Anda di halaman 1dari 20

AYAT-AYAT DAN HADIST TENTANG KEWAJIBAN MEMENUHI

PERJANJIAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Tafsir Dan Hadist Ekonomi

Dosen Pengampu : Chiwanul Kirom, Lc. M.E.I

Disusun Oleh:

Kelompok 8

1. Meli Ulia Wati (2020510018)


2. Hana Zarima (2020510021)

A3-PSR

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa pun. Tak
lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.
Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak. Penulisan makalah berjudul ayat-ayat
dan hadist tentang kewajiban memenuhi perjanjian bertujuan untuk memenuhi tugas mata tafsir
dan hadist ekonomi.

Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar
harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Amin

Kudus,5 November 2021

penulis 
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A. A.LATAR BELAKANG................................................................................................................4
B. B.RUMUSAN MASALAH............................................................................................................5
C. C.TUJUAN.....................................................................................................................................5
BAB II.........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
D. A.PENGERTIAN PERJANJIAN...................................................................................................6
E. B.ASAS-ASAS PERJANJIAN DALAM ISLAM..........................................................................8
F. C.AKIBAT HUKUM SUATU PERJANJIAN (AKAD)..............................................................15
G. D.BERAKHIRNYA PERJANJIAN (AKAD)..............................................................................17
BAB III......................................................................................................................................................18
PENUTUP.................................................................................................................................................18
H. A.Kesimpulan...............................................................................................................................18
I. B.Saran.........................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Secara umum perjanjian adalah: Kesepakatan para pihak tentang sesuatu hal yang
melahirkan perikatan/hubungan hukum, menimbulkan hak dan kewajiban, apabila tidak
dijalankan sebagai mana yang diperjanjikan akan ada sanksi. Perikatan adalah suatu
hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu. Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan, ketertiban umum,
kebiasaan dan kesusilaan yang berlaku. Pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian
diharapkan menjalankan kesepakatankesepakatan yang telah disetujui dengan itikad baik.
Perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian dan asas atau prinsip umum yang
terdapat pada hukum perjanjian.

Salah satu prinsip atau asas yang sangat mendasar dalam hukum perjanjian adalah
prinsip perlindungan para pihak, terutama pihak yang dirugikan. Apabila salah satu pihak
tidak melaksanakan prestasi sesuai dengan apa yang diperjanjikan, harus menanggung akibat
dari tuntutan pihak lawan. Namun dalam pelaksanaannya sering tidak berjalan dengan baik
bahkan menimbulkan konflik. Permasalahan yang timbul berkaitan dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban para pihak dan tentang implementasi hukum perjanjian dalam memberikan
perlindungan hukum bagi para pihak. Penelitian membahas tentang: Bagaimana pengaturan
hak dan kewajiban para pihak dalam hukum perjanjian dan Bagaimana implementasi hukum
perjanjian dalam memberikan perlindungan hukum bagi para pihak. Metode yang digunakan
adalah yuridis normatif. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka dibutuhkan adanya
solusi agar tercipta apa yang menjadi tujuan dari pembuatan perjanjian yaitu keadilan bagi
para pihak. Apabila terjadi sengketa mengenai perjanjian, hendaklah diselesaikan dengan
memperhatikan perlindungan bagi para pihak. Eksistensi hukum sangat diperlukan untuk
dihormati dan prinsip-prinsip hukum dijunjung tinggi.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari perjanjian dalam islam dan hukum?

