Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PENAFSIRAN AYAT ZAKAT

Disusun untuk memenuhi tugas:

MATA KULIAH : TAFSIR AHKAM

DOSEN PENGAMPU : Dr. ISKANDAR, M, Sy

Oleh:

Windi Windari Made (2111211025)

Ayunita Rahmawati Umar (2111211004)

Syahban Syahdan S. Dasi (2111211009)

Yusril Wahyudi (2111211041)

Aldiyanto Alimudin (2111211049)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG

2022
KATA PENGANTAR
Pujis yukur kehadirat Allah SWT yang telah memberkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul“Penafsiran Ayat Zakat” ini, meskipun masih
mengalami sedikit kesulitan dan kendala dalam referensi.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah
diutus oleh Allah SWT untuk mengadakan sebuah reformasi dengan misi pencerahan didalam
kehidupan manusia sebagai Rahmatan Lil ‘alamin.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuli yang di ampu oleh Dr. Iskandar, M, Sy
Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik sebagai perbaikan sekaligus sebagai bekal dalam
penulisan berikutnya. Dan kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
khususnya kami selaku penulis.

Kupang, 5 Oktober 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................
A. Latar Belakang...................................................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................
C. Tujuan.................................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................................
A. Naskah/Ayat, terjemahan dan Asbab Al-Nuzul (Surat Al-Baqarah ayat 267 dan Al-
Maidah ayat 60...................................................................................................................
B. Penafsiran Ayat Zakat.......................................................................................................
C. Istinbat Hukum..................................................................................................................
BAB III PENUTUP......................................................................................................................
A. Kesimpulan.........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai pedoman pokok umat islam, yang didalamnya mencakup
berbagai hukum. Memiliki berbagai versi penafsiran, bukan hanya penafsiran tentang
ayat-ayat hokum melainkan juga ayat-ayat yang memiliki arti yang samar. Sebagai salah
seorang umat Nabi SAW, kita sebenarnya wajib untuk mengetahui tafsiran-tafsiran yang
terkandung didalam Al-Qur’an tersebut.
Di dalam Al-Qur’an yang menyimpan materi-materi pokok umat islam, yang
diantaranya adalah zakat. Dimana zakat merupakan salah satu dari rukun islam.
Mengingat hal itu, disini saya mencoba menyajikan, penafsiran salah satu ayat Al-Qur’an
yang berkaitan dengan zakat.
Zakat adalah salah satu rukun yang bercorak sosial ekonomi dari lima rukun Islam,1
sebab zakat mempunyai kedudukan yang penting, karena ia mempunyai fungsi ganda
yaitu sebagai ibadah mahdhah fardiyah (individual) kepada Allah untuk
mengharmoniskan hubungan vertikal kepada Allah, dan sebagai ibadah mu'amalah
ijtima'iyyah (sosial) dalam menjaga hubungan horizontal sesama manusia.
Oleh karena zakat merupakan ibadah yang mengandung dua dimensi, yaitu
dimensi habl min Allah dan habl min al-Nas, maka pensyari'atan zakat dalam Islam
menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan masalah- masalah kemasyarakatan
terutama nasib mereka yang lemah.
Tak dapat di ragukan lagi, bahwa zakat itu suatu rukun dari rukunrukun agama;
suatu fardu dari fardu-fardu agama yang kita ditugaskan menyebarkannya. Di dalam al-
Qur'an banyak ayat yang menyuruh, memerintah dan menganjurkan kita memberikan
zakat itu.
Untuk memahami ketetapan hukum atas suatu perkara dalam nash Al-Qur’ân,
ketika ayat-ayat yang dijadikan dasar di dalamnya  masih bersifat mujmâl maka  perlu
adanya sebuah kajian yang disebut tafsir. Yaitu mentafsirkan ayat berdasarkan sumber-
sumber yang otentik dan terpercaya.
Berhubungan dengan zakat, di dalam Al-Qur’ân disebutkan banyak ayat yang
menunjukkan perintah wajibnya, Baik yang diungkapkan secara tegas dan langsung
dengan shighât amar, atau dengan ungkapan berbentuk ancaman bagi yang tidak
menunaikannya, maupun dalam bentuk ungkapan lain yang mengarah pada perintah. Dan
zakat sendiri dalam Al-Qur’an maupun hadits sering juga diistilahkan dengan lafadz;  ,  ‫صدقة‬
ّ HHHHHHHH‫ح‬  atau ‫نفقة‬ yang
‫ق‬ disertai qarinah, dan  yang dimaksud adalah shadaqah
wâjibah, haqq wâjib dan nafaqah wâjibah yang khusus diberikan kepada ashnâf delapan.
Akan tetapi pada umumnya ayat-ayat tersebut masih bersifat mujmal. Dengan
demikian, perlu adanya penjelasan dari sumber-sumber lain yang menjelaskannya. Dalam
hal ini peran Nabi sebagai Mubayyin Al-Qur’ân dan para Ulama Tafsir sangatlah
dibutuhkan. Ini penting untuk menjelaskan; ketentuan apa saja yang harus dizakati; waktu
dan bagaimana tata cara pembayarannya; seberapa banyak kadarnya yang harus
dikeluarkan, dan lain sebagainya.
Alquran sebagai sumber ajaran Islam yang pertama, dan Hadis sebagai sumber
yang kedua setelah alquran yang fungsinya sebagai penjelas dalam bentuk perkataan,
perbuatan Rasul, ataupun takhrirnya juga perperan menguatkan hukum atau menjelaskan
hukum yang kurang jelas, merinci yang bersifat Mujmāl1 , Serta sebagai menetapkan dan
membentuk hukum yang tidak di jelaskan dalam Alquran. Alquran adalah sebuah kitab
suci dan petunjuk yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw bagi seluruh
manusia. Ia berbicara kepada rasio dan kesadaran manusia. Alquran juga mengajarkan
kepada manusia aqidah tauhid. Alquran juga menunjukkan kepada manusia jalan terbaik
untuk mewujudkan dirinya, mengembangkan kepribadiannya, dan mengantarkannya
kepada jenjang-jenjang kesempurnaan manusiawi agar dengan demikian ia bisa
merealisasikan kebahagian bagi dirinya, baik di dunia maupun di akhirat.2 Bersedekah
adalah memberikan sebagian harta kita baik itu berupa uang, makanan, maupun barang
yang masih ada manfaatnya kepada orang yang memang membutuhkannya secara ikhlas
semata-mata karena Allah Swt. Sedekah akan mendekatkan kita kepada Allah, Zat Yang
Maha Pemberi Rezeki. Dekat dengan Allah Yang Maha Kaya akan menjamin terjaganya
rezeki dan harta yang kita miliki. Artinya, semakin bakhil kita, akan semakin jauh kita dari
rezeki dan nilai hakiki kekayaan yang sebenarnya. Akan sangat baik untuk kita bisa
memulai membiasakan diri untuk menyisihkan sebagian rezeki kita untuk orang lain, entah
itu untuk orang tua, saudara, teman, tetangga, atau pun guru. Ada baiknya orang-orang
yang memiliki hubungan kekeluargaan lebih didahulukan, kemudian tetangga dekat,
tetangga jauh, dan seterusnya. 3 Persoalannya adalah yang diberi dengan kualitas terbaik
atau tidak berkualitas yang sudah tidak dipakai dan tidak penting lagi?
Allah Swt., memberikan isyarat kepada manusia tentang konsep memberi yang
ِ ‫يَا َأيـُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأ ْنفِقُوا ِم ْن طَيِّبَا‬
terbaik didalam Alquran surat Al-baqarah ayat 267 yaitu: ‫ت َما َك َس ْبتُ ْم‬
‫َْأل‬
ٌِّ H‫وا َأ َّن هَّللا َ َغ‬HH‫ ِه ۚ◌ َوا ْعلَ ُم‬H‫آخ ِذي ِه ِإالَّ َأ ْن ُتـ ْغ ِمضُوا فِي‬
‫ ٌد‬H‫ني ح َِمي‬H ِ ِ‫يث ِم ْنهُ تـ ُ ْنفِقُونَ َولَ ْستُ ْم ب‬ ِ ْ‫َوم َِّما َأ ْخ َرجْ نَا لَ ُك ْم ِمنَ ا ر‬
َ ِ‫ض ۖ◌ َوالَ تـَيَ َّم ُموا الخَْ ب‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk
kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. (QS. Al-Baqarah: 267).
Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berinfak. Yang
dimaksudkan di sini adalah sodaqah. Demikian dikatakan Ibnu Abbas: “Yaitu sebagian dari
harta kekayaannya yang baik-baik yang telah dianugerahkan melalui usaha mereka.” Lebih
lanjut Ibnu Abbas mengemukakan: “Mereka diperintahkan untuk menginfakkan harta
kekayaan yang paling baik, paling bagus, dan paling berharga. Dan Dia melarang berinfak
dengan hal-hal yang remeh dan hina. Dan itulah yang dimaksud dengan “ َ‫“ )يثِبَْالخ‬pada ayat
itu). Karena sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik. Oleh
karena itu Dia berfirman: َ‫ )”يثِبَْالخ واُ َّم َميَتـ َ الَو‬Dan janganlah kamu memilih ‫آخ ِذي ِه‬
ِ ِ‫ِم ْنهُ تـ ُ ْنفِقُونَ َو َل ْستُ ْم ب‬
.buruk-buruk yang memberikan sengaja Maksudnya.”) buruk-buruk yang (“Lalu kamu
nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya.”) Maksudnya, seandainya hal itu diberikan kepada kalian,
niscaya kalian tidak akan mengambilnya dan bahkan akan memicingkan mata.
Sesungguhnya Allah swt. lebih tidak membutuhkan hal semacam itu dari kalian. Maka
janganlah kalian memberikan kepada Allah Ta’ala apa-apa yang tidak kalian sukai.
Secara khusus makalah ini membahas beberapa ayat penting yang biasa dijadikan
dasar atas wajibnya zakat dalam Islam, dengan tafsir dan asbâb an-nuzûl yang dijadikan
dasar pertimbangan dalam mengambil istimbâth hukum dalam nash, serta penjelasannya
berdasarkan argumentasi dan perbedaan pendapat para ulama, yang penulis kutip dari
beberapa literature tafsir dan kitab-kitab Fiqih baik klasik maupun kontemporer.
B. Rumusan Masalah
1. Naskah/Ayat, terjemahan dan asbab Al-Nuzul (Surat Al-Baqarah ayat 267 dan Al-
Maidah ayat 60)
2. Penafsiran ayat Zakat
3. Istinbat Hukum
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Naskah/Ayat, terjemahan dan asbab Al-Nuzul (Surah Al-Baqarah
ayat 267 dan Al-Maidah ayat 60)
2. Untuk mengetahui Penafsiran ayat Zakat
3. Untuk mengetahui Istinbat Hukum
BAB II
PEMBAHASAN

