Dalam hadits tidak dijelaskan ciri-ciri tanah yang sudah dimiliki orang
lain, hal-hal apa saja yang menunjukkan bahwa lahan itu lahan tidur yang
boleh untuk dihidupkan, dan lain sebagainya. Hadis-hadis itu juga
memotivasi umat Islam untuk menjadikan lahan kosong menjadikan lahan
produktif, sehingga karunia yang diturunkan Allah SWT. dapat dimanfaatkan
semaksimum mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia

B. Pengertian luqatah dan ihya almawat

1. Pengertian Luqathah
Menurut Wahbah Zuhaili Ulama terkenal madzhab Syafii asal
Syiria dalam kitabnya Fiqhul Islam wa adillatuhu menyebutkan bahwa
Luqathah adalah:

1
.‫ أو الحيوان‬،‫ما يلتقطه اإلنسان من بني ادم أو األموال‬
Artinya “Sesuatu yang dikutip berupa manusia, atau harta atau hewan”

Luqathah ialah harta yang hilang dari tangan pemilikinya, yang


kemudian ditemukan orang lain. Luqathah adalah menemukan barang yang
hilang karena jatuh, terlupa, dan sebagainya. Kebanyakan kata Luqathah
dipakai untuk barang temuan selain hewan. Adapun untuk hewan sering
disebut dhallah.
Secara lugas dalam hadis diterangkan bahwa barang temuan adalah
milik seseorang yang terpisah dari orang tersebut. Barang temuan dalam
bahasa Arab (Bahasa Fuqaha) disebut al-Luqathah, menurut bahasa
(etimologi) artinya ialah sesuatu yang ditemukan atau didapat.
Sedangkan menurut istilah ( Terminologi ) yang dimaksud dengan al-
Luqathah sebagaimana yang dita’rifkan oleh para ulama sebagai berikut: 2

1 Adlchiyah Sunarto, M. Multazam, Fiqih Syafi’i, (Surabaya: CV Bintang Pelajar, 1984), hlm. 331.

2 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002 ) hal. 197-198

4
a) Muhamad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa al-Luqathah
ialah: “Sesuatu yang ditemukan atas dasar hak yang mulia, tidak terjaga dan
yang menemukan tidak mengetahui mustahiqnya”.
b) Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah berpendapat,
bahwa yang dimaksud dengan al-Luqathah ialah: “Sesuatu dari harta atau
sesuatu yang secara khusus semerbak ditemukan di daerah harby, tidak
terpelihara dan tidak dilarang karena kekuatannya, yang menemukan tidak
mengetahui pemilik barang tersebut”.
c) Al-Imam Taqiy al-Din Abii Bakr Muhammad al-Husaini bahwa al-
Luqathah menurut syara’ ialah:
“Pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk dipeliharanya
atau dimilikinya setelah diumumkan” .
2. Pengertian Ihya’ Al-Mawat
Kata ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata yaitu ihya’ menghidupkan
dan al-mawat sesuatu yang mati, yang berarti ihya’ al-mawat menurut bahasa
diartikan menghidupkan sesuatu yang mati. Menurut Abu Bakar IbnKhusen
al-Kasynawi al-mawat itu adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak
ada yang memanfaatkannya.3 Al-Rafi’i mendefinisikan al-mawat dengan
tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya
seorangpun.
Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkan
tanah untuk keperluan apa pun, sehingga bisa menghidupkannya yakni
dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha
orang tadi telah menjadikan tanah tersebut miliknya.
Menurut Sulaiman Rasjid ihya’ al-mawat adalah membuka tanah baru
yakni tanah yang belum dikerjakan oleh siapa pun, berarti tanah itu tidak
dimiliki oleh seorang atau tidak diketahui pemiliknya. 4 Idris Ahmad

3 Abu Bakar Ibn Khusen al-Kasynawi, Asyhadul Madarik, Syarkh Irsyad al-Syalik fi Fiqhi Imam al-Aimmah
Malik, Juz 2, ( Beirut, Libanon: Dar al-Kitab Ilmiah, 1991), hlm. 190.

4 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (At-Tahairriyah : Jakarta, 1976), hlm. 319.

5
mendefinisikan ihya’ al-mawat dengan memanfaatkan tanah kosong untuk
dijadikan kebun sawah dan yang lainnya. 5
Menurut ulama’ Syafi’iyah adalah:

‫اصالح االرض ما لم يكون عامرا وال حريما لعامر قريب من العامراو بعد‬
Artinya : Penggarapan tanah atau lahan yang belum digarap orang lain, dan
lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat.
Dari pengertian di atas jika diperluas maknanya menunjukkan
bahwa ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah
dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai
lahan pertanian maupun mendirikan bangunan, “pengertian tersebut
mengisyaratkan bahwa yang menjadikan sebab seseorang bisa memiliki
sebidang tanah, manakala tanah itu kosong, belum diolah dan belum dimiliki
seseorang”. 6

C. Hukum dan pendapat ulama


Hukum pengambilan barang temuan, oleh ulama dibagi ke dalam beberapa
tingkatan dan di antaranya sebagai berikut :

1. Apabila barang temuan ditemukan oleh orang yang memiliki kepercayaan


tinggi dan ia mampu mengurus benda-benda temuan itu sebagaimana
mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil
akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab, maka atasnya berhak mengambil barang temuan
tersebut
2. Apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus
benda-benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya, tetapi bila tidak
diambil pun barang barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia.

