Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Dewasa ini sangat banyak perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh masyarakat
baik dalam hal jual-beli, sewa menyewa gadai, bekerja sama, pinjam meminjam dan lain-
lain. Namun pada kenyataannya banyak masyarakat yang belum mengetahui bagaimana
ketentuan dalam islam mengenai berbagai perjanjian diatas.
Masyarakat dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selalu bekerja
dan mencari cara agar kebutuhannya tercukupi. Berbagai cara dilaklukan untuk memulai
usaha salah satunya adalah dengan pinjam-meminjam (ariyah). Sangat banyak praktek
pinjam meminjam yang dilakukan dalam masyarakat salah satunya adalah pinjam
meminjam tanah, atau menggunakan tanah milik orang lain untuk digunakan manfaatnya
tanpa member imbalan kepada pemilik tanah, dan pemilik tanah dengan ikhlas membantu
sang peminjam.
Dari latar belakang diatas, penulis penasaran dan ingin mengetahui bagaimana
penyelesaian masalah bagaimana cara pemilik tanah mengambil kembali tanah yang
dipinjam untuk dibuat bangunan atau ditanami.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara pemilik tanah mengambil kembali tanah yang dipinjam untuk dibuat
bangunan dan ditanami pohon, dan dalam akadnya ariyah bersifat mutlak ?
2. Bagaimana cara pemilik tanah mengambil kembali tanah yang dipinjam untuk dibuat
bangunan dan ditanami pohon, dan dalam akadnya ariyah bersifat temporer ?
3. Bagaimana cara pemilik tanah mengambil kembali tanah yang dipinjam untuk
pertanian?

C. TUJUAN PENULISAN

1
1. Untuk mengetahui bagaimana cara pemilik tanah mengambil kembali tanah yang
dipinjam untuk dibuat bangunan dan ditanami pohon, dan dalam akadnya ariyah
bersifat mutlak?
2. Untuk mengetahui bagaimana cara pemilik tanah mengambil kembali tanah yang
dipinjam untuk dibuat bangunan dan ditanami pohon, dan dalam akadnya ariyah
bersifat temporer ?
3. Untuk mengetahui bagaimana cara pemilik tanah mengambil kembali tanah yang
dipinjam untuk pertanian

2
BAB 2

LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN ARIYAH

Menurut etimologi. Ariyah adalah (ُ‫اريَة‬ ْ diambil dari kata (‫ )رعا‬yang berarti
ِ َ‫)الع‬
datang dan pergi.1 Menurutُterminologyُsyara’ُulamaُfiqihُberbedaُpendapatُdalamُ
mendefinisikannya, antara lain:
1. Menurut Hanafiyah, Pengertian ariyah ialah: “memiliki manfaat secara Cuma-
Cuma.”
2. Menurut Malikiyah, Pengertian ariyah ialah: “Memiliki manfaat dalam waktu
tertentu dengan tanpa imbalan."
3. Menurut Syafiiyah, Pengertian ariyah adalah: “Kebolehan mengambil manfaat dari
sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap
zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. Menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah: “kebolehan memanfaatkan suatu zat barang
tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”

Menurut Sulaiman Rasyid, pinjam-meminjamُ adalahُ :ُ “memberikanُ sesuatuُ yangُ


halalُkepadaُyangُlainُuntukُdiambilُmanfaatnyaُdenganُtidakُmerusakُzatُbarangُitu”.ُ
(Sulaiman Rasyid, 1990 : 301)2
Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa pinjam-meminjam merupakan
perjanjian yang bertimbal balik (dua pihak) di mana pihak yang satu memberikan sesuatu
barang yang tidak habis karena pemakaian, dengan ketentuan bahwa pihak yang
menerima akan mengembalikan barang tersebut sebagaimana diterimanya. Misalnya si A
meminjam sebuah mobil dari si B setelah mobil tersebut dipakai sesuai dengan waktu
yang diperjanjikan selanjutnya si A mengembalikan mobil tersebut kepada si B.

