Anda di halaman 1dari 12

PINJAM MEMINJAM DAN QIRADH

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas :

Mata Kuliah : Fiqh II

Dosen Pengampu : Muhlison, M.Ag.

Di susun oleh

1. Muhammad Ya’kub Harahap

2. Ramlan Siregar

3. Nur Hikmah Batubara

4. Nur Aisyah Hutagalung

5. Siti Sarah Siregar

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH PADANG LAWAS (STIT PL)

FAKULTAS TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN PELAJARAN 2023/2024


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang syamil wa mutakammil (menyeluruh dan sempurna)
mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan
interaksi sosial dalam kehidupan antar sesama manusia. Salah satu bentuk interaksi
sosial dalam kehidupan sehari-hari adalah kegiatan pinjam-meminjam (‘Ariyyah) dan
kerjasama/bagi hasil (Qiradh).
Contoh diatas merupakan kegiatan yang sering dilakukan dalam keseharian hampir
semua orang. Di saat setiap orang tidak selalu memiliki semua barang untuk memenuhi
kebutuhannya, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan meminjamnya dari orang
lain. Terkadang ada seseorang yang punya kemampuan untuk mengelola perdagangan
namun tidak memiliki modal dan ada yang punya modal tapi tidak mampu berdagang.
Dalam tulisan ini akan dibahasa tentang ketentuan-ketentuan syariah yang berkaitan
dengan kegiatan pinjam-meminjam (‘Ariyyah) dan Qiradh.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman penjelasan syari’ah tentang pinjam-meminjam (‘Ariyyah) ?
2. Bagaimana penjelasan tentang Qiradh ?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami penjelasan tentang pinjam-meminjam (‘Ariyyah)
2. Memahami penjelasan tentang Qiradh
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pinjam-Meminjam (‘Ariyyah)
1. Pengertian
’Ariyyah itu berasal dari kata fi’il madhi ‘Ara yang artinya berjalan, atau bisa
berasal dari masdar al i’tiwar yang artinya berganti-gantian1. Pemahaman dari yang
kata pertama yaitu seseorang yang hendak meminjam berjalan mendatangi orang
yang dipinjam. Sedangkan pemahaman dari kata kedua yaitu pinjam-meminjam
dilakukan pada orang-orang yang berbeda dan secara berganti-gantian.
‘Ariyyah dalam istilah ilmu fiqh memiliki pengertian yang berbeda-beda. Menurut
Ulama hanafiyyah dan malikiyyah ‘Ariyyah ialah menyerahkan kepemilikan
manfaat suatu benda dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan2. Sedangkan
menurut Ulama syafi’iyah, ‘Ariyah ialah seorang pemilik barang membolehkan
menggunakan manfaat barang yang halal digunakan manfaatnya, barangnya tetap
pada wujudnya dan dengan tanpa imbalan3.
Dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi hukum yang berbeda.
Hanafiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah adalah penyerahan
kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu artinya,
peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan atau
menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik barang.
sebab dia dianggap memiliki hak guna barang tersebut. Sedangkan Syafi’iyah
hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna
barang tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan
kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.
2. Dasar Hukum ‘Ariyah
a. Al-Qur’an
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫َوتَ َعا َونُوْ ا َعلَى ْالبِرِّ َوالتَّ ْق ٰو ۖى َواَل تَ َعا َونُوْ ا َعلَى ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن ۖ َواتَّقُوا َ ۗاِ َّن َ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا‬
‫ب‬
Artinya : “tolong menolonglah kalian dalam perbuatan baik dan ketakwaan,
dan jangan tolong-menolong pada perbuatan dosan dan permusuhan dan

