Anda di halaman 1dari 15

Makalah

Akad Ariyah (Pinjaman)


Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: M. Agus Yusron Nafi’ S.Ag., M.SI

Disusun Oleh:
1. Muhammad Roisul Muttaqin (1910110048)
2. Muhammad Syaroful Anam (1910110058)
3. Zulia Rokhmawati (1910110060)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat,
taufiq, serta hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Ariyah
(Peminjaman) ini dengan baik. Sholawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing kami dari jalan
kegelapan menuju jalan yang terang yakni Agama Islam.
Makalah ini memuat pendahuluan, pembahasan, penutup dan daftar pustaka. Makalah
ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah, prodi Pendidikan Agama
Islam semester 2 Fakultas Tarbiyah IAIN KUDUS.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beberapa pihak yang
berperan dalam penyusunan makalah ini. Dengan menggunakan makalah ini, semoga dapat
membantu proses kegiatan belajar dalam memahami metode-metode dalam islam.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini belum bisa dikatakan mencapai tingkat
kesempurnaan, Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna
meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya. Mohon maaf apabila ada kesalahan cetak
atau kutipan-kutipan yang kurang berkenan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Amiiiin

Kudus, Maret 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudah tidak asing lagi kata istilah pinjam-meminjam dalam kehidupan sehari-hari
kita. Pada asalnya, manusia adalah makhluk social yang tidak bisa hidup tanpa
kemasyarakatan. Hidup dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan kehidupan dan tanpa kita sadari pula kita
melakukan yang namanya Aariyyah (pinjam-meminjam). Pinjam meminjam kita lakukan
baik itu barang, uang ataupun lainnya. Terlebih saat ini banyak kejadian pertikaian ataupun
kerusuhan di masyarakat dikarenakan pinjam meminjam. Dan tidak heran kalau hal ini
menjadi persoalan setiap masyarakat dan membawanya ke meja hijau. Hal ini terjadi
dikarenakan ketidak fahaman akan hak dan kewajiban terhadap yang dipinjamkan.
Berbicara mengenai pinjaman (Aariyyah), penulis berminat untuk membahas tuntas
mengenai Aariyyah itu sendiri dari pengertian, hukum, syarat, rukun, macam-macam,
kewajiban dan lainnya mengenai pinjam meminjam (Aariyyah) agar tidak ada kesalah
pahaman mengenai pinjam meminjam ini.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Ariyah

Al-Ariyah terambil dari kata aara yang artinya pergi dan datang. Al-‘Ariyah adalah
meminjamkan suatu benda kepada orang lain untuk diambil manfaat atas benda tersebut,
dengan ketentuan dikembalikan setelah selesai digunakan kepada pemiliknya dan pada saat
pengembalian benda tersebut harus dalam keadaan utuh sesuai dengan awal peminjaman.
Contohnya, seseorang meminjam baju untuk dipakai maka ia harus mengembalikan lagi
kepada pemiliknya dalam keadaan seperti saat ia meminjam atau sesuai dengan perjanjian
yang telah ditetapkan.

Dalam hal ini para ulama’ fiqih ada sedikit perbedaan dalam menafsirkan ‘Ariyah,
tetapi maksud dan tujuannya tetap sama yaitu tolong menolong dalam hal pinjam meminjam
barang untuk diambil manfaatnya.

Berikut pandangan Ariyah menurut ulama’ fiqih:

1. Menurut Hanafiyah, pinjaman adalah memberikan hak memiliki manfaat secara


cuma-cuma.

‫تَ ْملِ ْي ُك ا ْل َمنَافِ ِع َم َجانًا‬

“Memiliki manfaat secara Cuma-cuma”

Sebagian ulama mengatakan bahwa Ariyah adalah “membolehkan” bukan


“memberikan hak milik”.

Pendapat ini tertolak dari dua segi, yaitu:

A. Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan


memberikan hak milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan kecuali dengan tujuan
meminjam pengertian memberikan hak milik.
B. Bahwasannya orang yang meminjam boleh meminjamkan sesuatu yang ia pinjam
kepada orang lain jika sesuatu tersebut tidak akan berbeda penggunaannya dengan perbedaan
orang yang menggunakan baik dari segi kekuatan atau kelemahannya. Seandainya
meminjamkan itu hanya membolehkan, maka orang yang meminjam tidak sah meminjamkan
kepada orang lain.

