Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Etos Kerja Pribadi Muslim.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembautan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami meyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Etos Kerja Pribadi
Muslim ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Bandung, 16 Januari 2023

Penyusun

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
PEMBAHASAN
A. Pengertian
B. Q.S Al-Jumu ’ah [62]: 9-11
C. Q.S Al-Qashash [28]: 23
D. Hadits
1. Penjelasan Hadits dan Hubungannya dengan Etos Kerja
2. Contoh Penyimpangan
E. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

2
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pengertian kamus bagi perkataan “etos” menyebutkan bahwa ia berasal dari
bahasa Yunani (ethos) yang bermakna watak atau karakter. Secara lengkapnya,
pengertian etos ialah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan, dan
seterusnya, yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia.
Dari perkataan “etos” terambil pula perkataan “etika” dan “etis” yang merujuk
kepada makna “akhlaq” atau bersifat “akhlaqi”, yaitu kualitas esensial seseorang
atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. Juga dikatakan bahwa “etos” berarti
jiwa khas suatu kelompok manusia, yang dari jiwa khas itu berkembang pandangan
bangsa tersebut tentang yang baik dan yang buruk, yakni, etikanya.
Secara sederhana, etos dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu
masyarakat perwujudan etos dapat dilihat dari struktur dan norma sosial masyarakat
itu. Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan perilaku diri sendiri
dan lingkungan sekitarnya, yang terpancar dalam kehidupan masyarakat. Karena
etos menjadi landasan bagi kehidupan manusia, maka etos juga berhubungan dengan
aspek evaluatif yang bersifat menilai dalam kehidupan masyarakat. Weber
mendefinisikan etos sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah
laku seseorang, sekelompok atau sebuah institusi (guiding beliefs of a person, group
or institution). Jadi etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja yang
diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai hal yang baik dan benar dan
mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka.
Sedangkan dalam Islam, menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam
adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan
dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah Swt. Berkaitan dengan
ini, penting untuk ditegaskan bahwa pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau
kerja (praxis). Inti ajarannya ialah bahwa hamba mendekati dan berusaha

3
memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal saleh, dan dengan memurnikan
sikap penyembahan hanya kepada-Nya.
Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan
bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh,
dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau
menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (Khaira
Ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu
memanusiakan dirinya.
Dalam bentuk aksioma, Toto meringkasnya dalam bentuk sebuah rumusan:
KHI = T, AS (M, A, R, A)
KHI = Kualitas Hidup Islami
T = Tauhid
AS = Amal Shaleh
M = Motivasi
A = Arah Tujuan (Aim and Goal/Objectives)
R = Rasa dan Rasio (Pikir dan Zikir)
A = Action, Actualization.
Dari rumusan di atas, Toto mendefinisikan etos kerja dalam Islam (bagi
kaum Muslim) adalah: “Cara pandang yang diyakini seorang Muslim bahwa
bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya,
tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya
mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur.”

B. Q.S Al-Jumu ’ah [62]: 9-11

‫ي لِلص َّٰلو ِة ِم ْن يَّوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا اِ ٰلى ِذ ْك ِر هّٰللا ِ َو َذرُوا ْالبَ ْي ۗ َع ٰذلِ ُك ْم خَ ْي ٌر لَّ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا نُوْ ِد‬
]9[ َ‫تَ ْعلَ ُموْ ن‬
]10[ َ‫ض َوا ْبتَ ُغوْ ا ِم ْن فَضْ ِل هّٰللا ِ َو ْاذ ُكرُوا هّٰللا َ َكثِ ْيرًا لَّ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن‬ ٰ
ِ ْ‫ت الصَّلوةُ فَا ْنتَ ِشرُوْ ا فِى ااْل َر‬ ِ َ‫ضي‬ ِ ُ‫فَا ِ َذا ق‬

