Anda di halaman 1dari 6

SEMANGAT MENUNTUT ILMU SYAR’I

Apakah Cita-Citamu yang Paling Tinggi?

Ketika ditanya tentang cita-cita, mungkin sebagian besar di antara kita menjawab dengan
menyebutkan berbagai cita-cita yang berkaitan dengan urusan duniawi. Dalam hal duniawi
pula, sebagian besar di antara kita berlomba-lomba di dunia ini, entah untuk meraih gelar
akademik tertinggi; berlomba-lomba untuk meraih pangkat, jabatan, atau popularitas; atau
bersaing dalam masalah harta dan kemewahan hidup di dunia. Sedikit di antara kita yang
memposisikan akhirat sebagai cita-cita tertinggi dalam hidup kita di dunia ini.

Marilah kita merenungkan tentang cita-cita seorang shahabat yang mulia, Robi’ah bin Ka’ab Al-
Aslami radhiyallahu ‘anha ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadanya,“Wahai Robi’ah, memintalah kepadaku!” Robi’ah berkata,“Aku meminta kepadamu
agar aku bisa menemanimu di surga!” Maka Rasulullah berkata,“Atau selain hal itu?” Robi’ah
berkata,“Ya, itu saja.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Maka bantulah aku
dengan Engkau memperbanyak sujud.” HR. Muslim.

Oleh karena itu, sangat jauhlah perbedaan antara orang yang cita-citanya tertuju pada
makanan, minuman dan syahwat, dengan orang yang cita-citanya tertuju pada istana di surga!
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,”Ketahuilah, sesungguhnya cita-cita itu ada dua
macam, (pertama) cita-cita yang kembalinya kepada dubur (makanan) dan qubul (seks); dan (ke
dua) cita-cita yang terikat dengan yang berada di atas ‘Arsy, yaitu Allah Ta’ala.” Al Fawaa-id,
karya Ibnul Qoyyim rahimahullah. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 16-
17.

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,“Jika Engkau melihat ada seseorang yang menyaingimu
dalam masalah dunia, maka saingilah dia dalam masalah akhirat.”

Wuhaib bin Warod rahimahullah mengatakan,“Jika Engkau mampu agar tidak ada seorang pun
yang mendahuluimu menuju Allah, maka lakukanlah!”

Niat yang ikhlas dan motivasi yang tinggi hendaknya menjadi jiwa yang menerangi langkah
seorang muslim dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Sebagaimana seseorang bisa
memiliki semangat yang membara untuk mengejar dunia, maka semangat yang lebih besar dan
lebih tinggi harus dimiliki oleh seorang muslim untuk mengejar akhirat. Siapa saja yang
bersungguh-sungguh, maka dialah yang akan menuai hasilnya karena surga Allah Ta’ala itu
sangat mahal harganya.

Setiap detik waktu yang dimiliki oleh seorang mukmin hendaknya diisi dengan semangat,
karena dia mengetahui betapa mulianya waktu tersebut. Barangsiapa yang menginginkan
pahala, maka akan terasa ringanlah segala beban yang dia rasakan. Semakin tinggi cita-cita
seseorang, maka segala rintangan, hambatan, kesulitan, dan keletihan yang dia alami akan
terasa sangat kecil dan ringan. Imam Ahmad rahimahullah berkata, ”Sungguh aku telah
mengerahkan seluruh kemampuanku (untuk menuntut ilmu, pent.).” Dan ketika Imam Ahmad
rahimahullah ditanya,”Kapankah seorang hamba merasakan nikmat istirahat (dari menuntut
ilmu dan beramal, pent.)?, maka beliau rahimahullah menjawab,”Ketika dia pertama kali
menginjakkan kakinya di surga.”

Apa itu ilmu?


Ilmu adalah perkara yang sangat penting dalam kehidupan. Kehidupan yang kita jalani butuh
kepada ilmu. Ketika manusia hidup di dunia dia butuh pengetahuan dan ilmu tentang hakikat
kehidupan dia di dunia. Maka dari itulah, kemuliaan seseorang terletak pada ilmu yang dia
miliki. Di dalam Al-Qur’an dan hadits, banyak sekali anjuran untuk menuntut ilmu Allah.