1
Muhammad Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, (Jakarta : Dar Al Kutub Al Islamiyah, 2002),
hal. 310.
2
Muhammad Abdul Wahab, “Fiqh Pinjam Meminjam”, (Jakarta Selatan : Rumah Fiqh Publishing, 2018), hal. 6.
3
Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” (Libanon : Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 2003) Juz 2, hal.
239.
bertakwalah kalian kepada allah, sesungguhnya allah sangat pedih siksanya4”.
(Q.S. al Maidah. 2)
Meminjamkan barang kepada seorang muslim yang sangat membutuhkan
merupakan salah satu dari perbuatan baik yang dapat menumbuhkan
persahabatan dan menguatkan persaudaraan. Demikian ini merupakan
perbuatan yang terpuji, dan setiap perbuatan terpuji disyari’atkan oleh agama.
َ‫َويَ ْمنَعُونَ ْال َما ُعون‬
Artinya : “mereka enggan untuk memberikan bantuan5”. (Q.S. al Ma’un, 7)
Islam menganjurkan pemeluknya agar memberikan bantuannya pada setiap
perbuatan-perbuatan baik dan melarang pemeluknya menghalangi maupun
menghambat setiap perbuatan-perbuatan baik. Sedang kan meminjamkan
barang pada saudara yang membutuhkan termasuk perbuatan baik.
b. Hadis
َ hَ‫ فَق‬,‫و َم ُحنَي ٍن‬hhَ‫ا ي‬hh‫هُ ُدرُو ًع‬h‫تَ َعا َر ِمن‬h‫صلَّي هللاُ َعلَي ِه و َسلَّ َم اس‬
‫ال‬h َّ ِ‫صف َوانَ بِن ُأ َميَّةَ رضي هللا عنه "َأ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ َ ‫عَن‬
‫َأغَصبٌ يَا ُم َح َّم ُد ؟ قال بَل عَاريَّةٌ َمض ُمونَةٌ" َر َواهُ َأبُو دَا ُوو َد َوالنَّ َساِئ ُّي وَأح َم ُد‬.
Artinya : “diriwayatkan dari Safwan bin Umayyah R.A. bahwasanya nabi
Muhammad meminjam baju perang darinya pada perang hunain, kemudia ia
bertanya, apakah kamu menngambilnya dengan paksa wahai muhammad?,
Nabi menjawab, akan tetapi ini adalah meminjam yang dijamin 6”. (H.R. Abu
Dawud, An Nasa’i dan Ahmad)
Dari hadis ini dipahami bahwa Rasulullah pernah meminjam baju perang salah
satu sahabatnya ketika perang hunain dengan memberikan imbalan. Artinya,
beliau mengembalikan barang pinjaman itu setelah selesai meminjam dan
menambahi dengan imbalan.
‫ رواه‬,ُ‫ه‬hَ‫ َذت َحتَّي تَُؤ ِّدي‬h‫ا َأ َخ‬hh‫ ِّد َم‬hَ‫ َعلَي الي‬: ‫لَّ َم‬h‫ ِه َو َس‬h‫لَّي هللاُ َعلَي‬h‫ص‬
َ ِ‫ قَا َل َرسُو ُل هللا‬: ‫ب قَا َل‬
ٍ ‫عَن َس ُم َرةَ بِن جُن َد‬
‫أحمد‬.
Artinya : “diriwayatkan dari sumarah bin Jundab, ia berkata, Rasulullah
bersabda, ditangan orang yang meminjam biaya yang digunakan sampai
barangnya dikembalikan7”. (H.R. Ahmad)
Dari hadis ini dipahami bahwa, biaya yang digunakan untuk keperluan barang
yang sedang dipinjam itu ditanggung oleh yang meminjam sampai ia
mengembalikannya pada pemilik barang.

