Anda di halaman 1dari 24

1

MAKALAH
RIBA

Oleh : Manarul Hidayat

UNIVERSITAS SEMARANG
2020

1
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagaimana
firman Allah Swt (artinya) : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai
Islam sebagai agama bagimu. (QS. Al-Maidah 5 : 3). Oleh karenanya Islam
adalah sebuah aturan, norma, pola hidup yang melingkupi kehidupan manusia
dan menjadi pedoman dalam mengarungi kehidupannya yang selanjutnya
pedoman itu dijabarkan dalam fiqih Islam. Sedang fiqih itu sendiri adalah suatu
pola hidup yang ditawarkan Islam dalam bentuk pemahaman secara mendalam
terhadap hukum dan ketentuan Allah untuk diaplikasikan dalam kehidupan
manusia.
Adapun kewirausahaan dalam disiplin ilmu fiqh merupakan bagian
pembahasan mu'amalah. Sedangkan perdagangan adalah bahagian dari
kegiatan kewirausahaan. Bila kita berbicara tentang kewirausahaan menurut
pandangan Islam, maka rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam kegiatan
ini adalah teori-teori yang telah di gambarkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah
sebagai norma dan etika dalam berwirausaha khususnya dalam perdagangan.
Islam juga mengajarkan bagaimana manusia itu giat dalam menjalani aktifitas
dan semangat bekerja keras untuk mencari nafkah dan menjawab kebutuhan
sehari-hari. Allah SWT, menyeru manusia untuk bertebaran di muka bumi
untuk menuntut karunia Allah, dalam hal ini maksudnya adalah rezki Allah.
Bahkan Rasulullah pun sangat menganjurkan kepada ummatnya untuk giat
dalam bekerja. Tidak sedikit hadits Rasulullah yang menegaskan tentang hal
itu.
Untuk selengkapnya, mari kita cermati paparan isi makalah ini. Bagaimana
etika dalam berdagang, motif perdagangan, sifat-sifat yang harus dimiliki oleh
para pedagang, etios kerja seorang muslim (tentang perintah kerja keras).

2
3

Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh


manusia untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau
moralitas dalam syariat Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk
dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan
bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
Diskursus mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam
perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba
merupakan permasalahan yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal ini
disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-transaksi di
bidang perekonomian (dalam Islam disebut kegiatan muamalah) yang sering
dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada dasarnya,
transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari
sumber tersebut bisa berupa qardh, buyu' dan lain sebagainya.
Para ulama menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba,
disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan
orang lain, hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para
ulama. Bahkan dapat dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma
dalam ajaran Islam. Beberapa pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak
hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral melainkan sesuatu yang
menghambat aktifitas perekonomian masyarakat. Sehingga orang kaya akan
semakin kaya sedangkan orang miskin akan semakin miskin dan tertindas.
   

3
4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep rezeki dalam perspektif Al Qur’an


Berwirausaha memberi peluang kepada orang lain untuk berbuat baik
dengan cara memberikan pelayanan yang cepat, membantu kemudahan bagi
orang yang berbelanja, memberi potongan, dll. Perbuatan baik akan selalu
menenangkan pikiran yang kemudian akan turut membantu kesehatan jasmani.
Hal ini seperti yang diungkapkan dalam buku The Healing Brain yang
menyatakan bahwa fungsi utama otak bukanlah untuk berfikir, tetapi untuk
mengembalikan kesehatan tubuh. Vitalitas otak dalam menjaga kesehatan
banyak dipengaruhi oleh frekuensi perbuatan baik. Dan aspek kerja otak yang
paling utama adalah bergaul, bermuamalah, bekerja sama, tolong menolong,
dan kegiatan komunikasi dengan orang lain.
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep
tentang kewirausahaan ini, namun di antara keduanya mempunyai kaitan yang
cukup erat, memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat, meskipun bahasa teknis
yang digunakan berbeda.
Di dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat 100, Allah SWT. berfirman :

