Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PENGHARAMAN RIBA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ekonomi

Dosen Pengampu :

DR. H. Luthfi Hadi Aminuddin, M.Ag

Disusun Oleh Kel. 8 :

Zuhria An Nihaya (402200097)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2023

i
A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber penggalian dan pengembangan ajaran Islam
dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Untuk melakukan penggalian dan
pengembangan pemahaman Ayat-ayat Al-Qur’an. Kemampuan tertentu guna
mengasilakan pemahaman yang baik mengenai berbagai perilaku kehidupan
manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Pengembangan ilmu ekonomi Al-
Qur’an pada dasarnya mempunyai peluang yang sama dengan pengembangan
ilmu-ilmu lain dalam tradisi keilmuan Islam. Sayang, sebagai suatu disiplin
ilmu, ilmu ekonomi Al- Qur’an belum berkembang pesat. Padahal kebutuhan
terhadap ilmu ini dirasakan sudah mendesak, sehubungan kegagalan ilmu
ekonomi modern dalam merealisasikan pembangunan dan
kemaslahatanmasyarakat.
Sebagai metodologi atau rumusan dalam makalah ini, penulis ingin sedikit
menyampaikan agar dalam penulisannya lebih baik dari sebelumnya untuk
lebih memahami dan lebih fokus pada pembahasannya, maka ada beberapa hal
yang dipaparkan dalam makalah ini yakni: Pengertian, Ayat dan artinya,
Asbabul Nuzul, Hikmah ayat dan Kesimpulan. Inilah yang nantinya penulis
ingin uraikan satu persatu demi untuk melatih pemahaman kita tentang ayat-
ayat tentang Ekonomi.
B. Pembahasan
Di dalam bahasa Arab, lafadz “Riba” bermakna : Ziyadah / tambahan.
dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam
membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan
dari harta pokok atau modal secara batil.1

Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum


yang menegaskan bahwa riba adalah pengambil tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prisip muamalah dalam Islam. Dan di sini kami menjelaskan tetang
surat Al-Imran. Yang berbunyi:

)١٣٠( َ‫َّللاَ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬


َّ ‫عفَةً َواتَّقُوا‬ َ ‫ضعَافًا ُم‬
َ ‫ضا‬ ِّ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ال ت َأ ْ ُكلُوا‬
ْ َ ‫الربَا أ‬

1
Muhammad Syafi’I Antoni, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. (Depok Gema Insani.
Cet. IV. 2009), 37.

1
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu beruntung.2
C. Isi kandungannya Surat Al-imbran ayat 130.
Surat Ali Imron ayat 130 sebagaimana di atas terdapat kata-kata diantaranya :
Hai orang-orang
‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا‬ َّ
َ‫َّللا‬ kepada Allah
yang beriman
janganlah kamu
ِّ ِ ‫َال ت َأ ْ ُكلُوا‬
‫الربَا‬ ‫لَ َعلَّ ُك ْم‬ supaya kamu
memakan riba
mendapat
ً‫عفَة‬ ْ َ‫أ‬
َ ‫ض َعافًا ُم‬
َ ‫ضا‬ dengan berlipat َ‫ت ُ ْف ِل ُحون‬
keberuntungan
dan bertakwalah
‫َواتَّقُوا‬
kamu

Menurut Mujahid, orang Arab terbiasa melakukan transaksi jual-beli


dengan jangka waktu (kredit). Jika waktu pembayaran tiba, mereka ingkar dan
tidak mau membayar. Dengan demikian, bertambah besar bunganya, dan
semakin pula bertambah jangka waktu pembayaran. Atas praktik tersebut,
Allah menurunkan ayat tersebut (HR. Faryabi).3
Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar
ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih
yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran
suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena
orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas
dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam
ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat
Arab zaman jahiliyah.
D. Penjelasan Ayat
Di dalam Surat Ali Imron ayat 130 ahli Tafsir menjelaskan bahwa lafadz ‫َيا‬
‫ أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا‬ini yang dimaksud adalah kaum Sakif atau golongan manusia dari
ِّ ِ ‫ َال ت َأ ْ ُكلُوا‬ini yang dimaksud adalah di
ْ َ ‫الربَاأ‬
bani Sakif, kemudian lafadz ‫ضعَافًا‬

2
Imam Jalalud-din Al-Mahalliy, Imam Jalalud-din As-Suyuthi.,Tafsir Jalalain. (Sinar
Baru Bandung 1990), 269
3
Departemen agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid, (Kalim, Pondok Karya Permai,
Banten), 48.

2
dalam harta dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguwat yaitu
ً‫عفَة‬
َ ‫ضا‬
َ ‫ ُم‬ini maksudnya adala ‫ االجل‬misi atau tujuan, kemudian dilanjutkan lagi
َّ ‫ َواتَّقُوا‬takutlah kamu semua orang Iman kepada Allah di dalam
dengan kata َ‫َّللا‬
memakan sesuatu yang mengandung Riba. َ‫ َل َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬ini dengan maksud
supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka siksaan Allah.4

Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali Imron ayat 130 ini penulis simpulkan
bahwa:
1) yang diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya
Ummat Manusia beragama Islam.
2) Peringatan untuk menjahui makan Riba.
3) Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba, dengan harapan tidak
mendapat murka dan Siksa dari Allah.