4
Syamil Quran, Al Quran Q.S. Al-Maidah/6:2
5
Syamil Quran, Al Quran Q.S. Al-Ma’un/107:7
6
Ahmad bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, (Jakarta : Dar Kutub Islamiyyah, 2002), hal. 164.
7
Ahmad bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, . . . hal. 164
‫أعطهم‬hh‫لي ف‬hh‫ك رس‬hh‫ اذا أتت‬,‫لم‬hh‫ قال لي رسول هللا صلي هللا عليه وس‬: ‫عن يعلي بن أمية رضي هللا عنه قال‬
‫د‬h‫ رواه أحم‬.‫ؤداة‬h‫ة م‬h‫ل عاري‬h‫ال ب‬h‫ ق‬,‫ؤداة‬h‫ة م‬h‫مونة أو عاري‬h‫ة مض‬h‫ول هللا أعاري‬h‫ا رس‬h‫ قلت ي‬,‫ثالثين ذرعا‬
‫والنسائي وأبو داوود‬
Artinya : “diriwayatkan dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata, Rasulullah SAW.
Bersabda, apabila utusanku mendatangimu, maka berikan mereka tiga puluh
baju perang. Saya bertanya, apakah pinjaman yang dijamin atau pinjaman
yang dikembalikan?. Rasullah menjawab, itu pinjaman yang dikembalikan 8”.
(H.R. Ahmad, an Nasa’i dan Abu Dawud)
Dari hadis ini dipahami bahwa seseorang yang meminjam barang itu bisa
mengembalikan barang pinjaman tanpa harus memberikan biaya atau imbalan
meminjam.
3. Rukun-Rukun Pinjam-Meminjam
Akad pinjam-meminjam (‘ariyah) memiliki empat rukun, yaitu orang yang
meminjam, orang yang meminjamkan, barang pinjaman dan serah terima9.
a. Orang yang Meminjam
Orang yang meminjam barang pinjaman harus diketahui orangnya dan
bijaksana dalam menggunakan barang pinjaman.
b. Orang yang Meminjamkan
Orang yang meminjamkan barang pinjaman harus baligh, berakal, pemilik
manfaat barang pinjaman, dan bukan orang yang dibatasi pada barang
pinjaman karena kebodohannya, seperti anak kecil.
c. Barang Pinjaman
Barang Pinjaman menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika
memenuhi tiga hal berikut:
1) Barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk
dimanfaatkan dan tidak digunakan untuk tujuan yang diharamkan 10.
Seperti, meminjam pisau untuk menyembelih hewan curian atau meminam
linggis untuk merusak pintu rumah orang lain.
2) Barang pinjaman tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus
memusnahkan atau menghabiskannya11. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah
jika yang dipinjamkan adalah barang yang habis pakai seperti makanan,
sabun, lilin, rokok dan sebagainya.

8
Ahmad bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, . . . hal. 164
9
Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” . . . Juz 3, hal. 240.
10
Muhammad Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal. 310.
11
Muhammad Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal. 311.
3) Barang Pinjaman tersebut diambil manfaatnya setelah meminjamnya pada
waktu seketika itu juga atau digunakan belakangan apabila barang yang
dipinjam itu hanya bisa digunakan manfaatnya di waktu berikutnya 12.
Contoh barang pinjaman yang digunakan pada waktu belakangan seperti
kuda kecil yang bisa diambil manfaatnya setelah ia dewasa.
d. Serah Terima
Serah terima barang pinjaman bisa menggunakan ucapan, isyarah atau
perbuatan yang menunjukan pemberian izin manfaat barang pinjaman tanpa
imbalan.
4. Jenis Pinjam-Meminjam
Pinjam-meminjam memiliki dua macam kategori yaitu, akad pinjaman muthlak dan
akad pinjaman muqayyad.
a. Akad Pinjaman Muthlak
Akad pinjaman muthlak artinya seseorang meminjamkan barangnya tanpa
dibatasi waktunya sama sekali dan boleh mengambil barang yang dipinjamkan
kapan saja dengan memperhatikan kondisi orang yang dipinjami.
b. Akad Pinjaman Muqayyad
Akad pinjaman muqayyad artinya seseorang meminjamkan barangnya dibatasi
dengan waktu tertentu dan aturan tertentu. Orang yang meminjamkan tidak
boleh mengambil barangnya sebelum habis waktu yang ditentukan dan orang
yang meminjam tidak boleh menggunakan barang pinjaman tidak sesuai
dengan aturan yang ditentukan dan tidak boleh pula terlambat waktu
mengembalikan kecuali ada kejadian yang tidak diinginkan13.
5. Hukum Pinjam-Meminjam
‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya memiliki empat macam tergantung pada
kondisi yang menyertainya. Yaitu :
a. Sunnah
Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika orang yang meminjam merasakan
manfaat dari barang pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi
pemilik barang.
b. Wajib
Meminjamkan barang hukumnya wajib jika orang yang meminjam benar-benar
membutuhkan barang pinjaman tersebut untuk menjaga nyawanya atau