1. Naskah/Ayat, terjemahan dan asbab Al-Nuzul (Surat AL-Baqarah ayat 267 dan Al-
Maidah ayat 60)
a. Naskah/Ayat, terjemahan
Surat At-Taubah Ayat : 60 ;
ّ ‫بيل هللا و ابن‬HH‫ارمين و في س‬HH‫اب و الغ‬HH‫وبهم و في الرّق‬HH‫ة قل‬HH‫ا و المؤلّف‬HH‫املين عليه‬HH‫صدقات للفقراء و المساكين و الع‬
،‫بيل‬H‫الس‬ ّ ‫إنّما ال‬
.‫ و هللا عليم حكيم‬،‫فريضة من هللا‬
Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,
dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Surat At-Taubah Ayat : 103 ;

. ‫ َو هللاُ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬،‫ك َس َك ٌن لَهُ ْم‬ َ ‫صلِّ َعلَ ْي ِه ْم ِإ َّن‬


َ َ‫صلوت‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن َأ ْم َوالِ ِه ْم‬
َ ‫ص َدقَةً تُطَهِّ ُرهُ ْم َو تُ َز ِّك ْي ِه ْم بِهَا َو‬

Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa
kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah : 103)
b. Asbab Al-Nuzul (Surah Al-Baqarah ayat 267 dan Al-Maidah ayat 60)

 Asbab Al-Nuzul (Surat Al-Baqarah Ayat 267)

َ ِ‫وا ۡٱلخَ ب‬
َ‫يث ِم ۡنهُ تُنفِقُون‬ ِ ۖ ‫ت َما َك َس ۡبتُمۡ َو ِم َّمٓا َأ ۡخ َر ۡجنَا لَ ُكم ِّمنَ ٱَأۡل ۡر‬
ْ ‫ض َواَل تَيَ َّم ُم‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا َأنفِق‬
ِ َ‫وا ِمن طَيِّ ٰب‬
٢٦٧ ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا َأ َّن ٱهَّلل َ َغنِ ٌّي َح ِمي ٌد‬ ْ ‫َولَ ۡستُم ‍بَِٔا ِخ ِذي ِه ِإٓاَّل َأن تُ ۡغ ِمض‬
ۡ ‫ُوا فِي ۚ ِه َو‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
nafkahkan dad padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi
Mahaterpuji.”

Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar.
Pada hari pemetikan pohon kurma, orang-orang Anshar mengeluarkan busrun (kurma
mengkal), lalu menggantungkannya pada tali di antara dua tiang masjid Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga dimakan oleh kaum fakir miskin dari kalangan
muhajirin. Lalu salah seorang di antara mereka sengaja mengambil kurma yang
buruk-buruk dan memasukkannya ke dalam beberapa tandan busrun (kurma
mengkal), ia mengira bahwa perbuatan itu dibolehkan. Lalu Allah Ta’ala
menurunkan ayat berkenaan dengan orang yang mengerjakan hal tersebut.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Al-Barra’ bin Azib. Hadis
tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Majah, Ibnu Mardawih dan Al-
Hakim dalam kitabnya, Al-Mustadrak. Dan Al-Hakim mengatakan bahwa hadis ini
sahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim, akan tetapi keduanya tidak
meriwayatkannya)

Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa ada orang-orang yang memilih
kurma yang jelek untuk dizakatkan. Maka turunlah ayat ini sebagai teguran atas
perbuatan mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasai dan Al-Hakim yang
bersumber dari Sahl bin Hanif)

Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi


wasallam memerintahkan berzakat fitrah dengan satu sha’ kurma. Pada waktu itu
datanglah seorang laki-laki membawa kurma yang sangat rendah kualitasnya. Maka
turunlah ayat ini sebagai petunjuk supaya mengeluarkan yang baik dari hasil
pekerjaannya.” (Diriwayatkan oleh Al-Hakim yang bersumber dari Jabir)

Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam ada yang membeli makanan yang murah untuk disedekahkan. Maka
turunlah ayat ini sebagai petunjuk bagi mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
yang bersumber dari Ibnu Abbas)

Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berinfak. Yang


dimaksudkan di sini adalah sadaqah. Demikian dikatakan Ibnu Abbas: “Yaitu
sebagian dari harta kekayaannya yang baik-baik yang telah dianugerahkan melalui
usaha mereka.”

Firman-Nya (‫ )وال تيمموا الخبيث‬Ibnu Abbas mengemukakan: “Mereka diperintahkan


untuk menginfakkan harta kekayaan yang paling baik, paling bagus, dan paling
berharga. Dan Dia melarang berinfak dengan hal-hal yang remeh dan hina. Dan
itulah yang dimaksud dengan “al khabiitsa” (pada ayat itu). Karena sesungguhnya
Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik. Maksudnya sengaja
memberikan yang buruk-buruk.

Firman-Nya (‫تم بآخذيه‬HH‫ون ولس‬HH‫ه تنفق‬HH‫ )من‬maksudnya, seandainya hal itu diberikan
kepada kalian, niscaya kalian tidak akan mengambilnya dan bahkan akan
memicingkan mata. Sesungguhnya Allah Ta’ala lebih tidak membutuhkan hal
semacam itu dari kalian. Maka janganlah kalian memberikan kepada Allah Ta’ala
apa-apa yang tidak kalian sukai.
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Aisyah, ia menceritakan:

ُ ‫ قُ ْل‬.ُ‫ضبٍّ فَلَ ْم يَْأ ُك ْلهُ َولَ ْم يَ ْنهَ َع ْنه‬


ْ ُ‫ ن‬،ِ ‫ يَا َرسُو َل هَّللا‬:‫ت‬
:‫ا َل‬HHَ‫ط ِع ُمهُ ْال َم َسا ِكينَ ؟ ق‬ َ ِ ‫ُأتِي َرسُو ُل هَّللا‬
َ ِ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ب‬
َ‫ط ِع ُموهُ ْم ِم َّما اَل تَْأ ُكلُون‬
ْ ُ‫""اَل ت‬.
Artinya: “Pernah dihidangkan kepada Rasulullah binatang sejenis biawak, namun
beliau tidak memakannya tetapi tidak juga melarangnya. Lalu kukatakan: “Ya
Rasulullah, kita berikan saja kepada orang-orang miskin.” Maka beliau bersabda:
“Janganlah kalian memberi makan mereka sesuatu yang kalian tidak mau
memakannya.” (HR. Ahmad 6/150)

Dan firman-Nya (‫ني حميد‬HH‫وا أن هللا غ‬HH‫ )واعلم‬maksudnya, meskipun Allah Ta’ala
memerintahkan kalian bersedekah dengan yang baik-baik, namun Dia Mahakaya dan
tidak membutuhkan hal tersebut, perintah itu tidak lain hanyalah untuk menyamakan
antara orang kaya dan orang miskin. Ayat ini sama dengan firman-Nya dalam Surah
Al-Hajj ayat 37 yang artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak
dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan darimu yang dapat
mencapainya.” Allah Ta’ala tidak membutuhkan makhluk-Nya sedangkan seluruh
makhluk-Nya itu adalah fuqara (butuh kepada-Nya). Dia Mahaluas karunia-Nya dan
apa yang ada pada-Nya tiada akan pemah habis. Barangsiapa bersedekah dengan
harta dari hasil usaha yang baik, maka hendaklah ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala
Mahakaya, Mahaluas karunia-Nya, Mahamulia dan Mahadermawan. Dan Dia akan
memberikan balasan atas semuanya itu serta melipatgandakannya dengan kelipatan
yang banyak, yaitu bagi orang yang meminjamkan kepada Dzat yang tidak
mempunyai kebutuhan (Allah Ta’ala) dan tidak berbuat zalim, Dia Mahaterpuji
dalam segala perbuatan, firman, syari’at, dan takdir-Nya. Tidak ada Ilah yang haq
selain Dia. dan tidak ada Rabb selain Dia.

 Asbab Al-Nuzul (Surat Al-Maidah ayat 60)

ِ Hَ‫ر َدةَ َو ْٱل َخن‬H


‫ َد‬Hَ‫ازي َر َو َعب‬H َ Hِ‫ل ِم ْنهُ ُم ْٱلق‬H
َ H‫ ِه َو َج َع‬H‫ب َعلَ ْي‬ َ H‫َض‬ ِ ‫هُ ٱهَّلل ُ َوغ‬Hَ‫ َد ٱهَّلل ِ ۚ َمن لَّ َعن‬H‫ةً ِعن‬Hَ‫كَ َمثُوب‬HHِ‫ ٍّر ِّمن ٰ َذل‬H‫لْ ُأنَبُِّئ ُكم بِ َش‬HHَ‫لْ ه‬HHُ‫ق‬
ٓ ٰ
‫ضلُّ عَن َس َوٓا ِء ٱل َّسبِي ِل‬ َ ‫ك َش ٌّر َّم َكانًا َوَأ‬ َ ‫ٱلطَّ ُغوتَ ۚ ُأ ۟و ٰلَِئ‬

Artinya:  Katakanlah Muhammad: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang


orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi
Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada)
yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?”. Mereka itu
lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.