4
‫ك قَ ۤا ِٕى ًم ۗا قُلْ َما ِع ْن َد هّٰللا ِ خَ ْي ٌر ِّمنَ اللَّه ِْو َو ِمنَ التِّ َجا َر ۗ ِة‬
َ ْ‫َواِ َذا َراَوْ ا تِ َجا َرةً اَوْ لَ ْه ًوا ۨا ْنفَضُّ ْٓوا اِلَ ْيهَا َوتَ َر ُكو‬
]11[ َ‫ࣖ َوهّٰللا ُ خَ ْي ُر ال ٰ ّر ِزقِ ْين‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk
melaksanakan salat pada hari Jum'at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di
bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu
beruntung. Dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka
segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang
berdiri (berkhotbah). Katakanlah, "Apa yang ada di sisi Allah lebih baik
daripada permainan dan perdagangan," dan Allah Pemberi Rezeki yang terbaik.”
QS. al-Jumu’ah ayat 9 ini berkenaan dengan seruan dari Allah Swt.
kepada orang-orang yang beriman agar mendirikan salat Jum’at. Kata seruan
pada ayat di atas, sebenarnya dapat dipahami tidak hanya sebatas azan yang
dikumandangkan oleh muazin pada hari Jum’at, tetapi seruan dari Allah Swt.
Sebab jika diartikan secara sempit, maka akan banyak sekali umat Islam yang
dijumpai terlambat melaksanakan salat Jum’at. Padahal para sahabat selalu
datang ke masjid untuk melaksanakan salat Jum’at sebelum waktu Jum’at tiba,
bahkan ada yang datang pagi-pagi,tidak menunggu azan tiba.
Di akhir ayat, ditegaskan bahwa menaati perintah Allah Swt. dengan
melaksanakan perintah salat Jum’at adalah lebih baik bagi orang-orang yang
memahaminya. Sebab selain akan memperoleh keridhaan Allah Swt. salat
Jum’at dapat menimbulkan kesatuan dan persatuan antara umat Islam, akan bisa
memperkuat ukuwah Islamiyah, karena salat Jum’at dilakukan dengan cara
berjama’ah.
Pada ayat ke-10 surat al-Jum’ah, Allah Swt. melanjutkan seruanNya,
yaitu apabila telah selesai melaksanakan salat Jum’at, makasegeralah mencari
karunia Allah Swt, boleh kembali bertebaran di muka bumi, mengerjakan urusan
duniawi, dan berusaha mencari rezeki yang baik dan halal.

5
Di akhir ayat, Allah Swt. memerintahkan agar banyak berzikir kepada-
Nya supaya manusia memperoleh keberuntungan. Zikir artinya ingat, atau
menyebut nama Allah Swt. adalah bagian terpenting dalam kehidupan umat
Islam, baik dalam kaitannya dengan persoalan ‘aqı̄ dah ubūdiyah, maupun
akhlak. Sebab Rasulullah adalah manusia yang paling banyak berzikir, selalu
ingat kepada Allah Swt. kuasa alam dalam situasi dan kondisi apapun.
Sedangkan kandungan ayat ke-11, diawali dengan pernyataan Allah Swt.
tentang sikap sebagian orang mukmin yang masih silau dengan perniagaan
duniawi, padahal sedang mendengar khutbah Nabi Muhammad Saw. Di mana,
asbābun-nuzūl ayat ini berkenaan dengan kedatangan rombangan unta dari
kafilah dagang Dihyah al-Kalby dari Syām (Suriah) dengan membawa
dagangan, seperti tepung, gandum, minyak dan lain-lain. Sebagai kebiasaan,
apabila unta rombongan kafilah dagang tiba, maka kaum perempuan ikut
menyambutnya dengan menabuh gendang, supaya orang-orang datang membeli
dagangan yang dibawanya. Dan kaum Muslimin yang sedang mendengarkan
khutbah Jum’at Nabi pun keluar ikut menyambut rombongan dagang ini.
Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan manusia untuk lebih
mementingkan perkara yang bersifat duniawi telah ada sejak zaman Nabi
Muhammad, sebagaimana penjelasan di atas. Kemudian Allah Swt.
mengingatkan bahwa apa yang ada di sisi Allah Swt. lebih baik daripada
permainan dan perdagangan. Keridhaan dari Allah Swt. jauh lebih baik daripada
yang diusahakan manusia.
Ayat ini ditutup dengan satu penegasan bahwa Allah itu sebaik-baik
pemberi rezeki. Oleh karena itu, kepada-Nyalah kita arahkan usaha dan ikhtiar
kita untuk memperoleh rezeki yang halal mengikuti petunjuk-Nya.
Jadi yang di maksud dari ayat di atas, sekeras apa pun orang bekerja,
setinggi apa pun etos kerja yang dimiliki, tidak boleh menjadikan lupa kepada
Allah Swt. Hal ini di tegaskan dalam ayat 9 di atas. Yang dimaksud jual beli
dalam ayat tersebut adalah mencakup seluruh aktivitas atau pekerjaan manusia.
Maka apa pun aktivitas atau pekerjaan yang dilakukannya tidak boleh