2. Menurut Malikiyah

ٍ ‫“ تَ ْملِ ْي ُك َم ْنفَ َع ِة ُمؤَ قَّتَ ِة اَل بِ َع ْو‬Memiliki manfaat dalam waktu tertentu
Pinjaman adalah ‫ض‬
dengan tanpa imbalan”. Jadi jika mengikuti pendapat Malikiyah ‘Ariyah didefinisikan
lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu yang dipinjam.
Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara
waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh: meminjamkan/memberikan hak memiliki manfaatnya
motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa ongkos. Atau manfaat bajak untuk
membajak tanah pada masa yang ditentukan.Maka pemberian hak memiliki manfaat tersebut
dinamakan „ariyah (meminjamkan).

3. Menurut Syafi‟iyah

Pinjaman adalah membolehkan mengambil manfaat dari orang yang mempunyai


keahlian melakukan derma dengan barang yang halal diambil manfaatnya dalam keadaan
barangnya masih tetap utuh untuk dikembalikan kepada orang yang melakukan kesukarelaan.

‫اع بِ ِه َم َع بَقَا ِء َع ْينِ ِه لِيَ َر َّدهُ َعلَى‬ ِ ‫ص فِ ْي ِه أَ ْهلِيَ ِة التَّبَ ُّر‬


ِ َ‫ع بِ َما يُ ْح ِن اإْل ِ ْنتِف‬ ِ َ‫احةُ اإْل ِ ْنتِف‬
ٍ ‫اع ِمنْ ش َْح‬ َ َ‫إِب‬
ِ ‫ا ْل ُمتَبَ ِر‬
‫ع‬

“Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, mungkin


untuk dimanfaatkan, tetapi barang yang dipinjamkan dapat dikembalikan kepada
pemiliknya”.

4. Menurut Hanabilah (Hambali)

Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya
atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara
mutlak dengan tanpa imbalan atau ongkos.

‫ستَ ِع ْي ِر اَ ْو َغ ْي ِر ِه‬ ٍ ‫احةُ نَ ْف ِع ا ْل َع ْي ٍن بِ َغ ْي ِر ع َْو‬


ْ ‫ض ِمنَ ا ْل ُم‬ َ َ‫إِب‬
“Kebolehan memanfaatkan suatu barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang
lainnya.”

B. Hukum ‘Ariyah

Hukum Al-‘Ariyah adalah Sunnah, berdasarkan firman Allah:

۟ ُ‫وا َعلَى ٱ ْلبِ ِّر َوٱلتَّ ْق َو ٰى َواَل تَ َعا َون‬


... ‫وا َعلَى ٱإْل ِ ْث ِم َوٱ ْل ُع ْد ٰ َو ِن‬ ۟ ُ‫وتَ َعا َون‬...
َ

Artinya :

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebijakan dan taqwa, dan
jangan tolong menolong dakam berbuat dosa dan permusuhan”( QS. Al Maidah Ayat 2)

Demikian pula, dalam hal pinjam-meminjam, hendaknya sebagian kamu


memudahkan sebagian yang lain. Sabda Nabi SAW., "Apabila seorang meminjami orang
lain, janganlah ia mengambil hadiahnya. Dan hukum meminjami orang atau menolong orang
untuk berbuat kejahatan baginya pertolongan atau barang yang diberikan yang digunakan
untuk berbuat dosa dan maksiat."

Sabda Nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

(‫صيَةٌ )رواه مسلم‬ ِ َ‫َمنْ أَعَانَ َعلَى ن‬


ِ ‫ص ْيبَ ٍة فَ ُه َو َم ْع‬

"Barang siapa yang menolong kemaksiatan (berbuat dosa) ia pun turut maksiat atau ia
pun turut melakukan berbuat dosa." (H.R. Muslim)