Para ulama menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah agar orang-orang beriman
bersikap mengalah kepada orang Yahudi dan Nasrani dalam berdiskusi yang dimana
Ahli kitab memandang buruk orang-orang beriman, padahal tentu Ahli kitab lebih
buruk dibandingkan orang-orang beriman. Namun meskipun taruhlah anggapan Ahli
kitab tersebut dibenarkan maka tetap saja orang-orang beriman lebih baik dari pada
nenek moyang mereka.

Anggaplah orang-orang beriman itu buruk di mata orang Yahudi. Namun,


hendaknya mereka berpikir, manakah yang lebih buruk antara orang-orang beriman
atau nenek-moyang orang-orang Yahudi itu, yang mereka selalu banggakan dan
dianggap sebagai suku terpilih? Bukankah nenek moyang mereka itu ada yang
dirubah menjadi monyet dan babi?

Anggaplah kalaupun menurut mereka, kaum muslimin itu buruk, maka ada yang
lebih buruk, yaitu:

‫ َوا ِء‬H‫لُّ ع َْن َس‬H‫ض‬ َ ‫ َد الطَّا ُغوتَ ُأولَِئ‬Hَ‫ير َو َعب‬


َ ‫ا َوَأ‬HHً‫ ٌّر َم َكان‬H‫ك َش‬ ِ Hَ‫ َر َدةَ َو ْال َخن‬Hِ‫ َل ِم ْنهُ ُم ْالق‬H‫ ِه َو َج َع‬H‫ب َعلَ ْي‬
َ ‫از‬H ِ ‫َم ْن لَ َعنَهُ هَّللا ُ َوغ‬
َ H‫َض‬
‫ال َّسبِي ِل‬

Artinya: “Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada)
yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah Thaghut. Mereka itu
lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.”

َ ‫“ ْالغ‬murka” maknanya lebih berat


‫“ لَ ْعنَة‬dijauhkan dari rahmat Allah”, sedangkan ‫َضب‬
dari laknat. Karena jika seseorang dimurkai oleh Allah, maka dia juga dijauhkan dari
rahmat Allah.

ِ ‫ْال َم ْغضُو‬
Di dalam surah Al-Fatihah, orang-orang Yahudi disebutkan sebagai ‫ب َعلَ ْي ِه ْم‬
“orang yang dimurkai”. Mereka dimurkai karena memiliki ilmu tetapi mereka tidak
mengamalkan ilmunya itu. Adapun orang-orang Nasrani maka disebutkan sebagai
َ‫“ الضَّالِّين‬orang-orang yang tersesat”. Mereka tersesat karena beramal tanpa ilmu.

Di dalam ayat di atas Allah berbicara secara umum tentang Bani Israil yang
mencakup kalangan Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu mereka bisa disifati dengan
dimurkai dan dilaknat. Di antara mereka yang mengetahui ilmu tetapi tidak
mengamalkan ilmunya maka mendapat murka dari Allah.

Adapun orang-orang Nasrani zaman sekarang maka umumnya mereka sudah tahu
ilmu tentang Rasulullah. Tetapi mereka enggan mempelajarinya, hingga akhirnya
mereka enggan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ayat ini merupakan bentuk dialog kaum muslimin dengan kalangan Yahudi dan
Nasrani. Mereka menganggap kaum muslimin lebih buruk dari pada mereka. Padahal
kenyataannya kaum Yahudi dan Nasrani itu lebih buruk, karena nenek moyang
mereka ada yang pernah diubah menjadi monyet dan babi.
Sebab nenek moyang mereka diubah menjadi monyet adalah karena balasan yang
ditimpakan itu sejenis dengan perbuatan yang mereka lakukan. Itu seperti halnya
siksaan yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth ‘alaihissalam, berupa diangkatnya
kampung mereka lalu dibalik dan dijatuhkan, kemudian ditambah dengan hujan batu
yang mengenai mereka, maka azab itu pantas mereka dapatkan akibat fitrah mereka
yang terbalik: laki-laki menyukai sesama laki-laki, dan perempuan suka dengan
perempuan.

Begitu pula dengan orang Yahudi yang dahulu diubah menjadi monyet. Mereka
disebut juga dengan “Ashhabus-Sabt” (para pelanggar di hari Sabtu). Allah
berfirman kepada mereka,

َ‫ت فَقُ ْلنَا لَهُ ْم ُكونُوا قِ َر َدةً خَاسِِئين‬


ِ ‫َولَقَ ْد َعلِ ْمتُ ُم الَّ ِذينَ ا ْعتَدَوْ ا ِم ْن ُك ْم فِي ال َّس ْب‬

Artinya: “Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan


pelanggaran di antara kamu pada hari Sabtu, lalu Kami katakan kepada mereka,
‘Jadilah kamu kera yang hina!.’” (QS Al-Baqarah: 65)

Di dalam ayat yang lain, Allah menjelaskannya lebih terperinci,

‫وْ َم ال‬HHَ‫رَّعا ً َوي‬H‫ ْبتِ ِه ْم ُش‬H‫وْ َم َس‬HHَ‫انُهُ ْم ي‬HH‫ْأتِي ِه ْم ِحيت‬Hَ‫ت ِإ ْذ ت‬ َّ ‫ ُدونَ فِي‬H‫ض َرةَ ْالبَحْ ِر ِإ ْذ يَ ْع‬
ِ ‫ ْب‬H‫الس‬ ْ ‫َْئلهُ ْم َع ِن ْالقَرْ يَ ِة الَّتِي كان‬
ِ ‫َت حا‬ ْ ‫َوس‬
َ‫يَ ْسبِتُونَ ال تَْأتِي ِه ْم َكذلِكَ نَ ْبلُوهُ ْم بِما كانُوا يَ ْف ُسقُون‬

Artinya:“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di


dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, (yaitu) ketika datang
kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di
permukaan air, padahal pada hari-hari yang bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang
kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku
fasik.” (QS Al-A’raf: 163)

Pada kisah tersebut, Allah melarang mereka untuk menangkap ikan pada hari
Sabtu. Namun pada hari Sabtu itu jumlah ikan yang muncul sangat banyak.
Sedangkan pada hari lainnya yang mereka dibolehkan untuk menangkap ikan justru
tidak ada ikan yang muncul. Ini adalah ujian bagi mereka.

Mereka akhirnya memikirkan ‫“ ِح ْيلَة‬trik” atau “rekayasa” agar ikan-ikan yang


muncul di hari Sabtu itu bisa tetap mereka ambil, tanpa perlu melakukan aktivitas
melaut di hari Sabtu.

Caranya adalah mereka memasang perangkap di hari Jumat. Pada hari Sabtu
mereka tidak melaut. Tapi ketika ikan-ikan itu muncul di hari Sabtu maka ikan-ikan
itu pun masuk ke dalam perangkap dan tidak bisa kembali ke laut. Setelah lewat hari
Sabtu, mereka pun tinggal mengambil ikan-ikan itu dengan mudah.
Mereka menyangka bahwa dengan trik dan rekayasa semacam itu mereka dapat
lolos dari pelanggaran. Mereka mungkin berdalih bahwa mereka tidak melakukan
aktivitas melaut di hari Sabtu, dan saat itu mereka tengah beristirahat di rumah. Lalu
di mana letak kesalahan tersebut? Kesalahannya adalah mereka menyengaja
memasang perangkap, dan perangkap itu tetap melakukan aktivitas penangkapan
ikan di hari Sabtu, sesuai keinginan mereka.

Karena itulah mereka diubah menjadi monyet. Sebab mereka melakukan


pelanggaran yang kemudian direkayasa agar mirip dengan kebenaran. Monyet itu
hewan yang mirip manusia, namun jelas bukan manusia. Begitu pula halnya dengan
pelanggaran mereka, mirip dengan kebenaran, tetapi bukan kebenaran.

Kenapa mereka diubah menjadi babi?

Sebagian pendapat di kalangan para ulama menyatakan bahwa yang diubah


menjadi babi itu termasuk orang yang melakukan pelanggaran pada hari Sabtu
tersebut. Kalangan muda mereka diubah menjadi monyet, sementara kalangan tua
mereka diubah menjadi babi.

Sebagian ulama lainnya, di antaranya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, memiliki


pandangan yang berbeda. Menurut mereka, dalam hal ini ada trik dan rekayasa
terkait upaya untuk menghalalkan zina. Kita tahu babi adalah hewan yang tidak
memiliki rasa cemburu. Babi jantan membiarkan babi betinanya digauli oleh babi
jantan lainnya. Dengan demikian, kesalahan mereka itu berkaitan dengan zina.
Pandangan ini cukup kuat dan argumentatif. Di antara dalil pendukungnya adalah
sabda Nabi,

َ ‫ فَِإ َّن َأو ََّل فِ ْتنَ ِة بَنِي ِإ ْس َراِئ‬،‫فَاتَّقُوا ال ُّد ْنيَا َواتَّقُوا النِّ َسا َء‬
ْ ‫يل َكان‬
‫َت فِي النِّ َسا ِء‬

Artinya: “Berhati-hatilah dengan dunia dan berhati-hatilah dengan wanita,


sesungguhnya fitnah pertama kali yang menimpa kepada bani Israil adalah karena
wanita.”