2. Apa asas-asas perjanjian dalam islam?

3. Akibat hukum perjanjian dalam islam?

4. Berakhirnya hukum perjanjian dalam islam?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui pengertian perjanjian dalam islam dan hukum

2. Untuk mengetahui asas-asas perjanjian dalam islam

3. Untuk mengetahui akibat hukum perjanjian dalam islam

4. Untuk mengetahui berakhirnya perjanjian dalam islam


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERJANJIAN
Perjanjian atau perikatan secara etimologi perjanjian atau perikatan adalah ikatan.
Sedangkan menurut terminology perjanjian atau perikatan adalah suatu perbuatan di mana
seseorang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa lain. Sedangkan dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, akad dikenal dengan kontrak atau perjanjian, yakni persetujuan yang
dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana berjanji akan menepati apa yang telah di
persetujukan.1

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), Buku II tentang akad, Bab I Pasal
20 butir 1. Pengertian akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau
lebih untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.2 Para ahli hukum Islam (Jumhur Ulama)
mendefinisikan akad sebagai pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.3 Menurut Abdulkadir Muhammad perjanjian
adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.Sedangkan menurut hukum Islam
perjanjian berasal dari kata aqad (‫ ) عقد‬yang secara etimologi berarti menyimpulkan. Sedangkan
menurut istilah sesuatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara 2 (dua) macam
kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian karenanya timbul ketentuan/ kepastian
pada dua sisinya.

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa, perjanjian
adalah suatu kesepakatan yang dibuat antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang
atau beberapa orang lainnya, untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Jika diamati, bahwa
kesepakatan yang dibuat oleh kedua pihak pada dasarnya akan menimbulkan suatu hak di satu
sisi, dan suatu kewajiban di sisi lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan aspek hukum yang ada.
Sehingga di dalam hukum, jika suatu perbuatan memiliki pengaruh atau akibat yang terkait
dengan hukum disebut dengan perbuatan hukum (termasuk perjanjian) Oleh karenanya,

1
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 1.
2
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencan
Prenada Media Group, 2009), hal. 15.
3
Gemala Dewi, et al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hal. 52.
kaitannya dengan apa yang telah menjadi kesepakatan dalam perjanjian, masing-masing pihak
hendaknya saling menghormati hak dan kewajibannya maing-maing, sebagaimana ketentuan
hukum yang diatur dalam Al-Qur’an, antara lain surat Al-Maidah ayat 1 yang Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”. (QS. Al-Maidah: 3)

Secara umum, rukun perjanjian dalam hukum Islam adalah adanya sighat aqad itu sendiri,
yang terdiri dari ijab dan qabul, yaitu suatu cara bagaimana rukun-rukun akad tersebut
dinyatakan dan menunjuk kepada kehendak kedua belah pihak. 4 Adapun syarat-syarat sighat
akad ini adalah:

1. Harus Jelas atau Terang Pengertiannya Yaitu lafadz yang dipakai dalam ijab dan
qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan (‘urf) yang berlaku.
Dengan demikian pada saat pelaksanaan atau penerapan perjanjian masing-masing
pihak yang mengadakan perjanjian atau yang mengikatkan diri dalam perjanjian
haruslah mempunyai interprestasi yang sama tentang apa yang telah mereka
perjanjikan, baik terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian itu.

2. Harus Ada Kesesuaian (Tawaffuq) Maksudnya adalah harus ada kesesuaian


(tawaffuq) antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari
terjadinya kesalah-pahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di
kemudian hari.

3. Harus Memperlihatkan Kesungguhan dan Keridhaan (Tidak Ada Paksaan) Yaitu


harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan (tidak ada paksaan) dari para
pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga
mempunyai kekuatan hukum yang penuh. Dalam hal ini berarti tidak boleh ada
paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, dengan sendirinya perjanjian
yang diadakan tidak mempunyai kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kepada
kehendak bebas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sementara bentuk-bentuk
sighat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan (dengan kata-kata), tulisan
(catatan), isyarat (khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua
cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf) ataupun dengan perbuatan

4
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 35
(seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya). Apapun bentuk sighat akad itu
tidak menjadi masalah, namun yang terpenting adalah dapat menyatakan kehendak
dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.

Suatu akad atau perjanjian dapat dikatakan telah terjadi jika telah memenuhi rukun-rukun
dan syarat-syarat yang ditentukan. Rukun-rukun akad sebagaimana disebutkan sebelumnya
adalah 16 adanya ijab dan qabul (sighat). Sementara syarat-syaratnya, ada yang menyangkut
subyek perjanjian (‘aqidain), obyek perjanjian (ma’qud alaih) dan tempat akad (mahallul ‘aqad). 5
Adapun syarat-syarat terjadinya akad dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam:

1. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu yang wajib sempurna wujudnya dalam setiap
perjanjian.

2. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat yang disyaratkan wujudnya dalam
sebagian akad, dan tidak pada sebagian lainnya (tambahan), seperti adanya dalam akad
nikah dan sebaginya.

Namun secara keseluruhan, syarat-syarat umum yang harus terdapat setiap akad adalah
yang berkaitan dengan subyek perjanjian (‘aqidain) dalam dunia hukum, perkataan subyek
hukum (termasuk subyek perjanjian atau akad) mengandung pengertian sesuatu yang memiliki
hak dan kewajiban, dan tidak dapat dipisahkan dari unsur kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum (ahliyatul ada’). Namun, dewasa ini yang memiliki hak dan kewajiban bukan hanya
terdiri dari manusia saja, tetapi juga dapat dimiliki oleh badan hukum tertentu.

B. ASAS-ASAS PERJANJIAN DALAM ISLAM


Asas sangat berpengaruh pada suatu akad perjanjian. Ketika suatu asas tidak dipenuhi
maka akan mengakibtakan batal atau tidak sahnya akad perjanjian yang dibuat.  Asas-asas
hukum kontrak berfungsi sebagai pembangun sistem perjanjian. Asas-asas itu tidak hanya
mempengaruhi hukum positif, tetapi juga dalam banyak hal menciptakan suatu sistem hukum
kontrak yang yang adil, menjamin kepastian, dan menciptakan kemaslahahan. Asas-asas akad ini
bersumber dari Alquran, hadits dan ijtihad para ulama sepanjang sejarah selama berabad-abad
silam. Namun harus dicatat, bahwa asas-asas akad ini  tidak berdiri sendiri, melainkan saling
terkait antara satu asas dengan asas lainnya.
5
Muhammad Hasby As-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Muamalah, (Semarang: Pustaka Rizki, 1997), hal. 25
1. Asas Kebebasan Berkontrak (al-hurriyah)

  Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang dalam hukum syariah dikenal


dengan istilah al-hurriyah,  merupakan prinsip dasar dan utama dalam hukum Islam. Sejumlah
hadits dan kaedah fiqh menunjukkan secara jelas prinsip kebebasam berkontrak ini.

Hadits Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:

‫ُوط ِه ْم إِالَّ شَرْ طًا َح َّر َم َحالَالً أَوْ أَ َح َّل َح َرا ًما‬
ِ ‫اَلصُّ ْل ُح َجائِ ٌز بَ ْينَ ْال ُم ْسلِ ِمينَ إِالَّ ص ُْلحًا َح َّر َم َحالَالً أَوْ أَ َح َّل َح َرا ًما َو ْال ُم ْسلِ ُمونَ َعلَى ُشر‬.

“Perjanjian boleh dan bebas  dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram.”

‫ حتى يدل الدليل على تحريمها‬ ‫اآلصل في المعاملة االبا حة‬

Pada dasarnya dalam akad muamalah itu hukumnya boleh dan bebas,  kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.

Selanjutnya Ibnu Taymiyah, ulama terkemuka di abad pertengahan merumuskan kaedah fikih
muamalah dalam pembuatan kontrak sebagai berikut :

‫على تحريـمه وإبـطاله ( ابن‬  ‫ وال يح}}رم منه}}ا ويـبطـل إال م}ا دل الشـرع‬ ، ‫ الجواز والصـحة‬: ‫األصـل فى العـقود والشروط‬
131‫ ص‬، ‫ القواعد النورانية الفقهية‬، ‫التيمية‬

Artinya: Menurut ketentuan asal bahwa akad-akad dan syarat-syarat adalah boleh dan bebas  dan
karena itu hukumnya sah ; tidak ada yang diharamkan atau dianggap batal kecuali apa-apa yang
dinyatakan haram dan batal oleh Syariah.” (Ibnu Taymiyah, Qaidah Nuranniyah,131)

Yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
mengajarkan bahwa dalam suatu kontrak para pihak bebas untuk membuat perjanjian, baik isi
dan materi perjanjian, menentukan persyaratan-persyaratan, menentukan pelaksanaan,
melakukan perjanjian dengan siapapun, membuat perjanjian tertulis atau lisan termasuk
menetapkan cara –cara penyelesaian bila terjadi sengketa. Kebabasan membuat perjanian ini
dibenarkan selama  tidak bertentangan dengan ketentuan syariah Islam.
Dengan asas kebebasan berkontrak, dapat diciptakan akad-akad perjanjian baru yang
bentuknya di luar akad-akad musamma (perjanjian bernama) seperti musyarakah
mutanaqishah, multi level marketing, franchising, perjanjian line facility, Margin During
Contruction, bay wafa’,gabungan bay wafa dengan syirkah,   bay istighlal,  bay’ tawarruq, 
Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT), Ijarah Maushufah fiz Zimmah, sewa beli, mudharabah bil
wadi’ah, mudharabah muntahiyah bit tamlik,  dsb.

Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai
sistem huk perjanjian di negara-negara lain dan memiliki ruang lingkup yang sama. Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak dengan menyatakan, bahwa semua
perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang. Menurut
sejarahnya, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan tipe perjanjian pada waktu itu
yang berpijak pada Revolusi Perancis, bahwa individu sebagai dasar dari semua kekuasaan.
Pendapat ini menimbulkan konsekuensi, bahwa orang juga bebas untuk mengikat diri dengan
orang lain, kapan dan bagaimana yang diinginkan kontrak terjadi berdasarkan kehendak yang
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

Dalam hukum syariah dan hukum perdata, asas  kebebasan berkontrak  tidak  berlaku
mutlak (absulot), akan tetapi bersifat relatif karena selalu dikaitkan dengan kepentingan
umum (maslahah ‘ammah). Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan sebebas-
bebasnya kepada para pihak,  namun perlu memperhatikan nilai-nilai syariah Islam. Asas
kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum.  Pasal 1320 KUHPerdata sendiri
sebenarnya membatasi asas kebebasan berkontrak melalui pengaturan persyaratan sahnya
perjanjian yang harus memenuhi kondisi:

1. adanya persetujuan atau kata sepakat para pihak;

2. kecakapan untuk membuat perjanjian;

3. adanya objek tertentu; dan

4. ada kausa hukum yang halal.

2. Asas Konsensualisme (ittifaq)
Konsensuil secara sederhana diartikan sebagai kesepakatan (ittifaq). Dalam hukum
syariah suatu akad baru lahir  setelah dilaksanakan ijab dan kabul. Ijab adalah pernyataan
kehendak melakukan ikatan, sedangkan kabul adalah pernyataan penerimaan ikatan. Dengan
tercapainya kesepakatan antara para pihak (‘aqidain)  yang diwujudkan
dengan ijab dan qabul lahirlah kontrak (akad). Dengan tercapainya kesepakatan para pihak maka
hal itu  menimbulkan hak dan kewajiban  bagi mereka yang membuatnya (atau dengan kata lain
perjanjian itu bersifat obligatoir atau ilzam). Dalam hukum positif, asas konsensualisme dapat
dilihat  dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu
syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini
merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua
belah pihak. Asas konsensualisme (ittifaq)  muncul dari ajaran syariah melalui konsep ‘an
taradhin (sama-sama ridha dan berkehendak) sebagaimana yang terdapat dalam Alquran surat
An-Nisak : 29.  Dengan demikian, asas  konsensualisme bukanlah berasal dari hukum Romawi
dan hukum Jerman. Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-
pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir
jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak di antara para pihak yang membuat perjanjian
tersebut.

Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual
adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) antara para pihak dalam bentuk ijab dan
qabul, atau konsensus para pihak yang membuat kontrak. Sehubungan dengan itu, semua ulama
syariah sepakat bahwa rukun akad adalah adanya dua pihak yang berakad (‘aqidain)  atau lebih
yang melakukan kesepakatan (kontrak).

3. Asas Kerelaan (Al-Ridhaiyyah)

Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan
antara masing- masing pihak yang bertransaksi. Segala transaksi harus didasarkan pada
kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak boleh ada unsur  paksaan, tekanan, penipuan
dan mis-statemen. Konsep Alquran  mengenai asas kerelaan dalam pembuatan perjanjian
diungkapkan dengan kalimat antaradhin minkum (saling rela di antara kalian). Dasar asas
antaradhin minkum (saling rela di antara kalian)  terdapat dalam Alquran Surah An-Nisa’ (4):
29:

‫اض ِّمن ُك ْم َوالَتَ ْقتُلُوا أَنفُ َس ُك ْم إِ َّن هللاَ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬ ْ
ٍ ‫عَن تَ َر‬ ً‫تِ َجا َرة‬  َ‫إِالَّ أَ ْن تَ ُكون‬ ‫بِا ْلبَا ِط ِل‬ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا الَتَأ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka
(sama-sama rela)  di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.

Hadits-hadits Nabi Muhammad juga banyak menyebutkan asas keridhaan ini. “Innamal bay’u
‘an taradhin”, sesungguhnya akad jual beli itu asasnya adalah sama-sama rela (ridha).

Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan
antara masing-masing pihak. Bentuk kerelaan dari para pihak tersebut telah wujud pada saat
terjadinya kata sepakat tanpa harus dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu (misalnya tertulis /
kitabah). Dalam hukum Islam, secara umum perjanjian itu bersifat kerelaan. Kerelaan antara
pihak-pihak yang berakad dianggap sebagai prasyarat bagi terwujudnya semua transaksi. Apabila
dalam transaksi tidak terpenuhi asas ini, maka itu sama artinya dengan memakan sesuatu dengan
cara yang batil (Al-Akl bil batil).  Atas dasar asas ini, maka jual beli dengan harga ghabn
fahisy dapat dibatalkan,karena ghabn fahisy, dilarang bukan karena penipuan, tetapi juga
mencederai keridhaan.

Dengan demikian, transaksi yang dilakukan tidak dapat dikatakan telah mencapai sebuah
bentuk kegiatan yang saling rela diantara para pelaku, jika didalamnya ada tekanan, paksaan,
penipuan, dan  mis-statement. Tegasnya, asas ini mengharuskan tidak adanya paksaan dalam
proses transaksi dari pihak manapun. Misalnya seseorang dipaksa menjual  hartanya, padahal ia 
masih ingin memilikinya dan menggunakannya. Jual beli secara paksaan  seperti itu dipandang
tidak sah. Contoh lain dalam kasus jual beli dimana seseorang membeli suatu barang yang pada
akhirnya ia merasa teripu  karena barang yang dibelinya itu ternyata palsu. Jual beli yang
mengandung unsur tipuan (khilabah) itu dapat dibatalkan oleh pembelinya.

Kondisi ridho (rela) ini diimplementasikan dalam perjanjian yang dilakukan diantaranya
dengan kesepakatan dalam bentuk shighat (ijab dan qabul). Kerelaan ini terwujud secara
lahiriyah dengan adanya ijab dan qabul antara para pihak yang berakad. Dapat pula dikatakan
kerelaan dapat diukur secara lahiriyah dengan adanya ijab dan qabul antara para pihak yang
berakad. 

4. Asas al-‘adalah (keadilan).

Prinsip keadilan merupakan pilar penting dalam transaksi ekonomi dan keuangan Islam.


Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al quran sebagai misi utama para Nabi yang diutus 
Allah (QS.57:25). Komitmen Al quran tentang penegakan keadilan terlihat dari penyebutan kata
keadilan di dalamnya yang mencapai lebih dari seribu kali[1], yang berarti ; kata urutan ketiga
yang banyak disebut Al quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan, menurut Ali Syariati dua
pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci
kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal, dll (Kahduri, The Islamic Conception of
Justice (1984):10). Dalam Alquran perintah penegakan keadilan  secara tegas difirmankan
Allahpada Alquran  surah Al-Maidah ayat : 8.

‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ُكونُوا قَوَّا ِمينَ هللِ ُشهَدَآ َء بِ ْالقِ ْس ِط َوالَ يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَئَانُ قَوْ ٍم َعلَى أَالَّ تَ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا هُ َو أَ ْق َربُ لِلتَّ ْق َوى َواتَّقُ}}وا هللاَ إِ َّن‬
َ‫هللاَ خَ بِي ُُر بِ َما تَ ْع َملُون‬

“ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang selalu menegakkan
kebenaran karena ALLAH, menjadi saksi dengan adil.Dan  janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, membuat kamu cenderung untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
kerena adil itu lebih dekat dengan takwa.Dan bertakwalah kepada ALLAH, sesungguhnya Allah 
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Pada tataran implementatif, asas keadilan  ini menuntut para pihak yang berkontrak untuk
berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah
mereka buat, dan memenuhi semua yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya
(QS. 3: 17; 2: 177 ; 23: 8; 5: 1).

Asas keadilan ini juga berarti bahwa segala bentuk transaksi yang mengundang unsur
kezaliman tidak dibenarkan. Misalnya, eksekusi jaminan atas hutang dengan menghanguskan
semua objek jaminan di mana  nilai  agunan (jaminan) lebih besar  daripada sisa hutang. Adalah
tindakan kezaliman jika  dalam kontraknya kreditur  membuat ketentuan apabila dalam jangka
waktu tertentu utang tidak dibayar, barang  tanggungan menjadi lebur, dan semuanya menjadi
milik yang kreditur. Seharusnya, jika harga agunan yang dilelang lebih besar dari utang nasabah,
maka sisanya dikembalikan kepada nasabah, bukan menjadi milik kreditur.  Perusahaan
pembiayaan syariah dan multifinance, seharusnya menerapkan asas keadilan ini, karena dalam
pembiayaan konvensional praktik  ini masih banyak berlaku.

Contoh lain misalnya, seseorang menggadaikan sawahnya kepada kreditur untuk


mendapatkan sejumlah uang yang jauh lebih kecil dari hasil panen sawah. Kalau hutang tidak
dibayar,maka selamanya hasil panen sawah untuk kreditur. Seharusnya jika nilai panen sangat
besar, maka hasil panen dibagi sesuai dengan asas keadilan dan nisbah yang wajar.

5. Asas Pacta Sunt Servanda (asas kepastian hukum dan asas akad  itu mengikat para
pihak)

Dalam hukum ekonomi syariah terdapat suatu asas, bahwa setiap akad perjanjian bersifat
mengikat para pihak (ilzam / binding), Ketentuan ini terdapat dalam Alquran Surah Al-Maidah
ayat 1 : 

)5/1 ‫(المائدة‬ ‫ يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود‬:‫قال تعالى‬  

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.

Berdasarkan ayat  itu, disimpulkan bahwa setiap akad  perjanjian itu bersifat mengikat
para pihak dan wajib ditepati. Dalam ayat yang lain, yakni Surah al-shaff ayat 2 dan 3, status
perjanjian mengikat itu difirmankan Allah Swt.

َ‫} َكب َُر َم ْقتًا ِعن َد هللاِ أَن تَقُولُوا َماالَتَ ْف َعلُون‬2{ َ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا لِ َم تَقُولُونَ َماالَتَ ْف َعلُون‬

Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu (berjanji) tetapi kamu
tidak melaksanakannya. Allah sangat membenci orang-orang yang berjanji (mengatakan
sesuatu) tapi tidak melaksanakan janjinya (perkataannya) itu.

Hadits Nabi Muhammad Saw dengan tegas menyebutkan bahwa janji harus ditepati.
Orang yang melanggar janjinya disebut sebagai orang munafiq.