Ilmu adalah perkara yang sangat penting dalam kehidupan. Kehidupan yang kita jalani butuh
kepada ilmu. Ketika manusia hidup di dunia dia butuh pengetahuan dan ilmu tentang hakikat
kehidupan dia di dunia. Maka dari itulah, kemuliaan seseorang terletak pada ilmu yang dia
miliki. Di dalam Al-Qur’an dan hadits, banyak sekali anjuran untuk menuntut ilmu Allah. Adapun
pada pembahasan ini, hal-hal yang akan disampaikan, di antaranya: definisi Ilmu, dalil
keutamaan menuntut ilmu, hukum menuntut imu dan perkara yang dibutuhkan dalam
menuntut ilmu.

Apa itu ilmu? Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr menyebutkan bahwa ilmu artinya sesuatu yang engkau
sudah merasa yakin dan sudah jelas bukti-buktinya di hadapanmu. Seseorang disebut berilmu
dengan baik tentang shalat, apabila orang tersebut sudah mengetahui gerakan-gerakan shalat
sesuai dengan dalil-dalil dan bukti-bukti dari Al-Qur’an dan hadits.

Adapun orang yang sekedar mengikuti orang lain tanpa mengetahui bukti dan dalil-dalilnya,
maka dia disebut muqallid, sedangkan muqallid belumlah bisa dikatakan orang yang berilmu
tentang sesuatu beserta dalilnya. Allah senantiasa mengajarkan kepada kita untuk senantiasa
mendatangkan dalil dan bukti, Allah berfirman:

‫ِين‬ َ ‫قُ ْل َها ُتوا بُرْ َها َن ُك ْم ِإنْ ُك ْن ُت ْم‬


َ ‫صا ِدق‬
Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (QS. Al-
Baqarah:111).

Allah tidak memerintahkan kepada kita untuk mengikuti apa kata orang tanpa mengetahui dalil
atau bukti-bukti dari Al-Qur’an maupun hadits. Allah memberikan kepada manusia tiga alat
untuk menuntut ilmu, yaitu hati untuk memahami, mata untuk melihat, telinga untuk
mendengar. Allah mensifati penduduk neraka Jahanam dengan sifat tidak menggunakan tiga
alat ini di dalam firman-Nya:

“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf: 179).

Hendaklah seorang menggunakan hatinya, misalnya memikirkan apa bukti-bukti akan


kebesaran Allah, kebenaran Islam, kebenaran sebuah pendapat.

Maka dari itu, para ulama sendiri berhati-hati di dalam mendengar seseorang yang berbicara
masalah agama. Janganlah tergesa-gesa dalam mengambil perkataan orang yang berbicara
ilmu.

Dalil Keutamaan Menuntut Ilmu

Firman Allah Ta’ala :


‫ون َخ ِبي ٌر‬ ٍ ‫ِين ُأو ُتوا ْالع ِْل َم د ََر َجا‬
َ ُ‫ت َوهَّللا ُ ِب َما َتعْ َمل‬ َ ‫َيرْ َف ِع هَّللا ُ الَّذ‬
َ ‫ِين آ َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َوالَّذ‬
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha mengetahui apa yang kalian
kerjakan.” (QS. Al-Mujadillah: 11).

Ibnu Abbas menafsirkan: “Allah mengangkat derajat orang yang berilmu di atas orang yang
tidak berilmu beberapa derajat yang sangat tinggi”. Tentunya penafsiran Ibnu Abbas ini
sepadan dengan hadits yang menunjukkan akan hal itu, di antaranya hadits yang diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi.

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: bahwa telah disebutkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dua orang; yang pertama, ‘abid (seorang ahli ibadah). Kedua, ‘alim
(seorang yang berilmu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Keutamaan seorang
‘alim daripada seorang ‘abid, bagaikan keutamaan diriku jika dibandingkan dengan orang yang
terendah di antara kamu”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya, semua penduduk langit dan penduduk bumi,
hingga semut yang berada di dalam lubangnya, juga ikan paus di lautan, selalu bershalawat
(mendo’akan) orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. At-Tirmidzi,
hadits hasan shahih)

Firman Allah Ta’ala,

‫ ْالع ِْل ِم َقاِئمًا ِب ْالقِسْ طِ اَل ِإ ٰلَ َه ِإاَّل ه َُو ْال َع ِزي ُز ْال َحكِي ُم‬1‫َش ِه َد هَّللا ُ َأ َّن ُه اَل ِإ ٰلَ َه ِإاَّل ه َُو َو ْال َماَل ِئ َك ُة َوُأولُو‬
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”(QS. Ali-Imran: 18).