C. Rukun 'Ariyah
Rukun al- 'ariyah ada empat, yaitu sebagai berikut.

1. Orang yang meminjamkan (Al- mu'iir) dengan syarat: dewasa, atas keleraan
sendiri, bukan karena paksaan.
2. Orang yang Meminjam (Al- musta'ir) dengan syarat balig, safih (tidak pemboros),
dan sehat akalnya.
3. Barang yang dipinjamkan (Al- mu'ar); barang yang dipinjamkan adalah barang
milik orang yang meminjamkan, bukan milik orang lain.
4. Shighat, yaitu bentuk ungkapan pemberian pinjaman, baik secara lisan maupun
tulisan.
Menurut Hanafiyah rukun aariyyah ada satu yakni ijab dan qobul, dan ijab dan qobul
itu harus ada karena aariyyah itu pindah kepemilikan, dan aariyyah tidak sah tanpa ijab dan
qobul. Ijab dan qobulnya tidak disyaratkan harus dengan lafadz, mungkin cukup
menyerahkan barang pinjaman kepada si peminjam.
D. Syarat-syarat dalam ‘Ariyah
1. Syarat Muiir (Orang yang memberi pinjaman)
Syaratnya, dia haruslah orang yang memiliki kelayakan untuk bertransaksi tabarru
atau orang yang mempunyai kewenangan untuk menyumbang secara sukarela tanpa paksaan.
Sebab aariyyah merupakan transaksi tabarru. Dan juga disyaratkan telah dewasa, berakal dan
dilakukan tanpa paksaan. Begitu juga menurut Syafiiyah, Hanabilah, Malikiyah disyaratkan
bagi yang memberi pinjaman bukan orang yang diisolasi, entah karena kebodohannya atau
bangkrut. Syarat dari al-muir juga ialah berakal (mumayyiz), maka tidak sah pinjam
meminjam dilakukan oleh anak kecil dan orang gila, menurut para ulama madzhab Hanafi
tidak disyaratkan baligh pada akad ini.
2. Syarat Mustaiir (Orang yang meminjam)
Syaratnya, dia mampu menerima, baligh, berakal. Dan peminjam harus ditayiin (jelas
orangnya).
3. Syarat Mustaar/ Muaar (Barang yang dipinjamkan)
Setiap barang yang dimiliki, yang bisa dimanfaatkan, dan tetap utuh nilai benda
tersebut. Dan dilarang meminjamkan sesuatu yang tidak boleh dimanfaatkan seperti ulat,
kumbang, dan sejenisnya. Karena di dalamnya tidak terkandung suatu manfaat. Dan yang
diperbolehkan yakni sesuatu yang boleh digunakan/diambil manfaatnya. Begitu pula jika
sesuatu itu bisa diambil manfaatnya tapi hukum asal sesuatu itu haram, maka pinjam
meminjam dalam hal ini juga tidak diperbolehkan.
Seperti meminjamkan anjing yang liar untuk menjaga keamanan, ini tidak
diperbolehkan karena seharusnya anjing tidak untuk dipelihara.
4. Syarat Shighot
Lafadznya menunjukkan perizinan untuk menggunakan atau memanfaatkan suatu
barang.
E. Perbedaan Al-'Ariyah dengan Jual Beli
Perbedaan al-'ariyah dengan jual beli adalah sebagai berikut.

Jual beli merupakan suatu ikatan yang mengandung pertukaran harta dengan harta dan
masing-masing pihak menyerahkan prestasi kepada pihak lainnya sebagai alat penukar.
Adapun al-'ariyah, tidak ada bentuk imbalan apa pun dari pinjaman untuk memberikan
sesuatu sebagai jasa peminjaman nya karena hanya bersifat tolong-menolong.

F. Perbedaan Al-‘Ariyah dengan Al-Ijarah

Sewa-menyewa (ijarah) adalah akad (transaksi perikatan), peberian kemanfaatan


(jasa) kepada orang lain dengan syarat memakai iwad (penggantian/balas jasa), baik berupa
uang maupun barang yang ditentukan. Jadi, ijarah membutuhkan orang yang memberi jasa
dan yang memberi upah sebagai imbalan.

Ulama’ fiqh memberikan definisi lebih lanjut tentang ijarah. Ulama’ Hanafiyah
mengatakan bahwa al-ijarah adalah transaksi terhadap setiap manfaat dengan imbalan
(iwadh), sedangkan ulama’ Syafi’iyah menyatakan al-ijarah adalah transaksi terhadap suatu
yang dituju, tertentu, serta bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.

Dari definisi tersebut, para ulama menentukan rukun al-ijarah hanya ijab dan kabul,
sedangkan jumhur ulama menyatakan bahwa rukun al-ijarah dan al-aqid (orang yang
mengadakan transaksi sewa-menyewa), adanya imbalan, manfaat, dan ijab kabul.