،‫ وإذا وع}}د أخل}}ف‬،‫ إذا ح}}دث ك}}ذب‬:‫ "آية المن}}افق ثالث‬:‫ أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬، ‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه‬
)‫(رواه الشيخان‬  "‫وإذا اؤتمن خان‬

“Ciri-ciri orang Munafik itu ada 3 perkara: apabila dia berbicara berbohong, dan apabila dia
berjanji mengingkari, dan apabila dia dipercaya berkhianat” (HR. Bukhori dan Muslim).
Asas perjanjian itu bersifat ilzam (mengikat), dalam ilmu hukum  konvensional disebut
dengan asas facta sunt servanda, yang   berarti bahwa akad perjanjian  itu  bersifat mengikat 
secara penuh, karenanya harus ditepati. Asas pacta sunt servanda  biasa juga disebut asas
kepastian hukum (certainty). Asas ini bertujuan  agar hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat disimpulkan dan  diambil dari Pasal 1338 ayat 1 BW yang
menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”

Hukum kontrak di Indonesia menganut prinsip ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338
KUH Perdata. Pasal 1338 KUH Perdata “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.” Berdasarkan Pasal ini, daya mengikat
kontrak sama seperti undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya. Asas ini 
sesungguhnya berasal hukum Islam. Dalam hukum Islam  disebutkan bahwa terjadinya suatu
akad (perjanjian) bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya. Hal ini mengandung
makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang
sakral (spiritual) dan bersifat transenden. Pemenuhan akad-akad merupakan perintah Allah dan
menjadi bentuk ketaatan kepada Allah. Orang yang melanggar akad perjanjian mendapatkan
dosa, orang menepatinya mendapatkan pahala.  Bahkan dalam sebuah hadits qudsi Allah
berfirman bahwa Allah adalah pihak ketiga pada dua pihak yang bertransaksi kemitraan.

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata :

 )‫ (رواه أبو داود‬ ‫ خانه خرجت من بينهما‬ ‫ فاذا‬ ‫ صا حبه‬ ‫ ما لم يخن أحدهما‬ ‫ ثا لث الشاركين‬ ‫أنا‬

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman : “Aku pihak ketiga dari dua orang yang
bertransaksi syirkah (kemitraan) selam.

C. AKIBAT HUKUM SUATU PERJANJIAN (AKAD)


1. Akibat hukum akad dalam kaitan dengan para pihak
Dalam berbagai hukum perjanjian, apabila suatu perjanjian (akad) telah memenuhi semua
syarat syarat nya dan menurut hukum perjanjian Islam apabila telah memenuhi rukun dan syarat
syaratnya, maka perjanjian tersebut mengikat dan wajib dipenuhi serta berlaku sebagai
6
hukum. Perjanjian itu menimbulkan akibat hukum yang wajib dipenuhi oleh pihak pihak terkait,
dalam Pasal 1338 (1) KUH Perdata ditegaskan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dalam hal orang-orang yang terikat
oleh perjanjian itu bahwa pada asasnya perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang
membuatnya.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi, “pada umumnya
seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. 7
Dalam hukum perjanjian Islam, seperti halnya dalam hukum lain, pada asasnya akibat yang
timbul dari suatu perjanjian (akad) hanya berlaku terhadap para pihak yang membuatnya dan
tidak berlaku terhadap para pihak yang membuatnya dan tidak berlaku terhadap pihak lain di luar
mereka. Sebagaimana ditegaskan, bahwa pada dasarnya akibat akibat hukum dari suatu akad
hanya berlaku terhadap para pihak yang membuatnya.Namun dalam batas tertentu akibat hukum
tersebut juga terkait terhadap para pengoper hak, para kreditor, dan pihak ketiga.
2. Akibat hukum akad dalam kaitan dengan isinnya
Akibat hukum akad (perjanjian) dalam kaitan dengan isinya yang wajib dilaksanakan
oleh pihak terkait.Untuk memenuhi akibat hukum yang timbul dari suatu perjanjian perlu
dilakukan penentuan ruang lingkup isi perjanjian. Dalam mengahadapi suatu akad, hakim atau
ahli hukum tidak hanya berusaha menentukan apa yang menjadi maksud para pihak dengan
menafsirkan akad itu, tetapi juga berusaha menetukan cakupan isi akad, yaitu cakupan prestasi
yang menjadi hak salah satu pihak dan menjadi kewajiban pihak lain. Suatu akad dengan ruang
lingkup isinya, sebagaimana ditentukan penafsiran dan penentuan cakupan prestasi para pihak,
mengikat untuk dipenuhi dan menjadi kewajiban para pihak untuk melaksanakan nya
sebagaimana dituntut oleh isi akad tersebut. Akan tetapi, bisa terjadi bahwa isi akad itu tidak adil
atau berisi klausul yang memberatkan karena lahir dari suatu perjanjian baku, dimana salah satu
pihak tidak mempunyai banyak pilihan dalam menentukan klausul tersebut.
D. BERAKHIRNYA PERJANJIAN (AKAD)
Menurut hukum Islam, akad berakhir karena sebab-sebab terpenuhinya tujuan akad,
pemutusan akad, putus dengan sendirinya, kematian, dan tidak memperoleh izin dari pihak yang

