Anda di halaman 1dari 8

ersegera dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam.

Bisa jadi kesempatan berbuat baik akan terlewatkan jika tidak bersegera. Sebab waktu tak bisa diputar, kesempatan belum tentu datang dua kali. Betapa pentingnya manusia untuk selalu menghargai waktu. Sehingga bisa tergolong orang-orang yang beruntung. Allloh telah berfirman, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam mengerjakan berbagai macam kebaikan, dan mereka senantiasa berdoa kepada Kami dengan disertai rasa harap dan cemas. Dan mereka pun senantiasa khusyu dalam beribadah kepada Kami. (QS. Al Anbiyaa [21] : 90). Keutamaan untuk bersegera dalam kebaikan, dapat dilihat dari beberapa hadits berikut ini : Sirwaah Ukbah bin Al-Harist ra. Berkata, Saya shalat Ashar di belakang Nabi saw. di Madinah setelah salam beliau terus cepat-cepat bangkit melangkahi leher barisan para sahabat menuju kamar salah satu istrinya. Para sahabat terkejut atas ketergesaannya itu kemudian beliau keluar dan melihat para sahabat terkejut atas ketergesaannya itu beliau bersabda, Aku ingat sepotong emas dan aku tidak ingin terganggu karenanya maka aku menyuruh untuk membagikannya. (H.R. Bukhari) Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, Saya akan benar-benar menyerahkan panji ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan rasul-Nya, dimana Allah akan mengaruniakan kemenangan kepadanya. Umar ra berkata, Saya tidak ingin memegang pimpinan kecuali pada hari ini, maka saya menunjukkan diri dengan harapan dipanggil oleh Nabi saw. untuk memimpinnya. Tetapi Rasulullah memanggil Ali bin Abu Thalib dan menyerahkan panji itu kepadanya seraya bersabda, Majulah ke depan dan janganlah kamu menoleh ke belakang sebelum Allah memberi kemenangan kepadamu. Kemudian Ali melangkah beberapa langkah lantas berhenti tetapi tidak menoleh ke belakang dan berteriak: wahai Rasulullah, kepada siapakah saya harus berperang? Beliau menjawab, Perangilah mereka sehingga mereka menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah. apabila mereka telah menyaksikan yang demikian itu maka kamu tidak boleh lagi memerangi mereka baik darah maupun harta bendanya kecuali dengan haknya, adapun masalah perhitungan mereka adalah terserah Allah. (H.R. Muslim) Dari Jabir ra. mengatakan bahwa pada perang Uhud ada seseorang bertanya kepada Nabi saw, Apakah tuan tahu, seandainya saya terbunuh maka di manakah tempat saya? Beliau menjawab, Si dalam surga. Kemudian orang itu melemparkan biji-biji korma yang ada di tangannya lantas maju perang sehingga ia mati terbunuh. (H.R. Bukhari-Muslim) Dari Anas ra. bahwasanya Rasulullah saw. pada perang Uhud mengambil pedang seraya bersabda: siapakah yang mau menerima pedang ini? Maka setiap orang mengulurkan tangannya sambil berkata: saya, saya. Beliau bersabda lagi, Siapa yang mau mengambilnya dengan penuh tanggung jawab? Maka semua orang terdiam, kemudian Abu Dujanah ra. berkata: saya akan menerimanya dengan penuh tanggung jawab. Maka pedang itu diberikan kepada Abu Dujanah kemudian ia mempergunakannya untuk memenggal leher orang-orang musyrik. (H.R. Muslim) Dari Abu Hurairah ra. mengatakan bahwa ada seseorang datang kepada Nabi saw. dan bertanya, Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya? Beliau menjawab, Yaitu kamu sedekah sedangkan kamu masih sehat, suka harta, takut miskin dan masih ingin kaya. Dan janganlah kamu menunda-nunda sehingga bila nyawa sudah sampai di