6
melupakan Allah Swt. Ayat tersebut ditutup dengan pernyataan Allah, “Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Hal ini mengisyaratkan
bahwa boleh jadi ada orang yang tetap bekerja dengan etos yang tinggi tanpa
peduli dengan aturan-aturan Allah, maka hal ini jelas akan merugikan dirinya
sendiri. Karena hasil pekerjaan tersebut tidak akan membawa kebahagiaan
hidupnya di dunia apalagi di akhirat.
Sebaliknya, yang terjadi kepada orang akan mengalami kecanduan kerja,
dan itu akan berakibat tidak baik bagi keseimbangan hidupnya.

C. Q.S Al-Qashas [28]:77

‫ك ِمنَ ال ُّد ْنيَا َواَحْ ِس ْن َك َمٓا اَحْ َسنَ هّٰللا ُ ِالَ ْيكَ َواَل تَب ِْغ ْالفَ َسا َد‬ ‫هّٰللا‬
َ ‫َوا ْبت َِغ فِ ْي َمٓا ٰا ٰتىكَ ُ ال َّدا َر ااْل ٰ ِخ َرةَ َواَل تَ ْن‬
ِ َ‫س ن‬
َ َ‫ص ْيب‬
َ‫ض ۗاِ َّن هّٰللا َ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِد ْين‬
ِ ْ‫فِى ااْل َر‬

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu


(kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan lah kamu melupakan bahagiamu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan jangan lah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan."
Di awal ayat ini, Allah Swt. memerintahkan kepada orang-orang
yang beriman agar membuat keseimbangan antara usaha untuk memperoleh
keperluan duniawi dan memenuhi keperluan ukhrawi. Tidak mengejar salah
satunya dengan cara meninggalkan yang lain. Nabi Muhammad Saw. sangat
mencela orang yang yang hanya mengejar akhirat dengan meninggalkan
duniawi. Apalagi menjadi beban orang lain dalam masalah nafkah. Pernah
Rasulullah mendapati seorang anak muda yang selalu berada di masjid,
kemudian beliau bertanya kepada sahabat, siapakah yang memberi nafkah
untuk pemuda tersebut? Para sahabat menjawab, ”ayahnya!” Beliau
melanjutkan perkataannya bahwa ayahnya lebih baik daripada anaknya.

7
Sebab si pemuda seyogianya bekerja mencari nafkah, sehingga tidak menjadi
beban orang lain.
Pada saat kita mengerjakan ibadah, kita harus sungguh-sungguh dan
penuh penghayatan. Misalnya sedang salat, harus berusaha melupakan
semua urusan duniawi dan hanya mengingat Allah Swt. seolah tidak ada
kesempatan lagi untuk beribadah kepada-Nya. Begitu juga dalam
menghadapi urusan duniawi, harus penuh perhatian dan kesungguhan,
sehingga menimbulkan kesadaran bahwa semua perbuatannya itu akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. 
Manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Oleh karenanya, penting
bagi manusia untuk bisa menyeimbangkan antara kepentingan jasmani
(material) dan rohani (spiritual) dalam diri manusia.
Selanjutnya, ayat ini juga memerintahkan kepada manusia untuk bisa
berbuat baik kepada sesamanya. Kewajiban berbuat baik ini sebagai
perwujudan sifat-sifat Allah Swt. yang Maha Raḥmān dan Raḥīm kepada
seluruh makhluk-Nya. Bentuk perbuatan baik itu dapat dikategorikan
menjadi empat hal, yaitu:

1) Berbuat baik pada nikmat Allah Swt. berupa harta. Kemewahan dan
harta yang berlimpah tidak boleh menjadikan dirinya lupa diri dan
lupa terhadap kehidupan akhirat. Bentuk perbuatannya baiknya
adalah dengan menggunakan harta untuk memberi nafkah keluarga,
menyantuni anak yatim, ataupun biaya pendidikan keluarga.
2) Berbuat baik kepada diri sendiri dengan memelihara kehidupan
dirinya di dunia, namun tidak boleh bertentangan dengan ajaran
Islam. Bentuk perbuatan baik ini seperti makan, minum, berpakaian,
beragama, berkeluarga, bekerja dan bermasyarakat.
3) Berbuat baik sebagaimana yang diajarkan Allah Swt. sebagai wujud
pelaksanaan kewajiban muslim, yaitu selalu menaati perintah Allah
Swt. melalui ibadah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

8
4) Berbuat baik dengan tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Manusia
sebagai khalifah di muka bumi ternyata telah banyak menyia-siakan
amanah Allah Swt. Di dalam QS. ar-Rūm: 41 dijelaskan bahwa
kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah manusia. Allah Swt.
telah banyak mengingatkan manusia di dalam Al-Qur’an agar tidak
melakukan kerusakan di muka bumi.
Dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi
merupakan satu kesatuan. Dunia adalah tempat menanam dan akhirat
ada tempat menuai. Segala sesuatu yang kita tanam selama ini di
dunia, akan kita peroleh buahnya di akhirat kelak. Islam pada
hakikatnya tidak mengenal amal dunia dan akhirat.
Ayat di atas menggarisbawahi pentingnya mengarahkan
pandangan kepada akhirat sebagai tujuan dan keadan dunia sebagai
sarana untuk mencapai tujuan.

D. Hadits
1. Penjelasan Hadits dan Hubungannya dengan Etos Kerja

‫ير ْب ِن َس ْع ٍد ع َْن خَ الِ ِد ْب ِن َم ْعدَانَ ع َْن ْال ِم ْقد َِام ْب ِن‬


ِ ‫ش ع َْن بَ ِح‬ ٍ ‫ار َح َّدثَنَا ِإ ْس َم ِعي ُل بْنُ َعيَّا‬
ٍ ‫َح َّدثَنَا ِه َشا ُم بْنُ َع َّم‬
‫ب ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه‬ ْ ‫ب ال َّر ُج ُل َك ْسبًا َأ‬
َ َ‫طي‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َما َك َس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ي ع َْن َرس‬ ُّ ‫ب‬
ِّ ‫الزبَ ْي ِد‬ َ ‫َم ْع ِدي َك ِر‬
‫ق ال َّر ُج ُل َعلَى نَ ْف ِس ِه َوَأ ْهلِ ِه َو َولَ ِد ِه َوخَا ِد ِم ِه فَهُ َو‬
َ َ‫َو َما َأ ْنف‬

“Disampaikan kepada kami oleh Hisyam bin ‘Ammar dari Isma’il


bin ‘Ayyas dari Bahir bin Sa’ad dari Khalid bin Ma’ dan dari al-Miqdām bin
Ma ’dikarib Az-Zubaidi dari Rasulullah, beliau bersabda: “Tidak ada yang
lebih baik dari usaha seorang laki-laki kecuali dari hasil tangannya sendiri.
Dan apa yang diinfakkan oleh seorang laki-laki kepada diri, istri, anak dan
pembantunya adalah sedekah.” (HR. Ibnu Mājah).
Hadis di atas merupakan motivasi dari Nabi Muhammad Saw.
kepada kaum muslimin untuk memiliki etos kerja yang tinggi. Kita dilarang