6
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, 263.
7
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014),325.
memiliki kewenangan dalam akad mauquf. Berikut penjelasan dari masing-masing yang
dimaksud:8
a. Terpenuhinya tujuan akad
Suatu akad berakhir apabila telah tercapai tujuannya.Dalam akad jual beli, akad
dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya
telah menjadi milik penjual.
b. Terjadi pembatalan akad (fasakh)
Pembatalan akad (fasakh) terjadi dapat disebabkan oleh adanya hal-hal yang tidak
dibenarkan syara‟, seperti terdapatkerusakan dalam akad.Misalnya jual beli barang yang tidak
memenuhi kejelasan (jahalah) dan tertentu waktunya.Adanya kewajiban dalam akad yang tidak
dipenuhi oleh pihak-pihak yang berakad.Berakhirnya waktu akad.
c. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia
Kematian salah satu pihak yang megadakan akad mengakibatkan berakhirnya akad.Hal
ini terutama yang menyangkut hak-hak perorangan dan bukan hak kebendaan.Kematian salah
satu pihak menyangkut hak perorangan mengakibatkan berakhirnya akad seperti perwalian,
perwakilan, dan sebagainya.
d. Tidak ada izin dari yang berhak
e. Dalam hal akad mauquf (akad yang keabsahannya bergantung pada pihak lain), seperti
akad bai‟ fudhuli dan akad anak yang belum dewasa, akad berakhir apabila tidak
mendapat persetujuan dari yang berhak.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perjanjian atau perikatan secara etimologi perjanjian atau perikatan adalah ikatan.
Sedangkan menurut terminology perjanjian atau perikatan adalah suatu perbuatan di
8
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2012),hal.58.
mana seseorang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa lain. Sedangkan
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, akad dikenal dengan kontrak atau perjanjian,
yakni persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana berjanji akan
menepati apa yang telah di persetujukan.Dalam melakukan perjanjian harus disertai
dengan rukun,syarat,asas,akibat hukum perjanjian, dan akibat berakhirnya perjanjian.

B. Saran
Demikian makalah yang kami susun dengan kelebihan dan kekurangan semoga
makalah yang berjudul ayat-ayat dan hadist tentang kewajiban memenuhi perjanjian
dapat menambah ilmu bagi pembaca.kami menyadari bahwa kami masih terdapat
kekurangan dalam menyusun makalah ini,maka dari itu kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan .

DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012)

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah.


Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014)
Muhammad Hasby As-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Muamalah, (Semarang: Pustaka Rizki, 1997)

Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994)

Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004)
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
(Jakarta: Kencan Prenada Media Group, 2009)
Gemala Dewi, et al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013)

Anda mungkin juga menyukai