‫ض ُم َراغَما ً َكثِيراً َو َس َعةً َو َمن يَ ْخرُجْ ِمن بَ ْيتِ ِه ُمهَا ِجراً إِلَى هّللا ِ َو َرسُولِ ِه ثُ َّم‬ ِ ْ‫يُهَا ِجرْ فِي َسبِي ِل هّللا ِ يَ ِج ْد فِي األَر‬
ً ‫ت فَقَ ْد َوقَ َع أَجْ ُرهُ عَلى هّللا ِ َو َكانَ هّللا ُ َغفُوراً َّر ِحيما‬
ُ ْ‫يُ ْد ِر ْكهُ ْال َمو‬

Artinya :
Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di
bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar
dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya,
kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),

4
5

maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.
Berdasarkan ayat tersebut, Allah SWT. menghimabu hamba-hambaNya
yang mukmin agar berhijrah dan meninggalkan kampung halaman untuk
menemukan tempat berlindung dan memperoleh rezeki yang banyak. dengan
demikian, mereka akan memperoleh kehidupan yang layak.
Dan di dalam surah Hud ayat 6, Allah SWT. berfirman :

‫ين‬ ٍ ‫ض إِالَّ َعلَى هّللا ِ ِر ْزقُهَا َويَ ْعلَ ُم ُم ْستَقَ َّرهَا َو ُم ْستَوْ َد َعهَا ُك ٌّل فِي ِكتَا‬
ٍ ِ‫ب ُّمب‬ ِ ْ‫ َو َما ِمن دَآبَّ ٍة فِي األَر‬ 

Artinya :
Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan
semuanya Dijamin Allah rezekinya. Dia Mengetahui tempat kediamannya dan
tempat penyimpanannya.** Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh).

Allah SWT. memberitahu bahwa Dia menjamin memberi rezeki bagi


semua makhlukNya, baik ia binatang melata, besar maupun kecil, di darat
maupun di laut. Dia mengetahui dimana tempat binatang itu berdiam dan
dimana ia menyimpan makanannya. semua itu tercatat di dalam sebuah Kitab
yang terang dan nyata (yakni Lauh Mahfudz).
Allah SWT. telah menentukan rezeki tiap-tiap umatNya, namun umat itu
sendiri harus berusaha dengan segenap daya dan upayanya untuk meraih dan
mendapatkan rezeki tersebut. Dengan berwirausaha, menjadi salah satu jalan
untuk mendapatkan rezeki tersebut sebagai mana dicontohkan oleh baginda
Rasulullah dalam hal perdagangan.
Apa yang tergambar di atas, setidaknya dapat menjadi bukti nyata bahwa
etos bisnis yang dimiliki oleh umat Islam sangatlah tinggi, atau dengan kata
lain Islam dan berdagang ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Benarlah
apa yang disabdakan oleh Nabi, “Hendaklah kamu berdagang karena di
dalamnya terdapat 90 persen pintu rizki” (HR. Ahmad).

5
6

B. Etos kerja dalam ajaran Islam

Dalam Islam etos kerja kerja lebih dikenal dengan kerja keras, kemandirian
(‫)بيده‬, dan tidak cengeng. Setidaknya terdapat beberapa ayat al-Qur’an maupun
Hadits yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan
kemandirian ini, seperti:

1.      Firman Allah SWT :


‫األيات‬...‫وقل اعملوا فسيرى هللا عملكم‬
Artinya : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan orang-orang yang beriman akan
melihat pekerjaan kamu”(Q.S. At-Taubah : 105)

2.      Sabda Rasulullah SAW :


‫عمل الرجال بيده‬
Artinya :“Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan
cucuran keringatnya sendiri” (HR. Abu Dawud)

3.      Sabda Rasulullah SAW :


‫اليد العليا خير من يد السفلى‬
Artinya : “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. (HR. Bukhari dan
Muslim)

Dengan bahasa yang sangat simbolik ini Nabi mendorong umatnya untuk kerja
keras supaya memiliki kekayaan, sehingga dapat memberikan sesuatu pada
orang lain. “Manusia harus membayar zakat (Allah mewajibkan manusia
untuk bekerja keras agar kaya dan dapat menjalankan kewajiban membayar
zakat)”. Oleh karena itu, apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah
kamu di muka bumi dan carilah karunia (rizki) Allah. (Q.S. al-Jumu’ah : 10)

6
7

4.      Sabda Rasulullah SAW :


‫إن طلب الرزق الحالل فريضة بعد فراغ الفرض‬

Artinya : “Sesungguhnya bekerja mencari rizki yang halal itu merupakan


kewajiban setelah ibadah fardlu” (HR.Tabrani dan Baihaqi).