1
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung, Pustaka Setia, 2006, hlm. 139
2
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 1994, hlm.
133

3
Dari pengertian yang dikemukakan di atas terlihat bahwa pengertian pinjam-
meminjam dalamُketentuanُsyari’atُIslamُserupaُdengan”PinjamُPakai”ُyangُdijumpaiُ
dalam ketentuan pasal 1740 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,, yang mana pasal
tersebut merumuskan sebagai berikut :

“Pinjam-pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan sesuatu
barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-Cuma, dengan syarat
bahwa yang menerima barang ini, setelah memakainya atau setelah lewatnya waktu
tertentu, akan mengembalikannya.”3

Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil
manfaat dari suatru benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.

Pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam


dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang lain. Adapun pengertian kedua
memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan kembali
barang pinjaman kepada orang lain.4

B. DASAR HUKUM

a. Al-Qur’anُ

ِ ‫اْلثْ ِم َو ْالعُ ْد َو‬


‫ان‬ ِ ْ ‫َوتَعَ َاونُوا َعلَى ْالبِ ِر َو الت َّ ْق َوى َوالَتَعَا َونُ ْوا َعلَى‬
}2 : ‫{المائدة‬

“Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa


dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan
permusuhan ” (Al-Maidah:2) 5

3
Loc. cit
4
Rachmat Syafe’I, op. cit. hlm. 140
5
Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar II, Jakarta, Kalam Mulia, 1995, hlm. 361

4
}58 : ‫ِإ َّن ّللاَ يَأ ْ ُم ُر ُك ْم أَ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْل َ َمانَ ِة ِإلَى أ َ ْه ِل َها {النسآء‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya” (An-Nisa: 58)6

b. As-Sunnah

Keterangan hadits Rasulullah SAW mengenai pinjam meminjam antara lain :

ُ ‫امن ُمس ِل ٍم يُ ْق ِر‬


‫ض‬ ِ ‫ قَا َل َم‬: ‫َعن ا َ ِبي َمسعُو ٍد اَنَ النَّ ِبي ص ل‬
َ ‫ين اِ َّال َكانَ َك‬
ً ‫صدَقَتِ َها َم َّرة‬ ً ‫ُمس ِل ًما قَر‬
ِ َ ‫ضا َم َّرت‬
Artinya :

” dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: tidak
ada seorang muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali kecuali yang
satunya seperti shodaqoh.”

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

‫ي‬
ٌ ‫قض‬
ِ ‫ين َم‬ ِ َ‫ا َ ْلع‬
َّ ‫ار َيةُ ُم َؤدَّاة ٌ َو‬
ُ َّ‫الز ِعي ُم غَا ِر ٌم َوالد‬
Artinya: “Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu
harus membayar dan hutang itu wajib dibayar.”(HR. Abu Daud)7

”Sampaikanlah amanat orang yang amemberikan amanat kepadamu


dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu ”ُ(HR.ُ
Abu Daud) 8
Dari Anas bin Malik ia berkata, “Telah terjadi rasa ketakutan (atas
serangan musuh) di kota Madinah. Lalu Nabi S.A.W. meminjam seekor kuda
dari Abi Thalhah yang diberi nama Mandub, kemudian beliau
mengendarainya. Setelah beliau kembali beliau bersabda, ‘Kami tidak

6
http://artyaningsih.blogspot.com/2016/12/makalah-hadits-ariyah-pinjam-meminjam.html
7
http://rafiqatul-hanniah.blogspot.com/2012/06/blog-post.html
8
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi IslamI, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2015, hlm. 252

5
melihat apa-apa, dan yang kami temukan hanyalah lautan.’’ (H.R. Muttafaq
‘alaih).9

“Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah


meminjam beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain.
Sofwan bertanya kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya
Muhammad?”, jawab Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”.
Kemudian baju itu hilang sebagian , maka Rasulullah mengemukakan akan
digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam
Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai)10

C. RUKUN DAN SYARAT ARIYAH

Menurut Hanafiyah, rukun ‘Ariyah adalah satu, yaitu ijab dan Kabul, tidak wajib
diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang
dipinjam dan boleh hukum ijab Kabul dengan ucapan.11

Menurut Syafi’iyah,12 rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut.

a. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan


benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata. “saya mengaku
berutang benda anu kepada kamu.” Syarat benda nya ialah sama dengan
syarat benda-benda dalam jual beli.
b. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan musta’ir yaitu
orang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak
menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah
- Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil atau shabiy
- Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang
tidur dan orang gila.