Sewa-menyewa dalam sistem ekonomi modern adalah bagian hasil tanah yang
dibayarkan kepada tuan tanah untuk menggunakan kekayaan tanah asli dan tidak dapat rusak
(Irfan Mahmud Ra’ana, 1999: 74). Adapun menurut ekonomi islam, sewa merupakan nilai
surplus yang diberikan kepada pemilik barang, yang tidak hanya pada pertanian, tetapi juga
pada barang dan jasa lainnya.

Pada dasarnya al-ijarah dianjurkan dalam islam, tetapi bergantung pada cara
operasionalisasi al-ijarah dalam kenyataan sehingga dapat diakui secara hukum. Oleh karena
itu, ada beberapa aspek yang menyebabkan al-ijarah tersebut dilarang. M. Syafi’i Antonio
(1999: 146-148) menyebutkan beberapa hal yang harus diperhatikan menyangkut ijarah agar
terhindar dari larangan hukum, yaitu sebagai berikut.

1. Objek al-ijarah berbentuk jasa dari benda, seperti menyewa mobil, rumah, atau
lainnya, jelas statusnya, baik dari segi syara’ maupun dari segi kepemilikannya. Di
samping itu, objek al-ijarah harus langsung dapat dimanfaatkan, artinya barang
sewaanharus langsung diserahkan.
2. Pihak yang berkontrak harus mengerti isi kontrak, misalnya mengetahui awal
kontrak dan waktu berakhirnya kontrak. Hal ini harus dilakukan secara verbal
dengan adanya saksi dan sebaiknya dalam bentuk tertulis. Ulama fiqh sepakat bahwa
orang yang mengadakan akad harus memahami apa yang mereka lakukan dalam
melakukan kontrak
3. Shighat atau syarat al-ijarah harus sejalan karena dengan adanya shighat, keduanya
terikat dengan syarat yang dibuat dan harus sesuai dengan asas manfaat al-ijarah
agar terhindar dari ketidaktahuan tentang objek sewa itu sendiri.
Akad sewa-menyewa tidak hanya dalam bentuk barang, tetapi juga dapat berupa jasa
atau tenaga, misalnya tenaga buruh atau tenaga hewan (sapi, kerbau dan lain-lain) yang
dimanfaatkan tenaganya atau pemakaian rumah tersebut, sedangkan statusnya tetap menjadi
milil orang yang mempunyai hewan atau rumah. Penyewa berkwajiban memberikan imbalan
berupa upah bagi tenaga manusia atau jasa sewa bagi pemakai tenaga buruh atau hewan, baik
berupa uang atau lainnya sesuai dengan perjanjian.
Sebagaimana sabda Nabi SAW:
‫َاب هّٰللا ِ رواه البخاري‬
ُ ‫ق َما أَ َخ ْذتُ ْم َعلَ ْي ِه أَ ْج ًرا ِكت‬
َّ ‫إِنَّ أَ َح‬
"Sesungguhnya yang berhak bagi kamu, yaitu mendapat atau mengambil upah, adalah
membaca Al-Qur'an." (H.R. Bukhari)
Bahkan, Nabi menganjurkan agar upah yang diberikan atau sewa hendaknya
diserahkan sebelum digunakan atau diambil jasanya. Hal yang di jelaskan oleh Nabi SAW.
Dalam sabdanya:
‫أُ ْعطُ ْوا اأْل َ ِج ْي َر أَ ْج َرهُ قَ ْب َل أَنْ يَ ِجفَّ ع َُرقُهُ رواه ماجه‬
"Berikanlah upah kepada buruhmu sebelum keringatnya kering." (H.R. Ibnu Majah)
Dalam penelitian upah, menurut ahli ekonomi, ada dua hal yang harus diperhatikan,
yaitu:
1. Upah di sesuaikan dengan tingkatan kebutuhan hidup;
2. Upah di tentukan oleh keseimbangan antara kekuatan permintaan dan
persediaan (teori produk marjinal) (M.A. Manan, 1992:116)
Dalam islam, penentuan upah tidak boleh merugikan kedua pihak. Pekerja dan
majikan harus saling jujur, terbuk Memegang prinsip keadilan. Ketidakadilan terhadap upah
oleh majikan kepada buruh dilarang oleh Nabi SAW. Sebagaimana sabdanya,