Nash-Nahs tersebut di atas jelas memberikan isyarat agar manusia


bekerja keras dan hidup mandiri. Bekerja keras merupakan esensi dari
kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut Wafiduddin, adalah suatu langkah
nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki), tetapi harus melalui proses
yang penuh dengan tantangan (reziko). Dengan kata lain, orang yang berani
melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang besar. Kata rizki
memiliki makna bersayap, rezeki sekaligus resiko.
Kemauan yang keras dapat menggerakkan motivasi untuk bekerja
dengan sungguh-sungguh. Orang akan berhasil apabila mau bekerja keras,
tahan menderita, dan mampu berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Menurut
Murphy dan Peck, untuk mencapai sukses dalam karir seseorang, maka harus
dimulai dengan kerja keras. Kemudian diikuti dengan mencapai tujuan dengan
orang lain, penampilan yang baik, keyakinan diri, membuat keputusan,
pendidikan, dorongan ambisi, dan pintar berkomunikasi. Allah memerintahkan
kita untuk tawakkal dan bekerja keras untuk dapat mengubah nasib. Jadi
intinya adalah inisiatif, motivasi, kreatif yang akan menumbuhkan kreativitas
untuk perbaikan hidup. Selain itu kita juga dianjurkan untuk tetap berdoa dan
memohon perlindungan kepada Allah swt sesibuk apapun kita berusaha karena
Dialah yang menentukan akhir dari setiap usaha.

C. Anjuran berwirausaha dalam Islam

Pekerjaan berdagang atau berwirausaha mendapat tempat terhormat


dalam ajaran Islam, seperti disabdakan Rasullullah SAW. yang artinya :

7
8

“Mata pencarian apakah yang paling baik, Ya Rasulullah?”Jawab beliau:


Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli
yang bersih.” (HR. Al-Bazzar).
Dalam QS.Al-Baqarah:275 dijelaskan bahwa Allah swt telah
menghalalkan kegiatan jual beli dan mengharamkan riba. Kegiatan riba ini
sangat merugikan karena membuat kegiatan perdagangan tidak berkembang.
Hal ini disebabkan karena uang dan modal hanya berputar pada satu pihak saja
yang akhirnya dapat mengeksploitasi masyarakat yang terdesak kebutuhan
hidup.
Pekerjaan berdagang adalah sebagian dari pekerjaan bisnis yang
sebagian besar bertujuan untuk mencari laba sehingga seringkali untuk
mencapainya dilakukan hal-hal yang tidak baik. Padahal ini sangat dilarang
dalam agama Islam. Seperti diungkapkan dalam hadis : “ Allah mengasihi
orang yang bermurah hati waktu menjual, waktu membeli, dan waktu menagih
piutang.”
Pekerjaan berdagang masih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang
rendahan karena biasanya berdagang dilakukan dengan penuh trik, penipuan,
ketidakjujuran. Penyelewengan seperti ini berdampak buruk kepada perdangan,
padahal perdangan adalah salah satu usaha dan pekerjaaan Rasulullah SAW.
Bagi umat Islam berdagang lebih kepada bentuk Ibadah kepada Allah
swt. Karena apapun yang kita lakukan harus memiliki niat untuk beribadah
agar mendapat berkah. Berdagang dengan niat ini akan mempermudah jalan
kita mendapatkan rezeki. Para pedagang dapat mengambil barang dari tempat
grosir dan menjual ditempatnya. Dengan demikian masyarakat yang ada
disekitarnya tidak perlu jauh untuk membeli barang yang sama. Sehingga
nantinya akan terbentuk patronage buying motive yaitu suatu motif berbelanja
ketoko tertentu saja.