9
http://semuamakalahpembelajaran.blogspot.com/2017/06/makalah-ariyah.html
10
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, op. cit. hlm. 135
11
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2002, hlm 94.
12
Ibid, hlm 95

6
- Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curratelle), maka tidak sah
‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan
(curratelle), seperti pemboros.
c. Benda yang diutangkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
- Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah
yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang
sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
- Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ‘ariyah yang pengambilan
manfaat materinya dibatalkan oleh syara’ seperti meminjam benda-
benda najis.

Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat13
yaitu :

- Mu’ir (peminjam)
- Musta’ir (yang meminjamkan)
- Mu’ar (barang yang dipinjamkan)
- Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil
manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

D. HUKUM MEMINJAM
Asal hukumnya sunat karena mendatangkan kebaikan bagi yang memerlukan.
Tetapi jika sang peminjam, sangat memerlukan sekali atau terpaksa meminjam dan bagi
yang meminjamkan tidak mendapat kerugian yang berarti misalnya seorang meminjam
sampan untuk menolong orang yang sedang hanyut, hukum orang yang meminjamkan
wajib. Dan dapat menjadi haram, misalnya seorang meminjamkan pisau untuk
membunuh orang lain.
Tegasnya apakah hukumnya sunat, haram, wajib dan haram harus bergantung pada
tujuan orang yang meminjamkan dan diketahui si peminjam.14

13
Rachmat Syafe’I, op. cit, hlm.141
14
Ibrahim Lubis, op. cit, hlm.362

7
E. ARIYAH MENURUT KEBIASAAN (URF)
Menurut kebiasaan (urf), ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara
hakikat dan secara majazi.15
a. Secara hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaat tanpa merusak
zatnya. Menurut malikiyah dan hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam
tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semaksa dengan
dengan manfaat menurut kebiasaan.
Al-Kurkhi, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud
ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan pandangan diatas, dapat ditetapkan bahwa menurut golongan
pertama, barang yang dipinjam (musta’ar) boleh dipinjamkan kepada orang lain,
bahkan menurut imam malik, sekalipun tidak di izinkan oleh pemiliknya asalkan
digunakan sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi, ulama malikiyah melarangnya jika
peminjam tidak mengizinkannya.
Alasan ulama Hanafiyah antara lain bahwa yang memberi pinjaman (mu’ir) telah
memberikan hak penguasaan barang kepada peminjam untuk mengambil manfaat
barang. Kekuasaan seperti itu berarti kepemilikan. Dengan demikian, peminjam
berkuasa penuh untuk mengambil manfaat barang tersebut, baik oleh dirinya maupun
orang lain.
Menurut golongan kedua, pinjam-meminjam hanya sebatas pengambilan manfaat
maka tidak boleh meminjamkan lagi kepada orang lain, seperti halnya seorang tamu
yang tidak boleh meminjamkan makanan yang dihidangkan untuknya kepada orang
lain.
Golongan pertama dan kedu asepakat bahwa peminjam tidak memiliki hak
kepemilikan sebagaiman opada gadai barang. Menurut golongan kedua, peminjam
hanya berhak memanfaatkannya saja dan ia tidak memiliki bendanya. Adapun
menurut golongan pertama, gadai adalah akad yang lazim (resmi), sedangkan akad
tabarru’ (derma) yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, peminjam

15
Rachmat Syafe’I, op. cit, hlm.142

8
tidak memiliki hak kepemilikan, sebagaimana pada akad lazim sebab hal itu akan
mengubah tabiat ariyah. Selain itu, peminjam pun tidak boleh menyewakannya.

b. Secara majazi
Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam benda-benda yang berkaitan
dengan takaran, timbangan, hitungan dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala
benda yang dapat diambil manfaatnya, tampa merusak zatnya. Ariyah pada benda-
benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa atau senilai. Dengan
demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah secara majazi, sebab
tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja
antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.