9
oleh Nabi hanya bertopang dagu dan berpangku tangan mengharap rezeki
datang dari langit. Kita harus giat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup
diri dan keluarga. Bahkan dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw. bahwa
tidak ada yang lebih baik dari usaha seseorang kecuali hasil kerjanya sendiri.
Hal ini tentunya juga bukan sembarang kerja, tetapi pekerjaan yang halal dan
tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Nilai mulia dari hasil kerja bukan hanya dari sisi memerolehnya saja,
termasuk juga turut membelanjakannya untuk anak, istri, dan pembantu
dinilai sedekah oleh Allah Swt. Betapa luhur ajaran Islam yang sangat
mendukung para pemeluknya untuk giat bekerja. Dalam hadis lain, Nabi
pernah mengajarkan kepada kita sebuah doa yang sangat indah sekaligus
memotivasi kita untuk memiliki etos kerja yang tinggi, sebagai berikut:

َ ِ‫ َوَأعُو ُذ ب‬،‫ َوال ُج ْب ِن َوالب ُْخ ِل َوالهَ َر ِم‬،‫ك ِمنَ ال َعجْ ِز َوال َك َس ِل‬
ِ ‫ك ِم ْن َع َذا‬
،‫ب القَب ِْر‬ َ ِ‫اللَّهُ َّم ِإنِّي َأعُو ُذ ب‬
َ ِ‫َوَأعُو ُذ ب‬
ِ ‫ك ِم ْن فِ ْتنَ ِة ال َمحْ يَا َوال َم َما‬
‫ت‬

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan,


rasa takut, kepikunan, dan kekikiran. Dan aku juga berlindung kepada-Mu
dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian” (HR. Muslim).
Hadis di atas jelas menunjukkan bahwa Islam sangat menekankan
pada pentingnya bekerja keras serta sangat tidak mengajarkan umatnya
untuk menjadi pemalas, lemah, apalagi menjadi peminta-minta sebagaimana
hadits Nabi Muhammad Saw. berikut ini:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأَل ْن يَْأ ُخ َذ‬


َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ع َْن ِه َش ِام ْب ِن عُرْ َوةَ ع َْن َأبِي ِه ع َْن َج ِّد ِه ق‬
َ َ‫ال ق‬
‫ظه ِْر ِه فَيَبِي َعهَا فَيَ ْستَ ْغنِ َي بِثَ َمنِهَا خَ ْي ٌر لَهُ ِم ْن َأ ْن يَ ْسَأ َل‬َ ‫ب َعلَى‬ ٍ َ‫َأ َح ُد ُك ْم َأحْ بُلَهُ فَيَْأتِ َي ْال َجبَ َل فَيَ ِجَئ بِح ُْز َم ِة َحط‬
ُ‫اس َأ ْعطَوْ هُ َأوْ َمنَعُوه‬ َ َّ‫الن‬
Dikisahkan kepada kami oleh Ali bin Muhammad dan ‘Amr bin
Abdullah al-Awda’i dari Waki’ dari Hisyam dari ‘Urwah dari ayahnya dari
kakeknya bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Sekiranya salah seorang

10
dari kalian mengambil tali dan membawanya ke gunung, lalu ia datang
dengan membawa satu ikat kayu di atas punggungnya, kemudian menjualnya
hingga dapat memenuhi kebutuhannya adalah lebih baik daripada meminta-
minta manusia, baik mereka memberi ataupun tidak” (HR. Ibnu Mājah).
Sesungguhnya hasil usaha seseorang dari pekerjaan yang
dilakukannya sendiri lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada
manusia agar memberikan harta mereka; baik mereka memberinya atau
tidak. Maka orang yang mengambil seutas talinya, lalu ia pergi ke tempat-
tempat penggembalaan, sawah-sawah dan hutan-hutan, kemudian ia
mengumpulkan kayu bakar dan memikulnya, sampai menjualnya, lantas
dengan hal itu ia menjaga diri, harkat dan martabatnya, serta melindungi
dirinya dari kehinaan meminta-minta, itu lebih baik baginya daripada ia
meminta-minta kepada manusia, baik mereka memberinya ataupun tidak.
Jadi, meminta-minta kepada manusia adalah kehinaan, sedangkan seorang
mukmin itu mulia, tidak hina.
Dalam hadits-hadits yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa
bekerja merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam.
Rasulullah SAW memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja.
Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga
untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya
dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang
teramat mulia. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan
tangannya sendiri.
Ketika seseorang merasa kelelahan atau capai setelah pulang bekerja,
maka Allah SWT mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Selain itu, orang
yang bekerja, berusaha untuk mendapatkan penghasilan dengan tangannya
sendiri baik untuk membiayai kebutuhannya sendiri ataupun kebutuhan anak
dan istri (jika sudah berkeluarga), dalam Islam orang seperti ini
dikategorikan jihad fi sabilillah. Dengan demikian Islam memberikan