5 Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyyah, (Karya Indah : Jakarta, 1986), hlm. 144.

6 Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyyah, (Karya Indah : Jakarta, 1986), hlm. 105.

6
3. Apabila harta itu ditemukan, kemudian yang bersangkutan ragu -ragu antara
mampu memelihara dengan mengesampingjkan harta yang ditemukan.
4. Penetapan hukum terhadap barang temuan oleh kebanyakan ulama fiqh
adalah “boleh”. Tentunya penetapan tersebut didasari oleh penalaran dalil-
dalil yang ada, dan hukum tersebut berlaku bagi orang yang meyakini
dirinya mampu memelihara dan mengumumkannya, dasar hukum tentang
kewajiban bagi penemu untuk mengumumkan barang temuan adalah hadits
Nabi SAW:
5. “Dari Zaid bin Khalid r.a. berkata; Seorang datang kepada Rasulullah SAW,
menanyakan tentang luqathah, Rasulullah SAW bersabda: Kenalilah wadah
dan tali pengikatnya, kemudian umumkan selama satu tahun, maka jika
dating pemiliknya (kembalikan padanya), jika tidak maka sesukamu.
Ditanya: Jika menemukan kambing? Rasulullah SAW menjawab: Kambing
itu untukmu atau saudaramu atau bagi srigala. Jika mendapatkan unta?
Rasulullah SAW bersabda: Apa urusanmu dengan unta? Dia sanggup cukup
dengan minumnya dan kakinya, dia dapat mencari minum dan makanannya
sehingga bertemu dengan pemiliknya.” (HR Bukhari-Muslim)
6. Abu Daud juga merawikan hadits tentang larangan Rasulullah SAW
mengambil barang temuan pada saat orang-orang sedang mengerjakan
ibadah haji, hadits tersebut ialah
7. Artinya: “Diceritakan Yazid ibn Khalid Mauhab dan Ahmad ibn Shalih
berkata diceritakan ibn Wahab dikabarkan ‘Umar dari Bakir dari Yahya ibn
Abdurrahman ibn Hathib dari Abdurrahman ibn ‘Ustman al-Taymi
sesungguhnya Rasulullah Saw., melarang mengambil barang yang hilang
kepunyaan orang-orang yang sedang mengerjakan ibadah haji, kemudian
berkata Ahmad berkata ibnu Wahab yakni tinggalkanlah barang temuan di
waktu haji sampai ada orang yang mempunyai mengambilnya berkata
seperti itulah ibnu Mauhab dari ‘Umar”. (H.R. Abu Dawud)
8. Apabila orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui
bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya
tidak akan mampu memelihara barang tersebut.

7
Dalam pandangan imam Malik, bahwa barang temuan itu tetap menjadi
tanggungan (ganti rugi; biaya) bagi si penemu sekiranya ia telah melakukan
tindakan, baik dengan cara menyedekahkan dan atau memanfaatkan. Alasan
imam Malik lantaran barang temuan itu adalah serupa dengan wadi’ah
(barang titipan), sehingga bagaimana pun keadaan barang tersebut tentu tidak
berpindah status kepemilikan kepada orang lain (si penemu); karenanya jika
rusak perlu mengganti atau membayarkannya

Di kisahkan bahwa ada seorang laki-laki pernah datang dan bertanya


kepada Rasulullah SAW., mengenai Luqhatah . Beliau menjawab : “
perhatikanlah bejana tempatnya dan tali pengikatnya, lalu umumkanlah
(barang Itu) selama setahun. Jika pemiliknya datang maka serahkanlah
kepada mereka dan jika tidak maka manfaatkanlah . Lelaki itu bertanya lagi,
“ bagaimana barang temuan tersebut berupa kambing yang tersesat? Beliau
menjawab: “Ambillah, itu milikmu, atau milik saudaramu, atau akan di
makan serigala . Lelaki itu masih bertanya “bagaimana bila itu berupa unta
yang tersesat?” Beliau menjawab “ Apa urusannya denganmu?! Ia masih
memakai terompah dan memiliki cadangan airnya sendiri sampai nanti
pemiliknya datang menemukannya .”(H.R Al-Bukhari)

Pada tingkat yang pertama, ulama mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali) sepakat mengenai barang temuan untuk mengumumkan setidaknya
satu tahun dari batas waktu barang itu ditemukan. Namun demikian, yang
perlu diperhatikan bahwa barang tersebut harus tahan lama (seperti emas,
perak dan barang yang sejenis dengannya). Meskipun begitu, di kalangan
ulama masih tampak berbeda pendapat sehubungan dengan barang temuan
itu perlu diambil atau dibiarkan saja.