F. HAK MEMANFAATKAN BARANG PINJAMAN 16


Jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa musta’ir dapat mengambil
manfaat sesuai dengan izin mu’ir (orang yang member pinjaman)
Adapun ulama hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh
musta’ir bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara
terukat (muqayyad) atau mutlak.
a. Ariyah Mutlak
Ariyah mutlak, yaitu pinjam meminjam barang yang dalam akadnya
(transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya
hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara
penggunaannya. Contohnya, seorang meminjam binatang, namun dalam akad
tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan binatang tersebut,
misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Jadi hukumnya sebagaimana
pemilik-pemilik hewan, yaitu dapat mengambil. Namun demikian, harus sesuai
dengan dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Tidak dibolehkan
menggunakan binatang tersebut siang malam tanpa henti. Sebaliknya, jika
penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak
peminjam harus bertanggung-jawab.

16
Ibid, hlm.143-145

9
b. Ariyah Muqayyad
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi
waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah
satunya. Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan
tersebut. Hal ini karena asal dari batasan adalah menaati batasan, kecuali ada
kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang.
Dengan demikian, dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan
untuk memanfaatkannya.
1. Batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam
Jika mu’ir membatasi hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri
dan masyarakat memandang adanya perbedaan tentang penggunaan dalam
hal lainnya, seperti mengendarai binatang atau memakai pakaian. Dengan
demikian, peminjam tidak boleh mengendarai binatang dan memakai
pakaian yang ada.
2. Pembatasan waktu atau tempat.
Jika ariyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati
tempat atau menambah waktunya, ia bertanggung jawab atas penambahan
tersebut.
3. Pembatasan ukuran berat dan jenis
Jika yang disyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada
kelebihan dalam bobot tersebut, ia harus menanggung sesuai dengan
kelebihannya.

Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dengan musta’ir tentang lamanya
waktu meminjam, berat barang yang dibawa barang pinjaman, atau tempat
meminjam pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir. Karena
dialah yang pemberi izin untuk pengambilan manfaat abrang pinjaman tersebut
sesuai dengan keinginannya.

G. SIFAT ARIYAH17

17
Ibid, hlm. 145-146

10
Ulama hanafiyah, Syafi’iyah, dan hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan
peminjam atas barang adalah haj tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidak
ada penggantinya. Pada hibah, misalnya bisa saja mu’ir (orang yang meminjamkannya)
mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja, sebagaimana peminjam dapat
mengembalikannya kapan saja, baik pinjam-meminjam itu bersifat mutlak atau dibatasi
waktu, kecuali ada sebab-sebab tertentu, yang akan menimbulkan kemadaratan saat
pengembalian barang tersebut, seperti kalau dikembalikan kepada waktu yang telah
ditentukan barang akan rusak atau seperti orang-orang yang meminjam tanah untuk
mengubur mayat yang dihormati, maka mu’ir tidak boleh meminta kembali tanah tersebut
dan si peminjam pun tidak boleh mengembalikannya sebelum jenazah berubah menjadi
tanah.
Alasan mereka antara lain bahwa aruyah adalah transaksi yang dibolehkan,
sebagaimana sabad Nabi SAW yang artinya:
“Pemberian itu ditolak sedang pinjam meminjam adalah (suatu akad) yang
dikembalikan.” (HR. Ibnu ‘Addy)
Menurut pendapat yang paling masyur dari ulama Malikiyah, mu’ir tidak dapat
meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya.
Jika ariyah ditempokan pada suatu waktu, mu’ir tidak boleh memintanya sebelum habis
waktunya. Akan tetapi, pendapat yang paling unggul menutut Ad-Dardir, dalam kitab
Syarah Al-kabir, adalah mu’ir dapat meminta barang yang dipinjamkannya secara mutlak
kapanpun ia menginginkannya.
Dari pendapat diatas jelaslah bahwa ulama malikiyah membolehkan untuk
mengembalikan pinjaman kalau akadnya bersifat umum. Adapun jika akad dibatasi oleh
syarat, waktu atau adat, emerka melarangnya.
Pokok-pokok perbedaan diantara dua kelompok diatas adalah berkaitan dengan
pandangan tentang ariyah, apakah sebagai akad lazim atau ghairu lazim?