tenggorokan (sekarat) maka kamu baru berkata: untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian, padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli waris) (H.R. Bukhari dan Muslim). Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, Bersegeralah kamu sekalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh hal: apakah yang kamu nantikan kecuali kemiskinan yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan, sakit yang dapat mengendorkan, tua renta yang dapat melemahkan, mati yang dapat menyudahkan segalanya atau menunggu datangnya Dajjal padahal ia sejelek-jelek yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat padahal kiamat adalah suatu yang sangat berat dan menakutkan. (H.R. Tirmidzi) Hadits-hadits di atas lebih dari cukup sebagai bekal kaum muslim. Pahala tiada terhingga telah menanti siapapun yang bersegera dalam kebaikan menyambut seruan Alloh. Pelajaran berharga dari generasi para sahabat dan sahabiyah bisa dipetik. Tentang bagaimana mereka melaksanakan seruan Alloh dengan amat cepat. Ketika ayat tentang khamr turun, para sahabat dengan segera membuang khamr-khamr yang mereka miliki, bahkan yang telah berada dalam mulut. Sehingga jalanan saat itu berubah seperti sungai. Pun ketika turun ayat tentang kewajiban berjilbab dan berkerudung. Para sahabiyah segera menyambutnya meskipun dengan menjadikan gorden rumah sebagai penutup aurat. Dalam era kekinian, kita pun bisa mengaplikannya dengan mudah. Di zaman serba digital sekarang ini, menuntut ilmu agama sangat mudah. Asal mau saja gampang sekali untuk tahu tentang hukum syara. Pengajian juga bertebaran di mana-mana, di televisi atau di majelis taklim lingkungan tempat tinggal/bekerja. Artikel keislaman pun sangat mudah diakses di dunia maya/internet. Jadi tak ada alasan tidak tahu atas suatu kewajiban yang diperintahkan Alloh atau atas suatu hal yang dilarang Alloh. Bukan jamannya lagi tidak tahu dijadikan sebagai alasan pembenaran atas suatu pelanggaran aturan syara. Sebagai contoh, saat sekarang rasanya tidak mungkin ada seorang muslimah yang tidak tahu kewajibannya menutup aurat. Apalagi bagi mereka yang tinggal di kota. Namun kenyataannya masih amat banyak muslimah yang justru memamerkan keindahan auratnya. Penyebabnya cuma satu: tidak bersegera dalam kebaikan dan menerima seruan Alloh. Jadi bukan karena tidak tahu tapi lebih karena tidak mau tahu. Bersegera dalam kebaikan semoga bisa menjadi denyut jantung setiap muslim. Kala tahu ada kewajiban yang belum tertunaikan, ia segera melakukan. Saat tahu ada perbuatannya yang salah, ia segera bertobat. Tanpa menunggu tua. Karena usia adalah rahasia Alloh. Kematian bisa datang kapan pun tanpa pernah diduga. Cukuplah nasihat kematian sebagai motivasi untuk bersegera dalam kebaikan. Bersegera dalam menyambut seruan Alloh SWT. Semoga.

- - : - : . .
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Segeralah beramal sebelum datangnya fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir dipagi harinya. Dia menjual agamanya dengan barang kenikmatan dunia." (HR. Muslim). Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Iman (Bab Anjuran untuk Bersegera Dalam Beramal Sebelum Munculnya Fitnah). Bahasa Hadits:

: bersegeralah mengerjakan sebelum hilang kesempatannya. : jamak dari kata fitnah. Secara bahasa bisa bermakna ujian, cobaan, azab, ataupun
bencana. Yang dimaksud dengan kata fitan di sini adalah beragam halangan, siksaan, bencana, dan musibah berat yang merintangi seseorang berbuat kebaikan.

: melaksanakan kekufuran dengan nikmat dan hakiki. : meninggalkan agamanya. : dengan kenikmatan dan kesenangan dunia. Misalnya saja dengan jalan merampas
harta saudaranya, mempraktekkan riba, menipu, dan perbuatan perbuatan lain yang diharamkan. Faidah Hadits: 1. Hadits ini menunjukkan wajibnya untuk berpegang teguh kepada agama ini dan juga bersegera kepada amal amal sholih sebelum tiba berbagai halangan, ujian, dsb.