Jadi, mungkin saja karena mereka menghalalkan zina, maka Allah pun
mengubah mereka menjadi babi. Allahu a’lam. Sebagian ulama lainnya menukil dari
Israiliyyat bahwa sebagian Bani Israil diubah menjadi babi karena mereka menjual
agamanya untuk meraih dunia.

Apakah orang-orang yang diubah menjadi monyet dan babi tersebut memiliki
keturunan sampai zaman sekarang?
Pada zaman sekarang tidak ada keturunan dari kalangan yang diubah menjadi
monyet dan babi . Rasulullah bersabda,

ُّ َ‫َت ُأ َّمةٌ ق‬
‫ فَيَ ُكونُ لَهَا نَ ْس ٌل‬،‫ط‬ ْ ‫َما ُم ِسخ‬

Artinya: “Tidaklah satu umat yang diubah menjadi hewan, lalu dia memiliki
keturunan.”

Oleh karena itu, tidak boleh dan tidak benar bagi seseorang untuk berkata tentang
kalangan Yahudi, Nasrani atau Bani Israil secara umum, dengan menyebut mereka
sebagai keturunan monyet dan babi. Lain halnya jika menyebut mereka dengan
“saudara-saudara babi dan monyet”, maka ucapan ini benar dan memang
demikianlah faktanya. Karena di antara nenek moyang mereka memang ada yang
pernah diubah menjadi monyat maupun babi.

Namun tentunya, sekalipun benar, celaan seperti ini umumnya tidak pantas untuk
disampaikan, terlebih dalam rangka dakwah. Apalagi jika ucapan tersebut hanya
malah menimbulkan mudarat dan tidak merealisasikan maslahat apapun.

Ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mendengar kalangan Yahudi mendoakan


keburukan kepada Nabi Muhammad dengan berkata,

‫ َل‬H‫ فَقَا َل ِم ْث‬،َ‫ ثُ َّم َد َخ َل الثَّانِيَة‬:‫ت‬


ْ َ‫ قَال‬،‫ت َأ ْن َأتَ َكلَّ َم‬ ْ َ‫ك ” قَال‬
ُ ‫ فَهَ َم ْم‬:‫ت‬ َ ‫ ” َو َعلَ ْي‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫ فَقَا َل النَّبِ ُّي‬،َ‫السَّا ُم َعلَ ْيك‬
َّ ‫ بَ ِل‬:‫ت‬
‫ا ُم‬H ‫الس‬ ْ
ُ ‫ فَقُل‬:‫ت‬ َّ ُ
ْ َ‫ قَال‬،َ‫ السَّا ُم َعلَ ْيك‬:‫ فَقَا َل‬،َ‫ ث َّم َد َخ َل الثالِثَة‬:‫ت‬ ْ َ‫ ” َو َعلَ ْيكَ ” قَال‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم‬
َّ َ ‫ فَقَا َل النَّبِ ُّي‬،َ‫َذلِك‬
‫ير‬
ِ ‫َاز‬ ْ ْ ْ
ِ ‫َضبُ هللاِ ِإخ َوانَ القِ َر َد ِة َوال َخن‬ َ ‫َعل ْيك ْم َوغ‬ ُ َ

Artinya: “Semoga kematian atasmu.” Maka Nabi menjawabnya, “Semoga atasmu


juga.” ‘Aisyah berkata, “Aku berkeinginan untuk berbicara.” Lalu, orang Yahudi
tersebut datang lagi dan kembali mengucapkan hal yang sama. Nabi pun tetap
menjawabnya, “Semoga atasmu juga.” Lalu, dia datang lagi ketiga kalinya dan
berkata, “Semoga kematian atasmu.” Maka, ‘Aisyah berkata, “Semoga kematian dan
kemurkaan Allah atas kalian wahai saudara-saudara monyet dan babi.”

Perkataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha itu benar dan faktual. Sekalipun mereka
bukan keturunan babi dan monyet, tetapi mereka adalah saudara-saudaranya. Namun
Rasulullah tetap menegur ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan mengarahkannya untuk
menyampaikan ucapan yang santun dan menjauhi ucapan yang buruk.

Di antara faedah dari ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah, bahwa yang terpenting adalah ِ ‫“ َمثُوبَةً ِع ْن َد هَّللا‬pembalasan di
sisi Allah”. Jangan sampai kita teperdaya dengan pengagungan, pengakuan atau
pujian orang lain terhadap kita. Bagaimana kedudukan kita nantinya di sisi Allah,
itulah yang paling penting.
Betapa banyak orang yang diakui dan disanjung oleh jutaan orang, tetapi dia
tidak ada nilainya di sisi Allah. Jangan teperdaya dengan banyaknya pengikut,
followers, netizen, pengagum, dan seterusnya, serta begitu juga pujian mereka.
Orang-orang itu tidak bisa mempengaruhi kedudukan kita di sisi Allah. Jika kita
baik, maka kita juga akan baik di sisi Allah. Namun jika kita buruk, meskipun
seluruh manusia di bumi memuji kita, maka pujian mereka tidak berpengaruh apapun
terhadap kedudukan kita di sisi Allah.

Hendaknya kita selalu berusaha melatih diri untuk memperbaiki kondisi kita
tatkala bersendirian dan berusaha untuk senantiasa memperbaiki hubungan kita
dengan Allah.

