Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HADITS AHKAM AL-MUAMALAH

HADITS TENTANG RAHN DAN MEMANFAATKAN MARHUN


(Agunan)

Dosen Pengampu : Hammam, Lc., M. Sy

Oleh Kelompok:

1. Leni Mualifah (180711100003)


2. Niken Arinindya Syawalina (180711100020)
3. Ilmi Rosidah (180711100038)
4. Fifin Nur Romah (180711100051)
5. Hendra Izzul Muzzakiy (180711100108)
6. Ummul Fadlilah (180711100109)

HUKUM BISNIS SYARIAH

FAKULTAS KEISLAMAN

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA


KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas izin
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah
dengan judul “Hadits Tentang Rahn dan Memanfaatkan Marhun” ini disusun dengan
tujuan untuk melengkapi tugas semester ketiga untuk mata kuliah Hadits Ahkam Al-
Muamalah. Melalui makalah ini, kami berharap agar kami dan pembaca mampu mengenal
lebih jauh mengenai Rahn dan Memanfaatkan Marhun.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dan narasumber yang telah
membantu khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah Hadits Ahkam Al-Muamalah
yaitu bapak Hammam, Lc., M. Sy., sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.

Dan semoga makalah ini memberi informasi bagi teman-teman semua dan
masyarakat yang membaca, dan juga bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Bangkalan, 22 Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ........................................................................................... iii


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... iii
C. Tujuan ....................................................................................................... iii

BAB II PEMBAHASAN

A. Asbabul Wurud Tentang Rahn..................................................................


B. Asbabul wurud Tentang Memanfaatkan Marhun (Agunan) .....................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................
B. Kritik dan Saran ........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam aspek pengetahuan yang sekarang ini, telah banyak pembahasan tentang
suatu hukum ekonomi khususnya ekonomi islam. perekonomian kaitannya dengan
hubungan antara manusia yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Dimana dalam
kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari manusia yang lain karena saling membutuhkan
satu sama lain. Terkadang masih banyak masyarakat yang melakukan salah satu bentuk
transaksi seperti syufah,rahn,dan memanfaatkan marhun (agunan).yang akan dibahas
dalam makalah ini, belum mengetahui ayat-ayat dan hadis yang membahas tentang
syirkah.
B. Rumusan Masalah
1. Asbabul Wurud Tentang Rahn ?
2. Asbabul wurud Tentang Memanfaatkan Marhun (Agunan) ?
C. Tujuan Masalah
1. Asbabul Wurud Tentang Rahn
2. Asbabul wurud Tentang Memanfaatkan Marhun (Agunan)

\
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertia Hadits Tentang Rahn

1
‫ﺗﺬاﻛﺮﻧﺎﻋﻨﺪاﺑﺮﻫﻴﻢاﻟﺮﺣﻤﻦﻮاﻟﻘﺒﻴﻞ‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﻋﻤﺶﻗل‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎﻣﺴﺪد‬
‫ت‬ْ َ‫شةَ ﻗَﺎﻟ‬ َ ‫ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد َﻋ ْﻦ‬:‫ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎٳلﺑﺮاﻫﻴﻢ‬
َ ‫ﻋﺎ ِئ‬

‫ِى إِﻟَى أ َ َج ٍّﻞ َو َر َﻫﻨَهُ د ِْرﻋًﺎ ﻟَهُ ِﻣ ْﻦ َﺣﺪِيﺪ‬ َ ‫ ا ْشت ََﺮى‬-‫صﻠى هللا ﻋﻠﻴه وﺳﻠﻢ‬- ِ‫َّللا‬
ٍّ ‫طعَﺎ ًﻣﺎ ِﻣ ْﻦ َي ُهﻮد‬ ‫ﺳﻮ َل ه‬
ُ ‫َر‬

Terjemahannya:

Meriwayatkan Musaddad: Meriwayatkan ‘Abdul Wahid: Dari al-A’masyi, dia


berkata: Kami membicarakan masalah gadai dan memberi jaminan dalam jual-beli
sistem salaf di samping Ibrohim. Maka Ibrohim berkata: “al-Aswad telah menceritakan
kepada kami dari Aisyah ra bahwa Nabi SAW membeli makanan dari seorang Yahudi
hingga waktu yang ditentukan (tidak tunai) dan menggadaikan baju besinya.”

B. Asbabaul wurud
2
Perdagangan pada masa jahiliyah atau pada masa Rasulullah SAW yaitu:
untuk tujuan tolong menolong di dalam masyarakat untuk melangsungkan kehidupan
maka seseorang boleh berhutang kepada orang lain dan memberikan jaminan barang
yang mempunyai nilai lebih dari nilai hutangnya.