"Manusia tidak berhak atas bagian yang tidak diberikan bagian oleh Allah
kepadanya dan Allah memberikan kepada setiap orang haknya. Oleh karena itu, jangan
mengganggu apa yang dimiliki oleh orang lain."
Dalam hadits lain Nabi SAW. bersabda, "Kewajiban para majikan hanya menerima
pekerjaan yang mudah dilakukan oleh karyawannya. Jangan memperkerjakan mereka
sedemikian rupa sehingga berakibat buruk bagi kesehatannya."
G. Hak-hak pemanfaatan benda pinjaman
Jumhur ulama, selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa peminjam boleh
memanfaatkan benda pinjaman sesuai dengan izin pemiliknya. Menurut madzhab Hanafi
mengatakan bahwa hak-hak yang diberikan kepada peminjam dalam akad ini berbeda sesuai
dengan bentuk akad itu, apakah ia bersifat mutlak atau dibatasi.
1. Akad pinjam meminjam yang mutlak adalah jika seseorang meminjam sesuatu tanpa
menjelaskan apakah dia menggunakannya sendiri atau untuk orang lain. Dan tidak
menjelaskan bagaimana penggunaannya.
Maka konsekuensi dari akad ini, peminjam menempati posisi pemilik barang,
sehingga semua yang dilakukan pemilik terhadap barang itu dalam rangka mengambil
manfaat darinya juga boleh dilakukan oleh peminjam.
2. Akad pinjam meminjam yang dibatasi
Adapun akad yang ini adalah dibatasi waktu dan penggunaannya secara bersamaan atau salah
satunya. Konsekuensinya peminjam harus memperhatikan batasan itu semampunya.
H. Tanggung jawab peminjam
Status pinjaman termasuk amanah ditangan mustair, tetapi bisa juga menjadi
tanggungan karena beberapa hal, diantaranya : :
1. Barang tersebut sengaja dihilangkan
2. Dirusak
3. Dicuri
4. Menahannya ketika pemilik memintanya, atau setelah batasan peminjaman habis
5. Tidak menjaganya dalam masa penggunaan
6. Menyewakannya
Sehingga, beban dinisbatkan kepada mustair. Maka, kewajiban menanggungnya
dialihkan kepadanya dan pada kenyataannya, mustair mengambil manfaat dari peminjaman
tersebut sehingga sudah menjadi kewajiban mustair untuk mengembalikannya.
I. Menarik Barang Pinjaman
Ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum menarik kembali barang pinjaman.
Menurut Imam Syafi'i dan Abu Hanafiah, orang yang meminjamkan boleh
mencabut kembali barang yang dipinjamkan apabila dikehendakinya Karena akad pinjam-
meminjam hubungannya boleh.
Adapun Imam Malik berpendapat bahwa orang yang meminjamkan tidak boleh
mencabut kembali pinjamannya sebelum dipergunakan oleh pinjaman. Hal ini karena
al-'ariyah adalah bentuk pinjam-meminjam untuk memperoleh manfaat dari barang yang
dipinjam.
Perbedaan pendapat tersebut menurut Ibnu Rusyd (t.t.: 235: jilid III), disebabkan
perbedaan pemahaman atas bentuk akad pinjaman. Menurut Imam Syafi'i dan Abu Hanifah,
akad pinjaman itu tidak mengikat, sedangkan menurut Imam Malik, akad pinjaman itu
mengikat sehingga tidak boleh diambil kembali sampai barang pinjaman itu dimanfaatkan
oleh peminjam. Sebaliknya, Imam Syafi'i dan Abu Hanafah berpendapat akad pinjaman
tersebut tidak mengikat sehingga kapan pun pinjaman hendak mengambil barang
pinjamannya, hal itu dibolehkan.
J. Pengecualian Ariyah
Tidak semua akad ariyah diperbolehkan antara muir dan mustair. Ada beberapa