8
9

D. Karakteristik kewirausahaan muslim (enterpreneur)

Sebagai wirausahawan muslim harus memperhatikan beberapa etika dan


perilaku terpuji dalam perdagangan. Menurut Imam Ghazali, ada 8 sifat dan
perilaku yang terpuji dalam perdagangan, yaitu :
1. Sifat Takwa, Tawakkal, Zikir, dan Syukur
Sifat ini harus dimiliki oleh wirausahawan karena dengan sifat-sifat itu kita
akan diberi kemudahan dalam menjalankan setiap usaha yang kita lakukan.
Dengan adanya sifat takwa maka kita akan diberi jalan keluar penyelesaian dari
suatu masalah dan mendapat rizki yang tidak disangka. Dengan sikap tawakkal,
kita akan mengalami kemudahan dalam menjalankan usaha walaupun usaha
yang kita jalani memiliki banyak saingan. Dengan bertakwa dan bertawakkal
maka kita akan senantiasa berzikir untuk mengingat Allah dan bersyukur
sebagai ungkapan terima kasih atas segala kemudahan yang kita terima.
Dengan begitu, maka kita akan merasakan tenang dan melaksanakan segala
usaha dengan kepala dingin dan tidak stress.

2.      Tidak mengambil laba lebih banyak.


Membayar harga yang sedikit lebih mahal kepada pedagang yang
miskin. Memurahkan harga dan memberi potongan kepada pembeli yang
miskin sehingga akan melipatgandakan pahala. Bila membayar hutang, maka
bayarlah lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan. Membatalkan jual beli
bila pihak pembeli menginginkannya. Bila menjual bahan pangan kepada orang
miskin secara cicilan, maka jangan ditagih apabila orang tersebut tidak mampu
membayarnya dan membebaskan ia dari hutang apabila meninggal dunia.

3.      Jujur
Dalam suatu hadist diriwayatkan bahwa :”Kejujuran akan membawa
ketenangan dan ketidakjujuran akan menimbulkan keragu-raguan.”(HR.
Tirmidzi).

9
10

Jujur dalam segala kegiatan yang berhubungan dengan orang lain maka akan
membuat tenang lahir dan batin.
4.      Niat Suci dan Ibadah
Bagi seorang muslim kegiatan bisnis senantiasa diniatkan untuk
beribadah kepada Allah sehingga hasil yang didapat nanti juga akan digunakan
untuk kepentingan dijalan Allah.
5.      Azzam dan bangun Lebih Pagi
Rasul saw mengajarkan agar kita berusaha mencari rezeki mulai pagi
hari setelah shalat subuh. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa :
”Hai anakku, bangunlah!sambutlah rizki dari Rabb-mu dan janganlah kamu
tergolong orang yang lalai, karena sesungguhnya Allah membagikan rizki
manusia antara terbitnya fajar sampai menjelang terbitnya matahari.”(HR.
Baihaqi).
6.      Toleransi
Sikap toleransi diperlukan dalam bisnis sehingga kita dapat menjadi
pribadi bisnis yang mudah bergaul, supel, fleksibel, toleransi terhadap
langganan dan tidak kaku.
7.      Berzakat dan Berinfak
Hadits Rasulullhah :
Artinya :“Tidaklah harta itu akan berkurang karena disedekahkan dan Allah
tidak akan akan menambahkan orang yang suka memberi maaf kecuali
kemuliaan. Dan tidaklah seorang yang suka merendahkan diri karena Allah
melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.”(HR. Muslim).
Dalam hadist tersebut telah diungkapkan bahwa dengan berzakat dan berinfak
maka kita tidak akan miskin, melainkan Allah akan melipat gandakan rizki
kita. Dengan berzakat, hal itu juga akan membersihkan harta kita sehingga
harta yang kita peroleh memang benar-benar harta yang halal.
8.      Silaturahmi
Dalam usaha, adanya seorang partner sangat dibutuhkan demi lancarnya
usaha yang kita lakukan. Silaturrahmi ini dapat mempererat ikatan

10
11

kekeluargaan dan memberikan peluang-peluang bisnis baru. Pentingnya


silaturahmi ini juga dapat dilihat dari hadist berikut :
Artinya :”Siapa yang ingin murah rizkinya dan panjang umurnya, maka
hendaklah ia mempererat hubungan silaturahmi.”(HR. Bukhari).

B. Pengertian Riba
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
1.    Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan
dari sesuatu yang dihutangkan.
2.     Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah
membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang
lain.
3.        Berlebihan atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al-Mali
yang artinya adalah “akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang
tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau
dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.
Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad
yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak
menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya. Syaik Muhammad Abduh
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah penambahan-
penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang
yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran
oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan1
Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul
dalam perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena
pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadhl), dan

1 Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO


PERSADA, 2002) h.57

11
12

riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena


melibatkan jangka waktu (riba nasi’ah)2

C. Hukum Riba
Riba itu haram. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan riba,
demikian pula hadis-hadis yang menerangkan larangan riba dan yang
menerangkan siksa bagi pelaku riba.
Hukum riba haram sebagaimana firman Allah SWT yang artinya : “bahwasanya
jual-beli itu seperti riba, tetapi Allah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba”. (Q.S Al Baqarah, ayat 275).