H. MEMINJAM PINJAMAN DAN MENYEWAKANNYA18

18
Hendi Suhendi, op. cit, hlm. 97

11
Abu hanifah dan Malik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-
benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipuj pemiliknya belum mengizinkannya jika
penggunaannya untuk hal-hal yang tidak nerlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut mazhab hambali, peminjamboleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa
saja yang menggantikan statusnya selama pinjaman berlangsung, kecuali jika barang
tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang
pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang
lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka penilik berhak meminta jaminan kepada salah
seiorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik pemilik barang
meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu
rusak.

I. STATUS ARIYAH19
Barang pinjaman apakah tanggungan (dhaman) atau hanya bersifat amanah bagi
peminjam. Dalam hal ini, timbul perbedaan pendapat ulama, hanafiyah berpendapat,
pinjaman adalah amanah bagi peminjam, bukan tanggungan (dhaman), sama halnya
dengan wadhi’ah dan ijarah tidak dikenakan dhaman ganti rugi bagi peminjam bila
barang pinjaman rusak tanpa sengaja. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi Saw
yang artinya : “ Dari Anas ibn Sirin sesungguhnya Suraih berkata: “tidak ada
kewajiban ganti rugi bagi penerima titipan yang tidak sia-sia dan tidak ada kewajiban
ganti rugi bagi orang yang meminjam yang tidak melakukan sia-sia kewajiban ganti
rugi.”
Sementara itu, Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat pinjaman adalah
tanggungan (dhaman) untuk benda-benda yang dapat disembunyikan, seperti pakaian,
perhiasan, apabila benda tersebut rusak dan tidak ada saksi. Menurut ulama Malikiyah,
bila peminjam memakai barang pinjaman yang mungkin dapat mengurangi nilai
barang, seperti pakaian, peminjam menanggung kerugian dan mengganti kerusakan
barang tersebut (dhaman). Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi yang artinya : “
dari Umayah ibn safwan ibn Umayah dari bapaknya sesungguhnya Nabi Saw.

19
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2016, hlm 174

12
meminjam baju besinya pada perang hunain kemudian shafwan berkata apakah engkau
merampasnya Muhammad, Nabi menjawab : “Tidak, ariyah adalah pinjaman yang
menjadi tanggungan”.”
Menurut ulama malikiyah, untuk benda-benda yang tidak dapat disembunyikan
seperti rumah, hewan apabila rusak atau hilang pada saat dimanfaatkan, peminjam tidak
dikenakan ganti rugi. Apabila barang pinjaman hilang atau hancur, peminjam dapat
membuktikan bahwa kerusakan atau hilangnya barang tersebut diluar kemampuannya,
maka peminjam tidak mengganti. Namun, bila tidak dapat membuktikan, ia harus
mengganti kerusakan atau hilangnya barang pinjaman.
Syafi’iyah berpendapat, pada prinsipnya tidak ada tanggung jawab musta’ir untuk
mengganti rugi (dhaman) bila barang pinjaman rusak atau hilang selama barang
pinjaman tersebut digunakan seizing pemilik barang. Namun bila musta’ir
menggunakan barang pinjaman diluar batas keizinan, kemudian barang rusak atau
hilang walaupun kerusakannya bukan disebabkan kelalaian, musta’ir wajib mengganti
(dhaman) kerusakan tersebut.
Sama halnya dengan Syafiiyah, hanabilah berpendapat bahwa peminjam dibebani
ganti rugi (dhaman) baik pemanfaatannya melampaui batas atau tidak, baik karena lalai
atau tidak. Hal ini telah ditegaskan dalam hadis Nabi yang artinya : DIriwayatkan dari
Samrah sesungguhnya Rasulullah Saw. berkata: “Pemegang barang pinjaman
berkewajiban memelihara apa yang sudah dia terima sampai benda itu dikembalikan
kepada pemiliknya”.

Berpegang pada prinsip saling menguntungkan antara orang yang berakad maka
dalam suatu transaksi tidak boleh ada pihak yang dirugikan. Dalam ariyah. Pihak
peminjam wajib memelihara barangn pinjaman selama dalam tanggungannya. Dia
bertanggung jawab terhadap keselamatan barang tersebut. Bila barang pinjaman rusak
disebabkan kelalaian, peminjam berkewajiban menggantinya. Dalam ariyah pihak yang
meminjam berkewajiban mengganti barang pinjaman yang rusak selama barang
tersebut masih berada dalam kekuasaannya karena peminjam telah memperoleh
manfaat dari barang yang dipinjamnya.