Ayat ini menjadi dalil keutamaan orang yang berilmu, karena Allah bersaksi, kemudian malaikat
bersaksi, dan Allah menyebutkan jenis dari manusia hanya satu, yaitu: orang yang berilmu juga
bersaksi bahwasanya tidak ada ilaah yang berhak disembah selain Dia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل هللا له به طريقا إلى الجنة‬
“Barangsiapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan
ke surga.” (HR. Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu masjid Allah, untuk membaca Al-Qur’an dan
mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun ketenangan, dilingkupi rahmat Allah,
dikelilingi para malaikat, disebutkan nama-nama mereka di hadapan malaikat.”(HR. Muslim).

Hukum Menuntut ilmu

Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata bahwa menuntut ilmu hukumnya berderajat-derajat, di


antaranya:

1. Yang hukumnya fardhu, ini di bagi dua :


Wajib ‘ain. Para ulama berbeda-beda ungkapan dalam mendefinisikannya. Ada yang
menyatakan: semua ilmu yang keimanan seseorang tidak sah kecuali dengan menuntut ilmu
tersebut, contohnya: ilmu tauhid. Ada pula yang menyatakan: mempelajari amalan yang setiap
hari yang wajib kita lakukan, contohnya: shalat, wudhu. Hakikatnya kedua makna dari dua
definisi di atas adalah sama.

Fardhu kifayah. Setiap ilmu yang masuk dalam kaidah: “Semua yang tidak sempurna sebuah
kewajiban kecuali dengan menuntut ilmu tersebut”. Contoh: belajar bahasa Arab dan ishul fiqih
untuk memahami Al-Qur’an.

2. Yang hukumnya Mubah

Pada asalnya ilmu dunia hukumnya mubah. Namun, ilmu dunia bisa menjadi fardhu kifayah
apabila sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengan mempelajari ilmu dunia. Contoh: kita
beribadah, beribadah butuh kesehatan karena ketika sakit terkadang tidak khusyu’. Oleh karena
itu, untuk sehat butuh kepada orang yang belajar tentang kesehatan.

3. Yang hukumnya Haram

Contohnya: Ilmu sihir, santet.

4. Yang hukumnya Makruh

Ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat . (ilmu dunia : ilmu kunci game, rumus bermain musik dll)

Perkara-perkara yang sangat dibutuhkan oleh penuntut ilmu

Berkata Imam Syafi’i, “Saudaraku kamu tidak akan bisa meraih ilmu kecuali dengan enam
perkara, akan aku kabarkan kepadamu secara terperinci…”

1. Kecerdasan
Kita butuh kecerdasan untuk memahami ilmu, dan tidak ada satupun ulama yang idiot, semua
ulama jenius. Ibnu Abil Izz dalam Syarah Aqidah Thawawiyah mengatakan: Semakin cerdas
seseorang, semakin wajib menuntut ilmu.

Sayang sekali banyak kaum muslimin tidak memanfaatkan kecerdasannya. Kecerdasan mereka
hanya digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Hafal nama-nama lagu, nama-nama
negara. Tapi ditanya siapa Imam Bukhari? Siapa Imam Syafi’i? Mereka tidak tahu.

2. Semangat

Orang yang tidak semangat menuntut ilmu, dia tidak akan bisa meraih ilmu. Sebagian ulama
mengatakan, ilmu berkata kepada orang yang menuntutnya, “Berikan semua kesungguhan
kamu untuk mencariku maka akan aku berikan kepadamu setengahnya saja.”

Semangat butuh kepada keikhlasan, orang yang ikhlas insyallah dia akan semangat menuntut
ilmu. Orang yang betul-betul paham manfaat menuntut ilmu maka dia akan semangat
menuntut ilmu. Orang yang malas menuntut ilmu, itu karena belum merasakan manisnya ilmu.

Pernah Imam Syafi’i ditanya murid-muridnya? Bagaimana keadaanmu ketika menuntut ilmu?
Kata Imam Syafi’i: Seperti seorang ibu yang mencari anak yang hilang satu-satu.