Dalam hadis, tentang larangan riba dinyatakan :


Nabi Muhammad SAW. bersabda yang artinya :
Dari Jabir R.A ia berkata : Rasulullah SAW telah melaknati orang-orang yang
suka makan riba, orang yang jadi wakilnya, juru tulisnya, orang yang
menyaksikan riba. Rasulullah selanjut bersabda : “mereka semuanya sama”.
(dalam berlaku maksiat dan dosa)3

D. Macam-macam Riba
Riba itu ada empat macam, yaitu :
1. Riba fuduli
Fuduli artinya lebih, misalnya menjual salah satu dari dua barang yang sejenis
yang saling dipertukarkan lebih banyak daripada yang lainnya, misalnya :
Menjual uang Rp. 100.000,- dengan uang Rp. 110.000,-
Menjual 10 kg beras dengan 11 kg beras.

2 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : Rajawali Press, 2011)
h.13

3 Moh Rifai, Mutiara Fiqih, (Semarang : CV. Wicaksana, 1998) h.772-773

12
13

Yang dimaksud lebih ialah dalam timbangannya pada barang yang ditimbang ;
takaran pada barang yang ditakar ; ukuran pada barang yang diukur, dan
jumlah banyak pada uang yang dipertukarkan dan sebagainya.

2. Riba qardi
Riba qardi, yaitu meminjam dengan syarat keuntungan bagi yang menghutangi
(qardi=pinjam), seperti orang berhutang Rp. 100.000,-dengan perjanjian akan
membayar kembali kelak Rp. 110.000,-

3. Riba yad
Riba yad, yaitu berpisah sebelum timbang terima. Misalnya orang yang
membeli sepeda motor, sebelum ia menerima barang yang dibeli dari si
penjual, si penjual tidak boleh menjual sepeda motor itu kepada siapapun,
sebab barang yang dibeli dann belum diterima masih dalam ikatan jual-beli
yang pertama.

4. Riba nasa’
Riba nasa’, misalnya dipersyaratkan salah satu dari kedua barang yang
dipertukarkan ditangguhkan pembayarannya. Umpama, membeli barang kalau
tunai Rp. 100.000,- tetapi kalau tidak tunai harganya Rp.125.000,-. Kelebihan
membayar Rp. 25.000,- inilah yang dinamakan riba nasa’.

E. Macam-macam Riba menurut Para Ulama


Menurut Jumhur Ulama4
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba
nasi’ah.
a.  Riba Fadhl
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah tambahan zat harta pada
akad jual-beli yang diukur dan sejenis. Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual-
4 Ibn Rusyd sebagamaina dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah,
(Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h.262-263

13
14

beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan
pada salah satu benda tersebut. Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual-
beli antarbarang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar
terhindar dari unsur riba.

b. Riba Nasi’ah
Menjual barang dengan sejenisnya, tetapi satu lebih banyak, dengan
pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu
tengah kilogram gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-beli
yang tidak ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah
semangka yang akan dibayar setelah sebulan. Ibn Abbas,Usamah Ibn jaid Ibn
Arqam, Jubair, Ibn Jabir, dan lain-lain berpendapat bahwa riba yang
diharamkan hanyalah riba nasi’ah.

Menurut Ulama Syafi’iyah


Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tigas jenis :
a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti
(penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar
paling akhir. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu
kilogram kentang dengan satu setengah kilogram kentang.

b. Riba Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-cerai
antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap
sempurna jual-beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus saling
menyerahkan dan menerima di tempat akad. Menurut ulama Hanafiyah, riba ini
termasuk riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak dari utang.

c. Riba Nasi’ah

14
15

Riba nasi’ah, yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi


ditambahkan harganya. Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah
sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya,
riba yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan riba nasi’ah
mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran
diakhirkan meskipun sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan
riba qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi
menempatkannya pada ribs fadhl.5

