Anda di halaman 1dari 20

MATA KULIAH

FIQH MU’AMALAH

OLEH : SRI SURANI WULANDARI

STAI TUANKU TAMBUSAI


PASIR PANGARAIAN
T.A 2009 – 2010
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat Allah SWT


yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan Tugas “FIQH MU’AMALAH”. Kemudian
sholawat beserta salam kepada junjungan alam Nabi Besar
Muhammad Saw, yang telah bersusah payah membawa agama Allah
yakni Islam yang merupakan jalan hidup yang paling benar bagi
manusia dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
Demi kesempurnaan tugas ini kami mengharapkan saran dan
kritikan, dan kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua, Amin.

Pasir pangaraian, Januari 2010

PENULIS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................
BAB I: PENDAHULUAN........................................................................
1.1 PENGERTIAN ‘ARIYAH.........................................................
1.2 DASAR HUKUM ‘ARIYAH.....................................................
1.3 PEMBAYARAN ‘ARIYAH.......................................................
1.4 MEMINJAM DAN MENYEWAKAN........................................
1.5 TANGGUNG JAWAB PEMINJAM..........................................
BAB II: HIWALAH
2.1 PENGERTIAN HIWALAH.......................................................
2.2 DASAR HUKUM HIWALAH...................................................
2.3 JENIS HIWALAH...................................................................
2.4 RUKUN HIWALAH................................................................
2.5 SYARAT HIWALAH...............................................................
2.6 AKIBAT HUKUM...................................................................
2.7 AKAD HIWALAH BERAKHIR.................................................
BAB III: AR-RAHN (GADAI)
3.1 PENGERTIAN GADAI............................................................
3.2 DASAR HUKUM GADAI.........................................................
3.3 SYARAT SYAH GADAI...........................................................
3.4 PEMANFA’ATAN BARANG GADAI.........................................
BAB V: PENUTUP
5.1 KESIMPULAN........................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PEMBAHASAN

A. PENDAHULUAN
‘Ariyah ( ۱‫ ) ﻝﻌار ﻳة‬adalah Suatu yang dipinjam, pergi atau beredar.
Dengan demikian ‘ariyah yaitu perbuatan seseorang yang membolehkan atau m
engizinkan orang lain untuk mengambil manfaat barang miliknya tanpa ganti
rugi. Para ulama figih membedakan pengertian ‘ariyah dan hibah. Kendatipun
keduanya mengandung pengertian kebebasan memanfaatkan barang menurut
mereka ‘ariyah yang unsurn dipinjam hanya manfa’atnya serta dalam jangka
waktu terbatas. Sedangkan hibah terkait dengan materi barang yang disedekahkan
dan tidak memiliki batas waktu.
Mengenai definisi ‘ariyah para ulama mengemukakan ;pendapat mereka
Ulama malikiyah dan Imam As-SYARAKHSI (Tokoh Fiqh Hanafi)
mendefinisikan:
‫ﺘﻤﻠﻚ ﺍﻟﻣﻨﻓﻌﺖ ﺑﻐﻴﺮ ﻋوض‬
“Pemilikan mejadi tanpa ganti rugi’’
Ulama Syafi’iyah dan Hambali mengemukakan definisinya:
‫ﻟﻤﻨﻔﻌﺖ ﺑﻼ ﻋﻮ ﺽ‬١ ‫إﺑﺍﺤﺖ‬
“Kebolehan memanfa’atkan berang (orang lain) tanpa ganti rugi”
Kedua defenisi tersebut memiliki makna berbeda sehingga membawa perbedaan
hukum umpamanya: mengenai boleh atau tidak seseorang dalam meminjamkan
mobil yang dipinjamnya kepada orang lain (pihak ke 3).
Menurut definisi pertama mobil itu dapat dipinjamkan kepada pihak ketiga.
Sebab, ada kebebasan kepelilikan manfa’at dan boleh dimanfaatkan orang
lain(pihak ke 3). Sedangkan menurut definisi kedua, mobil itu hanya dibolehkan
bermanfaatnya oleh pihak kedua, tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak ke 3,
kecuali ada izin dari pihak pertama.