2. Hadits ini merupakan salah satu isyarat tentang munculnya berbagai macam fitnah di akhir zaman nanti. Semoga Allah menyelamatkan kita dari keburukan keburukan fitnah akhir zaman. Tapi, mari sejenak kita bermuhasabah., dengan merenungi salah satu firman Allah Taala, yang diabadikan dalam firman-Nya; yaitu surat Al-Muminun ayat 60. } { Orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut bahwa mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Apa yang dimaksud dengan ayat yang mulia ini? Kita bisa memahami ayat di atas dengan jawaban Nabi kepada ibunda Aisyah. Di dalam sebuah hadits disebutkan, ) ( Dari Aisyah Radhiyallhu anha-, ia berkata, Wahai Rasulullah Shallallhu alaihi wa sallam-, tentang ayat, al-ladzna yutna m tau wa qulbuhum wajilatun annahum il rabbihim rjin, apakah itu pada pencuri, pezina dan peminum khamer, dan dia takut kepada Allah?, beliau bersabda, Bukan wahai putri Abu Bakar, bukan wahai putri AshShiddiq, tetapi adalah orang yang mendirikan shalat, berpuasa, dan bersedekah, tetapi dia taku kepada Allah Azza wa Jalla. (HR. Ahmad dan Al-Hakim). Surat Al-mukminun ayat 60 di atas adalah sambungan dari ayat-ayat sebelumnya; Allah menegaskan bahwa orang yang bersegera dalam kebaikan bukanlah orang yang dilimpahi harta dan anak ( ayat 55), bukan, bukan mereka yang bersegera dalam kebaikan; karena seringkali orang yang berlimpah harta dan anak justru orang yang tidak taat kepada Allah Taala, tetapi yang dimaksud dengan orang yang bersegera dalam kebaikan adalah orang yang takut kepada Rabb mereka (ayat 57), beriman kepada ayat-ayat Rabb mereka (ayat 58), tidak menyekutukan Rabb mereka (ayat 59), dan bersamaan dengan itu semua, mereka adalah orang yang sudah mencurahkan semua daya-upaya untuk melaksanakan amalamal shalih, tetapi ia khawatir kalau-kalau amalnya tidak diterima (ayat 60). Selanjutnya Allah menyudahi dengan, Ulika yusriuna fil khairt, wa hum lah sbiqn, mereka itulah orang yang bersegera dalam kebaikan, dan mereka berlomba-lomba menuju kebaikan. (ayat 61). Ya, setelah bersusah-payah beramal shalih, mereka khawatir kalau-kalau tidak diterima. Karena, sebagaimana yang disebutkan oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya, F Zhillil Qurn (5/273), sungguh, hati orang mukmin itu merasakan hadirnya tangan Allah di atasnya; ia merasakan anugerah nikmat-Nya di setiap nafas, dan di setiap denyut nadi, oleh karena itu, ia memandang kecil semua ibadahnya, dan meremehkan semua ketaatannya, bila dibandingkan dengan nikmat dan karunia Allah yang mahaluas. Begitu pula, ia merasakan setiap dzarah kebajikan ada keagungan dan kebesaran Allah. Ia, dengan segenap perasaannya, juga bisa merasakan campur tangan Allah di setiap sesuatu di sekelilingnya, oleh karenanya, ia merasakan kewibawaan-Nya, dan takut kalau menemui Allah dalam keadaan bermalas-