2. Penafsiran Ayat Zakat


 Surat At-Taubah Ayat : 60 ;
‫بيل هللا و ابن‬HH‫ارمين و في س‬HH‫اب و الغ‬HH‫وبهم و في الرّق‬HH‫ة قل‬HH‫ا و المؤلّف‬HH‫صدقات للفقراء و المساكين و العاملين عليه‬
ّ ‫إنّما ال‬
.‫ و هللا عليم حكيم‬،‫ فريضة من هللا‬،‫السّبيل‬
Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah,
dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
1. Tafsir Mufrodat & Analisis Bahasa
a) ‫ ; إنما الصّدقات‬kata (‫ )إنما‬menunjukan batasan atau cakupan khusus (hashr),
artinya jenis shadaqah itu ditasarufkan hanya kepada delapan ashnâf yang
disebutkan bukan yang lain.(‫ )الصّدقات‬bentuknya jamak dan umum artinya bisa
meliputi shadaqah wâjibah (zakat) dan shadaqah mandûbah (sedekah biasa).
Adapun mengenai masuknya shadaqah mandûbah dalam hal ini terjadi
perselisihan antara ulama, ada yang memasukkan ada yang tidak.
Mereka yang memasukkan shadaqah mandûbah melihat bahwa lafadz
tersebut bersifat umum, bisa mencakup segala jenis shadaqah, baik yang wajib
maupun yang mandûb. Bahkan pemahaman secara eksplisit terhadap lafadz itu
adalah shadaqah mandûbah, maka ketika shadaqah wâjibah (zakat) masuk dalam
lafadz tersebut maka sangat mungkin pula shadaqah mandûbah masuk.
Sedangkan mereka yang melihat bahwa yang dimaksudkan dengan lafadz
tersebut adalah zakat, beralasan ; bahwa ‫ ال‬pada lafadz (‫دقات‬H ‫)الص‬ّ adalah lil
‘ahdiyah menunjukkan sesuatu yang telah maklum, dan yang telah maklum
sebelumnya adalah shadaqah wâjibah (zakat). bahwa sedekah mandûb itu boleh
ditasharufkan kepada siapa saja selain ashnâf delapan tersebut; Allah menjadikan
bagian untuk Âmil dalam hal tersebut, dan tidak diketahui dalam syara’ adanya
bagian Âmil karena menarik shadaqah mandubah, sekiranya dalam ayat itu masuk
shadaqah mandûbah mestinya seorang Imam mengerahkan para Amil untuk
menarikinya dan sehingga mereka memperoleh bagian darinya. Hal itu tidaklah
mungkin. Jadi shadaqah yang pentasharufannya hanya diperuntukkan pada ashnâf
delapan sebagaimana tersebut dalam ayat adalah zakat.
b) ‫ة من هللا‬HH‫ ; فريض‬berarti sebagai ketetapan yang diwajibkan Allah; sudah
menjadi ketentuan Allah bahwa zakat harus diberikan kepada ashnâf delapan
bukan pada yang lain.
2. Munasabah Ayat & Sebab Nuzulnya
Pernyataan mayoritas ulama bahwa yang dimaksud dengan lafadz ‫الصّدقات‬ pada
ayat diatas adalah zakat, dengan alasan bahwa ‫ال‬ yang ada pada awal lafadz tersebut
adalah lil-‘ahdiyah, yakni menunjuk sesuatu yang telah maklum, dan yang telah maklum
itu adakah shadaqah wâjibah (zakat), pernyataan itu benar berdasarkan korelasi dengan
ayat sebelumnya, sebagaimana  yang diisyaratkan pada  ayat 58-59 surat At-Taubah ;
ُ ‫ َولَوْ َأنَّهُ ْم َر‬، َ‫ت فَِإ ْن ُأ ْعطُوْ ا ِم ْنهَا َرضُوْ ا َوِإ ْن ل َم ْيُ ْعطُوْ ا ِم ْنهَا ِإ َذا هُ ْم يَسْخَ طُوْ ن‬
‫اهُ ُم‬HHَ‫ا آت‬HH‫وْ ا َم‬H‫ض‬ ِ ‫ص َدقَا‬ َ ‫َو ِم ْنهُ ْم َم ْن يَ ْل ِم ُز‬
َّ ‫ك فِي ال‬
ِ ‫هللاُ َو َر َس ُولُهُ َوقَالُوْ ا َح ْسبُنَا هللاُ َسيُْؤ تِ ْينَا هللاُ ِم ْن فَضْ لِ ِه َو َرسُوْ لُهُ ِإنَّا ِإلَى هللاِ َر‬.
َ‫اغبُوْ ن‬
Artinya : “Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang
(pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati,
dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka
menjadi marah. Jika mereka sungguh-sungguh rida dengan apa yang diberikan Allah
dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan
memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah", (tentulah yang
demikian itu lebih baik bagi mereka). (QS. At-Taubat : 58-59)
Bahwa ayat ini menyinggung tentang segolongan munafik yang mencerca Nabi
SAW dalam pembagian zakat, mereka menyangka bahwa Nabi membagi-bagikannya
pada orang sekehendaknya dari kalangan kerabat dan orang-orang yang ia sukai,
demikian mereka menganggap bahwa Nabi tidak berlaku adil, mereka berkata “demi
Allah Muhammad tidak memberikan zakat itu kecuali kepada orang-orang yang ia
sukainya, ia hanya menuruti hawa nafsunya”, maka turunlah ayat diatas. Dan pada
kelanjutannya dinjelaskan tentang orang-orang yang berhak atas pembagian zakat. Ini
membicarakan tentang shadaqah wâjibah (zakat), maka pada ayat kelanjutannya juga
masih berkenaan dengan shadaqah wâjibah (zakat).
3. Penjelasan
Pada ayat 60 surat At-Taubah di atas terdapat dua bentuk jama’; jama’ dengan
huruf “waw” (‫ ; )و‬dan jama’ dengan shigat. Imam Syafi’i menetapkan berdasarkan
zahirnya pada dua bentuk jama’ secara bersamaan. Dengan demikian maka, semua jenis
shadaqah wâjibah (zakat) baik itu zakat fithrah maupun zakat mal wajib ditasharufkan
kepada delapan ashnâf yang ada, karena ayat menyandarkan shadaqah kepada mereka
dengan lâm at-tamlîk, dan antara mereka berserikat dengan waw at-tasyrîk. Ini
meninjukkan bahwa zakat semuanya milik mereka secara berserikat. Jika zakat diberikan
sendiri oleh pemilik harta tanpa melalui ‘Âmilîn atau wakilnya maka gugurlah bagian
‘Âmilîn , dan zakat wajib dibagikan kepada tujuh ashnâf dengan adil, tidak ada yang
lebih kuat antara mustahiq yang satu atas yang lain. Jika tidak ditemukan semuanya maka
diberikan kepada ashnâf yang ada, tetapi tidak boleh kurang dari tiga orang dari tiap-tiap
golongan, karena jumlah jama’ minimal adalah tiga. Jika yang memberikan zakat itu
Imam atau wakilnya maka harus diratakan kepada tiap-tiap ashnâf. Ini yang dipegangi
oleh ‘Ikrimah, Umar bin Abdul Aziz, Az-Zuhri dan Daud Adh-Dhahiri.
Imam Abu Hanifa, Malik dan Ahmad, mengatakan bolehnya mensaharufkan
zakat kepada satu golongan (shinf) mustahiq. Bahkan Abu Hanifah dan Malik
membolehkan mentasharufkannya kepada satu orang diantara salah satu ashnâf tersebut.
Imam Malik menganjurkan untuk memberikannya kepada yang paling mendesak
hajatnya diantara mereka. Ibrahim An-Nakha’i berkata ; boleh jika zakat itu sedikit
ditasharufkan kepada satu golongan mustahiq, jika banyak maka harus diratakan kepada
ashnâf yang ada.
Keterangan yang dinuqil dari tiga Imam itu adalah riwayat dari Ibnu Umar, Ibnu
Abbas, Hudzaifah, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Atho’, Sa’îd bin Jabir, Adl-Dlahak, Asy-
Sya’biy, Ats-Tsaury, dan merupakan qaul yang dipilih oleh segolongan Ashhab Asy-
Syafi’i, bahwa boleh membayarkan zakat fithrah kepada tiga orang fakir atau orang
miskin. Bahkan Ar-Rubbani dari Syâfî’iyah berpendapat bolehnya membeyar zakat mal
kepada tiga orang ahli sahman, beliau berkata : “ini merupakan pilihan karena pekerjaan
yang mendesak pada madzhab kami, dan sekiranya Imam Syafi’i hidup pasti ia akan
menfatwakan itu”.
Tiga Imam di atas didalam memahami ayat lebih cenderung pada alternatif /
pilihan pada delapan ashnâf, artinya tidak boleh mentasharufkan zakat kepada selain
ashnâf ini, dan mengenai siapa diantara ashnâf itu adalah boleh memilih. Ayat
menjelaskan tentang ashnâf yang boleh dikasih bagian zakat, bukan untuk menentukan
pembayaran kepada mereka. Yang dijadikan dalil oleh mereka adalah firman Allah ;
Artinya : “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali.
dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, Maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu..” (QS. Al-Baqarah : 271)
Dan sabda Rasulullahh SAW ;
‫ص َدقَةَ ِم ْن َأ ْغنِيَاِئ ُك ْم َو َأ ُر ُّدهَا ِإلَى فُقَ َراِئ ُك ْم‬ ُ ْ‫ُأ ِمر‬
َّ ‫ت َأ ْن آ ُخ َذ ال‬
Artinya: “Aku diperintahkan mengambil shadaqah (zakat) dari orang-orang kaya
kalian, dan memberikannya kepada orang-orang fakir kalian”
Secara dhahir dasar di atas menunjukkan bolehnya memberikan semua shadaqah
kepada Fuqarâ’ tidak kepada yang lain, bahkan dhahirnya lafadz menghendaki wajib
dengan lafadz “ ‫ت‬ُ ْ‫” ُأ ِمر‬, ini menunjukkan bolehnya mencukupkan pada satu golongan
saja. Adapun dasar bolehnya pada satu urang saja adalah, bahwa bentuk jama’ yang
dima’rifatkan dengan al itu secara hakikat ada kalanya lil ‘ahdiyah, istighrâq dan majâz
mengenai jenis orang yang shadaqah dengan satu.
Jika digunakan istighrâq, tidak mungkin satu sedekah diperuntukkan untuk tiap-
tiap orang fakir, yang demikian itu pemahaman dhahir yang rancu. Tidak bisa pula jika
dimaknai sebagai ‘ahdiyah, tidak ketemu nisbahnya. Dengan demikian dikembalikan
pada fungsi sebagai majâs, maka artinya pada ayat itu bahwa satu jenis shadaqah untuk
satu jenis orang fakir, dan satu jenis fakir tidaklah menjadi nyata kecuali dengan adanya
satu orang, maka boleh mentasharufkannya kepada satu orang.
Berdasarkan ayat 60 surat At-Taubah di atas, golongan yang berhak menerima
zakat hanya mereka yang telah ditentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’ân tersebut,
tidak boleh kepada yang lain, yaitu ada delapan gololongan. Berikut penjelasannya
berdasarkan pendapat ulama empat mazdhab;
a. Mazhab Hanafi
1. Fuqarâ’ ; yaitu orang yang mempunyai harta kurang dari satu nishâb, atau
mempunyai satu nishâb, atau lebih, tetapi habis dengan hajatnya.
2. Masâkîn ; yaitu orang yang tidak mempunyai satupun juga.
3. ‘Âmilîn ; yaitu orang yang diangkat untuk mengambi dang mengurus zakat.
4. Muallaf ; mereka yang tidak diberi zakat lagi sejak Khilafah pertama.
5. Riqâb ; yaitu hamba yang dijanjikan oleh tuannya bahwa ia boleh menebus
dirinya dengan uang, atau harta lain.
6. Ghârimin ; yaitu orang yang mempunyai hutang, sedangkan hitungan hartanya
diluar hutangnya tidak cukup satu nishâb, ia dibri zakat untuk membeyar
hutangnya.
7. Fi sabîlillah ; yaitu balatentara untuk berperang pada jalan Allah.
8. Ibnu Sabîl; yaitu orang yang dalam perjalanan, yang putus perhubungan dengan
hartanya, orang inin diberi sekadar kebutuhannya.
b. Madzhab Maliki
1. Fuqarâ’ ; yaitu orang yang mempunyaiharta, sedang hartanya tiu tidak
mencukupi untuk kebutuhannya dalam masa satu tahun, orang yang menckupi
dari penghasilan yang tertentu tidak diberi zakat, orang yang punya penghasdilan
tidak mencukupu diberi sekedar mencukupi.
2. Masâkîn ; yaitu orang yang tidak mempunyai satupun juga.
3. ‘Âmilîn ; yaitu pengurus zakat, penulis, pembagi, penasehat, dan sebagainya,
yang bekerja untuk kepentingan zakat. Syaratnya; ia harus adil, mengetahui
segala hukum yang bersangkutan dengan zakat.
4. Muallaf ; sebagian mengatakan: orang kafir yang ada harapan untuk masuk
Islam, sebagian yang lain mengatakan: orang Islam yang baru memeluk Islam.
5. Riqâb ; hamba Muslim yang dibeli dengan uang penghasilan zakat dan
dimerdekakan.
6. Ghârimin ; yaitu orang yang berhutang sedangkan hartanya tidak mencukupi
untuk membayar hutangnya, dibayar hutangnya dengan zakat jika ia berhutang
bukan untuk sesuatu yang fasâd (jahat).
7. Fi sabîlillah ; yaitu Bala tentara dan mata-mata. Juga harus untuk membeli
senjata atau kuda atau untuk keperluan perang yang lain di jalan Allah.
8. Ibnu Sabîl; yaitu orang dalam perjalanan, sedangkan ia butuh kepada sokongan
untuk ongkos pulang ke negerinya, dengan syarat perjalanannya bukan ma’siat.
c. Madzhab Hambali
1. Fuqarâ’ ; yaitu Orang yang tidak mempunyai harta, atau mempunyai harta tetapi
kurang dari seperdua keperluannya.
2. Masâkîn ; yaitu yang mempunyai harta seperdua keperluannya atau lebih tetapi
tidak mencukupi.
3. ‘Âmilîn ; yaitu Pengurus zakat, ia diberi zakat sekedar upah pekerjaannya
(sepadan dengan pekerjaannya).
4. Muallaf ; Orang yang mempunyai pengaruh disekelilingnya, sedang ada harapan
ia akan masuk Islam atau ditakuti kejahatannya, atau orang Islam yang ada
harapan imannya akan bertambah teguh atau harapan orang lain akan Islam
karena pengaruhnya.
5. Riqâb ; hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya boleh menebus dirinya dengan
uang yang telah ditentukan, ia diberi zakat sekadar penebus dirinya.
6. Ghârimin; yaitu ada dua macam; (i) orang yang berhutang untuk mendamaikan
orang lain yang berselisih, (ii) orang yang berhutang untuk dirinya sendiri pada
pekerjaan yang mubah atau haram tetapi sudah bertaubat.
7. Fî sabîlillah ; yaitu bala tentara yang tidak dapat gaji dari pimpinan atau
pemerintah.
8. Ibnu Saîbl ; yaitu orang yang keputusan belanja dalam perjalanan yang halal.
Musafir diberi sekedar cukup ongkos buat pulangnya.
d. Madzhab Syafi’i
1. Fuqarâ’ ; yaitu orang yang tidak mempunyai harta dan usaha, atau mempunyai
harta atau usaha yang kurang dari seperdua kecukupannya dan tidak ada orang
yang berkewajiban menafkahinya.
2. Masâkîn ; yaitu orang yang mempunyai harta atau usaha sebanyak seperdua
kecukupannya atau lebih tetapi tidak mencukupi. Yang dimaksud dengan
kecukupan yaitu cukup menurut umur biasa 62 tahun, maka yang mencukupi
dalam masa tersebut dinamakan “kaya”, tidak boleh diberi zakat, ini dinamakan
kaya dengan harta. Adapun kaya dengan usaha, seperti orang yang mempunyai
penghasilan yang tertentu tiap-tiap hari atau bulan, maka kecukupannya dihitung
setiap hari atau setiap bulan. Apabila suatu hari peng hasilannya tidak mencukupi,
hari itu dia boleh menerima zakat. Adanya rumah yang didiami, perkakas rumah
tangga, pakaian dan lain-lain yang perlu dipakai tiap hari tidak terhitung sebagai
kekayaan, berarti tidak menghalanginya dari tergolong fakir atau miskin.
3. ‘Âmilîn ; yaitu semua orang yang bekerja mengurus zakat sedangkan ia tidak
menerima upah selain bagin zakat.
4. Muallaf ; ada empat macam yaitu; Orang yang baru masuk Islam, sedang
imannya belum teguh. Orang Islam yang berpengaruh dalam kaumnya, dan kita
berharap kalau dia diberi zakat, orang lain dari kaumnya akan masuk Islam. Orang
Islamyang berpengaruh terhadap kafir kalau dia diberi zakat, kita akan terpelihara
kita akan terpelihara dari kejahatan kafir yang ada dibawah pengaruhnya. Orang
yang menolak kejahatan orang yang anti azakat.
5. Riqâb ; hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya boleh menebus dirinya
6. Ghârimin ; ada tiga macam yaitu; Orang yang berhutang karena mendamaikan
antara dua orang yang berselisih. Orang yang berhutang untuk kepentingan
dirinya sendiri pada keperluan yang mubah atau yang tidak mubah, tetapi ia sudah
bertaubat. Orang yang berhutang karena menjamin hutang orang lain sedangkan
dia dan yang dijaminnya itu tidak dapat membayar hutangnya.
7. Fi sabîlillah ; yaitu bala tentara yang membantu dengan kehendak sendiri,
sedangkan dia tidak mendapat gaji yang tentu, tidak pula mendapat bagian dari
harta yang disediakan untuk keperluan berperang dalam dewan tentara. Orang ini
diberi zakat meskipun ia kaya sebanyak keperluannya untuk masuk ke medan
perang.
Ulama Fiqih mentafsirkan “sabîlillah” berpokok pada bala tentara.
Tafsiran itu mengacu pada pada salah satu makna umum diantara makna yang
banyak, karena makna itu yang terpenting menurut mereka, bukan karena hanya
maknanya menurut logat Arab. Ibnu Atsir berkata, bahwa makna “sabîlillah”
adalah semua amal kebajikan yang dimaksudkan berhampir diri kepada Allah,
bukan tertentu pada peperangan, bukan pula lebih terang maknanya pada
peperangan. Tidak seorangpun dapat memberikan makna sabîlillah hanya berartiu
belanja untuk peperangan saja, pendapat yang demikian itu hanyalah diambil dari
kata-kata ulama salaf yang tidak dapat dijadikan dallil.
Dalam ilmu Ushûl Fiqh bahwa kata yang umum itu wajib diartikan
sebagaimana umumnya selama tidak ada dalil untuk mengkhususkannya, dan
dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan maknanya. Jadi yang sabîlillah
disini berarti umum meliputi semua yang diridlai oleh Allah SWT, seperti
membenguan madrasah, masjid dan lain sebagainya yang bersifat dlariri untuk
kepentingan dan kemashlahatan Islam. Menurut Al-Ghulayain, memberikan
sedekah pada jalan Allah meliputi semua usaha kebaikan untuk kemaslahatan
umum atau untuk menghindarkan segala kejahatan, kesulitan umum, seperti
persediaan perlengkapan pertahanan, membengun madrasah dan lain-lain
sebagainya yang bermanfaan dan kebaikannya berguna untuk umat.
Menurut Muhammad Rasyid Ridlo, bahwa sesungguhnya yang dimaksud
dengan sabîlillah di sini adalah beberapa kemaslahatan kaum Muslimin umumnya
yang menambah kekuatan agama Islam dan negaranya, bukan untuk
perseorangan. Yang terpenting di masa kini ialah persediaan untuk propaganda
penyiaran Islam, untuk membiayai pengiriman para Muballigh ke negri-negri non
Muslim, organisasi-organisasi yang teratur untuk memperjuangkan Islam dan lain
sebagainya.
8. Ibnu Sabîl ; yaitu orang yang mengadakan perjalanan dari negeri zakat, atau
melalui negeri zakat. Dalam perjalanan itu ia diberi zakat sekedar ongkos untuk
sampai kepada maksudnya, dan perjalanan itu pun bukan maksiat (terlarang),
tetapi dengan tujuan yang sah.
Bagi pelajar yang bimbang akan kehilangan ilmu yang wajib, kalau
mencari nafkah tidak dapat mencari ilmu karenanya, diantara ulama Syâfi’iyah
ada yang berpendapat bahwa mereka boleh mendapatkan bagian zakat. Hal itu
jika ilmunya itu dibilang wajib untuk dirinya dan diharapkan memberikan
manfaat kepada umum, kalau tidak maka tidak boleh.
Zakat tidak boleh dipindahkan dari satu negeri ke negeri yang lain. Ini
pendapat Asy-Syafi’i yang dianggap paling shahîh. Menurut Abu Hanifah hal itu
dimakruhkan, terkecuali memang diberikan untuk kerabat yang sungguh-sungguh
memerlukan. Imam Malik berpendapat bahwa hal itu tidak boleh, kecuali
penduduk suatu negeri sangat membutuhkannya, maka boleh memindhkannya
menurut kemashlahatan. Sedangkan Imam Ahmad tidak membolehkan
memindahkan zakat ke daerah lain sejauh jarak yang boleh mengqashar shalat,
sekalipun di negerinya sendiri tidak ada mustahiq zakat.
 Surat At-Taubah Ayat 103
. ‫ َو هللاُ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬،‫ك َس َك ٌن لَهُ ْم‬ َ ‫صلِّ َعلَ ْي ِه ْم ِإ َّن‬
َ َ‫صلوت‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن َأ ْم َوالِ ِه ْم‬
َ ‫ص َدقَةً تُطَهِّ ُرهُ ْم َو تُ َز ِّك ْي ِه ْم بِهَا َو‬

Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah : 103)
1.      Sabab Nuzul Ayat
Diantara penduduk Madinah, terdapat segolongan orang-orang munafik
(seperti halnya Abdullah bin Ubay dan kawan-kawan), kemunafikan mereka
sudah keterlaluan sehingga Nabi SAW tidak mengetahuinya, karena kepandaian
mereka menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keihlasan. Tetapi Allah
Maha mengetahui segala yang mereka tampakkan maupun yang mereka
rahasiakan dalam hati, Allah membongkar rahasia itu. Mereka diancam dengan
siksaan dua kali lipat oleh Allah SWT. Ketika tiba perintah saatnya perang
mereka-mereka selalu beralasan dan bahkan mlipèr tidak ikut dalam satuan
perang.
Setelah peristiwa perang tabuk ada segolongan diantara mereka (penduduk
Madinah) – seperti Abu Lubab Marwan bin Abi Mundzir Aus Bin Tsa’labah, dan
Wadi’ah bin Hazam – sadar dan mengakui segala dosa-dosanya, mereka
menyatakan penyesalan sebab kesalahan yang telah mereka perbuat, mencampur
baurkan yang  baik dan buruk dalam tiap-tiap perang bersama Rasulullah SAW,
dan terakhir karena penyelewengan mereka tidak ikut perang Tabuk.
Dalam sebuah kisah yang driwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, bahwa ketika
orang-orang yang mengakui dosa-dosanya itu diterima taubatnya oleh Allah
mereka mendatangi Nabi dengan membawa harta-harta yang mereka miliki dan
berkata ; “Wahai Rasul Allah, harta-harta kami ini yang menjadikan kami
berpaling, maka sedekahkanlah harta ini dan mohonkanlah kami ampunan”.
Rasulullah SAW menjawab : “Aku sama sekali tidak diperintah untuk mengambil
harta-harta kalian itu”. Maka turunlah Ayat diatas. Kemudian Rasulullah SAW
mengambil 1/3 dari harta mereka.
2. Tafsir & Analisis Bahasa
a)      ‫دقة‬BB‫والهم ص‬BB‫ذ من أم‬BB‫خ‬ ; ambillah (wahai Muhammad) sebagian dari harta
mereka (orang-orang yang mengakui dosa-doasanya dan bertaubat dari
padanya) sebagai shadaqah. Khitâb dari amar di sini Rasulullah SAW.
Huruf (‫) ِم ْن‬ berfungsi littab’îdl, karena shadaqah yang difardlukan tidaklah
semua harta. Kata (‫والهم‬HH‫)أم‬ disebutkan dalam bentuk jama’, mencakup
semua jenis harta, dan dlamîr (‫)هُم‬ bersifat umum, kembali kepada seluruh
kaum muslimin. Sedangkan (‫)صدقة‬ yang diperintahkan itu ialah shadaqah
fardlu ; yakni zakat. Jadi, ayat ini menunjukkan wajibnya diambil zakat
sebagian dari harta-harta kaum muslimin secara keseluruhan karena
kesamaan mereka dalam hukum agama.
Bagi Mufassir yang berkelit dengan asbâb al-nuzûl, maka dlamîr (
‫)هُ ْم‬ diberlakukan khusus untuk orang-orang yang bertaubat dan tidak ikut
serta dalam perang Tabuk seperti dalam peristiwa di atas, dan yang
dimaksud dari (‫دقة‬HHHHHHHH‫)ص‬ dalam ayat tersebut adalah hak
sebagai kaffârah (tebusan) setelah mereka bertaubat, bukan sebagai
zakat  fardlu.
b)      ‫تط ّهرهم‬ ; dibaca rafa’, menerangkan sifat dari lafadz (‫)صدقة‬ . huruf (‫)ت‬ tâ’
ta’nist ghaibah dan dlamîr mustatîr-nya lafadz (‫)صدقة‬, jadi artinya; “yang
membersihkan mereka”. Atau jika ta’ tersebut untuk khitâb dan ‘âid yang
terbuang menunjuk pada lafadz sebelumnya, kalau di nampakkan berbunyi
; (‫)تطهّرهم بها‬, artinya; “yang dengan shadaqah itu engkau membersihkan
mereka”. Atau bisa pula kalimat tersebut sebagai hâl dari dlamîr
mukhatab.
c)       ‫و تز ّكيهم بها‬ ; mensucikan diri atau harta mereka. dalam artian bertambah
keberkahnya. Dengan kata lain, adanya shadaqah itu harta mereka menjadi
bersih, dan merupakan hak Allah terhadap orang-orang fakir yakni berupa
zakat. Jika jumlah ini athâf  pada lafadz sebelumnya maka huruf (
‫)ت‬ adalah tâ’ ta’nist ghaibah atau bisa mukhâtab. Jika berdasarkan
bacaan jazm pada lafadz (‫رهم‬HHHHHHّ‫)تطه‬ maka  huruf (‫)و‬ di sini sebagai
permulaan kalimat (isti’nâfiyah), maksudnya : ‫و أنت تز ّكيهم‬ .
d)     ‫ ّل عليهم‬BB‫و ص‬ ; berdo’alah dan mohonlah ampunan untuk mereka (dari
segala dosa-dosa). Secara bahasa (‫الة‬HHH‫)ص‬ berarti do’a, Orang yang
menerima zakat - dalam hal ini Rasulullah – diperintah untuk mendo’akan
mereka yang memberikannya.
e)      ‫التك‬BBBBB‫إنّ ص‬ ; sesungguhnya doamu (Muhammad). Dibaca dalam
bentuk mufrâd, ada sebagian yang ّ
membaca (‫لواتك‬HHHHHHHHHH‫)إن ص‬,
dalam shighât jamâ’.
f)       ‫كن لهم‬BB‫س‬ ; ketenangan, kasih sayang dan kemulyaan bagi mereka. (
‫)سكن‬  bisa berarti apa saja yang dapat membuat perasaan menjadi tenang
dan jiwa menjadi tentram. Ayat ini menunjukkan anjuran mendoakan
mereka.
g)      ‫ميع عليم‬BBB‫و هللا س‬ ; Allah Maha mendengar atas do’â-do’â mu, Maha
mengetahui siapa yang berhak dan pantas menerima shadaqah (zakat) dari
mu.
3. Munasabah Ayat
Ayat 103 dari surat At-Taubah di atas merupakan rentetan peristiwa yang
dijelaskan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dari ayat
sebelumnya yaitu ;
ّ
‫ذاب‬HH‫سنعذبهم مرّتين ثم ير ّدون إلى ع‬ ،‫ مردوا على النّفاق ال تعلمهم نعلمهم‬H‫و ممن حولكم من األعراب منافقون ومن أهل المدينة‬
ّ ،‫عليهم‬ ‫وب‬HH‫ى هللا أن يت‬HH‫يئا عس‬HH‫رون س‬HH‫الحاو أخ‬HH‫وا عمال ص‬HH‫ذنوبهم خلط‬HH‫ترفوا ب‬HH‫رون اع‬HH‫و آخ‬ .‫عظيم‬
  .‫رّحيم‬H ‫ور ال‬HH‫إن هللا غف‬