1
1.1 pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah menurut bahasa yaitu pinjaman, sedangkan menurut istilah
‘Ariyah ada beberapa pendapat:
1. Menurut Hanafiyah ‘ariyah adalah
‫ﻟﻤﻨﺍﻓﻊ ﻣﺤﺍﻧﺍ‬١ ‫ﺗﻤﻠﻴﻚ‬
“memiliki manfa’at secara Cuma-Cuma”
2. Menurut malikiyah ‘ariyah adalah
‫ﺗﻤﻠﻴﻚ ﻣﻨﻔﻌﺖ ﻻﺑﻌﻮض‬
“memiliki manfa’at dalam waktu tertentu tanpa imbalan”
3. Menurut Syafi’iyah ‘ariyah adalah
‫ﺇ ﺑﺎ ﺣﺕ ﺍﻻ ﻧﺘﻔﺎ ﻉ ﻣﻦ ﺷﺨﺺ ﻔﻴﻪ ﺃ ﻫﻠﻴﺖﺍﻠﺗﺒﺭﻉ ﺒﻪ ﺒﻘﺄ ﻋﻴﻨﻪ ﻟﻴﺭﺩ ﻩ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻤﺘﺒﺭﻉ‬
“kebolehan dalam mengambil manfa’at dari seseorang yang
membebaskanya, apa yang mungkin untuk dimanfa’atkan, serta tetap zat
barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya”
4. Menurut Hanabilah ‘ariyah adalah
‫ﻟﻤﺳﺘﻌﺮﺃﻭﻏﻴﺮە‬١‫ﻟﻔﻴﻦ ﺑﻔﻴﺮﻋﻮﺽ ﻣﻦ‬١‫إﺑﺍﺣﺔ ﻧﻔﻊ‬
“kebolehan memanfa’atkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam
atau yang lainya “
Dalam Surat annisa’ ayat 58
) ‫ﻻﻣﺍﻧﺍﺕﺈﻟﻯﺃﻫﻠﻬﺍ (ﺍﻟﻧﺴﺄ‬١١‫ﷲ ﻳﺃ ﻣﺮﻛﻢ ﺃ ن ﺗﻮﺩﻮ‬١‫إن‬
“sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya”

1.2 Dasar Hukum ‘Ariyah


Sebenarnya ‘ariyah adalah merupakan sarana tolong menolong antara
orang yang mampu dan orang yang tidak mampu. Bahkan antara sesama
orang yang mampu dan tidak mampu pun ada kemungkinan terjadi saling
meminjam. Sesuai dengan firman Allah:
)‫ﻟﺘﻘﻮﻯ(ﺍﻟﻣﺎﺋﺩﺓ‬۱‫ﻟﺒﺮﻭ‬۱‫ﻋﻠﻰ‬۱‫ﻭﺗﻌﺎﻭﻧﻮ‬
“dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa”(al maidah: 2)
2
Dan didalam hadits Rasullah :
۱)‫ﺳﺎﻣﻦﺃﺑﻰ ﻁﻠﺤﺔ ﻓﺮﻛﺒﺔ (ﺭﻭﻩﺍﻟﺒﺧﺭﻯﻭﻣﺴﻟﻡ‬۱‫ﻥ ﺭﺳﻮﻻﷲ ﺻﻠﻌﻢ‬

“Rasullah meminjam kuda abi tholib dan mengendarainya”( al bukhori)