kriteria yang dilarang utuk dilakukan, diantaranya :
Dilarang meminjamkan senjata kepada orang kafir untuk memerangi kaum muslimin,
atau meminjamkan alat berburu ketika ihram, atau meminjamkna budaknya kepada oranglain.
Dan lainnya.
K. Hikmah dan Fadhilah Ariyah
Hikmah dan fadhilah yang dapat diambil bagi orang yang menjalankan ‘Ariyah antara
lain sebagai berikut.
1. Dilapangkan rizkinya
Allah telah berjanji dalam Surat Al-Baqarah Ayat 245 akan melapangkan rizqi bagi
hambanya yang meminjami saudaranya dengan pinjaman yang baik, berikut ini ayatnya;
َ‫سطُ َوإِلَ ْي ِه ت ُْر َجعُون‬ ُ ِ‫يرةً َوهَّللا ُ يَ ْقب‬
ُ ‫ض َويَ ْب‬ ْ َ‫ضا ِعفَهُ لَهُ أ‬
َ ِ‫ض َعافًا َكث‬ َ ُ‫سنًا فَي‬ ُ ‫َمنْ َذا الَّ ِذي يُ ْق ِر‬
ً ‫ض هَّللا َ قَ ْر‬
َ ‫ضا َح‬
“Barang siapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah
melipatgandakan ganti dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rizki) dan kepada-
Nyalah kamu dikembalikan”.
Kandungan isi pokok atau fokus ayat tersebut bermakna tentang anjuran Allah SWT.
kepada hambaNya untuk meminjami pinjaman yang baik kepada-Nya, karena pada dasarnya
harta yang dimiliki manusia itu hanyalah titipan Allah SWT semata yang diberikan untuk
kemaslahatan orang banyak bukan untuk dirinya sendiri semata, maka dari itu Allah SWT
menjanjikan ganjaran atau pahala yang banyak bagi orang yang menjadikan sebagian
hartanya untuk dipinjamkan kepada Allah SWT dalam bentuk bersedekah kepada orang fakir
dan miskin, ganjaran atau pahala tersebut adalah dilipatgandakan pinjaman tersebut.
2. Meningkatkan ketaqwaan
Dengan menjalankan prinsip-prinsip ‘Ariyah yang sesuai dengan syari’at Islam, maka
akan dapat meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT, seperti yang difirmankan
Allah SWT dalam surat al-Ma‟idah (5) ayat 2:
‫ْي َواَل ا ْلقَاَل ئِ َد َواَل آ ِّمينَ ا ْلبَيْتَ ا ْل َح َرا َم‬ َ ‫ش ْه َر ا ْل َح َرا َم َواَل ا ْل َهد‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل ت ُِحلُّوا‬
َّ ‫ش َعائِ َر هَّللا ِ َواَل ال‬
‫س ِج ِد‬ْ ‫َن ا ْل َم‬ِ ‫صدُّو ُك ْم ع‬ َ ْ‫شنَآنُ قَ ْو ٍم أَن‬ َ ‫اصطَادُوا ۚ َواَل يَ ْج ِر َمنَّ ُك ْم‬ ْ َ‫ض َوانًا ۚ َوإِ َذا َحلَ ْلتُ ْم ف‬ ْ ‫ضاًل ِمنْ َربِّ ِه ْم َو ِر‬ ْ َ‫يَ ْبتَ ُغونَ ف‬
‫ش ِدي ُد‬ ِ ‫اونُوا َعلَى اإْل ِ ْث ِم َوا ْل ُعد َْو‬
َ َ ‫ان ۚ َواتَّقُوا هَّللا َ ۖ إِنَّ هَّللا‬ َ ‫اونُوا َعلَى ا ْلبِ ِّر َوالتَّ ْق َو ٰى ۖ َواَل تَ َع‬َ ‫ا ْل َح َر ِام أَنْ تَ ْعتَدُوا ۘ َوتَ َع‬
ِ ‫ا ْل ِعقَا‬
‫ب‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-
kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya. (Q.S. al-Maidah: 2)
3. Diampuni dosa dan dimasukkan kedalam surga
Dalam surat surat al-Maidah ayat 12 diterangkan bahwa bagi orang yang mau membantu
mereka yang membutuhkan dan memberikan pinjaman, maka Allah akan mengampuni
dosanya dan dimasukkan kedalam surgaNya, berikut ini adalah ayatnya :
َ‫صاَل ة‬ َّ ‫م ۖ لَئِنْ أَقَ ْمتُ ُم ال‬žْ ‫س َرائِي َل َوبَ َع ْثنَا ِم ْن ُه ُم ا ْثنَ ْي َعش ََر نَقِيبًا ۖ َوقَا َل هَّللا ُ إِنِّي َم َع ُك‬ ْ ِ‫ق بَنِي إ‬ َ ‫َولَقَ ْد أَ َخ َذ هَّللا ُ ِميثَا‬
‫سيِّئَاتِ ُك ْم َوأَل ُد ِْخلَنَّ ُك ْم‬
َ ‫سنًا أَل ُ َكفِّ َرنَّ َع ْن ُك ْم‬ ً ‫ضتُ ُم هَّللا َ قَ ْر‬