Oleh karena itu Rasulullah berhutang kepada seorang Yahudi dan menggadaikan
baju besinya.Perdagangan pada masa jahiliyah atau pada masa Rasulullah SAW
yaitu:Seorang murtahin (penerima gadai) tidak diperbolehkan mengambil alih hak
kepemilikan barang yang digadaikan kepadanya, yaitu dengan memberikan syarat kepada
yang menggadaikannya jika ia tidak mampu mengembalikan pinjamannya dalam waktu
tertentu maka barang yang digadaikan akan menjadi hak miliknya sepenuhnya (tanpa
mengurangi sedikitpun harta pinjamannya). Hal ini termasuk salah satu yang biasa
dilakukan oleh kaum jahiliyah, lalu setelah Nabi Muhammad SAW diutus kepada mereka
beliau pun melarang perbuatan.

1
Lihat di makalah “Gadai Dalam Islam” bywww.Google.com

2
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Terjemhan Sunan Tirmidzi, juz 2 “Terj.”Muh. Zuhri (Semarang,Asy-
Syifa:1992) hal. 611.
C. Istinbath Hukum tentang Rahn

3
Boleh bermuamalah dengan orang-orang kafir dan hal itu bukan termasuk
condong kepada mereka yang dilarang. As-Shan’any berkata, “sebagaimana yang sama-
sama diketahui dalam agama, hal itu sebagai kebutuhan mendesak. Rasulullah saw dan
para sahabat menetap di Makkah selama 13 tahun dan mereka bermuamalah dengan
orang-orang musyrik. Lalu beliau menetap di Madinah selama 10 tahun, bersama para
sahabat beliau bermuamalah dengan Ahli Kitab dan juga datang ke pasar-pasar mereka.

Hadits pertama dan kedua menegaskan Rasulullah SAW pernah melakukan


hutang piutang dengan orang Yahudi untuk sebuah makanan. Kemudian beliau
menggadaikan (menjaminkan) baju besinya sebagai penguat kepercayaan transaksi
tersebut.Dengan adanya beberapa pendapat dari para ulama di atas, dapat diartikan bahwa
Gadai (rahn) sendiri secara bahasa artinya tetap dan lestari, seperti juga dinamai Al-
Habsu, artinya penahanan. Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para
ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang
bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi
utangnya.”

“Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut)
dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi
utangnya.”“Memberikan harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan
utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu
melunasinya.”
Adapun beberapa rukun dan syarat dalam melakukan gadai. Rukun ar-Rahn
(Gadai), Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu: Ar-
rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan), Al-marhun bih (utang), Aqidain, dua

3
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Terjemhan Sunan Tirmidzi, juz 2 “Terj.”Muh. Zuhri (Semarang,Asy-
Syifa:1992) hal. 611.
pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (pemberi
utang), Shigat Ijab Qabul.
Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu
rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi.Agar terpenuhinya
rukun, maka diperlukan syarat dalam pemenuhannya, yaitu: Syarat yang berhubungan
dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya
adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd
(memiliki kemampuan mengatur).
Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai):.
o Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik
barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
o Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang
diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
o Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn
adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
 Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau
yang akhirnya menjadi wajib.
o Hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor
o Utang bias dilunasi dengan agunan tersebut.
o Utang jelas dan tertentu.
Syarat yang terkait dengan shighat ijab qabul; ucapan serah terima disyaratkan;
harus ada kesinambungan antara ucapan penyerahan (ijab) dan ucapan penerimaan. Apa
yang diucapkan oleh kedua belah pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.
D. Pengertian Hadits Tentang Memanfaatkan Marhun (aguanan )

‫اﻟظ ْه ُﺮ ي ُْﺮ َﻛبُ إِذَا َﻛﺎنَ َﻣ ْﺮﻫُﻮﻧًﺎ َوﻟَ َﺒﻦُ اﻟﺪ ِهر يُ ْش َﺮبُ إِذَا َﻛﺎنَ َﻣ ْﺮﻫُﻮﻧًﺎ َو َﻋﻠَى اﻟهﺬِي يَ ْﺮ َﻛبُ َويَ ْش َﺮبُ ﻧَفَﻘَتُه‬
‫ه‬

4
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya
(makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum
sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi

4
Lihat makalah “Gadai Dalam islam” by www.Google.com
dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits
shahih)
E. Istinabth Hukum Tentang marhun (setelan memanfaatkan rahn)
5
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang
berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai,
pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di
antaranya:
1) Pertama, pemegang barang gadai.
Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
2) Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan
adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil
manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau
hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan mengambil air
susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut).
Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan
memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam,
ُ‫ظ ْه ُﺮ ي ُْﺮ َﻛبُ إِذَا َﻛﺎنَ َﻣ ْﺮﻫُﻮﻧًﺎ َوﻟَ َﺒﻦُ اﻟﺪ ِهر يُ ْش َﺮبُ إِذَا َﻛﺎنَ َﻣ ْﺮﻫُﻮﻧًﺎ َو َﻋﻠَى اﻟهﺬِي يَ ْﺮ َﻛبُ َويَ ْش َﺮبُ ﻧَفَﻘَتُه‬
‫اﻟ ه‬
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya
(makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum
sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi
dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits
shahih).
Syekh al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan
barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.”Demikian juga, pertumbuhan dan
keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan

5
Sunan Abi Daud, Terjemahan Sunan Abi Daud, Buku 4“Terj.”Bey Arifin, dkk. (Semarang, Asy-Syifa: tt) hlm.
118-119.
dan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pen). Penulis kitab al-Fiqh al-
Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak
penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa
seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat
barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka
yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang
menghasilkan manfaat.
Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu
perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai
besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari
penggadai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫اﻟﺮﻫْﻦُ ي ُْﺮ َﻛبُ ِﺑﻨَفَ َﻘتِ ِه ِإذَا َﻛﺎنَ َﻣ ْﺮﻫُﻮﻧًﺎ َوﻟَﺒَﻦُ اﻟﺪ ِهر يُ ْش َﺮبُ ِﺑﻨَ َفﻘَتِ ِه ِإذَا َﻛﺎنَ َﻣ ْﺮﻫُﻮﻧًﺎ َو َﻋﻠَى اﻟهﺬِي يَ ْﺮ َﻛبُ َويَ ْش َﺮبُ اﻟﻨهفَﻘَة‬
‫ه‬
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya
(makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum
sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi
dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no.
2512).
Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari
Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya
murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai,
dengan dalil sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
ُ ‫غ ْﻨ ُﻤهُ َو َﻋﻠَ ْﻴ ِه غ ََﺮ ُﻣه‬
ُ ُ‫ﻟَه‬
“Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya
pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)
6
Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah
sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena dalil
hadits shahih tersebut. Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan
kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat menunjukkan

6
Sunan Abi Daud, Terjemahan Sunan Abi Daud, Buku 4“Terj.”Bey Arifin, dkk. (Semarang, Asy-Syifa: tt) hlm.
118-119.
bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan
murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan padanya.
7
Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan
tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga,
berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai,
pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat,
yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan
cara menafkahi (hewan tersebut).
Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah,
maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.”
3) Ketiga, pertumbuhan barang gadai.
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya
bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia
termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia terpisah, maka
terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang
menyepakatinya, berpandangan bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang
terjadi setelah barang gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang
gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya, berpandangan
bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut serta bersama barang
gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm berbeda
pendapat dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm
berpendapat bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan
pertumbuhannya) menjadi milik orang yang menafkahinya.
4) Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang gadai.
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa
perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin) dan dia tidak
mampu melunasi utangnya.

7
Sunan Abi Daud, Terjemahan Sunan Abi Daud, Buku 4“Terj.”Bey Arifin, dkk. (Semarang, Asy-Syifa: tt) hlm.
118-119.
Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo, sedangkan
orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang memberi pinjaman
uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang
menggadaikannya (si peminjam uang).
8
Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang
gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi
pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang
menggadaikan barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu
melunasi utangnya tersebut.
Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang gadai
tersebut dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata hasil penjualan
tersebut masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi milik pemilik barang gadai
(orang yang menggadaikan barang tersebut). Bila hasil penjualan barang gadai tersebut
belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih
menanggung sisa utangnya.
Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila
pembayaran utang telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin (pemilik
piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya, karena itu adalah utang yang sudah
jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang tanpa gadai.
Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian)
barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi
seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (rahin) untuk
menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin, dan
murtahin didahulukan atas pemilik piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.
Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang gadainya,
maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya
tersebut. Dan apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai
tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat Mazhab
Syafi’iyah dan Hambaliyah.

8
Syayid Tsabiq, Fiqh Sunnah 12, alih bahasa kamaludin A, (Kuala lumpur, Victory Agencie:1990), hlm. 145.
Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa
memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil penjualannya.
Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh menagih pelunasan utang kepada
penggadai, serta meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila dia tampak tidak mau
melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah
hanya boleh memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya, dalam rangka
meniadakan kezaliman.
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya dengan hasil
penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena tujuannya adalah membayar
utang dan itu telah terealisasikan dengan penjualan barang gadai. Selain itu, juga akan timbul
dampak sosial yang negatif di masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak
peminjam uang) dipenjarakan.
Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka selesailah
utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai tersebut tetap memiliki
utang, yang merupakan selisih antara nilai barang gadainya yang telah dijual dan nilai
utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang tersebut.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita yang
banyak berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang ada padanya, walaupun
nilainya lebih besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini
jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk kezaliman yang harus dihilangkan.
F. Asbabul Wurud Dari Rahn dan Memanfaatkan Marhun (Agunan )

9
Dalam sebuah hadits dari Umar Bin Khattab, R.A. dia berkata: nabi SAW bersabda “
sesungguhnya diantara para hamba Allah ada beberapa manusia, mereka bukan para Nabi,
bukan pula para syuhada’, di hari kiamat kelak merasa iri kepada mereka, sebab kedudukan
mereka yang dianugerahkan Allah ta’ala” Para sahabat bertanya “Wahai Rasulullah,
beritahukanlah kami, siapakah mereka itu? “ Beliau bersabda “ Mereka adalah suatu kaum
yang saling cinta mencintai karena Allah. Bukan karena ikatan family antara mereka, dan
bukan pula karena harta yang mereka berikan berbalas balasan. Demi Allah, wajah- wajah

9
Syayid Tsabiq, Fiqh Sunnah 12, alih bahasa kamaludin A, (Kuala lumpur, Victory Agencie:1990), hlm. 145.
mereka adalah Nur. Dan mereka benar- benar berada diatas Nur. Mereka tidak merasa
ketakutan, dan mereka tidak merasa ketakutan dan mereka tidak merasa susah. Sewaktu
manusia merasa susah.” Selajutnya Beliau membaca ayat: “Ketahuilah, bahwa para wali
Allah, tak ada ketakutan atas mereka, dan mereka tidak merasa susah.”(surah 10: 62).

Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta
sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan
uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu,
dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang
kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.

10
Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya
dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia
meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang
disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.Oleh karena itu, Allah
mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin),
pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat.

Untuk rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini


tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta
terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi sebab ia
menjadi kaya.

11
Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta merasa
aman atas haknya, dan dia pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka
dia mendapatkan pahala dari Allah.Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat,
yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang
di antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.

10
Syayid Tsabiq, Fiqh Sunnah 12, alih bahasa kamaludin A, (Kuala lumpur, Victory Agencie:1990), hlm. 145.

11
Lihat makalah “Gadai Dalam islam” by www.Google.com
Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan
melapangkan penguasa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dengan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa praktek gadai sudah terjadi
sejak zaman Rasulullah, yaitu ketika beliau menggadaikan baju besinya kepada orang
yahudi. Oleh karena itu gadai dibolehkan. Adapun beberapa pendapat ulama mengenai
gadai, seperti Imam Syafi’I, Ahmad bin Hambal, Abu Tsawr, Tirmidzi, Abu Daud yang
menjelaskan gadai dengan pemikiran mereka masing- masing.

Pada dasarnya gadai merupakan akad tabaruk, yaitu akad tolong menolong.
Dimana setiap manusia haruslah saling tolong menolong. Disini manusia menyadari
bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Dengan perbedaan yang ada manusia
bisa mempelajari dan memahami berbagai lika liku kehidupan. Bahwa dengan adanya
perbedaan tercipta sesuatu yang indah didalamnya.

B. Kritik dan Saran


Makalah tentang rahn dan memanfaatkan marhu (agunan) ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka diharapkan pembaca mengembangkan makalah ini. Dan diharapkan
makalah ini dapat menjadi masukan dan bah ke dalam pengaplikasian yang benar.
DAFTAR PUSTAKA

Lihat di makalah “Gadai Dalam Islam” bywww.Google.com

Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Terjemhan Sunan Tirmidzi, juz 2 “Terj.”Muh. Zuhri
(Semarang,Asy-Syifa:1992) hal. 611.

Sunan Abi Daud, Terjemahan Sunan Abi Daud, Buku 4“Terj.”Bey Arifin, dkk. (Semarang, Asy-Syifa: tt)
hlm. 118-119.
i
Lihat makalah “Gadai Dalam islam” by www.Google.com

Anda mungkin juga menyukai