Dalam suatu riwayat ada dijelaskan bahwa pernah meminjam baju
Abu safyan dengan suatu jaminan, tidak dengan jalan merampas dan
tanpa izin. Berdasarkan dengan hadits diatas ulama fiqh ulama fiqh
mengatakan bahwa ‘ariyah hukumanya Mandub( ‫ ) ﻣﻨﺩﻮﺏ‬karena melakukan
‘ariyah merupakan salah satu bentuk ketaatan (‫ )ﺗﻌﺒﺩ‬kepada Allah SWT.
Namun para ulama mempunyai pandangan yang berbeda dalam
menetapkan asal akad yang menyebabkan peminjaman “memiliki
manfa’at” barang yang dipinjam. Peminjam itu dilakukan secara suka rela,
tanpa ada imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu peminjam berhak
meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfa’atkan, karena
manfaat barang tersebut telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang
membatasi pemanfaatanya bagi peminjam saja atau melarangnya
meminjamkan kepada oranglain.
Mazhab Syafi’i, Hanafi, Abu Hasan Ububilah bin hasan Al kharki
berpendapat bahwa ‘ariyah hanya bersifat memanfaatkann benda tersebut
karena itu kemanfaatanya terbatas kepada pihak kedua saja(peminjan) dan
tidak boleh dipinjamkan kepada pihak lai, namun semua Ulama sepakat
bahwa benda tersebut tidak boleh disewakan kepada orang lain.
Ulama juga berpendapat dalam menentukan hukum. Berdasarkan sifat
peminjam, jumhur ulama berpendapat bahwa pemanfaatan barang oleh
peminjam terbatas pada izin kemanfaatan yang diberikan oleh pemiliknya.
Ulama mazhab Hanafi membedakan antara ‘ariyah yang bersifat
mutlak dan terbatas. Bila benda itu dipinjamkan kepada pihak lain (pihak
ketiga) maka peminjam(pihak kedua) berkewajiban mengganti rugi
(kerugian), sekiranya terjadi kerusakan dan mengganti sepenuhnya
sekiranya benda itu hilang.
3
1.3 Rukun ‘Ariyah
Jumhur ulama mengatakan rukun ‘ariyah ada empat yaitu:
1. Orang yang meminjamkan
2. Orang yang meminjam
3. Barang yang dipinjam
4. Lafaz pinjaman
Ulama Mazhab Hanafi, mengatakan bahwa rukun ‘ariyah hanya
satu saja tidak perlu kabul. Namun menurut Zufar bin Husail bin Qoiz(Ahli
fiqih mazhab hanafi) kabul tetap diperlukan yaitu yang menjadi rukun
‘ariyah adalah ijab dan kabul. Menurut Mazhab Hanafi, rukun no 1, 2, 3
yang disebutkan jumhur ulama diatas, bukan rukun tetapi termasuk syarat.
Mengenai syarat ‘ariyah adalah:
1. Orang yang meminjam harus orang yang berakal dan dapat (cakap)
bertindak atas nama hukum karena orang tidak berakal, tidak dapat
memegang amanat. Oleh sebab itu anak kecil, orang gila, dungu, tidak
boleh mengadakan akad ‘ariyah’
2. Barang yang akan dipinjamkan bukan barang yang apabila
dimanfaatkan habis. Seperti makanan dan minuman.

1.4 Pembayaran Pinjaman

Setiap orang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam


memiliki hutang kepada yang berpiutang(mu’ir)setiap hutang wajib
dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar hutang.
Bahkan melalaikan pembayaran hutang juga termasuk aniaya. Perbuatan
aniaya termasuk perbuatan dosa sebagaimana sabda Rosullah saw:
( ‫) ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺒﺨﺭﻭﻣﺴﻠﻢ‬ ‫ﻣﻄﻞ ﺍﻟﻔﻨﻲ ﻆﻠﻡ‬
“orang kaya yang melalaikan membayar hutang adalah aniaya”(riwayat
bukhori muslim).

4
Melebihkan bayaran dari sejumlah hutang diperbolehkan, asal saja
kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berhutang semata. Hal ini
akan menjadi nilai kebaikan yang membayar hutang. Sebagaimana sabda
Rosullah saw:
)‫ﻓﺎﺀﻥﻣﻦ ﺧﻴﺭﻛﻢ ﺃ ﺣﺴﻛﻢ ﻗﻀﺎ (ﺭﻭﺍﻩﺍﻩﻠﺒﺠﺭﻯﻭﻣﺴﻠﻡ‬
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang
sebai-baiknya dalam mambayar hutang”(riwayat bukhori dan muslim)
Rosullah saw perhutang hewan, kemudian beliau membayar hutang
itu dengan yang lebih besardan tua umurnya dari hewan yang beliau
pinjam. Jika penambahan tersebut dikehendaki oleh orang yang
berhutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang brpiutang untuk
mengambil.
Sabda Rosullah saw:

(‫ﻛﻞ ﻗﺭﺽ ﺟﺭﻣﻬﻔﻌﺔ ﻓﻬﻭﺟﻪ ﻣﻥ ﻭﺟﻭﻩ ﺍﻠﺭﺑﺎ )ﺃﺧﺭﺟﻪﺍﻠﺒﻴﻬﻕ‬

“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaatnya, maka itu adalah salah satu
cara dari sekian cara riba”(dikeluarkan oleh Baihaqi).