F.  Jenis-jenis Riba


Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing
adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi
menjadi qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli,
terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Adapun penjelasannya sebagai
berikut :

a. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).

b. Riba Jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

c. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

d. Riba Nasi’ah

5 Muhammad Asy-Syarbini sebagaimana dikutip oleh Rachmat Syafei,


FIQH Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) h.264

15
16

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang


dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah karena
adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini
dengan yang diserahkan kemudian.6

G. Konsep Riba dan Dasar Keharamannya


Secara bahasa riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur, tambahan). Seluruh
fuquha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram berdasarkan keterangan
yang sangat jelas dalam Al-Quran dan al-Hadis.
Pernyataan Al-Qur’an tentang larangan riba dan perintah meninggalkan
seluruh sisa-sisa riba yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 276 yang artinya
“ jika kamu tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu
adalah pokok hartamu. Tidak ada diantara kamu orang yang menganiaya dan
tidak ada yang teraniaya.7
Jika illat riba adalah dzulm (penindasan dan pemerasan) dan hikmah
pengharaman riba adalah untuk menumbuh suburkan shadaqah, maka dengan
sendirinya tradisi riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an adalah praktek riba
yang bertentangan dengan seruan shadaqa8

H. Illat Pengharaman
Emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam adalah barang-barang
pokok yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan tidak dapat disingkirkan dari
kehidupan. Emas dan perak adalah dua unsur pokok bagi uang yang dengannya
transaksi dan pertukaran menjadi teratur. Keduanya adalah standar harga-harga
yang kepadanya penentuan nilai barang-barang dikembalikan. Sementara
6 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika,
2008) h.92-93

7 Ghufron A. Mas’adi, fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada, 2002) h.151-152
8 Ibid, h.155

16
17

keempat benda lainnya adalah unsur-unsur makanan pokok yang menjadi


tulang punggung kehidupan.
Apabila riba terjadi pada barang-barang ini makan akan membahayakan
manusia dan menimbulkan kerusakan dalam muamalah. Oleh karena itu,
syariat melarangnya, sebagai bentuk kasih sayang terhadap manusia dan
perlindungan terhadap maslahat-maslahat. Dari sini tampak jelas bahwa ilat
pengharaman emas dan perak adalah keberadaan keduanya sebagai alat
pembayaran. Sementara ilat pengharaman benda-benda lainnya adalah
keberadaanya sebagai makanan pokok.
Apabila ilat pertama ditemukan pada alat-alat pembayaran lainnya selain
emas dan perak maka hukumnya sama dengan hukum emas dan perak sehingga
tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan berat yang sama dan
diserahterimakan secara langsung. Demikian juga, apabila ilat kedua
ditemukan pada makanan pokok selain gandum, jelai, kurma, dan garam maka
tidak boleh dijualbelikan kecuali dengan berat yang sama dan diserahterimakan
secara langsung. Ma’mar bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi SAW
melarang untuk menjualbelikan makanan kecuali dengan berat yang sama.9

I. Syarat Menghindari Riba


Syarat menjual sesuatu barang supaya tidak menjadi riba, yaitu :
1.        Menjual emas dengan emas, perak dengan perak, makanan dengan
makanan yang sejenis, misalnya beras dengan beras, hanya boleh dilakukan
dengan tiga syarat, yaitu :
a.         Serupa timbangan dan banyaknya
b.        Tunai
c.         Timbang terima dalam akad (Ijab qabul) sebelum meninggalkan majlis
akad

9 Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih Muslim sebagaimana dikutip


oleh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (PT. Tinta Abadi Gemilang : 2013) h.108-109

17
18

2.        Menjual emas dengan perak dan makanan dengan makanan yang
berlainan jenis, misalnya beras dengan jagung, hanya dibolehkan dengan dua
syarat, yaitu :
a.      Tunai
b.      Timbang terima dalam akad sebelum meninggalkan majlis akad
(taqaabul qablat-tafaaruq)
Keterangan :
Yang dikenai hukum riba hanya pada tiga macam, yaitu emas, perak dan
makanan manusia (termasuk makanan yang bukan obat).10

J. Hikmah diharamkannya Riba


Islam mengharamkan riba, karena riba mengandung hal-hal yang sangat negatif
bagi perseorangan maupun masyarakat, yakni :
1.      Melenyapkan faedah hutang-piutang yang menjadi tulang punggung
gotong-royong atas kebajikan dan takwa.
2.      Sangat menghalangi kepentingan orang yang menderita dan miskin.
3.      Melenyapkan manfaat yang wajib disampaikan kepada orang yang
membutuhkan.
4.      Menjadikan pelakunya malas bekerja keras.
5.      Menimbulkan sifat menjajah darikaum hartawan terhadap orang
miskin.

