Anda di halaman 1dari 9

Home

Hadits
Keutamaan Mencari Nafkah Halal dan Tidak Menjadi Beban Orang Lain
Keutamaan Mencari Nafkah
Halal dan Tidak Menjadi
Beban Orang Lain
5 May 2013, 8:20 am
Hadits, nafkah, ustadz
Dikeluarkan Imam Al Bukhari dalam Shahih-
nya,

(( :

)) .
Dari al-Miqdam Radhiallahu anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah seorang
(hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya
(sendiri), dan sungguh Nabi Dawud alaihissalam makan dari hasil
usaha tangannya (sendiri)
1
.
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan bekerja mencari nafkah
yang halal dan berusaha memenuhi kebutuhan diri dan keluarga dengan
usaha sendiri. Bahkan ini termasuk sifat-sifat yang dimiliki oleh para
Nabi alaihimussalam dan orang-orang yang shaleh. Dalam hadits lain
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Nabi Zakariya
alaihissalam adalah seorang tukang kayu
2
.
Dalam biografi imam besar Ahlus sunnah dari generasi Tabiut tabiin,
imam Abdullah bin Al-Mubarak engkau mengekspor barang-barang
dagangan dari negeri Khurasan ke Tanah Haram/Mekkah (untuk dijual),
bagaimana ini?. Maka Abdullah bin Al-Mubarak menjawab:
Sesungguhnya aku melakukan (semua) itu hanya untuk menjaga
mukaku (dari kehinaan meminta-minta), memuliakan kehormatanku
(agar tidak menjadi beban bagi orang lain), dan menggunakannya untuk
membantuku dalam ketaatan kepada Allah. Lalu Al-Fudhail bin Iyadh
berkata: Wahai Abdullah bin Al-Mubarak, alangkah mulianya tujuanmu
itu jika semuanya benar-benar terbukti
3
.
Beberapa faidah penting dari hadits di atas:
Termasuk sifat mulia yang dimiliki oleh para Nabi
alaihimussalam dan orang-orang yang shaleh adalah mencari
nafkah yang halal dengan usaha mereka sendiri, dan ini tidak
melalaikan mereka dari amal shaleh lainnya, seperti berdakwah
di jalan Allah Taala dan memuntut ilmu agama.
Usaha yang halal dalam mencari rezki tidak bertentangan dengan
sifat zuhud, selama usaha tersebut tidak melalaikan manusia dari
mengingat Allah Taala. Allah Taala berfirman memuji hamba-
hamba-Nya yang shalih:


laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula)
oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang
(pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang (QS an-
Nuur:37).
Imam Ibnu Katsir berkata: Mereka adalah orang-orang yang tidak
disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta
kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih keuntungan
(besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka
(Allah Taala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezki
kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang
mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi
Allah Taala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta
benda yang ada di tangan mereka, karena apa yang ada di
tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi
Allah adalah kekal abadi
4
.
Bekerja dengan usaha yang halal, meskipun dipandang hina oleh
manusia, lebih baik dan mulia daripada meminta-minta dan
menjadi beban bagi orang lain
5
. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda: Sungguh jika salah seorang dari kalian
mengambil tali, lalu pergi ke gunung (untuk mencari kayu bakar),
kemudian dia pulang dengan memikul seikat kayu bakar di
punggungnya lalu dijual, sehingga dengan itu Allah menjaga
wajahnya (kehormatannya), maka ini lebih baik dari pada dia
meminta-minta kepada manusia, diberi atau ditolak
6
.
Mulianya sifat iffah (selalu menjaga kehormatan diri dengan tidak
meminta-minta) serta tercelanya sifat meminta-minta dan menjadi
beban bagi orang lain. Inilah sifat mulia yang ada pada para
shahabat Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam, sebagaimana
firman Allah Taala:


(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad)
di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang
tidak tahu (keadaan mereka) menyangka mereka orang kaya
karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal
mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta
kepada orang secara mendesak (QS al-Baqarah: 273).
Keutamaan berdagang (berniaga) yang halal, dan inilah pekerjaan
yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dan para shahabat radhiallahuanhum, sebagaimana
yang disebutkan dalam hadits yang shahih
7
. Adapun hadits
Sembilan persepuluh (90 %) rezki adalah dari perniagaan,
maka ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan
oleh syaikh al-Albani
8
.

Kota Jakarta, 8 Jumadal ula 1434 H
1 HSR al-Bukhari (no. 1966).

2 HSR Muslim (no. 2379).

3 Kitab Tahdzibul Kamal (16/20) dan Siyaru Alaamin Nubala (8/387).

4 Kitab Tafsir Ibnu Katsir (3/390).

5 Lihat kitab Bahjatun Naazhiriin (1/598).

6 HSR al-Bukhari (no. 1402) dan (no. 1410).

7 HR ath-Thabrani dalam Al-Mujamul Kabiir (23/300, no. 674) dan dinyatakan jayyid (baik/shahih) oleh syaikh al-Albani
dalam Silsilatul Ahaa-ditsish Shahiihah (no. 2929).

8 Dalam Silsilatul Ahaa-ditsidh Dhaiifah (no. 3402).

Tarif (pengertian) Ihyaaul Mawat
Mawat atau tanah yang mati maksudnya tanah yang tidak ada pemiliknya.
Para fuqaha (Ahli Fiqh) memberikan tarif bahwa mawat adalah tanah yang terlepas dari
kekhususan dan kepemilikan yang terpelihara. Ada pula yang memberikan tarif, bahwa Ihyaaul
mawaat adalah menyiapkan tanah yang mati yang belum digarap oleh yang lain dan
menjadikannya bisa dimanfaatkan baik untuk dipakai tempat tinggal maupun dipakai bercocok
tanam dsb. Dan ada pula yang memberikan tarif, bahwa tanah yang mati adalah tanah yang tidak
dimiliki seseorang, tidak ada bekas penggarapan, atau tidak ada bekas kepemilikan dan
penggarapan, dan tidak diketahui pemiliknya[1].
Dari tarif fuqaha di atas dapat diketahui, bahwa tidak termasuk ke dalam mawat (tanah yang
mati) dua masalah ini:
1. Pertama, jika masih dalam kepemilikan yang terpelihara dari orang muslim dan orang kafir
dengan adanya jual beli, pemberian, atau cara lainnya sehingga memilikinya.
2. Kedua, yang terkait dengan maslahat milik orang yang terpelihara, seperti jalan, halaman,
saluran air atau terkait dengan maslahat penduduk suatu desa seperti untuk penguburan mayit,
tempat pembuangan sampah, lapangan khusus shalat Iedain, area kayu bakar dan ladang rumput
untuk gembala. Maka semua ini tidak bisa dimiliki dengan menghidupkannya.
3. Dengan demikian, jika suatu tanah lepas dari kepemilikan yang terpelihara dan dari
pengkhususan untuk hal tertentu, kemudian ada orang yang menghidupkannya, maka tanah itu
menjadi miliknya. Hal ini berdasarkan hadits Jabir secara marfu:

Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya. (HR.
Ahmad dan Tirmidzi, ia menyatakan Hasan shahih, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Ajakan Islam Untuk Menghidupkan Tanah
Yang Mati
Islam mencintai manusia meluaskan bagiannya dalam menggarap dan bertebaran di muka bumi
sertamenghidupkan tanah yang matinya sehingga kekayaan mereka banyak dan mereka menjadi
kuat. Oleh karena itu, Islam menyukai pemeluknya mendatangi tanah yang mati lalu
menghidupkannya, menggali kebaikannya dan memanfaatkan keberkahannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.
Urwah pernah berkata, Sesungguhnya bumi adalah milik Allah dan hamba-hamba juga hamba
Allah. Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka dia lebih berhak kepadanya.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam datang membawa ajaran ini.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka di sana ia akan memperoleh pahala
dan tanaman yang dimakan binatang kecil (seperti burung atau binatang liar), maka hal itu
menjadi sedekah baginya. (HR. Darimiy dan Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
dalam al-Irwaa (4/6))
Syarat Menghidupkan Tanah Yang Mati
Disyaratkan untuk sebuah tanah agar bisa dikatakan mati adalah dengan jauh dari keramaian, agar
bukan termasuk milik mereka dan tidak ada dugaan milik mereka. Untuk mengetahui jarak jauh
dari keramaian adalah dengan mengembalikannya kepada uruf.
Umumnya para fuqaha di setiap negeri berpendapat bahwa tanah itu dapat dimiliki dengan
dihidupkan, meskipun mereka berselisih tentang syarat-syaratnya. Dan bahwa bukan termasuk
mawat adalah tanah haram dan Arafah, maka tanah ini tidak bisa dimiliki dengan dihidupkan,
karena dapat mempersempit manasik.
Menurut penyusun al-Fiqhul Muyassar hal. 261, bahwa untuk sahnya menghidupkan tanah yang
mati disyaratkan dua hal:
1. Bukan milik seorang muslim. Jika ternyata milik seorang muslim, maka tidak boleh
dihidupkan kecuali dengan izin yang syari.
2. Orang yang menghidupkan tanah yang mati adalah seorang muslim. Oleh karena itu, orang
kafir tidak boleh menghidupkan tanah yang mati di wilayah Islam.
Tentang Izin Dari Hakim
Para fuqaha sepakat bahwa menghidupkan merupakan sebab memiliki, namun mereka berselisih
tentang apakah perlu izin hakim dalam menghidupkan tanah yang mati. Kebanyakan para ulama
berpendapat, bahwa menghidupkan merupakan sebab memiliki tanpa ada syarat adanya izin dari
hakim. Oleh karena itu, siapa saja yang menghidupkan, maka ia menjadi pemiliknya tanpa perlu
izin dari hakim. Seorang hakim bahkan wajib menyerahkan haknya ketika ada laporan terjadi
perselisihan kepadanya. Hal ini, berdasarkan riwayat Abu Dawud dari Said bin Zaid bahwa
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati,
maka tanah itu menjadi miliknya.
Berbeda dengan Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa menghidupkan memang menjadi syarat
memiliki, akan tetapi disyaratkan harus ada izin dari imam atau pengakuannya.
Sedangkan Imam Malik membedakan antara tanah yang berdampingan dengan keramaian dengan
tanah yang jauh dari keramaian. Jika berdampingan, maka harus ada izin dari hakim, namun jika
jauh maka tidak disyaratkan izinnya, bahkan menjadi milik orang yang menghidupkannya.
Kapankah Hak Ini Gugur?
Barangsiapa yang menahan tanah dan memberinya tanda atau memagarinya dengan dinding,
namun dia tidak menggarapnya, maka haknya menjadi gugur setelah lewat tiga tahun.
Dari Salim bin Abdullah, bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu pernah berkata di atas
mimbar,

Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan bagi
pemberi batas tidak memiliki hak setelah tiga tahun.
Yang demikian, karena beberapa orang mudah membatasi, namun tidak mau menggarapnya.
Menghidupkan Tanah Orang Lain Tanpa
Sepengetahuannya
Sesungguhnya yang berjalan di masa Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz adalah
apabila seseorang menggarap tanah karena mengira bahwa tanah itu termasuk tanah yang mati,
yakni tidak dimiliki siapa-siapa, lalu ternyata ada orang lain dan memastikan bahwa tanah itu
miliknya, maka ia diberi pilihan, bisa menarik tanahnya dari si penggarap setelah diberikan upah
garapannya atau memindahkan hak milik kepadanya setelah mengambil harganya.
Tentang hal di atas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan bagi
keringat yang zalim tidak ada hak[2]. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Adh Dhiyaa,
dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami no. 5976)
Tercapainya Menghidupkan Tanah Yang Mati
Menghidupkan tanah yang mati itu tercapai dengan beberapa hal berikut:
1. Jika ia memagarinya dengan dinding yang dapat menghalangi secara uruf, maka ia dikatakan
telah menghidupkan. Hal ini berdasarkan hadits Jabir secara marfu:

Barangsiapa yang memagari tanah dengan sebuah dinding, maka tanah itu menjadi miliknya.
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Adh Dhiyaa dan dishahihkan oleh Ibnul Jaarud dan Syaikh al-Albani
dalam Shahihul Jami no. 5952. Hadits serupa ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Samurah,
dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa (1554)).
Hadits ini menunjukkan bahwa memagari tanah menjadikan dirinya memilikinya. Ukuran yang
dianggap dalam hal ini adalah yang bisa disebut sebagai pagar atau dinding.
Adapun jika hanya menaruh di sekeliling tanah bebatuan, tanah atau dinding kecil yang masih
bisa dilalui atau menggali parit di sekelilingnya, maka ia masih tidak bisa memiliki, namun ia
lebih berhak menghidupkannya daripada yang lain. Dan ia tidak boleh menjualnya kecuali setelah
dihidupkannya.
2. Jika dilakukan penggalian sumur di tanah yang mati tersebut, sampai ditemukan air, maka ia
dianggap telah menghidupkannya. Namun jika ia gali sumur, tetapi belum sampai menemukan
airnya, ia masih belum bisa dikatakan memilikinya. Hanyasaja ia lebih berhak menghidupkan
daripada yang lain, karena dialah yang memulai ingin menghidupkannya.
3. Jika ia mengalirkan air ke tanah yang mati dari mata air atau sungai, maka ia dianggap telah
menghidupkannya, karena pemberian manfaat dengan air itu lebih besar manfaatnya daripada
sekedar memberi dinding.
4. Jika ia menahan air yang senantiasa membanjiri tanah tersebut, sehingga tidak bisa digarap,
lalu ia halangi masuknya air ke tanah itu sehingga bisa digarap, maka berarti ia telah
menghidupkannya.
5. Jika ia menanam pohon, sedangkan sebelumnya tanah itu tidak bisa ditanami pepohonan, lalu
ia membersihkannya, kemudian menanamnya.
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa menghidupkan tanah yang mati tidak hanya dengan
cara seperti di atas saja, bahkan kembalinya ke uruf (kebiasaan yang berlaku). Jika orang-orang
menganggap bahwa perbuatan ini atau itu dianggap menghidupkan tanah yang mati, maka berarti
ia boleh memiliki tanah itu. Pendapat ini dipegang oleh para imam madzhab hanbali dan lainnya.
Hal itu karena syara datang menggantungkan memiliki dengan menghidupkan dan tidak
menerangkannya, maka dalam hal ini dikembalikan kepada uruf.
Bersambung
Wallahu alam wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalhihi wa shahbihi wa
sallam.
Oleh: Marwan bin Musa
Artikel www,Yufidia.com
Maraji: Fiqh Muyassar Fii Dhauil Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus
Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Musnad Ahmad, Al
Maktabatusy Syamilah dll.

[1] Lihat Al Mulakhkhash Al Fiqhiy, Fiqhus Sunnah, dan Al Fiqhul Muyassar fii Dhauil Kitab
was Sunnah,semuanya pada pembahasan Ihyaaul mawat.
[2] Contoh keringat yang zalim adalah seseorang mendatangi tanah yang dihidupkan oleh orang
lain dengan menanam pohon atau tanaman agar memiliki tanah itu.
http://yufidia.com/ilmu-fikih-ihyaaul-mawat-menghidupkan-tanah-yang-mati-bag-1 26/9/2014
15:35

Anda mungkin juga menyukai