1.5 Membayar Pinjaman Dan Menyewakan

Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjamkan benda


pinjaman kepada orang lain. Sekianpun pemiliknya belum mengizinkanya
jika penggunaanya untuk hal – hal yang tidak berlainan dengan tujuan
pemakaian pinjaman.
Menurut mazhab Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang
pinjaman atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman
berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan haram hukumnya.
Merupakan. Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin
pemilik barang.

5
1.6 Tanggung Jawab Peminjam

Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian


barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminya. Baik karena
pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainya. Demikian menurut
Ibn Abbas, Aisyah, Abu Khurairoh, Syafi’i, dan Ishaq dalam hadits yang
diriwayatkan oleh samurah, Rosullah bersabda:
‫ﻋﻠﻰﺍﻠﻴﺩﻣﺄﺧﺩﺕﺣﺘﻰﺘﻭﺩﻱ‬
“Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima hingga ia
mengembalikanya”
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa,
pinjaman tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya kecuali karena
tindakan yang berlebihan.
Sabda Rosullah saw:

‫ﻟﻴﺲﻋﻠﻰﺍﻟﻤﺴﺘﻌﻴﺮﺧﻴﺮﺍﻟﻤﻔﻞﺿﻤﺎﻥﻭﻩﺍﻟﻤﺴﺘﻮﺩﻉﺧﻴﺭﺍﻟﻤﻔﻞﺿﻤﺎﻥﺃﺧﺭ(ﺟﻪﺍﻟﺩﺍﺭﻗﻄﻨﻰ‬
“pinjaman yang tidak berhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan,
orang yang dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti
kerusakan” (dikeluarkan al-Daruqurhni)

6
BAB II
HIWALAH

2.1. Pengertian Hiwalah


Hiwalah (‫ )ﺍﻟﺤﻭﻟﻪ‬berarti pengalihan, pemindahan, berubah kulit dan
memikul sesuatu diatas pundah.

Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak


pertama) kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau
membayar hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang
kepada pihak pertama. Baik pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan
sebagai ganti pembayaran maupun tidak.

Ulama mazhab Hanafi (Ibnu Abidin) mendefinisikan Hiwalah ialah


pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang (al-muhiil =
‫ﺍﻟﻣﺤﻴﻞ‬ Kepada yang berhutang lainya(muhaal alaih=
‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫)ﺍﻟﻣﺤﺎﻝ‬Ulama mazhab Hanafi lainya (Kamal bin
Humman)mendefinisikanya dengan : ”Pengalihan kewajiban membayarkan
hutang dari pihak pertama kepada pihak lainya yang berhutang kepadanya
atas dasar saling mempercayai”.

2.2. Dasar Hukum Hiwalah


Pelaksanaan Al-Hiwalah dibenarkan dalam islam. Sebagaimana
sabda Rosullah saw:

)‫ﻣﻄﻝﺍﻠﻐﻧﻰﻃﻠﻡ ﻭﺇﺫﺍﺍﺗﺒﻊﻋﻠﻰﻣﻠﻰﺀﻓﺎ ﻠﺒﺘﻊ (ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺠﻣﻪﻋﺔ‬

“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya


merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada
orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima
pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah)

7
Sabda Rosullah saw:

)‫ﻣﻄﻝ ﺍﻠﻐﻨﻰﻃﻠﻡﻨﺎﺀ ﺫﺍ ﺃﺣﻴﻝﺃﺣﺪ ﻛﻡﻋﻀﻰﻣﻠﻰﺀ ﻓﻠﻴﺣﻝ (ﺭﻭﺍﻩﺃﺣﻣﺩﻭﺍﻠﺑﻴﻬﻘﻰ‬

“Orang yang mampu membayar hutang haram atasnya melalaikan


hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya
kepada orang lain, hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu
membayar”.(HR Ahmad dan Baihaqi)

2.3. Jenis Hiwalah


Mazhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian, ditinjau
dari segi objek aqad maka hiwalah dapat sibagi dua:

Apabila dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang,maka


pemindahan itu disebut hiwalah Al haqq(‫)ﺣﻭﺍﻠﺔﺍﻠﺤﻕ‬atau pemindahan
hak.
Apabila dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah Al-Dain(‫)ﺣﻭﺍﻠﺔﺍﻠﺩﻴﻦ‬atau pemindahan
hutang

Ditinjau dari sisi lain hiwalah terbagi dua pula yaitu:

Pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama


kepada pihak kedua yang disebut hiwalah al-muqayyadah (
‫ ) ﺣﻭﺍﻠﺔﺍﻠﻣﻘﻴﺩﺓ‬atau pemindahan bersyarat
Pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari
pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak keduayang disebut
hiwalahal- muthadah( )atau pemindahan mutlak.

8
2.4. Rukun hiwalah
Menurut mazhab hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan
melakukan hiwalah) dari pohak pertama, dan qabul (penyataan menerima
hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada
enam yaitu:
Pihak pertama
Pihak kedua
Pihak ketiga
Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua
Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
Ada sighoh (pernyataan hiwalah)

2.5. Syarat Hiwalah


Semua imam mazhab (Hanafi, maliki, Syafi’i dan Hambali)
berpendapat bahwa hiwalah menjadi syah apabila sudah terpenuhi
Syarat-syaratnya yang berkaitan dengan pihak pertama, kedua, dan
ketigaserta yang berkaitan hutang itu.

I. Syarat bagi pihak pertama


a. Cukup dalam melakukan tindakan hukum da;lam bentuk
aqad yaitu baliqh dan berakalhiwalah tidak syah
dilakuakan oleh anak kecil walaupun ia sudah
mengerti(mumayyiz)
b. Ada persetujuan jika pihak pertama dipaksa untuk
melakuakan hiwalah maka aqad tersebut tidak syah

II. Syarat kepada pihak kedua


a. Cukup melakukan tindakan hukum yaitu baliq dan berakal
9
b. Dinyaratkan ada persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak
pertama yang melakukan hiwalah (mazhab Hanafi sebagian
besar mazhab Maliki dan syafi’i)

III. Syarat bagi pihak ketiga


a. Cukup melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad,
sebagai syarat bagi pihak pertama dan kedua
b. Disyaratkan ada pernyataan persetujuan dari pihak
ketiga(mazhab hanafi) sedangkan mazhab lainya (Maliki,
Syafi’i dan Hambali) tidak mensyaratkan hal ini, sebab dalam
aqad hiwalah pihak ketiga dipandang sebagai objek aqad
c. Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin hasan asy-syaibani
menambahkan bahwa kabul tersebut dilakukan dengan
sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu majelis aqad

IV. Syarat yang dilakukan terhadap hutang yang dialihkan


a. Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam
bentuk hutang piutang yang sudah pasti
b. Apabila mengalihkan hutang itu dalam bentuk hiwalah al-
muqayyadah semua ulama fiqih menyatakan bahwa baik
hutang pihak pertama kepada pihak kedua maulun hutang
kepada pihak ketiga kepada pihak pertama meski sama jumlah
dan kwalitasnya
c. Mazhab syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut
mesti sama pula, waktu jatuh temponya, jika tidak sama maka
tidak sah

10
2.6. Akibat Hukum
Jika aqad hiwalah telah ternjadi maka akibatnya:

 Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban pihak pertama


untuk membayar hutang kepada pihak kedua dengan sendirinya
menjadi terlepas
 Aqad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk
menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga
 Mazhab Hanafi yang membenarkan terjadi hiwalah al-
muthallaqoh berpendapat bahwa jika aqad hiwalah al-muthalaq
terjadi karena inisiatif dari pikah perta, maka hak dan kewajiban
antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan
ketika melakukan akad hutang piutang sebelumnya, masih tetap
berlaku. Khususnya jika jumlah hutang piutang antara ketiga
pihak tidak sama.

2.7. Akad hiwalah berakhir

Akad hiwalah berahkir jika terjadi hal-hal berikut:

a. Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad,


sebelum akad itu berlaku secara tetap.
b. Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan kepada pihak kedua.
c. Jika pihak kedua meninggal dunia, sedangkan pihak ketiga
merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
d. Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang
merupakan hutang dalam akad hiwalah terdebut kepada pihak ketiga
e. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibanya untuk
membayar hutang yang dialihkan tersebut.
11
f. Menurut mazhab Hanafi, hak pihak kedua tidak dapat dipenuhi
kerena pihakketiga mengalami pailit(bangkrut) atau menunggal
dunia dalam keadaan pailit.

Peryaratan-persyaratan yang btelah disepakati bnersama harus dipatuhi


oleh semua pihak. Sebagaimana sabda Rosullah saw:
(‫ﺍﻠﻣﺴﻠﻣﻭﻦﻋﻠﻰﺷﺭﻭﻂﻬﻡ (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺘﺭﻣﻴﺫﻯﻭﺍﻠﺣﺎﻜﻡ‬

“Umat islam terikat dengan syarat-syarat yang telah


ditetepkan(bersama)”(HR Tirmizi dan Al Hakim)

Sekiranya ada pihak yang diragukan dalam melaksanakan akad hiwalah itu.
Maka ia dapat mengadakan gugatan yang sudah barang tentu bukti yang
kuat dengan dapat dipertanggung jawabkan.

Sabda Rosullah saw:

) ‫ﺍﻠﺒﻴﻨﺔ ﻋﻠﻰﺍﻠﻣﺩﻋﻰ ﻭﺍﻠﻴﻣﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﻑ ﺍﻠﺣﺭ(ﺭﻭﺍﻩﺍﻠﺒﺨﺭﻯﻭﺍﻠﺗﺭﻣﻴﺫﻯﻭﺍﺒﻦﻣﺎﺟﻪ‬

“Penggugat wajib mengajukan alat bukti sedangkan tergugat menyatakan


sumpah”(HR Bukhori, Tirmuzi, dan Ibnu Majah).

12
BAB III
GADAI (AR-RAHN)

3.1. Pengertian Gadai (Ar-Rahn)


Dalam hidup ini, ada kalanya orang mengalami kesulitan.
Pada suatu ketika, untuk menutupi kesulitan itu terpaksa meminjam uang
kepada orang lain. Apakah kepada rumah penggadaian atau kepada
perorangan. Pinjaman itu harus disertai dengan jaminan(koletrral). Didalam
ensiklopedi indonesia disebutkan bahwa gadai atau hak gadai adalah hak
atas benda bergerak milik sihutang yang diserahkan ketangan sipemberi
hutang sebagai jaminan pelunasan hutang tersebut(pasal 1150-1160, kitab
UU hukum perdata)
Gadai diadakan dengan persetujuan dan hak itu hilang jika
gadai itu lepas dari kekuasaan sipemberi hutang.

3.2. Dasar Hukum Gadai


Perjanjian gadai itu dibenarkab dalam islam, sebagai mana firman
Allah Swt:

)‫ﻭﺍﻦﻛﻨﺗﻡﻋﻠﻰﺳﻔﺭﻭﻠﻡﺗﻀﺩﻭﺍﻛﺎﺗﺑﺎﻔﻦﻫﺎﻦﻣﻘﺑﻭﻀﺔﻓﺈﻦﺃﻣﻦﺑﺤﻀﻜﻡﺑﺤﻀﺎﻓﻠﺆﺪﺍﻠﺫﻯﺍﺆﻗﻤﻦﺃﻤﺎﻧﺘﻪﻭﻠﻴﺘﺍﷲﺭﺱ(ﺍﺑﻘﺭﺓ‬
“jika kamu dalam perjalanan (dan tidak bermualah secara tunai) sedang ka
u tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada orang barang
tanggungan yang dipegang(oleh yang berpiutang. Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu
menunaikan amanatnya(Al-baqoarah:285)