11
apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka yang mau berusaha dengan sekuat
tenaga dalam mencari nafkah (penghasilan).
Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah
bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah
martabat dan kemuliaannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias
menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya
sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan
menjerumuskan manusia pada perbuatan hina. Tindakan mengemis,
merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT.
Islam mengarahkan umatnya dengan keras agar mau bekerja keras
dan bekerja secara profesional serta mencela mereka yang bersikap pemalas
dan suka meminta belas kasihan orang lain sebagaimana yang dijelaskan
dalam hadits, yang berbunyi:

ّ‫ ِإ ّن هَّللا َ تَ َعالى يُ ِحب‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ْ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهَا قَال‬
َ ِ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬:‫ت‬ ِ ‫ع َْن عَاِئ َشةَ َر‬
ُ‫ِإ َذا َع ِم َل َأ َح ُد ُك ْم َع َمالً َأ ْن يُ ْتقِنَه‬

Dari Aisyah R.A. sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda:


“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja,
mengerjakannya secara profesional”. (HR. Thabrani, No.891, Baihaqi,
No.334).
Sudah jelas dijelaskan di dalam hadits dan Al-Quran bahwa sebagai
manusia wajib bekerja tetapi bukan hanya bekerja melainkan harus sesuai
dengan syariat Islam. Empat landasan etos kerja muslim yang sesuai syariat
Islam adalah: Aqidah, Akhlaq, Ibadah dan Muamalah.
Jika bekerja hanya menggugurkan tanggung jawab, itu sudah
mainstream dilakukan oleh banyak orang. Bekerja sepenuh hati dan
menghasilkan prestasi, itu adalah salah satu hasil penerapan dari sebuah etos
kerja yang unik.

12
Ajaran Islam menunjukkan bahwa “kerja” atau “amal” adalah bentuk
keberadaan manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah
yang membuat atau menemukan keberadaan umat manusia. Jika filsuf
Perancis, Rene Descartes, terkenal dengan keahliannya, “Aku berpikir maka
aku ada” (Cogito ergo sum) – karena berpikir melihat wujud manusia –
maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi
“Aku melakukan, maka aku ada.”
Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Islam. Ditegaskan
bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia
usahakan sendiri: “Belum kah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada
dalam lembaran-lembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi Ibrahim yang setia?
menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu
melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa upaya itu akan diperlihatkan
(kepadanya), kemudian ia akan membalas dengan balasan yang setimpal.
Dan bahwa kepada Tuhan-mu lah tujuan yang penghabisan".
Itulah yang dimaksud dengan ungkapan bahwa, kerja adalah bentuk
eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia, yakni apa yang dimilikinya
– tidak lain ialah amal perbuatan atau pekerjaannya itu. Manusia ada karena
amalnya, dengan amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai harkat
yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridhaan.
“Barang siapa benar-benar mengharap bertemu Tuhannya, maka
perselisihan ia berbuat baik, dan kegemparan dalam beribadah kepada
Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik.”
2. Contoh Penyimpangan
Dalam Etos Kerja, tindakan pencurian akibat kondisi ekonomi yang
mendesak atau kemiskinan termasuk salah satu contoh pekerjaan yang
menyimpang dari berbagai inti juga definisi sebelumnya mengenai etos
kerja.
Kondisi perekonomian membuat seseorang dengan terpaksa
melakukan pencurian. Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan

13
keluarganya, seseorang melakukan pencurian tersebut tanpa pikir panjang.
Sehingga mencuri dijadikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Padahal dalam Islam dijelaskan bahwa dalam Islam, etos kerja
dilandasi oleh semangat beribadah kepada Allah SWT. Jadi kerja tidak
sekedar memenuhi kebutuhan duniawi melainkan juga sebagai pengabdian
kepada Allah SWT. Sehingga dalam Islam, semangat kerja tidak hanya
untuk meraih harta tetapi juga meraih ridha Allah SWT.
Larangan mencuri sudah dijelaskan di dalam alquran, yang berbunyi:

ِ ‫ َو هللاُ ع‬،ِ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوْ آ اَ ْي ِديَهُ َما َج َزآ ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكاالً ّمنَ هللا‬
‫ فَ َم ْن‬.‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ِ ‫ق َو الس‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫َو الس‬
‫ اِ َّن هللاَ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬،‫َاب ِم ْن بَ ْع ِد ظُ ْل ِمه َو اَصْ لَ َح فَا ِ َّن هللاَ يَتُوْ بُ َعلَ ْي ِه‬
َ ‫ت‬
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Maka barang siapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah
melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [QS. Al-Maidah : 38-39]
Mencuri sudah jelas haram apalagi dijadikan alasan untuk bertahan
hidup. Etos kerja pribadi muslim harus bekerja sebagai kewajiban,
menghargai waktu, memiliki niat yang ikhlas, bertanggung jawab, Iman
sebagai landasan pekerjaan.
Maka dari itu, bekerjalah dengan memiliki etos kerja yang tinggi
sebagai manifestasi amal shaleh (akhirat).
E. Kesimpulan
Dalam ajaran Islam, beramal dengan semangat penuh pengabdian yang tulus
untuk mencapai keridhaan Allah dan meningkatkan taraf kesejahteraan hidup umat
adalah fungsi manusia itu sendiri sebagai khalifatullah fi al-Ardl. Etos kerja seorang
muslim ialah semangat menapaki jalan lurus mengharapkan ridha Allah SWT. Etika
kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah:

14
a. Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu
untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha
keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik
dengan relasinya.
b. Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
c. Tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam
bekerja, semua harus diperkerjakan secara profesional dan wajar.
d. Tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya
dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
e. Profesionalisme dalam setiap pekerjaan.
Robert N. Bellah mengatakan, dengan menggunakan suatu istilah dalam
sosiologi modern, bahwa etos yang dominan dalam Islam ialah menggarap
kehidupan dunia ini secara giat, dengan mengarahkannya kepada yang lebih baik
(Ishlah).

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Agama, Etos Kerja dan Pengembangan Ekonomi, (Jakarta:


LP3ES, 1982).
Al-Faruqi, Ismail, Al-Tawhid: Its Implication for Thought and Life (Herndon,
Virginia: IIIT, 1995).
Dra. Mansiah. (2020). Ciri-ciri Etos Kerja Muslim. Gurusiana.
https://www.gurusiana.id/read/mansiahabdurrahman/article/ciri-ciri-etos-kerja-muslim-
2642160
Putra, Muhlis Adi. (2020). Etos kerja dalam ajaran agama islam ditinjau
dari perspektif Max Weber. Undergraduate thesis, UIN Mataram.
http://etheses.uinmataram.ac.id/1219/
Suraji. (2018). Idul Fitri, Tumbuhnya Etos Kerja Baru Seorang Muslim.
Islam.ico. https://islami.co/idul-fitri-tumbuhnya-etos-kerja-baru-seorang-muslim/ .
Weber, Max, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, terj. Talcott
Parson, (New York: Charles Scribner‟s Son, 1958).
Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 1995).
Webster’s New World Dictionary of the American Language, 1980.

16

Anda mungkin juga menyukai