Para ulama fikih berbeda pendapat terkait dengan barang temuan di


tanah haram. Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah dalam salah satu
riwayatnya dan haram. Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah dalam salah satu
riwayatnya dan dari Syafi’i mengatakan,”Bahwa ia seperti barang temuan di

8
tanah halal. dari Syafi’I mengatakan,”Bahwa ia seperti barang temuan di
tanah halal. Sementara perkataan Ahmad dan ini termasuk salah satu riwayat
dari Syafi’i Sementara perkataan Ahmad dan ini termasuk salah satu riwayat
dari Syafi’I mengatakan, “Bahwa barang temuan di haram hendaknya
diumumkan untuk mengatakan, “Bahwa barang temuan di haram hendaknya
diumumkan untuk selamanya sampai datang pemiliknya. Berdasarkan sabda
Nabi sallallahu alaihi selamanya sampai datang pemiliknya.

Dengan demikian, sejumlah uraian di atas dapat dikatakan bahwa


hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada
kondisi tempat dan kemampuan penemunya Dikarenakan status hukum
barang temuan itu dibolehkan untuk diambil, maka anjuran atasnya juga
dituntut untuk memeliharanya dengan baik. Dengan demikian, identitas
kepercayaan seseorang untuk menerima tanggungan dalam rangka
memelihara barang temuan menjadi tindakan yang tidak boleh disia-siakan. 7

Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi, ihya’ almawat


(menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu:
1. Bahwa yang menghidupkan itu orang Islam, maka disunnahkan
baginya menghidupkan bumi mati, meskipun Imam (pemuka)
mengizinkan atau tidak.
2. Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun yang
memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam
status jelas merdeka.8
Hafidz Abdullah dalam bukunya kunci fiqih Syafi’i berpendapat
barang siapa boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki
tanah kosong (mawat) dengan menghidupkannya. Tetapi orang kafir tidak
boleh memiliki tanah kosong dengan jalan menghidupkannya di negara Islam,
dan boleh memilikinya di negara musyrik. Semua tanah kosong yang tidak

7 http://pm.unida.gontor.ac.id/hukum-luqathah-barang-temuan-menurut-empat-madzhab/

8 Al.Musuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah /fathul al mujib alfadzi taqrib.

9
tampak padanya bekas-bekas pemilikan dan tidak tergantung dengan
kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki
dengan menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya
bekas-bekas pemilikan, tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada
di negeri Islam maka tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya.
Sedangkan kalau ia berada di negeri kafir, ada pendapat yang mengatakan
boleh dan ada pula yang mengatakan tidak boleh. Para ulama Fiqh
menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang
memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah: Pemilikan lahan
itu. Mayoritas ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah
menggarap sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai
pemilik lahan, Akan tetapi, Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi
menyatakan bahwa status orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah
status hak guna tanah, bukan hak milik. Ia menganalogikannya dengan
seseorang yang duduk di atas tempat yang dibolehkan, maka ia hanya berhak
memanfaatkannya bukan memiliknya.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata yaitu ihya’ menghidupkan dan al-
mawat sesuatu yang mati, yang berarti ihya’ al-mawat menurut bahasa diartikan
menghidupkan sesuatu yang mati. Menurut Abu Bakar IbnKhusen al-Kasynawi al-
mawat itu adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang
memanfaatkannya. Al-Rafi’i mendefinisikan al-mawat dengan tanah yang tidak
ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorangpun. landasan hukum
menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang didasarkan
pada hadis Nabi Saw yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan
mendapatkan pahala dari Allah Swt
Luqathah ialah harta yang hilang dari tangan pemilikinya, yang kemudian
ditemukan orang lain. Kebanyakan kata luqathah dipakai untuk barang temuan yang
sifatnya umum. Adapun untuk hewan sering disebut dhallah dan temuan untuk
manusia sering disebut laqith.
Hukum al-Luqathah berubah-ubah tergantung dari kondisi tempat dan
penemunya. Hukum al-Luqathah antara lain wajib, sunnat, makruh, Mubah bahkan
haram.

B. Saran
Demikianlah makalah singkat ini semoga bermanfaat. Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran atas makalah ini, dikarenakan masih terdapat
kekurangan. Atas kritik dan sarannya kami ucapkan terimakasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

Adlchiyah Sunarto, M. Multazam, Fiqih Syafi’i, Surabaya: CV Bintang Pelajar,


1984

Anwar Moh. Fiqih Islam. Subang : Pt. Alma’arif. 1988

Enizar, Syarah Hadis Ekonomi. STAIN Jurai Siwo Metro. 2009.

Hafidz Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, Semarang: CV. Asy Syifa, 1992

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, Jakarta: Pustaka
Azimi, 2005

Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyyah, Karya Indah : Jakarta, 1986

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, At-Tahairriyah : Jakarta, 1976

Al.Musuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah /fathul al mujib alfadzi taqrib.


http://pm.unida.gontor.ac.id/hukum-luqathah-barang-temuan-menurut-empat-madzhab/

12

Anda mungkin juga menyukai