13
Ariyah atau pinjam-meminjam merupakan keizinan pemanfaatan barang buat
sementara waktu, bukan pemindahan milik. Apabila telah habis waktu yang ditentukan,
peminjam wajib mengembalikan barang pinjamannnya kepada pemilik barang. Karena
pada hakikatnya, barang pinjaman merupakan amanat yang wajib dikembalikan. Semua
itu, telah digariskan Allah SWT. Dalam QS An-Nisa’ [4: 58] : “Sesungguhnya Allah
memerintahkan agar menyampaikan amanat kepada orang yang berhak
menerimanya….”

Dalam hadis Nabi saw. telah dijelaskan: “Diriwayatkan dari Abu hurairah ia
berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Serahkanlah amanat kepada orang yang telah
member kamu amanat dan janganlah kamu mengkhianati orang yang telah
mengkhianati kamu.”

Dengan demikian akad ariyah dapat berubah dari amanah (tidak ada kewajiban
ganti rugi) menjadi dhamanah (ada kewajiban ganti rugi) apabila a) barang yang
dipinjam ditelantarkan oleh peminjam. Artinya barang tersebut diletakkan ditempat
yangh mudah diambil oleh pencuri. b) barang pinjaman dalam proses pemanfaatannya
tidak dipelihara dengan baik. c) peminjam menggunakan barang pijaman tidak sesuai
dengan persyaratan atau tidak sesuai dengan adat kebiasaan. D0 peminjam menyalahi
cara pemelioharaan barang.

J. TATA KRAMA BERUTANG20


Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau
utang-piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terjadi di dalamnya, ialah sebagai
berikut:
1. Sesuai dengan QS al-Baqarah: 282, utang piutang supaya dikuatkan dengan
tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau
dengan seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan. Untuk dewasa
ini tulisan tersebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak
disertai niat dalam hati akan membayarnya?mengembalikannya.

20
Hendi Suhendi, op. cit, hlm. 98

14
3. Pihak berutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak
berutang, bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang
berpiutanng hendaknya membebaskannya.
4. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya
dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman
berarti berbuat zhalim.

L. PEMBAYARAN PINJAMAN

Setiap orang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki
hutangُkepadaُyangُberpiutang(mu’ir). Setiap hutang wajib dibayar sehingga berdosalah
orang yang tidak mau membayar hutang. Bahkan melalaikan pembayaran hutang juga
termasuk aniaya. Perbuatan aniaya termasuk perbuatan dosa sebagaimana sabda
Rosullah saw:

“orang kaya yang melalaikan membayar hutang adalah aniaya”(Riwayat Bukhari dan
Muslim)

Melebihkan bayaran dari sejumlah hutang diperbolehkan, asal saja kelebihan itu
merupakan kemauan dari yang berhutang semata. Hal ini akan menjadi nilai kebaikan
yang membayar hutang. Sebagaimana sabda Rosullah saw:

“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebai-
baiknya dalam mambayar hutang”(RiwayatُBukhoriُdanُMuslim)

Rosullah saw perhutang hewan, kemudian beliau membayar hutang itu dengan
yang lebih besardan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Jika penambahan
tersebut dikehendaki oleh orang yang berhutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi
yang brpiutang untuk mengambil.