E. Asbaabun Nuzul Surat Al-Imran 130


Diriwayatkan Oleh Faryabi dari Mujahid, dia berkata: Mereka biasa berjual
beli hingga waktu tertentu. Jika waktu itu telah sampai, mereka tambah
harganya dan perpanjang waktunya. Maka turunlah ayat “Hai orang-ornag
yang beriman, janganlah kamu memakan riba degan berlipat ganda”. (Surat al-
imran ayat 130)
Diriwayatkan pula dari ‘Atha’ dia berkata: Suku Tsaqif biasa berutang
kepada Bani Nadhir di masa Jahiliah, maka jika telah jatuh temponya, mereka
katakan :“Kami beri tahu tambahan, asal saja kamu perpanjang waktu
pembayarannya”. Maka turunlah ayat “Jaganlah kamu memakan riba dengan
belipat ganda”. (Surat Al-imbran ayat 130).5
Turunnya Surat Al Imron ayat 130, dan Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu
diturunkan di Kota Madinah. Ayat ini menjelaskan kebiasaan orang Arab
saat itu yang sering mengambil riba dengan berlipat ganda. Ayat ini telah
secara jelas mengharamkan perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman
pada ayat ini masih bersifat sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu
yang mengambil riba dengan berlipat ganda dari modal. Riba ini disebut

4
Ibn Thohir bin Ya’kub Al-Fauruzi Zadi, Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas, (Dar
Al-Fikr), 56.
5
Ibid h.312

3
dengan riba keji yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang
yang berlipat ganda.6

F. Hikmah Diharamkannya Riba


Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi
melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya
maupun perekonomiannya. Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya
seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai
berikut:
1) Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti.
Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham,
misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti.
Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai
kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi:
"Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan
darahnya.”(Abu Nua'irn dalam Hilyah). Oleh karena itu mengambil harta
kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
2) Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan
bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia
akan beroleh tambahan uang, baik kontan atau pun berjangka. Sedang hal
semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat.
bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya
perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan. (Tidak diragukan
lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi
perekonomian).
3) Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara
sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu
diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu
dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan,

6
Muhammad Ali Ash-Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, Terj. Mua’ammal Hamidy, Imron A.
Manan (Surabaya: PT. Bina Ilmu,2003), 390.

4
maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan
diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua
dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan.
(Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).
4) Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang
peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang
membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk
mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang
tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat
Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).

Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap
orang yang lemah demi kepentingan orang kuat dengan suatu kesimpulan: yang
kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan
mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas
lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan
pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan di antara anggota
masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis
dan kaum subversi. Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba.

G. Kesimpulan

Di dalam bahasa Arab, bahwa lafadz “Riba” itu bisa mengandung makna
tambahan secara mutlaq atau bahwa Riba secara bahasa bermakna : Ziyadah /
tambahan. Secara umum yang menegaskan bahwa riba adalah pengambil
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara
batil atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam.
Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba
nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua
macam: nasiah dan fadhl. Sebab Turunya Ayat Menurut Mujahid, orang Arab
terbiasa melakukan transaksi jual-beli dengan jangka waktu (kredit).
Surat Ali Imron ayat 130 ini menyimpulkan bahwa:
1) yang diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya
Ummat Manusia beragama Islam.

5
2) Peringatan untuk menjahui makan Riba.
3) Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba, dengan harapan tidak
mendapat murka dan Siksa dari Allah.
Kami Sebagai penulis makalah cenderung setuju dengan tokoh modern
yang lebih menekankan perhatiannya pada aspek moral sebagai bentuk
pelarangan riba dan mengesampingkan dari larangan riba sebagaimana yang
dijelaskan dalam hukum islam. Argumentasi mereka adalah sebab dilarangnya
riba karena menimbulkan ketidakadilan, sebagaiman diungkapkan dalam Al-
qur’an: “laa tadzlimuuna walaa tudzlamuun” Bahwa tidak seluruh bunga bank
itu dilarang. Sebab pada prinsipnya aktivitas perbankan dengan ciri bunga itu
bertujuan pembinaan ekonomi.

6
DAFTAR PUSTAKA

Ali Ash-Shobuni, Muhammad. Tafsir Ayat Ahkam. Terj. Mua’ammal


Hamidy, Imron A. Manan Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003

Departemen agama RI. Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid. Banten : Kalim,
Pondok Karya Permai.

Jalalud-din Al-Mahalliy, Imam dan Jalalud-din As-Suyuthi, Imam. Tafsir


Jalalain. Bandung : Sinar Baru 1990.

Syafi’I Antoni, Muhammad. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Depok:


Gema Insani. Cet. IV. 2009.

Thohir bin Ya’kub Al-Fauruzi Zadi, Ibn . Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir
Ibn Abbas. Dar Al-Fikr.

Anda mungkin juga menyukai