malasan dalam melaksanakan hak-Nya; tidak memenuhi hak-Nya dengan ibadah dan taat, dan juga dengan marifah dan syukur. Imam Al Qusyairi juga menjelaskan makna surat Al-Mukminun ayat 60 di atas dengan, Mereka adalah orang-orang yang ikhlash dalam beribadah. Walau demikian, mereka merasakan ketakutan seolah mereka adalah pelaku maksiat. Mereka memandang diri sendiri dengan pandangan meremehkan dan menghinakan. Ini adalah salah satu ciri orang-orang yang bersegera dalam kebaikan; khawatir dan takut amal tidak diterima sekalipun sudah berlelah-letih dalam beribadah, dan ini adalah sifat orang-orang beriman; Lihatlah, Abul Anbiya, Khalilurrahman, Ibrahim; nabi yang selalu kita berdoa agar Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau, di samping Nabi Muhammad, itu berjasa dalam sejarah peradaban manusia; beliaulah yang berdoa kepada Allah agar Allah menjadikan Mekah negeri yang aman (Ibrahim : 35), dan beliau pula yang berdoa agar Allah menghadirkan di tengah-tengah Mekah orang yang diutus menjadi rasul yang bertugas untuk membacakan ayat-ayat Allah, mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mensucikan hati manusia (Al-Baqarah : 129), dan beliau pula yang meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama putranya, Ismail (Al-Baqarah : 127), tapi bersamaan dengan itu semua, salah satu rasul ulul azmi, Nabi Ibrahim Alaihis salam, dan putranya Ismail menyerahkan semuanya kepada Allah, dan berdoa dengan sepenuh hati yang tunduk, Rabban taqabbal minn, innaka antas samul alim, duhai Rabb kami, terimalah amalan kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah : 127). Oleh karenanya, ketika menafsirkan ayat ini, wa idz yarfau Ibrahmal qawida minal baiti, wa Ismlu Rabban taqabbal minn, innaka antas samul alim, dan ingatlah ketika Ibrahim dan putranya, Ismail meninggikan dasar-dasar Baitullah, seraya berdoa, Duhai Rabb kami, terimalah amalan kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah : 127). Ayat ini, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsr Al-Qurnil Azhm (1/427), bermakna, Dan ingatlah wahai Muhammad kepada kaummu, tentang amal Ibrahim dan Ismail dalam membangun Baitullah, serta meninggikan dasar-dasarnya, seraya berdoa, Rabban taqabbal minn, innakas samul alm. mereka tengah beramal shalih, tetapi keduanya memohon kepada Allah Taala agar Dia berkenan menerima amal mereka. Oleh karenanya, Wuhaib bin Ward, ketika membaca, wa idz yarfau Ibrahmal qawida minal baiti, wa Ismlu Rabban taqabbal minn, innaka antas samul alim, dan ingatlah ketika Ibrahim dan putranya, Ismail meninggikan dasar-dasar Baitullah, seraya berdoa, Duhai Rabb kami, terimalah amalan kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah : 127), beliau menangis, dan berkata, Wahai khalilurrahman, engkau telah meninggikan dasar-dasar Baiturrahman, tetapi engkau takut hal itu tidak diterima darimu. (Tafsir Ibnu Katsir : 1/427). Kalau hamba Allah semisal Ibrahim, rasulAllah yang merupakan manusia pilihan-Nya saja meminta agar Allah sudi menerima amalnya, maka kita lebih pantas untuk selalu berdoa, Allahumma taqabbal minna shiyamana wa qiyamana wa shalatana wa shadaqatana wa saira ibadatina.

Sungguh, ini adalah kebiasaan para salaf; khawatir kalau amalnya tidak diterima. Inilah Hatim. Ketika ditanya oleh Ashim bin Yusuf, Wahai Hatim, bagaimana kamu shalat? beliau menjawab, Aku berdiri sesuai yang diperintahkan, berjalan dengan tenang, memulai shalat dengan menghadirkan niat, bertakbir dengan keagungan, membaca dengan tartil dan perenungan, ruku dengan khusyu, sujud dengan tawadhu, berucap salam sesuai sunah dan dengan penuh keikhlasan kepada Allah Azza wa Jalla, tetapi aku khawatir bila shalatku tidak diterima. (Shifatush Shafwah : IV/161). Hasan Al-Bashri juga pernah berkata, Aku pernah bertemu dengan kaum di mana mereka lebih zuhud terhadap apa yang Allah halalkan untuk mereka daripada kezuhudan kalian terhadap apa yang Allah haramkan atas kalian, dan aku juga bertemu dengan kaum di mana mereka lebih menghawatirkan kebaikan-kebaikan mereka jika tidak diterima daripada kekhawatiran kalian terhadap dosa-dosa kalian sendiri. (Shifatush Shafwah : III/227). Hal ini, karena permisalan orang mukmin, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi, adalah seperti orang yang menanam korma namun dia khawatir memetik duri, dan permisalan orang munafik adalah seperti orang yang menanam duri namun sangat berharap memanen korma. Mustahil. Orang yang berbuat baik akan dibalas kebaikan oleh Allah, dan orang-orang yang baik tidak akan menempati tempat para pendosa. (Shifatush Shafwah : IV/160).

Allah taala menggambarkan tentang keistimewaan para Nabi dengan firman-Nya,

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam mengerjakan berbagai macam kebaikan, dan mereka senantiasa berdoa kepada Kami dengan disertai rasa harap dan cemas. Dan mereka pun senantiasa khusyu dalam beribadah kepada Kami. (QS. Al Anbiyaa [21] : 90).