َ ‫ضا َح‬ ْ ‫سلِي َو َع َّز ْرتُ ُمو ُه ْم َوأَ ْق َر‬ ُ ‫َوآتَ ْيتُ ُم ال َّز َكاةَ َوآ َم ْنتُ ْم بِ ُر‬
ٰ
‫يل‬
ِ ِ ‫سب‬
َّ ‫س َوا َء ال‬ َ ‫ت ت َْج ِري ِمنْ ت َْحتِ َها اأْل َ ْن َها ُر ۚ فَ َمنْ َكفَ َر بَ ْع َد َذلِ َك ِم ْن ُك ْم فَقَ ْد‬
َ ‫ض َّل‬ ٍ ‫َجنَّا‬
“Dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan telah
Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya aku
beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta
beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik.Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya
kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungaisungai. Maka
Barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan
yang lurus”
Allah SWT menambahkan kenikmatan kepada orang-orang yang memberikan
pinjaman yang baik kepadanya, yaitu menghapus kesalahan-kesalahannya dan pasti akan
dimasukkan ke surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai
4. Mempererat tali silaturrahim
Dengan pinjam meminjam (‘Ariyah) dapat mempererat hubungan silaturrahim dengan
siapa saja, sehingga tercipta kerukunan dan kedamaian antar manusia seperti yang
difirmankan Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 1:
َ ِ‫ث ِم ْن ُه َما ِر َجااًل َكثِي ًرا َون‬
ۚ ‫سا ًء‬ ْ ‫ق ِم ْن َها‬
َّ َ‫زَو َج َها َوب‬ َ َ‫اح َد ٍة َو َخل‬
ِ ‫س َو‬ٍ ‫اس اتَّقُوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْم ِمنْ نَ ْف‬ ُ َّ‫يَا أَ ُّي َها الن‬
‫سا َءلُونَ بِ ِه َواأْل َ ْر َحا َم ۚ إِنَّ هَّللا َ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِيبًا‬
َ َ‫َواتَّقُوا هَّللا َ الَّ ِذي ت‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telahmenciptakan kamu
dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakanisterinya; dan daripada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-lakidan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan(mempergunakan)-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-‘Ariyah adalah meminjamkan suatu benda kepada orang lain untuk diambil
manfaat atas benda tersebut, dengan ketentuan dikembalikan setelah selesai digunakan
kepada pemiliknya dan pada saat pengembalian benda tersebut harus dalam keadaan utuh
sesuai dengan awal peminjaman.

Hukum Al-‘Ariyah adalah Sunnah, berdasarkan firman Allah:

۟ ُ‫وا َعلَى ٱ ْلبِ ِّر َوٱلتَّ ْق َو ٰى َواَل تَ َعا َون‬


... ‫وا َعلَى ٱإْل ِ ْث ِم َوٱ ْل ُع ْد ٰ َو ِن‬ ۟ ُ‫وتَ َعا َون‬...
َ

Artinya :

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebijakan dan taqwa, dan
jangan tolong menolong dakam berbuat dosa dan permusuhan”( QS. Al Maidah Ayat 2)
Rukun Al-Ariyyah: Al-Muiir,Al-Mustaiir,Al-Mustaar,As-shighot.
Syarat Muiir yaitu memiliki kelayakan untuk bertransaksi tabarru. Syarat Mustair,
dia mampu menerima. Syarat Mustaar, Setiap barang yang dimiliki, yang bisa dimanfaatkan,
dan tetap utuh nilai benda tersebut. Syarat shighot, Lafadznya menunjukkan perizinan untuk
menggunakan atau memanfaatkan suatu barang.

B. Saran
Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan landasan
kajian ilmu, maka dari itu kepada para pembaca agar melihat referensi lain yang terkait
dengan pembahasan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai