Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hidup dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan ekonomi dalam
kehidupan sehari-hari. Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan kehidupan dan tanpa kita
sadari pula kita melakukan yang namanya Wadi’ah (titipan) dan  Ariyah (pinjam-
meminjam). Titip menitip barang hampir kita lakukan sehari hari dalam kehidupan kita.
Pinjam meminjam kita lakukan baik itu barang, uang ataupun lainnya. Terlebih saat ini
banyak kejadian pertikaian ataupun kerusuhan di masyarakat  dikarenakan pinjam
meminjam. Dan tidak heran kalau hal ini menjadi persoalan setiap masyarakat dan
membawanya ke meja hijau. Hal ini terjadi dikarenakan ketidak fahaman akan hak dan
kewajiban terhadap yang dipinjamkan.
Berbicara mengenai Wadi’ah (penitipan) dan pinjaman (‘Ariyah), penulis berminat untuk
membahas  tuntas mengenai Wadiah dan Ariyah itu sendiri dari pengertian, hukum, syarat,
rukun, macam-macam, kewajiban dan lainnya mengenai titipan (Wadi’ah) dan pinjam
meminjam (‘Ariyah) agar tidak ada kesalah pahaman mengenai titipan dan pinjam
meminjam ini.

B. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Fiqih
2. Untuk memperjelas materi tentang Wadi’ah dan Ariyah

1
BAB II
PEMBAHASAN ARIYAH

A. Definisi Ariyah
Ariyyah atau ‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi (lughat) dengan beberapa macam
makna, yaitu:
1. Ariyah adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara bergiliran
antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan memakai artinya
perkataan at tadaawul.
2. Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan itu
diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
3. Ariyah adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar kata
‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat.

Secara terminologi Al Ariyah ialah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh
yang masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang
sah dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan kepadanya peminjaman
dilakukan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama.

B. Dasar Hukum Ariyah


Pinjaman (Al-‘ariyah) itu disyariatkan berdasarkan pada dalil-dalil berikut

ٓ
َ‫ي َواَل ۡٱلقَ ٰلَِئ َد َوٓاَل َءٓا ِّمين‬َ ‫د‬6ۡ 6‫ َرا َم َواَل ۡٱل َه‬6‫ ۡه َر ۡٱل َح‬6‫ٱلش‬ َّ ‫ ٰ َٓعِئ َر ٱهَّلل ِ َواَل‬6‫ش‬
َ ‫و ْا اَل تُ ِحلُّو ْا‬66ُ‫ا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬66‫ٰيََٓأ ُّي َه‬
َ ۡ‫ٱصطَادُو ۚ ْا َواَل يَ ۡج ِر َمنَّ ُكم‬
‫ش‍نََٔانُ قَ ۡو ٍم‬ ۡ َ‫ض ٰ َو ٗن ۚا وَِإ َذا َحلَ ۡلتُمۡ ف‬ ۡ ‫ضاٗل ِّمن َّربِّ ِهمۡ َو ِر‬ ۡ َ‫ۡٱلبَ ۡيتَ ۡٱل َح َرا َم يَ ۡبتَ ُغونَ ف‬
‫ا َونُو ْا َعلَى‬66‫ َو ٰ ۖى َواَل تَ َع‬6‫بِر َوٱلتَّ ۡق‬ ۘ
ِّ ‫اونُو ْا َعلَى ۡٱل‬6 َ 6‫دُو ْا َوتَ َع‬6َ‫ َر ِام َأن ت َۡعت‬6‫ ِج ِد ۡٱل َح‬6‫صدُّو ُكمۡ ع َِن ۡٱل َم ۡس‬ َ ‫َأن‬
٢‫ب‬ ِ ‫ش ِدي ُد ۡٱل ِعقَا‬ َ َ ‫ٱِإۡل ۡث ِم َو ۡٱل ُع ۡد ٰ َو ۚ ِن َوٱتَّقُو ْا ٱهَّلل ۖ َ ِإنَّ ٱهَّلل‬

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar Allah,


dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-
binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-

2
orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari
Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-
halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (Qs. Al-Maidah {5}: 2)
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-
Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ’ariyah hukumnya wajib ketika awal
Islam. Adapun landasan hukumnya dari nash al-Qur’an ialah.

ِ َ‫ِإنَّ ٱهَّلل َ يَ ۡأ ُم ُر ُكمۡ َأن تَُؤ دُّو ْا ٱَأۡل ٰ َم ٰن‬


۞‫ت ِإلَ ٰ ٓى َأ ۡهلِ َها‬
Artinya ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya” (Qs. An-Nisa’: 58)
Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari al-Qur’an, landasan hukum yang kedua
ialah al-Hadis. Dalam landasan ini, ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut:
Artinya:”Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah
kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (HR. Abu Dawud)
Dasar dari ijma’ adalah bahwa Fuqoha sepakat disyari’atkannya ‘ariyah. ‘Ariyah
disunnahkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
Dari al-Qur’an dan Hadis diatas kami menyimpulkan bahwa hukum ‘ariyah adalah boleh,
asal ‘ariyah tersebut bernilai kebaikan, tidak keburukan.