Bersegera dalam Kebaikan al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat tersebut, bahwa para nabi dan orang-orang salih itu besegera dalam melakukan amal pendekatan diri kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya (Tafsir al-Quran al-Azhim, 5/273. cet al-Maktabah at-Taufiqiyah). Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sadi rahimahullah memaparkan, bahwa maknanya ialah para Nabi itu bersegera dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan, dan mereka juga melakukan kebaikan pada waktu-waktunya yang utama. Mereka pun berusaha untuk menyempurnakan amalan mereka itu dengan sebaik-baiknya. Mereka tidak mau meninggalkan sebuah keutamaan pun pada saat mereka sanggup untuk meraihnya. Mereka tidak mau menyianyiakannya, sehingga kalau kesempatan itu ada maka mereka pun bergegas untuk memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 530) Syaikh as-Sadi rahimahullah berkata, Salah satu bukti kebijaksanaan takdir dan hikmah ilahiyah, yaitu barangsiapa yang meninggalkan apa yang bermanfaat baginya -padahal memungkinkan baginya untuk memetik manfaat itu lantas dia tidak mau memetiknya- maka dia akan menerima cobaan berupa disibukkan dengan hal-hal yang mendatangkan madharat terhadap dirinya. Barangsiapa meninggalkan ibadah kepada ar-Rahman, niscaya dia akan disibukkan dengan ibadah kepada berhala-berhala. Barangsiapa meninggalkan cinta, harap dan takut kepada Allah maka niscaya dia akan disibukkan dalam kecintaan kepada selain Allah, berharap dan takut karenanya. Barangsiapa tidak menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah niscaya dia akan menginfakkannya dalam mentaati syaithan. Barangsiapa meninggalkan merendahkan diri dan tunduk kepada Rabb-nya niscaya dia akan dicoba dengan merendahkan diri dan tunduk kepada hamba. Barangsiapa meninggalkan kebenaran niscaya dia akan dicoba dengan kebatilan. (Tafsir surat al -Baqarah ayat 101-103, Tais al-Karim ar-Rahman hal. 60-61). Abdullah bin Umar radhiyallahuanhuma berkata : Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memegang kedua pundakku dan mengatakan, Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau orang yang singgah di perjalanan. Ibnu Umar berkata, Kalau engkau berada di waktu pagi jangan sekedar menunggu datangnya waktu sore. Kalau engkau berada di waktu sore jangan sekedar menunggu datangnya waktu pagi. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan gunakanlah masa hidupmu sebelum datang kematianmu. (HR. Bukhari. 6053, Kitab ar-Raqaaiq) Asas Kebaikan dan Keburukan

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, Asas seluruh kebaikan adalah pengetahuanmu bahwa apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Ketika itulah akan tampak, bahwa semua kebaikan adalah berasal dari nikmat-Nya, maka sudah semestinya kamu pun bersyukur kepada-Nya atas nikmat itu, dan kamu memohon dengan sangat kepada-Nya agar nikmat itu tidak terputus darimu. Dan akan tampak pula, bahwa seluruh keburukan adalah akibat (manusia) dibiarkan bersandar kepada dirinya sendiri dan bentuk hukuman dari-Nya, maka sudah semestinya kamu bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya agar menghalangimu dari keburukan-keburukan itu. Mintalah kepada-Nya supaya kamu tidak dibiarkan bersandar pada dirimu sendiri (tanpa ada bantuan dari-Nya) dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan dan meninggalkan keburukankeburukan. Beliau melanjutkan, Seluruh ahli marifat pun telah sepakat bahwa segala kebaikan bersumber dari taufik yang Allah karuniakan kepada hamba. Dan semua bentuk keburukan bersumber dari penelantaran Allah terhadap hamba-Nya. Mereka pun telah sepakat, bahwa hakekat taufik adalah ketika Allah tidak menyerahkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Sedangkan hakekat al-khudzlan (ditelantarkan) yaitu ketika Allah membiarkan kamu bersandar kepada kemampuanmu semata (tanpa bantuan-Nya) dalam mengatasi masalahmu. Kalau ternyata segala kebaikan bersumber dari taufik, sedangkan ia berada di tangan Allah bukan di tangan hamba, maka kunci untuk mendapatkannya adalah doa, perasaan sangat membutuhkan, ketergantungan hati yang penuh kepada-Nya, serta harapan dan rasa takut kepada-Nya (al-Fawaid, hal. 94).

Anda mungkin juga menyukai