15
BAB III
PEMBAHASAN
A. URAIAN MASALAH
Banyak masalah yang timbul di masyarakat akibat pinjam meminjam, entah pinjam
meminjam uang, pinjam meminjam barang, dan bahkan pinjam meminjam tanah. Dalam
makalah ini penulis akan menguraikan masalah tentang bagaimana pengembalian tanah
yang dipinjam untuk dibuat bangunan diatasnya atau ditanami. 21
1. Masalah pertama :
Pak A meminjam tanah kepada pak B untuk dibangun rumah diatasnya dan
ditanami pohon, kemudian pak B mengizinkan pak A untuk memakai tanahnya
dan dibuat bangunan dan ditanami pohon, pada masalah pertama ini ariyah
bersifat mutlak yaitu bahwa tidak ada syarat waktu yang ditentukan oleh Pak B
kapan Pak A harus mengembalikan tanah yang dipinjamnya.
2. Masalah kedua :
Pak A meminjam tanah kepada pak B untuk dibangun rumah diatasnya dan
ditanami pohon, kemudian pak B mengizinkan pak A untuk memakai tanahnya
dan dibuat bangunan dan ditanami pohon, pada masalah kedua ini ariyah bersifat
temporer (muqayyad) yaitu bahwa pak B mensyaratkan kepada pak A bahwa
peminjaman hanya berlaku selama 5 tahun. Yang artinya pihak pertama wajib
mengembalikan tanah dalam lima tahun yang akan datang dan pihak kedua tidak
boleh mengambil tanahnya kembali jika belum berakhir masanya yaitu 5 tahun.
3. Masalah ketiga :
Pak A meminjam tanah kepada pak B untuk pertanian. Kemudian pak b
bersedia meminjamkan tanahnya untuk pertanian. Tidak ada lagi perjanjian yang
lain.

B. PENYELESAIAN MASALAH
Berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dapat kita
temukan penyelesaian masalahnya sebagi berikut :
1. Penyelesaian masalah pertama

21
Rachmat Syafe’I, op. cit. hlm. 148

16
Tentang pengembalian tanah yang dipinjam untuk didirikan diatasnya
suatu bangunan, atau ditanami pohon, hanafiyah berpendapat, jika aruyah bersifat
mutlak, mu’ir dapat memintanya kembali kapan pun ia mau, sebab menurut
golongan ini, ariyah adalah akad tidak lazim. Oleh karena itu, peminjam dapat
dipaksa untuk mencabut pohon yang ada atau merobohkan bangunan bila hal itu
memedaratkan mu’ir, dan mu’ir tidak menaggung harga pohon dan bangunan
tersebut . mu’ir tidak dapat disalahkan oleh musta’ir dengan alasan akad mutlak ,
tetapi musta’ir yang dipandang salah satu sebab membawa sesuatu yang mutlak
dalam waktu yang lama.

2. Penyelesaian masalah kedua


Jika ariyah ni bersifat temporer atau dibatasi waktu, mu’ir berhak meminta
kembali tanahnya, namun dimakruhkan mengambilnya sebelum habis waktunya
karena terdapat pengingkaran janji dari mu’ir. Mu’ir juga tidak berhak untuk
memaksa peminjam untuk mencabuti tanaman dan merobohkan bangunannya.
Pada keadaan itu, peminjam berhak khiyar (memilih), antara mu’ir menanggung
harta tanaman dan bangunan karena ia telah merusak akad dengan mengambil
tanah sebelum waktunya atau peminjam mencabut pohon dan merobohkan
bangunannya hal itu tidak akan menyebabkan kerusakan pada tanah. Akan tetapi,
jika akan menyebabkan kerusakan pada tanah, mu’ir berhak khiyar antara
mengambil tanaman dan memberikan penggantian yang senilai dengan keduanya,
atau mu’ir merelakan kerusakan pada tanahnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Al-hakim Syahid dalam Mukhtasarnya. Adapun menurut Al-Qadrawy, mu’ir
menanggung kerusakan pada tanah yang disebabkan tanaman yang dicabut atau
bangunan yang dirobohkan sebab ia telah menipu peminjam berkenaan dengan
waktu pinjaman barang. Dengan demikian, yang harus diperhatikan adalah
penepatan janji serta menjaga kemadaratan yang akan diterima oleh peminjam.

3. Penyelesaian masalah ketiga


Adapun jika seseorang meminjam tanah untuk pertanian, tanah tersebut
ttidak boleh diambil sebelum panen, baik pinjam meminjamnya dibatasi waktu

17
atau tidak. Hal ini karena pertanian mempunyai batas tertentu yang jelas. Berbeda
debgan penanaman pohon, menurut Imam Malik, pohon boleh dicabut untuk
menghindari kemadaratan sebab tidak jelas kapan akan berakhirnya.

Ulama Malikiyah berpendapat, yang benar bahwa seseorang yang meminjamkan


barang kepada orang lain dapat meminta kembali kapan pu ia mau jika transaksinya
bersifat mutlak. Adapun jika transaksinya terikat, baik dengan syarat atau adat, ia tidak
boleh memintanya sebelum habis waktu. Dengan demikian, jika meminjam tanah
pertanian, baik untuk pendirian bangunan atau penanaman pohon, sekallipun waktunya
belum habis, mu’ir boleh mengambil kembali tanah tersebut dan boleh pula memilikim
pohon dan bangunan jika ia membayar kepada peminjam sesuai dengan nilai dari
bangunan dan pohon tersebut.
Pada transaksi ariyah, sperti diatas, yakni yang memakai batas waktu atau syarat,
pemberi pinjaman (mu’ir) tidak dapat mengambil tanah tersebut sebelum waktunya,
sebelum memberikan ganti rugi kepada peminjam atas biaya yang dikeluarkan untuk
membangun atau menanam pohon tersebut. Akan tetapi jika waktu atau persyaratan telah
habis, pemlik dibolehkan khiyar antara menyuruh peminjam untuk menjadikan tanah
seperti semula atau menanggung biaya untuk mencabut pohon dan merobohkan
bangunan. Hal ini jika pohon dan bangunan itu memiliki nilai setelah dirusak atau dicabut
, sedangkan peminjam tidak mampu untuk membiayainya.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, pada transaksi ariyah mutlak yang
tidak disebutkan batas waktunya, paminjam dapat memanfaatkan tanah tersebut selama
mu’ir tidak memintanya. Jika ia memintanya setelah didirikan bangunan atau ditanami
pohon, dan di isyaratkan ketika akad bahwa peminjam harus mencabut pohon atau
merobohkan bangunan, maka peminjam harus melakukannya. Jika tidak disyaratkan
waktu akad, mu’ir-lah yang harus melakukannya.
Selain itu, peminjam pun harus meratakan kembali tanah yang telah dipijamnya
jika hal itu disyaratkan dalam transaksi. Jika tidak disyaratkan, tidak ada kewajiban
baginya, sebab persetujuan mu’ir untuk merobohkan bangunan dan mencabut pohon
menunjukkan kerelaan tentang rusak atau berlobangnya tanah miliknya.

18
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan beragamnya pendapat yang dikemukakan oleh ulama fiqih pada bab
pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa menurut ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, da
Hanabilah, mu’ir dapat menarik kembali tanah yang dipinjamkan untuk mendirikan
bangunan dan menanam pohon, sedangkan pada ariyah tanah yang dipakai untuk
pertanian, pengembaliannya bergantung pada pengganti yang senilai dari tanaman
tersebut. Adapun menurut ulama Malikiyah, pemilik tanah dapat meminta tanah jika
transaksi bersifat mutlak. Apabila terikat, dia tidak boleh memintanya sebelum batas
waktu yang ditetapkan.

B. SARAN
Penyusun mengharapkan makalah ini dapat di gunakan sebagai referensi dalam
mempelajari Fiqih Muamalah, terutama tentang ariyah. Dan dsarankan untuk membaca
referensi lain tentang ariyah. Penyusun menyadari masih banyak kekurangan yang ada
pada makalah ini. Oleh karena itu, penyusun sangat mengaharapkan kritik dan saran dari
pembaca khusunya pada Dosen Bidang Studi ini. Demi kesempurnaan dalam membuat
makalah (karya tulis) pada waktu mendatang. Untuk itu penyusun mengucapkan terima
kasih.

19
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’I, Rachmat. 2006. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.

Pasaribu, Chairuman dan Lubis, Suhrawardi K. 1994 Hukum Perjanjian Dalam Islam,

Jakarta : Sinar Grafika.

Suhendi, Hendi. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.

Lubis , Ibrahim. 1995. Ekonomi Islam Suatu Pengantar II. Jakarta : Kalam Mulia.

Rozalinda. 2016. Fikih Ekonomi Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Mardani. 2015. Hukum Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

http://semuamakalahpembelajaran.blogspot.com/2017/06/makalah-ariyah.html

http://artyaningsih.blogspot.com/2016/12/makalah-hadits-ariyah-pinjam-meminjam.html

http://rafiqatul-hanniah.blogspot.com/2012/06/blog-post.html

20

Anda mungkin juga menyukai