12
Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah”, . . . hal. 241.
13
Taqiyuddin Abi Bakar, “Kifayat Al Akhyar fi Halli Ghoyat al Ikhtishar”, (Kairo : Dar ibn Jawzi, 2015), hal.275.
menyembuhkan penyakitnya dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik
barang.
c. Haram
Meminjamkan barang hukumnya haram jika orang yang meminjam
menggunakan barang pinjaman tersebut untuk kemaksiatan atau hal yang
dilarang agama14.
d. Makruh
Pinjam-meminjam barang hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak
pada hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja
kepada seorang kafir15.
B. Qiradh
Istilah Qiradh dikemukakan oleh Ulama Hijaz, Sedangkan Ulama’ Iraq,
menyebutnya dengan istilah Mudharabah16. Walupun terjadi perbedaan istilah
dikalangan Ulama Iraq dan Hijaz, keduanya tetap memeliki penjelasan dan pemaknaan
yang sama.
1. Pegertian
Lafazh Qiradh menurut bahasa adalah berasal dari lafazh Qardhu dengan
makna Qat’u artinya memutus. Sedangkan menurut syara’ ialah satu akad
penyerahan harta yang dilakukan oleh pemiliknya kepada seseorang supaya
memperdagangkan harta tersebut dan keuntungannya dibagi berdua serta
kerugianya ditanggung oleh pemilik harta17.
Sedangkan menurut Ulama fiqh, Qiradh ialah akad diantara dua orang yang
melakukan perjanjian, agar salah satunya memberikan harta miliknya kepada
seseorang yang lain supaya diperdagangkan olehnya, dengan bagian keuntungan
yang besar dan diketahui serta dengan syarat-syarat tertentu18.
Dari pengertian di atas, bisa dipahami bahwa akad Qiradh kerjasama dalam
perdagangan ataupun penjualan antara pemilik modal dan pekerjanya dengan
kontrak perjanjian kerja dan bagian pasti bagi pekerja dari keuntungan yang
dihasilkan. Bagian untuk pekerja bisa separuh atau sepertiga dari hasil perdagangan
tersebut.
2. Dasar Hukum Qiradh
14
Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” (Libanon : Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 2003) Juz 2, hal.
239.
15
Muhammad Abdul Wahab, “Fiqh Pinjam Meminjam”, . . . hal. 8.
16
Muhammad Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2009), hal. 97.
17
Muhammad Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal. 319.
18
Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah” (Libanon : Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 2003) Juz 3, hal.
34.
a. Al-Qur’an
‫يس عَلي ُكم ُجنَا ٌح َأن تَبتَ ُغوا فَضاًل ِمن َّربِّ ُكم‬
َ َ‫ ل‬. . .
Artinya : “bukanlah suatu kesalahan bagi kalian jika mencari keutamaan atau
karunia dari tuhan kalian”19. (Q.S. al-Baqarah. 198)
Dari ayat ini, bisa dipahami bahwa mencari karunia atau keutamaan dari tuhan
itu ialah mencari keuntungan, baik melalui jual beli ataupun kontrak kerja
(Qiradh).
b. Hadis
َ ‫ َوال ُمقَا َر‬,‫ البَي ُع اِلَي َأ َج ٍل‬,ُ‫ث فِي ِه َّن البَ َر َكة‬
ِّ‫ َو َخلطُ البُر‬,ُ‫ضة‬ َّ ِ‫ض َي هللاُ عَنهُ َأنَ النَب‬
ٌ ‫ ثَاَل‬,‫ي قَا َل‬ ِ ‫ب َر‬
ٍ ‫صهَي‬
ُ ‫عَن‬