C. Jenis-jenis Ariyah
Ditinjau dari kewenangannya, akad pinjaman meminjam (‘ariyah) pada umumnya dapat
dibedakan menjadi dua macam :
1. Ariyah Muqayyadah
Yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan tertentu.
Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangaka waktu tertentu.
Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan tersebut, berarti tidak

3
ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku
pada objek yang berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan
adanya syarat tertentu.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil
manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk
melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. Jika ada
perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam,
berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan
adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang
pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
2. Ariyah Mutlaqoh
Yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui akad ‘ariyah
ini, peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tanpa
ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang membutuhkan
pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait obyek
yang akan dipinjamkan.
Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal
yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat
mengendarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak
boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunaannya
tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung
jawab.

D. Rukun Dan Syarat Ariyah


1. Rukun Ariyah
Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “Saya utangkan benda ini
kepada kamu” dan yang menerima berkata”Saya mengaku berutang benda anu kepada
kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.

4
1. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Musta’ir yaitu orang
menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya,
sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:
a. Baligh,  maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil
b. Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan
orang gila
c. Orang tersebut tida dimahjur (di bawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah yang
dilakukan oleh orang berada di bawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
2. Syarat-Syarat Ariyah
a. Mu’ir ( Orang yang meminjamkan ) Ahli (berhak) berbuat kebaikan
sekehendaknya atau pemilik yang berhak menyerahkannya.
b. Musta’ir (Orang yang menerima pinjaman)
c. Mu’ar ( Benda yang dipinjamkan )

5
BAB III
PEMBAHASAN WADI’AH

A. Definisi Wadi’ah
Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dan akar kata Wada`a yang berarti
meninggalkan atau titip.  Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun pesan atau amanah.
Jadi wadi`ah titipan atau simpanan.  Para ulama pikih berbeda pendapat dalam penyampaian
defenisi ini karena ada beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi`ah itu seperti, Apabila
sipenerima wadi`ah ini meminta imbalan maka ia disebut TAWKIL atau hanya sekedar
menitip.
1. Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak
kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja sipenitip mengkehendaki.
2. Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang
mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk
menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.

B. Dasar Hukum Wadi’ah


Al-wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikan
pada waktu pemilik meminta kembali firman Allah SWT.

ۖ
۞‫َؤ ِّد ٱلَّ ِذي‬66ُ‫ضا فَ ۡلي‬ ٗ ‫ض ُكم بَ ۡع‬ ُ ‫ة فَِإ ۡن َأ ِمنَ بَ ۡع‬6ٞ ‫وض‬
َ ُ‫ن َّم ۡقب‬ٞ ‫سفَ ٖر َولَمۡ ت َِجدُو ْا َكاتِ ٗبا فَ ِر ٰ َه‬ َ ‫َوِإن ُكنتُمۡ َعلَ ٰى‬
‫ا‬666‫م قَ ۡلبُ ۗۥهُ َوٱهَّلل ُ بِ َم‬ٞ ِ‫ِإنَّ ٓۥهُ َءاث‬666َ‫ا ف‬666‫ ٰ َه َد ۚةَ َو َمن يَ ۡكتُمۡ َه‬666‫ٱلش‬
َّ ‫و ْا‬666‫ق ٱهَّلل َ َربَّ ۗۥهُ َواَل ت َۡكتُ ُم‬ ۡ
ِ َّ‫ۡٱؤتُ ِمنَ َأ ٰ َمنَتَهۥُ َوليَت‬
٢٨٣ ‫يم‬ٞ ِ‫ت َۡع َملُونَ َعل‬

Artinya:” Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan

6
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan” (Al-Baqarah: 283)
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak
melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan jinayah terhadap barang
titipan. Berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh imam Dar al-Quthni dan riwayat
Arar bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi SAW. Bersabda:

َ َ‫َمنْ َأ ْو َد َع َو ِد ْي َعةً فَال‬


‫ض َمانَ َعلَ ْي ِه ( (رواه الدارقطنى‬

Artinya:“siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin” (Riwayat Daruquthni).

C. Rukun Wadi’ah
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang
menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
1. Barang/Uang yang di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
2. Ada Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang
menitipkannya/menyerahkan.
3. Ada Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan
pelayanan jasa custodian.
4. Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai
dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.

D. Batasan dan Jenis Wadi’ah


Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa)
mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk
memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun

7
produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi`
(penitip).  Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :
1. Wadi’ah yad Al Amanah
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima tidak diperkenankan
penggunakan barang/uang tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau
kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian penerima titipan dan faktor-faktor  
diluar batas kemampuannya .
2. Wadi’ah Tad Adh-Dhamanah
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin
pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut.
Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-
qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar
dengan sejenisnya.  Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian
dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi.  Keduanya sama-sama akad
tabarruyang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam
wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah
muqridh (pemberi pinjaman).

Anda mungkin juga menyukai