Artinya : “Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu,


ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. mereka
keterlaluan dalam kemunafikannya. kamu (Muhammad) tidak mengetahui
mereka, (tetapi) kamilah yang mengetahui mereka. nanti mereka akan kami siksa
dua kali Kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar. Dan (ada
pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka
mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.
Mudah-mudahan Allah menerima Taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. At-Taubah : 101-102)
Ayat ini mengungkap tentang keadaan orang-orang munafik Madinah,
dimana diantara mereka ada segolongan yang kemunafikannya telah mencapai
tingkat kakap sehingga Rasulullah SAW tidak mengetahuinya. Sementara, yang
lain ada kemunafikannya setengah-setengah mereka mencampur adukkan
kebenaran dan kesalahan, berbuat taat ketika dipandang menguntungkan, dan
berbuat maksiat ketika dipandang merugikan. Setiap kali diseru untuk perang
mereka selalu enggan dan menghindar dengan alasan yang bermacam-macam.
Pada akhirnya ketika rahasia mereka terbongkar, mereka menyatakan bersalah
dan taubat. Ketika taubatnya diterima mereka hendak menebus diri, dan
menyerahkan harta-hartanya yang membuat mereka menyeleweng itu kepada
Rasulullah, namun Rasulullah SAW enggan menerimanya. Maka turunlah ayat
103.
Oleh karena ayat di atas bersifat umum (mujmâl), maka mengundang
beberapa penafsiran yang berbeda di kalangan ulama. Seperti dalam memaknai
lafadz  (‫دقة‬HHHHHH‫)ص‬ atau kembalinya dhamîr ‫هُ ْم‬ misalnya. Bagi ulama yang
menggunakan prinsip; (‫وم اللّفظ‬BB‫بب ال بعم‬BB‫الس‬
ّ ‫وص‬BB‫برة بخص‬BB‫)الع‬ , maka ayat tersebut
kontek shadaqah tersebut khusus dalam peristiwa yang melatarbelakanginya,
bukan dimaksudkan sebagai zakat yang difardlukan untuk kaum muslimin secara
umum. Bagi golongan ini sabâb an-nuzûl menjadi pengikat untuk memahami
hukum yang dikandungnya.
Sedangkan yang memegangi prinsip;( ‫وص‬BBBB‫بخص‬  ‫ظ ال‬BBBB‫وم اللّف‬BBBB‫برة بعم‬BBBB‫الع‬
‫سبب‬ّ ‫)ال‬   bagi sejumlah Ulama ushul, menyatakan bahwa kewajiban itu tidaklah
khusus pada mereka yang telah bertaubat dari dosa sebagaimana dalam
dalam sabâb an-nuzûl, karena zakat merupakan kewajiban dalam Islam. Pendapat
ini didukung oleh Imam Ath-Thabari, dan beliau menuqilnya dari sejumlah ahli
Takwil. Hal ini juga diperkuat oleh banyak Mufassir yang memegangi pendapat
pertama, bahwa yang dimaksudkan shadaqah dalam ayat itu adalah zakat.
Demikian pula Jumhûr Salaf maupun Khalaf, dengan ayat tersebut mereka
gunakan sebagai dasar atas sejumlah permasalahan hukum dalam bab-bab zakat.
Hubungan ayat sesudah dan sebelumnya tidaklah tetap kecuali
berdasarkan dalil. Meski demikian, menurut para ulama ushul khususnya; dengan
adanya sebab bukan berarti harus menafikan umumnya lafadz. Secara zahir ayat
di atas memang menghendaki diambilnya bagian dari tiap-tiap harta. Untuk
memahaminya perlu ada korelasi dengan ayat-ayat lain yang sepadan, juga perlu
adanya penjelasan hadits-hadits maupun sunnah Rasulullah SAW. Ini
penting  untuk megetahui secara pasti mengenai rincian; berapa kadarnya yang
ditentukan, batasan nishâb, waktu pelaksanaan dan jenis harta apa saja yang wajib
dikeluarkan sebagai shadaqah wajib (zakat) atasnya.