ِ َ‫ت اَل لِلب‬


‫ رواه ابن ماجه‬.‫يع‬ ِ ‫بِال َش ِع‬.
ِ ‫ير لِلبَي‬
Artinya : “diriwayatkan dari Shuhaib R.A. bahwasanya Nabi pernah berkata,
ada tiga hal yang didalamnya ada keberkahan, yaitu berjual pada waktunya,
dan kerja sama (bagi hasil.pen.), dan mencampur beras bagus dengan beras
jelek untuk keperluan rumah, bukan untuk berjualan”20.(H.R. Ibn Majah)
Dari hadis ini, dapat dipahami bahwa akad kerjasama atau bagi hasil (Qiradh)
merupakan kesunnahan yang memiliki keberkahan dan pernah dilakukan oleh
Rasulullah dengan Siti Khodijah sebelum keduanya menikah. Pada waktu itu
Rasullah membawa harta siti khodijah ke negara Syam untuk diperdagangkan.
‫عن حكيم بن حزام رضي هللا عنه أنه كان يشترط علي الرجل اذا أعطاه ماال مقارضة أن ال تجعل مالي‬
.‫ فان فعلت شيئا من ذلك فقد ضمنت مالي‬,‫ وال تنزل به في بطن مسيل‬,‫ رطبة وال تحمله في بحر‬h‫في كبد‬
‫رواه الدارقطني‬.
Artinya : “diriwayatkan dari Hakim bin Hizam R.A. bahwasanya Dia
mensyaratkan kepada seorang laki-laki yang diberikan hartanya agar tidak
menggunakan hartaku membeli hewan hidup, tidak membawanya ke laut, dan
tidak meletakkanya ditempat air mengalir”. (H.R. ad Daruquthni)
Dari hadis ini, dapat dipahami bahwa akad Qiradh bisa dilakukan dengan
menentukan syarat-syarat yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama.
3. Syarat dan Rukun Qiradh
Syarat Qiradh adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai
akad Qiradh. Apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi salah satunya, maka tidak
dapat dikatakan sebagai akad Qiradh. Adapun syarat-syarat Qiradh ada empat,
yaitu :

19
Syamil Quran, Al Quran Q.S. al Baqarah/2:198.
20
Ahmad bin Ali, “Bulughul Maram min Adillat al Ahkam”, . . . hal. 167.
a. Akad Qiradh menggunakan bentuk uang ataupun harta lain yang dapat dijadikan
modal dagang pada umumnya dengan besaran ukuran modal yang diketahui dan
sepakati oleh pemilik dan pekerja.
b. Pemilik harta (modal) dalam akad Qiradh memberikan izin pada pekerja untuk
digunakan dalam perdagangan tanpa menuntut pekerja dengan ketentuan-
ketentuan yang mempersempit dan mempersulit perdagangan.
c. Pemilik harta (modal) menentukan bagian pasti bagi pekerja dari keuntungan
yang dihasilkan dalam perdagangan sewaktu akad , misalnya seperdua atau
sepertiga dari jumlah keuntungan.
d. Akad Qiradh tidak dipastikan waktu berakhirnya akad. Walaupun begitu,
pemilik modal ataupun pekerja memiliki wewenang yang sama untuk
mengakhiri Qiradh terdapat sesuatu yang mencederai dasar Qiradh, yaitu
kepercayaan (amanah21).
Sedangkan rukun Qiradh adalah adanya serah terima (ijab-qobul) dengan
menggunakan kalimat ataupun tulisan yang dapat dipahami menunjukkan tentang
Qiradh, seperti ucapan “ambillah harta ini dan pergunakanlah untuk pekerjaan22”.
Dari persyaratan dan rukun di atas, bisa dipahami bahwa Qiradh yang tidak
memenuhi salah satu persyaratan ataupun rukun tersebut tidak bisa dikatakan
Qiradh.
4. Macam-Macam Qiradh
Qiradh ada dua macam, yaitu qiradh mutlak (al-mutlaq) dan qiradg terikat
(almuqayyad).
a. Qiradh mutlaq (mutlak) adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha
tanpa memberikan batasan, seperti berkata “saya serahkan uang ini kepada mu
untuk diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi di antara kita, masing-
masing setengah atau sepertiga, dan lain-lain”.
b. Qiradh muqayyad (terikat) adalah penyerahan modal seseorang kepada
pengusaha dengan memberikan batasan. Seperti persayaratan bahwa pengusaha
harus berdagang di daerah gunung tua atau harus berdagang sepatu, atau
membeli barang dari orang tertentu, dan lain-lain.
Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad memperbolehkan memberi batasan dengan
waktu dan orang, tetapi ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya. Ulama’
Hanafiyah dan Ahmad pun membolehkan akad apabila dikaitkan dengan masa yang

21
Muhammad Nawawi, “Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim”, . . . hal. 321.
22
Abdur Rahma Al Jazari, “Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah”, Juz 3, . . . hal. 36.
akan datang, seperti, “Usahakan modal ini mulai bulan depan,” sedangkan ulama’
Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.23
5. Hukum dan Cara Pelaksanaan Qiradh
a. Hukum
Dalam akad Qiradh terdapat kemaslahatan yang banyak bagi manusia,
sehingga syari’at membenarkannya. Adapun hukum Qiradh ada dua, yaitu
Sunnah dan Mubah. Kesunnahan Qiradh ini dilandasi dengan kaidah fiqh yang
maksudnya yaitu menjaga pekerjaan yang didalamnya terdapat kemaslahatan
dianjurkan oleh syari’at. Sedangkan kemubahan qiradh didasari kaidah yang
mengatakan bahwa hukum asal mu’amalah adalah mubah (boleh) kecuali ada
dalil yang menjelaskan keharamannya.
b. Cara Pelaksanaan
Karena orang yang bekerja wajib ikhlas dan atas dasar kepercayaan maka,
pekerja dalam segala urusan yang bersangkutan dengan qiradh, hendaklah ia
dibenarkan dengan semua sumpahnya apabila ia mengatakan tidak mendapat
keuntungan atau hanya memperoleh sedikit keuntungan. Begitu juga banyak
dan sedikitnya modal, atau dia mengatakan bahwa modalnya hilang, semua
pengakuan tersebut hendaklah diperkuat dengan sumpahnya.
Sedangkan apabila orang yang bekerja dan yang punya modal berselisih
tentang pembagian keuntungan, semisal, orang yang bekerja mengatakan untuk
dia seperdua, sedangkan yang punya modal sepertiga, kedua-duanya hendaklah
besumpah, dan orang yang bekerja di beri keuntungan menurut kebiasaan yang
berlaku di tempat dan waktu itu.
Akad qiradh adalah akad saling percaya. Maka apabila ada barang yang hilang,
yang bekerja tidak wajib mengganti, kecuali jika karena kelalaiannya.
Kerugian hendaklah ditutupi (diganti) dengan keuntungan. Kalau masih juga
rugi, kerugian itu hendaklah dipikul oleh pemilik modal, sedangkan pekerja
tidak dituntut untuk mengganti kerugian.