Keterangan :
Yang dikenal hukum riba hanya ada empat macam, yaitu emas, perak, makanan
manusia dan uang.11

K. Dampak Negatif Riba


1. Dampak Ekonomi

10 Moh Rifai, Mutiara Fiqih, (Semarang : CV. Wicaksana, 1998) h.777-778


11 Ibid, h.778-779

18
19

Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan


oleh bunga sebagai biaya utang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu
elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga,
semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan
peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah
keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut
dibungakan.

2. Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para
pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar
berusaha dan mengembalika, misalnya, 25% lebih tinggi dari jumlah yang
dipinjamkannya. Siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan :
berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa
usaha yang dikelola pasti untung.12
Islam menganggap riba sebagai kejahatan ekonomi yang menimbulkan
penderitaan bagi masyarakat, baik itu secara ekonomi, moral, maupun sosial.
Oleh karena itu, Al-Qur’an melarang kaum muslimin untuk memberi ataupun
menerima riba. Dalam mengungkap rahasia makna riba dalam Al-Qur,an, ar-
Razi (tt:88) menggali sebab dilarangnya riba dari sudut pandang ekonomi,
dengan beberapa indikasi sebagai berikut :
a.      Riba tak lain adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai imbangan
apapun. Padahal, menurut sabda Nabi harta seseorang adalah seharam
darahnya bagi orang lain.
b.      Riba dilarang karena menghalangi pemodal untuk terlibat dalam usaha
mencari rezeki. Orang kaya, jika ia mendapatkan penghasilan dari riba,
akan bergantung pada cara yang gampang dan membuang pikiran untuk
giat berusaha.
12 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, (Jakarta : Gema Insani,
2001) h.67

19
20

c.      Dengan riba, biasanya pemodal semakin kaya dan bagi peminjam
semakin miskin, sekiranya dibenarkan maka yang ada orang kaya menindas
orang miskin.
d.     Riba secara tegas dilarang oleh Al-Qur’an, dan kita tidak perlu tahu alasan
pelarangannya.13

L. Ancaman Bagi Pelaku Riba


Hadis Muslim yang artinya :
“Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya, kedua
saksinya, mereka semua sama”. (Matan lain : Ahmad : 13744)
Riba diharamkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Berikut hadis yang
melarang dan mengecam praktik riba dengan kata-kata yang tegas dan jelas.14
Hadis Akhmad yang artinya :
Nabi Muhammad bersabda : “riba itu sekalipun dapat menyebabkan
bertambah banyak, tetapi akibatnya akan berkurang”. (Matan lain : Ibnu
Majah 2270)
Hadis ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan praktik riba, bahwa
riba memang dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya, tetapi
suatu saat tidak akan mendapatkan berkah dari Allah, sehingga pada akhirnya
akan berkurang.15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

13 Kuat Ismanto, Manajamen Syari’ah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,


2015) h.47

14 Al-Mushlih Abdullah, Ash-Shawi Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,


Jakarta : Darul Haq, 2004.
15 Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, (Malang : UIN-Maliki Press,
2012) h.131-132