Para ulama hampir seluruh waktunya digunakan untuk menuntut ilmu. Mereka adalah orang-
orang yang pelit terhadap waktu. Karena ingin mendapat shaf terdepan, sampai mereka pergi
ke majelis ta’lim lari-lari. Syu’bah bin Hajaj berkata: “Dahulu di zaman kami tidak ada yang suka
lari-lari di waktu pagi kecuali dua orang, yang pertama penuntut ilmu yang kedua orang gila”.
Mereka berani berjalan ribuan kilometer untuk mendapatkan ilmu. Jabir bin Abdillah pergi ke
Syam untuk bertemu Abdullan bin Unaysah hanya untuk mendapat satu hadits. Sesampai di
Syam, diketuknya pintu, setelah mendapat satu hadits beliau pulang lagi ke Madinah.

Bakr bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang tidak melakukan perjalanan dalam mencari ilmu
untuk mencari guru dan mendapatkan ilmu dari mereka, maka dia tidak akan pernah mencapai
tujuannya untuk mendapatkan ilmu.”

Kita yang hidup di zaman ini dengan kelengkapan fasilitas dan dukungan teknologi canggih tapi
produktivitas kita jauh tertinggal dengan para ulama kita yang hidup ratusan tahun sebelum
kita?

Jawabannya, pertama: produktivitas ulama dulu hasil dari keikhlasan dalam menuntut ilmu.
Kedua, rasa takut kepada Allah. Ketiga, produktivitas ulama dulu berasal dari kecintaan mereka
terhadap ilmu.

Maka dari itu para ulama berkata, kenapa ilmu di zaman dahulu lebih berkah daripada di zaman
sekarang? Karena mereka begitu lelah menuntut ilmu, sedangkan keberkahan ilmu ditentukan
lelah atau tidaknya seseorang dalam menuntut ilmu. Ilmu tidak akan bisa anda raih hanya
sebatas bersenang-senang, bersantai-santai. Lihatlah Ibnu Katsir yang menulis buku di bawah
lilin sampai pengelihatannya hilang di bawah lilin tersebut.

3. Kesungguhan

Allah memberikan kemudahan kepada kita. Sekarang untuk men-takhrij hadits tidak perlu
berlelah-lelah. Dahulu Syaikh Albani mengatakan,“Saya mencari sebuah hadits saya periksa
halaman demi halaman sampai tidak terasa sudah 10.000 halaman.”

Tapi di zaman sekarang Allah berikan kemudahan dengan adanya kumpulan kitab hadits seperti
dalam Maktabah Syamilah. Masalahnya kemauan kita sudah hilang, seakan-akan sudah lenyap.
Imam Bukhari ketika ditanya: Apa kunci hafalanmu bisa luar biasa? Jawabannya, “Dengan terus
menerus mengulang dalam buku.” Rupanya itulah kunci Imam Bukhari hafalannya luar biasa.
Masalahnya kesungguhan kita dalam menuntut ilmu itu kurang, karena begitulah jika seseorang
belum merasakan manisnya menuntut ilmu.

4. Bekal

Butuh bekal untuk membeli buku, naik angkot, membeli bensin.

5. Bimbingan seorang ustadz

Kata para ulama, kita jangan sembarangan mencari ustadz, ada syaratnya:

Orang yang ahli di bidangnya. Imam Nawawi: “Tidak baik bagi seorang penuntut ilmu untut
menuntut ilmu kecuali kepada orang yang telah sempurna keahliannya.”

Di atas aqidah yang benar. Rasulullah berkata: “Di antara tanda hari kiamat, ilmu di ambil dari
as-shaghir.” Ada dua penafsiran Abdullah bin Mubarak berkata, as-shaghir adalah ahli bid’ah.
Sebagian ulama menafsirkan, mereka adalah orang yang dangkal ilmunya walaupun usianya
tua. Oleh karena itu, Abdullah bin Umar mewasiatkan: “Agamamu, jagalah… agamamu, jagalah.
Sesungguhnya ia adalah darah dan dagingmu, ambil dari orang yang istiqomah dan lurus dan
jangan ambil dari orang yang menyimpang.”

6. Waktu yang panjang

Dalam menuntut ilmu butuh waktu yang lama. Tidak mungkin didapatkan seorang da’i/ulama
hanya karena daurah beberapa bulan saja. Al-Baihaqi berkata: ”Ilmu tidak akan mungkin
didapatkan kecuali dengan kita meluangkan waktu”

Al Qadhi Iyadh ditanya: “Sampai kapan seseorang harus menuntut ilmu? Beliau menjawab:
”Sampai ia meninggal dan ikut tertuang tempat tintanya ke liang kubur.”

Anda mungkin juga menyukai