BAB III
23
Ferdy Saputra, Amar Maulana, “Pemahaman Masyarakat Tentang Mudharabah (Qiradh), Hiwalah, Dan Syirkah
Dalam Islam”, Jurnal Maqasidi, Vol. 01. No.1. 2014, hal. 65.
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pinjam-meminjam (‘Ariyah) adalah penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda
dalam jangka waktu tertentu atau hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan
barang, bukan memiliki hak guna barang. Sedangkan qiradh adalah kerjasama
dalam perdagangan ataupun penjualan antara pemilik modal dan pekerjanya dengan
kontrak perjanjian kerja dan bagian pasti bagi pekerja dari keuntungan yang
dihasilkan.
2. Pinjam-meminjam (‘Ariyah) dan qiradh sama-sama memiliki landasan hukum dari
Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW.
3. Akad pinjam-meminjam (‘ariyah) memiliki empat rukun, yaitu orang yang
meminjam, orang yang meminjamkan, barang pinjaman dan serah terima.
Sedangkan qiradh rukunya adalah adanya serah terima (ijab-qobul) dengan
menggunakan kalimat ataupun tulisan yang dapat dipahami menunjukkan tentang
qiradh dan syarat Qiradh ada empat, yaitu menggunakan bentuk uang ataupun harta
lain, pemilik harta (modal) dalam akad qiradh memberikan izin pada pekerja untuk
digunakan dalam perdagangan, pemilik harta (modal) menentukan bagian pasti bagi
pekerja dari keuntungan, dan akad qiradh tidak dipastikan waktu berakhirnya akad.
4. ‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya memiliki empat macam tergantung pada
kondisi yang menyertainya, yaitu sunnah, wajib, haram dan makruh. Sedangkan
qiradh hukumnya ada dua, yaitu Sunnah dan Mubah.
5. Akad qiradh adalah akad saling percaya. Maka dalam pelaksanaanya, apabila ada
barang yang hilang, yang bekerja tidak wajib mengganti, kecuali jika karena
kelalaiannya. Kerugian hendaklah ditutupi (diganti) dengan keuntungan. Kalau
masih juga rugi, kerugian itu hendaklah dipikul oleh pemilik modal, sedangkan
pekerja tidak dituntut untuk mengganti kerugian.
B. Saran
Demikian makalah ini ditulis, apabila ada kesalahan yang terdapat dalam makalah
ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Ciputat, PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah,
2010.

Nawawi Muhammad, Qut al Habibi al Ghoribi Tawsyeh ‘ala Ibn Qosim, Jakarta : Dar Al
Kutub Al Islamiyah, 2002.

Abdul Wahab Muhammad, Fiqh Pinjam Meminjam, Jakarta Selatan, Rumah Fiqh
Publishing, 2018.

Al Jazari Rahma Abdur, Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah, Libanon, Dar al Kutub al
‘Ilmiyah, 2003, Juz 2.

Abdur Rahma Al Jazari, Kitab al Fiqh al Mazdahib al Arba’ah, Libanon, Dar al Kutub al
‘Ilmiyah, 2003, Juz 3.

Syamil Quran, Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia, Surabaya, Halim,


2013.

Ali bin Ahmad, Bulughul Maram min Adillat al Ahkam, Jakarta, Dar Kutub Islamiyyah,
2002.

Bakar Abi Taqiyuddin, Kifayat Al Akhyar fi Halli Ghoyat al Ikhtishar, Kairo, Dar ibn Jawzi,
2015.

Afandi Yazid Muhammad, Fiqh Muamalah, Yogyakarta, Logung Pustaka, 2009.

Ferdy Saputra, Amar Maulana, “Pemahaman Masyarakat Tentang Mudharabah (Qiradh),


Hiwalah, Dan Syirkah Dalam Islam”, Jurnal Maqasidi, Vol. 01. No.1. 2014.

Anda mungkin juga menyukai