4. Penjelasan
Surat At-Taubah ayat : 103 dengan munasabah sekian banyak ayat di atas
menunjukkan bahwa setiap kaum Muslimin wajib menunaikan zakat.
Dikhususkannya khitâb kepada Rasul dalam hal ini bukanlah berarti menunjukkan
kekhususan hukum bahwa zakat hanya terhadap Rasul (yang menariknya), karena
banyak hukum-hukum syara’ berlaku yang mana khithâb-nya kepada Rasul. Hal
ini karena Rasul adalah orang yang menyerukan risalah Allah dan sebagai
penjelas apa yang dimaksudkannya, maka didahulukan penyebutannya supaya
jalan bagi umat dalam syari’at agama sesuai dengan jalan yang ditempuhnya.
Kepastian wajibnya zakat ini juga didasarikan pada ayat-ayat lain dalam
AlQur’an yang menyebutkannya dengan shigât yang beragam. Diantaranya, zakat
sering diistilahkan juga dengan kata ‫ق‬ّ H‫ح‬ ,  ‫دقة‬H‫ص‬ atau ‫نفقة‬ . tetapi yang dimaksud
adalah shadaqah wâjibah, haqq wâjib dan nafaqah wâjibah yang khusus
diberikan kepada ashnâf delapan.
Seperti ayat mengenai wajibnya zakat emas dan perak
menggunakan shigât ”infâq” ;

ّ ‫و الّذين يكنزون‬
.‫الذهب و الفضّة وال ينفقونها في سبيل هللا فب ّشرهم بعذاب أليم‬

Artinya : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS. At-Taubah : 34)
Dan shigât “haqq”, pada ayat mengenai wajibnya zakat tanaman atau
buah buahan ;

.‫ إنّه ال يحبّ المسرفين‬، ‫كلوا من ثمره إذا أثمر و ءآتوا حقّه يوم حصاده وال تشرفوا‬

Artinya : “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia


berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan
kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (Al-An’am : 141)
Dan shigât “  ‫ ”زكاة‬sendiri disebutkan tidak kurang dari 32 kali dalam Al-
Qur’ân, seperti diantaranya dalam ayat ;

.‫صالة و ءاتوا ال ّزكاة و اركعو مع الرّاكعين‬


ّ ‫و أقيموا ال‬
Artinya : “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta
orang-orang yang rukuk”. (QS. Al-Baqarah : 43)
Zakat merupakan salah satu dari Rukun Islam yang lima, Hukumnya fadlu
‘ain, wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat. Secara
kronologis yang pertama-tama diwajibkan adalam shalat, kemudian datang
perintah puasa di Madinah tahun kedua Hijriah, bersamaan dengan itu datang
perintah zakat fitrah, dan menyusul kemudian zakat mal.
Demikian Rasulullah telah menjelaskan bahwa, Islam dibangun di atas
lima pondasi; Syahadat, Shalat, zakat, Puasa, dan Haji. Sebagaimana sabda
beliau :
ٰ
‫ َو‬، َ‫ضان‬
َ ‫صوْ ِم َر َم‬ َّ ‫ َو إقَ ِام ال‬، ِ‫الَ ٰإلهَ إاَّل هللاُ َو َأ َّن م َُح َّمدًا َرسُوْ ُل هللا‬  ‫ َشهَا َد ِة َأ ْن‬: ‫س‬
َ ‫ َو‬، ‫ َو ِإيْتا َ ِء ال َّز َكا ِة‬، ‫صالَ ِة‬ ٍ ‫بُن َي اِإْل ْساَل ُم َعلَى َخ ْم‬
)‫(متفق عليه‬ . ‫ت ل َِِم ْن ا ْستَطَا َع إلي ِه َسبِيال‬
ّ ً ْ ْ َ ِ ‫ِحجِّ ْالبَ ْي‬
Artinya: “Islam dibangun atas lima perkara : Persaksian bahwa
sesungguhnya tiada Tuhan Selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah
Utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadlan dan hajji
ke Baitullah bagi yang mampu jalannya”. (HR. Bukhari Muslim)
Kelima rukun Islam itu antara satu dengan yang lain dan tidak boleh
dipisah-pisahkan. Artinya seorang muslim tidak boleh hanya mengkhususkan diri
dengan yang satu dan mengabaikan yang lain, seperti halnya mengerjakan shalat
tetapi tidak membayar zakat, atau zakat ditinaikan  tetapi puasa ditinggalkan, atau
haji dilaksanakan tapi shalat diterlantarkan, dan sebagainya. Jarang sekali
perintah-perintah itu terpisah menyendiri dari yang lain. Kerena itu dikatakan oleh
Abdullah bin Mas’ud ;
. ُ‫صاَل ةَ لَه‬
َ ‫ك فَاَل‬ َّّ ‫ُأ ِمرْ تُ ْم بِِإقَا َم ِة ال‬
ِّ ‫صاَل ِة َو ِإ ْيتَا ِء ال َّز َكا ِة َو َم ْن لَ َْم يُ َز‬
Artinya: “Kalian diperintah untuk mengerjakan shalat dan membayar
zakat, oleh karenanya siapa yang tidak berzakat maka tiada artinya baginya
shalat”

3. Istinbat Hukum
 Pada surah Al-Baqarah ayat 267 tersebut di atas dijelaskan bahwasannya apa
yang dikeluarkan dari bumi dan dari hasil usaha sendiri wajib dikeluarkan
zakatnya. Hasil tambang emas dan tambang perak, apabila sampai senisab
wajib dikeluarkan zakatnya pada waktu itu juga dengan tidak diisyaratkan
sampai setahun, seperti pada biji-bijian dan buah-buahan. Zakatnya 1/40 (2 ½
%). Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “bahwasannya Rasulullah SAW
telah mengambil sedekah (zakat-nya)ndari hasil tambang di negeri
Qabaliyah”. Riwaayat Abu Daud dan Hakim. Dan pada Hadist yang lain
Rasulullah bersabda yang artinya: “Pada emas dan perak, zakat keduanya
seperempat puluh (1/40) (2 ½%).
 Sedangkan pada surah At-Taubah ayat 60 dijelaskan tentang musthiq zakat,
dan zakat itu (pembagiannya) terbatas hanya kepada delapan kelompok
penerima zakat (mustahiq), tidak boleh untuk dibagikan kepada selain mereka.
Yang berhak menerima zakat itu ialah:
1. Orang faqir
2. Orang miskin
3. Amil (pengurus) zakat
4. Muallaf
5. Memerdekakan budak
6. Orang berhutang
7. Pada jalan Allah (fisabilillah)
8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa membayar zakat merupakan kewajiban
bagi setiap Muslim yang harus ditunaikan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan, kewajiban ini bersifat pasti didasarkan pada nash Al-Qur’ân, Sunnah, dan
Ijmâ’ ulama, yang harus ditunaikan sebagai rukun Islam yang ketiga.
Untuk memahami ketentuan bagaiamana kewajiban zakat itu dilaksanakan, harus
mengkaji seluruh dalil-dalil nash yang ada, baik dari Al-Qur’ân maupun Sunnah secara
kolektif, korelatif dan komperhensif. Apa yang telah menjadi ketetapan Syâri’ tentang
wajibnya zakat ini tidak boleh ditentang. Oleh karenanya, barang siapa yang menentang
dan tidak mnunaikannya tanpa alasan yang dapat dibenarkan Syara’, maka ia termasuk
orang yang ingkar dan wajib diperang.
Sesungguhnya diwajibkannya zakat dalam Islam - yang di ambil dari
para aghniyâ’ dan dikembalikan kepada mereka (ashnâf delapan) yang membutuhkan -
banyak terdapat hikmah yang agung, diantaranya yang terpenting ialah :
a. Membantu orang-orang lemah yang tertimpa kesusahan dan memerlukam bantuan
agar dapat menunaikan kewajibannya terhadap Allah SWT, dan terhadap masyarakat.
b. Menbersihkan diri daripada sifat kikir dan ahlak yang tercela, serta mendidik diri
berjiwa sosial, memiliki sifat mulia dan pemurah, membiasakan diri menyalurkan
amanat kepada orang yang berhak serta berkepentingan, dan merupakan kepedulian
terhadap nasib sesama dalam masyarakat.
c. Sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas segala nikmat kekayaan yang
diberikan oleh Allah SWT kepadanya.
d. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya kejahatan-kejahatan yang timbul antar
sesama manusia.
e. Mendekatkan hubungan kasih sayang dan saling mencintai antara yang miskin dan
kaya, eratnya hubungan akan membuahkan beberapa kebaikan dan kemajuan
serta  ketentraman hidup dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
http://poshukach.com/redir?
user_type=d&type=sr&redir=eJzLKCkpKLbS1y8vL9czsjTTK09N0stM0TcyMDTXNz
TUT83RLcrXLU7MTNHNTcxOzEnM0C1JTCvOLNLNTEpMSczQyyjJzWFgMDQz
MzU2NTM0M2aQLIh wW3tNuH8bhXVe30rtwMA9lEgeQ&src=78d100&via_page=1
http://poshukach.com/redir?
user_type=2d&type=sr&redir=eJzLKCkpKLbS18_NykvUy63Uy0zRTyxOSkwqzYvP
K60qzdEvy0wt1zfSNTIzB2EGBkMzM1NjUwsjUyOG8s2HlosYTLyZLmt39cGsya4A
4OQaQQ&src=63545c&via_page=1
https://baitsyariah.blogspot.com/2021/07/tafsir-surah-al-baqarah-ayat-267.html
http://poshukach.com/redir?
user_type=2&type=sr&redir=eJzLKCkpsNLXL0otyC_OLMkvqtQrzczTLS4tzk7US0z
Wy0zRNzE3NTTXN9QPcXQL9gxSNTJw9PB29NUrSEljYDA0MzM1NrM0NTBj2N
g9o_caUw5Xe3zG1neWPLYAH-ochQ&src=8d968c&via_page=1

Anda mungkin juga menyukai