20
21

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Riba dapat timbul


dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam perdagangan (riba
bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena pertukaran barang
sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadhl), dan riba karena
pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan jangka
waktu (riba nasi’ah).
Berwirausaha adalah merupakan kegiatan sosial yang dapat membantu
sesama makhluk yang saling ketergantungan antara satu sama lain. Islam
sangat menganjurakan manusia untuk berusaha memperoleh rezki yang telah
Allah janjikan dengan jalan usaha. Diantara sekian banyak cara dalam
berwirausaha, perdagangan adalah salah satunya yang juga merupakan dunia
usaha yang pernah ditekuni oleh Rasulullah SAW. Beliau telah memberikan
contoh terhadap ummat bagaimana pedagang itu semestinya. Bahkan dalam
Al-Quran secara tidak langsung telah dituangkan tuntunan dalam bemuamalah
khususnya dalam perdagangan.
Semangat berwirausaha telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Beliau
sejak muda telah berwirausaha dari menggembala kambing hingga berdagang
ke negeri Syam. Semangat dan kerja keras Beliau menjadi panutan dan
motivasi bagi kaum muslimin untuk senantiasa mengais rezeki dengan jalan
berwirausaha.
Disamping berdagang adalah untuk menjawab kebutuhan ekonomi,
bahkan  berwirausaha sangat dianjurkan dalam Islam sebagaimana sabda
Rasulullah SAW. “Mata pencarian apakah yang paling baik, Ya
Rasulullah?”Jawab beliau: Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya
sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar).
Namun demikian, sepantasnyalah seorang pedagang melestarikan sifat-
sifat terpuji seperti yang dikemukan oleh Imam Al-Ghazali, yaitu : sifat taqwa,
zikir dan syukur, tidak mengambil laba secara berlebihan, sifat jujur, niat untuk
ibadah, azzam dan bangun lebih pagi, toleransi, silaturrahim, dan sebagainya.
Hukum riba adalah haram karena bersifat merugikan pihak yang lain.
Islam mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam al-Qur'an

21
22

surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat terakhir tentang


pengharaman riba, juga mengandung unsur eksploitasi. Dalam surat al-baqarah
disebutkan tidak boleh menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya
adalah tidak boleh melipatgandakan (ad'afan mudhaafan) uang yang telah
dihutangkan, karena dalam kegiatannya cenderung merugikan orang lain.
Macam-macam riba yaitu riba fudui, riba qardi, riba yad dan riba nasa’.
Jenis-jenis riba ada riba qardh, riba jahiliyyah, riba fadhl, dan riba nasi’ah.
Emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam adalah barang-barang
pokok yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan tidak dapat disingkirkan dari
kehidupan. Semua itu tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan berat yang
sama dan telah diserahterimakan secara langsung.
Islam mengharamkan riba, karena riba mengandung hal-hal yang sangat
negatif bagi perseorangan maupun masyarakat, yakni : Melenyapkan faedah
hutang-piutang yang menjadi tulang punggung gotong-royong atas kebajikan
dan takwa, sangat menghalangi kepentingan orang yang menderita dan miskin,
melenyapkan manfaat yang wajib disampaikan kepada orang yang
membutuhkan, menjadikan pelakunya malas bekerja keras, menimbulkan sifat
menjajah darikaum hartawan terhadap orang miskin.

B. SARAN
Tidak dapat kita pungkiri, bahwa tuntutan ekonomi sering membawa
kesenjangan dalam berbagai hal menyangkut perdagangan. Tidak jarang
pedagang yang melakukan kecurangan dalam berdagang, serta melanggar
etika-etika perdagangan yang telah di ajarkan oleh Alla dan RasulNya.
Disamping itu, ada pula orang yang pesimis dalam berusaha dan bekerja.
Sementara Allah dan RasulNya sangat mencintai orang-orang yang giat dalam
bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh sebab itu,
melalui makalah ini kami menyarankan kepada para pembaca agar
mempedomani Al-Quran dan Hadits serta berpedoman kepada disiplin ilmu
fiqih tentang tata cara bermuamalah.

22
23

Menyarankan kepada para wirausaha untuk meluruskan niat dalam berusaha


agar usaha yang digeluti bernilai ibadah, sehingga tidak hanya mendapat
imbalan renzi yang mulia, tetapi juga mendapat imbalan pahala disisi Allah.

DAFTAR PUSTAKA

23
24

A.Mas’adi Ghufron, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada, 2002.
Ali Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers, 2013.
Syafei Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Rifai Moh, Mutiara Fiqih, Semarang : CV Wicaksana, 1998.
Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2012.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2011.
Syafi’i Antonio Muhammad, Bank Syariah, Jakarta : Gema Insani, 2001.
Nur Diana Ilfi, Hadis-hadis Ekonomi, Malang : UIN-Maliki Press, 2012.
Ismanto Kuat, Manajemen Syari’ah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015.
Al-Mushlih Abdullah, Ash-Shawi Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,
Jakarta : Darul Haq, 2004.

24

Anda mungkin juga menyukai