13
Sabda Rosullah saw:

‫ﻋﻦﺃﻧﺲﻗﺎﻝﺭﻫﻦﺭﺳﻮﻝﷲﺻﻠﻡﺭﻋﺎﻋﻧﺩﻠﻬﻮﺩﻱﺑﺎﻠﻤﺩﻳﻨﺔﻮﺃﺧﺫﺷﺨﻳﺭﺍﻷﻫﻠﻼ‬
‫(ﺭﻮﺃﻩﺣﻣﺩﻮﺃﺣﻣﺩﻮﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯﻭﺍﻠﻧﺴﺎﺀﻭﺍﻠﺒﻦﻣﺎﺟﻪ‬
“dari anas berkata: “Rosullah telah menuguhkan baju besi beliau kepada
seorang yahudi dimadinah, sewaktu Beliau menghutang syair(gandum) dari
orang yahudi itu untuk keluarga beliau.(HR Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu
Majah)
Menurut riwayat lain, gandum yang dipinjam Rosullah sebanyak 30
sha’(90 liter) dan sebagai jaminanya baju perang beliau. Dari hadist diatas
dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non muslim, dan
harus ada jamianan sebagai pegangan sehingga tidak kehawatiran bagi
yang memberi piutang.

3.3. Syarat Syah Gadai


Menurut Sayyid Sabiq, bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila
memenuhi empat syarat Yaitu:
a. orangnya sudah dewasa
b. berfikiran sehat
c. barang yang digadaikan sudah ada saat terjadi aqad gadai
d. barang gadaian dapat diserahkan atau dipegang oleh penggadai
barang atau benda yang dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian
dan benda bergerak lainya dan dapat pula berupa surat-surat berharga(surat
tanah, Rumah)

3.4 Pemanfaatan Barang Gadai


Ada cara lain, bahwa sawah atau kebun yang dijadikan jaminan itu
diolah oleh pemilik sawah atau kebun itu. Tetapi hasilnya dibagi antara
pemilik dan penggadai selama piutangnya belum selesai dikembalikan.
Pada dasarnya pemilik sawah atau kebun dapat mengambil manfaatnya.
14
BERDASARKAN SABDA ROSULLAH SAW:
‫ﻻﻳﻐﻟﻖﺍﻠﺭﻫﻦﻣﻦﺻﺎﺣﻳﺑﻪﺍﻠﺫﻯﺭﻫﻧﻪﻟﻪﻏﻧﻬﻪﻭﻋﻟﻳﻪ‬
“jaminan itu tidak menutupi yang punyanya dari manfaat barang(yang
digadaikan)itu faedahnya dia, dan dia juga wajib memikul beban(pemilik
barang)”.(HR Syafi’i dan Daru-Quthni)
Kemudia ada lagi muncul pertanyaan bagaimana halnya sekiranya
menggadaikan kerumah penggadaian? Biasanya yang digadaikan itu emas,
berlian, kain, barang berharga lainy, dan langsung disimpan pada rumah
penggadaian itu.
Menurut hemat peminjaman uang kerumah penggadaian, sama halnya
dengan meminjam uang ke bank, dan sama dengan membayar jasa.

15
PENUTUP
A. KESIMPULAN
‘ariyah yaitu perbuatan seseorang yang membolehkan atau
mengizinkan orang lain untuk mengambil manfaat barang miliknya tanpa
ganti rugi
Hiwalah (‫ )ﺍﻟﺤﻭﻟﻪ‬berarti pengalihan, pemindahan, berubah kulit dan
memikul sesuatu diat Ulama mazhab Hanafi (Ibnu Abidin) mendefinisikan
Hiwalah ialah pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang
(al-muhiil = ‫ ﺍﻟﻣﺤﻴﻞ‬Kepada yang berhutang lainya(muhaal alaih=
‫ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫)ﺍﻟﻣﺤﺎﻝ‬Ulama mazhab Hanafi lainya (Kamal bin
Humman)mendefinisikanya dengan : ”Pengalihan kewajiban membayarkan
hutang dari pihak pertama kepada pihak lainya yang berhutang kepadanya
atas dasar saling mempercayai”.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Hendi suhendi,M.si.1997. Fiqih Muamalah. Bandung: pustaka rajawali
pers
Fiqh muamalah membahahas ekonimi islam

Anda mungkin juga menyukai